• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LATAR BELAKANG

4.6 Skema Kerja Penelitian

Perlakuan hewan coba, pengambilan sampel darah dan jaringan dilakukan di laboratorium pusat pangan dan gizi sekolah pasca sarjana Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Pembuatan preparat histologi, pengecatan, dan pengamatan kolagen sampel dilakukan pada laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Penelitian ini telah mendapat ethical clearance dari Komisi Etik Laboratorium

Penelitian Dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada No.

00084/04/LPPT/X/2016. b. Eksperimental animal model

Hewan uji di perlakukan dalam kandang individu dengan kondisi kelembaban 50-60%, suhu ruangan 20-250C. Tikus tidak diberi makan selama 12 jam sebelum dilakukan induksi streptozotocin (STZ). Induksi STZ intra peritonial diberikan dengan dosis 45 mg/kgBB yang sudah dilarutkan dalam citrate buffer (0,1M) pH 4,5. Setelah 4 hari, darah diambil dari retro orbital plexus dan diukur kadar glukosa darah dengan reagen GOD FS. Kondisi diabetes tercapai jika kadar glukosa >200mg/dl.

Pada hari ke-4 setelah induksi dengan menggunakan STZ, tikus dibius dengan ketamine hydrochloride (25 mg/kg bb) melalui intramuscular. Bulu tikus dicukur pada bagian punggung dan dioleskan 10% povidon iodine. Setelah kering dilakukan biopsy pada jaringan kulit menggunakan punch byopsy dengan ukuran 5 mm pada punggung hewan coba melalui Plexus Retroorbitalis, sebanyak 1 ml.

Pengambilan gambar dilakukan pada punggung hewan coba yang dilukai. Setelah satu jam, sediaan dioleskan pada jaringan luka. Pengolesan dilakukan sebanyak 2 kali sehari selama 7 hari. Pengambilan darah diulangi pada hari ke-0 dan hari ke-7. Sampel darah dari retro orbital plexus diukur kadar glukosa menggunakan reagen GOD FS. Sampel darah yang terkumpul dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit.

i. Pengukuran kadar glukosa darah.

Sampel darah diambil dari hewan coba direaksikan dengan reagen GOD FS, kemudian dibaca dengan menggunakan spektofotometer UV-Visibel dengan Panjang gelombang 500nm.

11

ii. Pengamatan penyembuhan luka.

Pengamatan penyembuhan luka dilakukan dengan mengukur diameter luka awal dan luka pada hari pengamatan. Diameter didapat dari rata-rata dua area luka pada punggung kanan dan kiri hewan uji dengan mengukur diameter luka28. Pengukuran persen penyembuhan luka dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Penyembuhan luka (%) = x 100%

iii. Pembuatan sediaan blok paraffin.

Sampel jaringan luka pada kulit diambil pada hari ke-3 dan 7. Sampel yang didapatkan di rendam kedalam neutral buffer formalin 10% selama 24-48 jam. Untuk selanjutnya dipotong, dan dilanjutkan dengan pemrosesan jaringan menggunakan Tissue Processor. Jaringan kemudian dibaut menjadi sediaan blok paraffin.

iv. Pemotongan sampel.

Pemotongan jaringan sampel menggunakan microtome dengan ketebalan <5μm. Hasil potongan direntangkan di atas air di dalam waterbath (50-60°C), dan dilekatkan di atas slide mikroskop. Slide mikroskop kemudian diletakkan di atas hot plate (56-65°C) selama kurang lebih 5 menit.

v. Pengecatan Masson’s Trichrome Goldner.

Sampel jaringan di atas slide mikroskop direaksikan dengan pereaksi Weigert’s iron, Picric acid, Poceau acid, Phosphomolybdic, dan Light Grenn. Tata cara pengecatan mengikuti langkah kerja dari Masson’s Trichrome Goldner kit dari Bio Optica (04-011802)

vi. Pengecatan IHK TNF-α

Sampel jaringan yang sudah dilekatkan pada slide poly-l-lyisne, di proses rehidrasi dan dilanjutkan pengecatan IHK sesuai dengan langkah kerja dari manual book FineTest rabbit-DAB (Poly-HRP) Detection IHC Kit (IHC0007). vii. Pengamatan kolagen.

Pengamatan kolagen dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x. Warna hijau muda yang muncul adalah kolagen yang terdapat pada jaringan uji. Derajat pembentukan kolagen dilihat dari sebaran jumlah

12

kolagen yang terdapat pada jaringan luka. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan peranti lunak Image-J. Pengukuran kepadatan kolagen ditunjukkan dengan sebaran prosentase area dari kolagen dan tingkat intensitas dari pewarnaan kolagen.

vii. Pengamatan TNF-α.

Pengamatan TNF-α pada jaringan dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 100x. Warna coklat pada jaringan uji adalah tampilan TNF-α yang terwarnai dengan DAB. Penilaian tampilan TNF-α dilakukan dengan menggunakan bantuan piranti lunak image-J. Penilaian TNF-α ditunjukkan dengan data prosentase intensitas dari staining high positive, positive, low positive dan negative.

viii. Analisa hasil.

Hasil pengamatan kolagen dan TNF-α menggunakan sistem skoring berdasarkan persentase sebaran dan intensitas pewarnaan. Skor persentase sebaran di kelompokkan menjadi lima (0 = 0%, 1= <10%, 2=10-50%, 3= 51-80%, 4 > 80%). Skor intensitas pewarnaan dikelompokkan menjadi empat (0 = negative, 1 = low positive, 2 = positive, 3 = high positive). Hasil uji penjumlahan skor sebaran dan intensitas pewarnaan dianalisa menggunakan statistik uji T dengan tingkat kepercayaan 95% (p < 0,05).

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi diabetes kelompok perlakuan dipastikan dengan melakukan pengukuran glukosa pada hari ke 0 dan 7. Pengujian kadar glukosa dilakukan dengan menggunakan serum dari dua kelompok diabetes dan non diabetes. Sampel diambil pada hari ke 0 bertujuan untuk memastikan kadar glukosa sebelum dilakukan pembuatan luka pada kelompok diabetes dan non diabetes. Setelah mendapatkan induksi STZ, kelompok diabetes pada hari ke 0 memiliki kadar glukosa di atas 200mg/dl. Sedangkan pada kelompok non diabetes, didapatkan kadar glukosa di bawah 200mg/dl. Pada hari ke-7 dilakukan pengukuran ulang kadar glukosa dari dua kelompok. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hewan uji tetap dalam kondisi diabetes. Semua kelompok diabetes memiliki kadar glukosa diatas 200mg/dl, sedangkan kelompok non diabetes di bawah 200mg/dl.

13

Hewan uji dengan kondisi diabetes memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan hewan normal. Gejala umum yang dapat ditemui adalah polifagi, poliuri dan polidipsi. Pada pagi hari dapat dilihat bahwa urin di dasar kandang kelompok diabetes lebih banyak daripada kelompok non diabetes. Selain itu pakan dan air berkurang lebih banyak pada kelompok diabetes. Kondisi bulu hewan uji memiliki tekstur yang kaku dan kasar pada kelompok diabetes.

Penyembuhan luka dipengaruhi oleh proses yang cukup panjang dan komplek. Tahap inflamasi, terjadi setelah berakhirnya hemostatis. Pada fase inflamasi, sel yang paling banyak berperan adalah makrofag. Makrofag M1 sebagai pro-inflamasi mengeksresikan sitokin yang meningkatkan inflamasi, salah satunya adalah TNF-α. Ketika fase inflamasi hampir berakhir, dimulailah fase proliferasi dan dilanjutkan dengan fase remodeling.

14

Tabel 1. Ekspresi TNF-α hari ke-3, ekspresi kolagen, pembuluh darah, re-epitelisasi dan kecepatan penyembuhan luka pada hari ke-7.

Kelompok Rerata TNF-α ± SE Hari ke-3 Rerata Kolagen ± SE Hari ke-7 Rerata Pembuluh darah Hari ke-7

Rerata Re-epitelisasi Hari

ke-7

Rerata Penyembuhan luka Hari ke-7 Diabetes Tanpa Perlakuan 5,333±0,441 3,625±0,324 3,111±0,423 107,989±20,690 12,977%±7,780 Diabetes Basis 4,125±0,295* 3,400±0,245 3,889±0,111* 80,0889±9,009 0,000%±0,000 Diabetes Formula 1 3,923±0,329* 3,833±0,167 3,222±0,324 62,856±17,130 34,052%±6,538 Diabetes Formula 2 4,077±0,329* 4,778±0,278* 2,111±0,455* 87,733±11,048 29,374%±9,085 Diabetes Formula 3 3,545±0,413* 5,000±0,408* 3,000±0,500 93,578±21,627 26,332%±4,812

Non diabetes Tanpa

Perlakuan 3,800±0,262 4,500±0,267 2,889±0,484 66,467±12,394 29,83%±7,641

Non diabetes Basis 3,778±0,324* 4,875±0,227 3,333±0,373 70,800±15,446 19,605%±7,992

Non diabetes Formula 1 3,000±0,189* 4,800±0,374 2,333±0,527 77,533±13,438 41,567%±6,580

Non diabetes Formula 2 3,000±0,333* 4,833±0,401 2,444±0,475 127,922±20,685* 15,443%±6,313

Non diabetes Formula 3 3,250±0,131* 4,667±0,333 3,889± 0,111* 68,833±9,474 34,687%±2,643

15

Pengamatan ekspresi TNF-α dilakukan dengan menggunakan preparat histologi dari jaringan kulit yang dilukai. Jaringan kulit dilakukan secara spesifik dengan menggunakan pengecatan IHK. Pengecatan IHK adalah pengecatan yang sangat spesifik, dikarenakan menggunakan ikatan yang spesifik terhadap protein target. Rabbit Polyclonal anti TNF-α (antibodi primer) berikatan secara spesifik protein TNF-α yang tersedia pada jaringan sampel. Antibodi primer akan dikonjugasi oleh antibodi sekunder (Goat anti Rabbit-HRP) dan direaksikan dengan kromogen DAB. Tampilan visual dari TNF-α akan berwana coklat yang menandakan adanya reaksi konjugasi dan pewarnaan DAB. Semakin coklat tampilan warna mengindikasikan semakin banyaknya TNF-α yang terdapat pada jaringan sampel.

Pembacaan ekspresi TNF-α dengan menggunakan bantuan piranti lunak image-J dilakukan dengan menggunakan menu IHC-profiler. Menu Plug-in IHC-profiler memberikan hasil data berupa sebaran pewarnaan (dalam prosentase) dan intensitas pewarnaan (negatif, positif lemah, positif dan positif kuat). Hasil pengamatan diukur dengan menggunakan sistem skor intensitas dan sebaran dari TNF-α. Intensitas sebaran TNF-α yang dihitung adalah luas area dari bagian luka yang memberikan visualisasi berwarna coklat. Intensitas pewarnaan terbagi menjadi 4 level (Gambar 2). Hasil skor dari intensitas sebaran dan pewarnaan ditambahkan untuk memberikan skor dari ekspresi TNF-α.

16

Gambar 2. Hasil pewarnaan IHK a. negative; b. positif lemah; c. positif; d. positif kuat.

Gambar 3. Histogram ekspresi TNF-α pada hari ke-3

Pemberian sediaan gel ekstrak tempe memberikan pengaruh terhadap ekspresi TNF-α pada jaringan luka hari ke-3. Pada semua kelompok hewan coba dengan kondisi diabetes, memiliki ekspresi TNF-α lebih kuat dibandingkan kelompok non diabetes (Gambar 3). Terdapat pebedaan yang bermakna (p<0,05) pada kelompok tanpa perlakuan antara diabetes dan non diabetes (Tabel 1). Kelompok tanpa perlakuan menunjukkan ekspresi TNF-α paling besar jika dibandingkan kelompok perlakuan

17

dengan basis dan sediaan gel dengan ekstrak tempe. Pada kelompok formula 3 pada kelompok diabetes memberikan ekspresi TNF-α yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok perlakuan non diabetes, pemberian formula 1 memperlihatkan ekspresi TNF-α paling rendah pada kelompok tersebut. Pemberian sediaan basis, formula 1, 2 dan 3 pada kelompok diabetes, memperlihatkan skor TNF-α yang lebih rendah dan berbeda signifikan (p<0,05) terhadap tanpa perlakuan. Pada kelompok hewan dengan kondisi non diabetes, pemberian sediaan formula 1, 2 dan 3 berpengaruh signifikan terhadap ekspresi TNF-α (p<0,05). Kelompok formula 3 tidak menunjukkan perbedaan bermakna ekspresi TNF-α pada kelompok antara kelompok diabetes dan non diabetes. Kelompok formula 3 menunjukkan hasil skor terendah pada kelompok uji non diabetes (Tabel 1).

Pada kondisi diabetes, TNF-α terekspresi lebih kuat pada area luka. Hal ini menyebabkan fase inflamasi berlangsung lebih lama dan tertunda nya fase proliferasi. TNF-α yang tetap tinggi pada area luka memberikan pengaruh terhadap penghambatan proliferasi dan meningkatnya apoptosis fibroblas. Rendahnya jumlah fibroblas dapat mempengaruhi jumlah kolagen yang disintesis. Rendahnya ekspresi TNF-α menunjukkan bahwa tahap inflamasi akan berakhir dan dimulainya tahap proliferasi.

TNF-α berpengaruh terhadap proses pembentukan fibroblas dan sintesis kolagen. Ekspresi TNF-α yang lebih rendah menunjukan akan berakhirnya fase inflamasi dan dimulainya fase proliferasi. Pada fase ini, salah satu materi yang terlibat adalah proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen. Semakin rendahnya ekspresi TNF-α pada area luka, akan meningkatkan jumlah prolifererasi dan menurunkan apoptosis fibroblas. Pertambahan jumlah fibroblas pada jaringan kulit akan meningkatkan sintesis kolagen. Dengan tingginya jumlah fibroblas, maka produksi kolagen akan meningkat. Kolagen yang terbentuk pada fase proliferasi tersebar merata pada area luka. Warna hijau kebiruan yang lemah menunjukkan intensitas kolagen yang rendah. Kolagen yang terbentuk akan menjadi lebih padat yang ditunjukkan dengan warna yang lebih tua dan memiliki bentuk seperti serabut (Gambar 4).

18

Gambar 4. Hasil penampakan kolagen (a) Kolagen intensitas lemah; (b) kolagen intensitas sedang; (c) kolagen intensitas kuat. Kolagen memberikan tampilan hijau kebiruan.

Pengukuran kolagen dilakukan dengan menggunakan bantuan piranti lunak image-j. Menu yang digunakan dalam pengukuran ini adalah adalah colour deconvulsion dengan separasi pilihan untuk masson trichrome. Data yang dihasilkan dari penggunaan bantuan aplikasi image-j adalah prosentase sebaran kolagen dalam luasan area luka. Selain itu dapat dihasilkan penilaian intensitas pewarnaan kolagen pada preparat (negatif, lemah, sedang, kuat).

Gambar 5. Histogram ekspresi kolagen pada hari ke-7

Hasil perbandingan skor antara kelompok uji, didapatkan perbedaan bermakna akibat perlakuan sedian ekstrak tempe terhadap kolagen. Pada kelompok diabetes, skor kolagen setiap kelompok perlakuan basis dan formula dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan (Gambar 5). Hasil skor kolagen didapatkan adanya perbedaan bermakna antara formula 2 dan 3 terhadap kelompok tanpa perlakuan (p<0,05) (Tabel 1). Skor kolagen pada kelompok non diabetes, tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kelompok tanpa perlakuan dengan kelompok perlakuan (sampel,

19

formula 1, 2 dan 3). Pada perbandingan antara kelompok diabetes dan non diabetes, kelompok formula 2 dan 3 tidak memberikan perbedaan terhadap skor kolagen (p<0,05) (Tabel 1). Pemberian perlakuan formula 2 dan 3 pada kelompok diabetes, dapat memberikan pengaruh pembentukan kolagen yang sama dengan kelompok non diabetes. Hal ini dimungkinkan karena ekstrak tempe yang ditambahkan secara bertingkat (formula 1,2 dan 3) pada kondisi diabetes, memberikan pengaruh yang berbanding lurus terhadap pembentukan kolagen.

Pada kondisi diabetes, kolagen yang terbentuk akan terdegradasi lebih banyak dibandingkan kondisi non diabetes. Tingginya keberadaan enzim MMP (Matriks Metaloproteinase) pada kondisi diabetes, menyebabkan semakin banyaknya kolagen yang terdegradasi. Hal ini dapat menyebabkan jumlah kolagen yang teramati pada kelompok diabetes akan lebih rendah daripada kelompok non diabetes. Dengan semakin banyaknya kolagen yang terdegradasi dan berkurangnya jumlah kolagen dapat menyebabkan menurunnya kelenturan dan kekuatan dari jaringan yang terbentuk selama proses penyembuhan luka. Kolagen yang lebih banyak terdapat pada area luka, akan membantu meningkatkan kekuatan jaringan terhadap tekanan dan regangan pada kulit.

Semakin besar pemberian ekstrak tempe memberikan pengaruh terhadap penurunan TNF-α (Gambar 3) dan peningkatan kolagen (Gambar 5). Pola skor TNF-α dan kolagen memiliki pola yang berbanding terbalik. TNF-α yang tinggi berpotensi menurunkan jumlah kolagen pada area luka, dengan memperlama fase inflamasi dan meningkatkan apoptosis fibroblas. Pada kelompok diabetes menunjukkan pola bahwa TNF-α yang tinggi (hari ke-3), menampilkan skor yang rendah pada kelompok perlakuan yang sama. Rendahnya skor TNF-α (hari ke-3) pada kelompok diabetes formula 3, memperlihatkan tinggi nya skor kolagen (hari ke-7) kelompok diabetes. Sedangkan tingginya skor TNF-α (hari ke-3) kelompok diabetes tanpa perlakuan, memperlihatkan rendahnya skor kolagen (hari ke-7) kelompok diabetes.

Ekstrak tempe memberikan pengaruh terhadap TNF-α pada semua kelompok hewan uji diabetes dan non diabetes. Pemberian kadar ekstrak tempe 2,5%, 5% dan 7,5% dapat menurunkan TNF-α pada kelompok hewan uji diabetes dan non diabetes (Gambar 3). Pada kondisi diabetes, pemberian ekstrak tempe dengan kadar 7,5% memberikan pengaruh terkuat dalam menurunkan TNF-α dibandingkan dengan kadar 2,5% dan 5%. Pada kelompok uji non diabetes, pemberian kadar ekstrak tempe 2,5%,

20

5% dan 7,5% juga memberikan pengaruh terhadap penurunan TNF-α dibandingkan kelompok kontrol tanpa perlakuan. Semua sediaan dengan variasi kadar ekstrak tempe dapat menurunkan TNF-α. Dengan berhasil diturunkannya TNF-α diharapkan dapat meningkatkan sintesis kolagen dan mempercepat proses penyembuhan luka.

Pemberian ekstrak tempe meningkatkan jumlah kolagen pada kelompok hewan uji diabetes (Gambar 5). Perlakuan dengan kadar ekstrak tempe 5% dan 7,5% memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah kolagen pada kondisi diabetes. Hasil skor kolagen (kelompok diabetes) pemberian ekstrak tempe 5% dan 7,5% sangat berdekatan dengan hasil skor kelompok non diabetes. Dengan demikian, pemberian ekstrak tempe dengan kadar 5% dan 7,5% diduga dapat memberikan pengaruh yang sama pada penyembuhan luka kondisi diabetes dan non diabetes.

Pengamatan pembuluh darah dilakukan dengan melakukan pengamatan histologis menggunakan pengecatan hematoxylin eosin. Pada perbesaran 100x, eritrosit akan terwarnai dengan warna merah. Pada pengamatan melintang, pembuluh darah tampak seperti lingkaran yang berisi eritrosit. Sedangkan pada pembuluh darah yang teramati membujur, akan tampak seperti saluran yang terisi eritrosit (Gambar 7). Pembuluh darah kemudian di hitung dan dilakukan skoring.

Dari hasil pengamatan histologi, hasil skoring tertinggi pembuluh darah yang terbentuk dimiliki oleh kelompok diabetes tanpa perlakuan (Gambar 6). Sedangkan kelompok terendah ditunjukan oleh kelompok formula 3 (Gambar 6). Pada kelompok uji non diabetes, skor tertinggi ditunjukan oleh kelompok formula 3. Sedangkan kelompok terendah dari non diabetes adalah formula 2. Dari hasil uji perbandingan antar kelompok dengan taraf kepercayaan 95% (p<0,05) ditemukan bahwa hanya kelompok formula 2 (nilai skor lebih rendah) yang memiliki perbedaan signifikan dengan kelompok tanpa perlakuan diabetes (Tabel 1). Hal ini dimungkinkan terjadi karena hasil pengamatan histologi pembuluh darah yang teramati tidak dalam posisi yang sama. Terdapat hasil histologi pembuluh darah dalam posisi melintang dan membujur, sehingga sebaran jumlah pembuluh darah terdapat perbedaan.

21

Gambar 6. Histogram kapilarisasi hari ke-7

Gambar 7. Penampilan pembuluh darah hari ke-7 pada pengamatan histologi. (a) tampak membujur (kelompok diabetes perlakuan basis); (b) tampak melintang (kelompok diabetes perlakuan formula 2).

Gambar 8. Penampilan re-epitelisasi hari ke-7 pada pengamatan histologi (a) contoh re-epitelisasi kelompok diabetes (formula 1); (b) contoh re-epitelisasi kelompok non diabetes (formula 1).

22

Pengamatan re-epitelisasi dilakukan dengan menggunakan pewarnaan

hematoxylin eosin, dan dilihat dibawah mikroskop (Gambar 8). Sel epitel tampak berjajar memanjang dengan ukuran sel yang terlihat lebih kecil. Sel epitel yang terbentuk memiliki ketebalan yang berbeda-beda antar kelompok diabetes dan non diabetes. Proses re-epitelisasi terjadi melalui mobilisasi sel epitel dari tepi jaringan menuju tengah jaringan yang terluka.

Re-epitelisasi pada area luka memiliki ketebalan yang berbeda-beda. Sel epitel yang terbentuk tidak selalu memiliki ketebalan yang sama dalam proses penyembuhan luka. Pada contoh gambar kondisi diabetes, sel epitel pada area tepi luka memiliki ketebalan yang relatif lebih tebal dari bagian tengah. Hal ini menunjukkan sel epitel pada area tengah luka terbentuk lebih lambat dari area tepi. Pada contoh gambar kelompok non diabetes menunjukkan bahwa ketebalan sel epitel lebih merata pada area permukaan luka. Perbedaan ketebalan sel epitel pada kelompok diabetes dan non diabetes dimungkinkan karena adanya akumulasi Advanced Glycation End products (AGEs) yang lebih tinggi pada kondisi diabetes. AGEs mengakibatkan meningkatnya apoptosis fibroblas sehingga menurunkan ketebalan lapisan kulit. Pada penelitian Niu Y (2012) didapatkan hasil bahwa adanya akumulasi AGEs menimbulkan penurunan ketebalan kulit pada proses penyembuhan luka29

23

Ekstrak tempe yang diberikan sebanyak 5% pada kelompok non diabetes, memiliki perbedaan yang bermakna terhadap re-epitelisasi (p<0,05) (Tabel 1). Formula 2 memberikan gambaran re-epitelisasi tertinggi dibandingkan kelompok lain (Gambar. 10), dari kondisi diabetes dan non diabetes. Pemberian kadar ekstrak tempe sejumlah 5% dimungkinkan adalah jumlah yang tepat dari genistein meningkatkan epitelisasi pada kelompok non diabetes (Tabel 1). Pemberiaan ekstrak tempe pada kelompok non diabetes tidak menunjukan adanya pola yang berbanding lurus antara penambahan kadar ekstrak dengan peningkatan re-epitelisasi (Gambar 9). Hal ini dimungkinkan bahwa untuk meningkatkan re-epitelisasi diperlukan jumlah kadar ekstrak tempe yang lebih spesifik.

Pemberian gel ekstrak tempe tidak memberikan pengaruh terhadap re-epitelisasi pada kelompok dengan kondisi diabetes. Semua kadar ekstrak tempe tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap re-epitelisasi pada kelompok diabetes (Tabel 1). Hal ini dimungkinan adanya kadar glukosa yang tinggi sehingga menyebabkan meningkatnya (AGEs). AGEs yang tinggi dapat menggangu homestasis dermal dengan menurunkan proliferasi, pematangan keratinosit dan meningkatkan apoptosis keratinosit28.

Pengukuran diameter luka dilakukan untuk mengetahui pemyembuhan luka pada kulit. Pembuatan luka pada hari ke 0 dengan menggunakan punch biopsy menghasilkan luka dengan bentuk bulat. Pembuatan luka dilakukan pada bagian kanan atau kiri dari ruas tulang belakang. Hal ini dilakukan untuk menghindari peregangan akibat aktivitas pergerakan tulang belakang. Pengamatan dan pengukuran diameter luka dilakukan pada hari ke-7 untuk mengetahui penyembuhan luka.

Pemilihan pengamatan penyembuhan luka pada hari ke-7, bertujuan untuk mengetahui kecepatan penutupan luka yang terjadi pada pertengahan fase proliferasi. Fase inflamasi yang berakhir lebih cepat, ditandai menurunya ekspresi TNF-α, diduga memiliki pengaruh dalam penyembuhan luka pada pertengahan fase proliferasi. Pada fase ini proses proses pembentukan kolagen, pembuluh darah dan re-epitelisasi sudah dimulai.

Pada hari ke-7 belum ditemukan luka yang menutup dengan sempurna. Dari beberapa hewan uji sudah mengalami penurunan ukuran diameter luka. Luka pada beberapa hewan coba juga masih tertutup keropeng. Keropeng mengganggu pengamatan dan pengukuran diameter luka. Keropeng dibiarkan hinga terlepas dengan

24

sendirinya untuk mencegah terjadinya luka kembali saat keropeng dilepaskan secara disengaja.

Gambar10. Histogram penyembuhan luka hari ke-7

Penyembuhan luka (hari ke-7) kelompok hewan non diabetes memiliki rata-rata penyembuhan luka yang lebih cepat dibandingkan kelompok diabetes (Gambar 10). Dari hasil perbandingan antar kelompok, didapatkan bahwa empat kelompok (Basis; formula 1; formula 3; tanpa perlakuan) pada kelompok non diabetes memiliki penyembuhan luka yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok diabetes. Kelompok perlakuan dengan menggunakan formula 2, penyembuhan luka pada hewan uji normal lebih rendah daripada kondisi non diabetes. Kelompok hewan non diabetes formula 2 memiliki keropeng sehingga mengganggu dalam pengamatan dan pengukuran diameter luka.

Skala penyembuhan luka dipaparkan dalam skala 0-100%. Dan kelompok perlakuan dengan basis menunjukkan penyembuhan luka yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan. Pada pemberian formula 2, penyembuhan luka kondisi normal lebih rendah dibandingkan dengan kondisis diabetes. Hal ini dimungkinkan adanya keropeng yang masih menutupi sebagian area luka, sehingga peneliti mengalami kendala dalam melakukan pengukuran.

Pola penyembuhan luka memiliki pola yang berbeda antara kelompok hari ke-7. Penyembuhan luka pada kelompok diabetes hari ke-7, kelompok perlakuan basis

25

memiliki penyembuhan luka paling rendah dan kelompok perlakuan lainya. Penggunaan formula 2 pada kelompok non- diabetes memiliki prosentase paling tinggi, selanjutnya adalah formula 2, 3 dan kelompok tanpa perlakuan. Prosentase penyembuhan luka pada kelompok non-diabetes pada hari ke-7, formula 1 menunjukkan prosentase penyembuhan luka terbesar dibandingkan formula 2, 3, tanpa perlakuan dan diabetes.

Penyembuhan luka pada hari ke-7 tidak memiliki perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Dari hasil pengujian data penyembuhan luka pada hari ke-7 antar kelompok uji Diabetes, setiap perlakuan dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan. Dari hasil pengujian dengan menggunakan taraf kepercayaan 95% (p<0,50), tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok tanpa perlakuan, perlakuan basis, formula 1, 2 dan 3 (Tabel 1). Hasil uji juga menunjukkan hasil yang sama pada kelompok uji non diabetes. Hal ini dimungkinkan karena penutupan dan penyembuhan luka dipengaruhi melalui proses yang kompleks dan bertahap. Hari ke-7 adalah hari tengah dalam proses proliferasi30. Pada hari ke-7 di duga kecepatan penutupan luka belum dapat dibedakan antar kelompok perlakuan. Hasil ini diduga adanya kemungkinan bahwa kecepatan penutupan luka yang cukup signifikan terjadi setelah hari ke-7 atau hampir berakhirnya fase proliferasi (hari ke-14).

Durasi proses proliferasi yang belum mencukupi diduga menjadi penyebab belum adannya perbedaan penyembuhan luka pada hari ke-7. Hal ini menyebabkan belum tercapainya beberapa kondisi optimal yang mendukung penutupan luka. Belum

Dokumen terkait