• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGALAMI MISREPRESENTATION DALAM SUATU KONTRAK

C. Solusi Misrepresentation

Di Indonesia karena masih gelapnya aturan tertulis tentang misrepresentasi ini dalam hukum kontrak, acuan yang dapat dijadikan rujukan guna dijadikan pedoman menyelesaikan masalah misrepresentasi ini, selain memeriksa perjanjian

138 Perhatikan Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

tertulis yang ada di antara para pihak, adalah denggan meminta hakim melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan melalui penrlusuran doktrin serta yurisprudensi di negara yang mengenalnya dapat dijadikan acuan untuk mempedomani arah dan cara penyelesaiannya. Pada titik ini masih menjadi pertanyaan pula apakah hakim yang diminta memeriksa dan memutuskan perkara misrepresentasi ini mau dan mampu serta memiliki cukup waktu untuk membaca serta menelusuri keputusan badan peradilan di Negara yang mengenal lembaga ini untuk dijadikan pedoman dan arah pengambilan keputusannya, suatu pertanyaan yang masih memerlukan kajian dan penelitian yang lenih lanjut pula.139

Secara normatif pedoman utama para hakim adalah Buku-III dari KUH Perdata dan Hukum Acara Perdata yang berlaku berikut yurisprudensi yang ada, akan tetapi tentu saja acuan yang ada itu tidak cukup efektif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi karena masih berhadapan dengan wilayah kegelapan (grey

area) karena hingga kini tak ada satupun ketentuan Hukum Perjanjian Indonesia

yang secara tegas menampung dan mengatur seluruh jenis atau tipe misrepresentasi ini. Namun akan tetapi, memang ada juga terdapat Hakim Indonesia yang bersedia mendalami ajaran misrepresentasi ini dengan cara mendalami literatur Barat yang ada dan kemudian menerapkannya dalam kasus yang terjadi di Indonesia sehingga diperoleh keputusan baru dalam lapangan ini, tetapi mengingat langkanya jumlah hakim yang bersedia menempuh langkah seperti ini maka bahagian terbesar keputusan yang tercipta tentu saja diberikan

berdasarkan norma hukum perjanjian menurut hukum positif di Indonesia yang ada itu saja.140

Akibat tidak adanya kepastian yang mengatur mengenai misrepresentasi ini, perlu juga diketahu, bahwa dalam hukum Indonesia, seorang hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan belum terdapat ketentuan hukum yang mengaturnya sebagaimana diatur dalam pasal 22 AB (Algemeine Van

Bepalingen). Disamping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang

Nomor 4 tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.141

Tidak ada kasus yang ditolak pengadilan dengan alasan tidak ada atau belum lengkap peraturannya.“In case a question does not find its answer in the

Civil Code, nor in any living cutom.The Juge has to give a decision according to equity”.142

Dalam menghadapi kasus misrepresentasi yang belum jelas tertulis pengaturannya di dalam undang-undang, diperlukan cara penyelesaian yang khusus pula. Dapat pula kasus tersebut telah diatur dalam perundang-undangan,

Jadi hakim dituntut untuk melakukan interpretasi terhadap suatu gejala hukum dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Sebab tujuan daripada hukum sendiri adalah menghendaki adanya keseimbangan kepentingan, keadilan, ketertiban, ketentraman seluruh umat manusia.

140 Ibid, hal. 155.

141

Perhatikan Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

142 R. Subekti, Law in Indonesia, (Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic an International Studies, 1982), hal. 47.

tetapi substansinya terlalu umum dan abstrak. Dalam keadaan demikian, hakim berfungsi sebagai judges as laws maker.143

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad=tort) menurut Black’s Law Dictionary adalah “a civil wrong, other than breach of contract, for which a

Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana peradilan di negara-negara dengan sistem common law, hakim tidak berkewajiban untuk mengikuti putusan pengadilan sebelumnya. Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual. Terbukti dari putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik dimana Menurut teori klasik jika perjanjian belum lahir, maka suatu perikatan tidak memiliki akibat hukum bagi para pihak, akibatnya pihak yang merasa dirugikan karena percaya terhadap mitra bisnisnya tidak terlindungi dan tidak dapat menggugat ganti rugi. Sementara menurut teori hukum modern memiliki kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial.

Misrepresentasi yang memiliki unsur merugikan kepada pihak lain, secara tersirat memenuhi unsur-unsur yang ditentukan pada Pasal 365 KUH Perdata, yaitu :

“setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

143 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung: Aditya Bhakti, 1997), hal. 184.

remedy may be obtained,usually in the form of damages, a breach of a duty that the law imposes on persons who stand in a particular relation to one another”.144

a. adanya perbuatan melanggar hukum

Unsur-unsur perbuatan melanggar hukum (tort) didasarkan atas ketentuan Pasal 1365 BW, yaitu:

Perbuatan dalam hal ini adalah perbuatan aktif. Sebelum tahun 1919, perbuatan melanggar hukum diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang. Namun setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen tahun 1919, maka perbuatan melanggar hukum meliputi juga:145

- melanggar hak orang lain

- bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat; - berlawanan dengan kesusilaan;

- berlawanan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

b. Ada kerugian

Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum orang lain. Kerugian dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kerugian yang dialami oleh diri sendiri dan kerugian yang menimpa harta seseorang.146

144

Black’s Law Dictionary, Op. Cit, hal. 1526.

145 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001), hal. 107.

c. Ada kesalahan

Berdasarkan Pasal 1365 BW, salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur, yaitu:147

- Perbuatan tersebut dapat disesalkan; - Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;

- Dapat dipertanggungjawabkan, daam artian si pelaku dalam keadaan cakap.

d. Ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Ada dua macam teori mengenai hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian, yaitu:

- Teori Conditio Sine Qua Non

Teori ini dikemukakan oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan kata lain menurut teori ini semua sebab menimbulkan akibat.Kesimpulannya adalah semua sebab dapat dipertanggungjawabkan.148

- Teori Adequate Veroorzaking

Teori ini dikemukakan oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu

147

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 10.

148 Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, Perikatan Yang Lahir dari Undang-Undang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 117.

akan diikuti oleh akibat. Dengan kata lain akibat tersebut disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan menimbulkan akibat itu.149

stabilitas,efisiensi,waktu serta biaya. Menurut Salim HS, pada umumnya penyelesaian sengketa atau perselisihan bisnis yang timbul dalam kontrak biasanya dilakukan melalui 2 (dua) pola yaitu :

Hubungan bisnis yang diadakan oleh para pihak tidak selalu berlangsung dengan mulus. Kadangkala timbul masalah atau sengketa. yang timbul dari hubungan berdasarkan kontrak ataupun tidak. Sengketa merupakan masalah umum yang dihindari oleh para pihak karena dapat mengganggu

150

a. Melalui alternatif penyelesaian sengketa b. melalui pengadilan

Seperti halnya dalam penyusunan kontrak bisnis yang perlu menekankan konsep win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesian sengketa yang cepat, efektif dan esisien.Dalam penyelesaian sengket bisnis diantara mereka maka penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola win-win solution terutama melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Pola ADR dipandang sebagai alternatif terbaik bagi para pihak. Melalui wadah ini keberadaan para pihak sama-sama terlindungi, kredibilitas maupun bonafiditas para pihak tetap terjaga. Selain itu ADR dipandang sebagai pilhan terbaik karena :151

1. Bersifat informal

2. Penyelesaian secara “kooperatif” oleh para pihak yang bersengketa

149 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 140.

150 Salim H. S. I, Op. Cit, hal. 149.

3. Biaya “murah” (nominal cost atau zero-cost) 4. Penyelesaian cepat

5. Menyelesaiakan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan 6. Penyelesaian secara kompromi

7. Hasil yang dicapai sama-sama menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa

8. Hubungan dengan partner bisnis dapat menjadi lebih harmonis 9. Tidak ada dendam

10. Pemenuhan secara sukarela

Penyelesaian sengketa secara alternatif memiliki beberapa tujuan. Terdapat empat tujuan penyelesaian sengketa alternatif, yaitu :152

1. Mengurangi kemacetan di pengadilan

2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan proses penyelesaian sengketa 3. Memperlancar jalur keadilan

4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Negosiasi merupakan instrumen penyelesaian sengketa. Namun akan tetapi negosiasi bukan berarti tidak memiliki kelemahan, kelemahan negosiasi dalam menyelesaikan sengketa adalah :153

a. Ketika para pihak berkedudukan tidak seimbang, salah satu pihak kuat dan pihak yang lain lemah.Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya.

152 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 281.

153 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrace Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia, 2000), hal. 49.

b. Proses berlangsungnya negosiasi seringkali lambat dan memakan waktu lama.

c. Ketika suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Hal ini mengakibatkan (re) negosiasi menjadi tidak produktif.

BAB V

Dokumen terkait