• Tidak ada hasil yang ditemukan

Misrepresentation Dalam Kontrak : Analisis Terjadinya Perbedaan Informasi pada Fase Pra Kontraktual dengan Kontrak Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Misrepresentation Dalam Kontrak : Analisis Terjadinya Perbedaan Informasi pada Fase Pra Kontraktual dengan Kontrak Chapter III V"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

ITIKAD BAIK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DALAM MISREPRESENTATION

A. Itikad Baik 1. Pengertian

KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik pada saat pelaksanaan kontrak seperti yang tertuang dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata. Dalam prakteknya apabila terdapat kasus maka para hakim akan menggunakan teori yang dikemukakan oleh para ahli.

Beberapa negara dengan sistem Civil Law seperti Italia telah memiliki ketentuan legislasi yang mewajibkan negosiasi dan penyusunan kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Sehubungan dengan hal ini, pasal 1337 Civil

Code Italia menentukan bahwa :“parties must behave in good faith during the

pre-contractual bargaining and contract drafting”.79

Secara tradisional hukum kontrak Common Law tidak mengakui keberadaan kewajiban suatu kewajiban kontraktual hingga proses negosiasi telah menjadi sebuah kontrak nyata. Robert S. Summer masih menemukan fakta bahwa pengadilan di Ameika Serikat menghalangi penerapan itikad baik dalam proses pembentukan kontrak. Section 1-203 UCC ”menyatakan “every contract or duty

within this Act imposes an obligation of good faith in its performance or

79 Alberto M. Musy, The good faith principle in contract law and the precontractual duty

(2)

enforcement … the good faith is a basic principle running through this Act”. Hal

ini berarti bahwa UCC sendiri hanya mengatur persyaratan umum itikad baik dalam pelaksanaan dan penegakan hukum kontrak dan mengakui tidak adanya itikad baik dalam proses negosiasi dan prakontrak.80

Indonesia sendiri pada dasarnya telah memberlakukan teori modern, yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana secara implisit menurut Pasal 9 ayat (1) bahwa : "Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, ...", dan selanjutnya pada Pasal 62 ayat (1) disebutkan bahwa: "... yang melanggar ketentuan Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah)".81

Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.

Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini, dapat disimpulkan bahwa asas itikad baik harus sudah ada sejak prakontraktual dan janji-janji prakontraktual akan berdampak hukum.

82

Dalam mengadakan dan melaksanakan perjanjian, setiap orang dituntut untuk tidak meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.83

80 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak (Jakarta: Fakultas

Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal. 254.

81 Perhatikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (1).

Pada

82

Rosa Agustina T. Pangaribuan, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Batas-Batasnya

Dalam Hukum Perjanjian

pada 16 Oktober 2015, pukul 21:11 Wib.

(3)

prinsipnya, itikad baik harus tercermin dalam setiap tahapan perjanjian, mulai dari pembentukan, pelaksanaan, hingga pengakhiran perjanjian.

Dalam setiap perundingan (negosiasi) dan perjanjian, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik. Hubungan khusus ini akan membawa konsekwensi bahwa para pihak harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lainnya. Setiap pihak yang hendak membuat perjanjian berkewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawannya sebelum mereka menandatangani perjanjian. Di sisi lain, para pihak harus pula melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.84

Itikad baik dalam dalam hukum perjanjian merupakan doktrin atau asas yang berasal dari ajaran bona fides dalam hukum Romawi.85 Inilah yang menyebabkan asas itikad baik lebih memiliki kedekatan dengan sistem Civil Law daripada dengan sistem Common Law. Fides berarti sumber yang bersifat religius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan kepada seseorang kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lainnya. Bona fides mensyaratkan adanya itikad baik dalam perjanjian yang dibuat oleh orang-orang Romawi.86

Selain itu, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan yang dipakai untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam perbuatan maupun dalam pelaksanaan

84

Ibid

85 Reinhard Zimmermann and Simon Whittaker, Good Faith in European Contract Law

(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hal. 16.

(4)

perjanjian. 87

Walaupun asas itikad baik ini dipahami sebagai salah satu asa yang penting dan berpengaruh dalam hukum perjanjian, namun tidak ada deinisi yang komprehensif yang dapat menjelaskan pengertian itikad baik itu sendiri. Ridwan Khairandy berpendapat bahwa salah satu permasalahan dalam kajian itikad baik adalah keabstrakan maknanya, sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda. Itikad baik tidak memiliki makna tunggal, dan hingga sekarang masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti dari itikad baik.

Pada akhirnya, asas ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik patut dilindungi, dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut menerima hukuman yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang mengatur atasnya akibat ketidakjujuran tersebut.

88

“ A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage”

Dalam Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa itikad baik (good faith) adalah :

89

Kesulitan untuk memberikan batasan itikad baik bukan hanya merupakan permasalahan dalam hukum perjanjian di Indonesia. Di Amerika Serikat, keharusan untuk bertindak dengan itikad baik dalam the Uniform Commercial

Code juga tidak dijelaskan secara luas. Hakim disana pun tidak memberikan

87

Charles Fried, Contract as Promise (Cambridge: Harvard University Press, 1981), hal. 74.

88 Ibid, hal. 129.

(5)

definisi yang jelas ketika mereka mendasarkan putusannya pada itikad baik. Robert S. Summers berpendapat bahwa itikad baik adalah “excluder” (pengecualian) karena biasanya hakim menggunakan istilah itikad baik untuk mengesampingkan perilaku tertentu. Itikad baik memiliki makna yang khusus dan bervariasi dengan jalan membedakannya dengan berbagai makna itikad buruk, yang oleh hakim dilarang.90 Sehingga Summers alhasil memberikan pengertian itikad baik dengan cara sebagai berikut : 91

No. Bad Faith

(Itikad Buruk)

Good Faith (Itikad Baik) 1. Seller concealing a defect in what he

is selling.

2. Builder willfully failing to perform in full though otherwise substantially

3. Contractor openly abusing bargaining power to coerce an increase in the

Refraining from abuse of

bargaining power

(6)

contract price

(kontraktor menyalahgunakan posisi tawar untuk memaksa kenaikan harga kontrak)

(menahan diri untuk menyalahgunakan posisi tawar)

4. Hiring a broker and then deliberately preventing him from consummating

5. Conscious lack of diligence in mitigating the other’s party damages

(Kurangnya kesadaran untuk tekun mencegah kerugian pihak lain)

Acting diligently

(Bertindak tekun)

6. Arbitarily and capriciously exercising a power terminate a contract

(sewenang-wenang dan bertindak

7. Adopting an overreaching

interpretation of contract language

(Mengadopsi penafsiran yang

Interpreting contract language

fairly

(7)

melampaui batas dari bahasa perjanjian)

secara wajar)

8. Harrasing the other party for repeated assurances of performance

(Melecehkan pihak lain untuk kepastian pelaksanaan perjanjian berulang-ulang)

Accepting adequate assurances

(menerima kepastian pelaksanaan perjanjian secara

wajar)

2. Kegunaan Itikad Baik Dalam Berkontrak

Ada terdapat 3 fungsi utama dari itikad baik dalam pelaksanaan suatu kontrak , yaitu :92

1. Fungsi yang mengajarkan bahwa perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum).

Ini berarti, perjanjian harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair);

2. Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende werking van de

geode trouw).

Berdasarkan fungsi ini, itikad baik dapat menambah isi atau kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul di antara para pihak yang tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian;

(8)

3. Fungsi membatasi atau meniadakan (beperkende en derogerende

werking van de geode trouw). Fungsi ini hanya dapat diterapkan

apabila terdapat alasan-alasan yang amat penting (alleen in

spreekende gevallen).

Kebanyakan ahli hukum mendasarkan kajian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, namun demikian, pasal dan ayat ini bukan merupakan satu-satunya ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur perihal itikad baik. KUH Perdata memahami itikad baik dalam berbagai bentuk. Itikad baik memiliki peranan yang sangat penting dalam hukum perdata, baik terkait dengan hak kebendaan (zakenrecht) sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata, maupun hak perorangan (persoonlijkrecht) sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Bahkan, tidak dapat pula diabaikan arti pentingnya dalam bidang hukum perorangan dalam keluarga dalam Buku I KUH Perdata. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa itikad baik tidak hanya ada dalam ranah Buku III KUH Perdata semata, melainkan terkandung pula dalam buku II dan buku IV serta secara implisit juga pada Buku I KUH Perdata. 93

1. Buku II Pasal 530;

Itikad baik dalam KUH Perdata diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut :

2. Buku II Pasal 531; 3. Buku II Pasal 548;

4. Buku III Pasal 1338 ayat (3); 5. Buku IV Pasal 1965;

93 Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik Dalam KUH Perdata (Bandung: Binacipta,

(9)

6. Buku IV Pasal 1966;

7. Buku IV Pasal 1977 ayat (1).

3. Tujuan Itikad Baik Dalam Fase Pra-Kontrak

Menurut Syahril Sofyan, perihal itikad baik dalam memasuki suatu kontrak memang merupakan hal yang sangat menarik, karena itikad baik dalam fase prakontraktual secara normatif senantiasa dianggap ada menurut ketentuan pasal di dalam KUH Perdata, namun akan tetapi, sangat disayangkan kenyataan yang ada (das Sollen) bahwa rumusan KUH Perdata Indonesia masih mengenal Pasal 1338 ayat (3) yang mewajibkan keberadaan itikad baik tersebut hanya dalam fase pelaksanaan kontrak.94

Terminologi pemegang barang (Bezitter) yang beritikad baik, pemilik barang yang beritikad baik atau lainnya, sebagai lawan dari orang-orang yang beritikad buruk adalah itikad baik dengan anasir (unsur) subjektif. Seseorang pembeli barang dengan itikad yang baik adalah orang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik barang dari barang yang dibelinya tersebut. Ia sama sekali tidak mengetahui jika seandainya ia membeli dari orang yang tidak berhak. Hal inilah mengapa yang disebut sebagai seorang pembeli yang jujur. Dalam anasir ini, itikad baik memliki arti kejujuran atau bersih.

1. Itikad Baik Yang Bersifat Subjektif

95

94 Syahril Sofyan, Standar Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis (Medan,

Disertasi, 2011), hal. 498.

(10)

Dalam konsep yang hampir sama, memahami itikad baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya merupakan pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipernuhi semua. Jika kemudian ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua. Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.96

Perwujudan itikad baik pada waktu mulai berlakunya perjanjian dapat ditafsirkan dari berbagai putusan hakim. Salah satunya terdapat pada yurisprudensi pada tahun 1950-an.97

Pengadilan Negeri kemudia melakukan pembatalan atas jual beli tersebut. Hakim berpendapat bahwa tanah sengketa tersebut telah dijual dengan sah oleh Kasus ini bermula ketika Nyonya V.J. Briet Baumgarten, seorang istri yang memperoleh warisan berupa sebuah bangunan rumah yang terletak di Jalan Saidan No. 8, Yogyakarta, mengadakan kesepakatan dengan A. F. F. Verboorn untuk mengadakan jual beli rumah tersebut. Akan tetapi, kemudian rumah tersebut oleh Nyonya Briet Baumgarten justru dijual kepada Mohammad Hasan. Oleh karena merasa dirugikan, A. F. F. Verboorn menggugat Nyonya Briet Baumgarten dan Mohammad Hasan, dan meminta pengadilan untuk membatalkan perjanjian jual beli rumah antara Nyonya Briet Baumgarten dan Mohammad Hasan tersebut.

96 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

(Bandung: Sumur Bandung, 1964), hal. 56.

(11)

Nyonya Briet Baumgarten terlebih dahulu kepad A. F. F. Verboorn, maka dengan sendirinya perjanjian jual beli antara Nyonya Briet Baumgarten dengan Mohammad Hasan tidak sah dan harus dibatalkan. Putusan Pengadilan Negeri ini pun akhirnya dikuatkan kembali oleh Putusan Pengadilan Tinggi pada tingkat banding. Akan tetapi, karena merasa dirugikan, Mohammad Hasan kemudian mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI.

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI, menyatakan bahwa hak eigendom dari tanah sengketa tersebut telah selai dibalik nama, yaitu atas nama Mohammad Hasan, berdasarkan Akta Kantor Pendaftaran Tanah Yogyakarta tanggal 30 Juli 1952 No. 23. Dengan demikian teranglah bahwa jual beli tanah tersebut adalah sah dan dilaksanakan dengan itikad baik (te goeder trouw).

Mahkamah Agung RI lebih lanjut berpendapat bahwa dalam jual beli tersebut Mohammad Hasan telah bertindak dengan itikad baik, dan ia tidak tahu menahu tentang hubungan antara Nyonya Briet Baumgarten dengan Verboorn sebelumnya. Tidak adil apabila atas kesalahan dan kelalaian Nyonya Briet Baumgarten, Mohammad Hasan, selaku pembeli beritikad baik, dihukum untuk membatalkan perjanjian jual beli tanah tersebut, yang segala sesuatunya telah diselesaikan dengan semestinya, bahkan telah dibalik nama. Oleh karenanya, hak-hak pembeli harus dilindungi dan jual beli tersebut harus dianggap sah.

(12)

2. Itikad Baik Yang Bersifat Objektif

Anasir yang bersifat subjektif bukanlah sebagaiamana yang dimaksud oleh itikad baik yang sebagaimana tertulis pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Subekti berpendapat, pasal ini hendak memberi pesan bahwa pelaksanaan perjanjian haruslah berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ukuran objektif dipakai untuk menilai pelaksanaan perjanjian tersebut. Subekti mengatakan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan di “rel” yang benar.98

Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang sebagai syarat atau tuntutan kepastian hukum bahwa janji itu mengikat, maka ayat ketiga ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Sebagaimana tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum selalu berupaya mencapai dua tujuan, yaitu menjamin kepastian hukum dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun demikian, dalam menuntut dipenuhinya janji itu, KUH Perdata menggariskan bahwa janganlah orang lantas meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. Dengan kata lain, dalam menuntut pemenuhan janji, seseorang hendaknya tetap berlaku adil.99

Dalam konteks ini, tidak semua janji dapat dipenuhi atau tidak semua janji memunculkan tanggung jawab hukum. Hanya ketika suatu janji menimbulkan ketergantungan yang wajar, maka hakim dapat menyatakan bahwa janji tersebut dapat dipegang.100

98

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1976), hal. 41.

99 Ibid

(13)

Asas itikad baik hanya diterapkan dimana perjanjian telah mencapai kesepakatan. Akibatnya, hal ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra-kontrak atau tahap perundingan, karena pada tahap ini perjanjian memang belum mencapai tahap kesepakatan. Permasalahan hukum sendiri akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atatu negosiasi (preliminary negotiation), salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang atau membeli sesuatu, padahal diantara para pihak belum tercapai kesepakatan final mengenai isi perjanjian bisnis yang tengah dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan tidak mencapakai kesepakatan, misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fee, royalti, maka pihak yang telah melakukan perbuatan hukum tersebut tidak dapat menuntut ganti rugi atas segala biaya dan investasi yang telah dikeluarkannya untuk kepentingan bisnis tersebut. Demikian juga dengan janji-janji pelaku usaha yang tercantum dalam brosur-brosur yang diedarkan sebagai iklan, menurut teori klasik hukum perjanjian tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya karena janji-janji tersebut adalah janji-janji pra-kontrak yang tidak tercantum dalam pengikatan jual beli.101

101 Suharnoko, Op. Cit, hal. 5

(14)

Pada negara maju yag menganut paham Civil Law, seperti Perancis, Belanda dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian, tetapi juga dalam tahap perundingan, sehingga janji-janji pra-kontrak memiliki akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari.102

J.M van Dunne berpendapat bahwa daya berlaku itikad baik meliputi seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Dengan demikian, itikad baik meliputi tiga fase proses perjanjian, yaitu :103

1. pre contractual fase (fase pra-kontrak);

2. contractual fase (fase kontrak); dan

3. postcontractual fase (fase post-kontraktual).

Pemikiran bahwa itikad baik harus meliputi keseluruhan tahap perjanjian juga nampak pada kesimpulan Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dimana itikad baik hendaknya diartikan sebagai :104

1. Kejujuran pada waktu yang membuat perjanjian;

2. Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun atas pendapat ini masih terdapat keberatan dari beberapa pihak);

102 J.M. van Dunne dan Gr. Van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum (Ujung

Pandang: Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda Indonesia, 1998), hal. 15.

103

Hernoko, Op. Cit, hal. 118.

104 Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

(15)

3. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.

Standar itikad baik dalam tahap pra-kontrak didasarkan pada kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang berkaitan dengan perjanjian tersebut. Dengan standar tersebut, perilaku para pihak dalam melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi perjanjian harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan.105

Dalam KUH Perdata diatur bahwa penjual berkewajiban menanggung kenikmatan tentram dan cacat tersembunyi. 106

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1816K/Pdt/1989 tanggal 22 Oktober 1992, mempertimbangkan bahwa :

Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tentram merupakan konsekuensi atas jaminan yang diberikan penjual kepada pembeli bahwa benda yang dijual+ dan dialihkan (lever) adalah sungguh-sungguh miliknnya sendiri dan bebas dari beban atau tuntutan dari pihak lain.

107

105

Khairandy, Op. Cit, hal. 348.

106 Perhatikan Pasal 1474 jo. Pasal 1491 KUH Perdata

107 Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah

Agung RI Tahun 1969 – 2001 (Jakarta: Mahkamah Agung Ri, 2002), hal. 127.

(16)

Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, justru lebih sedikit berbeda. Pada Perlindungan Konsumen, hubungan konsumen dan pelaku usaha diwarnai dengan ketimpangan, dimana konsumen memiliki keterbatasan kemampuan dalam membuktikan kesalahan pelaku usaha. Memberikan beban kepada konsumen untuk membuktikan haknya tentu tidaklah mudah.108

Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa, serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan atas barang atau jasa tersebut.

Dengan demikian, dapat disebabkan dasar inilah sehingga lahir perspektif perihal hukum perlindungan konsumen adalah memberikan perlindungan yang lebih besar kepada konsumen. Hubungan konsumen dengan dengan pelaku usaha tidak dapat dipandang sebagai suatu hubungan yang seimbang (equal).

109

Dengan demikian, pelaku usaha juga harus memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, mencoba barang atau jasa tersebut.110

1. Representation dan Misrepresentation

Terdapat hal-hal yang terkait dengan ketiadaan itikad baik dalam tahap pra-kontrak, antara lain:

Sebuah pernyataan (presentation) dari salah satu pihak pada saat tahap pra-kontrak menjadi sebuah issue hukum yang signifikan ketika

108 Inosensius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004), hal. 18.

109 Perhatikan Pasal 7 hurub (b) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun

1999.

(17)

pernyataan tersebut terbukti salah di masa mendatang. Dalam sistem

Common Law, dikenal sebuah doktrin yang erat dengan tanggung

jawab untuk mengungkapkan fakta material ini, yaitu doktrin

misrepresentation. Malcolm Leder dan Peter Shears menjelaskan

misrepresentation sebagai

“ ... a false statement of fact which induces the other party to enter

into the contract.” 111

Misrepresentation dalam pengertian yang lebih sempit dikenal pula

dengan istilah innocent misrepresentation karena dalam tindakan ini seseorang yang melakukannya tidak memiliki maksud atau kesengajaan tertentu.

Misrepresentation sendiri memang dikategorikan menjadi beberapa bentuk sesuai

dengan tingkatan maksud dan kesengajaannya sebagai berikut :

Misrepresentation dapat terjadi dalam hal salah satu pihak, misalnya

penjual, membuat pernyataan yang tidak benar mengenai produk yang dijual atau dalam hal yang bersangkutan gagal untuk mengungkapkan informasi yang seharusnya disampaikan terkait produk tersebut.

112

1. Innocent misrepresentation, yaitu suatu pernyataan salah (false statement) yang dibuat secara jujur, dimana pihak yang membuat

pernyataan tersebut dapat menyangkal bahwa ia telah melaukan kelalaian.

2. Negligent misrepresentation, yaitu suatu pernyataan salah (false statement) dimana pembuatnya dapat membuktikan bahwa pada saat

111 Malcolm Leder dan Peter Shears, Consumer Law, (London: Financial Times

Management, 1996), hal. 26.

(18)

melakukan negosiasi atau tahap pra-kontrak, yang bersangkutan memiliki alasan yang wajar untuk meyakini bahwa fakta-fakta yang diungkapkan adalah benar.

3. Fraudulent misrepresentation, yaitu pernyataan salah yang dibuat

dengan curang, dimana tindakan ini dilakukan secara sadar. Sengaja melakukan misrepresentation adalah sebuah fraud, yang dalam sistem

Common Law dapat membuat pihak yang melakukannya harus

menanggung kerugian pihak lain dalam perjanjian tersebut.

2. Fraudulent Misrepresentation

Dalam fraudulent misrepresentation yang terjadi adalah salah satu pihak memang berniat untuk mengungkapkan informasi yang salah atau secara sadar mengetahui terdapat fakta material yang tidak ia ungkapkan. Pada dasarnya, misrepresentation dan fraudulent

misrepresentation adalah sama, kecuali pada lembaga yang terakhir ini

terdapat unsur tambahan. Yaitu adanya maksud atau pengetahuan mengenai adanya kesalahan.113

1. Mengetahui adanya kebohongan dan secara sembrono tidak perduli terhadap kebenarannya;

Jika dipaparkan lebih lanjut, maka unsur fraudulent misrepresentation adalah :

2. Adanya maksud agar pihak lain mempercayai kebohongan tersebut;

(19)

3. Pihak yang lain mempercayai kebohongan tersebut;, dan 4. Pihak yang lain tersebut mengalami kerugian.

Misrepresentation yang dilakukan oleh salah satu pihak memungkinkan

pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian, yang berarti perjanjian tersebut dikesampingkan. Sedangkan, fraudulent misrepresentaion memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut pembatalan dan/atau ganti kerugian.114

Secara etis, diwajibkan kepada paara pihak yang hendak berkontrak untuk saling memperlihatkan akhlaq dan moralitas serta itikad baiknya terhadap phak yang lainnya dalam fase pra-kontraktual, setidak-tidaknya dan secara umumnya pada waktu mulai berinter-aksi saat akan memulai bernegosiasi prarepresentasi, yaitu dengan cara memperlihatkan karakternya yang baik atas dasar kejujuran dan keterbukaan melalui caranya berperilaku terhadap sesamanya, dan secara khusus (dan terutama) dalam fase pra-kontraktual, fase kontraktual maupun dalam fase post-kontraktual, sehingga peluang atau potensi untuk lahirnya misrepresentasi itu dapat diperkecil atau ditiadakan sama sekali. Karakter yang baik atas dasar kejujuran itu memang sulit menilai keberadaan atau eksistensinya kalau hanya sekedar melihatnya dari perilaku awal secara lahiriah para pihak saja, tetapi setidak-tidaknya itulah yang dapat ditawarkan kepada ilmu pengetahuan hkum c.q. hukum perjanjian di Indonesia. Para pelaku transaksi bisnis yang tak mampu memperlihatkan karakter yang baik seperti yang diuraikan di atas ini perlahan-lahan melalui seleksi alamiah akan tersingkir dari dunia transaksi bisnis itu sendiri

(20)

karena pelaku bisnis seperti ini sudah pasti dijauhi oleh customer yang membutuhkan.115

Pada umumnya, pelaksanaan gugatan disebut litigasi. Gugatan yang dimaksud disini yaitu suatu tindakan yang dibawa kelingkungan pengadilan hukum dimana penggugat, pihak yang mengakui telah mengalami kerugian dari akibat tindakat pihak terdakwa dan menuntut upaya hukum yang adil dan merata. Terdakwa diperlukan untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika penggugat berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai perintah pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan ataupun kerugian yang ditimbulkan akibat misrepresentation atas perjanjian yang dilakukan si terdakwa, atau memberlakukan perintah sementara atau permanen B. Penyelesaian Sengketa Bisnis

1. Litigasi

Litigasi merupakan suatu persiapan yang akan dilakukan dengan menggunakan presentasi dari setiap kasus, juga termasuk di dalamnya memberikan informasi secara menyeluruh sevagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghidari permasalahan yang tak terduga dengan melalui jalur litigasi. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat dinilai bahwa jalur litigasi merupakan penyelesaian permasalahan hukum melalui jalur pengadilan.

(21)

untuk mencegah atau memaksa tindakan. Orang yang memiliki kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi non-yudisial yang disebut sadar hukum.116

Proses penyelesaian permasalah misrepresentation melaui litigasi berarti memilih mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan yang memiliki dua lembaga dalam penyelesaiannya, yaitu melalui pengadilan umum dan pengadilan niaga. Jika melalui pengadilan umum , yakni Pengadilan Negeri, yang berwenang melakukan pemeriksaan sengketa bisnis (dalam hal ini permaslaahan misrepresentation) memiliki kriteria karakteristik sebagai berikut:117

1. Prosesnya formal.

2. Keputusannya dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)

3. Para pihak tidak terlibat dalam mebuat suatu keputusan

4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding) 5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah) 6. Persidangan bersifat terbuka

Jika perkara misrepresentation mengakibatkan suatu pihak mengalami kerugian hebat yang sangat dramatis hingga mengakibatkan terjadinya permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atau mengakibatkan terbitnya sengketa atas hak kekayaan intelektual (HAKI), maka

116

dikunjungi terakhir pada 20 Oktober 2015, pukul 20:03 Wib.

117

(22)

diperiksan di Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus di lingkungan pengadilan umum.

2. Non Litigasi (Alternative Dispute Resolutiion)

Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non-litigasi ini dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian perkara diluar pengadilan ini diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Pertama, dalam penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan :118

Kedua, dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10 dinyatakan :

"Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan" .

119

Konsultasi, merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya atau saran kepada suatu pihak untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan pihak yang terlibat suatu akibat hukum dari misrepresentation. Konsultan hanya memberikan pendapat (hukum) sebagaimana diminta oleh

"Alternatif Penyelesaian Perkara (Alternatif Dispute Resolution) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, atau penilaian para ahli."

118

Perhatikan Pasal 3 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

119 Perhatikan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

(23)

kliennya, dan selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil oleh para pihak.

Negoisasi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah/perundingan langsung diantara para pihak yang bertikai dengan maksud mencari dan menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima para pihak. Kesepakatan mengenai penyelesaian atas permasalahan yang timbul akibat

misrepresentation tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis

yang disetujui oleh para pihak.

Mediasi, merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan dibantu oleh pihak luar yang tidak memihak/netral guna memperoleh penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak. Konsiliasi, Consilliation dalam bahasa Inggris berarti perdamaian , penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (konsisliator) untuk membantu pihak yang berdetikai dalam menemukan bentuk penyelesaian yang disepakati para pihak. Hasil konsilisiasi ini ini harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, selanjutnya harus didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak.

(24)

yang netral bukan untuk memutuskan sengketa, melainkan para pihak sendirilah yang mengambil keputusan akhir.

C. Itikad Baik Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Misrepresentation

Pada negara yang menganut paham sistem hukum civil law, apabila telah terjadi penyesuaian kehendak dan telah disepakai oleh para pihak, maka sebuah dokumen prakontraktual telah memiliki kekuatan untuk melaksanakannya dan memiliki kekuatan yang mengikat pula. Sehingga lahirlah hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak. Hal ini merupakan implementasi dari itikad baik dalam berkontrak bilamana terjadi misrepresentation.120

Sebagai contoh kasus di Amerika Serikat, berdasarkan 729 S.W.2d 768 Tex.Ct.App.1987. Juri Amerika Serikat telah menghukum perusahaan raksaksa minyak Texaco untuk membayar US$ 10,530 Miliar kepada Pennzoil termasuk membayar ganti rugi hukuman sebesar US $ 3,000. Inti dari kasus tersebut adalah mengenai masalah apakah suatu persetujuan antara Pennzoil dan Getty Oil pada prinsipnya merupakan kontrak yang terjadinya kesalahan dalam pemaparan kehendak dan maksud dari perjanjian. Apakah prakarsa negosiasi dengan Gettyoleh Texaco merupakan campur tangan secara melawan hukum yang

Jika memperhatikan pada negara yang menganut hukum common law, sebagai contoh Amerika Serikat, para pihak bebas untuk mengadakan negosiasi serta bebas untuk mengundurkan diri dari proses negosiasi tanpa adanya resiko yang bertanggung jawab.

120 Salim, HS. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding, Op. Cit, hal.

(25)

mempengaruhi hubungan hukum yang akan datang antara Pennzoil dengan Getty Oil. Kasus tersebut diakhiri dengan penyelesian sengketa secara damai bahwa Texaco setuju untuk membayar sebesar US $ 3,000 miliar kepada Pennzoil. Dalam sistem hukum Civil Law telah mengakui kewajiban prakontraktual berada dibawah doktrin itikad baik.121

121

(26)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK YANG

MENGALAMI MISREPRESENTATION DALAM SUATU KONTRAK

A. Para Pihak Dalam Kontrak

Menurut Syahril Sofyan, dapat dikatakan hampir seluruh literatur tentang hukum perjanjian di Indonesia menguraikan tentang wanprestasi seorang debitur menjadi empat jenis, yaitu :122

1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi; 2. Tidak tunai memenuhi prestasi; 3. Terlambat memenuhi prestasi; 4. Keliru memenuhi prestasi.

Syahril Sofyan juga berpendapat bahwa prestasi yang dilaksanakan yang kemudian di kwalifikasikan tersebut termasuk ke dalam misrepresentation ini secara umum dapat saja berbentuk atau dimasukkan ke dalam wanprestasi mulai dari jenis pertama sampai jenis keempat, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Ini merupakan penjelasan jawaban yang normatif yang diperoleh dari literatur-literatur Hukum Perjanjian (menurut Hukum Adat maupun menurut Hukum Perdata Indonesia).123

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen memang dapat bersifat kontraktual ataupun non kontraktual. Kedua hubungan hukum tersebut dapat terjadi karena persetujuan maupun karena undang-undang. Istilah sebutan

(27)

“produsen” untuk para pelaku usaha pun digunakan oleh para ahli untuk mengemukakan beberapa teori hubungan antara hukum dan perlindungan konsumen (hubungan antara produsen dan konsumen), yaitu : 124

1. Teori Kontrak

Menurut teori kontrak, hubungan antara produsen dan konsumen sebaliknya dilihat sebagai suatu kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak itu. Jika konsumen membeli sebuah produk, ia seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjualnya. Perusahaanmengetahui dan ingin menyerahkan produk dengan ciri-ciri tertentu kepada si pembeli dan si pembeli membayar uang yang disetujui karena kontrak diadakan dengan bebas, produsen berkewajiban menyampaikan produk dengan ciri-ciri tersebut, bukan sesuatu yang berbeda dan si konsumen berhak memperoleh produk itu setelah jumlah uang dilunasi menurut cara pembayaran yang telah disepakati. Teori kontrak ini sejalan dengan pepatah Romawi Kuno yang berbunyi caveat emptor (hendaknya si pembeli berhati-hati). Sebagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak, maka harus membaca dengan teliti seluruh teksnya termasuk huruf-huruf yang terkecil sekalipun, demikian juga si pembeli harus mempelajari dengan teliti keadaan produk serta ciri-ciri sebelum ia membayar dan menjadi pemiliknya. Transaksi jual beli harus dijalankan sesuai dengan tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual memperoleh dasarnya dari situ.

(28)

2. Teori Perhatian Semestinya

Berbeda dengan teori kontrak, teori perhatian semestinya tidak menyetarakan produsen dan konsumen, melainkan bertolak dan kenyataan bahwa konsumen selalu dalam posisi lemah karena produsen mempunyai jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalamannya tentang produk, ia mempunyai kewajiban menjaga agar si konsumen tidak mengalami kerugian dari produk yang dibelinya. Teori perhatian semestinya tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara konsumen dan produsen, melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen karena itu, tekanannya bukan pada segi hukum saja seperti teori kontrak, melainkan pada etika dalam arti luas. Norma dasar yang melandasi teori adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.

3. Teori Biaya Sosial

Teori biaya sosial menegaskan bahwa produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Hal itu berlaku juga, walau produsen sudah mengambil semua tindakan yang semestinya dalam merancang serta memproduksi produk bersangkutan atau mereka sudah memperingatkan konsumen tentang resiko yang berkaitan dengan pemakaian produk.

(29)

adalah setiap orang yang menggunakan barang.125 Dengan demikian dapat di definisikan menjadi beberapa arti dari definis konsumen adalah sebagai berikut:126 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk

tujuan tertentu;

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Menurut UU Perlindungan Konsumen definisi konsumen pada Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Konsumen adalah :127

“ setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Pernyataan tidak untuk diperdagangkan menunjuk kepada jenis konsumen tertentu yang dilindungi berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. Konsumen yang dimaksudkan dalam UU Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir. Hal ini berarti bahwa konsumen membeli barang atau jasa tersebut untuk dipakai atau dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain.

125 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit

Media, 2007), hal. 21

126 Ibid, hal. 29.

127 Perhatikan Pasal 1 angka (2) Undang-undang No. 9 Tahun 1999 Tentang

(30)

UU Perlindungan Konsumen terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal dan mengatur mengenai aspek hukum tentang perlindungan konsumen. UU Perlindungan Konsumen memberikan pengertian dari perlindungan konsumen dengan cukup luas, yaitu :128

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen”.

Adanya konsumen tersebut tentunya berkaitan dengan pengertian pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) UU Perlindungan Konsumen adalah:

“Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang terbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hkum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Pengertian pelaku usaha juga memiliki arti yang luas dalam UU Perlindungan Konsumen. Tidak hanya para produsen pabrikan yang menghasilkan barang dan atau jasa yang tunduk pada UU Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, cakupan pelaku usaha tersebut juga para rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan–jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan atau penggunaan barang dan atau jasa.129

Lebih lanjut kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut berkaitan pula dengan barang dan jasa. Barang dan jasa adalah obyek dari

128 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 4.

(31)

kegiatan usaha yang ditawarkan kepada para konsumen. Pengertian barang dan atau jasa yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat 4 jo Pasal 1 ayat 5 UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

“Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tidak bergerak, dapat di habiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”; dan

“Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk perkerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat pendapat atas pengaturan tentang perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, sebagai berikut :130

1. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan perumusan maupun pengelompokan yang jelas mengenai macam dan jenis barang yang dilindungi. Hal ini erat kaitannya dengan sifat pertanggungjawaban yang dapat dikenakan atau dipikulkan kepada pelaku usaha dengan siapa konsumen telah berhubungan. Tidak adanya perumusan atau pengelompokan atau pembedaan yang jelas dari jenis/ macam barang dan atau jasatersebut pada satu sisi “dapat” memberikan keuntungan tersendiri pada “konsumen” yang memanfaatkan, mempergunakan, ataupun memakai suatu jenis barang dan jasa tertentu dalam kehidupan sehari-harinya.

(32)

2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat menekankan pada pentingnya arti dari “Konsumen”, di mana dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut ditegaskan bahwa :

“Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan

konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang mempergunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.”

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang dijabarkan dalam UU Perlindungan Konsumen masih sangat terbuka untuk melahirkan berbagai macam penafsiran. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang tampak sangat melindungi kepentingan konsumen, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen, dan bukan hanya semata-mata perlindungan yang dikehendaki oleh pelaku usaha dan atau the ruling class untuk kepentingan mereka sendiri.131

Hubungan antara hukum perjanjian dan perlindungan konsumen secara tersirat juga tercantum pada Pasal 1321 dan Pasal 1365 KUH Perdata. UU Perlindungan Konsumen merupakan pedoman yuridis dalam melakukan perlindungan hukum terhadap konsumen. Di dalam UU Perlindungan Konsumen B. Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Yang Mengalami

Misrepresentation Dalam Suatu Kontrak

1. Konsumen

a. Hak Konsumen

(33)

diatur mengenai hak-hak konsumen yang harus dihormati dan dijamin pelaksanaannya serta penerapannya. Hak-hak konsumen yang diatur dan dijamin dalam UU Perlindungan Konsumen ditetapkan dengan 9 (sembilan) hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu : 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

(34)

Hak-hak konsumen tersebut tentunya harus dihormati dan ditaati oleh para pihak yang berkaitan, terutama oleh pelaku usaha. Selain itu, hak-hak konsumen tersebut tentunya bagian dari hak dasar manusia sebagai konsumen. Rumusan hak-hak konsumen secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:

a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

b. Hak untuk memperoleh barang dan/ atau jasa dengan harga yang wajar; dan c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi.132

Oleh karena ketiga hak/ prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/ merupakan prinsip perlindugan hukum bagi konsumen di Indonesia. Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek.133

Hal ini dikarenakan konsumen mempunyai hak untuk memperoleh informasi. Adapun hak atas informasi sebagaimana dimaksud dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 4 merupakan perkembangan dari hak-hak dasar

132 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

Rajawali Press. 2004), hal. 47.

(35)

konsumen yang dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F.Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas :134

a. Hak memperoleh keamanan (the right to save product);

b. hak memilih (the right to be definite choice in selecting product); c. hak mendapat informasi (the right to be informed about products);

d. hak untuk didengar (the right to be heard regarding consumer interesting); b. Kewajiban Konsumen

UU Perlindungan Konsumen selain mengatur dan memberikan jaminan atas terlaksananya hak-hak kepada konsumen, juga mengatur tentang kewajiban konsumen yang harus ditaati. Pengaturan kewajiban tersebut tentunya bertujuan untuk menciptakan iklim usaha yang lancar dan aman. Pengaturan tentang UU Perlindungan Konsumen berkaitan dengan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan secara patut; Tujuan dibebankannya kewajiban kepada konsumen adalah agar konsumen memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan hukum bagi dirinya sendiri. Pembebanan kewajiban ini pada akhirnya bertujuan untuk melindungi konsumen itu sendiri.

(36)

2. Pelaku Usaha

a. Hak Pelaku Usaha

Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen tentunya melibatkan kegiatan yang saling timbal balik. Hal ini dapat dilihat bahwa ketika konsumen melakukan kegiatan usaha sesuai dengan kewajibannya dan prestasi yang dijanjikan/disepakati, maka pelaku usaha mempunyai hak-hak yang juga harus dihormati dan dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, adanya jaminan terhadap terpenuhinya hak-hak dari pelaku usaha tersebut tentunya akan menarik para investor dan pelaku usaha untuk melakukan transaksi atau kegiatan usaha. Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen. Hak Pelaku usaha adalah :135

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

135 Perhatikan Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

(37)

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang/jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.136

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, dan d diatas, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/Pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha.137

Upaya perlindungan konsumen ini tentunya memerlukan suatu perangkat untuk mengatur tentang tingkah laku dari pelaku usaha untuk melakukan transsaksi yang jujur dan tidak merugikan konsumen. Hal ini tentunya perlu diatur tentang sikap dan tingkah laku dari konsumen, sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif, terutama terhadap konsumen dan perekonomian nasional. Sebagai konsekuensi dari adanya hak konsumen tersebut, maka kepada pelaku usaha

b. Kewajiban Pelaku Usaha

136 Abdul Hakim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pemikiran, (Banjarmasim: FH Unlam Press, 2008), hal. 37.

(38)

tersebut dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen , sebagai berikut :138

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Solusi Misrepresentation

Di Indonesia karena masih gelapnya aturan tertulis tentang misrepresentasi ini dalam hukum kontrak, acuan yang dapat dijadikan rujukan guna dijadikan pedoman menyelesaikan masalah misrepresentasi ini, selain memeriksa perjanjian

138 Perhatikan Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

(39)

tertulis yang ada di antara para pihak, adalah denggan meminta hakim melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan melalui penrlusuran doktrin serta yurisprudensi di negara yang mengenalnya dapat dijadikan acuan untuk mempedomani arah dan cara penyelesaiannya. Pada titik ini masih menjadi pertanyaan pula apakah hakim yang diminta memeriksa dan memutuskan perkara misrepresentasi ini mau dan mampu serta memiliki cukup waktu untuk membaca serta menelusuri keputusan badan peradilan di Negara yang mengenal lembaga ini untuk dijadikan pedoman dan arah pengambilan keputusannya, suatu pertanyaan yang masih memerlukan kajian dan penelitian yang lenih lanjut pula.139

Secara normatif pedoman utama para hakim adalah Buku-III dari KUH Perdata dan Hukum Acara Perdata yang berlaku berikut yurisprudensi yang ada, akan tetapi tentu saja acuan yang ada itu tidak cukup efektif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi karena masih berhadapan dengan wilayah kegelapan (grey

area) karena hingga kini tak ada satupun ketentuan Hukum Perjanjian Indonesia

yang secara tegas menampung dan mengatur seluruh jenis atau tipe misrepresentasi ini. Namun akan tetapi, memang ada juga terdapat Hakim Indonesia yang bersedia mendalami ajaran misrepresentasi ini dengan cara mendalami literatur Barat yang ada dan kemudian menerapkannya dalam kasus yang terjadi di Indonesia sehingga diperoleh keputusan baru dalam lapangan ini, tetapi mengingat langkanya jumlah hakim yang bersedia menempuh langkah seperti ini maka bahagian terbesar keputusan yang tercipta tentu saja diberikan

(40)

berdasarkan norma hukum perjanjian menurut hukum positif di Indonesia yang ada itu saja.140

Akibat tidak adanya kepastian yang mengatur mengenai misrepresentasi ini, perlu juga diketahu, bahwa dalam hukum Indonesia, seorang hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan belum terdapat ketentuan hukum yang mengaturnya sebagaimana diatur dalam pasal 22 AB (Algemeine Van

Bepalingen). Disamping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang

Nomor 4 tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.141

Tidak ada kasus yang ditolak pengadilan dengan alasan tidak ada atau belum lengkap peraturannya.“In case a question does not find its answer in the

Civil Code, nor in any living cutom.The Juge has to give a decision according to

equity”.142

Dalam menghadapi kasus misrepresentasi yang belum jelas tertulis pengaturannya di dalam undang-undang, diperlukan cara penyelesaian yang khusus pula. Dapat pula kasus tersebut telah diatur dalam perundang-undangan,

Jadi hakim dituntut untuk melakukan interpretasi terhadap suatu gejala hukum dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Sebab tujuan daripada hukum sendiri adalah menghendaki adanya keseimbangan kepentingan, keadilan, ketertiban, ketentraman seluruh umat manusia.

140 Ibid, hal. 155.

141

Perhatikan Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

142 R. Subekti, Law in Indonesia, (Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic an

(41)

tetapi substansinya terlalu umum dan abstrak. Dalam keadaan demikian, hakim berfungsi sebagai judges as laws maker.143

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad=tort) menurut Black’s Law Dictionary adalah “a civil wrong, other than breach of contract, for which a

Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana peradilan di negara-negara dengan sistem common law, hakim tidak berkewajiban untuk mengikuti putusan pengadilan sebelumnya. Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual. Terbukti dari putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik dimana Menurut teori klasik jika perjanjian belum lahir, maka suatu perikatan tidak memiliki akibat hukum bagi para pihak, akibatnya pihak yang merasa dirugikan karena percaya terhadap mitra bisnisnya tidak terlindungi dan tidak dapat menggugat ganti rugi. Sementara menurut teori hukum modern memiliki kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial.

Misrepresentasi yang memiliki unsur merugikan kepada pihak lain, secara tersirat memenuhi unsur-unsur yang ditentukan pada Pasal 365 KUH Perdata, yaitu :

“setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

143 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung:

(42)

remedy may be obtained,usually in the form of damages, a breach of a duty that

the law imposes on persons who stand in a particular relation to one another”.144

a. adanya perbuatan melanggar hukum

Unsur-unsur perbuatan melanggar hukum (tort) didasarkan atas ketentuan Pasal 1365 BW, yaitu:

Perbuatan dalam hal ini adalah perbuatan aktif. Sebelum tahun 1919, perbuatan melanggar hukum diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang. Namun setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen tahun 1919, maka perbuatan melanggar hukum meliputi juga:145

- melanggar hak orang lain

- bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;

- berlawanan dengan kesusilaan;

- berlawanan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri

atau benda orang lain. b. Ada kerugian

Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum orang lain. Kerugian dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kerugian yang dialami oleh diri sendiri dan kerugian yang menimpa harta seseorang.146

144

Black’s Law Dictionary, Op. Cit, hal. 1526.

145 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya

Bhakti, 2001), hal. 107.

(43)

c. Ada kesalahan

Berdasarkan Pasal 1365 BW, salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur, yaitu:147

- Perbuatan tersebut dapat disesalkan;

- Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;

- Dapat dipertanggungjawabkan, daam artian si pelaku dalam keadaan

cakap.

d. Ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Ada dua macam teori mengenai hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian, yaitu:

- Teori Conditio Sine Qua Non

Teori ini dikemukakan oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan kata lain menurut teori ini semua sebab menimbulkan akibat.Kesimpulannya adalah semua sebab dapat dipertanggungjawabkan.148

- Teori Adequate Veroorzaking

Teori ini dikemukakan oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu

147

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 10.

148 Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, Perikatan Yang Lahir dari Undang-Undang,

(44)

akan diikuti oleh akibat. Dengan kata lain akibat tersebut disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan menimbulkan akibat itu.149

stabilitas,efisiensi,waktu serta biaya. Menurut Salim HS, pada umumnya penyelesaian sengketa atau perselisihan bisnis yang timbul dalam kontrak biasanya dilakukan melalui 2 (dua) pola yaitu :

Hubungan bisnis yang diadakan oleh para pihak tidak selalu berlangsung dengan mulus. Kadangkala timbul masalah atau sengketa. yang timbul dari hubungan berdasarkan kontrak ataupun tidak. Sengketa merupakan masalah umum yang dihindari oleh para pihak karena dapat mengganggu

150

a. Melalui alternatif penyelesaian sengketa b. melalui pengadilan

Seperti halnya dalam penyusunan kontrak bisnis yang perlu menekankan konsep win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesian sengketa yang cepat, efektif dan esisien.Dalam penyelesaian sengket bisnis diantara mereka maka penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola win-win solution terutama melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Pola ADR dipandang sebagai alternatif terbaik bagi para pihak. Melalui wadah ini keberadaan para pihak sama-sama terlindungi, kredibilitas maupun bonafiditas para pihak tetap terjaga. Selain itu ADR dipandang sebagai pilhan terbaik karena :151

1. Bersifat informal

2. Penyelesaian secara “kooperatif” oleh para pihak yang bersengketa

149 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 140. 150 Salim H. S. I, Op. Cit, hal. 149.

(45)

3. Biaya “murah” (nominal cost atau zero-cost) 4. Penyelesaian cepat

5. Menyelesaiakan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan 6. Penyelesaian secara kompromi

7. Hasil yang dicapai sama-sama menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa

8. Hubungan dengan partner bisnis dapat menjadi lebih harmonis 9. Tidak ada dendam

10. Pemenuhan secara sukarela

Penyelesaian sengketa secara alternatif memiliki beberapa tujuan. Terdapat empat tujuan penyelesaian sengketa alternatif, yaitu :152

1. Mengurangi kemacetan di pengadilan

2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan proses penyelesaian sengketa 3. Memperlancar jalur keadilan

4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Negosiasi merupakan instrumen penyelesaian sengketa. Namun akan tetapi negosiasi bukan berarti tidak memiliki kelemahan, kelemahan negosiasi dalam menyelesaikan sengketa adalah :153

a. Ketika para pihak berkedudukan tidak seimbang, salah satu pihak kuat dan pihak yang lain lemah.Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya.

152 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 281.

153 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrace Proses

(46)

b. Proses berlangsungnya negosiasi seringkali lambat dan memakan waktu lama.

(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa yang menyebabkan terjadinya misrepresentasi adalah dikarenakan terjadinya peristiwa ketidak-sesuaian antara apa yang dipaparkan offeror dalam fase pra-kontraktual dengan apa yang di lakukan dan harus diterima oleh offereee dalam fase post-kontraktual, dan perlu juga diketahui yang membedakan antara Misrepresentasi dan Penipuan terletak pada ada atau tidaknya unsur bujuk rayu, tipu muslihat pada fase pra-kontraktual dan janji para politikus pada negara penganut paham hukum common law tidak dapat dimasukkan kepada misrepresentasi, dan kontrak baku dan ataupun perjanjian, tidak selalu selamanya bermuara kepada perbuatan misrepresentasi.

(48)

3. Bahwa bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang mengalami misrepresentasi adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1321 dan Pasal 1365 KUH.Perdata dengan tetap tanpa mengesampingkan segala bentuk ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, sedangkan perlindungan bagi pelaku usaha ketentuannya diatur dalam Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen.

B. Saran

1. Para pelaku kontrak harus lebih cermat dalam memahami tradisi serta ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam Common law dan Civil

law system.

2. Dalam pembuatan kontrak disarankan kepada para pihak untuk melibatkan seorang legal advisor serta legal drafter sejak tahap prakontraktual, hal ini sangat penting untuk menghindari masalah-masalah hukum yang kemungkinan terjadi di kemudian hari.

Referensi

Dokumen terkait

bar 4 Penjel r 5 Informasi ar 6 Pertanya Pertam da gambar otot berisi te tem yang da berupa des bantu ini, b ni tidak diran peran d Model ini h mbantu p ra mandiri de asan

Praktikum bertujuan untuk mengetahui konsistensi feses, mengetahui adanya telur, larva,tropozoit dari protozoa, kista, amoeboik, kista flagelata melalui uji mikroskopik ulas

Pasang surut campuran condong harian tunggal merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali

Grifith kemajemukan hukum dapat dikatakan ada apabila dalam bidang sosial tertentu dapat dibedakan perilaku yang berhubungan dengan lebih dari satu tertib hukum (……the presence

Pengembangan media pembelajaran interaktif berbasis etnomatematika berbantu Macromedia Flash pada materi kubus dan balok SMP kelas VIII merupakan salah satu usaha peneliti

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Gizi, Body image , dan Perilaku Makan dengan Status Gizi Siswi SMAN 6 Kota Jambi Tahun 2015.. Ini

Semenjak keberadaan wisata makam, masyarakat asli Tebuireng yang berjulan oleh oleh di kawasan makam lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi

Aplikasi WhatsApp yang bisa juga dibuka lewat komputer ternyata cukup manjur juga untuk digunakan belajar menulis bersama.Salah seorang dari kami bergantian menjadi nara sumbernya,