• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

2.1.1. Pengertian Skizofrenia

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), skizofrenia adalah sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum

diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis) yang luas, serta

sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya.

Pasien dengan skizofrenia umumnya ditandai dengan penyimpangan yang

fundamental dan karakteristik pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar

atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap

terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan

menyimpan banyak tanda tanya (teka-teki). Kadangkala skizofrenia dapat berpikir

dan berkomunikasi dengan jelas, memiliki pandangan yang tepat dan berfungsi secara

baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada saat yang lain, pemikiran dan kata-

kata terbalik, mereka kehilangan sentuhan dan mereka tidak mampu memelihara diri

mereka sendiri (Nolen, 2004).

Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga

pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan

personalitas yang rusak ” cacat ” (Kaplan, 2002).

Menurut Tubagus, skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa

yang retak (skizos artinya retak dan freenas artinya jiwa). Jiwa manusia terdiri dari 3

unsur yaitu perasaan, kemauan dan perilaku. Skizofrenia adalah sekelompok reaksi

psikotik yang mempengaruhi berbagai autra fungsi individu, termasuk berpikir dan

berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan

menunjukkan emosi dan perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial

(Isaac Ann, 2005).

Pedoman diagnostik dari skizofrenia adalah harus adanya satu gejala berikut

ini yang amat jelas (dan dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau

kurang jelas):

a. Thought echo dimana isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun

kualitasnya berbeda; atau thought incertion or withdrawl dimana isi pikiran

yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil

keluar oleh sesuatu dari luar dirinya; dan thought broadcasting dimana isi

pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.

b. Delusion of control dimana waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; delusion of influence dimana waham tentang

dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau delusion of

suatu kekuatan dari luar; dan delusion perception dimana pengalaman indrawi

yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat

mistik atau mukjizat.

c. Halusinasi dimana suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus

terhadap perilaku pasien; mendiskusikan perihal pasien diantara mereka

sendiri; atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian

tubuh.

d. Waham-waham menetap lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap

tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama

atau politik tertentu atau kemampuan di atas manusia biasa.

Selain ciri di atas, ada ciri lain sebagai pedoman diagnosis skizofrenia, yaitu

paling sedikit ada dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas, yaitu:

a. Halusinasi yang menetap dari panca indra apa saja, apabila disertai baik oleh

waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan

afektif yang jelas, atau disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau

apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan

terus-menerus.

b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat

inkoherensi atau pembicaraan yang relevan atau neologisme.

c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu atau

Gejala-gejala “negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi semua

harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi

neuroleptika (PPDGJ-III, 1995).

2.1.2. Penyebab Skizofrenia

Penyebab pasti skizofrenia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa

faktor yang berperan dalam terjadinya skizofrenia. Bukti kuat dari penelitian pada

kembar identik menyimpulkan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi yang

besar pada etiologi skizofrenia. Walaupun demikian sampai saat ini belum diketahui

secara pasti gen yang terlibat pada skizofrenia dan juga belum diketahui bentuk

kontribusinya. Telah bertahun-tahun dilakukan penelitian tentang etiologi gangguan

skizofrenia, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi pasti gangguan ini

(Durand, 2007).

2.1.3. Tipe-Tipe Skizofrenia A. Skizofrenia Paranoid

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), pedoman diagnosis skizofrenia paranoid dipenuhi oleh diagnosis umum

skizofrenia, sebagai tambahannya adalah :

a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol; suara-suara halusinasi yang

megancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa

pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh,

halusinasi visual mungkin ada, tetapi jarang menonjol; waham dapat berupa

hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi dan keyakinan

dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.

b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik

secara relative tidak nyata atau tidak menonjol.

Selain itu, ada diagnosis banding seperti epilepsi dan psikosis yang diinduksi

oleh obat-obatan, keadaan paranoid involusional dan paranoia.

B. Skizofrenia Hebefrenik

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), pedoman diagnosis skizofrenia hebefrenik dipenuhi oleh diagnosis umum

skizofrenia. Diagnosis hebefrenia untuk pertama sekali hanya ditegakkan pada usia

remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai umur 15-25 tahun). Kepribadian

premorbid menunjukkan ciri khas pemalu dan senang menyendiri, namun tidak harus

demikian untuk menentukan diagnosa. Untuk menentukan diagnosa hebefrenia yang

meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan

lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar

bertahan:

a. Perilaku yang tidak bertanggung jwab dan tidak dapat diramalkan, serta

mannerisme, ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku

b. Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan atau

perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap tinggi hati, tertawa

menyeringai, mannerisme, mengibuli serta bersenda gurau, keluhan

hipokondriakal dan ungkapan kata yang diulang-ulang.

Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir

umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak

menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan hilang serta sasaran ditinggalkan,

sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan

tanpa maksud. Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat

terhadap agama, filsafat dan tema absrak lainnya, makin mempersukar orang

memahami jalan pikiran pasien.

C. Skizofrenia Katatonik

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), pedoman diagnosis sizofrenia katatonik memenuhi kriteria umum diagnosis

skizofrenia. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini mendominasi gambaran

klinisnya, yaitu :

a. Stupor atau mutisme (tidak berbicara)

b. Gaduh gelisah

c. Menampilkan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar

d. Negativisme

e. Rigiditas

g. Gejala-gejala lain seoerti “command automatism”.

Pada pasien yang tidak komunikastif dengan manifestasi perilaku dari

gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh

bukti yang memadai tentang gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa

gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnosis untuk skizofrenia. Gejala katatonik

dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alcohol atau obat-

obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

D. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiatedi)

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), pedoman diagnosis skizofrenia ini memenuhi kriteria umum untuk diagnosis

skizofrenia. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,

hebefrenik, atau katatonik. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau

depresi pasca-skizofrenia.

E. Depresi Pasca-Skizofrenia

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), diagnosis yang harus ditegakkan hanya:

a. Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 tahun terakhir ini

b. Beberapa gejala skizofrenia masih ada

c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit

kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit

d. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi

episode depresif, bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis

harus tetap salah satu dari subtype skizofrenia yang sesuai.

F. Skizofrenia Residual

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus

dipenuhi semua:

a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol.

b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang

memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia

c. Setidaknya sudah melampaui kurun waktu satu tahun, dimana intensitas dan

frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat

berkurang dan telah timbul sindrom negative dari skizofrenia

d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak lainnya.

G. Skizofrenia Simpleks

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

(1995), diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena

tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif

dari:

a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat

b. Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi bermakna,

bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mecolok, tidak berbuat sesuatu,

tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial.

c. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtype

skizofrenia lainnya.

Selain skizofrenia-skizofrenia tersebut di atas, ada skizofrenia lain, yaitu

skizofrenia YTT dan skizofrenia lainnya.

2.1.4. Pencegahan Kekambuhan Skizofrenia

Empat faktor penyebab pasien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit,

menurut Sullinger (1988) :

1. Pasien : Sudah umum diketahui bahwa pasien yang gagal memakan obat secara

teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan 25% sampai 50% pasien yang pulang dari rumah sakit tidak

memakan obat secara teratur.

2. Dokter (pemberi resep) : Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh,

namun pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping

Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan

yang tidak terkontrol.

3. Penanggung jawab pasien: Setelah pasien pulang ke rumah maka perawat

puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi pasien di rumah.

menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan

ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan

ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu pasien juga mudah dipengaruhi

oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang

menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga pasien dan

keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress. Cara terapi bisanya:

Mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan

menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah

ilmu dan wawasan baru kepda pasien ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah

menemukan situasi dan pengalaman baru.

Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh pasien dan

keluarganya yaitu :

1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous)

2. Tidak nafsu makan

3. Sukar konsentrasi

4. Sulit tidur

5. Depresi

6. Tidak ada minat

7. Menarik diri

Setelah pasien pulang ke rumah, sebaiknya pasien melakukan perawatan

lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa.

“ruangan perawatan”. Perawat, pasien dan keluarga besar sama untuk membantu

proses adaptasi pasien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat

kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di

puskesmas.

Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan pasien dan merupakan

“perawat utama” bagi pasien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan

yang diperlukan pasien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia

jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan pasien harus dirawat

kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan

kemampuan keluarga merawat pasien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.

Pentingnya peran serta keluarga dalam pasien gangguan jiwa dapat dipandang

dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai

hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi”

pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan,

sikap dan perilaku. Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan

balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua

ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.

Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi

pada salah satu anggota merupakan dapat memengaruhi seluruh sistem, sebaliknya

disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah

cara menangani perilaku pasien di rumah (Northouse, 1998). Pasien dengan diagnosa

skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun

kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan

yang salah selama di rumah atau di masyarakat.

Dokumen terkait