MEWUJUDKAN PEMIMPIN YANG BERKARAKTER PANCASILA DALAM BERMASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA
Oleh: Tukiran Taniredja ABSTRAK
Orang yang baik akan memimpin dengan kebaikannya, sebaliknya orang yang jahat akan memimpin dengan kejahatannya. Merupakan keniscayaan perlu diwujudkan pemimpin yang baik. Untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur berdasar nilai-nilai Pancasila, maka yang utama adalah bagaimana meletakkan kembali Pancasila sebagai bagian dari sistem etika dalam proses penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut secara logis juga memberikan dorongan agar pemerintah secara konsekuen menghidupkan kembali konsep Trisakti dalam setiap kebijakan yang diambil. Semuanya ini tentunya tergantung pada para pemimpin bangsa ini. Yang kita tekankan bagaimana mewujudkan pemimpin bangsa yang berkarakter nilai-nilai Pancasila. Tentunya tidak mudah untuk mewujudkannya. Terasa sekali semakin banyak pemimpin yang pinter (baca pandai) tetapi semakin sulit dicari pemimpin yang bener (baca jujur). Karena pemimpin yang kita harapkan dapat memimpin dan mensejahterakan bangsa kita paling tidak harus memiliki sikap-sikap yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti , tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh tuhan lewat agamanya, memiliki sifat welas asih terhadap rakyatnya, sadar bahwa tanpa adanya persatuan maka negara ini akan terpecah-pecah dan hancur lebur, menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dalam kehidupan bernegara dalam bidang politik atau ekonomi, dan mengutamakan kegotongroyongan dan kekeluargaan. Bagaimana mewujudkannya, pekerjaan besar bagi bangsa kita.
Kata Kunci : pemimpin berkarakter Pancasila, konsep Trisakti, bangsa sejahtera Banyak ilmuwan yang mendefinisikan pemimpin dalam pengertian seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan kelompoknya menuju cita-cita yang diinginkan. Sedangkan yang dimaksud kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang demi mencapai cita-cita yang diinginkan.1 Jika disederhanakan, pemimpin merujuk pada kata benda dalam arti orang. Sementara itu kepemimpinan merujuk pada kata kerjanya.
Setiap pemimpin memiliki gaya masing-masing ketika menjalankan aktivitas kepemimpinannya. Ada pemimpin yang cenderung gemar menentukan keputusan tanpa mempedulikan anggota yang lain. Ada pula pemimpin yang lebih suka mengajak anggota-anggotanya untuk menentukan suatu keputusan. Perbedaan gaya kepemimpinan ini bisa ditentukan paling tidak oleh dua hal. Pertama, faktor lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh pada gaya kepemimpinan seorang pemimpin. Misalnya, seorang pemimpin cenderung akan sedikit melibatkan anggotanya ketika dituntut untuk menghasilkan keputusan secara cepat. Contoh lain, pemimpin juga cenderung
▸ Baca selengkapnya: pertanyaan pancasila sebagai paradigma kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara
(2)menentukan keputusannya sendiri ketika anggotanya tidak memiliki kecakapan intelektualitas yang sebanding dengannya. Disini terlihat bahwa lingkungan dapat menentukan gaya kepemimpinan seseorang. Faktor kedua yang menentukan gaya kepemimpinan adalah karakter. Yang dimaksud dengan karakter disini secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kepribadian dasar yang menuntun pemikiran, sikap dan pilihan-pilihan yang akan diambil oleh seorang pemimpin.
Terkait dengan itu, tulisan ini akan mengupas lebih jauh pendapat kedua, yaitu tentang karakter kepemimpinan sebagai suatu hal yang menentukan dalam proses kepemimpin
Karakter Bangsa dalam Wacana Kepemimpinan Nasional
Karakter berasal dari bahasa latin ”kharakter”, ”kharassein”, dan ”kharax” yang maknanya ”tools for making”, to engrave”, dan pointed stake” yang dalam bahasa Prancis menjadi ”caractere”, yang kemudian menjadi bahasa Inggris ”character”, sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal ”karakter”.2 Karakter juga dapat diartikan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Berkarakter berarti mempunyai tabiat, mempunyai kepribadian dan berwatak.3
Karakter juga berarti kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Dengan demikian, dapat dapat dikemukakan juga bahwa karakter pendidikan adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti pendidik yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik.4
FW Foerster (1869-1966), pencetus pendidikan karakter asal Jerman mengatakan bahwa ada empat ciri dasar dalam pembentukan karakter, yakni: (1) keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan; (2) koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang; (3) otonomi, di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan serta tekanan dari pihak lain; (4) keteguhan dan kesetiaan, keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.5
Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somato psikis
2 Elmubarok, Z., 2008, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, hal. 102.
3 Lukman Hakim, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka. hal. 445 4 Hidayatullah, M.F., 2009, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas, Surakarta: Yuma
Pustaka, hal. 9
yang dimiliki individu sejak lahir. Di sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, teman-teman, dan sekolah.6 Dari sekian pengertian yang telah kita dapat, ada satu hal yang perlu ditekankan bahwa karakter bukanlah suatu hal yang alamiah atau terberi sejak lahir, melainkan sesuatu yang didapat dari proses belajar atau internalisasi.
Secara umum Sembiring menyatakan bahwa pembangunan karakter bangsa setidaknya harus mencakup 4 (empat) lingkup, lingkup keluarga, lingkup pendidikan, lingkup masyarakat dan lingkup pemerintahan.7 Pada lingkup keluarga, wahana pembelajaran dan pembiasaan harus dilakukan oleh orang tua terhadap anak sebagai anggota keluarga. Pada lingkup pendidikan adalah wahana pembinaan dan pengembangan melalui keteladanan para tokoh masyarakat, dan pada lingkup pemerintahan wahana pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan aparat penyelenggara dan tokoh-tokoh elit bangsa.
Menurut Su’ud paling tidak kita mempunyai dua pengalaman dalam mengembangkan budaya dan karakter bangsa, yaitu di masa rezim Soekarno dan rezim Soeharto.8 Di masa Demokrasi Terpimpin dan di masa Demokrasi Pancasila. Yang pertama dikenal dengan cara program Santiaji dalam rangka Nation and Character
Building, atau membangun karakter bangsa. Yang kedua dilaksanakan dalam program
penataran P4, yang berisi pedoman, penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Keduanya dilaksanakan lewat jalur pendidikan formal dalam kerangka kurikulum sekolah, maupun jalur pendidikan non formal atau luar sekolah.
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar karakter bangsa
Usaha yang dilakukan oleh Soekarno dan Soeharto tersebut adalah usaha untuk menciptakan manusia Indonesia yang ideal sehingga mampu mewujudkan cita-cita nasional. Manusia Indonesia ideal tentu saja adalah manusia yang pandangan hidupnya dituntun oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karenanya, pemimpin yang ideal pun semestinya pemimpin yang memiliki karakter Pancasila. Maka sebelum sampai pada pembahasan tentang apa itu pemimpin berkarakter Pancasila, kita perlu meninjau terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan nilai-nilai Pancasila.
Nilai Sila Pertama
Menurut Notonagoro bahwa di antara lima sila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang paling sulit karena kerap dipersoalkan.9 Memang di dunia ini terdapat pendirian dan kepercayaan yang berkenaan dengan ketuhanan, lebih-lebih mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sangat berlain-lainan, begitu pula keadaannya di negara Indonesia. Maka dari itu yang harus dilakukan adalah mengajukan suatu penjabaran mengenai isi arti sila
6 Syarkawi, 2008, Pembentukan Kepribadian Anak, Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai
Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta : PT Bumi Aksara
7. Tifatul Sembiring, 2010, Sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika dalam rangka Memperingati
Hari Kebangkita Nasional ke 102 Tanggal 20 Mei 2010, tidak dipublikasikan, hal 4-5.
8 Abu Su’ud, 2010, Pendidikan Budaya da Karakter Bangsa, Makalah disampaiakan pada Seminar Nasional
di semarang, 15 April 2010, hal. 1
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak terikat kepada bentuk Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertentu, akan tetapi tidak memperkosa inti dari arti dan istilah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan lain perkataan, batas-batas dari isi-inti sila ini harus cukup luas untuk dapat menempatkan semua agama dan kepercayaan di dalamnya.
Soekarno, yang akrab sekali disapa Bung Karno, ketika berpidato di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 menyatakan, prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan pada Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada ”egoisme-agama”. Dan hendaknnya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, degan cara yang berkeadaban. Apakah cara yag berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain (Soekarno, 1986: 153).10
Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dalam melaksanakan kemerdekaan beragama ini, negara menghendaki adanya toleransi dari para pemeluk agama, sehingga tidak akan membenarkan adanya pemaksaan suatu agama kepada orang lain. Pemerintah juga harus selalu membimbing dan mengarahkan segenap warganegara dan penduduk untuk selalu mengamalkan ajaran agama yang dipeluknya, serta memberikan kebebasan kepada setiap penduduk Indonesia untuk mengembangkan agamanya tanpa mengganggu hak dan kebebasan pemeluk agama lainnya.11
Nilai Sila Kedua
Dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia sikap tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Bung Karno ketika berpidato di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 mengutip apa yang dikatakan Gandhi, ”Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” My nationalism is humanity”. Ia juga menandaskan, ”Tuan-tuan jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.12
10 Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno,
hal 153
11 Effendi, H.A.M., 1995, Falsafah Negara Pancasila, Semarang: Badan Penerbitan IAIN Walisongo Press
bekerja sama dengan CV Cendekia, hal. 39
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
Sila kedua ini menghendaki agar negara mengakui adanya hak dan kewajiban yang sama pada setiap warganegara Indonesia, dan mengharuskan kepada negara untuk memperlakukan manusia Indonesia dan manusia lainnya secara adil dan tidak sewenang-wenang. Di samping itu negara harus menjamin setiap warganegaranya untuk mendapatkan kedudukan hukum dan pemerintahan yang sama, serta membebani kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Negara wajib menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang berbudi luhur sesuai dengan harkat dan martabat manusia.13
Nilai Sila Ketiga
Bung Karno ketika berpidato di depan sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 menguraikan tentang makna Kebangsaan Indonesia. Uraiannya adalah bahwa bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’entre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis saja, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan Allah Swt, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari utara Sumatera sampai Irian! Seluruhnya! Karena di antara manusia 70.000.000 ini sudah ada ”le desir d’entre ensemble”, sudah jadi ”Charaktergemenschaf! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!14
Menurut Notonagoro inti sila Persatuan Indonesia dapat dirumuskan, kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat dan bangsa, menghidup-hidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan yang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpecahan atas dasar kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang sewajarnya.15 Lagi pula dengan kesediaan, kecakapan dan usaha untuk sedapat-dapatnya melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan, mungkin menurut pedoman-pedoman majemuk tunggal bagi pengertian kebangsaan.
Nilai Sila Keempat
Bung Karno menyampaikan juga dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 tentang dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Bahwa negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ”semua buat semua”,
13 Effendi, H.A.M., 1995, Falsafah Negara Pancasila, Semaarang: Badan Penerbitan IAIN Walisongo Press
bekerja sama dengan CV Cendekia, hal. 39
14 Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno,
hal 146
”satu buat semua”, ”semua buat satu”. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indnesia ialah permusyawaratan, perwakilan.16 Inti prinsip sila keempat menurut Notonagoro adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat di dalam lapangan kenegaraan, atas dasar Tri Tunggal, yaitu ”negara dari rakyat, bagi rakyat dan oleh rakyat.”17
Nilai Sila kelima
Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, Bung Karno mengusulkan, kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ekonomische demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini.18
Sila kelima Pancasila, menurut Notonagoro mengandung prinsip bahwa di dalam lapangan sosial dan ekonomi ada kesamaan, di samping kesamaan politik. Di dalam lapangan sosial ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan, dalam keseimbangan dengan sifat manusia sebagai sebagai makhluk sosial, untuk mengusahakan dan memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai dengan sifat-sifat mutlak dari manusia sebagai individu.
Berdasarkan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan Bab IV, khusus dalam bidang religius, bahwa untuk mengukur tingkat keberhasilan perwujudan Visi Indonesia 2020 memerlukan beberapa indikator. Adapun indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a. terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku kesehariannya;
b. terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;
c. terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Pemimpin Berkarakter Pancasila
Dari uraian yang di atas, dapat dijelaskan apakah yang dimaksud dengan pemimpin berkarakter Pancasila. Merujuk pada nilai Pancasila sila pertama, maka pemimpin di Indonesia mestinya adalah pemimpin yang memiliki kepercayaan terhadap tuhan. Dengan meyakini dan mempercayai tuhan maka pemimpin akan tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh tuhan lewat agama. Setiap agama memerintahkan penganutnya, misalnya, untuk tidak mencuri. Maka, pemimpin yang bertuhan secara benar tidak akan mudah tergiur untuk mencuri uang rakyat, menerima uang panas korupsi. Pemimpin seperti ini tidak akan mudah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Ia memiliki sifat welas asih terhadap rakyatnya, mengusahakan kesetaraan antar umat manusia, berani menentang penindasan terhadap sesama manusia,
16 Sukarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno,
hal 149
17 Notonagoro, 1983, Pancasila: Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Bina Aksara, hal. 66
dan gigih dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Oleh karena itulah, dalam pidatonya pada 1 juni 1945 Bung Karno menyerukan: Marilah kita semuanya bertuhan.
Sila pertama juga memberi pesan pada masyarakat Indonesia agar berketuhanan yang berkeadaban. Maksudnya adalah berketuhanan namun tetap memiliki sikap saling menghormati terhadap umat beragama yang lain. Tidak saling mengejek apalagi membunuh. Dengan menghayati sila pertama, pemimpin di republik ini harus juga mengupayakan adanya sikap saling menghormati antar sesama umat beragama. Tidak mengadu dombanya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap umat beragama di Indonesia.
Dengan menghayati sila kedua, pemimpin berkarakter Pancasila berarti pemimpin yang menegakkan Hak Asasi Manusia yang bersifat universal. Pembelaan terhadap manusia tidak terbatas pada manusia yang ada di dalam batas-batas negara Indonesia. Lebih jauh dari pada itu, penegakkan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan berlaku pada seluruh manusia di dunia. Hal ini lantaran prinsip nasionalisme yang ada di dalam Pancasila adalah nasionalisme yang bukan saja memberikan kehidupan bagi bangsanya sendiri melainkan juga memberi hidup bagi bangsa-bangsa yang lain. Dengan demikian, pemimpin berkarakter Pancasila harus mengupayakan tatanan hidup manusia yang harmonis, tidak saling menindas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Karakteristik pemimpin ideal Indonesia yang selanjutnya adalah persatuan. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang pertama-tama sadar akan adanya keragaman sosial budaya yang ada di Indonesia. Yang kedua, pemimpin ini juga sadar bahwa tanpa adanya persatuan maka negara ini akan terpecah-pecah dan hancur lebur. Maka, pemimpin Indonesia ideal haruslah menempatkan persatuan sebagai core pemikiran dan pilihan-pilihan kebijakan yang diambil.
Sesuai dengan nilai-nilai sila keempat, pemimpin Indonesia wajib memiliki karakter demokratis. Ia menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dalam kehidupan bernegara baik itu dalam bidang politik atau ekonomi. Dalam bidang politik, pemimpin berkarakter Pancasila haram hukumnya berlaku otoriter, menutup telinga terhadap tuntutan rakyat. Mestinya, pemimpin Indonesia peka dan memerjuangkan asipirasi rakyatnya. Selain itu, pemimpin Indonesia tidak boleh menghalangi seluruh warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam lapangan ekonomi. Pemimpin Indonesia menolak segala macam monopoli dan oligopoli segelintir orang di dalam kehidupan ekonomi bangsa. Kecuali, dalam cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Simpulan
Dengan menghayati sila kelima pemimpin Indonesia mesti memiliki karakter yang adil terhadap sesama, mengutamakan kegotongroyongan, kekeluargaan, menghargai Hak Asasi Manusia, tidak melakukan diskriminasi ataupun favoritisme.
Sungguh, sekarang Indonesia sedang kehilangan pemimpin berkarakter Pancasila. Akibatnya sangat merusak. Republik ini dipimpin oleh para koruptor, pemimpin hanya memuaskan nafsu pribadi dan keluarganya saja, pemimpin berideologi neoliberal, miskin keberanian untuk melawan perusahaan asing, pengecut terhadap negara superpower yang nyata-nyata mengingkari Hak Asasi Manusia, mengizinkan monopoli terhadap cabang produksi penting, dsb. Maka jika ingin terhindar dari segala macam pelanggaran
konstitusi ini, agar keluar dari segala macam krisis ini, agar Indonesia dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, pemimpin berkarakter Pancasila harus segera diciptakan. Keluarga sekolah dan kampus adalah sarana-sarana paling strategis untuk mengenalkan dan menginternalisasikan Pancasila pada segenap manusia Indonesia. Dengan langkah inilah, pemimpin berkarakter Pancasila akan terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, H.A.M., 1995, Falsafah Negara Pancasila, Semaarang: Badan Penerbitan IAIN Walisongo Press bekerja sama dengan CV Cendekia.
Elmubarok, Z., 2008, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta.
Hakim, Lukman., 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.
Hidayatullah, M.F., 2009, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas, Surakarta: Yuma Pustaka.
Kartono, Kartini., . 1983, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta : Rajawali. Notonagoro., 1983, Pancasila: Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Bina Aksara.
Sembiring, Tifatul., 2010, Sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika dalam rangka Memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke 102 Tanggal 20 Mei 2010, tidak dipublikasikan.
Soekarno, 1986, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno
Su’ud, Abu., 2010, Pendidikan Budaya da Karakter Bangsa, Makalah disampaiakan pada Seminar Nasional di semarang, 15 April 2010.
Syarkawi, 2008, Pembentukan Kepribadian Anak, Peran Moral, Intelektual, Emosional,
dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta : PT Bumi