• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIMPIN BERKARAKTER PANCASILA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMIMPIN BERKARAKTER PANCASILA"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

Tukiran Taniredja M. Yudhie Haryono

PEMIMPIN BERKARAKTER

PANCASILA

(2)

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya

tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.

© 2014, Penerbit Alfabeta, Bandung

Sos18 (xviii + 122) 16 x 24 cm

Judul Buku : PEMIMPIN BERKARAKTER PANCASILA Penulis : Tukiran Taniredja

M. Yudhie Haryono Editor : Zamzam Muhammad F.

Heri Susanto Penerbit : ALFABETA, cv

Jl. Gegerkalong Hilir 84 Bandung

Telp. (022) 200 8822 Fax. (022) 2020 373 Website: www.cvalfabeta.com

Email: alfabetabdg@yahoo.co.id Cetakan Kesatu : Maret 2014

ISBN : 978-602-289-020-1 Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

PERHATIAN

KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG (QS Al-Muthaffifin ayat 1)

Para pembajak, penyalur, penjual, pengedar, dan PEMBELI BUKU BAJAKAN adalah bersekongkol dalam alam perbuatan CURANG. Kelompok genk ini saling membantu memberi peluang hancurnya citra bangsa, “merampas” dan “memakan” hak orang lain dengan cara yang bathil dan kotor. Kelompok “makhluk” ini semua ikut berdosa, hidup dan kehidupannya tidak akan diridhoi dan dipersempit rizkinya oleh ALLAH SWT.

(3)

Sambutan Rektor UMP

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Dewasa ini Republik Indonesia dihadapkan kepada berbagai masalah pelik dan rasanya tidak mudah diselesaikan dalam waktu yang singkat. Di bidang politik, demokrasi yang diharapkan mampu terkelola dengan baik, justru dibajak oleh politisi korup, pebisnis tamak yang memanfaatkan negara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Di bidang ekonomi, masyarakat semakin tersingkirkan dari jantung perekonomian Indonesia yang semakin didominasi oleh pebisnis bermodal besar yang berwatak monopolistik. Di bidang sosial terdapat berbagai macam konflik yang berlatarbelakang politik, ekonomi, kesukuan, agrarian, dsb. Di bidang pertahanan keamanan, republik ini tertinggal dari negara-negara jiran seperti Malaysia dan Singapura. Di bidang hukum, disabotase oleh penjahat, sehingga kita sulit menemukan mana tokoh baik, mana tokoh jahat dalam proses penegakan hukum. Padahal usia Indonesia sudah menginjak enampuluh delapan.

Jika kita menelusuri sejarah, Pancasila lahir terlebih dahulu sebelum Indonesia merdeka. Artinya, baru lahir saja Pancasila sudah mampu memerdekakan Indonesia. Maka tugas

(4)

bangsa ini setelah kemerdekaan adalah mengisinya dengan semangat nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila. Jika ini bisa kita lakukan, negeri ini akan terhindar dari segala macam krisis yang tersebutkan di atas.

Tapi justru sejak reformasi, banyak masyarakat yang alergi dengan Pancasila. Ini adalah efek dari orde baru yang menempatkan Pancasila sebagai pembalut kesucian rezim. Maka pada saat rezim itu terbukti tidak lagi suci, Pancasila ikut terkena imbasnya. Keberhasilan Orde Baru adalah menerjemahkan Pancasila ke dalam uraian yang mendetail dan mudah dipahami oleh masyarakat. Sedangkan kesalahan Orde Baru adalah tidak melaksanakan apa yang telah diterjemahkannya itu. Fatal akibatnya. Bukan hanya rezim yang runtuh, namun juga bangsa ini ikut runtuh. Bangsa ini harus belajar dari pengalaman itu.

Pancasila adalah ideologi yang memiliki historisitas kuat di Indonesia. Ia lahir dari pengalaman bangsa ini. Ia hadir sebagai pembaca realitas sekaligus penunjuk kemana seharusnya realitas itu diarahkan. Pancasila berhasil membaca bahwa Indonesia ini menyimpan trauma penindasan baik yang dilakukan oleh bangsa lain maupun oleh bangsa sendiri. Dan dari pengalaman ini Pancasila kemudian hendak mengarahkan perjalanan bangsa ini agar mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Pancasila berhasil membaca bahwa Indonesia berisi keanekaragaman budaya, keyakinan, dan sumber daya alam. Dan dari latar belakang ini Pancasila memberikan penuntun pada warga negara Indonesia agar mengedepankan persatuan dan permusyawaratan. Pancasila juga berhasil

(5)

membaca bahwa setiap agama membawa sebuah misi yang suci, membawa manusia ke arah kehidupan gemah ripah loh

jinawi. Secara baik Pancasila mengajak seluruh masyarakat

Indonesia agar meyakini adanya tuhan dan beragama.

Mengapa kini kita tidak dapat bersatu, tidak dapat saling merekat dalam keharmonisan, karena tidak menjiwai nilai-nilai persatuan dalam Pancasila. Mengapa bangsa ini sedikit-sedikit rusuh, karena tidak menghayati nilai-nilai permusyawaratan dalam Pancasila. Mengapa manusia Indonesia kehilangan semangat saling asih dan asuh, karena meninggalkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Maka, dengan tegas harus dikatakan disini bahwa Pancasila harus direvitalisasi. Dalam agenda itulah buku ini hadir.

Kami berharap buku ini dapat memberikan sumbangan dalam agenda merevitalisasi Pancasila sekaligus menciptakan calon pemimpin bangsa yang berkarakter Pancasila. Semua ini adalah untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih baik.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, M.H. NBM. 255763

(6)

Sambutan Ketua Pusat Kajian Pancasila

dan Kepemimpinan UMP

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah memberi kasih sayang pada seluruh makhluknya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta umatnya.

Di antara banyak negara di dunia ini, tidak ada satupun negara yang memiliki keanekaragaman keyakinan dan budaya, ras dan etnis, seperti Indonesia. Dilihat dari sukubangsanya saja, terdapat kurang lebih 700 suku bangsa yang ada di nusantara. Dengan demikian kunci tegak berdirinya negara ini adalah persatuan dari seluruh kemajemukan yang ada. Sebaliknya, kunci meruntuhkan negara ini adalah mencegah potensi persatuan dari seluruh kemajemukan tersebut. Sejak lahir, siapapun manusia yang ada di nusantara harus sadar betul tentang hal ini.

Setiap negara yang sadar akan kemajemukan manusianya, budayanya, keyakinannya pasti berusaha untuk menciptakan persatuan bangsa. Tengok saja Amerika. Meski keragaman budayanya masih kalah jauh dari Indonesia, mereka punya semboyan “E Pluribus Unum”, yang berarti “dari banyak menjadi satu”. Jerman memiliki semboyan Einigkeit und

(7)

Recht und Freiheit yang memiliki arti kesatuan dan keadilan dan

kemerdekaan. Argentina, En Unión y Libertad (dalam persatuan dan kemerdekaan). Bolivia, La Unión es la Fuerza (persatuan adalah kekuatan). Malaysia, Bersekutu Bertambah Mutu (bersatu menjadi kuat). Dan masih banyak lagi negara yang memandang kunci tegaknya suatu negara adalah persatuan.

Pengalaman Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan negara-negara tersebut. Para pemimpin Indonesia memandang bahwa persatuan adalah kunci maju-mundurnya kemajuan bangsa. Oleh karena itu, dikutiplah sepenggal kalimat dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular: “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua. Semboyan inilah spirit yang mendorong para pemimpin bangsa dari ujung timur hingga barat untuk menciptakan suatu asas yang dapat diterima secara bersama-sama. Dari dorongan semangat inilah lahir Pancasila. Tanpa Pancasila, sangat mungkin terjadi, tidak ada Indonesia merdeka.

Namun Pancasila semakin hari mulai kehilangan elan vitalnya. Bukan karena ia tidak memiliki makna, melainkan karena ia tidak dipelajari dan dihayati. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang apriori terhadap Pancasila. Belum mempelajari sudah tidak suka. Ketidaksukaan terhadap Pancasila membuka masuknya ideologi lain yang merusak masuk ke Indonesia. Ideologi kapitalisme liberal telah masuk dan menimbulkan efek kesengsaraan yang dahsyat di Indonesia. Tapi masih saja banyak yang belum sadar bahwa kesengsaraan ini adalah efek lanjutan dari sikap kita tidak mempelajari Pancasila.

(8)

Dari latar belakang inilah Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan UMP didirikan. Di lembaga ini, Pancasila tidak hanya ideologi yang ditempatkan dalam konteks politik saja. Lebih dari itu, Pancasila juga ditempatkan dalam konteks ilmu. Hal ini paling tidak menyimpan 2 pengertian. Pengertian pertama, Pancasila ditempatkan sebagai objek kajian. Sedangkan pengertian kedua, Pancasila dilekatkan dalam tubuh ilmu pengetahuan. Mengingat Pancasila adalah ideologi maka menjelaskan pengertian kedua lebih problematik daripada yang pertama.

Kalau dilihat dalam pengertian pertama, sudah banyak ilmuwan yang mencoba untuk melihat Pancasila sebagai objek kajian. Karya mengagumkan yang paling terakhir terbit barangkali adalah Negara Paripurna yang ditulis oleh Yudi Latif. Namun dilihat dalam pengertian kedua, melekatkan Pancasila dalam ilmu pengetahuan pasti mengundang banyak perdebatan. Sebab ada pendapat bahwa menyatukan ideologi dengan ilmu pengetahuan haram hukumnya. Namun jika ditelusuri lebih jauh, pendapat itu sendiri masih dalam perdebatan yang belum berakhir.

Dalam diskursus keilmuan, ada debat yang akrab disebut dengan methodenstreit. Isi perdebatan itu adalah, apakah ilmu hanya cukup berhenti pada titik menjelaskan sebagaimana adanya atau sampai pada titik bagaimana seharusnya yang sebagaimana adanya itu? Dari sudut pandang ilmuwan sosial kritis, ilmu tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan, namun juga untuk mengarahkan kehidupan manusia menuju lebih baik. Sepositivistik seorang ilmuwan,

(9)

keyakinan tersebut niscaya ada meskipun tidak dinyatakan terang-terangan. Dengan demikian, dalam kenyataannya, ilmu juga ikut andil dalam mendefinisikan bagaimana dunia seharusnya, bukan hanya mendefinisikan dunia sebagaimana adanya. Artinya, ideologi selalu melekat dalam ilmu. Inilah yang dipercaya oleh ilmuwan yang ikut dalam gerbong mazhab kritis.

Ambil contoh ilmu ekonomi barat. Meskipun ilmu ekonomi itu bersandar pada klaim objektif, namun tetap saja ideologi kapitalis-liberal melekat erat di dalamnya. Artinya, jika kita melepaskan Pancasila dari ilmu maka ideologi lain yang akan mengambil alih. Dari kerangka berfikir seperti itulah, dapat dipahami mengapa Mubyarto, Dawam Rahardjo, Sri-edi Swasono, Revrisond Baswir, M. Yudi Haryono mengembang-kan ilmu ekonomi Pancasila untuk menggeser ilmu ekonomi kapitalis-neoliberalis yang sedang menjadi mainstream di Indonesia. Dengan demikian, demi Indonesia yang lebih baik, pengembangan ilmu saja tidak cukup melainkan juga harus diiringi dengan pengembangan ideologi. Dan, PKPK berikhtiar untuk mewujudkan ini.

(10)

Kata Pengantar Editor

Menginjak usianya yang ke-enampuluh delapan, Republik Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda akan mencapai tujuan kemerdekaannya. Oleh karenanya, bangsa ini seharusnya bertanya, apakah republik ini telah berada dalam jalur sejarah yang tepat. Baru setelah pertanyaan ini selesai dijawab, maka prediksi sampai mana republik ini melangkah dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaannya bisa diajukan.

Sayang sekali, republik ini mengambil jalan yang salah. Dikatakan salah karena jalan yang diambil jauh dari yang diamanatkan oleh konstitusi. Jika demikian halnya, kita dapat memahami mengapa cita-cita kemerdekaan belum menjadi kenyataan.

Pembukaan UUD 1945 memberi petunjuk bagi seluruh warga negara bahwa raison d’etre, alasan berdirinya republik ini adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memaju-kan kesejahteraan umum, mencerdasmemaju-kan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Namun lihat apa yang terjadi. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia berubah menjadi perlindungan terhadap koruptor, perlindungan terhadap perusahaan asing, perlindungan terhadap pejabat dan keturunannya, perlindungan terhadap gembong narkoba kelas kakap, perlindungan terhadap ideologi

(11)

kapitalisme, perlindungan terhadap penjahat HAM. Wajar kiranya, kesejahteraan umum tidak tercapai. Mari kita tengok indeks Gini Indonesia yang koefisiennya naik menjadi 4,1. Artinya, jurang antara kaya dan miskin semakin lebar. Jika kondisi ini dibiarkan maka naiknya angka kejahatan sulit terelakkan dan akhirnya akan berujung pada konflik sosial. Kehidupan seperti ini sungguh tidak mencerminkan kehidupan bangsa yang cerdas. Jika bangsa sendiri saja masih kacau balau, bagaimana mungkin ikut melaksanakan ketertiban dunia?

Semua ini adalah bukti bahwa republik ini belum melangkah dalam titian yang diamanahkan oleh konstitusi. Yang harus bertanggungjawab tentu saja seluruh Warga Negara Indonesia. Namun dalam rasionalitas demokrasi perwakilan, beban terbesar tentu saja ada di pundak para pemimpin yang duduk di kursi eksekutif dan legislatif. Sebab dari sanalah keputusan-keputusan mahapenting yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilahirkan. Jika pemimpinnya baik, masa depan negara akan baik. Demikian pula sebaliknya. Persis seperti peribahasa: ikan membusuk dari kepalanya.

Pertanyaanpun mengemuka, bagaimana kriteria pemimpin yang paling tepat untuk Indonesia? Tidak mudah menjawabnya. Sebab kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu Indonesia sebelum menemukan jawaban atas pertanyaan itu.

Jika Indonesia dimaknai sebagai kesatuan politik yang terdiri atas beragam identitas politik dan kebudayaan, maka

(12)

pemimpin ideal yang terbayang adalah aktor yang mampu menciptakan konsensus di antara segala macam perbedaan yang ada. Jika Indonesia dimaknai sebagai negara yang sedang melangkah menuju modernisasi, maka pemimpin ideal yang terbayang adalah figur yang rasional, didikan barat, bercerai dengan segala asesoris feodalisme. Cara berpikir seperti inilah yang menuntun Herbert Feith ketika membagi tipe pemimpin di Indonesia menjadi dua yaitu solidarity maker dan administrator. Lain Feith, lain pula Julien H. Benda. Bagi Benda, Indonesia tidak cocok dengan iklim demokrasi. Maka, menurut pembayangan Benda, pemimpin ideal untuk Indonesia adalah figur yang karismatis tradisional. Penilaian Benda ini nyaris senada dengan Ben Anderson, karena ia membayangkan Indonesia didominasi oleh kultur dan orang Jawa.

Disini kita tidak ingin membenarkan penilaian para ahli tersebut. Lebih dari itu, kita hendak merumuskan sendiri bagaimana karakter pemimpin ideal bagi Indonesia dengan cara mendefinisikan Indonesia sesuai dengan pembacaan kita. Atau dengan kata lain, lewat ikhtiar mendefinisikan Indonesia, secara bersamaan kita akan bisa mendapatkan gambaran karakter ideal pemimpin Indonesia.

Jauh sebelum Islam datang di nusantara, negeri ini sudah menjadi pusat perkembangan agama dunia. Bahkan seorang arkeolog asal Belanda, Roy Jordaan, secara implisit menyatakan bahwa nusantara adalah tanah suci peradaban dunia sebelum Vatikan dan Mekah. Beragama, dengan

(13)

demikian, sudah menjadi praktik yang menyejarah di nusantara.

Tanah yang subur, kekayaan fauna dan flora, sumber daya alam yang melimpah, iklim yang sejuk tidak hangat tidak dingin, sangat memungkinkan wilayah nusantara untuk dijadikan tempat mengembangkan peradaban. Karunia ini tidak terkonsentrasi di satu wilayah nusantara saja, Jawa saja misal, namun juga di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan wilayah Sunda Kecil lainnya. Lantaran realitas geografis ini, satu komunitas tradisional mampu bertahan hidup di suatu wilayah tertentu tanpa harus menggantungkan pada komunitas tradisional yang lain. Dalam kondisi seperti ini, heterogenitas budaya yakni keberagaman suku, agama, adat, sangat dimungkinkan. Berkaitan dengan itu, Furnivall pernah mengatakan bahwa keberagaman ini sulit terintegrasi dalam sebuah kesatuan, kecuali jika terjadi suatu extraordinary

condition: datangnya sebuah kekuatan asing yang mengancam

kedaulatan masing-masing kelompok. Faktanya, kedatangan Portugis, Belanda, Inggris, Jepang di nusantara inilah yang melelehkan sekat-sekat antar suku, etnis, dan agama; yang pada akhirnya menjadikannya sebuah nasion yang padat bernama Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia adalah identitas politik yang didahului oleh adanya persatuan antar suku, antar etnis, agama, nasib politik, nasib ekonomi, nasib sosial dll. Persatuan adalah conditio sine qua non terciptanya Indonesia.

Kekuatan asing datang ke nusantara berkepentingan untuk, meminjam Soekarno, merampas rezeki yang ada di

(14)

nusantara. Hal ini dengan sendirinya membawa dampak buruk bagi para pribumi yaitu kemiskinan, kelaparan, perbudakan dan kebodohan. Pengalaman ini tidak hanya dialami oleh pribumi Sumatra namun juga oleh pribumi yang ada di seantero nusantara. Persamaan nasib inilah yang kemudian menjadikan mereka bersatu untuk menyingkirkan kekuatan asing yang menindas. Perjuangan melawan kekuatan asing, dengan demikian, dilakukan berlandaskan pada keinginan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, adil, beradab. Hasil dari perjuangan ini tentu saja tidak boleh dimonopoli oleh beberapa gelintir orang dan kelompok saja, melainkan mutlak harus didistribusikan secara adil bagi seluruh manusia Indonesia, all for one, one for all. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode agar tujuan ini tercapai. Tidak lain tidak bukan adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang terbalut dalam konsepsi permusyawaratan.

Praktis, Indonesia adalah negara yang mendambakan keberagamaan, menyatukan perbedaan tanpa menegasikan, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, keadaban, mewujudkan keadilan, melalui permusyawaratan. Asas dan cita-cita inilah yang oleh para founding fathers dan mothers kita disebut dengan Pancasila. Jika demikian ihwalnya, maka manusia Indonesia berarti adalah manusia yang berani untuk memikul cita-cita Pancasila tersebut. Maka, pemimpin Indonesia adalah manusia-manusia yang berkarakter Pancasila. Buku ini adalah karya yang ditulis oleh dua intelektual-aktivis untuk mencarikan solusi atas krisis yang sedang menghempas Indonesia. Jawaban mereka tegas, krisis ini

(15)

muncul lantaran tidak tersedianya pemimpin berkarakter Pancasila di Indonesia. Buku ini adalah ikhtiar untuk mencapai 2 hal. Pertama, memenuhi tuntutan objektif yaitu mengangkat diskursus kepemimpinan Pancasila dalam suatu, meminjam Taufik Abdullah, academic enterprise. Kedua, memiliki tujuan praktis yaitu menciptakan pemimpin berkarakter Pancasila.

Buku ini dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama membahas mengenai konsep tentang karakter, kepemimpinan, nilai-nilai Pancasila. Harapannya agar sidang pembaca mampu memahami secara objektif apa itu kepemimpinan Pancasila. Sementara itu di bagian kedua, para penulis mengilustrasikan siapa dan seperti apa pemimpin berkarakter Pancasila. Dengan kedua cara inilah Pancasila tidak hanya didudukkan sebagai doktrin belaka, melainkan juga pengetahuan yang dilihat secara akademis dan kritis. Bagian terakhir adalah penutup. Selain berisi tentang kesimpulan-kesimpulan atas materi yang telah diuraikan, disini pembaca akan diajak untuk melakukan perenungan tentang kepemimpinan yang ada di Indonesia. Selamat membaca!

(16)

Daftar Isi

Sambutan Rektor UMP ... iii

Sambutan Ketua PKPK ... vi

Kata Pengantar Editor ... x

Daftar Isi ... xvi

1

Kepemimpinan Berkarakter Pancasila: Usaha Penelusuran Teoretis ... 1

1.1 Karakter Bangsa dalam Wacana Kepemimpinan Nasional ... 2

1.2 Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Karakter Bangsa ... 7

1.2.1. Nilai Sila Pertama ... 7

1.2.2. Nilai Sila Kedua ... 10

1.2.3. Nilai Sila Ketiga ... 11

1.2.4. Nilai Sila Keempat ... 13

1.2.5. Nilai Sila Kelima ... 14

1.3 Pemimpin Berkarakter Pancasila ... 15

2

Tokoh Pemimpin Berkarakter Pancasila: Sepak Terjang, Gagasan, dan Karakter Kepemimpinannya ... 21

2.1 Ki Hajar Dewantara ... 22

2.2 Soedirman ... 47

(17)

2.4 Hatta ... 84 2.5 Natsir ... 93

3

Para Pahlawan Itukah Anda Semua? ... 105

Daftar Pustaka ... 114 Tentang Penulis ... 121

(18)
(19)

1

Kepemimpinan Berkarakter Pancasila: Usaha

Penelusuran Teoretis

Jamak ilmuwan yang mendefinisikan pemimpin dalam pengertian seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan kelompoknya menuju cita-cita yang diinginkan. Sedangkan yang dimaksud kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang demi mencapai cita-cita yang diinginkan.1 Jika disederhanakan, pemimpin merujuk pada

kata benda dalam arti orang. Sementara itu kepemimpinan merujuk pada kata kerjanya.

Setiap pemimpin memiliki gaya masing-masing ketika menjalankan aktivitas kepemimpinannya. Ada pemimpin yang cenderung gemar menentukan keputusan tanpa mempedulikan anggota yang lain. Ada pula pemimpin yang lebih suka mengajak anggota-anggotanya untuk menentukan suatu

1

(20)

keputusan. Perbedaan gaya kepemimpinan ini bisa ditentukan paling tidak oleh dua hal. Pertama, faktor lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh pada gaya kepemimpinan seorang pemimpin. Misalnya, seorang pemimpin cenderung akan sedikit melibatkan anggotanya ketika dituntut untuk menghasilkan keputusan secara cepat. Contoh lain, pemimpin juga cenderung menentukan keputusannya sendiri ketika anggotanya tidak memiliki kecakapan intelektualitas yang sebanding dengannya. Disini terlihat bahwa lingkungan dapat menentukan gaya kepemimpinan seseorang. Faktor kedua yang menentukan gaya kepemimpinan adalah karakter. Yang dimaksud dengan karakter disini secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kepribadian dasar yang menuntun pemikiran, sikap dan pilihan-pilihan yang akan diambil oleh seorang pemimpin.

Terkait dengan itu, tulisan ini akan mengupas lebih jauh pendapat kedua, yaitu tentang karakter kepemimpinan sebagai suatu hal yang menentukan dalam proses kepemimpinan.

1.1 Karakter Bangsa dalam Wacana Kepemimpinan Nasional

Karakter berasal dari bahasa latin ‖kharakter”,

(21)

engrave‖, dan pointed stake‖ yang dalam bahasa Prancis menjadi

‖caractere‖, yang kemudian menjadi bahasa Inggris ‖character‖, sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal ‖karakter‖.2

Karakter juga dapat diartikan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Berkarakter berarti mempunyai tabiat, mempunyai kepribadian dan berwatak.3

Karakter juga berarti kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan juga bahwa karakter pendidikan adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti pendidik yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik.4

FW Foerster (1869-1966), pencetus pendidikan karakter asal Jerman mengatakan bahwa ada empat ciri dasar dalam pembentukan karakter, yakni: (1) keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan; (2) koherensi yang memberi

2

Elmubarok, Z., 2008, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, hal. 102.

3

Lukman Hakim, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka. hal. 445

4

Hidayatullah, M.F., 2009, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat &

(22)

keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredi-bilitas seseorang; (3) otonomi, di situ seseorang menginter-nalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan serta tekanan dari pihak lain; (4) keteguhan dan kesetiaan, keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.5

Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karak-ter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somato psikis yang dimiliki individu sejak lahir. Di sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ‖ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari

5

Elmubarok, Z., 2008, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, hal. 104-105.

(23)

diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, teman-teman, dan sekolah.6 Dari sekian pengertian yang telah

kita dapat, ada satu hal yang perlu ditekankan bahwa karakter bukanlah suatu hal yang alamiah atau terberi sejak lahir, melainkan sesuatu yang didapat dari proses belajar atau internalisasi.

Secara umum Sembiring menyatakan bahwa pembangunan karakter bangsa setidaknya harus mencakup 4 (empat) lingkup, lingkup keluarga, lingkup pendidikan, lingkup masyarakat dan lingkup pemerintahan.7 Pada lingkup

keluarga, wahana pembelajaran dan pembiasaan harus dilakukan oleh orang tua terhadap anak sebagai anggota keluarga. Pada lingkup pendidikan adalah wahana pembinaan dan pengembangan melalui keteladanan para tokoh masyarakat, dan pada lingkup pemerintahan wahana pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan aparat penyelenggara dan tokoh-tokoh elit bangsa.

6

Syarkawi, 2008, Pembentukan Kepribadian Anak, Peran Moral, Intelektual,

Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta:

PT Bumi Aksara

7 Tifatul Sembiring, 2010, Sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika dalam rangka Memperingati Hari Kebangkita Nasional ke 102 Tanggal 20 Mei 2010,

(24)

Menurut Su‘ud paling tidak kita mempunyai dua pengalaman dalam mengembangkan budaya dan karakter bangsa, yaitu di masa rezim Soekarno dan rezim Soeharto.8 Di

masa Demokrasi Terpimpin dan di masa Demokrasi Pancasila. Yang pertama dikenal dengan cara program Santiaji dalam rangka Nation and Character Building, atau membangun karakter bangsa. Yang kedua dilaksanakan dalam program penataran P4, yang berisi pedoman, penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Keduanya dilaksanakan lewat jalur pendidikan formal dalam kerangka kurikulum sekolah, maupun jalur pendidikan non formal atau luar sekolah.

8

Abu Su’ud, 2010, Pendidikan Budaya da Karakter Bangsa, Makalah disampaiakan pada Seminar Nasional di semarang, 15 April 2010, hal. 1

(25)

1.2 Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Karakter Bangsa

Usaha yang dilakukan oleh Soekarno dan Soeharto tersebut adalah usaha untuk menciptakan manusia Indonesia yang ideal sehingga mampu mewujudkan cita-cita nasional. Manusia Indonesia ideal tentu saja adalah manusia yang pandangan hidupnya dituntun oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karenanya, pemimpin yang ideal pun semestinya pemimpin yang memiliki karakter Pancasila. Maka sebelum sampai pada pembahasan tentang apa itu pemimpin berkarakter Pancasila, kita perlu meninjau terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan nilai-nilai Pancasila.

1.2.1. Nilai Sila Pertama

Menurut Notonagoro bahwa di antara lima sila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang paling sulit karena kerap dipersoalkan.9 Memang di dunia ini terdapat pendirian dan

kepercayaan yang berkenaan dengan ketuhanan, lebih-lebih mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sangat berlain-lainan, begitu pula keadaannya di negara Indonesia. Maka dari itu yang harus dilakukan adalah mengajukan suatu penjabaran

9

Notonagoro, 1983, Pancasila: Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Bina Aksara, hal. 60

(26)

mengenai isi arti sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak terikat kepada bentuk Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertentu, akan tetapi tidak memperkosa inti dari arti dan istilah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan lain perkataan, batas-batas dari isi-inti sila ini harus cukup luas untuk dapat menempatkan semua agama dan kepercayaan di dalamnya.

Soekarno, yang akrab sekali disapa Bung Karno, ketika berpidato di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 menyatakan, prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan pada Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada ‖egoisme-agama‖. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang

(27)

berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain (Soekarno, 1986: 153).10

Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dalam melaksanakan kemer-dekaan beragama ini, negara menghendaki adanya toleransi dari para pemeluk agama, sehingga tidak akan membenarkan adanya pemaksaan suatu agama kepada orang lain. Pemerintah juga harus selalu membimbing dan mengarahkan segenap warganegara dan penduduk untuk selalu mengamalkan ajaran agama yang dipeluknya, serta memberikan kebebasan kepada setiap penduduk Indonesia untuk mengembangkan agamanya tanpa mengganggu hak dan kebebasan pemeluk agama lainnya.11

10

Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, hal 153

11

Effendi, H.A.M., 1995, Falsafah Negara Pancasila, Semarang: Badan Penerbitan IAIN Walisongo Press bekerja sama dengan CV Cendekia, hal. 39

(28)

1.2.2. Nilai Sila Kedua

Dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia sikap tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

Bung Karno ketika berpidato di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 mengutip apa yang dikatakan Gandhi, ‖Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.‖

My nationalism is humanity‖. Ia juga menandaskan, ‖Tuan-tuan

jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.12

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan

12

Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, hal. 148

(29)

keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.

Sila kedua ini menghendaki agar negara mengakui adanya hak dan kewajiban yang sama pada setiap warganegara Indonesia, dan mengharuskan kepada negara untuk memperlakukan manusia Indonesia dan manusia lainnya secara adil dan tidak sewenang-wenang. Di samping itu negara harus menjamin setiap warganegaranya untuk mendapatkan kedudukan hukum dan pemerintahan yang sama, serta membebani kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Negara wajib menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang berbudi luhur sesuai dengan harkat dan martabat manusia.13

1.2.3. Nilai Sila Ketiga

Bung Karno ketika berpidato di depan sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 menguraikan tentang makna Kebangsaan Indonesia. Uraiannya adalah bahwa bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan

13

Effendi, H.A.M., 1995, Falsafah Negara Pancasila, Semaarang: Badan Penerbitan IAIN Walisongo Press bekerja sama dengan CV Cendekia, hal. 39

(30)

orang yang hidup dengan ―le desir d’entre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis saja, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan Allah Swt, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari utara Sumatera sampai Irian! Seluruhnya! Karena di antara manusia 70.000.000 ini sudah ada ‖le desir d’entre ensemble‖, sudah jadi ‖Charaktergemenschaf! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!14

Menurut Notonagoro inti sila Persatuan Indonesia dapat dirumuskan, kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat dan bangsa, menghidup-hidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan yang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpecahan atas dasar kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang sewajarnya.15 Lagi

14

Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, hal 146

15

Notonagoro, 1983, Pancasila: Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Bina Aksara, hal. 65

(31)

pula dengan kesediaan, kecakapan dan usaha untuk sedapat-dapatnya melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan, mungkin menurut pedoman-pedoman majemuk tunggal bagi pengertian kebangsaan.

1.2.4. Nilai Sila Keempat

Bung Karno menyampaikan juga dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 tentang dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Bahwa negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‖semua buat semua‖, ‖satu buat semua‖, ‖semua buat satu‖. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.16 Inti prinsip sila keempat menurut Notonagoro

adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat di dalam lapangan kenegaraan, atas dasar Tri Tunggal, yaitu ‖negara dari rakyat, bagi rakyat dan oleh rakyat.‖17

16 Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu

Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, hal 149

17

(32)

1.2.5. Nilai Sila Kelima

Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, Bung Karno mengusulkan, kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni

politiek-ekonomische demokrasi yang mampu mendatangkan

kesejah-teraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini.18

Sila kelima Pancasila, menurut Notonagoro mengan-dung prinsip bahwa di dalam lapangan sosial dan ekonomi ada kesamaan, di samping kesamaan politik. Di dalam lapangan sosial ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan, dalam keseimbangan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial, untuk mengusahakan dan memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai dengan sifat-sifat mutlak dari manusia sebagai individu.

Berdasarkan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan Bab IV, khusus dalam bidang religius, bahwa untuk mengukur tingkat keberhasilan perwujudan Visi Indonesia 2020 memerlukan beberapa

18

Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, hal 152

(33)

indikator. Adapun indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku kesehariannya;

b. Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama; c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat

kemanusiaan.

1.3 Pemimpin Berkarakter Pancasila

Dari uraian yang di atas, dapat dijelaskan apakah yang dimaksud dengan pemimpin berkarakter Pancasila. Merujuk pada nilai Pancasila sila pertama, maka pemimpin di Indonesia mestinya adalah pemimpin yang memiliki kepercayaan terhadap Tuhan. Dengan meyakini dan mempercayai Tuhan maka pemimpin akan tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Tuhan lewat agama. Setiap agama memerintahkan penganutnya, misalnya, untuk tidak mencuri. Maka, pemimpin yang bertuhan secara benar tidak akan mudah tergiur untuk mencuri uang rakyat, menerima uang panas korupsi.

(34)

Pemimpin seperti ini tidak akan mudah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Ia memiliki sifat welas asih terhadap rakyatnya, mengusahakan kesetaraan antar umat manusia, berani menentang penindasan terhadap sesama manusia, dan gigih dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Oleh karena itulah, dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyerukan: Marilah kita semuanya bertuhan.

Sila pertama juga memberi pesan pada masyarakat Indonesia agar berketuhanan yang berkeadaban. Maksudnya adalah berketuhanan namun tetap memiliki sikap saling menghormati terhadap umat beragama yang lain. Tidak saling mengejek apalagi membunuh. Dengan menghayati sila pertama, pemimpin di republik ini harus juga mengupayakan adanya sikap saling menghormati antar sesama umat beragama. Tidak mengadu dombanya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap umat beragama di Indonesia.

Dengan menghayati sila kedua, pemimpin berkarakter Pancasila berarti pemimpin yang menegakkan Hak Asasi Manusia yang bersifat universal. Pembelaan terhadap manusia tidak terbatas pada manusia yang ada di dalam batas-batas negara Indonesia. Lebih jauh dari pada itu, penegakan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan berlaku pada seluruh

(35)

manusia di dunia. Hal ini lantaran prinsip nasionalisme yang ada di dalam Pancasila adalah nasionalisme yang bukan saja memberikan kehidupan bagi bangsanya sendiri melainkan juga memberi hidup bagi bangsa-bangsa yang lain. Dengan demikian, pemimpin berkarakter Pancasila harus mengupaya-kan tatanan hidup manusia yang harmonis, tidak saling menindas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Karakteristik pemimpin ideal Indonesia yang selanjut-nya adalah persatuan. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang pertama-tama sadar akan adanya keragaman sosial budaya yang ada di Indonesia. Yang kedua, pemimpin ini juga sadar bahwa tanpa adanya persatuan maka negara ini akan terpecah-pecah dan hancur lebur. Maka, pemimpin Indonesia ideal haruslah menempatkan persatuan sebagai core pemikiran dan pilihan-pilihan kebijakan yang diambil.

Sesuai dengan nilai-nilai sila keempat, pemimpin Indonesia wajib memiliki karakter demokratis. Ia menempat-kan rakyat sebagai pelaku utama dalam kehidupan bernegara baik itu dalam bidang politik atau ekonomi. Dalam bidang politik, pemimpin berkarakter Pancasila haram hukumnya berlaku otoriter, menutup telinga terhadap tuntutan rakyat. Mestinya, pemimpin Indonesia peka dan memerjuangkan asipirasi rakyatnya. Selain itu, pemimpin Indonesia tidak boleh

(36)

menghalangi seluruh warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam lapangan ekonomi. Pemimpin Indonesia menolak segala macam monopoli dan oligopoli segelintir orang di dalam kehidupan ekonomi bangsa. Kecuali, dalam cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Terakhir, dengan menghayati sila kelima pemimpin Indonesia mesti memiliki karakter yang adil terhadap sesama, mengutamakan kegotongroyongan, kekeluargaan, menghargai Hak Asasi Manusia, tidak melakukan diskriminasi ataupun favoritisme.

Sungguh, sekarang Indonesia sedang kehilangan pemimpin berkarakter Pancasila. Akibatnya sangat merusak. Republik ini dipimpin oleh para koruptor, pemimpin hanya memuaskan nafsu pribadi dan keluarganya saja, pemimpin berideologi neoliberal, miskin keberanian untuk melawan perusahaan asing, pengecut terhadap negara superpower yang nyata-nyata mengingkari Hak Asasi Manusia, mengizinkan monopoli terhadap cabang produksi penting, dsb. Maka jika ingin terhindar dari segala macam pelanggaran konstitusi ini, agar keluar dari segala macam krisis ini, agar Indonesia dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, pemimpin berkarakter

(37)

Pancasila harus segera diciptakan. Keluarga sekolah dan kampus adalah sarana-sarana paling strategis untuk mengenalkan dan menginternalisasikan Pancasila pada segenap manusia Indonesia. Dengan langkah inilah, pemimpin berkarakter Pancasila akan terbentuk.

(38)
(39)

2

Tokoh Pemimpin Berkarakter Pancasila:

Sepak Terjang, Gagasan, dan Karakter

Kepemimpinannya

Setelah mendapatkan penjelasan konseptual, sudah saatnya kita mendiskusikan kepemimpinan berkarakter Pancasila dalam tataran praksis. Di sini akan diperlihatkan bahwa pemimpin berkarakter Pancasila tidak hanya terdapat dalam angan-angan belaka. Mereka ada, namun seringkali kita tidak mengingatnya, tidak mempelajari pemikirannya, tidak meneladani sepak terjang perjuangannya. Maka sudah saatnya kita mengingat kembali gagasan pokok dan karakter kepemimpinan para tokoh bangsa yang telah banyak dilupakan.

(40)

2.1. Ki Hajar Dewantara

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Inilah potret utama yang dapat kita berikan pada Ki Hadjar Dewantara. Ia adalah kritikus utama kolonial melalui tulisan-tulisannya: Satu Untuk

Semua, Semua Untuk Satu; Seandainya Aku Seorang Belanda,

adalah dua artikelnya yang menggemparkan kolonial Belanda karena isinya yang menghardik dan mengkritik kejamnya kolonialisme. Bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkosoemo, ia mendirikan partai yang melawan kolonial. Partainya bernama Indische Partij yang berumur pendek. Tetapi, jejaknya dalam pergerakan sangat kentara.19 Soewardi atau Ki

Hadjar—mungkin karena ia menjadi pejuang-pendidik yang abadi—tidak begitu mendapat tempat yang semestinya di republik. Publik banyak yang tidak tahu, ialah peletak dasar pendidikan kita dan Mendiknas pertama di Republik Indonesia. Padahal, ialah orang pertama yang berteriak lantang, ―saudara-saudara, lepaskanlah dirimu dari perbudakan.‖ 20

Sebagai republik muda, kita saat itu sangat ingin memperbaiki semua sisi kehidupan yang hancur akibat penjajahan Belanda. Dan, dalam pendidikan, kita mendapatkan Ki Hadjar sebagai sosok yang sudah mengawali dengan

19

Seri Buku Tempo, 2012, Douwes Dekker: Sang Inspirator Revolusi, Jakarta: KPG.

20

(41)

membentuk lembaga-lembaga pendidikan. Karena itu, mengaku ―saya Indonesia‖ bagi Ki Hadjar adalah cara melawan, cara bertahan, cara menunjukkan kemartabatan dan cara memanusiakan manusia. Di Indonesia-lah, pendidikan dan kecerdasan harus dipadukan dengan kecermatan pada nilai, bukan pada kapital dan gengsi. Dengan keberhasilannya menciptakan pendidikan yang tak disubsidi kolonial, anti dominasi asing, anti Belanda, kebebasan ekonomi-politik, dan berpandangan sosial yang radikal, Ki Hadjar adalah pewaris sah jagad nusantara dan pemberi teladan ulung semua murid di bangsa ini.21

Pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, situasi politik belum stabil hingga menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan pendidikan Indonesia. Pada awal kemer-dekaan, pemerintah Republik Indonesia (RI) telah membentuk kementerian yang mengurus dunia pendidikan yang pada saat itu disebut sebagai Kementerian Pengajaran. Ketika terjadi agresi Belanda, Kementerian Pengajaran dipindahkan ke Surakarta. Itu terjadi pada Januari 1946. Pada waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan atau yang disingkat menjadi

21

Savitri Scherer, 2012, Keselarasan Dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran

(42)

Kementerian PP dan K.22

Lebih dari itu, ketika Belanda menyerang pada Desember 1948, banyak kantor kementerian dipindahkan, termasuk Kementerian PP dan K. Waktu itu, organisasi kementerian berjalan sebagaimana mestinya dan terkenal dengan sebutan ―Kementerian Gerilya‖. Ketika sudah pulih, maka pada Juni 1949, Kementerian PP dan K dipindah lagi dari Surakarta ke Yogyakarta dan dibentuk tiga jawatan baru: Jawatan Inspeksi Pengajaran, Jawatan Pendidikan Masyarakat, dan Jawatan Kebudayaan. Pada awal masa kemerdekaan itulah, dan juga tahun-tahun menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, seorang tokoh pergerakan nasional dan pejuang pendidikan yang besar sekali perannya adalah Ki Hadjar Dewantara.

Sekarang tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada beliau yang telah begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis kebangsaan, ke-Indonesiaan dan

22

Sjamsudin, H., 1993, Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 9

(43)

kerakyatan. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan dan kebudayaan sampai sekarang masih selalu dikaji dan dianggap relevan diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah prinsip Tut Wuri

Handayani yang menjadi semboyan resmi dari implementasi

sistem pendidikan nasional.

Nama kecilnya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat dan setelah dewasa ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.23 Penggantian nama tersebut pun pada hakikatnya

merupakan simbol filosofi dan perjuangannya. Dari nama kecil sebagai bangsawan bergelar Raden, kemudian ia memilih bergelar Ki yang merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari orang kebanyakan. Ki Hadjar adalah jenis bangsawan yang sadar dan rela untuk menjadi sama dengan manusia lainnya. Dengan begitu, sejatinya dalam sejarah pergantian namanya dari Raden menjadi Ki saja, sudah tersirat filosofi anti- feodal dan anti-penjajahannya.

Suwardi lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Tanggal itulah yang kelak di kemudian hari dikenang dan ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional oleh pemerintah Indonesia. Ia berasal dari keluarga keraton, tepatnya Pura Pakualaman,

23

R.E. Elson, 2009, The Idea of Indonesia, Sejarah dan Gagasan, (terj.) Zia Anshor, Jakarta: Serambi, hal. 78

(44)

Yogyakarta. Suwardi merupakan cucu dari Sri Paku Alam III, ayahnya bernama K.P.H. Suryaningrat. Dari pihak Ibu adalah Raden Ayu Sandiyah yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Ketika kecil Suwardi mendapatkan pendidikan agama dari K.H. Abdurrahman, beliau seorang kiai dari Pesantren Kalasan. Pendidikan formalnya ia dapatkan di Europeesche

Lagere School (ELS) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai

pengantarnya. Setelah tamat, Suwardi melanjutkan ke

Kweekschool (sekolah guru Belanda) selama satu tahun dan

kemudian pindah ke School tot Opleding voor Inlandsche Arsten (Stovia) di Jakarta dengan beasiswa.

Namun sayang Suwardi tidak selesai dan terpaksa keluar karena sakit selama empat bulan yang menjadikannya tidak naik kelas hingga beasiswanya dicabut. Namun sebenarnya terdapat alasan politis dibalik pencabutan beasiswa tersebut, yakni karena Suwardi membacakan sebuah sajak kepahlawanan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo (panglima perang Pangeran Diponegoro). Konon pagi harinya setelah membacakan sajak tersebut, Suwardi dipanggil oleh Direktur Stovia dan dimarahi habis-habisan. Ia dituduh membangkitkan semangat memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar waktu itu, antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express,

(45)

Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia

juga menerbitkan Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.

Selain itu ia juga aktif di Budi Oetama pada 1908 dan mendapat tugas yang cukup menantang di biro propaganda. Di situlah ia mencoba untuk mengobarkan semangat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesatuan dan persatuan Indonesia. Pada 25 Desember 1912 ia mendirikan

Indische Partij sebagai partai politik pertama beraliran nasionalis

di Indonesia bersama dr. Douwes Dekker (Danudirja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangunkusumo. Indische Partij menjadi partai politik pertama berideologi nasionalis dengan tujuan tegas, yakni Indonesia merdeka. Oleh karena itu pula,

Indische Partij kemudian ditolak menjadi badan hukum oleh

pemerintah Belanda pada 11 Maret 1913 dengan alasan organisasi ini dapat membangkitkan nasionalisme rakyat untuk menentang Belanda.

Pada tahun itu juga Suwardi mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis pada November 1913. Ia mendirikan Komite Bumiputera yang merupakan komite tandingan dari komite perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa Belanda dari Perancis. Komite Bumiputera mengkritik perayaan tersebut yang akan dirayakan secara besar-besaran dengan menarik uang dari rakyat

(46)

jajahannya. Kritikan Ki Hadjar tersebut dimuat di surat kabar milik Douwes Dekker berjudul ―Seandainya Aku Seorang Belanda‖ (Als ik Eens Nederlander Was). Kontan saja hal itu membuat pemerintah Belanda berang pada Suwardi. Pemerintah kolonial meminta bantuan Sri Paku Alam II dan K.P.H. Suryaningrat agar mereka mendatangi Suwardi di Bandung untuk membujuknya agar tidak radikal. Namun mereka berdua justru berpesan, ―ingatlah, seorang bangsawan tidak akan menelan ludahnya sendiri.‖‖

Gubernur Jenderal Idenburg kemudian menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan pada Suwardi berupa hukuman internering atau pembuangan ke Pulau Bangka. Kedua sahabatnya, dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo pun turut dibuang karena membela Ki Hadjar. Dalam hukuman tersebut, mereka menginginkan untuk dibuang ke Negeri Belanda saja karena dianggap akan lebih bermanfaat dengan mempelajari banyak hal ketimbang dibuang ke daerah terpencil sebelumnya. Ternyata permintaan tersebut dikabulkan, dan mulai Agustus 1913 mereka berada di Belanda sebagai pelaksanaan hukuman. Hal itu tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka, terutama Ki Hadjar dengan memperdalam tentang pendidikan dan pengajaran, hingga berhasil mendapatkan Europeesche Akte. Di negeri Belanda,

(47)

Suwardi juga bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk pulang ke Indonesia.

Pada tahun 1919, Suwardi dapat kembali ke Indonesia dan setelah itu berusaha mencurahkan perhatiannya di dunia pendidikan sebagai alat untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada 3 Juli 1922 ia mendirikan sebuah perguruan bercorak nasional, yakni Nationaal Onderwijjs Instituut

Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman Siswa). Corak

pendidikannya dapat dikatakan sebagai paduan pendidikan gaya Eropa yang telah ia pelajari selama di Belanda dan seni-budaya Jawa tradisional yang merupakan latar sosialnya sejak mula. Ketika genap berusia 40 (empat puluh) tahun menurut perhitungan tahun Caka, Suwardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1928 ia resmi melepas gelar Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Sebagaimana sedikit dijelaskan di depan, agar ia dapat lebih dekat dengan rakyat dan menjadi bagian dari mereka.

Setelah Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, Ki Hadjar kemudian mewakafkan seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa pada 7 Agustus 1930. Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan mendapat apresiasi dari rakyat banyak tentu membuat gelisah pemerintah

(48)

Hindia Belanda waktu itu. Kemudian diterbitkanlah ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie) yang melarang sekolah swasta (partikelir) beroperasi tanpa izin dari pemerintah berkuasa. Ditentukan bahwa sekolah-sekolah swasta harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Kalau Taman Siswa menaati ordonansi tersebut, maka Taman Siswa akan tutup karena Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong (guru) dari sekolah guru Taman Siswa sendiri.24

Ki Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam, perlawanan dilakukan dengan menjalankan Taman Siswa seperti biasa, tidak terpengaruh oleh ordonansi tersebut. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh pamong lain. Semboyan ―ditangkap satu tumbuh seribu‖ muncul. Selain itu Ki Hadjar juga mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di Bogor yang isinya ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara diam (Lijdelik Verset) (bandingkan dengan gerakan Ahimsa dari Mahatma Gandhi di India). Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut karena Taman Siswa mendapat dukungan dari gerakan politik nasional, termasuk

24

Rahardjo, S, 2009, Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta: Garasi, hal. 58

(49)

Budi Utomo untuk terus melawan ordonansi yang merugikan pendidikan pro-rakyat tersebut.

Di bawah pendudukan Jepang, pada 1943, ketika Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pemimpin di situ bersama Soekarno, Hatta, K.H Mas Mansyur. Setelah proklamasi kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (PP dan K) Indonesia yang pertama. Secara resmi dunia akademik pun memberikan penghormatan kepada Ki Hadjar dengan memberikan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1957. Dua tahun setelah itu, tepatnya pada 26 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia. Sebelum wafat ia pernah berkata pada anaknya, Bambang Sukowati:

―Apapun yang dikatakan orang tentang diriku (kau) wajib menerimanya. Namun, kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar seorang nasionalis, radikalis, sosialis, humanis, tradisionalis ataupun demokrat? Maka katakanlah, aku hanya orang Indonesia biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia.‖25

25

(50)

Setelah Ki Hadjar wafat, kepemimpinan Taman Siswa diampu oleh istrinya, Nyi Hadjar Dewantara. Pada masa kepemimpinannya itulah terdapat upaya dari gerakan komunis untuk menyusup dalam tubuh Taman Siswa, salah satunya ditunjukkan oleh hasil kongres Taman Siswa tahun 1963 yang didominasi oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan sampai menjadikan Semaun (salah seorang tokoh komunis Indonesia waktu itu) sebagai Badan Pembina Persatuan Taman Siswa. Melihat hal itu, Nyi Hadjar menggunakan hak prerogatifnya untuk membubarkan kepengurusan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dan menggantinya dengan orang-orang yang non-komunis.

Namun sayang, pasca Nyi Hadjar sampai sekarang, Perguruan Taman Siswa justru tidak secemerlang dulu. Sekolah-sekolah Taman Siswa bahkan menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri dan swasta lainnya. Dilihat dari sisi ketokohan agaknya juga tidak ada lagi tokoh dari Taman Siswa yang mampu mencapai level seperti Ki Hadjar Dewantara. Beberapa tokoh intelektual memang muncul seperti Ki Supriyoko, Ki Darmaningtyas dan lainnya, namun juga agaknya belum dapat membawa Taman Siswa sesuai dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara pada mulanya. Sekarang kalau kita melihat praktik pendidikan di

(51)

Taman Siswa tidak banyak berbeda dengan sekolah swasta lainnya. Sistem pendidikan asrama perlahan-lahan luntur, demikian juga dengan konsep Taman Siswa sebagai pusat kebudayaan dan gerakan sosial.

Rahardjo menyatakan bahwa titik awal kemunduran Taman Siswa terjadi sejak 1965.26 Banyak pamong yang kritis

ditangkap, termasuk mereka yang berada di cabang-cabang Taman Siswa. Sementara itu pamong pengganti lebih banyak diam dan tidak berani kritis untuk menjaga keselamatan perguruan. Tidak kritisnya Taman Siswa tersebut, jelas berbeda dari sikap kritis Ki Hadjar. Pada akhirnya ini menjadikan Taman Siswa yang tidak lagi diperhitungkan dalam konteks politik dan pendidikan nasional. Selain itu kebijakan Orde Baru dalam mendirikan Sekolah Dasar (SD) Inpres secara masal juga menjadikan sekolah-sekolah Taman Siswa sepi peminat, karena SD Inpres dianggap lebih prestise, murah biayanya dan berkualitas.

Ki Hadjar Dewantara mendapat kehormatan sebagai Menteri PP dan K Republik Indonesia, yakni mulai 19 Agustus 1945 sampai 14 November 1945 (sekitar tiga bulan). Pada tahun 1945 sampai 1950 adalah masa revolusi fisik, di mana

26

(52)

perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dilakukan secara fisik. Praktis dalam waktu yang sesingkat itu tidak banyak program yang dapat dijalankan oleh Ki Hadjar ketika menjabat sebagai Menteri PP dan K. Tidak banyak cerita yang dapat digali dari masa tiga bulan tersebut. Peran besarnya justru memang tidak terlihat ketika menjadi pejabat resmi negara, melainkan dalam lingkup yang lebih luas ketika meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional Indonesia.

Walaupun begitu, secara resmi sebelum menjadi Menteri PP dan K, Ki Hadjar Dewantara-lah yang menjelang detik-detik proklamasi dalam Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran telah menyusun rencana pengajaran bagi Indonesia Merdeka. Rencana tersebut antara lain adalah berkaitan dengan: (1) Undang-undang kewajiban belajar; (2) Pendidikan dan pengajaran nasional bersendikan agama dan kebudayaan bangsa; (3) Perkembangan kebudayaan bangsa; (4) Pendirian sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh pemerintah; (5) Susunan pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum sesuai dengan rencana pelajaran; (6) Susunan/sistem persekolahan; (7) Ketentuan pelajaran bahasa dan kebudayaan; (8) Ketentuan tentang Pendidikan Rakyat; (9) Pendirian ―Balai Bahasa Indonesia; dan (10) Pengiriman pelajar-pelajar ke seluruh dunia.

(53)

Rencana tersebut memang tidak dapat diselesaikan dalam waktu ketika Ki Hadjar menjabat sebagai menteri selama tiga bulan, dan bahkan beberapa kabinet setelahnya juga tidak banyak bisa menyelesaikan agenda tersebut. Antara tahun 1945 sampai 1950 memang dikenal sebagai masa revolusi bangsa Indonesia yang tidak hanya membutuhkan negosiasi politik saja, namun bahkan perjuangan bersenjata. Berbagai agresi yang dilakukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia telah menjadikan pemerintah Indonesia di bawah kepemim-pinan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan perannya secara penuh. Banyak program kependidikan gagal karena masih tidak amannya kondisi politik saat itu. Setelah November 1945 Ki Hadjar Dewantara kembali menekuni Taman Siswa dengan tetap membantu perjuangan revolusioner pemerintah Republik Indonesia.

Amanat sebagai Menteri PP dan K dimaknai Ki Hadjar sebagai tanggung jawab dan perjuangan. Ia dipilih karena memang layak untuk menjabat sebagai Menteri PP dan K, bukan karena negosiasi politik kekuasaan sesaat saja. Oleh karena itu, setelah lepas sebagai Menteri PP dan K, Ki Hadjar tetap konsisten dalam upaya membangun Indonesia terutama melalui dunia pendidikan. Tidak ada rasa enggan, gengsi atau kecil hati ketika ia harus berada di bawah koordinasi Menteri

(54)

PP dan K yang baru ketika semua itu diniatkan untuk membangun pendidikan Indonesia. Pada tahun 1947 misalnya, ketika Menteri PP dan K dipegang Mr. Suwandi, Ki Hadjar bersedia menjadi pemimpin Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran, dan menyusun Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat. Namun panitia tersebut tidak sempat menyelesaikan tugasnya karena pecah agresi militer Belanda.

Jika kita melihat kondisi pendidikan sekarang, di mana tradisi pengangkatan seseorang sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan/atau Menteri Pendidikan Nasional sekarang tidak banyak melihat pada kemampuan penguasaan pedagogik dan latar akademiknya, maka hal tersebut amatlah disayangkan. Banyak kepentingan politik praktis kekuasaan, ideologi ekonomi-politik dan lainnya yang menyeret praksis pendidikan di pemerintahan tidak lagi sebagaimana yang diinginkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Logika politik struktural dan gerakan kebudayaan memang tidak selalu sejalan, dan ketika Ki Hadjar hanya sempat menjadi Menteri PP dan K selama tiga bulan, maka relatif tidak banyak fondasi struktural dan apalagi kultural yang dapat ia bangun dalam pemerintahan.

Ki Hadjar Dewantara jelas orang besar yang mening-galkan karya besar. Tidak hanya berupa lembaga pendidikan

(55)

Perguruan Taman Siswa, namun juga gagasan-gagasan besarnya tentang pendidikan yang telah ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Sejak muda ketika bergabung dalam surat kabar di Jakarta, ia telah banyak menulis tentang pendidikan, kebudayaan, kemanusiaan dan politik.

Pada mulanya Taman Siswa adalah forum diskusi ―Sarasehan Malem Selasa Kliwonan‖ yang diselenggarakan Ki Hadjar dan kawan-kawan di rumahnya. Dari forum itulah muncul gagasan- gagasan pendidikan. Ki Hadjar kemudian ditunjuk untuk menangani pendidikan anak dan kaum muda, sedangkan kaum dewasa ditangani oleh Ki Ageng Suryomentaram (salah seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang juga menanggalkan gelar kebangsawanannya sama seperti Ki Hadjar). Taman Siswa di Yogyakarta kemudian memiliki banyak bagian-bagian khusus, seperti Taman Indriya (Taman Kanak-Kanak), Taman Muda (sekolah dasar), Taman Dewasa (sekolah menengah pertama), Taman Madya (sekolah menengah atas), Taman Karya Madya (sekolah menengah kejuruan), Taman Guru (sekolah pendidikan guru), dan Sarjanawiyata (perguruan tinggi).

Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa Taman Siswa yang didirikan untuk kepentingan rakyat. Waktu itu, dalam konteks perjuangan nasional, Taman Siswa adalah bagian dari

(56)

gerakan sosial dan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, ini dibuktikan oleh hubungannya dengan Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan lainnya. Taman Siswa digagas tidak untuk cenderung pada satu golongan saja, hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya Taman Siswa di Sumatera dan Borneo yang mengakomodasi nilai dan kultur lokal dalam pembelajarannya. Nasionalisme Taman Siswa dalam pelajaran yang diberikan pada siswa antara lain dapat dilihat dari bahasa yang digunakan. Ki Hadjar berkata:

―Anak yang sejak kecil selalu dibiasakan pada bahasa asing dan dijauhkan dari bahasanya sendiri, ia akan kehilangan perhubungan batin dengan orang-orang tuanya sendiri, dan kelak di kemudian hari ia juga akan terasing perasaannya terhadap bangsanya sendiri.‖27

Selain itu, Taman Siswa juga tidak sependapat dengan model pendidikan Barat yang waktu itu didasarkan pada perintah (regering), hukuman (tucht) dan ketertiban (orde). Model-model seperti itu dianggap oleh Ki Hadjar Dewantara hanya akan mendatangkan tekanan batin dan intelektual belaka pada siswa. Anak-anak tidak dapat berkembang dengan baik budi pekerti, emosionalnya dan bahkan nalarnya. Ketika pola ini dilakukan terus-menerus, maka mereka nantinya tidak akan

27

Ki Hajar Dewantara, 2004, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama:

(57)

dapat bekerja kalau tidak diperintah. Bagi Ki Hadjar, kalau kita hanya meniru saja model pendidikan seperti itu, maka kita tidak dapat membentuk orang yang punya kepribadian.

Lebih dari itu, dalam pengertian yang lebih luas, yakni perannya sebagai peletak dasar pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan pendidikan adalah:

(…) tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.28

Dengan demikian, hal utama yang harus diingat adalah: pendidikan sekadar sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh kembangnya anak kita. Artinya, kehidupan anak-anak tersebut berada di luar kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri.29 28 Ibid, hal. 20 29 Ibid, hal. 21

(58)

Pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan bahwa istilah

opvoeding atau pedagogiek sebenarnya tidak dapat diterjemahkan

ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir mendekati adalah momong, among dan ngemong. Di Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Among sebagai dasar pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam sistem Among inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan harus dapat memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika di belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).

Konsep dan praksis pendidikan di Perguruan Taman Siswa adalah pendidikan yang terlibat dalam masyarakat, tidak menjadikan dirinya terpisah dan menjadi entitas yang berbeda dari masyarakat. Konteks sosio-kultural dan politik menjadi perhatian utama dalam praksis pendidikan Taman Siswa. Ki Hadjar menyatakan:

―... anak-anak Taman Siswa kita dekatkan hidupnya kepada perikehidupan rakyat, agar supaya mereka tidak hanya memiliki pengetahuan saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat mengalaminya sendiri,

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam Pancasila tercakup filsafat hidup dan cita-cita luhur bangsa Indonesia tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia

Cita-cita moral atau keinginan yang diharapkan bangsa indonesia adalah adanya kesadaran rakyat indonesia dalam melaksanakan pancasila.. Karena sebagaimana kita ketahui

Matakuliah ini membahas tentang Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara:, Pancasila sebagai Ideologi negara:, Pancasila

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Maka

tersebut hârus sesuâi dengân nilai-nilâi moral dan hukum bangsa Indonesià Indonesia lang memilii<i cita hùLnm Pancasila darr sekaligus sebagai Normt Fundamental

Karena pemimpin yang kita harapkan dapat memimpin dan mensejahterakan bangsa kita paling tidak harus memiliki sikap-sikap yang sesuai dengan nilai-nilai

Petunjuk Praktis - Kurikulum Undip 2017 sbs-2 Sejarah Bangsa Indonesia, Pancasila sebagai Dasar Negara, Pancasila sebagai Ideologi negara, Simbol-simbol Pancasila, Pancasila sebagai

• Pancasila sebagai ideologi: nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafat bangsa, dan cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara...  Pancasila sebagai