DENGAN PUKAT CINCIN
(Studi Kasus: Kel. Bagan Deli Kec. Medan Belawan Kota Medan)
SKRIPSI
Oleh:
LABORA PASARIBU 030304005 SEP/AGRIBISNIS
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DENGAN PUKAT CINCIN
Studi Kasus: Kel. Bagan Deli Kec. Medan Belawan Kota Medan
SKRIPSI
Oleh:
LABORA PASARIBU 030304005 SEP/AGRIBISNIS
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara Medan
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
(DR. Ir. Salmiah, MS) (Ir. A. T. Hutajulu, MS) KETUA ANGGOTA
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LABORA PASARIBU (030304005/SEP) dengan judul skripsi
“DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM(SOLAR) TERHADAP USAHA
PENANGKAPAN IKAN DENGAN PUKAT CINCIN”. Studii kasus penelitian
di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan. Penelitian dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan
Ibu Ir. A. T. Hutajulu, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Daerah penelitian ditetapkan secara purposive dan sampel ditentukan berdasarkan simple random sampling. Metode analisis yang digunkan adalah metode deskriptif dan metode uji beda. Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut:
1. Jumlah kapal pukat cincin sesudah kenaikan harga BBM (Solar) yakni pada tahun 2006 meningkat 43 unit yakni dari 188 unit menjadi 231 unit. 2. Terdapat perbedaan lama nelayan melaut/trip dan frekuensi melaut/bulan
yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Lama nelayan melaut 5.9≈6 hari/trip sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7.27≈7 hari/tripnya. Sebaliknya frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum kenaikan harga BBM 4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM frekuensi melaut nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77 ≈ 4 trip/bulan.
3. Terdapat perbedaan hasil tangkapan/bulan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum kenaikan harga BBM 15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.
4. Tidak terdapat perbedaan pendapatan/bulan nelayan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Pendapatan nelayan sebelum kenaikan harga BBM Rp 26,068,492.59/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM pendapatan nelayan menurun menjadi Rp 22,572,787.04/ bulan.
5. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM (solar) yaitu kekurangan modal karena peningkatan biaya operasional penengkapan per trip, hasil tangkapan kurang laku karena faktor harga dan tindakan kriminal oleh bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK). 6. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat
kenaikan harga BBM (solar) ini yaitu meminjam bantuan kepada kerabat, rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan lainnya; penggunaan alat penghemat BBM yaitu EGB (Electronic Gas Booster) dan pemasangan rumpon: melakukan penjualan hasil tangkapan dengan harga yang murah bagi ikan yang tidak laku dan pelaporan tindakan kriminal kepada pihak yang berwenang.
Labora Pasaribu, lahir di Medan pada tanggal 1 Nopember 1985. Anak
kedua dari empat bersaudara dari ayahanda Ir. E. Pasaribu dan Ibunda
R. Napitupulu.
Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah:
1. Tahun 1991 masuk Sekolah Dasar di SD Methodist Belawan dan tamat
tahun 1997 dari SD RK I Sibolga.
2. Tahun 1997 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Fatima
Sibolga dan tamat tahun 2000 dari SLTP Santa Maria Medan.
3. Tahun 2000 masuk Sekolah Menengah Umum di SMU Methodist 1
Medan dan tamat tahun 2003.
4. Tahun 2003 diterima di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB.
5. Bulan Juni-Juli 2007 mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa
Sempung Polling, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi.
6. Bulan September 2007 melakukan penelitian skripsi di Kelurahan Bagan
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat memulai, menjalani dan
mengakhiri masa perkuliahan serta dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) Terhadapa
Usaha Penangkapan Ikan Dengan Pukat Cincin (Studi Kasus: Kel. Bagan
Deli, Kec. Medan Belawan Kota Medan) yang merupakan salah satu syarat
untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing.
2. Ibu Ir. A. T. Hutajulu, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
3. Ibu Ir. Lily Fauzia, MSi sebagai Ketua Departemen Sosial Ekonomi
Pertanian serta seluruh Staff Pengajar, Pegawai Tata Usaha di Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara yang turut berperan dalam studi
penulis.
4. Semua instansi yang terkait dalam penelitian ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu atas bantuan dan bimbingannya.
Dengan rasa hormat yang sedalam-dalamnya penulis mengucapkan terima
kasih yang setulusnya kepada Ayahanda Ir. E. Pasaribu dan Ibunda R.
Napitupulu atas kasih sayang, doa, pengorbanan moril dan materil, dorongan dan
penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari para
pembaca.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Pebruari 2008
Identifikasi Masalah... .... 7
Tujuan Penelitian... 8
Kegunaan Penelitian... 8
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN & HIPOTESIS PENELITIAN ... 9
Tinjauan Pustaka ... 9
Landasan Teori ... 13
Kerangka Pemikiran ... 16
Hipotesis Penelitian ... 19
METODE PENELITIAN ... 20
Metode Penentuan Lokasi ... 20
Metode Penentuan Sampel ... 21
Metode Pengumpulan Data ... 21
Metode Analisis Data ... 22
Defenisi dan Batasan Operasional ... 23
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL 26 Deskripsi Daerah Penelitian ... 26
Karakteristik Sampel ... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
Perbedaan Hasil Tangkapan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar)... 34 Perbedaan Pendapatan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar) ... 36 Masalah-Masalah yang Dihadapi Nelayan Akibat Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) ... 38 Upaya-Upaya yang Dilakukan nelayan Dalam Mengatasi Masalah Akibat Kenaikan Harga BBM (Solar) ... 39
KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
Kesimpulan ... 40 Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA
No. Judul Hal
1. Produksi Perikanan Tangkap Menurut kabupaten/Kota Tahun
2005(Ton) ... 3
2. Jumlah Alat Tangkap Menurut Jenisnya di Kota MedanTahun 2005
(unit) ... 5
3. Jumlah Kapal Motor Penangkap Ikan di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2001-2005 (Unit) ... 6
4. Perkembangan Harga Solar Eceran tahun 200-2005... 11
5. Perbedaan Antara Usaha Perikanan Tangkap dengan Industri ... 12
6. Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan medan Belawan Kota MedanTahun 2005 (Unit) ... 20
7. Spesifikasi Pengumpulan Data ... 21
8. Karakteristik Nelayan Sampel... 29
9. Jumlah Unit Penangkapan Perikanan Laut Menurut Jenis Alat Tangkap Tahun 2001-2006 (Unit) ... 31
10. Lama Nelayan Melaut per Trip (hari) dan Frekuensi Melaut per Bulan (Trip) Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM... 33
11. Hasil Tangkapan per Trip dan per Bulan Sebelum dan Sesudah
Kenaikan Harga BBM (kg) ... 35
12. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga
BBM (Rp) ... 36
13. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga
No. Judul Hal
No. Judul Hal
1. Karakteristik Nelayan Sampel ... 45
2. Jumlah Lama Melaut dan Frekuensi Penangkapan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM ... 46
3. Harga Jual Hasil Tangkapan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp/kg) ... 47
4. Hasil Tangkapan Sebelum Kenaikan Harga BBM (kg) ... 48
5. Hasil Tangkapan Sesudah Kenaikan Harga BBM (kg) ... 50
6. Penerimaan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 52
7. Penerimaan Sesudah Kenaikan Harga BBM ... 55
8. Biaya Perizinan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 57
9. Biaya Perizinan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 58
10. Biaya Penyusutan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 59
11. Biaya Penyusutan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 60
12. Biaya Pemeliharaan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 61
13. Biaya Pemeliharaan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 62
14. Biaya Tetap Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 63
15. Biaya Tetap Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 64
16. Biaya Variabel Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 65
17. Biaya Variabel Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 67
18. Pendapatan Bersih per Bulan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp)... 69
21. Analisis Uji Beda Frekuensi Penangkapan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM ... 72
22. Analisis Uji Beda Hasil Tangkapan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM ... 73
Latar Belakang
Dalam konteks ekonomi Indonesia sektor pertanian mempunyai peranan
yang tidak perlu diragukan lagi, walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun secara relatif. Namun nilai
absolutnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak hanya kontribusi terhadap
PDB tetapi juga masih mampunya sektor pertanian ini dalam penyerapan tenaga
kerja. Disamping itu, sektor ini juga berperan terhadap penyediaan bahan pangan,
penganekaragaman menu makanan dan penerimaan devisa
(Soekartawi, dkk, 1993:1).
Salah satu dari subsektor yang ada dalam sektor pertanian adalah
subsektor perikanan dan Indonesia adalah negara yang mempunyai wilayah
perairan laut dan perairan darat yang sangat luas dibandingkan negara ASEAN
lainnya. Sumber daya alam ini menghasilkan ikan dan hasil-hasil laut.
Oleh karenanya, akhir-akhir ini pemerintah sangat mengintensifkan usaha
penangkapan dan budidaya ikan dalam upaya mendapatkan pemasukan devisa
yang lebih besar (Junianto, 2003:5).
Usaha perikanan bukanlah usaha yang hanya sekedar melakukan kegiatan
pemeliharaan ikan di kolam, sungai, danau atau di laut melainkan usaha yang
mencakup berbagai aspek organisme (sumber hayati) di perairan secara
keseluruhan. Semua organisme seperti ikan, kerang, sifut, rumput laut dan
organisme lain termasuk objek usaha perikanan. Objek usaha perikanan ialah
perairan (hewan dan tumbuhan) yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi kehidupan
ekonomi. Dengan demikian, usaha perikanan bertujuan untuk memanfaatkan hasil
perairan air tawar dan perikanan air laut, baik dengan cara memeliharanya
maupun dengan cara menangkap dan mengolahnya. Usaha perikanan laut meliputi
penangkapan ikan, pengambilan kerang, pengambilan mutiara dan pengambilan
rumput laut (Evy, dkk, 1997:6-10).
Penangkapan adalah kegiatan penangkapan atau mengumpulkan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air yang hidup di laut ataupun di perairan
umum secara bebas dan bukan milik perseorangan
(Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005: viii).
Dari total produksi perikanan yang ada di Indonesia, sebagian besar
dihasilkan oleh penangkapan ikan laut yang dihasilkan dari laut seluas 5,7 juta
km2 dengan potensi lestari lebih kurang 6,2 juta ton/tahun. Tingkat pemanfaatan
potensi perikanan laut tersebut baru mencapai 62% dari Maximum Sustainable
Yield (MSY). Pada tahun 2003 pemerintah berencana meningkatkan volume
penangkapan ikan laut sampai dengan 80% dari Maximum Sustainable Yield yang
lebih dikenal dengan istilah Total Allowable Catch, sehingga diperlukan upaya
untuk meningkatkan produktifitas ikan di laut serta kelestarian sumber daya ikan
di laut (Direktorat Jenderal Perikanan, 1999:78).
Untuk dapat mengetahui produksi perikanan tangkap di Sumatera Utara
pada tahun 2005 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005 (Ton)
Penangkapan di Perairan Umum NO Kabupaten/Kota Jumlah Penangkapan
di Laut Sungai Danau Rawa Waduk Sumatera Utara 338,006.1 326,336.2 4,626.8 3,791.6 3,028.7 222.8
1. Nias 5,727.5 5,707.3 3.7 - 16.5 - Sumber :Dinas Perikanan dan Kelautan Sumatera Utara, 2006
Dari tabel 1 di atas, dapat kita ketahui bahwa produksi penangkapan di laut
terbesar di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2005 terdapat di Kota Medan
dengan total produksi sebesar 66.759,3 ton/tahun.
Kota Medan yang merupakan daerah penelitian memiliki daerah operasi
penangkapan yang sering disebut dengan wilayah pesisir. Wilayah pesisir yang
dimaksud meliputi tiga kecamatan yakni: Kecamatan Medan Marelan, Medan
Labuhan dan Medan Belawan dari 21 kecamatan yang ada
(Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2005:4).
Alat penangkapan dengan cara pengoperasian yang tepat merupakan salah
satu faktor yang sangat menentukan produksi perikanan, khususnya subsektor
perikanan penangkapan ikan di laut. Beberapa alat yang dipergunakan dalam
penangkapan tradisional yang sudah lama dikenal para nelayan dan alat
penangkapan baru (Departemen Pertanian, 1988:15).
Adapun klasifikasi alat penangkap ikan yang digunakan nelayan sebagai
berikut:
a. Pukat kantong (seine nets) terdiri dari pukat pantai dan dogol adalah jaring
yang memiliki kantong dan dua buah sayap (wing). Cara pengoperasiannya
dengan menarik pukat tersebut ke arah kapal yang berhenti atau ke darat
melalui kedua sayapnya.
b. Pukat cincin (purse seine) terdiri dari jaring yang umumnya berbentuk empat
persegi yang dilengkapi dengan pemberat (sinker) dan pelampung (floating)
yang digunakan untuk menghela/menangkap gerombolan ikan kemudian
bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali melalui cincin. Cara
penangkapan dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengumpul
ikan (rumpon/rabo/tuasan).
c. Jaring insang (gill nets) terdiri dari jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring
klitik, jaring insang tetap dan tramel net. Jaring insang adalah jaring yang
berbentuk empat persegi panjang dengan pemberat pada tali ris bawah dan
pelampung pada tali ris atas.
d. Pancing (hook and line) terdiri dari pancing (rawai tetap) dan rawai hanyut
adalah alat penangkapan yang terdiri dari tali dan mata pancing. Pada
umumnya pada mata pancing dipasang umpan, baik umpan buatan (artifical
bait) ataupun umpan asli (alami) yang berguna untuk menarik perhatian ikan
e. Alat penangkapan kerang (shellfish) yang dewasa ini sudah dikembangkan dan
dimodifikasi nelayan setempat.
f. Perangkap (trap) terdiri dari jermal dan bubu adalah alat tangkap ikan yang
dipasang secara menetap di dalam air dengan jangka waktu tertentu dan
terbuat dari berbagai bahan seperti jaring bambu, metal dan lain-lain.
g. Jaring angkat terdiri dari bagan tancap dan serok adalah jaring yang berbentuk
empat persegi, jaring dibentangkan di dalam air secara horizontal dengan
menggunakan batang-batang bambu/kayu sebagai rangkanya.
(Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2001:16-17).
Tabel 2. Jumlah Alat Tangkap Menurut Jenisnya di Kota Medan Tahun 2005 (Unit)
Kecamatan NO Jenis Alat Tangkap
Medan Belawan Medan Marelan Medan Labuhan
Jumlah
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2006
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nelayan yang memakai pukat cincin
hanya terdapat di Kecamatan Medan Belawan sedangkan di dua kecamatan lagi
tidak ditemukan dan nelayan di Kecamatan Medan Belawan lebih beragam alat
tangkap yang digunakan. Jumlah pukat cincin tersebut yakni 198 unit. Oleh
karena itulah Kecamatan Medan Belawan dipilih sebagai studi kasus dari
Dalam menggunakan alat tangkap tersebut biasanya nelayan sekarang ini
harus didukung dengan sarana kapal motor. Kapal motor adalah kapal yang
digerakkan oleh tenaga motor di mana motor tersebut menempel baik pada badan
kapal (out-board) ataupun berada di dalam kapal (in-board). Umumnya
penangkapan skala sedang/besar seperti usaha penangkapan dengan alat tangkap
pukat cincin (purse seine). Klasifikasi kapal motor didasarkan atas tonnagenya
(GT) untuk Daerah Sumatera Utara dibagi atas 7 kategori yaitu:
< 5 GT
5-10 GT
10-20 GT
20-30 GT
30-50 GT
50-100 GT
100-200 GT
(Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2002: 10).
Tabel 3. Jumlah Kapal Motor Penangkap Ikan Laut di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2001-2005 (Unit)
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1,205 1,213 1,252 1,255 1,247
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2006
Dari tabel dapat kita ketahui bahwa jumlah kapal di Kecamatan Medan
Belawan pada tahun 2005 berkurang sebanyak 8 unit.
Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang
melatarbelakangi penelitian ini adalah nelayan yang ada di Kota Medan tepatnya
Utara ingin membantu pemerintah dalam mewujudkan program peningkatan
potensi perikanan di laut. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya nelayan
yang menggunakan alat tangkap canggih seperti pukat cincin dan menggunakan
kapal motor. Di mana dengan fasilitas di atas maka nelayan dapat menjangkau
perairan lebih luas sehingga dapat memberikan hasil yang lebih besar lagi. Namun
di lain pihak, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM
yang merupakan kebutuhan pokok dalam operasi penangkapan ikan di laut.
Keadaan inilah yang semakin memberatkan nelayan dalam melakukan kegiatan
penangkapan tersebut.
Identifikasi Masalah
1. Bagaimana dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penggunaan jumlah
kapal pukat cincin?
2. Apakah ada perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi melaut yang
dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan BBM (solar)?
3. Apakah ada perbedaan hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum dan
sesudah kenaikan BBM (solar)?
4. Apakah ada perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum dan
sesudah kenaikan BBM (solar)?
5. Apa saja masalah yang dihadapi nelayan akibat kenaikan harga BBM (solar)?
6. Apa saja upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penggunaan
jumlah kapal pukat cincin.
2. Untuk mengetahui perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi melaut yang
dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).
3. Untuk mengetahui perbedaan hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum
dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).
4. Untuk mengetahui perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum dan
sesudah kenaikan harga BBM (solar).
5. Untuk mengetahui apa saja masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak
kenaikan harga BBM (solar).
6. Untuk mengetahui apa saja upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi
masalah akibat kenaikan harga BBM (solar) ini.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan dalam menetapkan
harga BBM (solar) terhadap usaha perikanan khususnya penangkapan.
2. Sebagai gambaran dan bahan informasi bagi para pelaku usaha penangkapan
ikan dalam mengelola usahanya pasca kenaikan harga BBM (solar).
Tinjauan Pustaka
Pukat cincin/Pukat Langgar/Purse Seine berdasarkan klasifikasi alat
penangkap ikan dalam Internasional Standard Statistic Classification of Fishing
Gear (ISSCFG) alat ini dimasukkan ke dalam kategori Surrounding Nets (jaring
lingkar). Sasaran utama dari alat ini adalah jenis ikan pelagis yang bergerombol
dan juga ikan yang mempunyai sifat tertarik terhadap atraktor (rumpon, cahaya
lampu) seperti ikan gembung, layang, lemuru dan lain-lain
(Dinas Perikanan, 1997: 17).
Belakangan ini kapal pukat cincin semakin banyak digunakan para nelayan
diduga didasarkan atas beberapa alasan diantaranya:
1. Dengan kapal pukat cincin dianggap lebih santai dan menyenangkan karena
jumlah orangnya lebih banyak. Hal ini penting mengingat pekerjaan nelayan
di waktu malam yang sepi dan di tengah lautan yang demikian luas.
2. Dengan kapal pukat cincin dapat lebih menghemat tenaga karena mereka tidak
perlu mendayung seperti nelayan tradisional. Sebelum melakukan
penangkapan di laut selama perjalanan waktu yang ada dapat disempatkan
untuk tidur atau becanda gurau.
3. Tidak seperti pada perahu-perahu kecil, jaring-jaring yang digunakan jauh
lebih kuat keadaannya sehingga tidak memerlukan perawatan secara
Walupun kapal pukat cincin memberi kemudahan kepada nelayan tetapi dengan
naiknya harga BBM (solar) maka timbul masalah baru lagi bagi nelayan
(Mubyarto, dkk, 1984:45).
Bahan bakar adalah bahan-bahan yang dipakai untuk proses pembakaran.
Dalam hubungannya dengan motor bakar (Internal Combustion Engine) yang
umum terutama yang dipakai pada peralatan-peralatan yang kita kenal bensin
untuk motor otto dan solar untuk motor diesel. Solar atau diesel full adalah bahan
bakar untuk motor diesel, di mana pembakaran terjadi bukan penyalaan
busi tetapi terjadi karena tekanan kompressi yang tinggi
(Warsowiwoho dan Gandhi , 1984: 4-5).
Sejauh ini kontribusi BBM (solar) sudah mencapai rata-rata 40% dalam
struktur biaya operasi penangkapan ikan, sementara waktu kegiatan perikanan
budidaya porsi biaya BBM memang relatif kecil
(http:// www.dkp.go.id/content.php?c=1935).
Sebagaimana diketahui BBM mengalami kenaikan harga untuk
mengurangi subsidi yang selama ini diberikan pemerintah. Adapun beberapa
alasan masyarakat setuju terhadap pengurangan subsidi BBM yaitu:
1. Pengurangan subsidi BBM tersebut dilaksanakan secara bertahap.
2. Kompensasi pengurangan subsidi BBM itu agar disalurkan kepada yang
berhak yaitu rakyat miskin.
3. Pengurangan subsidi yang bertahap tersebut harus dapat melindungi rakyat
jangan sampai kenaikan harga BBM itu mengakibatkan rakyat semakin sulit
4. Menaikkan harga BBM agar dapat menciptakan iklim yang kondusif dalam
rangka diversifikasi energi.
5. Menaikkan harga BBM juga dimaksudkan untuk efisiensi energi.
(Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2000: 12).
Adapun peningkatan harga yang terjadi di Indonesia mulai dari tahun
2000-2005 dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Harga Solar Eceran Tahun 2000-2005
NO Tanggal Harga (Rp/liter)
1. 1 Oktober 2000 600
Sumber: UPMS I Pertamina Medan, 2005
Dari tabel dapat kita lihat bahwa pada tahun 2005 terjadi kenaikan harga solar
sebanyak dua kali dalam setahun, di mana kenaikannya lebih dari 100% yakni dari
Rp 2.100/liter menjadi Rp 4.300/liter.
Dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini yaitu periode 2000-2005, maka tahun
2005 inilah yang benar-benar dirasakan teramat sangat berat permasalahan yang
harus ditanggung oleh para nelayan. Hal ini dikarenakan kenaikan harga BBM
khususnya solar yang merupakan ’nyawa’ dalam menggerakkan usaha perikanan
tangkap. Kenaikan harga BBM solar yang sangat dratis yaitu 1 Maret 2005
menjadi Rp 2.100,-/liter, kemudian 1 Oktober 2005 menjadi Rp 4.300,-/liter.
Kenaikan harga yang pertama saja sudah menyebabkan nelayan mengalami beban
tambahan sebesar 11,2% .
Sejak harga BBM Rp 4.300,-/liter kesulitan yang dihadapi nelayan
semakin berat karena nelayan yang menggunakan kapal di atas 30 GT dikenakan
harga solar menjadi Rp 6.000,-/liter sama dengan harga solar untuk industri. Hal
ini sesuai dengan keputusan pemerintah terhitung 11 Oktober 2005. Padahal
menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, kegiatan penangkapan ikan
tidak dikategorikan sebagai industri (Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion
Belawan/ AP2GB, 2005: 1-4).
Tabel 5. Perbedaan Antara Usaha Perikanan Tangkap dengan Industri
NO Usaha Penangkapan Ikan Industri
1. Sifatnya berburu ada unsur spekulatif.
Rencana operasi dapat dipastikan.
2. Jumlah dan jenis ikan yang ditangkap tidak dapat ditentukan
Jenis dan besaran produksi dapat ditetapkan.
3. Harga pokok satuan ikan tidak dapat ditetapkan sebelumnya sebab tergantung hasil tangkapan, sebaliknya biaya operasional kapal sudah tetap.
Harga pokok satuan hasil industri dapat dihitung sesuai dengan jenios, kualitas, jumlah dan proses produksi.
4. Harga jual satuan ikan tidak dapat ditetapkan tergantung pada mekanisme pasar.
Harga jual satuan produksi dapt ditentukan sesuai dengan perkembangan pasar.
5. Biaya operasional penangkapan ikan dipikul bersama antara pemilik kapal dengan nelayan ABK.
Biaya produksi dipikul oleh pemilik usaha.
6. Hasil bersih penjualan ikan dibagi kepada pemilik kapal 70% dan nelayan ABK 30%.
Hasil penjualan adalah hak pemilik usaha. Karyawan digaji oleh perusahaan dengan sistem yang digunakan.
Namun hal ini tidak berlangsung lama karena nelayan menuntut ke pemerintah
sesuai dengan undang-undang di atas yang secara rinci menerangkan perbedaan
antara usaha penangkapan dengan industri.
Landasan Teori
Penangkapan adalah kegiatan penangkapan atau mengumpulkan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air yang hidup di laut ataupun di perairan
umum secara bebas dan bukan milik perseorangan
(Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005: viii).
Risiko dan ketidakpastian dalam agribisnis perikanan terletak pada aspek
produktivitas dan harga. Risiko produksi pertanian adalah yang paling besar
dalam konteks produk-produk pertanian, karena sebagian besar produksi berasal
dari perairan umum yang tunduk pada kaidah general proverty rights di mana
yang menguasai akses akan menguasai produksi yang relatif besar. Disamping itu
aspek iklim dan lingkungan yang sering tidak menentu akan menambah semakin
tingginya risiko (Soekartawi, 1996: 136-137).
Dalam melakukan operasi penangkapan nelayan tidak dapat menentukan
berapa lama ia melaut. Hal ini mengakibatkan frekuensi melautnya pun tidak
dapat dipastikan berapa kali dalam kurun waktu tertentu baik bulanan maupun
tahunan. Hal ini dilatarbelakangi karena penangkapan tersebut sifatnya berburu
(hasilnya tidak dapat dipastikan). Selain itu dalam melakukan operasi
penangkapan kekuatan mesin juga menjadi salah satu faktor dalam menentukan
100-180 GT dapat melaut sampai 2-3 minggu. Namun untuk kapal purse seine yang
berukuran <30 GT lamanya melaut 4-5 hari saja.
Pada umumnya ikan-ikan yang tertangkap dengan pukat cincin adalah
jenis ikan pelagis yang bergerombol seperti: kembung (Rostrellinger neglectus),
layang (Decapterus russelli), tembang (Sardinella fimbriata), selar kuning
(Selaroides eptolepis), lemuru (Sardinella longiceps), tongkol (Auxis thazard) dan
cakalang (Ratsuwonus pelamis) (Karimuddin, dkk, 1983: 27-28).
Sejak lama dikenal dua bentuk skala usaha, yaitu skala usaha kecil dan
besar. Usaha kecil umumnya terdiri dari petani-petani yang dicirikan oleh
lemahnya modal, terbelakang dari segi teknologi, susah berkembang namun
menunjukkan stabilitas tinggi dan dalam jumlah yang relatif besar. Sebaliknya
usaha besar dengan manajemen, teknologi dan permodalan yang cukup maka
mampu berkembang maju namun sering mudah tergoncang oleh perubahan situasi
ekonomi dunia (Soekartawi 1996: 136-137).
Dalam melakukan penangkapan nelayan harus mengeluarkan sejumlah
biaya. Jika ditinjau dari sifat biaya, maka biaya dapat dikategorikan ke dalam:
1. Biaya tetap yaitu biaya yang sampai batas tertentu tidak berubah. Biaya ini
tidak dipengaruhi oleh kesibukan perusahaan sampai pada tingkat tertentu
saja. Perusahaan itu mengalami kesibukan yang tidak konstan sepanjang
waktu. Ada atau tidak ada kesibukan perusahaan, biaya ini harus
diperhitungkan.
2. Biaya variabel yaitu biaya yang berubah-ubah mengikuti kesibukan
perusahaan. Biaya ini akan menjadi nol bila tidak ada kesibukan perusahaan.
jika tidak ada aktivitas tidak ada biaya.
(Wasis, 1986:54).
Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual dirumuskan dengan:
TR=Y.Py
Keterangan:
TR= Total penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam usaha
Py = Harga produk Y
Sedangkan total biaya merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya
tidak tetap dirumuskan sebagai berikut:
TC=FC+VC
Keterangan:
TC= Total biaya
FC= Total biaya tetap
VC= Total biaya tidak tetap
Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya
dirumuskan sebagai berikut:
KU= TR-TC
Keterangan:
KU= Keuntungan usaha
TR= Total penerimaan
TC= Total biaya
Analisis perbedaan merupakan prosedur statistik untuk menguji perbedaan di
antara dua kelompok data (variabel) atau lebih. Analisis perbedaan atau uji beda
sering bergantung pada jenis data (nominal, ordinal, interval dan rasio) dan
kelompok sampel yang diuji. Jenis teknis statistik yang digunakan untuk menguji
hipotesis perbedaan harus sesuai dengan jenis data atau variabel berdasarkan skala
pengukuran (Hasan, 2002: 124).
Kerangka Pemikiran
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan operasi
penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Dalam penelitian ini nelayan
yang melakukan operasi penangkapan ikan di laut dibatasi yaitu yang hanya
menggunakan kapal motor dengan pukat cincin saja.
Dalam melakukan operasi penangkapan di laut nelayan sangat perlu
memperhatikan berapa lama ia melaut dan jumlah trip penangkapan yang
dilakukannya dalam kurun waktu tertentu (apakah sebulan, triwulan atau setahun).
Di mana kedua hal di atas sangat erat kaitannya dengan hasil tangkapan yang
diperolehnya dalam kurun waktu tertentu.
Hasil tangkapan dijual sesuai dengan harga pasar yang berlaku, ada yang
melalui TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan ada pula yang langsung menjualnya ke
pedagang besar. Dari hasil penjualan maka nelayan akan menerima sejumlah
penerimaan.
Selama melakukan operasi penangkapan ikan di laut nelayan harus
mengeluarkan sejumlah biaya operasional. Biaya ini terbagi atas biaya tetap dan
kapal, mesin, alat tangkap dan alat bantu; biaya penyusutan. Sementara biaya
variabel itu sendiri antara lain: pemakaian oli, solar, minyak tanah, es, bekal
melaut, retribusi pelelangan, bagi hasil. Untuk mendapatkan pendapatan bersih
maka seluruh penerimaan harus dikurangi dengan seluruh total biaya yang
dikeluarkan selama operasi penangkapan.
Akibat kenaikan BBM (solar) sangatlah mempengaruhi operasi
penangkapan ikan di laut karena timbulnya masalah-masalah baru lagi bagi
nelayan seperti susahnya untuk mendapatkan solar, peningkatan harga sarana
lainnya seperti es, lauk-pauk, tutupnya beberapa pabrik es dan sebagainya. Untuk
itu nelayan melakukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada skema kerangka pemikiran
Dampak Kenaikan Harga kapal: alat tangkap: alat bantu, biaya penyusutan
Gbr 1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: hubungan langsung
Hipotesis Penelitian
1. Ada dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penurunan jumlah
kapal pukat cincin.
2. Ada perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi melaut yang dilakukan
nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).
3. Ada perbedaan hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum dan
sesudah kenaikan harga BBM (solar).
4. Ada perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah
kenaikan harga BBM (solar).
5. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM
(solar).
6. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat
Metode Penentuan Lokasi
Untuk mencapai tujuan yang telah dikemukakan di atas maka dilakukanlah
penelitian di daerah penelitian yang ditentukan secara purposive sampling yaitu
pemilihan sampel berdasarkan tujuan yang ingin dicapai
(Singarimbun dan Efendi, 1995:169) yaitu Kelurahan Bagan Deli Kecamatan
Medan Belawan Kota Medan. Daerah ini dipilih karena menurut data yang
didapat Kelurahan Bagan Deli merupakan daerah paling banyak memiliki alat
tangkap pukat cincin yakni 188 unit dibandingkan Kelurahan Belawan I. Berikut
ini tabel alat tangkap yang ada di setiap kelurahan di Kecamatan Medan Belawan
pada tahun 2005.
Tabel 6. Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Medan Belawan Kota Medan Tahun 2005 (Unit)
Kelurahan NO Jenis Alat
Tangkap
Belawan I Belawan Sicanang
Metode Penentuan Sampel
Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah metode simple
random sampling dikarenakan sampel penelitian bersifat homogen yakni nelayan
yang hanya menggunakan kapal pukat cincin. Dalam penelitian ini yang dijadikan
sampel yakni 30 kapal pukat cincin dari 188 kapal pukat cincin (populasi). Hal ini
berdasarkan pertimbangan waktu, biaya, tenaga dan 30 sampel merupakan sampel
kecil di mana pengujian hipotesisnya menggunakan distribusi t sebagai uji
statistik (Hasan, 2002:38).
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 7. Spesifikasi Pengumpulan Data
NO Jenis Data Sumber Metode Alat Pengumpul Data 1. Identitas Nelayan Responden Wawancara Kuesioner 2. Jumlah nelayan
Metode Analisis Data
Hipotesis 1 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif yaitu
melalui pendataan jumlah kapal pukat cincin yang masih beroperasi sebelum dan
sesudah kenaikan harga BBM(solar).
Hipotesis 2, 3 dan 4 dianalisis dengan menggunakan metode uji beda yang
menggunakan rumus t-hitung sebagai berikut :
Dengan formulasi H0 dan H1 :
Ho : 1 = 2 ; H1 : 1 ≠ 2
X1 – X2
th = (n1 – 1)S22 + (n2 – 1)S12 1 + 1 n1 + n2 – 2 n1 n2
Keterangan:
X1 = rata-rata variabel 1 (sebelum kenaikan BBM)
X2 = rata-rata variabel 2 (sesudah kenaikan BBM)
S 1 = simpangan baku variabel 1
S2 = simpangan baku variabel 2
n1 = jumlah sampel variabel 1
n2 = jumlah sampel variabel 2
Kriteria uji:
-ttabel ≤ thit ≤ ttabel H0 diterima, H1 ditolak
Hipotesis 5 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dengan
mengamati masalah-masalah apa saja yang dialami nelayan dalam melakukan
aktifitas penangkapan ikan setelah kenaikan harga BBM (solar).
Hipotesis 6 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif
menanyakan apa saja upaya yang dilakukan nelayan dalam menghadapi kenaikan
harga BBM (solar) ini.
Defenisi
1. Nelayan adalah pemilik kapal pukat cincin yang sering juga disebut nelayan
toke/nelayan besar, yang mana ia dapat secara langsung ikut dalam operasi
penangkapan tersebut ataupun tidak langsung terlibat.
2. Lama melaut adalah tempo waktu yang dihabiskan nelayan dalam melakukan
penangkapan (mulai dari berangkat ke laut sampai pulang ke daratan) yang
dinyatakan dalam satuan hari.
3. Jumlah trip penangkapan adalah banyaknya operasi penangkapan yang dapat
dilakukan nelayan dengan kapal pukat cincin selam setahun.
4. Pukat cincin/purse seine adalah jaring yang umumnya berbentuk empat
persegi yang dlengkapi dengan pemberat (sinker) dan pelampung (floating)
yang digunakan untuk menghela/menangkap gerombolan ikan kemudian
bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali melalui cincin. Cara
penangkapan dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengumpul
ikan (rumpon/rabo/tuasan).
5. Hasil tangkapan adalah jumlah ikan yang berhasil ditangkap nelayan per
6. Penerimaan adalah hasil tangkapan yang dijual dikali dengan harga jual pada
saat penelitian (Rp/trip).
7. Pendapatan bersih adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya
(Rp/trip).
8. Biaya operasional adalah semua korbanan atau pengeluaran yang dikeluarkan
selama melakukan penangkapan.
9. Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh kesibukan perusahaan
yang jumlahnya tidak berubah sampai batas waktu tertentu (Rp).
10. Biaya variabel adalah biaya yang dapat berubah-ubah mengikuti kesibukan
perusahaan (Rp).
11. Sistem bagi hasil adalah suatu sistem penggajian yang dilakukan seorang
pemiliki kapal terhadap Anak Buah Kapal (ABK). Di mana gaji/upah yang
diterima ABK tidak tetap tergantung hasil tangkapan yang didapat.
12. Masalah adalah persoalan baru yang dihadapi nelayan setelah kenaikan BBM
yang menjadi penghambat dalam melakukan operasi penangkapan.
13. Upaya adalah usaha atau cara yang dilakukan nelayan dalam mengatasi
masalah tersebut.
Batasan Operasional
1. Sampel dalam penelitian adalah nelayan kapal pukat cincin yang beroperasi di
Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Kelurahan Bagan Deli Kecamatan
Medan Belawan Kota Medan.
3. Sebelum kenaikan BBM (solar) yaitu bulan September 2005 sedangkan
sesudah kenaikan BBM (solar) yaitu bulan September 2006.
Deskripsi Daerah Penelitian
Gambaran Umum, Letak Topografi dan Iklim
Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB) merupakan salah satu
dari lima pelabuhan yang terdapat di Indonesia yang berada di bawah naungan
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Pelabuhan Perikanan Samudera lainnya terdapat di Padang,
Cilacap, Jakarta dan Kendari. Perum Prasarana Perikanan Samudera adalah badan
yang bertanggung jawab terhadap pelabuhan perikanan ini sesuai dengan
PP No. 23 tahun 2000. PPSB ini berada di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan
Medan Belawan Kota Medan dengan luas 54,95 Ha dan dipimpin oleh
Bapak Haryomo, A. Pi, SE.
Kelurahan Bagan Deli mempunyai topografi pantai dengan ketinggian 1 m
dpl. Keadaan suhu rata-rata 24-32º C dan curah hujan rata-rata 2000mm/tahun.
Batas-batas Kelurahan Bagan Deli adalah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Belawan I
Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Deli
Sebelah barat berbatasan dengan Kel. Belawan II dan Kel. Belawan Bahari
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka
Kelurahan Bagan Deli berjarak 3 km dari ibukota Kecamatan Medan
Belawan dan 26 km dari pusat Kota Medan. PPSB beralamat di Jln. Gabion
Belawan yang dibangun pada tahun 1978. Letak geografis PPSB berada di
Tujuan PPSB
Perusahaan Umum (PERUM) Prasarana Perikanan Samudera adalah
BUMN sebagaiman diatur dalam UU No. 9 tahun 1969. Bidang usahanya berada
dalam lingkup tugas dan kewenangan menteri. Seluruh modalnya dimiliki negara
berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.
Pelabuhan Perikanan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat nelayan melalui penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana
pelabuhan perikanan, mengembangkan wiraswasta perikanan serta untuk
memasang dan/atau mendorong usaha industri perikanan dan pemasaran hasil
perikanan, memperkenalkan dan mengembangkan teknologi hasil perikanan.
Sarana dan Prasarana
Fasilitas yang terdapat di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan terdiri
dari :
- Fasilitas pokok, yaaitu fasilitas yang utama di Pelabuhan Perikanan yang
menjadikan lokasi sebagai pelabuhan perikanan.
- Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk menjalankan
kegiatan operasional Pelabuhan Perikanan seperti bongkar muat, operasi
kapal-kapal nelayan, penanganan hasil tangkapan.
- Fasilitas penunjang, yaitu fasilitas yang mendukung kegiatan operasional
Pelabuhan Perikanan.
Bagian dari fasilitas pokok adalah sebagai berikut:
- Dermaga dengan panjang 153 m, lebar 7 m, jenis kontruksinya beton.
- Alur pelayaran dengan panjang 4000 m, lebar 100m dan kedalaman
- Kolam pelabuhan dengan luas 75.000 m2, lebar 200 m dan kedalaman 4 m.
- Jalan pelabuhan sepanjang 500m, lebar 10m dan beban gandar jalan
hingga 50 ton.
Bagian dari fasilitas fungsional adalah sebagai berikut:
- TPI seluas 800 m2 dengan konstruksi baja.
- Navigasi pelayaran dan komunikasi, yaitu rambu pelayaran sebanyak 2
unit, lampu suar 2 unit, 4 line telepon serta pemancar radio.
- Layanan listrik dilengkapi dengan mesin genset dengan daya listrik total
30 kVA.
- Layanana bahan bakar yang mampu melayani permintaan solar hingga
5000 liter per hari.
- Instalasi pengolahan limbah cair seluas 80 m2 dengan kapasitas 200
ton/hari dan tempat pembuangan sampah 200 m2.
Bagian dari fasilitas penunjang adalah Balai Pertemuan Nelayan seluas
200 m2 dengan konstruksi batu bata dan pagar kawat pembatas sepanjang 400 m
dengan tinggi 2 m.
Daerah operasi kapal ikan yang dilayani adalah wilayah laut teritorial dan
ZEE dan perairan internasional. Kapasitas PPSB dapat menampung kapal
mencapai > 6000 GT (dengan 100 kapal 60 GT) dengan panjang dermaga > 300
m dan kedalaman 3 m. Volume ikan tangkapan yang didaratkan di sini rata-rata
Karakteristik Nelayan Sampel
Karakteristik nelayan sampel dalam penelitian ini dapat digambarkan oleh
ukuran kapal, pendidikan jumlah tanggungan dan pengalaman berusaha
perikanan. Karakteristik nelayan ini dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Karakteristik Nelayan Sampel
Keterangan
5. Pengalaman berusaha perikanan
tahun 29 5 12.03
Sumber: Data diolah dari lampiran 1, 2007
Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata ukuran kapal yang digunakan
nelayan sampel di daerah penelitian adalah 37.67≈38 GT. Hal ini menunjukkan
bahwa nelayan sampel sudah menggunakan kapal berukuran besar karena sudah
>30 GT.
Umur rata-rata nelayan sampel di daerah penelitian 46.43≈46 tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa secara umum nelayan sampel di daerah penelitian
tergolong usia produktif sehingga dapat dikatakan bahwa di daerah penelitian
memiliki tenaga kerja yang sangat potensial dalam mengelola usaha penangkapan.
Pendidikan rata-rata nelayan sampel di daerah penelitian sudah baik yaitu
12.53≈13 tahun atau setingkat dengan SMU. Hal ini dapat menunjang dalam
berukuran besar dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang lebih banyak
dibutuhkan manajemen yang lebih baik.
Jumlah tanggungan rata-rata nelayan sampel sebanyak 2.3≈2 jiwa. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah tanggungan nelayan sampel tergolong rendah dan
nelayan sudah dapat menerapkan program pemerintah yaitu Keluarga Berencana
(KB).
Pengalaman nelayan sampel dalam berusaha perikanan umumnya cukup
lama rata-rata 12 tahun. Nelayan dengan pengalaman >10 tahun ini sangat
berpengaruh pada keahlian dan pengetahuannya dalam melakukan operasi
penangkapan . Sehingga jika suatu saat timbul masalah nelayan tidak cepat putus
Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) Terhadap Penurunan Jumlah Kapal Pukat Cincin di PPSB
Untuk dapat mengetahui dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap
penurunan jumlah kapal pukat cincin yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan
Belawan (PPSB) Kelurahan Bagan Deli dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 9. Jumlah Unit Penangkapan Perikanan Laut Menurut Jenis Alat Tangkap Tahun 2001-2006 (Unit)
TAHUN No. Jenis Alat
Tangkap 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Pukat Ikan
Sumber: Statistik PPSB, 2006
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan jumlah kapal
pada tahun 2006 mengalami penurunan sebanyak 61 unit yakni dari 533 unit
menjadi 472 unit. Hal ini dapat terjadi salah satunya akibat dampak kenaikan
harga BBM (solar) yang amat memberatkan nelayan dalam melakukan kegiatan
penangkapan di laut. Di mana sebagian besar biaya operasional penangkapan ikan
ke laut tercurah untuk pemakaian solar sebagai bahan bakar kapal.
Dari tabel dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 terjadi penurunan jumlah
jumlah alat tangkap pukat cincin dan pukat ikan mengalami peningkatan. Khusus
untuk pukat cincin yang menjadi sasaran penelitian, pada tahun 2006 terjadi
kenaikan jumlah kapal pukat cincin sebesar 43 unit dari 188 unit pada tahun 2005
menjadi 231 unit pada tahun 2006.
Keadaan seperti ini dapat terjadi erat hubungannya dengan skala usaha.
Dari hasil wawancara terhadap sampel dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya
penurunan jumlah kapal lampara dasar, jaring insang dan pancing disebabkan oleh
jumlah hasil tangkapan belum mampu menutupi biaya operasional penangkapan
sehingga sering sekali nelayan mengalami kerugian. Walaupun sebenarnya kapal
dengan alat tangkap ini (lampara dasar, jaring insang dan pancing) tidak banyak
membutuhkan solar seperti halnya kapal pukat cincin namun pada kenyataannya
jumlah kapal pukat cincin mengalami peningkatan sebesar 22.87%. Hal ini dapat
terjadi karena skala hasil tangkapan kapal pukat cincin lebih besar bila
dibandingkan kapal lampara dasar, jaring insang dan pancing sehingga masih
dapat menutupi biaya operasional penangkapan tersebut. Dengan demikian
hipotesis yang menyatakan ada dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap
penurunan jumlah kapal pukat cincin ditolak karena pada kenyataannnya terjadi
peningkatan kapal pukat cincin.
Perbedaan Lama Nelayan Melaut dan Frekuensi Melaut yang Dilakukan Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar).
Untuk menguji perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi
penangkapan yang dilakukan nelayan selama sebulan sebelum dan sesudah
melaut per trip dan frekuensi melaut per bulan sebelum dan sesudah kenaikan
BBM dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 10. Lama Nelayan Melaut per Trip (hari) dan Frekuensi Melaut per Bulan (trip) Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM
No. Uraian
Melaut/Trip 5.90 7.27
Ho ditolak,
Sumber: Data diolah dari lampiran 2,20 dan 21, 2007
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa lama melaut yang dilakukan nelayan
per tripnya 5.9 ≈ 6 hari sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga
BBM nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7.27 ≈ 7 hari per
tripnya.
Berdasarkan analisis uji beda rata-rata lama melaut yang dilakukan
nelayan diperoleh bahwa t-hitung=-11.195 dengan demikian berarti t-hitung lebih
kecil daripada -t-tabel=-2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho ditolak
dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat perbedaan nyata
antara lama melaut yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga
BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin lama melaut per
tripnya dibandingkan sebelum kenaikan harga BBM. Hal ini dilakukan nelayan
untuk menghemat biaya perjalanan pulang perginya nelayan melaut dan dengan
menambah lama melaut diharapkan dapat membawa hasil tangkapan yang lebih
Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa frekuensi melaut yang dilakukan nelayan
sebelum kenaikan harga BBM 4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM
frekuensi melaut nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77≈4 trip/bulan.
Berdasarkan analisis uji beda rata-rata frekuensi penangkapan ikan yang
dilakukan nelayan diperoleh bahwa hitung=9.898. Dengan demikian berarti
t-hitung lebih besar daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah
Ho ditolak dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat
perbedaan nyata antara frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan sebelum
dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM
frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan semakin rendah. Hal ini terjadi
karena frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan selama sebulan erat
kaitanya dengan semakin lamanya waktu melaut yang dilakukan nelayan tiap
tripnya. Di mana, semakin lama nelayan melaut per tripnya maka semakin rendah
frekuensi melaut yang dilakukan nelayan setiap bulannya.
Perbedaan Hasil Tangkapan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar).
Untuk menguji perbedaan rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh nelayan
digunakan analisis t-hitung. Analisis rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh
Tabel 11. Hasil Tangkapan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan
Tangkapan/bln 15,667.50 13,536.67
Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=5.205
t-tabel=2.045
Sumber:Data diolah dari lampiran 4b,4b,5a,5b dan ,22 , 2007
Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan yang didapat nelayan
sebelum kenaikan harga BBM 15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga
BBM hasil tangkapan mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.
Berdasarkan analisis uji beda rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh
nelayan per bulan diperoleh bahwa hitung=5.205. Dengan demikian berarti
t-hitung lebih besar daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah
Ho ditolak dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat
perbedaan nyata antara hasil tangkapan per bulan yang diperoleh nelayan sebelum
dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM hasil
tangkapan yang diperoleh nelayan menjadi turun dibandingkan hasil tangkapan
sebelum kenaikan harga BBM.
Hal ini dapat terjadi karena walaupun sesudah kenaikan harga BBM
nelayan sudah menambah lama melautnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan
tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Padahal, seharusnya hasil
tangkapan yang diperoleh nelayan semakin meningkat namun pada kenyataannya
hal ini tidak terjadi. Menurut hasil wawancara terhadap sampel hal ini dapat
penangkapannya dari sebelumnya. Padahal, semakin jauh zona penangkapannya
semakin banyak ikan yang bisa ditangkap.
Selain itu penyebab lainnya yaitu karena dalam usaha penangkapan penuh
dengan risiko dan ketidakpastian. Risiko produksi yang terberat yaitu karena hasil
tangkapan berasal dari perairan umum harus tunduk dengan general proverty
rights sehingga setiap orang Indonesia berhak atas laut tersebut sehingga timbul
persaingan antar sesama nelayan. Apalagi sesudah kenaikan harga BBM jumlah
kapal pukat cincin semakin bertambah banyak. Disamping itu dipengaruhi juga
oleh iklim dan lingkungan, di mana waktu penelitian yaitu bulan September
merupakan musim pancaroba yang mengakibatkan hasil yang didapat tidak
maksimum.
Perbedaan Pendapatan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar)
Pendapatan yang diperoleh nelayan merupakan selisih dari penerimaan
dan seluruh biaya yang dibutuhkan selama melakukan operasi penangkapan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 12. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM
No. Keterangan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp)
Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp)
1. Penerimaan 108,674,167.67 121,021,666.67
2. Biaya
Biaya Tetap: 3,118,240.74 3,473,796.30 Biaya Perizinan 423,333.33 423,333.33 Biaya Penyusutan 983,796.30 983,796.30 Biaya Pemeliharaan 1,711,111.11 2,066,666.67 Biaya Variabel: 79,487,433.33 99,530,083.33
Oli 668,533.33 747,055.56
Solar 29,785,000.00 49,939,722.22
Es 6,716,000.00 7,332,444.44 Bekal Melaut 4,770,200.00 5,828,916.67 Retribusi Pelelamgan 4,697,750.00 5,414,666.67 Bagi Hasil 32,602,250.00 30,255,416.67
Total 82,605,674.07 103,003,879.63
3. Pendapatan 26,068,492.59 22,572,787.04
Sumber: Data diolah dari lampiran 14,15,16,17,18,19 dan 23, 2007
Dari tabel dapat dilihat bahwa sesudah kenaikan harga BBM, penerimaan
sesudah kenaikan harga BBM meningkat dan sebaliknya pendapatan menurun.
Hali ini diakibatkan karena total biaya yang meningkat drastis seperti biaya solar.
Untuk menguji perbedaan rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan
digunakan analisis t-hitung. Analisis rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 13. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp)
Bulan 26,068,492.59 22,572,787.04
Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=1.727
t-tabel=2.045
Sumber: Data diolah dari lampiran18,19 dan ,23, 2007
Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa pendapatan nelayan sebelum kenaikan
harga BBM Rp 26,068,492.59 per bulan dan sesudah kenaikan harga BBM
pendapatan nelayan menurun menjadi Rp 22,572,787.04 per bulan.
Berdasarkan analisis uji beda rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan
per bulan diperoleh bahwa t-hitung=1.727. Dengan demikian berarti t-hitung lebih
kecil daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho diterima
dan H1 ditolak pada tingkat kepercayaan 95% artinya tidak terdapat perbedaan
kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM pendapatan yang
diperoleh nelayan menjadi turun dibandingkan pendapatan sebelum kenaikan
harga BBM. Namun penurunan yang terjadi tidak cukup drastis.
Hal ini dapat terjadi karena pendapatan ditentukan oleh jumlah hasil
tangkapan, jenis ikan, harga jual masing-masing jenis ikan yang berbeda-beda
sehingga berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang didapat nelayan dan
biaya operasional yang berbeda antara sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM.
Masalah-Masalah yang Dihadapi Nelayan Akibat Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar)
Dengan naiknya harga BBM per 1 Oktober 2005 maka nelayan
menghadapi berbagai masalah di antaranya:
1. Nelayan mengalami kekurangan modal dalam melakukan operasi
penangkapan karena dengan naiknya harga BBM per 1 Oktober maka
semua harga untuk kebutuhan operasi penangkapan selain solar (seperti
es, oli, lauk-pauk, rumpon,dan sebagainya) ikut mengalami kenaikan juga
di mana kenaikannya rata-rata 50 % dari sebelumnya.
2. Kadangkala hasil tangkapan yang diperoleh nelayan sulit laku karena
dengan naiknya BBM harga ikan juga ikut naik. Selain itu nelayan asing
seperti Malaysia sudah dapat bongkar muat di Pelabuhan Perikanan
Belawan yang mana harga ikannya jauh lebih murah dari ikan nelayan
lokal sehingga nelayan lokal harus bersaing dengan nelayan Malaysia.
3. Dengan naiknya BBM tindakan kriminalitas di laut semakin banyak
melakukan penyekapan ABK, perampokan hasil tangkapan, perusakan
kapal dan sebagainya yang sangat menggangu kegiatan penangkapan.
Upaya-Upaya yang Dilakukan Nelayan Dalam Mengatasi Masalah Akibat Kenaikan Harga BBM (Solar)
Untuk dapat terus melanjutkan operasi penangkapan di laut nelayan yang
ada di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan berusaha untuk mengatasi
masalah yang timbul akibat kenaikan harga BBM (solar) ini. Adapun upaya-upaya
yang dilakukan nelayan yaitu:
1. Nelayan berusaha mendapat bantuan modal dengan meminjam sejumlah
dana baik dari kerabat, rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan
lainnya. Upaya lainnya dengan menggunakan alat penghemat BBM yaitu
EGB (Electronic Gas Booster) yang merupakan bantuan langsung
pemerintah dan pemasangan rumpon untuk membantu mengurangi jarak
melaut.
2. Nelayan menjual hasil tangkapan dengan harga murah karena dengan cara
inilah nelayan dapat memperkecil kerugian yang dialaminya.
3. Nelayan melaporkan tindakan kriminal tersebut kepada pihak yang
berwenang seperti Angkatan Laut dan Pengawas Pelabuhan agar patroli
Kesimpulan
7. Jumlah kapal pukat cincin sesudah kenaikan harga BBM (Solar) yakni
pada tahun 2006 meningkat 43 unit yakni dari 188 unit menjadi 231 unit.
8. Terdapat perbedaan lama nelayan melaut/trip dan frekuensi melaut/bulan
yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM
(Solar). Lama nelayan melaut per tripnya 5.9 ≈ 6 hari sebelum kenaikan
harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin
memperlama lama melautnya menjadi 7.27≈7 hari per tripnya. Sebaliknya
frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum kenaikan harga BBM
4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM frekuensi melaut
nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77 ≈ 4 trip/bulan.
9. Terdapat perbedaan hasil tangkapan/bulan yang nyata yang diperoleh
nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Hasil
tangkapan yang didapat nelayan sebelum kenaikan harga BBM
15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan
mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.
10. Terdapat perbedaan pendapatan/bulan nelayan yang nyata yang diperoleh
nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Pendapatan
nelayan sebelum kenaikan harga BBM Rp 26,068,492.59 per bulan dan
sesudah kenaikan harga BBM pendapatan nelayan menurun menjadi Rp
11. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM
(solar) yaitu kekurangan modal karena peningkatan biaya operasional
penengkapan per trip, hasil tangkapan kurang laku karena faktor harga
dan tindakan kriminal oleh bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK).
12. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat
kenaikan harga BBM (solar) ini yaitu meminjam bantuan kepada kerabat,
rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan lainnya; penggunaan alat
penghemat BBM yaitu EGB(Electronic Gas Booster) dan pemasangan
rumpon; melakukan penjualan hasil tangkapan dengan harga yang murah
bagi ikan yang tidak laku dan pelaporan tindakan kriminal kepada pihak
yang berwenang.
Saran
1. Pemerintah
- Mengalokasikan dana subsidi BBM kepada nelayan terutama nelayan yang
bermodal kecil.
- Merevisi Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pungutan dan Perizinan
usaha Perikanan yang sering memberatkan nelayan.
- Meningkatkan patroli pengawasan keamanan di laut untuk melindungi
nelayan dari para bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK) yang sering
menganggu kegiatan penangkpan di laut.
2. Nelayan
- Mengelola usaha penangkapan dengan lebih baik lagi dengan mengadopsi
- Diharapkan nelayan dapat melakukan pengawetan terhadap ikan yang
tidak laku dijual, misalnya dengan pembuatan ikan asin mengingat sifat
ikan yang mudah busuk/rusak.
3. Peneliti
Melakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak kenaikan harga BBM
(Solar) terhadap usaha penangkapan untuk jenis alat tangkap lainnya dan
Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB), 2005. Evaluasi dan Permasalahan yang Dihadapi Pengusaha Pasca Kenaikan Haraga Bahan Bakar Minyak. Seminar Temu Usaha Kemitraaan pada Kegiatan APBN Pelabuhan Perikanan Samudera. Medan.
Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2000. Sosialisasi Kenaikan Harga BBM. Jakarta.
Dinas Perikanan, 1997. Buku Identifikasi Alat Tangkap dan Kapal Perikanan di Sumatera Utara. Medan.
Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005. Harga Baru Solar, Tiga Langkah Antisipasi
pun Digelar. Pusat Informasi dan Pelayanan Masyrakat, DKP (http:// www.dkp.go.id/content.php?c=1935)
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2001. Monografi Perikanan Laut Pantai Timur Sumatera Utara. Medan.
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2002.
Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005. Statistik Perikanan Tangkap, 2005. Medan.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2005.
Departemen Pertanian, 1988. Buletin Informasi Pertanian. Medan.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1999. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1998. Jakarta.
Evy, R., E. Majiutani dan K. Sujono, 1997. Usaha Perikanan di Indonesia. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Hasan, I., 2004. Analisis Data Penelitian. Bumi Aksara, Jakarta.
Junianto, 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Karimuddin, Arifin M. dan T. Asikin. 1983. Teknik Penangkapan Ikan Dengan Purse Seine Aceh. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan Balai Keterampilan Penangkapan Ikan, Belawan.
Mubyarto, L. Soetrisno dan Michael D., 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali, Jakarta.
Agribisnis; Teori dan Aplikasinya. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soekartawi, 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
, 1996. Pembangunan Pertanian. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Wasis, 1986. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Alumni Bandung, Bandung.