• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Sikap

2.2.4 Skala Sikap

Menurut Riduan (2010), Bentuk-bentuk skala sikap yang perlu di ketahui dalam melakukan penelitian. Berbagai skala sikap yang sering di gunakan ada 5 macam yaitu :

1. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dalam penelitian gejala sosial ini telah di tetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya di sebut sebagai variabel penelitian, dengan menggunakan skla likert maka variabel yang akan di ukur di jabarkan menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel dijabarkan lagi menjadi indikator indiator yang dapat di ukur, akhirya indikator- indikator yang terukur dijadikan titik tolak untuk membuat item instrumen yang berupa pertanyaan yang perlubdi jawab oleh responden. Menurut Riduan (2010), setiap jawaban dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap yang di ungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk pernyataan positif sangat setuju (SS) = 5, setuju (S) = 4, tidak setuju (TS) = 2, sangat tidak setuju (STS) = 1 dan pernyataan negatif sangat setuju (SS) = 1 setuju (S), netral (N) = 3, tidak setuju (TS) = 4, sangat tidak setuju (STS) = 5.

16

2. Skala guttman ialah skala yang di gunakan untuk jawaban yang bersifat jelas dan konsisten misalnya yakin-tidak yakin.

3. Skala defferensial semantik atau skala perbedaan semnatik berisikan serangkaian karakteristik bipolar seperti panas-dingin.

4. Rating scale yaitu data mentah yang didapatkan berupa angka yang kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.

5. Skala Thurstone meminta responden untuk memilih pertanyaan yang menyajikan pandangan yang berbeda-beda.

2.2.5. Sifat Sikap

Sikap dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negative (Wawan, 2010).

1. Sikap positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek.

2. Sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu

2.3. Konsep Spiritualitas

2.3.1. Defenisi Spiritualitas

Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata Latin yaitu “spiritus”, yang berarti “meniup” atau “bernafas”. Spiritualitas mengacu pada bagaimana menjadi manusia yang mencari makna melalui hubungan intra-, inter-, dan transpersonal (Kozier, 2010).

Spiritualitas (spirituality) merupakan sesuatu yang dipercayai oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan),

yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat (Asmadi, 2008).

Spiritual adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan ssesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah :sesuatu yang lebih besar dari manusia” adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan orang tersebut. Spiritualitas mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi vertical adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, dan dimensi horizontal adalah hubungan dengan orang lain, diri sendiri dan lingkungan (Hamid, 2008).

Konsep yang berhubungan dengan spiritualitas yaitu agama, keyakinan, harapan, transendensi, pengampunan. Agama merupakan sistem keyakinan dan praktik yang terorganisasi. Agama memberi suatu cara mengekspresikan spiritual dan memberikan pedoman kepada yang mempercayainya dalam berespon terhadap pertanyaan dan tantangan hidup. Perkembangan keagamaan individu mengacu pada penerimaan keyakinan, nilai, pedoman pelaksanaan, dan ritual tertentu. Keyakinan adalah meyakini atau berkomitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Keyakinan memberi makna bagi kehidupan, memberi kekuatan pada saat individu mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Keyakinan memberi kekuatan dan harapan (Kozier, 2010).

18

Harapan merupakan konsep yang tergabung dengan spiritualitas. Yaitu proses antisipasi yang melibatkan interaksi berpikir, bertindak, merasakan, dan keterkaitan yang diarahkan ke pemenuhan di masa yang akan datang yang bermakna secara personal. Tanpa harapan, pasien menyerah, kehilangan semangat, dan penyakit kemungkinan semakin cepat memburuk. Transendensi melibatkan kesadaran seseorang bahwa ada sesuatu yang lain atau yang lebih hebat dari diri sendiri dan suatu pencarian dan penilaian terhadap sesuatu yang lebih hebat tersebut, baik itu adalah mahluk, kekuatan, atau nilai yang paling hebat (Kozier, 2010).

Kebutuhan akan ampunan merupakan kebutuhan akan ampunan dari Tuhan, diri sendiri dan orang lain.serta kebebasan individu untuk mencintai Tuhan, diri sendiri dan orang lain. Bagi banyak pasien, penyakit atau kecacatan menimbulkan rasa malu atau rasa bersalah. Masalah kesehatan diinterpretasi sebagai hukuman atau dosa yang dilakukan di masa lalu. Perawat dapat berperan penting dalam membantu pasien memahami proses pengampunan (Kozier, 2010).

2.3.2. Dimensi Spiritualitas

Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stres emosional, penyakit fisik, atau kematian dan untuk mendapatkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, 1995). Ada beberapa versi cara peneliti mengartikan dimensi spiritualitas Mickey at all menggambarkan spritualitas merupakan

suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti hidup, sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Yang Maha Penguasa.

Spiritualitas menurut teori Moberg dan Brusek (1978) dan Stoll (1989) dalam Funnel, dkk, (2005), memiliki pengertian yang sama mengenai dimensi spiritualitas bahwa spiritualitas terdapat dua dimensi, yakni vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal berhubungan dengan cara seseorang mendekati Tuhan, alam semesta atau sesuatu yang lebih hebat dari dirinya. Dimensi horizontal merujuk pada cara seseorang mendekati, dan berhubungan dengan orang lain dan pengertian tujuan dan kepuasan dalam kehidupan yang tidak dihubungkan dengan pengertian agama. Diantara kedua dimensi vertikal dan horizontal terdapat sebuah hubungan timbal balik yang berkesinambungan. 2.3.3. Aspek Spiritualitas

Menurut Schreurs (2002), spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif,dan aspek relasional:

1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).

2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas

20

pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.

3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan dan/atau bersatu dengan cintaNya. Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.

2.3.4. Karakteristik Spiritualitas

Menurut (Hamid, 2008), karakteristik spiritual yaitu 1. Hubungan dengan diri sendiri.

Kekuatan dalam atau/dan self reliance yaitu:

a. Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya). b. Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa

depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri). 2. Hubungan dengan alam harmonis

a. Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim.

b. Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan, dan melindungi alam.

3. Hubungan dengan orang lain harmonis:

a. Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik. b. Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit.

c. Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dan lain- lain). Bila tidak harmonis akan terjadi konflik dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.

4. Hubungan dengan Ketuhanan

Terdiri yang Agamais dan tidak agamais: a. Sembahyang/berdoa/meditasi.

b. Perlengkapan keagamaan. c. Bersatu dengan alam.

Secara ringkas Hamid (2008). menyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualitasnya jika mampu:

1. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaaannya di dunia/kehidupan.

2. Mengembangkan ari penderitaan dan meyakini hikmat dari suatu kejadian atau penderitaan.

3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta.

4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga. 5. Merasakan kehidupan yang terarah

2.3.5. Fungsi Spiritualitas

Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat stres individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit

22

yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu (Taylor 1997).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Haris 1999 dalam Hawari, 2005), pada pasien penyakit jantung yang dirawat di unit perawatan intensif yang diberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas hanya membutuhkan sebesar 11% untuk pengobatan lebih lanjut.

Menurut American Psychological Association (1992) dalam Hawari (2005), bahwa spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Dalam hal ini bahwa spiritualitas berperan penting dalam penyembuhan pasien dari penyakit (Young 2005).

Spiritualitas dapat meningkatkan imunitas, kesejahteraan, dan kemampuan mengatasi peristiwa yang sulit dalam kehidupan (Koenig 2005).

Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan sumber koping bagi individu. Spiritualitas membuat individu memiliki keyakinan dan harapan terhadap kesembuhan penyakitnya, mampu menerima kondisinya, sumber kekuatan, dan dapat membuat hidup individu menjadi lebih berarti (Pulchaski, 2004). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat membuat individu menerima kondisinya ketika sakit dan memiliki pandangan

hidup positif (Young, 1993 dalam Young, 2005). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberi kekuatan pikiran dan tindakan pada individu. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberikan semangat pada individu dalam menjalani kehidupan dan menjalani hubungan dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Dengan terpenuhinya spiritualitas, individu menemukan tujuan, makna, kekuatan, dan bimbingan dalam perjalanan hidupnya.

Dokumen terkait