• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Hydrocooling dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi (Brassica rapa var Chinensis) selama Transportasi Darat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Hydrocooling dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi (Brassica rapa var Chinensis) selama Transportasi Darat"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH

HYDROCOOLING

DAN PENGEMASAN TERHADAP MUTU PAK CHOI

(

Brassica rapa

var.

Chinensis

) SELAMA

TRANSPORTASI DARAT

ANOLITA DEWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ”Pengaruh Hydrocooling dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi (Brassica rapa var. Chinensis) selama Transportasi Darat” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Anolita Dewi

(3)

ABSTRACT

ANOLITA DEWI. The Effects of Hydrocooling and Packaging on the quality of Pak Choi (Brassica rapa var. Chinensis) during Transportation. Under the supervision of I WAYAN BUDIASTRA and USMAN AHMAD.

The major losses in Pak choi (Brassica rapa var. Chinensis) postharvest handling system are caused by rough and improper handling, such as in putting and stacking overfilled container, washing, and loading into truck. This condition contributes a lot to damaged product during land transportation. The objective of this research was to study the effects of hydrocooling and packaging on the quality of pak choi during transportation. The study was conducted in two steps; the first step is to determine hydrocooling time and consentration of chlorine, and the second step is to find effect of preparation to control quality degradation during transportation. The result shows that hydrocooling in 5 minutes without chlorine gave the best appearance, freshness, chlorophyll content, total microbe, weight losses, and the lowest respiration rate. The packing with corrugated paper resulted in much better appearance, freshness, weight losses, and the lowest respiration rates after transportation with one and three layers of container for one and two hours transport simulation.

(4)

RINGKASAN

ANOLITA DEWI. Pengaruh Hydrocooling dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi (Brassica rapa var. Chinensis) selama Transportasi Darat. Dibimbing oleh

I WAYAN BUDIASTRA dan USMAN AHMAD.

Pak choi (Brassica rapa var. Chinensis) adalah salah satu sayuran subtropik yang saat ini banyak ditanam di Indonesia khususnya di dataran tinggi. Pak choi mempunyai umur simpan yang pendek dan memiliki sifat yang sangat mudah rusak, mudah layu, menguning dan segera membusuk setelah panen bila tidak ditangani dengan baik. Penanganan pasca panen pak choi juga perlu memperhatikan aspek kondisi jalan dan jarak tempuh dari lahan ketempat penaganan selanjutnya. Praktek penanganan pasca panen dan cara pengemasan yang baik akan dapat mempertahankan mutu dan umur simpan pak choi.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menentukan waktu hydrocooling

dan konsentrasi klorin yang tepat untuk pak choi sebelum transportasi darat, mengetahui pengaruh jenis dan cara pengemasan terhadap mutu pak choi selama transportasi darat dan menentukan jenis dan cara pengemasan pak choi yang sesuai untuk transportasi darat.

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, tahap pertama adalah untuk menentukan waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin optimal untuk pak choi yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor, faktor pertama yaitu konsentrasi klorin dengan 3 taraf yaitu A1 = tanpa klorin; A2 = 2.5 ppm; dan A3 = 5 ppm.

Faktor kedua adalah waktu hydrocooling ( suhu 3 - 5oC) dengan 2 taraf yaituB1 =

5 menit; dan B2 = 15 menit. Penelitian tahap II adalah untuk menguji kombinasi

perlakuan hydrocooling (5 menit tanpa klorin), kemasan transportasi, tumpukan kemasan dan penggetaran terhadap penurunan mutu pak choi yang disusun secara faktorial dengan 3 faktor. Faktor pertama yaitu perlakuan pengemasan untuk transportasi yang terdiri atas 3 taraf yaitu A1 = kemasan plastik polietilen (PE),

A2 = kemasan karton dan A3 = kemasan keranjang plastik. Faktor kedua adalah

tumpukan kemasan yang terdiri dari 2 taraf yaitu B1 = tidak ditumpuk, dan B2 =

ditumpuk (3 tumpukan). Sedangkan faktor ketiga adalah lama penggetaran diatas meja getar yang terdiri dari 2 taraf yaitu C1 = 1 jam, dan C2 = 2 jam dengan

frekwensi dan amplitudo rata-rata 3.32 Hz dan 3.56 cm. Aspek ekonomis dilakukan dengan menghitung kelayakan penggunaan kemasan dalam usahatani pak choi segar.

Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan lama hydrocooling tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a b dan C tetapi berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap laju respirasi CO2 pak choi.

Penambahan klorin sebagai desinfektan dalam proses hydrocooling pak choi tidak perlu dilakukan karena tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a tapi nyata untuk indeks warna b dan C pada hari kelima. Interaksi perlakuan lama

hydrocooling dan konsentrasi klorin berpengaruh nyata untuk kandungan klorofil

(5)

hydrocooling 5 menit tanpa klorin terbaik untuk mempertahankan mutu pak choi, karena telah dapat mempertahankan mutu lebih baik dan mampu menurunkan laju respirasi pak choi lebih baik dari perlakuan lain yaitu rata-rata sebesar 11.3 ml CO2/kg.jam setelah 36 jam dari pak choi tanpa perlakuan.

Perlakuan jenis kemasan, penumpukan, dan lama penggetaran memberikan pengaruh yang beragam terhadap pak choi setelah simulasi transportasi. Jenis kemasan berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot, dan laju respirasi tapi tidak nyata terhadap indeks warna (L, a, b, C) dan kekerasan pak choi. Perlakuan penumpukan secara umum memberikan pengaruh yang nyata sampai sangat nyata terhadap perubahan indeks warna (L, a, b, C), kekerasan, dan sangat nyata untuk susut bobot, laju respirasi CO2 tapi tidak nyata untuk tingkat

kerusakan mekanis pak choi. Sedangkan perlakuan waktu penggetaran berpengaruh sangat nyata pada tingkat kerusakan mekanis pak choi namun tidak berpengaruh nyata untuk parameter pengamatan yang lain.

Interaksi antara jenis kemasan, penumpukan, dan waktu penggetaran tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan mekanis, indeks warna (L, a, b, C), susut bobot, kekerasan, dan laju respirasi CO2, namun terjadi interaksi 2 faktor

antara jenis kemasan dan penumpukan terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot, laju respirasi CO2. Hampir untuk semua pengamatan tidak terjadi interaksi

2 faktor antara jenis kemasan dan waktu penggetaran ataupun faktor penumpukan dan waktu penggetaran kecuali untuk indeks warna b dan C hari keempat terjadi interaksi antara jenis kemasan dan waktu penggetaran.

Kerusakan mekanis pak choi pada simulasi transportasi darat dalam penelitian ini sangat dipengaruhi oleh jenis kemasan yang dipakai. Kemasan karton memiliki nilai tingkat kerusakan mekanis yang lebih rendah dibanding kemasan keranjang plastik dan plastik polietilen yaitu secara berturut-turut 13.1%, 17.1%, dan 19.6%.

(6)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PENGARUH

HYDROCOOLING

DAN PENGEMASAN TERHADAP MUTU PAK CHOI

(

Brassica rapa

var.

Chinensis

) SELAMA

TRANSPORTASI DARAT

ANOLITA DEWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Pengaruh Hydrocooling dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi (Brassica rapa var. Chinensis) selama Transportasi Darat

Nama : Anolita Dewi

NRP : F 051 050 051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Pasca Panen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(10)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2007 ini adalah ”Pengaruh Hydrocooling dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi

(Brassica rapa var. Chinensis) selama Transportasi Darat” sebagai syarat

akademik untuk kelulusan program Magister Sains dari program studi Teknologi Pasca Panen (TPP).

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr sebagai Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran-saran sejak awal penelitian sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, Msi sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam perbaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kota Padang Panjang beserta semua pihak khususnya Dinas Pertanian Kota Padang Panjang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sulyaden dari laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, rekan-rekan di program studi TPP angkatan 2005, Nova, mbak Erma dan teman-teman di PCH, yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Alamsyah dan Ibunda Darmaini serta adik-adik (Yesi, Ad, Rico dan Mega), ponakanku Alif serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 9 Desember 1971 dari Ayah Alamsyah dan Ibu Darmaini. Penulis merupakan

putri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Payakumbuh dan pada tahun itu juga penulis diterima pada jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan lulus Maret 1995.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN... 1

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Pak Choi... 4

Penanganan Pasca Panen Pak Choi... 5

Laju Respirasi... 7

Pendinginan Pendahuluan (Preecooling)... 8

Disinfektan... 11

Kemasan Transportasi... 13

Transportasi... 15

METODOLOGI PENELITIAN... 19

Waktu dan Tempat Penelitian... 19

Bahan dan Alat... 19

Prosedur Penelitian…………..………..…. 19

Pengamatan dan Pengukuran….…………..……….…….. 27

HASIL DAN PEMBAHASAN………..……… 33

Penelitian Tahap Pertama (Pengaruh hydrocooling dan Klorin terhadap Mutu Pascapanen Pak Choi)…...…..…….. 33 Penelitian Tahap Kedua (Pengaruh pra Pengemasan dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi selama Transportasi Darat).... 47 SIMPULAN DAN SARAN………..……….. 67

Simpulan………..………... 67

Saran………..………. 68

DAFTAR PUSTAKA... 69

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi gizi Pak choi dan Petsai per 100 g bahan ... 5 2 Klasifikasi komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasinya ... 8 3 Metode pendinginan yang disarankan untuk sayuran daun

berdasarkan skala usaha... 10

4 Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, dan total mikroba pak choi (Brassica rapa var chinensis)...

34

5 Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap indeks warna L a b dan C pak choi (Brassica rapa var chinensis)...

39

6 Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap laju respirasi pak choi (Brassica rapa var chinensis) pada jam 12, 24, 36, 48 dan 60...

41

7 Pengaruh jenis kemasan, penumpukan dan waktu penggetaran terhadap tingkat kerusakan mekanis pak choi (Brassica rapa var

chinensis). ... 52

8 Pengaruh jenis kemasan, penumpukan dan waktu penggetaran terhadap laju respirasi pak choi (Brassica rapa var chinensis)...

55

9 Pengaruh jenis kemasan, penumpukan dan waktu penggetaran terhadap indeks warna L a b pak choi (Brassica rapa var chinensis)....

63

10 Hasil perhitungan analisa finansial pada usahatani pak choi (Brassica rapa var chinensis) segar pada tingkat harga Rp 2,500/Kg...

64

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pak Choi (Brassica rapa var. Chinensis)... 4

2 Kotak karton tipe double and tripe face corrugated fiberboard ……... 15

3 Bagan alir penelitian tahap I... 20

4 Hidrocooling pak choi dalam air es suhu 3-50C………. 22

5 Penyusunan pak choi dalam kemasan plastik PE... 23

6 Penyusunan pak choi dalam kemasan kotak kardus... 23

7 Penyusunan pak choi dalam kemasan keranjang plastik... 23

8 Penyusunan pak choi yang telah dikemas pada alat simulasi transportasi... 24 9 Bagan alir penelitian tahap II... 25

10 Gas Analyzer Shimadzu untuk mengukur konsentrasi gas O2 tipe 101 dan CO2 tipe IRA 107………. 28 11 Rheometer model CR-3000……… 29

12 Chromamometer minolta tipe CR-310………... 30

13 Sistem notasi warna menurut Hunter………..………... 30

14 Spectrophotometer untuk mengukur kandungan klorofil... 31

15 Klorofil a dan klorofil b pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan 34 16 Susut bobot pak choi (Brassica rapa var chinensis) selama penyimpanan pada berbagai perlakuan……….. 37 17 Perubahan tingkat kekerasan petiol pak choi (Brassica rapa var. chinensis) selama penyimpanan pada berbagai perlakuan... 38 18 Warna daun pak choi pada awal (A) dan pada akhir pengamatan (B)... 40

19 Laju respirasi pak choi pada berbagai perlakuan………... 42

20 Skor penilaian warna daun pak choi pada berbagai perlakuan... 44

21 Skor penilaian kekerasan petiol pak choi pada berbagai perlakuan…... 45

22 Skor penilaian aroma pak choi pada berbagai perlakuan………... 45

(15)

24 Persentase kerusakan mekanis pak choi berdasarkan jenis kemasan dan waktu penggetaran simulasi transportasi...

49

25 Kondisi sayuran pada kemasan yang tidak ditumpuk (A) dan yang ditumpuk 3 (B) dalam kemasan karton dan keranjang plastik setelah simulasi transportasi...

50

26 Memar dan retak pada pak choi………. 51 27 Laju respirasi pak choi pada kemasan yang tidak ditumpuk pada

berbagai kombinasi perlakuan setelah transportasi ... 54

28 Laju respirasi pak choi pada kemasan yang ditumpuk 3 pada berbagai kombinasi perlakuan setelah transportasi...

54

29 Perubahan susut bobot pak choi pada berbagai perlakuan kemasan yang tidak ditumpuk selama transportasi...

57

30 Perubahan susut bobot pak choi pada berbagai perlakuan kemasan yang ditumpuk selama transportasi...

58

31 Perubahan tingkat kekerasan pak choi kemasan yang tidak ditumpuk pada berbagai kombinasi perlakuan setelah transportasi...

58

32 Perubahan tingkat kekerasan pak choi kemasan yang ditumpuk pada berbagai kombinasi perlakuan setelah tranportasi...

59

33 Warna daun pak choi pada awal (A) dan pada akhir pengamatan (B) perlakuan kemasan yang tidak ditumpuk setelah transportasi...

61

34 Warna daun pak choi pada awal (A) dan pada akhir pengamatan (B) perlakuan kemasan yang ditumpuk setelah transportasi………

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Konversi angkutan truk berdasarkan data lembaga uji konstruksi BPPT 1986 (Soedibyo, 1992)...

74

2 Sidik Ragam penelitian tahap pertama... 77

3 Hasil Pengukuran Konsentrasi CO2 pada Tahap I... 79

4 Uji lanjut Duncan Laju Respirasi CO2 untuk perlakuan hydrocooling.. 80

5 Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Lama Hydrocooling dan Konsentrasi Klorin terhadap Uji Organoleptik Warna, Kekerasan, Aroma dan Penilaian secara Umum pak choi. 81 6 Sidik ragam penelitian tahap kedua... 82

7 Uji lanjut Duncan Kerusakan Mekanis untuk perlakuan Kemasan ... 88

8 Uji lanjut Duncan Kerusakan Mekanis untuk perlakuan Waktu Penggetaran... 88 9 Hasil Pengukuran Konsentrasi CO2 pada Tahap II... 89

10 Uji lanjut Duncan Laju Respirasi CO2 untuk perlakuan kemasan... 91

11 Uji lanjut Duncan Laju Respirasi CO2 untuk perlakuan penumpukan... 91

12 Uji lanjut Duncan Laju Respirasi CO2 untuk interaksi perlakuan kemasan dan penumpukan... 92 13 Uji lanjut Duncan susut bobot untuk perlakuan Kemasan... 93

14 Uji lanjut Duncan susut bobot untuk interaksi perlakuan kemasan dan penumpukan... 93 15 Uji lanjut Duncan susut bobot untuk interaksi perlakuan kemasan dan waktu penggetaran... 93 16 Uji lanjut Duncan susut bobot untuk perlakuan Penumpukan... 94

17 Uji lanjut Duncan Kekerasan untuk perlakuan Penumpukan... 94

18 Uji lanjut Duncan Nilai L untuk perlakuan Penumpukan... 94

19 Uji lanjut Duncan Nilai a untuk perlakuan Penumpukan... 94

20 Uji lanjut Duncan Nilai b untuk perlakuan Penumpukan... 95

21 Uji lanjut Duncan Nilai Chroma untuk perlakuan Penumpukan... 95 22 Uji lanjut Duncan Nilai b untuk interaksi perlakuan kemasan dan

(17)

23 Uji lanjut Duncan Nilai Chroma untuk interaksi perlakuan kemasan dan waktu penggetaran...

95 24 Analisa Usaha Tani Pak Choi (kemasan PE)... 96 25 Analisa Usaha Tani Pak Choi (kemasan Kotak Karton)... 97 26 Analisa Usaha Tani Pak Choi (kemasan Keranjang Plastik)... 98 27 Perhitungan Analisa Finansial Usahatani Kubis Pada Beberapa

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Kebutuhan akan sayuran tersebut semakin meningkat seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk. Dengan melihat kebutuhan terhadap sayuran yang kontinu maka nilai komersial produk hortikultura ini cukup tinggi. Selain itu sejalan dengan meningkatnya pendapatan dan kualitas pendidikan masyarakat maka meningkat pula kesadaran masyarakat tentang pola hidup sehat dan bergizi melalui konsumsi sayuran dan buah-buahan yang memadai.

Perubahan pola konsumsi tersebut terlihat pada perubahan gaya hidup yang terjadi pada level masyarakat menengah keatas. Hal ini diindikasikan dengan semakin banyaknya restoran franchise dan hotel yang menyajikan makanan-makanan asing serta pasar-pasar swalayan yang menyediakan sayuran asing seperti selada dan pak choi. Pak choi saat sekarang mulai populer dan banyak ditemukan dipasar swalayan di Indonesia.

Pak choi (Brassica rapa var. Chinensis) telah dibudidayakan dan merupakan sayuran serbaguna dan secara luas dikonsumsi di China dan Australia. Di Indonesia pak choi sudah banyak dibudidayakan oleh petani di daerah Cipanas, Jawa Barat dengan pertumbuhan yang baik. Pemanenan dilakukan dalam berbagai langkah untuk bermacam penggunaan; bagian daun yang muda dapat dimanfaatkan untuk sayuran segar campuran salad, sementara daun yang lebih tua sangat bagus untuk lalapan. Bentuk daun yang membuka membuatnya sebagai komoditas yang sangat perishable (mudah rusak), mudah layu, menguning, dan membusuk setelah panen (Grant et al., 2001). Sayuran ini mempunyai umur simpan yang pendek dan umumnya dijual segera setelah panen (Xiangyang dan Bagshaw, 2001).

Untuk mencegah terjadinya kerusakan pasca panen komoditas sayur-sayuran diperlukan cara penanganan yang tepat, sehingga kehilangan dapat ditekan serendah mungkin. Penanganan yang baik dapat memperpanjang masa

(19)

simpan dan mempertahankan mutu sayuran segar dalam waktu yang cukup lama. Cara penanganan pascapanen sayuran yang dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutunya adalah dengan teknik pengemasan, penggunaan anti mikroba, pengaturan suhu penyimpanan, penyimpanan dengan atmosfer termodifikasi, perlakuan precooling dan kombinasi berbagai cara tersebut.

Setelah panen, beberapa jenis sayuran dan buah-buahan disarankan untuk diberi perlakuan pra pendinginan yang dimaksudkan untuk menghilangkan panas lapang (field heat) dengan cepat dan sesegera mungkin untuk mengurangi laju respirasi dan reaksi metabolisme lain, mengurangi beban pendinginan selama penyimpanan, dan mempertahankan kesegaran, mutu, serta memperpanjang umur simpan. Gast dan Flores (1991); Jobling (2000) menyebutkan, precooling dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pendinginan dengan air (hydrocooling) dengan pencelupan dalam air, dalam air dingin atau es; pendinginan ruang (room

cooling), pendinginan dengan hampa udara (vacuum cooling); dengan hembusan

udara dingin (force air cooling), atau melalui sentuhan dengan es (top icing). Upaya untuk mempertahankan mutu sayuran dan buah juga dapat dilakukan dengan penambahan zat kimia sebagai antimikroba untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari air yang digunakan selama penanganan pascapanen produk sayuran dan buah-buahan salah satunya adalah dengan penambahan klorin pada konsentrasi rendah.

Sebagai produk hidup pak choi masih melangsungkan proses kehidupan meskipun telah dipanen. Untuk itu diperlukan penanganan hasil panen secara tepat. Secara umum tujuan pascapanen diantaranya adalah agar sayuran yang dipanen tetap baik mutunya hingga sampai ketangan konsumen. Kebanyakan tanaman di tanam dilahan yang relatif dekat kepasar dan diangkut dengan truk tanpa berpendingin. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di China angka kehilangan secara umum mencapai diatas 25% (J. Bagshaw, pers. Comm. 2000 dalam Grant et al., 2001). Purwadaria (1992) menyatakan bahwa pengangkutan sayuran dan buah-buahan dengan jalan darat pada umumnya menggunakan truk dan pick-up tanpa pendingin. Untuk pengangkutan jarak jauh dalam suatu pulau yang lebih dari 5 jam sebaiknya menggunakan kereta api dengan gerbong

(20)

pendingin. Sedangkan pengangkutan kurang dari 5 jam dapat melalui jalan raya tanpa truk pendingin.

Pengangkutan darat merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan pasca panen sayuran dan buah-buahan khususnya di negara berkembang didaerah tropika seperti Indonesia, untuk itu dibutuhkan suatu kajian menyangkut aspek pengangkutan untuk mengantisipasi kehilangan hasil pertanian khususnya sayuran segar.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh perlakuan hydrocooling dan pengemasan terhadap mutu pak choi selama transportasi darat.

Sedangkan tujuan khususnya adalah :

1. Menentukan waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin yang tepat untuk pak choi sebelum transportasi darat.

2. Mengetahui pengaruh jenis dan penumpukan kemasan terhadap mutu pak choi selama transportasi darat.

3. Menentukan jenis dan penumpukan kemasan pak choi yang sesuai untuk transportasi darat.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Pak Choi (Brassica rapa var. Chinensis)

Tanaman Pak Choi termasuk tanaman sayuran dan berasal dari keluarga Cruciferae/Brassicaceae atau lebih dikenal sebagai petsai dan sawi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi serta dapat berkembang pesat di daerah sub tropis dan tropis. Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistematika) tumbuhan, pak choi termasuk dalam :

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub Kelas : Dycotyledonae Ordo : Papavorales

Famili : Cruciferae atau Brassicaceae Genus : Brassica

Species : Brassica chinensis L

Gambar 1. Pak Choi (Brassica rapa var. Chinensis) http://en.wikipedia. org/wiki/Chinese_cabbage 29 Januari 2007)

Pak choi disebut juga petsai bunga. Ciri-ciri petsai jenis ini adalah : daun-daunnya halus (tidak berbulu) dan tidak mampu membentuk krop (telur). Meskipun ada beberapa varietas pak choi berkrop, tetapi kropnya tidak padat. Hariyanto et al., (2003) menambahkan bahwa penampilan dari pak choi ini mirip

(22)

dengan sawi, tetapi lebih pendek dan kompak. Tangkai daunnya lebar dan kokoh, tulang daun dan daun mirip dengan sawi hijau, namun daunnya lebih tebal dari sawi hijau (Gambar.1). Di Indonesia tanaman ini pada umumnya dibudidayakan di dataran tinggi (pengunungan) lebih dari 100 m diatas permukaan laut, kondisi iklimnya sejuk dan lembab, serta kisaran suhu antara 150C – 250C.

Pak choi siap dipanen apabila umurnya cukup tua (30-40 hari), ukuran krop atau pembentukan daunnya cukup maksimal, dengan daun-daun muda berukuran besar. Menurut Rukmana (1994) tanaman ini termasuk sayuran daun yang cepat rusak atau susut, biasanya dikonsumsi dalam bentuk lalap segar, lalap masak dan aneka makanan cina lainnya. Sebagai sayuran daun pak choi kaya akan sumber vitamin dan mineral berikut ini perbandingan zat gizi petsai dan pak choi (Tabel 1).

Tabel 1. Komposisi gizi Pak choi dan Petsai per 100 g bahan (http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_cabbage 29 Januari 2007)

Bahan Penyusun Pak Choi Petsai Energi (kcal) 10 (50 kJ) 20 ( 70 kJ) Karbohidrat (g)

- serat (g)

2.2 1.0

3.2 1.2

Lemak (g) 0.2 0.2

Protein (g) 1.5 1.2

Vitamin C (mg) 45 27

Sodium (mg) 65 9

Sumber : USDA Nutrient database

Penanganan Pasca Panen Pak Choi

Salah satu permasalahan yang sangat penting dalam pemasaran produk hortikultura khususnya sayuran pada umumnya adalah penanganan pasca panen. Kehilangan pasca panen sayuran tercatat masih cukup tinggi dan sangat bervariasi tergantung pada komoditas, lokasi panen dan musim. Di Amerika Serikat kehilangan buah dan sayuran segar diperkirakan berkisar 2% sampai 23% tergantung pada komoditas, dengan rata-rata sekitar 12% kehilangan terjadi pada saat antara panen dan perjalanan antara hingga sampai ketangan konsumen (Cappellini and Ceponis, 1984; Harvey, 1978 diacu dalam Kader, 2003).

(23)

Perkiraan kehilangan pasca panen pada negara berkembang sangat bervariasi mulai dari 1% hingga 50% atau bisa lebih (FAO, 1981; National Academy of Science, 1978 diacu dalam Kader, 2003).

Tujuan penanganan pasca panen adalah untuk mempertahankan kualitas, keamanan dan meminimalkan kehilangan komoditi sejak produksi sampai dikonsumsi oleh konsumen (Kader, 2003). Dimana untuk mengurangi kehilangan pasca panen, meningkatkan ketersediaan pangan bagi pertumbuhan populasi manusia, mengurangi luasan areal yang dibutuhkan untuk memproduksi dan menyelamatkan sumberdaya alam adalah dengan menggunakan genotip tanaman yang memiliki umur simpan/pasca panen yang lama, menerapkan sistem manajemen tanaman terpadu untuk menghasilkan/memperoleh kualitas produk yang baik dan menggunakan sistem penanganan pasca panen yang dapat memelihara kualitas dan keamanan produk.

Secara umum penanganan pascapanen sayuran terdiri atas pembersihan

(cleaning), pengkelasan (grading), penyimpanan (storing), pengemasan

(packaging), pengangkutan, dan pemasaran. Tujuan utama penanganan pasca

panen adalah untuk memperkecil kehilangan dan kerusakan hasil panen serta menjaga kesegarannya. Penanganan pascapanen dilakukan ditingkat petani, pedagang dan industri.

Xiangyang dan Bagshaw (2001), menyebutkan bahwa kehilangan atau penyusutan utama selama penanganan pasca panen pak choi adalah disebabkan oleh : a) kerusakan mekanis yang disebabkan oleh penanganan yang kasar ketika mengemas dilapangan, penumpukan kemasan yang berlebihan, pencucian dan bongkar muat ke truk. Penundaan/pemberian label dipasar pengecer juga mengakibatkan beberapa kerusakan mekanis, b) susut bobot (pelayuan) selama di gudang penyimpanan dan pasar pengecer, c) penguningan daun yang disebabkan oleh suhu tinggi dan penundaan selama penanganan.

Selanjutnya Xiangyang dan Bagshaw (2001), mengatakan perlu dilakukan peningkatan sistem pasca panen sehingga penyusutan bisa dikurangi, diantaranya adalah dengan : a) pananganan pak choi secara hati-hati selama pemanenan dan pengangkutan untuk mengurangi kerusakan mekanis, b) menggunakan plastik

(24)

pembungkus dalam keranjang untuk mengurangi luka/gesekan, c) tidak mengisi kemasan terlalu penuh, d) menutup produk dengan plastik pembungkus saat/selagi dititik pengumpulan atau pasar grosir, e) mengurangi waktu penundaan dalam penanganan, dimana hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kehilangan kelembaban dan penguningan pada daun, f) penyemprotan dengan air dingin saat/sementara menunggu untuk dijual, g) menghindari penandaan di pasar eceran bila dengan penandaan akan membuat produk rusak

Laju Respirasi

Dalam proses penyimpanan suatu sayuran dan buah-buahan harus disadari bahwa komoditi yang ditangani melakukan pernafasan dan respirasi, yaitu proses oksidasi gula membentuk gas karbon dioksida dan air yang juga disertai dengan pelepasan energi dalam bentuk panas, yang jumlahnya tergantung pada macam dan jenis komoditi (Muchtadi, 1992).

Secara sederhana proses respirasi dapat digambarkan dengan persamaan reaksi kimia berikut :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 674 kal energi

Cara umum yang digunakan untuk mengukur kecepatan respirasi adalah dengan cara mengukur jumlah gas karbon dioksida yang dihasilkan atau jumlah gas oksigen yang digunakan, sehingga bisa dilakukan evaluasi terhadap proses respirasi suatu komoditi. Perbandingan antara gas karbon dioksida yang dikeluarkan dan oksigen yang digunakan disebut persamaan respirasi atau

Respiratory Quotient (RQ). Persamaan ini penting untuk menentukan substrat

yang digunakan dalam respirasi, kesempurnaan proses respirasi dan derajat proses aerobik dan anaerobik.

Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk menduga umur simpan buah dan sayuran setelah dipanen. Bahan yang memiliki laju respirasi tinggi biasanya memiliki umur simpan yang pendek (Pantastico, 1989). Berdasarkan laju respirasinya, komoditi hortikultura dapat diklasifikasikan seperti terlihat pada Tabel 2.

(25)

Tabel 2. Klasifikasi komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasinya (Kader, 1992)

Kelas

Kisaran laju respirasi pada 5oC (41oF) (ml CO2/kg-jam)

Komoditi

Sangat rendah <5 Kurma, buah dan sayuran kering, kacang-kacangan

Rendah 5 - 10 Apel. bit, seledri, jeruk, bawang putih, anggur, bawang merah, pepaya, nenas, kentang (mature), ubi jalar.

Sedang 10 - 20 Apricot, pisang, kubis, wortel, mentimun, selada (head), mangga, pir, kentang (immature), tomat.

Tinggi 20 - 40 Alpukat, wortel (dengan daun), kembang kol, selada (leaf). Sangat tinggi 40 - 60 Artichoke, brokoli, bunga

potong, bawang daun, kale, okra, buncis.

Sangat-sangat tinggi >60 Asparagus, jamur, bayam, jagung manis.

Laju respirasi suatu produk dipengaruhi oleh faktor internal yang terdiri dari: tingkat perkembangan, komposisi kimia jaringan, ukuran produk, pelapisan alami, dan jenis jaringan. Selain itu juga ditentukan oleh faktor eksternal yaitu oleh suhu, etilen, ketersediaan oksigen, karbondioksida, senyawa pengatur pertumbuhan, luka atau memar (Muchtadi, 1992; Rees and Hammond, ______)

Pendinginan Pendahuluan (Precooling)

Pendinginan pendahuluan merupakan salah satu usaha untuk menghilangkan panas lapang pasca panen guna memperlambat respirasi, memperkecil kerentanan terhadap serangan mikroorganisme, mengurangi kehilangan air dan meringankan beban sistem pendinginan pada kendaraan pengangkutan (Pantastico, 1989).

(26)

Gast dan Flores (1991); Jobling (2000) menyebutkan, precooling dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pendinginan dengan media air

(hydrocooling) dengan pencelupan dalam air, dalam air dingin atau es;

pendinginan ruang (room cooling), pendinginan dengan hampa udara (vacuum

cooling); dengan hembusan udara dingin (force air cooling), atau melalui

sentuhan dengan es (top icing).

Pemilihan cara precooling biasanya ditentukan oleh : a) sifat-sifat daya hantar panas komoditi, b) perbandingan permukaan terhadap isi, c) mudah tidaknya rusak komoditi tersebut, d) biaya operasi, dan e) mudah tidaknya metode tersebut sesuai dengan ketersediaan fasilitas (Pantastico, 1989).

Laju pendinginan tergantung pada beberapa faktor yaitu : a) Laju perpindahan panas dari produk ke medium pendingin, b) perbedaan suhu antara produk dan medium pendingin, c) sifat alami medium pendingin, dan d) sifat alami produk yang mempengaruhi laju penghilangan panas. Laju pendinginan produk tidak konstan, diawali dengan laju cepat dan kemudian menurun seiring menurunnya perbedaan suhu produk dan medium pendingin. Sehingga dibutuhkan waktu lama bagi produk untuk mencapai suhu 5oC dibanding penurunan suhu 5oC pertama (Jobling, 2000; Winarno, 2002).

Hydrocooling adalah metode precooling dengan menuangkan produk ke

dalam air dengan suhu sekitar 0oC. Metode ini dianggap merupakan metode yang paling efektif guna membuang panas sensibel. Produk dan kemasan harus toleran terhadap air, disamping itu produk juga harus toleran pada konsentrasi rendah klorin (50-200 ppm) yang digunakan sebagai disinfektan sebagai salah satu langkah untuk sanitasi dan mencegah timbulnya penyakit selama penyimpanan (Gast and Flores, 1991). Sedangkan menurut Tan et al., (2005) pendinginan dengan metode hydrocooling dengan penambahan klorin 100-300 ppm pada suhu 0.5oC dan pH 7.3-7.6 efektif untuk perlakuan prapendinginan brassica namun ini lebih sulit untuk dilakukan bila dibandingkan dengan metode forced-air cooling.

Becker and Fricke (2001) menyebutkan bahwa hydrocooling adalah salah satu metode precooling dimana produk disemprot dengan air atau dengan memasukkan produk kedalam suatu bak. Hal yang sama juga dikemukakan oleh

(27)

DeEll J (2003), bahwa metode precooling dengan hydrocooling efektif untuk pendinginan sayur-sayuran dalam kemasan atau curah secara cepat.

Jobling (2000) menambahkan bahwa metode hydrocooling mempunyai keuntungan bila dibandingkan metode precooling lainnya yaitu dapat membantu membersihkan produk, selain itu juga bisa dilakukan penambahan klorin untuk mencegah perkembangan patogen. Metode ini sesuai untuk produk seperti tomat, melon dan sayuran daun.

Thomson et al., (2002) diacu dalam DeEll J (2003) menyarankan metode pendinginan untuk sayuran khususnya sayuran seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Metode pendinginan yang disarankan untuk sayuran daun berdasarkan skala usaha

Skala Usaha Komoditi

Besar Kecil

Kubis VC, FA FA

Iceberg letuce VC FA

Kale VC, RC, WVC FA

Selada daun, bayam, chinese cabbage, pak choi

VC, FA, WVC, HC FA Keterangan :

VC = Vacuum Cooling FA = Forced-Air Cooling RC = Room Cooling HC = Hydrocooling

WVC = Wet Vacuum Cooling

Air digunakan disepanjang proses penanganan pasca panen dan pemasaran sayuran dan buah-buahan. Pembilasan, pendinginan, pencucian, pelilinan dan pengangkutan adalah semua tahap yang menggunakan air. Oleh karena tingginya tingkat kontak antara produk dengan air ini, maka penting untuk memperhatikan jenis air yang digunakan agar tidak menjadi sumber kontaminasi (Gast and Holt, 2000). Air dapat mengurangi kontaminasi, tapi juga dapat meningkatkan kontaminasi bila air digunakan secara berulangkali. Sehingga sangat penting untuk selalu menggunakan air dengan standar air minum untuk proses pencucian dan pembersihan produk sayuran dan buah-buahan. Menurut Sapers (2001) perlakuan pencucian dan sanititasi dapat memainkan peranan penting dalam mengurangi populasi mikroba pada produk buah dan sayuran segar untuk

(28)

pemasaran dalam bentuk segar ataupun pengolahan minimal, disamping itu juga dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gast and Holt (2000) ditemukan beberapa mikroba penyebab penyakit pada makanan yang berasosiasi dengan air yang digunakan selama proses pengolahan diantaranya adalah :

Escherichia coli, Salmonella spp., Vibrio cholerae, Shigella spp.,

Cryptosporidium parvum, Giardia lamblia, Cyclospora cayetanensis, Toxiplasma

gondii, dan virus penyebab kanker hati (hepatitis A).

Disinfektan

Menurut Winarno (2004) penggunaan disinfektan ditujukan untuk membunuh mikroba. Penggunaan zat kimia sebagai antimikroba adalah cara yang sering dipakai untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari air yang digunakan selama penanganan pascapanen produk sayuran dan buah-buahan, yaitu dengan menambahkannya kedalam air. Bahan kimia ini berfungsi untuk mengurangi perkembangan mikroba pada medium air dan juga untuk menghilangkan mikroba yang terdapat pada produk itu sendiri.

Sanitaiser atau disinfektan yang ideal harus mempunyai sifat dapat mereduksi mikroba, memiliki ketahanan terhadap lingkungan, dapat membersihkan dengan baik, tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi, larut dalam air dengan berbagai perbandingan, memiliki bau yang dapat diterima atau tidak berbau, stabil dalam larutan yang pekat dan encer, mudah digunakan dan mudah diukur dalam larutan yang digunakan (Jenie, 1988).

Efektifitas dari antimikroba ini tergantung pada sifat fisik dan kimia dari bahan, kondisi perlakuan seperti temperatur air, pH dan waktu kontak, tingkat ketahanan patogen dan sifat alami dari sayuran dan buah-buahan (Gast and Holt, 2000; Harrup et al., 2001; Winarno, 2004). Semakin tinggi konsentrasi disinfektan, kemampuan membunuh organisme juga semakin cepat (Mariot, 1977). Konsentrasi disinfektan tergantung pada mikroorganisme yang akan dihancurkan, umumnya konsentrasi yang tinggi berfungsi sebagai bakterisidal (membunuh bakteri) dan pada konsentrasi rendah akan berfungsi sebagai bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri).

(29)

Davidson dan Branen (1993) menyatakan bahwa klorin merupakan sanitaiser kimia yang paling luas digunakan dalam industri makanan. Senyawa-senyawa klorin yang berfungsi sebagai sanitaiser dapat dikelompokkan menjadi klorin cair, hipoklorit, kloramin anorganik, kloramin organik dan klorin dioksida. Hipoklorit merupakan senyawa klorin yang paling efektif dan paling banyak digunakan terutama dalam bentuk senyawa kalsium hipoklorit dan natrium hipoklorit.

Hipoklorit merupakan senyawa klorin yang paling aktif dan paling banyak digunakan terutama dalam bentuk senyawa kalsium hipoklorit dan natrium hipoklorit. Natrium hipoklorit dalam air akan terurai menjadi HOCl (asam hipoklorit). Asam hipoklorit yang terbentuk akan mengalami penguraian lebih lanjut :

HOCL HCl + O

Oksigen yang dibebaskan dari reaksi ini merupakan oksidator kuat dan menghancurkan mikroorganisme dengan cara merusak komponen selular, sedangkan Klor dan persenyawaannya menghancurkan mikroorganisme dengan cara pengikatan langsung klor dengan protein sel (Pelczar dan Chan, 1988).

Pembentukan asam hipoklorit (HOCl) yang merupakan senyawa paling aktif sangat bergantung pada pH. Pada pH 4.5 – 5.0, HOCl terbentuk secara maksimal. Kurang atau lebih pada pH tersebut pembentukan dan efektifitas HOCl menurun (Winarno, 1994).

Klorinasi merupakan disinfektan yang paling umum digunakan (USAID, 2006). Menurut Winarno (1986) klorin yang digunakan dapat berbentuk gas yang dimanfaatkan dalam tangki baja, sehingga memudahkan dalam transportasi. Klorin adalah satu zat kimia yang umum ditambahkan pada air dengan konsentrasi 50-200 ppm pada pH 6 -7.5, untuk kontak selama 1-2 menit dengan produk segar. Konsentrasi klorin dapat dikurangi dengan semakin meningkatnya waktu kontak yang digunakan. Konsentrasi klorin yang tinggi dapat menyebabkan korosi, sehingga waktu kontak yang digunakanpun tidak boleh melebihi 30 menit. Efek dari korosi ini dapat dikurangi dengan menurunkan waktu kontak, menurunkan temperatur, atau dengan meningkatkan pH (Marriot, 1999).

(30)

Menurut Jenie (1988) klorin mempunyai keunggulan dibandingkan disinfektan lainnya yaitu : a) kerjanya cepat yang akan lolos uji Chambers pada konsentrasi 50 ppm dalam waktu 30 detik; b) mematikan semua jenis sel-sel vegetatif; c) murah; d) pembilasan peralatan setelah penggunaan umumnya tidak diperlukan. Sedangkan kerugian penggunaan senyawa klorin adalah : a) tidak stabil, sedikit lebih cepat hilang oleh panas atau oleh kontaminasi dengan bahan organik; b) sangat korosif terhadap stainless steel dan logam lain; c) waktu kontak yang terbatas dengan peralatan penanganan makanan, tidak boleh lebih dari 20 hingga 30 menit karena dapat menyebabkan korosi.

Kemasan Transportasi

Tujuan pengemasan adalah untuk membantu mencegah dan mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya dari bahaya kontaminasi dan gangguan fisik, serta berfungsi juga untuk menempatkan suatu produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi (Syarief et al., 1989). Pengemasan juga dilakukan untuk mempermudah pengangkutan ditingkat petani dan untuk melindungi mutu sayuran bagi pedagang serta dapat menarik minat konsumen.

Perancangan kemasan selama pengangkutan ditujukan untuk meredam goncangan dalam perjalanan yang dapat mengakibatkan kememaran dan penurunan kekerasan hasil holtikultura. Faktor yang perlu diperhatikan meliputi kemasan yaitu jenis, sifat, tekstur dan dimensi bahan kemasan, komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur, dan pola susunan, biaya pengangkutan dibandingkan dengan harga komoditas, permintaan, waktu, jarak dan keadaan jalan yang dilintasi (Purwadaria, 1998).

Perbaikan-perbaikan dalam pengemasan memberikan saham yang besar terhadap pemasaran buah-buahan dan sayur-sayuran segar yang lebih efisien. Pengemasan tidak dapat memperbaiki mutu namun pengemasan dapat melindungi mutu dengan memberi perlindungan terhadap kerusakan mekanik, kehilangan air, memungkinkan penggunaan udara termodifikasi yang menguntungkan, memberi barang yang bersih dan memenuhi persyaratan kesehatan (Pantastico, 1989).

(31)

Pengemasan yang baik dapat melindungi barang segar dari pengaruh lingkungan (sinar matahari, kelembaban) dan pengaruh lainnya. Wadah yang baik harus cukup kuat untuk tahan terhadap penumpukan dan dampak penaikan dan pembongkaran muatan tanpa mengakibatkan kememaran atau cacat pada barang-barang yang lunak. Pengemasan dapat mengurangi kehilangan berat dan dengan demikian mencegah terjadinya dehidrasi, karena kehilangan air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, dan kemungkinan laku dijual. Selain itu pengemasan yang baik dapat mencegah cepatnya kelayuan sayur-sayuran dan juga penting untuk menghambat kehilangan vitamin C (asam askorbat) dan karoten.

Pengemasan untuk pengiriman dan penanganan memerlukan wadah-wadah yang dirancang dengan baik untuk melindungi produk dari kememaran, getaran, dan berat-berat wadah lain yang ditumpuk diatasnya. Tiap wadah untuk pengiriman harus dirancang untuk memenuhi persyaratan khusus bagi produk yang bersangkutan, wadah-wadah untuk pengiriman harus diberi etiket dengan huruf-huruf besar yang memberikan perincian mengenai barang, jenis, berat atau jumlah, mutu dan asalnya (Pantastico, 1989).

Di banyak negara yang telah berkembang, banyak wadah-wadah untuk pengiriman hanya digunakan sekali saja, dan tidak dikembalikan kepada pengirim, sedangkan untuk negara-negara yang belum begitu berkembang, keranjang-keranjang atau peti-peti sering dikirim kembali atau dijual untuk digunakan kembali. Selanjutnya Pantastico (1998) menambahkan, jenis wadah yang biasa digunakan untuk transportasi meliputi: peti-peti dan krat-krat kayu yang dipaku, peti dan krat yang diikat dengan kawat, peti-peti tripleks, keranjang-keranjang, peti-peti curah, peti palet, dan palet-palet kayu.

Kotak karton yang bergelombang sering digunakan untuk pengiriman hasil-hasil daerah tropika maupun daerah sub-tropika. Bobot yang ringan dan harga yang murah merupakan hal yang sangat menguntungkan. Namun kardus ini mempunyai kelemahan, yaitu bahwa beberapa jenis diantaranya menyerap lembab dan kehilangan kekuatannya, sehingga dengan demikian tinggi tumpukan harus dibatasi. Kekuatan kardus-kardus bergelombang ini dapat ditingkatkan dengan material dasar yang lebih kuat, dengan sekat-sekat didalamnya (Gambar 2),

(32)

pelapis-pelapis tambahan, atau dengan menggunakan kardus-kardus teleskopik penuh yang mempunyai dua dinding luar (Pantastico, 1989).

Gambar 2. Kotak karton tipe double and tripe face corrugated fiberboard http://commons.wikimedia.org/wiki/Image:HK_Paper_Corrugat

ed_fiberboard_2.JPG 1 Januari 2008

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Xiangyang dan Bagshaw (2001) diketahui bahwa keranjang bambu merupakan kemasan transportasi yang paling banyak digunakan di China namun demikian penggunaan kemasan keranjang plastik untuk transportasi adalah pilihan terbaik untuk komoditi pak choi karena lebih tahan terhadap penumpukan selama pengangkutan, karena salah satu penyebab kerusakan mekanis selama transportasi adalah karena penumpukan kemasan yang berlebihan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Asgar (1989) bahwa pengemasan transportasi yang baik untuk kubis putih adalah dengan keranjang plastik ukuran 75 x 50 x 50 cm3 karena mengalami kerusakan mekanis yang lebih kecil (12.27%) dibandingkan dengan peti kayu ukuran 54 x 50 x 32 cm3 (15.92%), keranjang bambu ukuran 42 x 32 x 43 cm3 (18.88%), karung plastik ukuran 93.5 x 54 cm2 (25.27%) dan tanpa pengemasan (33%).

Transportasi

(33)

kondisi pengangkutan yang kurang memadai dan terjadinya keterlambatan pada jalur pengangkutan.

Pemilihan bentuk dan jenis angkutan akan dipengaruhi oleh jarak, kemudahan busuknya hasil, ketersediaan dan biaya angkutan. Selain itu faktor-faktor seperti pengaturan suhu, kelembaban dan penanganan yang baik juga penting untuk selalu diperhatikan (Ronopriwo, 1993). Menurut Kitinoja dan Kader (2003) pada pengangkutan dengan kendaraan terbuka, tumpukan produk harus hati-hati disusun agar tidak menyebabkan kerusakan mekanis. Kendaraan dapat dilindungi dengan lapisan jerami atau karung sebagai penahan getaran pada kendaraan kecil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada kendaraan terbuka sedapat mungkin udara dapat melewati produk dengan baik.

Bahan hasil pertanian khususnya sayuran merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan. Salah satu masalah utama lepas panen adalah kerusakan mekanis yang diakibatkan oleh pengangkutan yang dapat terjadi karena adanya benturan antara sayuran dengan sayuran, benturan antara sayuran dengan wadah atau kemasan, gesekan dan himpitan.

Penyebab kerusakan mekanis selama pengangkutan antara lain : isi kemasan terlalu penuh (over packing), isi kemasan kurang (under packing), kelebihan tumpukan (over stacking). Menurut Soedibyo (1985) diacu dalam Anwar (2005) perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan dapat mengakibatkan jumlah kerusakan yang dialami oleh komoditi pada waktu sampai di tempat tujuan mencapai lebih kurang 30-50%.

Purwadaria (1992) menyatakan bahwa goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik dijalan raya maupun di rel kereta dapat mengakibatkan kememaran, susut berat, dan memperpendek masa simpan. Hal ini terutama terjadi pada pengangkutan buah-buahan dan sayuran yang tidak dikemas. Meskipun kemasan dapat meredam efek goncangan, tetapi daya redamnya tergantung pada jenis kemasan dan tebal bahan kemasan, susunan komoditas di dalam kemasan, dan susunan kemasan di dalam alat pengangkut. Untuk memperoleh gambaran data kerusakan mekanis yang diterima produk hortikultura bila terjadi goncangan,

(34)

Purwadaria dkk merancang alat simulasi pengangkutan yang disesuaikan dengan kondisi jalan dalam dan luar kota.

Dasar perbedaan antara jalan dalam kota dan jalan luar kota adalah besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang jalan tertentu. Jalan dalam kota mempunyai amplitudo yang rendah dibanding jalan luar kota, maupun dengan jalan buruk aspal dan jalan buruk berbatu. Darmawati (1994) mengatakan bahwa frekuensi alat angkut yang tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam pengangkutan akan tetapi lebih dipengaruhi oleh amplitudo jalan. Berdasarkan simulasi pengangkutan yang dilakukan selama 8 jam diatas meja getar dengan frekuensi 6 Hz dan amplitudo 5 cm yang setara dengan 2490 km panjang jalan beraspal atau 905 km panjang jalan berbatu mengakibatkan kerusakan buah jeruk dalam kemasan karton bergelombang sebesar 5.74%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jarimopas et al., (2005) memperlihatkan hasil dimana dengan simulai penggetaran yang konstan pada frekuensi 8.7 Hz dan tekanan vertikal sebesar 478.7 N/m2 dengan

Vibration-Assisted Tight-Filling Machine (VATFM) sesuai untuk buah tangerine. Dimana

kerusakan kemasan dan buah yang terjadi secara berturut-turut adalah 0.5% dan 0.9%. Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa setelah penggetaran terdapat ruang pada bagian atas kemasan yang masih bisa diisi dengan buah.

Fischer et al., (1990) mengatakan bahwa umumnya kerusakan yang terjadi pada anggur dan strowberi selama transportasi disebabkan oleh getaran antara 7.5 – 10 Hz. Dimana dari hasil penelitian juga terlihat telah terjadi beberapa kerusakan pada frekuensi 5 – 7.5 Hz pada anggur. Perbedaan antara dua komoditi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan elastisitasi, massa komoditi, dan pengemasannya..

Vursavus and Ozguven (2004) telah melakukan riset untuk mengevaluasi pengaruh frekuensi getaran, amplitudo, teknik pengemasan dan waktu penggetaran terhadap kerusakan mekanik pada apel selama transportasi. Dari penelitian terlihat bahwa vertical acceleration frequency dan magnitudo pada

truck-bed pada kondisi jalan sebenarnya maksimum pada frekuensi getaran 5-10

(35)

0.75 g, sedangkan untuk kemasan memperlihatkan bahwa semua metoda pengemasan sensitif pada frekuensi getaran 9 Hz, dimana frekuensi ini umum terukur pada truc-bed. Selain itu juga diketahui pada lapisan atas kontainer kayu sering terjadi pembesaran percepatan. Selanjutnya di tambahkan bahwa dari percobaan dilaboratorium diketahui bahwa apel sensitif terhadap kerusakan pada frekuensi getaran 8.2 Hz dan vibration acceleration (percepatan getaran) 0.63 g dibanding 0.33 g pada semua metoda pengemasan.

Siregar (2007) telah melakukan simulasi transportasi terhadap buah salak yang dikemas dengan kemasan berbahan baku pelepah salak, dimana simulasi menunjukkan bahwa kapasitas mempengaruhi persentase kerusakan fisik, persentase luas memar pada tiap buah salak dan laba bersih penjualan salak. Semakin besar kapasitas kemasan maka makin besar pula persentase memar dan pecah kulit serta luas memar buah.

Penelitian Anwar (2005), memperlihatkan terjadinya peningkatan laju respirasi brokoli setelah mengalami penggetaran selama 1 jam dengan frekuensi rata-rata 3.33 Hz dan amplitudo rata-rata 5.31 cm yang setara dengan 365.10 km jalan luar kota.

Tarwiyati (2007) juga telah melakukan simulasi transportasi terhadap komoditi kubis untuk mengetahui pengaruh jenis kemasan dan tumpukan terhadap kerusakan kubis selama transportasi, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kombinasi kemasan kubis yang menggunakan plastik film dan kardus menghasilkan susut berat yang paling rendah pada setiap lama simulasi transportasi yaitu 10.26% (1 jam), 11.41% (2 jam), dan 21.24% (5 jam). Berdasarkan pendekatan teknis, penggunaan kardus menunjukkan kehilangan susut lebih rendah daripada keranjang tetapi cenderung tidak berbeda nyata. Sedangkan pendekatan ekonomi menunjukkan bahwa keranjang plastik menghasilkan nilai kelayakan ekonomi lebih tinggi (B/C dan R/C) karena biaya kemasan yang lebih rendah dari kardus.

(36)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian, pada bulan Juni sampai dengan September 2007.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah pak choi

(Brassica rapa var. Chinensis) yang di panen pada umur 30 – 35 hari setelah

tanam dari Pacet Segar dan segera dibawa kelaboratorium untuk penelitian (Able et al., 2005). Bahan lain yang digunakan adalah keranjang plastik ukuran 45 x 35 x 25 cm, kotak karton ukuran 45 x 35 x 25 cm, plastik polietilen ukuran 40 x 60 cm, natrium hipoklorit sebagai sumber klorin dan bahan kimia untuk analisa.

Alat yang digunakan adalah Meja Getar dengan kompresor rancangan Purwadaria dkk, timbangan Mettler PM-4800 untuk mengukur susut bobot,

Chromameter tipe CR-200 untuk mengukur warna, Rheometer model CR-3000

untuk mengukur kekerasan, Continous Gas Analyzer IRA-107 untuk mengukur CO2 dan Portable Oxygen Tester POT-101 untuk mengukur O2,

Spectrophotometer untuk mengukur klorofil serta alat pendukung untuk analisis

kimia dan uji organoleptik.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu :

Penelitian Tahap Pertama (Pengaruh hydrocooling dan Klorin terhadap Mutu Pak Choi)

Penelitian tahap I adalah untuk menentukan waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin optimal untuk pak choi. Penelitian tahap I ini disusun secara faktorial dengan 2 faktor, faktor pertama yaitu konsentrasi klorin dengan 3 taraf yaitu A1 = tanpa klorin; A2 = 2.5 ppm; dan A3 = 5 ppm. Faktor kedua adalah

(37)

waktu hydrocooling (suhu 3 - 5oC) dengan 2 taraf yaituB1 = 5 menit; dan B2 = 15

menit.

[image:37.595.112.462.258.651.2]

Pak choi yang dipanen pada umur 30 – 35 hari setelah tanam disortasi untuk memilih sayur yang sehat dan seragam. Selanjutnya diberi perlakuan, dari masing-masing perlakuan diambil sampel secara acak untuk untuk dievaluasi mutu awal sayuran (kekerasan, warna, bobot, uji organoleptik) dan uji laju respirasi pada suhu ruang. Prosedur penelitian tahap I dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bagan alir penelitian tahap I (Pengaruh hydrocooling dan klorin terhadap mutu Pak Choi)

Pak Choi

Panen

Sortasi berdasarkan ukuran dan warna

Analisa :

- Kandungan klorofil - Jumlah Total Mikroba - Respirasi - Susut Bobot

- Kekerasan Petiol - Warna Daun - Uji Organoleptik

Hydrocooling pada suhu 3 – 50C

Perlakuan

Lama perendaman : 5, 15 menit Konsentrasi Klorin : 0, 2.5, 5 ppm

(38)

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam tahap ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor (RAL Faktorial) dengan 3 kali ulangan

A = Konsentrasi Klorin A1 = tanpa klorin

A2 = 2.5 ppm

A3 = 5 ppm

B = Waktu Hydrocooling

B1 = 5 menit

B2 = 15 menit

Model matematikanya adalah seperti yang dikemukakan oleh Matjik dan Sumertaya (2002) :

Yijk = μ

+

Ai + Bj + (AB)ij +

ε

ijk. Keterangan :

Yijk = Respon tiap parameter yang diamati

μ = Nilai rata-rata umum

Ai = Pengaruh perlakuan konsentrasi klorin Bj = Pengaruh perlakuan waktu hydrocooling

(AB)ij = Pengaruh interaksi perlakuan klorin dan perlakuan hydrocooling

ε

ijk. = Pengaruh galat percobaan

Penelitian Tahap Kedua (Pengaruh pra Pengemasan dan Pengemasan

terhadap Mutu Pak Choi selama Transportasi Darat)

Penelitian tahap II ini adalah untuk menguji kombinasi perlakuan

hydrocooling (5 menit tanpa klorin), kemasan transportasi, tumpukan kemasan

dan penggetaran terhadap penurunan mutu pak choi.

Penelitian tahap dua ini disusun secara faktorial dengan 3 faktor. Faktor pertama yaitu perlakuan pengemasan untuk transportasi yang terdiri atas 3 taraf yaitu A1 = kemasan plastik polietilen (PE), A2 = kemasan karton dan A3 =

(39)

dari 2 taraf yaitu B1 = tidak ditumpuk, dan B2 = ditumpuk (3 tumpukan).

Sedangkan faktor ketiga adalah lama penggetaran diatas meja getar yang terdiri dari 2 taraf yaitu C1 = 1 jam, dan C2 = 2 jam.

Uji Simulasi Transportasi

Simulasi transportasi dilakukan berdasarkan lama perjalanan dari produsen sampai rantai terakhir sebelum konsumen. Simulasi dilakukan menggunakan meja getar dengan frekuensi dan amplitudo sesuai kondisi jalan yang dilalui yang bertujuan untuk memperoleh gambaran penurunan mutu pak choi selama transportasi darat. Uji dilakukan sebanyak 3 (tiga) ulangan untuk tiap kombinasi perlakuan.

Tahap simulasi ini meliputi :

1. Pak choi yang dipanen pada umur 30 – 35 hari setelah tanam disortasi untuk memilih sayur yang sehat dan seragam. Sayur yang telah disortasi kemudian

di hydrocooling dengan memasukkan sayur kedalam wadah yang telah berisi

air dengan suhu 3 - 50C selama 5 menit (Gambar 4) kemudian dikeringkan.

Gambar 4. Hydrocooling pak choi dalam air es suhu 3-50C

2. Setelah itu sayur dikemas kedalam plastik polietilen, kotak kardus, dan keranjang plastik dengan berat rata-rata 4 – 4.5 kg (Gambar 5-7), hal ini disesuaikan dengan keadaan dilapangan dimana petani sebagian besar menggunakan kemasan plastik PE dengan kapasitas 5 kg sampai 10 kg, kemudian dilakukan simulasi transportasi dengan menempatkan setiap kemasan diatas meja getar sesuai dengan perlakuan (Gambar 8).

(40)
[image:40.595.201.424.111.281.2] [image:40.595.201.425.316.484.2]

Gambar 5. Penyusunan pak choi dalam kemasan plastik PE

Gambar 6. Penyusunan pak choi dalam kemasan kotak kardus

Gambar 7. Penyusunan pak choi dalam kemasan keranjang plastik

[image:40.595.202.422.517.684.2]
(41)
[image:41.595.107.511.130.435.2]

3. Penggetaran dilakukan pada arah vertikal dengan frekwensi 3.32 Hz dan amplitudo 3.56 cm selama 1 jam dan 2 jam.

Gambar 8. Penyusunan pak choi yang telah dikemas pada alat simulasi transportasi

4. Lama perjalanan sebagai acuan waktu tempuh dari sentra produksi pak choi ke tempat pasar pengumpul. Adapun dasar perhitungan 1 jam diasumsikan jarak antara Kota Padang Panjang ke Kota Padang Propinsi Sumatera Barat, sedangkan 2 jam adalah jarak antara Kota Padang Panjang ke Pekanbaru Propinsi Riau. Hasil konversi frekwensi 3.32 Hz dan amplitudo 3.56 cm selama simulasi transportasi berdasarkan konversi angkutan truk (Lampiran 1) selama 1 jam dan 2 jam dijalan luar kota yang mulus adalah setara dengan 71.624 km dan 143.248 km.

5. Selanjutnya dari masing-masing perlakuan diambil sampel secara acak untuk untuk dievaluasi mutu awal sayuran (kekerasan, warna, bobot) dan uji laju respirasi pada suhu ruang. Prosedur penelitian tahap II disajikan dalam Gambar 9.

(42)
[image:42.595.113.491.80.699.2]

Gambar 9. Bagan alir penelitian tahap II (Pengaruh pra Pengemasan dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi)

Pak Choi

Panen

Sortasi berdasarkan ukuran dan warna

Perlakuan hydrocooling selama 5 menit tanpa klorin

Pengemasan

A1 = kemasan plastik PE A2 = kemasan karton

A3 = kemasan keranjang plastik

Tumpukan Kemasan

B1 = Tidak ditumpuk, B2 = Ditumpuk (3 tumpukan)

Penggetaran diatas meja getar ( F = 3.32 Hz, A = 3.56cm) C1 = 1 jam, C2 = 2 jam

Analisa

kerusakan mekanis, kekerasan, warna, susut bobot, dan laju respirasi

(43)

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 faktor (RAL Faktorial) dengan 3 kali ulangan

A = Pengemasan

A1 = kemasan plastik PE

A2 = kemasan karton

A3 = kemasan keranjang plastik

B = Tumpukan Kemasan B1 = Tidak ditumpuk

B2 = Ditumpuk

C = Penggetaran di atas meja getar C1 = 1 jam

C2 = 2 jam

Model matematikanya adalah seperti yang dikemukakan oleh Matjik dan Sumertaya (2002) :

Yijk = μ

+

Ai + Bj + Ck +(AB)ij +(AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk +

ε

ijkl Keterangan :

Yijk = Respon tiap parameter yang diamati μ = Nilai rata-rata umum

Ai = Pengaruh perlakuan pengemasan

Bj = Pengaruh perlakuan tumpukan kemasan Ck = Pengaruh perlakuan penggetaran

(AB)ij = Pengaruh interaksi perlakuan pengemasan dan tumpukan kemasan (AC)ik = Pengaruh interaksi perlakuan pengemasan dan penggetaran

(BC)jk = Pengaruh interaksi perlakuan tumpukan kemasan dan penggetaran (ABC)ijk = Pengaruh interaksi perlakuan pengemasan, tumpukan kemasan

dan penggetaran

ε

ijkl = Pengaruh galat percobaan
(44)

Pengamatan dan Pengukuran

Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot, perubahan kekerasan, perubahan warna, kadar air dan uji organoleptik.

1. Tingkat Kerusakan Mekanis

Uji tingkat kerusakan mekanis dilakukan segera setelah sayuran digoncang atau digetarkan (3-4 jam setelah ditransportasi). Kriteria rusak di dasarkan pada terdapatnya luka memar, retak/patah pada daun dan tangkai daun Pak Choi. Uji ini dilakukan secara visual, jumlah kerusakan dalam satu kemasan dihitung dengan persamaan :

% 100

% x

sampel total

rusak jumlah

rusak =

2. Pengukuran Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan untuk menentukan konsumsi O2 dan

produksi CO2 Pak choi setelah perlakuan. Pak choi yang telah diberi perlakuan

ditimbang (3 tanaman) dan dimasukkan kedalam jar gelas dengan volume 3300 ml. Jar gelas ditutup dengan penutup plastik tebal yang telah dilengkapi dengan dua buah pipa plastik fleksibel sebagai saluran pengeluaran dan pemasukan udara atau gas. Jarak antara gelas ditutup dengan lilin untuk mencegah udara keluar atau masuk jar gelas. Selanjutnya pipa plastik ditutup dengan menggunakan klem dan jar gelas berisi pak choi disimpan pada suhu ruang ruang. Pada saat pengukuran respirasi kedua selang tersebut di hubungkan ke Continous Gas Analyzer IRA-107 untuk mengukur CO2 dan Portable Oxygen Tester POT-101 untuk mengukur O2.

Pengukuran gas didalam jar gelas dilakukan setiap 3 jam sampai selama 48 jam, setelah itu pengukuran dilakukan setiap 6 jam sekali untuk tahap I, sedangkan tahap II pengukuran dilakukan setiap 3 jam sampai akhir pengamatan. Laju respirasi dihitung berdasarkan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2. Laju

respirasi dihitung dengan persamaan Mannapperuma dan Singh (1989) :

dt dx W

V

R ≡ ×

(45)

Dimana : R = laju respirasi (ml/kg.jam) V = volume bebas wadah (ml) W = berat sampel (kg)

dt

[image:45.595.110.431.80.464.2]

dx = laju perubahan konsentrasi CO2 atau O2 (%/jam)

Gambar 10. Gas Analyzer Shimadzu tipe 101 untuk mengukur konsentrasi gas O2 dan tipe IRA 107 untuk konsentrasi CO2

3. Susut bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan setiap hari berdasarkan persentase penurunan bobot pak choi setelah perlakuan hydrocooling dan konsentrasi klorin, sedangkan tahap dua dilakukan sebelum dan setelah transportasi. Untuk mengukur susut bobot digunakan rumus sebagai berikut :

Susut bobot (%) = x100%

W Wa

W

Dimana :

W = Bobot bahan pada awal penyimpanan (g) Wa = Bobot bahan pada akhir penyimpanan (g)

(46)

4. Kekerasan

Kekerasan pak choi diukur pada petiolnya dengan menggunakan

Rheometer yang diset dengan mode 20, beban maksimum 2 kg, dalam penekanan

[image:46.595.210.416.241.483.2]

3 mm, kecepatan penurunan beban 60 mm/menit dan diameter plunger jarum 2.5 mm. Bahan ditekan pada 3 tempat (pangkal, tengah dan ujung petiol) dan hasil pengukuran dari ketiga bagian dirata-rata. Pengukuran kekerasan ini dilakukan setiap hari selama pengamatan.

Gambar 11. Rheometer model CR-3000

5. Warna

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan Chromamometer

minolta tipe CR-310 setiap 2 hari sekali. Sebelum pengukuran alat dikalibrasikan

dan selanjutnya sampel diukur dengan meletakkan ujung head pada permukaan bahan. Pengukuran dilakukan pada daun Pak choi yang berwarna hijau (daun) dengan 3 kali ulangan. Pengukuran pada bagian daun digunakan untuk melihat kecenderungan terjadinya pemudaran warna hijau selama penyimpanan. Sistem notasi warnanya dinyatakan dengan menggunakan system Hunter. Komponen warna yang diukur adalah L (kecerahan), a (warna merah /positif, warna hijau/negatif), dan b (warna kuning/positif, warna biru/negatif). Contoh pak choi diletakkan diatas alas berwarna putih, kemudian alat sensor Chromamometer

(47)

diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian pengukur semuanya berada diatas pak choi dan tidak terdapat celah diantara alat sensor Chromamometer dengan pak choi sehingga tidak ada cahaya yang masuk.keluar permukaan sensor dari/ke lingkungan. Setelah siap, tombol pengaktif pengukuran ditekan sehingga lampu sumber cahaya menyala dan reflektannya terukur. Display akan menampilkan nilai L, a, dan b masing-masing dalam 4 angka. Nilai L, a, dan b adalah nilai yang ditampilkan pada display dibagi dengan 100. Untuk setiap perlakuan dan ulangan, pengukuran dilakukan tiga kali (triplo) dengan contoh yang berbeda.

Gambar 12. Chromamometer minolta tipe CR-310

Gambar 13. Sistem notasi warna menurut Hunter

[image:47.595.184.439.445.728.2]
(48)

6. Penetapan Kadar Klorofil

Penetapan kandungan klorofil pak choi dilakukan setelah perlakuan

hydrocooling dan konsentrasi klorin. Jaringan segar digiling dalam lumpang atau

maserator kemudian dicuci dengan aseton (80%) berlebih sampai semua pigmen

klorofil terlepas dari jaringan. CaCO3 ditambahkan selama ekstraksi agar tidak

terbentuk feofitin (catat berat sampel yang digunakan). Hasil ekstrak ini kemudian disaring dengan penyaring Buchner, residu dicuci dengan aseton baru sampai tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh kemudian dijadikan volume tertentu dengan menambahkan aseton, bila tidak segera digunakan ekstrak harus disimpan dalam lemari es. Penetapan klorofil a dan b dapat dilakukan dengan pengukuran absorbansi dari filttrat dengan menggunakan Spektrophotometer pada panjang gelombang 646 dan 663 nm.

Kandungan klorofil dihitung dengan menggunakan rumus : Klorofil total = 17.3 A646 + 7.18 A663

Klorofil a = 12.21 A663 – 2.81 A646 Klorofil b = 20.13 A646 – 5.03 A663

Satuan yang digunakan pada hasil yang diperoleh adalah mg/volume ekstrak, yang kemudian dapat dikonversi menjadi mg/berat contoh.

Gambar 14. Spectrophotometer untuk mengukur kandungan klorofil

(49)

7. Uji Organoleptik

Penilaian sensoris yang dilakukan setelah perlakuan hydrocooling dan konsentrasi klorin meliputi penilaian oleh 15 panelis agak terlatih (Poste et al., 1991) terhadap warna, kekerasan, aroma dan penilaian umum. Penilaian warna, tekstur dan aroma dilakukan secara langsung pada pak choi dengan pembanding pak choi yang baru di panen. Penilaian sensoris oleh panelis agak terlatih dilakukan menggunakan skala hedonis 1 sampai 5. Skala yang digunakan adalah sebagai berikut : skala 5 untuk sangat suka, 4 suka, 3 biasa, 2 agak tidak suka, dan 1 untuk tidak suka.

8. Populasi Cendawan

Populasi cendawan dihitung dengan metode Standar Plate Count (SPC) dengan media PDA (Potato Dextrose Agar) setelah perlakuan hydrocooling dan konsentrasi klorin. Pak Choi dihancurkan kemudian ditimbang 25 g dan dilakukan pengenceran bertingkat,1 : 10; 1 : 10-2; 1 : 10-3; 1 : 10-4: 1 : 10-5; 1 : 10-6; 1 : 10-7. Dari hasil pengenceran dilakukan pencawanan dengan metode cawan tuang yaitu dengan mengambil 1 ml suspensi dari tiap pengenceran dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril ( Ө 9 cm ), kemudian dituangi media PDA dengan suhu 47 – 50oC sebanyak ± 10 – 15 ml dan ditutup. Setelah memadat diinkubasikan pada suhu 30 – 32 oC selama ± 5 hari. Kemudian setelah inkubasi dihitung koloni cendawannya.

(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Tahap Pertama

Penentuan waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin optimal untuk pak choi

Tahap precooling ini dilakukan untuk menentukan kombinasi lama

hydrocooling dan konsentrasi klorin yang optimal pada penanganan pascapanen

pak choi. Tan et al., (2005) menyatakan bahwa hydrocooling merupakan salah satu metode yang efektif untuk brassica. Pendinginan menggunakan air bersuhu 0.50C dengan penambahan klorin 100 sampai dengan 300 ppm pada pH air 7.3 sampai dengan 7.6. Air yang digunakan untuk hydrocooling dalam penelitian ini memiliki pH yang berkisar antara 7 – 7.2 dengan suhu 3 – 50C.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) memperlihatkan perlakuan lama

hydrocooling tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan

klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a b dan C tetapi berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap laju respirasi CO2 pak choi, perlakuan konsentrasi klorin juga tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a tapi nyata untuk indeks warna b dan C pada hari kelima. Interaksi perlakuan lama hydrocooling

dan konsentrasi klorin berpengaruh nyata untuk kandungan klorofil b dan tidak nyata untuk parameter lainnya.

Perlakuan hydrocooling dan klorin tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil, semakin lama waktu hydrocooling dan meningkatnya konsentrasi klorin cenderung menurunkan kandungan klorofil pada daun pak choi. Pengaruh perlakuan lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b serta kandungan total mikroba pak choi disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 15. Pada Tabel 4 terlihat kandungan klorofil a dan klorofil b tertinggi adalah pada perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin yaitu sebesar 0.52 mg/cm2 klorofil a dan 0.19 mg/cm2 klorofil b.

(51)
[image:51.595.108.509.140.276.2]

Tabel 4. Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, dan total mikroba pak choi (Brassica rapa var. chinensis)

Perlakuan Klorofil Daun Total

Waktu Klorin ( mg/cm2 ) Mikroba

HC (ppm) a b (koloni/gram)

0 0.52 a 0.19 a 3.7 x 106 a 5 menit 2.5 0.44 a 0.16 ab 3.2 x 106 a 5 0.42 a 0.16 b 3.2 x 106 a 0 0.41 a 0.15 b 3.8 x 106 a 15 menit 2.5 0.44 a 0.17 ab 3.5 x 106 a 5 0.46 a 0.16 ab 3.4 x 106 a

Angka yang diikuti oleh h

Gambar

Gambar 3.  Bagan alir penelitian tahap I (Pengaruh hydrocooling dan klorin terhadap mutu Pak Choi)
Gambar 5.  Penyusunan pak choi dalam kemasan plastik PE
Gambar 8.  Penyusunan pak choi yang telah dikemas pada alat simulasi transportasi
Gambar 9.  Bagan alir penelitian tahap II (Pengaruh pra Pengemasan dan Pengemasan terhadap Mutu Pak Choi)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kajian menunjukkan bahwa kombinasi kemasan kubis yang menggunakan plastik film dan kardus menghasilkan susut berat yang paling rendah pada setiap lama simulasi

Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan pupuk nitrogen dan kalium berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman pakcoy pada variabel jumlah stomata

Dengan meningkatnya Nitrogen dalam tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, bobot kering tanaman serta bobot segar tanaman dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan frekuensi penyiraman dengan dosis pupuk kandang ayam terhadap tinggi tanaman, jumlah

Hasil percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, berat berangkasan basah, dan berat berangkasan kering, namun tidak