• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterangan:

: hubungan langsung : terbagi atas

Hipotesis Penelitian

1. Ada dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penurunan jumlah kapal pukat cincin.

2. Ada perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

3. Ada perbedaan hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

4. Ada perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

5. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM (solar).

6. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat kenaikan harga BBM (solar) ini.

Metode Penentuan Lokasi

Untuk mencapai tujuan yang telah dikemukakan di atas maka dilakukanlah penelitian di daerah penelitian yang ditentukan secara purposive sampling yaitu

pemilihan sampel berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (Singarimbun dan Efendi, 1995:169) yaitu Kelurahan Bagan Deli Kecamatan

Medan Belawan Kota Medan. Daerah ini dipilih karena menurut data yang didapat Kelurahan Bagan Deli merupakan daerah paling banyak memiliki alat tangkap pukat cincin yakni 188 unit dibandingkan Kelurahan Belawan I. Berikut ini tabel alat tangkap yang ada di setiap kelurahan di Kecamatan Medan Belawan pada tahun 2005.

Tabel 6. Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Medan Belawan Kota Medan Tahun 2005 (Unit) Kelurahan NO Jenis Alat Tangkap Belawan I Belawan Sicanang Belawan Bahagia Belawan Bahari Bagan Deli 1. Gill Nets 66 17 22 - 98 2. Pukat Langge - - 1 211 5 3. Pukat Tuamang - - - 52 - 4. Lampara Dasar - - - - 131 5. Pukat layang 39 - 42 - 2 6. Pukat Langgar/ Cincin/Purse seine 10 - - - 188 7. Pukat Teri 4 - - - 44 8. Ambai 22 34 - - - 9. Bubu - - 4 - - 10. Pancing 34 1 - 4 13 11. Pukat Ikan - - - - 99 Jumlah 175 52 69 267 580

Metode Penentuan Sampel

Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah metode simple random sampling dikarenakan sampel penelitian bersifat homogen yakni nelayan yang hanya menggunakan kapal pukat cincin. Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel yakni 30 kapal pukat cincin dari 188 kapal pukat cincin (populasi). Hal ini berdasarkan pertimbangan waktu, biaya, tenaga dan 30 sampel merupakan sampel kecil di mana pengujian hipotesisnya menggunakan distribusi t sebagai uji statistik (Hasan, 2002:38).

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 7. Spesifikasi Pengumpulan Data

NO Jenis Data Sumber Metode Alat Pengumpul Data 1. Identitas Nelayan Responden Wawancara Kuesioner 2. Jumlah nelayan

dan kapal pukat cincin

Dinas Perikanan Kota Medan dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan Pencatatan data Laporan

3. Lama melaut dan frekuensi melaut

Responden Wawancara Kuesioner 4. Jumlah

penerimaan

Responden Wawancara Kuesioner 5. Jumlah biaya

operasional

Responden Wawancara Kuesioner 6. Masalah-masalah Responden Wawancara Kuesioner

7. Upaya-upaya Responden Wawancara Kuesioner 8. Monografi Kelurahan Kantor Kelurahan Bagan Deli Pencatatan data Laporan

Metode Analisis Data

Hipotesis 1 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif yaitu melalui pendataan jumlah kapal pukat cincin yang masih beroperasi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM(solar).

Hipotesis 2, 3 dan 4 dianalisis dengan menggunakan metode uji beda yang menggunakan rumus t-hitung sebagai berikut :

Dengan formulasi H0 dan H1 :

Ho : 1 = 2 ; H1 : 1 2 X1 – X2 th = (n1 – 1)S22 + (n2 – 1)S12 1 + 1 n1 + n2 – 2 n1 n2 Keterangan:

X1 = rata-rata variabel 1 (sebelum kenaikan BBM) X2 = rata-rata variabel 2 (sesudah kenaikan BBM) S 1 = simpangan baku variabel 1

S2 = simpangan baku variabel 2 n1 = jumlah sampel variabel 1 n2 = jumlah sampel variabel 2 Kriteria uji:

-ttabel ≤ thit ≤ ttabel H0 diterima, H1 ditolak thit < -ttabel atau thit > ttabel H0 ditolak, H1 diterima

Hipotesis 5 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dengan mengamati masalah-masalah apa saja yang dialami nelayan dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan setelah kenaikan harga BBM (solar).

Hipotesis 6 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif menanyakan apa saja upaya yang dilakukan nelayan dalam menghadapi kenaikan harga BBM (solar) ini.

Defenisi

1. Nelayan adalah pemilik kapal pukat cincin yang sering juga disebut nelayan toke/nelayan besar, yang mana ia dapat secara langsung ikut dalam operasi penangkapan tersebut ataupun tidak langsung terlibat.

2. Lama melaut adalah tempo waktu yang dihabiskan nelayan dalam melakukan penangkapan (mulai dari berangkat ke laut sampai pulang ke daratan) yang dinyatakan dalam satuan hari.

3. Jumlah trip penangkapan adalah banyaknya operasi penangkapan yang dapat dilakukan nelayan dengan kapal pukat cincin selam setahun.

4. Pukat cincin/purse seine adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi yang dlengkapi dengan pemberat (sinker) dan pelampung (floating) yang digunakan untuk menghela/menangkap gerombolan ikan kemudian bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali melalui cincin. Cara penangkapan dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengumpul ikan (rumpon/rabo/tuasan).

5. Hasil tangkapan adalah jumlah ikan yang berhasil ditangkap nelayan per tripnya (kg)

6. Penerimaan adalah hasil tangkapan yang dijual dikali dengan harga jual pada saat penelitian (Rp/trip).

7. Pendapatan bersih adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya (Rp/trip).

8. Biaya operasional adalah semua korbanan atau pengeluaran yang dikeluarkan selama melakukan penangkapan.

9. Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh kesibukan perusahaan yang jumlahnya tidak berubah sampai batas waktu tertentu (Rp).

10. Biaya variabel adalah biaya yang dapat berubah-ubah mengikuti kesibukan perusahaan (Rp).

11. Sistem bagi hasil adalah suatu sistem penggajian yang dilakukan seorang pemiliki kapal terhadap Anak Buah Kapal (ABK). Di mana gaji/upah yang diterima ABK tidak tetap tergantung hasil tangkapan yang didapat.

12. Masalah adalah persoalan baru yang dihadapi nelayan setelah kenaikan BBM yang menjadi penghambat dalam melakukan operasi penangkapan.

13. Upaya adalah usaha atau cara yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah tersebut.

Batasan Operasional

1. Sampel dalam penelitian adalah nelayan kapal pukat cincin yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.

3. Sebelum kenaikan BBM (solar) yaitu bulan September 2005 sedangkan sesudah kenaikan BBM (solar) yaitu bulan September 2006.

Deskripsi Daerah Penelitian

Gambaran Umum, Letak Topografi dan Iklim

Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB) merupakan salah satu dari lima pelabuhan yang terdapat di Indonesia yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Pelabuhan Perikanan Samudera lainnya terdapat di Padang, Cilacap, Jakarta dan Kendari. Perum Prasarana Perikanan Samudera adalah badan yang bertanggung jawab terhadap pelabuhan perikanan ini sesuai dengan PP No. 23 tahun 2000. PPSB ini berada di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan dengan luas 54,95 Ha dan dipimpin oleh Bapak Haryomo, A. Pi, SE.

Kelurahan Bagan Deli mempunyai topografi pantai dengan ketinggian 1 m dpl. Keadaan suhu rata-rata 24-32º C dan curah hujan rata-rata 2000mm/tahun. Batas-batas Kelurahan Bagan Deli adalah sebagai berikut:

Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Belawan I Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Deli

Sebelah barat berbatasan dengan Kel. Belawan II dan Kel. Belawan Bahari Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka

Kelurahan Bagan Deli berjarak 3 km dari ibukota Kecamatan Medan Belawan dan 26 km dari pusat Kota Medan. PPSB beralamat di Jln. Gabion Belawan yang dibangun pada tahun 1978. Letak geografis PPSB berada di 3º46'22,50"LU dan 98º41'59,33"BT.

Tujuan PPSB

Perusahaan Umum (PERUM) Prasarana Perikanan Samudera adalah BUMN sebagaiman diatur dalam UU No. 9 tahun 1969. Bidang usahanya berada dalam lingkup tugas dan kewenangan menteri. Seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.

Pelabuhan Perikanan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan melalui penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan, mengembangkan wiraswasta perikanan serta untuk memasang dan/atau mendorong usaha industri perikanan dan pemasaran hasil perikanan, memperkenalkan dan mengembangkan teknologi hasil perikanan. Sarana dan Prasarana

Fasilitas yang terdapat di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan terdiri dari :

- Fasilitas pokok, yaaitu fasilitas yang utama di Pelabuhan Perikanan yang menjadikan lokasi sebagai pelabuhan perikanan.

- Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk menjalankan kegiatan operasional Pelabuhan Perikanan seperti bongkar muat, operasi kapal-kapal nelayan, penanganan hasil tangkapan.

- Fasilitas penunjang, yaitu fasilitas yang mendukung kegiatan operasional Pelabuhan Perikanan.

Bagian dari fasilitas pokok adalah sebagai berikut:

- Dermaga dengan panjang 153 m, lebar 7 m, jenis kontruksinya beton. - Alur pelayaran dengan panjang 4000 m, lebar 100m dan kedalaman

- Kolam pelabuhan dengan luas 75.000 m2, lebar 200 m dan kedalaman 4 m. - Jalan pelabuhan sepanjang 500m, lebar 10m dan beban gandar jalan

hingga 50 ton.

Bagian dari fasilitas fungsional adalah sebagai berikut: - TPI seluas 800 m2 dengan konstruksi baja.

- Navigasi pelayaran dan komunikasi, yaitu rambu pelayaran sebanyak 2 unit, lampu suar 2 unit, 4 line telepon serta pemancar radio.

- Layanan listrik dilengkapi dengan mesin genset dengan daya listrik total 30 kVA.

- Layanana bahan bakar yang mampu melayani permintaan solar hingga 5000 liter per hari.

- Instalasi pengolahan limbah cair seluas 80 m2 dengan kapasitas 200 ton/hari dan tempat pembuangan sampah 200 m2.

Bagian dari fasilitas penunjang adalah Balai Pertemuan Nelayan seluas 200 m2 dengan konstruksi batu bata dan pagar kawat pembatas sepanjang 400 m dengan tinggi 2 m.

Daerah operasi kapal ikan yang dilayani adalah wilayah laut teritorial dan ZEE dan perairan internasional. Kapasitas PPSB dapat menampung kapal mencapai > 6000 GT (dengan 100 kapal 60 GT) dengan panjang dermaga > 300 m dan kedalaman 3 m. Volume ikan tangkapan yang didaratkan di sini rata-rata 60 ton/hari dan terdapat fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan.

Karakteristik Nelayan Sampel

Karakteristik nelayan sampel dalam penelitian ini dapat digambarkan oleh ukuran kapal, pendidikan jumlah tanggungan dan pengalaman berusaha perikanan. Karakteristik nelayan ini dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik Nelayan Sampel

Keterangan No. Uraian Satuan

Tertinggi Terendah Rataan

1. Ukuran kapal GT 68 26 37.67

2. Umur tahun 61 31 46.43

3. Pendidikan tahun 16 12 12.53

4. Jumlah tanggungan tahun 5 0 2.30 5. Pengalaman berusaha

perikanan

tahun 29 5 12.03

Sumber: Data diolah dari lampiran 1, 2007

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata ukuran kapal yang digunakan nelayan sampel di daerah penelitian adalah 37.67≈38 GT. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan sampel sudah menggunakan kapal berukuran besar karena sudah >30 GT.

Umur rata-rata nelayan sampel di daerah penelitian 46.43≈46 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum nelayan sampel di daerah penelitian tergolong usia produktif sehingga dapat dikatakan bahwa di daerah penelitian memiliki tenaga kerja yang sangat potensial dalam mengelola usaha penangkapan.

Pendidikan rata-rata nelayan sampel di daerah penelitian sudah baik yaitu 12.53≈13 tahun atau setingkat dengan SMU. Hal ini dapat menunjang dalam mengembangkan usaha penangkapannya. Hal ini disebabkan karena dengan kapal

berukuran besar dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang lebih banyak dibutuhkan manajemen yang lebih baik.

Jumlah tanggungan rata-rata nelayan sampel sebanyak 2.3≈2 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan nelayan sampel tergolong rendah dan nelayan sudah dapat menerapkan program pemerintah yaitu Keluarga Berencana (KB).

Pengalaman nelayan sampel dalam berusaha perikanan umumnya cukup lama rata-rata 12 tahun. Nelayan dengan pengalaman >10 tahun ini sangat berpengaruh pada keahlian dan pengetahuannya dalam melakukan operasi penangkapan . Sehingga jika suatu saat timbul masalah nelayan tidak cepat putus asa.

Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) Terhadap Penurunan Jumlah Kapal Pukat Cincin di PPSB

Untuk dapat mengetahui dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penurunan jumlah kapal pukat cincin yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan Belawan (PPSB) Kelurahan Bagan Deli dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 9. Jumlah Unit Penangkapan Perikanan Laut Menurut Jenis Alat Tangkap Tahun 2001-2006 (Unit)

TAHUN No. Jenis Alat

Tangkap 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Pukat Ikan Fish Net 87 90 92 95 99 147 2. Lampara Dasar Damersal Danish Seine 131 138 145 165 178 57 3. Pukat Cincin Purse Seine 178 185 191 187 188 231 4. Jaring Insang Gill Nets 38 38 40 40 55 33 5. Pancing

Hook and Lines 12 12 13 12 13 4

Jumlah 446 463 481 499 533 472

Sumber: Statistik PPSB, 2006

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan jumlah kapal pada tahun 2006 mengalami penurunan sebanyak 61 unit yakni dari 533 unit menjadi 472 unit. Hal ini dapat terjadi salah satunya akibat dampak kenaikan harga BBM (solar) yang amat memberatkan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan di laut. Di mana sebagian besar biaya operasional penangkapan ikan ke laut tercurah untuk pemakaian solar sebagai bahan bakar kapal.

Dari tabel dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 terjadi penurunan jumlah kapal dengan alat tangkap lampara dasar, jaring insang dan pancing. Namun untuk

jumlah alat tangkap pukat cincin dan pukat ikan mengalami peningkatan. Khusus untuk pukat cincin yang menjadi sasaran penelitian, pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah kapal pukat cincin sebesar 43 unit dari 188 unit pada tahun 2005 menjadi 231 unit pada tahun 2006.

Keadaan seperti ini dapat terjadi erat hubungannya dengan skala usaha. Dari hasil wawancara terhadap sampel dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya penurunan jumlah kapal lampara dasar, jaring insang dan pancing disebabkan oleh jumlah hasil tangkapan belum mampu menutupi biaya operasional penangkapan sehingga sering sekali nelayan mengalami kerugian. Walaupun sebenarnya kapal dengan alat tangkap ini (lampara dasar, jaring insang dan pancing) tidak banyak membutuhkan solar seperti halnya kapal pukat cincin namun pada kenyataannya jumlah kapal pukat cincin mengalami peningkatan sebesar 22.87%. Hal ini dapat terjadi karena skala hasil tangkapan kapal pukat cincin lebih besar bila dibandingkan kapal lampara dasar, jaring insang dan pancing sehingga masih dapat menutupi biaya operasional penangkapan tersebut. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penurunan jumlah kapal pukat cincin ditolak karena pada kenyataannnya terjadi peningkatan kapal pukat cincin.

Perbedaan Lama Nelayan Melaut dan Frekuensi Melaut yang Dilakukan Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar).

Untuk menguji perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan selama sebulan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM digunakan analisis uji beda dengan t-hitung. Lama nelayan

melaut per trip dan frekuensi melaut per bulan sebelum dan sesudah kenaikan BBM dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 10. Lama Nelayan Melaut per Trip (hari) dan Frekuensi Melaut per Bulan (trip) Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM

No. Uraian Sebelum Kenaikan Harga BBM Sesudah Kenaikan Harga BBM Keterangan 1. Lama Melaut/Trip 5.90 7.27 Ho ditolak, H1 diterima 2. Frekuensi Melaut/ Bulan 4.60 3.77 Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=-11.195 t-tabel=2.045 t-hitung=9.898 t-tabel=2.045

Sumber: Data diolah dari lampiran 2,20 dan 21, 2007

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa lama melaut yang dilakukan nelayan per tripnya 5.9 ≈ 6 hari sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7.27 ≈ 7 hari per tripnya.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata lama melaut yang dilakukan nelayan diperoleh bahwa t-hitung=-11.195 dengan demikian berarti t-hitung lebih kecil daripada -t-tabel=-2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho ditolak dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat perbedaan nyata antara lama melaut yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin lama melaut per tripnya dibandingkan sebelum kenaikan harga BBM. Hal ini dilakukan nelayan untuk menghemat biaya perjalanan pulang perginya nelayan melaut dan dengan menambah lama melaut diharapkan dapat membawa hasil tangkapan yang lebih banyak lagi.

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum kenaikan harga BBM 4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM frekuensi melaut nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77≈4 trip/bulan.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata frekuensi penangkapan ikan yang dilakukan nelayan diperoleh bahwa hitung=9.898. Dengan demikian berarti t-hitung lebih besar daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho ditolak dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat perbedaan nyata antara frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan semakin rendah. Hal ini terjadi karena frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan selama sebulan erat kaitanya dengan semakin lamanya waktu melaut yang dilakukan nelayan tiap tripnya. Di mana, semakin lama nelayan melaut per tripnya maka semakin rendah frekuensi melaut yang dilakukan nelayan setiap bulannya.

Perbedaan Hasil Tangkapan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar).

Untuk menguji perbedaan rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh nelayan digunakan analisis t-hitung. Analisis rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh nelayan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 11. Hasil Tangkapan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (kg) No. Uraian Sebelum Kenaikan Harga BBM Sesudah Kenaikan Harga BBM Keterangan 1. Hasil Tangkapan/bln 15,667.50 13,536.67 Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=5.205 t-tabel=2.045

Sumber:Data diolah dari lampiran 4b,4b,5a,5b dan ,22 , 2007

Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum kenaikan harga BBM 15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh nelayan per bulan diperoleh bahwa hitung=5.205. Dengan demikian berarti t-hitung lebih besar daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho ditolak dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat perbedaan nyata antara hasil tangkapan per bulan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan yang diperoleh nelayan menjadi turun dibandingkan hasil tangkapan sebelum kenaikan harga BBM.

Hal ini dapat terjadi karena walaupun sesudah kenaikan harga BBM nelayan sudah menambah lama melautnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Padahal, seharusnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan semakin meningkat namun pada kenyataannya hal ini tidak terjadi. Menurut hasil wawancara terhadap sampel hal ini dapat terjadi karena sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin mempersempit zona

penangkapannya dari sebelumnya. Padahal, semakin jauh zona penangkapannya semakin banyak ikan yang bisa ditangkap.

Selain itu penyebab lainnya yaitu karena dalam usaha penangkapan penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Risiko produksi yang terberat yaitu karena hasil tangkapan berasal dari perairan umum harus tunduk dengan general proverty rights sehingga setiap orang Indonesia berhak atas laut tersebut sehingga timbul persaingan antar sesama nelayan. Apalagi sesudah kenaikan harga BBM jumlah kapal pukat cincin semakin bertambah banyak. Disamping itu dipengaruhi juga oleh iklim dan lingkungan, di mana waktu penelitian yaitu bulan September merupakan musim pancaroba yang mengakibatkan hasil yang didapat tidak maksimum.

Perbedaan Pendapatan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar)

Pendapatan yang diperoleh nelayan merupakan selisih dari penerimaan dan seluruh biaya yang dibutuhkan selama melakukan operasi penangkapan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 12. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM

No. Keterangan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) 1. Penerimaan 108,674,167.67 121,021,666.67 2. Biaya Biaya Tetap: 3,118,240.74 3,473,796.30 Biaya Perizinan 423,333.33 423,333.33 Biaya Penyusutan 983,796.30 983,796.30 Biaya Pemeliharaan 1,711,111.11 2,066,666.67 Biaya Variabel: 79,487,433.33 99,530,083.33 Oli 668,533.33 747,055.56 Solar 29,785,000.00 49,939,722.22 Minyak Tanah 419,980.00 390,791.67

Es 6,716,000.00 7,332,444.44 Bekal Melaut 4,770,200.00 5,828,916.67 Retribusi Pelelamgan 4,697,750.00 5,414,666.67 Bagi Hasil 32,602,250.00 30,255,416.67 Total 82,605,674.07 103,003,879.63 3. Pendapatan 26,068,492.59 22,572,787.04

Sumber: Data diolah dari lampiran 14,15,16,17,18,19 dan 23, 2007

Dari tabel dapat dilihat bahwa sesudah kenaikan harga BBM, penerimaan sesudah kenaikan harga BBM meningkat dan sebaliknya pendapatan menurun. Hali ini diakibatkan karena total biaya yang meningkat drastis seperti biaya solar.

Untuk menguji perbedaan rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan digunakan analisis t-hitung. Analisis rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) No. Uraian Sebelum Kenaikan Harga BBM Sesudah Kenaikan Harga BBM Keterangan 1. Pendapatan per Bulan 26,068,492.59 22,572,787.04 Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=1.727 t-tabel=2.045

Sumber: Data diolah dari lampiran18,19 dan ,23, 2007

Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa pendapatan nelayan sebelum kenaikan harga BBM Rp 26,068,492.59 per bulan dan sesudah kenaikan harga BBM pendapatan nelayan menurun menjadi Rp 22,572,787.04 per bulan.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan per bulan diperoleh bahwa t-hitung=1.727. Dengan demikian berarti t-hitung lebih kecil daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho diterima dan H1 ditolak pada tingkat kepercayaan 95% artinya tidak terdapat perbedaan nyata antara pendapatan per bulan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah

kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM pendapatan yang diperoleh nelayan menjadi turun dibandingkan pendapatan sebelum kenaikan harga BBM. Namun penurunan yang terjadi tidak cukup drastis.

Hal ini dapat terjadi karena pendapatan ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan, jenis ikan, harga jual masing-masing jenis ikan yang berbeda-beda sehingga berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang didapat nelayan dan biaya operasional yang berbeda antara sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM.

Masalah-Masalah yang Dihadapi Nelayan Akibat Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar)

Dengan naiknya harga BBM per 1 Oktober 2005 maka nelayan menghadapi berbagai masalah di antaranya:

1. Nelayan mengalami kekurangan modal dalam melakukan operasi penangkapan karena dengan naiknya harga BBM per 1 Oktober maka semua harga untuk kebutuhan operasi penangkapan selain solar (seperti es, oli, lauk-pauk, rumpon,dan sebagainya) ikut mengalami kenaikan juga di mana kenaikannya rata-rata 50 % dari sebelumnya.

2. Kadangkala hasil tangkapan yang diperoleh nelayan sulit laku karena dengan naiknya BBM harga ikan juga ikut naik. Selain itu nelayan asing seperti Malaysia sudah dapat bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Belawan yang mana harga ikannya jauh lebih murah dari ikan nelayan lokal sehingga nelayan lokal harus bersaing dengan nelayan Malaysia. 3. Dengan naiknya BBM tindakan kriminalitas di laut semakin banyak

Dokumen terkait