• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Tahap Pertama

Penentuan waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin optimal untuk pak choi

Tahap precooling ini dilakukan untuk menentukan kombinasi lama

hydrocooling dan konsentrasi klorin yang optimal pada penanganan pascapanen

pak choi. Tan et al., (2005) menyatakan bahwa hydrocooling merupakan salah satu metode yang efektif untuk brassica. Pendinginan menggunakan air bersuhu 0.50C dengan penambahan klorin 100 sampai dengan 300 ppm pada pH air 7.3 sampai dengan 7.6. Air yang digunakan untuk hydrocooling dalam penelitian ini memiliki pH yang berkisar antara 7 – 7.2 dengan suhu 3 – 50C.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) memperlihatkan perlakuan lama

hydrocooling tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan

klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a b dan C tetapi berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap laju respirasi CO2 pak choi, perlakuan konsentrasi klorin juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a tapi nyata untuk indeks warna b dan C pada hari kelima. Interaksi perlakuan lama hydrocooling

dan konsentrasi klorin berpengaruh nyata untuk kandungan klorofil b dan tidak nyata untuk parameter lainnya.

Perlakuan hydrocooling dan klorin tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil, semakin lama waktu hydrocooling dan meningkatnya konsentrasi klorin cenderung menurunkan kandungan klorofil pada daun pak choi. Pengaruh perlakuan lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b serta kandungan total mikroba pak choi disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 15. Pada Tabel 4 terlihat kandungan klorofil a dan klorofil b tertinggi adalah pada perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin yaitu sebesar 0.52 mg/cm2 klorofil a dan 0.19 mg/cm2 klorofil b.

Tabel 4. Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, dan total mikroba pak choi (Brassica rapa var. chinensis)

Perlakuan Klorofil Daun Total

Waktu Klorin ( mg/cm2 ) Mikroba

HC (ppm) a b (koloni/gram) 0 0.52 a 0.19 a 3.7 x 106 a 5 menit 2.5 0.44 a 0.16 ab 3.2 x 106 a 5 0.42 a 0.16 b 3.2 x 106 a 0 0.41 a 0.15 b 3.8 x 106 a 15 menit 2.5 0.44 a 0.17 ab 3.5 x 106 a 5 0.46 a 0.16 ab 3.4 x 106 a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Duncan multiple range test (DMRT) HC 5, tanpa klorin HC 15, tanpa klorin HC 5, 2.5 ppm HC 15, 2.5 ppm HC 5, 5 ppm HC 15,5 ppm 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 K lo ro fi l ( mg /c m 2 ) Klorofil b Klorofil a

Gambar 15. Klorofil a dan klorofil b pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan

Pada Gambar 15 terlihat bahwa kandungan klorofil a lebih tinggi dari klorofil b. Pada tanaman klorofil terdapat dalam bentuk terikat secara kompleks oleh molekul protein. Khlorofil mempunyai struktur molekul menyerupai pigmen porphyrin seperti heme dimana pusatnya adalah ion Magnesium yang terdiri dari berbagai sisi rantai, biasanya termasuk rantai phytyl yang panjang. Pada umumnya klorofil yang banyak terdapat dalam tanaman adalah klorofil a dan klorofil b, dengan perbandingan mendekati 3:1 (von Elbe & Schwartz, 1996; Muchtadi, 1992; Winarno, 2002).

Sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan kombinasi perlakuan hyrocooling

dan klorin berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil b pak choi, hal ini sesuai dengan sifat klorofil b yang tidak stabil bila dibandingkan dengan klorofil a. Uji lanjut Duncan (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin memiliki kandungan klorofil lebih tinggi dari perlakuan lain yaitu sebesar 0.19 mg/cm2. Menurut Muchtadi (1992) perbedaan klorofil a dan b hanya terletak pada gugusan yang terikat pada atom C nomor 3, pada klorofil a (C55H72O5N4Mg) gugusan yang terikat adalah metil sedangkan pada klorofil b (C55H70O6N4Mg) adalah formaldehid (CHO), klorofil a diketahui lebih stabil terhadap panas dibandingkan klorofil b (Canjura, Schwartz, & Nunes, 1991; Schwartz & Lorenzo, 1991 diacu dalam Koca et al., 2003).

Klorofil merupakan salah satu zat warna (pigmen) yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan dan menjadi salah satu pembentuk warna dari sayuran dan buah-buahan. Sayuran terutama yang berwarna hijau mengandung banyak klorofil, klorofil terdapat didalam suatu organ sel yang disebut kloroplas dan sangat peka terhadap kerusakan selama pengolahan yang menyebabkan perubahan warna pada makanan (Schwartz & von Elbe, 1983). Pigmen pada sayuran dan buah-buahan mudah mengalami kerusakan oleh perlakuan-perlakuan yang dilakukan selama penanganan dan pengolahan diantaranya adalah oleh pengaruh panas, asam, alkali atau enzim (Muchtadi, 1992).

Setelah panen klorofil mengalami degradasi yang mengakibatkan perubahan warna buah dan sayuran dari hijau menjadi kuning, sehinggga sering digunakan sebagai indeks kesegaran khususnya untuk sayuran daun ( Winarno, 2002; Sweeney & Martin, 1961 diacu dalam Koca et al., 2003). Sulistyaningsih et al., (2005) mengatakan bahwa dengan mengukur tingkat kehijauan untuk mengetahui jumlah klorofil daun dapat dijadikan salah satu pendugaan bahwa daun yang lebih hijau diduga memiliki kandungan klorofil yang tinggi.

Penambahan klorin ditujukan untuk mengurangi kontaminasi mikroba pada sayuran. Meskipun penambahan klorin sampai 5 ppm belum memberikan pengaruh yang nyata menurunkan total mikroba pada sayuran namun cenderung 35

menurunkan jumlah total mikroba pada pak choi (Tabel 4). Tidak efektifnya perlakuan klorin dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi yang diberikan sangat rendah dan kemungkinan air yang digunakan untuk hydrocooling

sudah mengandung klorin dan mengandung bahan-bahan organik lainnya yang mengakibatkan tidak efektifnya penambahan klorin sebagai disinfektan.

Menurut Winarno (1994) pembentukan asam hipoklorit yang merupakan senyawa aktif dalam membunuh dan menghancurkan bakteri sangat tergantung pada pH, dimana pembentukannya akan maksimal pada pH 4.0 – 5.0. Kurang atau lebih pada pH tersebut akan menurunkan pembentukan dan efektifitasnya. Selain itu Forsythe et al., 1998 menjelaskan larutan hipoklorit harus selalu disimpan diruangan gelap dan dalam wadah yang tidak tembus cahaya agar stabilitasnya tetap terjaga. Jenie (1988) menambahkan bahwa klorin dari hipoklorit dan senyawa pelepas klorin lainnya dapat bereaksi dengan dan diinaktifkan oleh bahan organik yang tersisa, namun bila digunakan volume larutan klorin dalam konsentrasi yang cukup dan direkomendasikan efek sanitasi tetap dapat dicapai. Selanjutnya Winarno (1986) mengatakan beberapa jenis senyawa yang ada didalam air yang dapat bereaksi dengan klorin sehingga menginaktifkan klorin diantaranya adalah hidrogen sulfida, senyawa-senyawa yang mengandung besi, mangan dan nitrit.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa semakin lama waktu hydrocooling

menyebabkan total mikroba pada pak choi juga semakin meningkat. Selain tidak efektifnya klorin sebagai disinfektan disebabkan oleh terhambatnya pembentukan senyawa asam hipoklorit, tingginya total mikroba pada pak choi juga diduga karena pak choi sudah mengandung mikroba, serta air yang digunakan untuk

hydrocooling telah tercemar oleh mikroba sebelumnya, hal ini diketahui dari hasil

analisa terhadap air yang digunakan untuk hydrocooling diketahui telah mengandung mikroba sebesar 1.9 x 103 koloni/gram.

Kandungan total mikroba tertinggi pada penelitian ini adalah pada perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin yaitu sebesar 3.8 x 106 koloni/gram dan yang terendah adalah pada perlakuan hidrocooling 5 menit dengan 2.5 ppm klorin. Menurut Agar et al., (1999), batas maksimum jumlah total mikroba yang 36

berada pada buah atau sayur yang dikonsumsi secara segar adalah 106 CFU/g. Artinya pak choi yang di hydrocooling dengan dan tanpa penambahan klorin dalam penelitian ini masih aman untuk konsumsi.

Selama penyimpanan susut bobot dan kekerasan pak choi cenderung meningkat, ini menunjukkan pak choi semakin layu. Penurunan bobot dan kekerasan pak choi selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Penelitian yang dilakukan oleh Niyomlao et al., (2000) menyebutkan bahwa

hydrocooling dengan air 50C dapat mengurangi susut bobot, kandungan klorofil

Chinese kale selama penyimpanan sehingga dapat memperpanjang umur simpannya. -0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0 1 2 3 4 5 Pengamatan (hari) S u s u t B o b o t (% )

HC 5 menit tanpa klorin HC 15 menit tanpa klorin HC 5 menit, 2.5 ppm klorin HC 15 menit, 2.5 ppm klorin HC 5 menit, 5 ppm klorin HC 15 menit, 5 ppm klorin

Gambar 16. Susut bobot pak choi (Brassica rapa var chinensis) selama penyimpanan pada berbagai perlakuan

Gambar 16 menunjukkan bahwa pak choi yang di hydrocooling selama 5 menit dengan 2.5 ppm klorin memiliki susut bobot yang paling rendah namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, nilai susut bobot pada masing masing perlakuan adalah 0.29 % (5 mnt, 2.5 ppm klorin), 0.30 % (15 mnt, 2.5 ppm klorin), 0.32 % (5 mnt, 5 ppm klorin), 0.34 % (15 mnt, tanpa klorin), 0.34 % (15 mnt, 5 ppm klorin), dan 0.37 % (5 mnt, tanpa klorin). Thompson et al., (1998) mengemukakan bahwa waktu hydrocooling 0.1 sampai 1 jam untuk beberapa jenis sayuran dan buah-buahan mengakibatkan kehilangan bobot produk 0 sampai dengan 0.5%.

Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada sayuran dan buah-buahan yang disimpan terutama disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat dari proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi. Air di bebaskan dalam bentuk uap air pada proses transpirasi dan respirasi melalui stomata, lenti sel, dan bagian jaringan tumbuhan lain yang berhubungan dengan sel epidermis. Menurut Winarno (2002) kehilangan air akibat penguapan produk yang dialami secara terus menerus akan mengakibatkan produk mengalami susut bobot sehingga akan mengurangi keindahan penampakan dan tingkat penerimaan konsumen karena produk akan layu. Laju penguapan air sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan uap air antara produk dan lingkungan luar yang ditentukan oleh suhu dan RH, semakin tinggi suhu semakin besar kemampuan ruang penerima uap air dari produk. Kehilangan air bukan hanya mengurangi berat tetapi juga menyebabkan rupa bahan menjadi kurang menarik, tekstur jelek dan mutu menurun (Muchtadi, 1992). Selain itu juga dijelaskan bahwa komoditi yang berupa daun mempunyai tendensi untuk menguapkan air lebih cepat karena luas permukaannya yang tinggi disamping juga disebabkan sifat alami kulit luar, yaitu ada tidaknya lapisan lilin. Selain itu kehilangan bobot juga diakibatkan oleh hilangnya gas CO2 hasil respirasi.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0 1 2 3 4 5 6 Hari Pengamatan K eker asan (N )

HC 5 menit tanpa klorin HC 15 menit tanpa klorin

HC 5 menit, 2.5 ppm klorin HC 15 menit, 2.5 ppm klorin

HC 5 menit, 5 ppm klorin HC 15 menit, 5 ppm klorin

Gambar 17. Perubahan tingkat kekerasan petiol pak choi (Brassica rapa var.

chinensis) selama penyimpanan pada berbagai perlakuan

Gambar 17 menunjukkan terjadi fluktuasi kekerasan selama penyimpanan, namun secara umum terjadi peningkatan kekerasan pak choi pada semua kombinasi perlakuan. Peningkatan kekerasan ini seiring dengan meningkatnya kehilangan air yang dialami oleh pak choi. Muchtadi (1992) mengatakan tekstur (kekerasan) sayur-sayuran dipengaruhi oleh turgor dari sel-sel yang masih hidup, dimana jika isi (kandungan) sel berkurang maka sel akan menjadi lemas yang ditandai dengan layunya sayuran (tanaman). Dalam penelitian ini suhu penyimpanan yang tinggi (suhu ruang) juga mengakibatkan sayuran menjadi kehilangan cairan sehingga menjadi layu dan mengering. Disamping itu meningkatnya kekerasan pak choi selama penyimpanan mungkin disebabkan oleh karakteristik pak choi yang digunakan dalam penelitian ini, dimana pak choi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bagian petiol berserat sehingga dengan kehilangan air menyebabkan tanaman layu dan liat.

Perubahan warna merupakan salah satu indikator yang mudah dilihat untuk mengetahui telah terjadinya penurunan mutu pada sayuran daun seperti pak choi. Warna kuning yang terbentuk sejalan dengan penurunan mutu mengindikasikan telah terjadinya degradasi klorofil sebagai pigmen hijau pada daun. Pengaruh perlakuan lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap indeks warna L a b dan C pada awal dan akhir pengamatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap indeks

warna L a b dan C pak choi (Brassica rapa var chinensis)

Perlakuan Indeks Warna Daun

Waktu Klorin L a b C

HC (ppm) Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

0 42.0 57.9 -15.7 -14.0 22.0 32.5 27.1 35.5 5 menit 2.5 43.0 57.7 -16.5 -14.0 23.7 29.9 28.9 33.4 5 42.6 51.4 -15.3 -16.8 21.8 27.9 26.6 32.6 0 39.3 59.2 -15.1 -15.6 21.0 32.8 25.9 36.5 15 menit 2.5 44.2 56.6 -15.4 -15.3 21.8 32.6 26.7 36.1 5 44.4 54.0 -15.8 -14.6 22.6 28.0 27.6 31.8

Tabel 5 menunjukkan terjadinya perubahan nilai indeks warna daun pak choi selama penyimpanan, pada Tabel terlihat nilai L dan b cenderung meningkat, sedangkan nilai a dan C cenderung menurun. Peningkatan nilai L menunjukkan 39

meningkatnya kecerahan daun pak choi. Penurunan nilai a menunjukkan warna hijau daun pak choi semakin berkurang, seiring dengan itu terjadi peningkatan nilai b yang berarti daun pak choi semakin kuning. Pada hari pertama pengamatan warna daun pak choi adalah hijau dengan rata-rata nilai a -15.6, nilai b 22.2, pada

hari ke lima telah berubah dominan warna kuning dengan rata-rata nilai a -15.1.dan nilai b 30.6 (Gambar 18). Gambar 18 memperlihatkan pada kita

bahwa terjadi penurunan mutu pak choi selama penyimpanan, dimana pada hari kelima warna daun pak choi berubah menjadi lebih kuning dan lebih cerah, pada kondisi ini pak choi sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

Gambar 18. Warna daun pak choi pada awal (A) dan pada akhir pengamatan (B) Perubahan warna pada hasil tanaman dan sayuran merupakan proses yang umum menyertai terjadinya senescence dimana terjadi pembongkaran klorofil sehingga muncul warna-warna lain seperti kuning, merah jambu, dan merah tua (Kartasapoetra. 1994). Kader (1992) mengemukakan bahwa suhu penyimpanan adalah faktor utama yang mempenggaruhi terjadinya degradasi klorofil. Dalam penelitian ini penyimpanan pada suhu ruang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan warna pada pak choi, namun laju perubahan warna oleh perubahan suhu tidak bisa dilakukan karena tidak dilakukannya pengukuran parameter suhu ruang pada saat penelitian.

● A

● B

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) lama hydrocooling

memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata terhadap laju respirasi CO2 pak choi sampai jam ke-48. Tapi tidak terjadi interaksi antara lama hydrocooling dengan konsentrasi klorin terhadap laju respirasi pak choi. Tabel 6 menyajikan pengaruh perlakuan hydrocooling dan klorin terhadap laju respirasi CO2 pak choi sampai jam ke 60. Hasil Pengukuran konsentrasi CO2 pak choi dapat dilihat pada Lampiran 3.

Laju respirasi pak choi pada berbagai konsentrasi klorin dan lama

hydrocooling dapat dilihat pada Gambar 19. Uji lanjut Duncan menunjukkan

bahwa perlakuan hydrocooling 5 menit berbeda sangat nyata dengan hydrocooling

selama 15 menit pada pengukuran 3 jam ke 12 dan 16, nyata pada 3 jam ke 4, 8 dan tidak nyata setelah pengukuran ke 20 (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa pada pengukuran 3 jam ke 20 (sekitar 60 jam setelah perlakuan) pak choi sudah mengalami penurunan mutu pada semua kombinasi perlakuan. Tabel 6 menunjukkan bahwa secara umum perlakuan hydrocooling 5 menit dengan berbagai konsentrasi klorin memiliki laju respirasi yang lebih rendah, dimana kombinasi perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin memiliki laju rerspirasi yang paling rendah dibanding dengan perlakuan yang lain.

Tabel 6. Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap laju respirasi pak choi (Brassica rapa var chinensis) pada jam 12, 24, 36, 48 dan 60

Perlakuan

Laju Respirasi CO2 (ml/kg.jam) Waktu

HC

Klorin

(ppm) 12 Jam 24 Jam 36 Jam 48 Jam 60 Jam

0 30.5 27.5 33.4 35.1 84.0 5 menit 2.5 46.1 43.1 45.0 54.4 126.3 5 51.2 45.4 49.4 50.9 64.3 0 57.4 49.7 56.6 62.9 126.7 15 menit 2.5 62.8 50.5 54.4 54.8 96.9 5 59.9 59.9 59.1 60.8 99.8

Pada Gambar 19 dapat kita lihat bahwa pada semua kombinasi perlakuan memperlihatkan produksi CO2 yang cenderung terus menurun sampai 24 jam yang kemudian meningkat lagi. Terjadinya peningkatan produksi CO2 setelah 24 jam dapat mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, dimana menurut

Muchtadi (1992); Winarno (2002) respirasi dipengaruhi oleh faktor internal (tingkat perkembangan tanaman, komposisi kimia jaringan, ukuran produk, pelapisan alami dan jenis jaringan) dan faktor eksternal (suhu, etilen, ketersediaan oksigen, karbondioksida, senyawa pengatur tumbuh dan adanya luka). Peningkatan laju respirasi CO2 mungkin disebabkan oleh pengaruh suhu penyimpanan, (suhu ruang). Hal ini dijelaskan oleh Kader (1985), suhu penyimpanan mempengaruhi laju respirasi. Penurunan suhu dapat menurunkan laju respirasi. Laju respirasi terendah terjadi pada jam ke 24 ( pengukuran 3 jam ke 8) pada perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin, dengan laju respirasi 27.5 ml CO2/kg.jam. Laju respirasi tertinggi terjadi pada hydrocooling 15 menit dengan 5 ppm klorin sebesar 59.9 ml CO2/kg.jam.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) L aj u r esp ir asi C O 2 ( m l/k g .ja m )

HC 5 menit, tanpa klorin HC 15 menit, 5 ppm klorin

HC 5 menit, 2.5 ppm klorin HC 15 menit, 2.5 ppm klorin

HC 5 menit 5 ppm klorin HC 15 menit 5 ppm klorin

Gambar 19. Laju respirasi pak choi pada berbagai perlakuan

Laju respirasi dapat dianggap sebagai ukuran jalannya metabolisme, oleh karena itu sering dianggap sebagai potensi daya simpan sayuran dan buah-buahan setelah panen. Laju respirasi yang rendah biasanya disertai umur simpan yang panjang. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin merupakan perlakuan terbaik karena dapat menurunkan laju respirasi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang cenderung menyebabkan terjadinya peningkatan laju respirasi bila dibandingkan dengan tanpa

hydrocooling (Lampiran 3). Dimana dengan perlakuan hydrocooling 5 menit

tanpa klorin ini telah mampu menurunkan laju respirasi pak choi rata-rata sebesar 11.3 ml CO2/kg.jam setelah 36 jam.

Berdasarkan klasifikasi komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasinya yang dikemukakan oleh Kader (1992), maka dalam penelitian ini pak choi memiliki tingkat laju respirasi tinggi sampai sangat tinggi. Dalam penelitian ini sayuran disimpan pada suhu ruang dan ini merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya peningkatan metabolisme pada jaringan tanaman yang ditandai dengan laju respirasi yang tinggi. Menurut Winarno (2002) laju respirasi dikendalikan oleh suhu, dimana pada setiap kenaikan suhu 100C laju pernafasan meningkat dua atau tiga kali mengikuti Hukum Van’t Hoffs, namun demikian proses pendinginan dan penyimpanan dingin tidak akan mampu memperbaiki mutu produk, hanya dapat mempertahankan saja sehingga dibutuhkan pengaturan suhu yang hati-hati selama penanganan dan distribusinya. Semakin cepat panas

sensible (sensible heat atau field heat) dibuang segera setelah panen akan semakin

baik, karena akan mengakibatkan semakin lama masa simpan dan masa pemasaran produk tersebut.

Penilaian mutu produk pangan tidak cukup hanya berdasarkan analisis sifat-sifat objektifnya melainkan juga sifat-sifat indrawinya. Penilaian sifat indrawi penting bagi produk pangan untuk mengetahui apakah produk tersebut dapat diterima atau dikonsumsi oleh konsumen. Pengamatan atau pengukuran indrawi dilakukan dengan menggunakan kemampuan panca indra manusia (Soekarno dan Hubeis, 2000).

Dalam penelitian ini digunakan skala mutu hedonik yang bertujuan untuk mengetahui respon konsumen terhadap sifat-sifat produk yang lebih spesifik meliputi warna daun, kekerasan petiole, aroma dan penilaian secara umum. Sidik ragam menunjukkan perlakuan lama hydrocooling dan klorin tidak berpengaruh nyata terhadap uji organoleptik warna, kekerasan, aroma dan penilaian umum 15 orang panelis (Lampiran 5). Respon 15 orang panelis terhadap warna daun, kekerasan petiole, aroma dan penilaian umum pak choi yang di hydrocooling

dengan penambahan klorin dapat dilihat pada Gambar 20 - 23.

3.40 3.53 3.47 3.53 3.60 3.47 3.00 3.10 3.20 3.30 3.40 3.50 3.60 3.70 3.80 Sk o r W a rn a 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit

Gambar 20. Skor penilaian warna daun pak choi pada berbagai perlakuan Berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis terhadap warna daun pak choi yang diberi perlakuan menunjukkan bahwa panelis menyukai warna daun pak choi. Skor rata-rata tertinggi berdasarkan penilaian panelis terhadap warna dan kesegaran daun pak choi adalah pada perlakuan hydrocooling 5 menit 5 ppm klorin, dengan skor rata-rata 3.6 disusul oleh perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin, hydrocooling 15 menit 2.5 ppm klorin, hydrocooling 5 menit 2.5 ppm klorin, hydrocooling 15 menit 5 ppm klorin, dan terakhir adalah

hydrocooling 5 menit tanpa klorin dengan skor rata-rata secara berturut-turut 3.53,

3.53, 3.47, 3.47 dan 3.40.

Kekerasan petiol pak choi dinilai berdasarkan kemudahan panelis dalam mematahkan petiol pak choi. Berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis terhadap kekerasan ini menunjukkan bahwa panelis memberi penilaian biasa-biasa saja sampai suka dengan nilai rata 3.33 sampai 3.73 (Gambar 21). Skor rata-rata tertinggi berdasarkan penilaian panelis terhadap kekerasan petiol pak choi adalah pada perlakuan hydrocooling 15 menit 2.5 ppm klorin, dengan skor rata-rata 3.73 disusul oleh perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin,

hydrocooling 5 menit 5 ppm klorin, hydrocooling 5 menit 2.5 ppm klorin,

hydrocooling 15 menit 5 ppm klorin, dan terakhir adalah hydrocooling 5 menit

tanpa klorin dengan skor rata-rata secara berturut-turut 3.60, 3.60, 3.53, 3.53, dan 3.33.

3.33 3.60 3.53 3.73 3.60 3.53 3.00 3.10 3.20 3.30 3.40 3.50 3.60 3.70 3.80 S ko r K eker asan 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit

Gambar 21. Skor penilaian kekerasan petiol pak choi pada berbagai perlakuan Penilaian hedonik terhadap aroma pak choi setelah perlakuan

hydrocooling dan penambahan klorin lebih ditujukan untuk pengaruh adanya

aroma klorin pada pak choi. Dari uji yang diperoleh diketahui bahwa umunya panelis menyatakan tidak mencium aroma klorin pada pak choi setelah perlakuan, hal ini mungkin karena klorin yang diberikan konsentrasinya sangat rendah. Berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis menunjukkan umumnya panelis memberikan penilaian biasa-biasa saja sampai suka dengan skor rata-rata 3.2 – 3.6. Skor tertinggi adalah pada perlakuan hydrocooling selama 15 menit dengan penambahan 5 ppm klorin dan terendah hydrocooling 5 menit dengan penambahan 5 ppm klorin (Gambar 22).

3.53 3.53 3.47 3.47 3.20 3.60 3.00 3.10 3.20 3.30 3.40 3.50 3.60 3.70 3.80 S k or A rom a 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit

Gambar 22. Skor penilaian aroma pak choi pada berbagai perlakuan

3.53 3.73 3.40 3.47 3.33 3.60 3.00 3.10 3.20 3.30 3.40 3.50 3.60 3.70 3.80 S k or P e n il a ia n U m um 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit

Gambar 23. Skor penilaian umum pak choi pada berbagai perlakuan

Sedangkan untuk penilaian secara umum, berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis menunjukkan panelis dapat menerima pak choi pada berbagai perlakuan hydrocooling dan penambahan klorin. Pada Gambar 23 dapat dilihat umumnya rata-rata penilaian panelis biasa-biasa saja/netral sampai suka ( nilai 3.3 – 3.7 ), artinya secara organoleptik pak choi dapat diterima. Nilai tertinggi adalah perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin dengan skor 3.7 dan yang terendah adalah perlakuan hydrocooling 5 menit 5 ppm klorin dengan nilai 3.33.

Dalam penelitian ini, berdasarkan uji organoleptik terhadap warna daun, kekerasan petiol, aroma, dan penilaian panelis secara umum memperlihatkan pola yang beragam, namun secara umum panelis masih bisa menerima sayuran pada berbagai kombinasi perlakuan. Hal ini terlihat dari skor penilaian yang berada antara 3 sampai dengan 4 yang berarti panelis memberikan penilaian netral/biasa-biasa saja sampai suka terhadap pak choi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin dapat dipilih sebagai kombinasi perlakuan yang akan digunakan untuk tahap selanjutnya karena tidak berpengaruh nyata secara statistik dengan kombinasi perlakuan yang lain, selain itu dari penilaian terhadap aroma dan penilaian secara umum memiliki rata-rata skor penilaian yang menyatakan kesuakaan panelis terhadap pak choi dengan nilai 3.53 untuk masing-masing parameter.

Penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin terbaik untuk mempertahankan mutu pak choi adalah selama 5 menit tanpa klorin karena mempertahankan mutu pak choi lebih baik dibanding

Dokumen terkait