Soedirman adalah perintis, pendiri dan bapak TNI yang merakyat.37 Majalah Tempo menyebutnya dengan ―seorang panglima, seorang martir‖.38 Jika TNI hari ini hanya berani membunuh warganya, mereka pastilah tak membaca Soedirman, bahkan bisa disebut mengkhianatinya. Jika TNI hari ini hanya mampu membela yang bayar, pastilah mereka tak meneladani Soedirman. Ia peletak dasar perang gerilya di
36
Ibid. hal. 107-108
37 A. Kresna Adi, 2011, Soedirman Bapak Tentara Indonesia, Jogjakarta: Mata Padi Presindo.
38
Indonesia yang dikenal sebagai ―Bapak Tentara Dari Banyumas‖.
Soedirman dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 dan meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun. Hubungan antara besarnya amal perjuangannya dan usia hidupnya yang singkat mengingatkan kita pada mitologi jawa: orang baik dan besar biasanya berumur pendek.
Dalam sejarahnya, Soedirman dicatat sebagai panglima dan jenderal pertama serta termuda di republik yang belia. Sebab saat usia 29 tahun dipilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat dan pada umur 31 tahun, ia telah menjadi jenderal yang memimpin gerilya (walau ditandu karena sakitnya) mempertahankan republik dari penjajah kumpeni Belanda.39 Ialah the leader who finally destroyed colonialism in
Indonesia. Ia, kata Soeharto, adalah pendiri TNI yang tak mau
menyerah tak mau kalah, the embodiment of that refusal to
surrender.40 Ia memang crank (menyempal dari kelaziman manusia umumnya).
39 Ibid, hal. 57-116.
40
Tjokropranolo, 1995, General Soedirman, Australian Defence Studies Centre, Cambera, hal. i.
Hal ini karena Soedirman pernah mengatakan bahwa, ―Percaya dan yakinlah bahwa kemerdekaan sebuah negara yang didirikan di atas timbunan/runtuhan ribuan korban jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapapun juga‖.41 Bagi Soedirman, kemerdekaan Indonesia harus direbut secara revolusi bersenjata dan dipertahankan secara semesta di mana kesemua hasilnya diorientasikan untuk mengabdi pada rakyatnya. Revolusi kemerdekaan harus berbasis dari, oleh dan untuk rakyat. Cara mengisi kemerdekaan juga harus dilakukan dengan, dari, oleh dan untuk rakyat. Bukan kemerdekaan dari orang per orang, dan diisi oleh golongan per golongan. Kemerdekaan semesta dan pertahanan semesta serta pemba-ngunan semesta adalah ide dan bayangan Soedirman tentang Indonesia merdeka. Dari kalimat dan gagasan tersebut, pantaslah kalau ia mendapat anugerah Jenderal Besar.
Dibesarkan dalam lingkungan keluarga bersahaja, Soedirman adalah anak dari Karsid Kartowirodji —pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas– dan ibunya, Siyem, keturunan Wedana Rembang. Tepatnya, ia lahir di desa Tinggarwangi, Jatilawang, Banyumas. Soedirman sejak umur 8
41
Kompas, Jejak Pahlawan, Tilas Sang Jenderal Besar yang Sunyi Sepi, Kamis, 10 Nopember, 2011, hal. 6.
bulan diangkat sebagai anak oleh Raden Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan kakak ipar ibunya.42
Kesahajaan dan politik anti kompromi Soedirman terlihat dalam sejarah secara jelas. Misalnya ketika menolak perjanjian Renville bersama Tan Malaka dengan menentang Kabinet Sjahrir yang terlalu diplomatik, menentang hasil-hasil perjanjian Roem-Roijen yang sangat merugikan republik belia dan kemarahan argumentatif pada Soekarno-Hatta karena mengkudeta Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden PDRI yang diresmikan sendiri oleh Soekarno.43 Baginya, kemerde-kaan karena kuasa atas diri dan perlawanan atas penjajah, bukan mengemis dan bernegosiasi. Inilah yang hilang dari para penguasa hari ini. Para penguasa hari ini kerjanya mengemis dan menjual diri demi sekeping roti dan kekuasaan yang tak kuat berdiri.
Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian melanjutkan di HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak selesai. Soedirman juga aktif di organisasi Pramuka Hizbul Wathan (pembela negara).
42
A. Kresna Adi, 2011, Soedirman Bapak Tentara Indonesia, Jogjakarta: Mata Padi Presindo, hal. 1.
43
Akmal Nasery Basral, Tragedi Pak Sjaf dan Etika Pejabat, Kompas, Kamis, 10 Nopember, 2011, hal. 7.
Setelah itu, ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Memasuki zaman penjajahan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang. Lalu menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).44
Soedirman memiliki pribadi yang teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Bukti betapa rakyat adalah yang utama baginya adalah dengan mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Ini bukti bahwa ia sadar tentang revolusi sebagai tindakan heroik, bukan sekedar hero.45 Dalam bahasa Tan, revolusi bukanlah suatu pendapat otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah manusia yang luar biasa.‖ Revolusi, bagi kita semua adalah kombinasi yang digerakkan demi, oleh dan untuk kita semua.
44
http://sejarah pemimpin bangsa.com//soedirman_jendral muslim.
45
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Selanjutnya, melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Sayangnya, sejak saat itu, ia mulai menderita penyakit tuberkulosis, walau tetap terjun langsung dalam beberapa perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945, ia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Singkatnya, Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Saat terjadinya Agresi Militer II Belanda, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan di Yogyakarta, karena Jakarta sudah diduduki oleh tentara Belanda. Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari agresi militer Belanda II, tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Walaupun begitu dia ikut terjun ke medan perang bersama pasukannya dalam keadaan ditandu, memimpin para tentaranya untuk tetap melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda secara gerilya dan sempat menguasai Jogjakarta lewat Serangan Umum 1 Maret 1949 yang sangat terkenal.
Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta.
Pada tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta dan dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada
tahun 1997 ia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, bersama Nasution dan Soeharto.
Bagi prajuritnya, Soedirman adalah pejuang kemerdekaan yang mengobarkan semangat jihad, perlawanan terhadap kezaliman, membekali dirinya dengan pemahaman dan pengetahuan agama yang mendalam. Ketika menjadi panglima, Soedirman adalah orang yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Memiliki semangat dakwah yang tinggi, lebih banyak menekankan pada tauhid dan kesadaran berbangsa. Tentu mudah dipahami sebab Soedirman memulainya dari kepanduan Hizbul Wathan bagian dari Muhammadiyah.
Bakat, kepemimpinan dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathan ini. Di sini ia meningkatkan kemampuan fisik dan penggemblengan mentalnya. Sikap kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah.
Sebagai kader Muhammadiyah, Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian ―malam selasa‖, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Di dalam dirinya ada kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya: meneladani
kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhanaan dan kebersahajaan. Akibatnya, ia selalu menolak perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya. Ia bukan jenderal yang haus pujaan, kawalan dan materi berlimpah seperti tentara-tentara hari ini
Mungkin karena jiwa santri yang melekat padanya, ia seringkali memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan, ini ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal santri ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadis nabi. ―Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia di atas tjabang kemoenafikan.‖46
46
Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Muhammad. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka ia pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Muhammad beserta para sahabatnya saat akan berhijrah. Setelah salat subuh, Soedirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. Dan, sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, dan ini membuktikan betapa seorang Panglima, jenderal santri ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
Kisah di atas adalah cerita perjuangan yang penuh dengan kateladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua, anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat dan berkarya hanya untuk rakyat serta bangsa tercinta.47
Rute gerilya pasukan Soedirman berawal dari rumahnya yang terdapat di Jalan Bintaran Wetan No.3 Yogyakarta. Rumah yang sekarang menjadi Museum Sasmitaloka. Rute itu adalah gerilya besar yang melewati jalur selatan Parangtritis, lalu Gunung Kidul melalui Kecamatan Purwosari, Panggang, hingga Playen lalu Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung hingga Kediri dan kembali ke Jogjakarta. Dari hutan ke hutan, menempuh pengepungan kumpeni Belanda, Soedirman ingin mengatakan kami tak menyerah, Indonesia masih ada: tegak berdiri melawan.‖
Di rute gerilya itulah Soedirman membakar semangat rakyat dan konsolidasi dengan semua anak buahnya dalam keadaan sakit dan harus ditandu mengabdikan hidupnya untuk melakukan perang gerilya agar rakyat tetap mau berjuang membela NKRI dari ancaman berbagai pihak yang
47
Amin Syaukani, Tauhid, Perjuangan dan Pengabdian Soedirman, Makalah Diskusi Mingguan Nusantara Centre, 29 Juni 2008, hal. 3.
ingin menguasainya lagi kala itu. Tentunya hal ini luar biasa. Komitmen, konsistensi, mengobarkan semangat dan melawan keletihan adalah potret akan karakter seorang pemimpin yang kita butuhkan sepanjang masa.
Berikut petikan dari pernyataan Jenderal Soedirman yang terkenal: ―Anak-anakku, Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, tetapi prajurit yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu.‖
Petikan kalimat tersebut ada di Museum Sasmitaloka. Museum ini berawal dari gedung yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1890. Awalnya bangunan bersejarah ini diperuntukkan bagi pejabat keuangan Pura Paku Alam VII, Winschenk. Pada masa penjajahan Jepang bangunan dikosongkan dan barang-barangnya disita untuk penjajah baru: kumpeni Jepang. Sebab, bangunan ini dianggap sebagai markas keuangan kumpeni Belanda yang akan melawan Jepang.
Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, dipakai sebagai Markas Kompi Tukul dari batalion Soeharto. Sejak tanggal 18 Desember 1945 sampai 19 Desember 1948, menjadi kediaman resmi Soedirman setelah menjadi Panglima Tertinggi
TKR. Selanjutnya saat Agresi Belanda II digunakan oleh Belanda sebagai Markas IVG Brigade T dan setelah kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949, berturut-turut digunakan sebagai kantor Komando Militer Kota Yogyakarta, kemudian dipakai untuk asrama Resimen Infantri XIII dan sekretariat penderita cacat (invalid).
Selanjutnya pada tanggal 17 Juni 1968 dipakai untuk Museum Pusat Angkatan Darat, sebelum akhirnya diresmikan sebagai Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman pada tanggal 30 Agustus 1982.
Sebagai serdadu, ia tak sempat menulis buku. Tak banyak orang menulis jalan dan ujaran hidupnya. Kisahnya tak dijumpai di perpustakaan, tak menjadi kurikulum di sekolah. Walau begitu, jalan hidupnya terpatri di sanubari rakyat jelata. Kita layak bangga, sebab namanya tak hilang dengan mudah walau sudah 60 tahun lebih tak dibacakan di media-media
Memang, untuk menghormatinya, republik kita membangun Unsoed: Universitas Soedirman yang berdiri megah di kota Purwokerto. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) didirikan pada tahun 1961 jawaban atas sebagai keinginan masyarakat untuk mendirikan Monumen Hidup sebagai pernyataan hormat dan bentuk penghargaan kepada
almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman atas jasa dan pengorbanan serta dharma bhaktinya kepada bangsa dan negara yang diwujudkan pada perang kemerdekaan RI. Secara resmi disahkan sebagai universitas negeri pada tahun 1963 dengan tiga fakultas yaitu Fakultas Pertanian, Fakultas Biologi dan Fakultas Ekonomi.
Keberadaan dan pengembangan universitas merupakan perwujudan jati diri Unsoed sebagaimana tersirat dalam kepahlawanan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang pantang menyerah, maju terus pantang mundur dalam kebersahajaan dan kejujuran serta keberanian bersikap dan bertindak, mengkristal dalam nilai-nilai yang meliputi: keberagamaan, cita-cita luhur, kebersamaan, cablaka dan kesederhanaan. Civitas akademika memiliki integritas dan menghargai sesama, senantiasa berjuang pantang menyerah dengan kemampuan yang dimiliknya, bergotong royong serta mampu bekerja secara mandiri, loyal dan jujur serta terbuka, bersahaja dan tidak berlebihan dalam sikap dan penampilan.
Adapun tujuan utama pengembangan Unsoed adalah untuk menghasilkan: 1) lulusan yang bermoral, memiliki kompetensi akademik dan profesional yang memadai, keunggulan kompetitif, kemampuan kepemimpinan dan entrepreneurship/technopreneurship, memecahkan masalah,
dan berinovasi khususnya dalam pengembangan pedesaan dan kearifan lokal; 2) karya ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau seni yang berbasis penelitian untuk pengembangan perdesaan dan kearifan lokal, serta menjadi pusat unggulan pemberdayaan perdesaan yang bertaraf nasional dan internasional; 3) universitas yang mandiri dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta menerapkan prinsip meritokrasi, untuk meningkatkan efektifitas pelayanan terhadap pengguna; 4) kerjasama yang selaras dan saling menguntungkan dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni pada tingkat lokal, nasional dan internasional dalam rangka pemberdayaan masyarakat.48
Tetapi, kami sekarang tak tahu, adakah kurikulum sejarah Soedirman di kampus Unsoed tersebut. Sebab, biasanya begitu gedung berdiri, yang diributkan adalah bagaimana masalah uangnya, bukan pada substansi kurikulum dari nama yang disematkannya. Penyakit pendidik dan dosen hari ini adalah bukunya se-kardus, duitnya se-sen. Banyak pendapat tetapi sedikit pendapatan. Mereka lupa pada substansi pemberian nama, yang diingat hanya, besok kita makan apa. Padahal, di kota Purwokerto pula, dulu bersama Tan Malaka, ia
48
menggelorakan organ politik Persatuan Perjuangan.49 Satu organ politik oposisional terhadap pemerintah yang waktu itu tunduk pada kumpeni Belanda lewat negosiasi, diplomasi dan perjanjian-penipuan Renville oleh Sjahrir dkk.
Jika saja para serdadu hari ini membaca sejarah Soedirman, pastilah mereka malu. Sebab, hari ini serdadu kita berubah menjadi centeng—yang mengabdi pada kumpeni kolonial lokal dan internasional—yang beraninya pada rakyat sendiri: tempat mereka berasal dan kembali serta yang seharusnya dilindungi. Tak ada kata yang pas menggambarkan taksonomi TNI dan polisi hari ini kecuali sebutan centeng dan tukang palak pada warga sendiri: membela yang bayar, bukan melindungi yang benar.
Perubahan tentara rakyat dan polisi menjadi centeng rupanya juga merupakan skenario asing karena genealogi mereka berasal dari kumpulan didikan Belanda dan Jepang (KNIL dan PETA) yang diperuntukkan bagi kelangsungan penjajah kumpeni di republik ini. Secara genealogis, serdadu kita memang kumpulan penjahat yang bertujuan melanggeng-kan kejahatan kumpeni. Soedirman hanya bekas penjahat yang
49
Seri Buku Tempo, 2010, Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta: KPG, hal. 342.
bertobat, yang sayangnya sendirian dan tak diikuti serdadu-serdadu berikutnya.
Soedirman, seorang tentara nasionalis dan memiliki konsep kewargaan yang berpijak pada tanah, bukan agama dan ras. Karena itu baginya, siapapun yang berjuang dan melawan kolonial—dari agama dan ras apapun—adalah warga negara Indonesia. Mereka harus dilindungi dan ditempatkan setara dalam negara kesatuan republik ini.