• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi minyak sawit Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 6% pertahun. Indonesia mampu memproduksi minyak sawit kasar

(CPO/Crude Palm Oil) sebesar 16 juta ton sepanjang tahun 2005 dengan luas

total perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5.5 juta hektar (IPOC, 2005).

Hasil tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) yang dipanen

ialah tandan kelapa sawit. Tandan telah masak apabila jumlah buah yang membrondol telah mencapai dua brondolan per kg tandan (Naibaho, 1983). Sebaiknya panen dilakukan pada buah berumur 15-17 minggu, karena selain sudah menurunnya kadar lemak, juga terjadi peningkatan asam lemak bebas, yang terbentuk dari penguraian lemak oleh enzim lipase, yang mulai aktif pada mesokarp. Dari kelapa sawit dapat dihasilkan dua jenis minyak yang sangat berlainan, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit

disebut minyak sawit (CPO/Crude Palm Oil) dan minyak yang berasal dari inti

kelapa sawit yang dinamakan minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil)

(Ketaren, 1986). Buah sawit umumnya berukuran panjang 2 – 5 cm dan berat antara 3 – 30 gram, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi, 1992). Warna daging buah putih kuning ketika masih muda dan berwarna jingga setelah buah matang (Ketaren 2005). Penampang melintang buah kelapa sawit disajikan pada Gambar 1.

Minyak sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit masih

disebut minyak sawit kasar (CPO /Crude Palm Oil). Minyak sawit, selain

mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak (3-5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida,

glikolipida dan berbagai komponen trace element (Muchtadi, 1992). Minyak

sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dengan persentase yang hampir sama. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar disajikan pada Tabel 1. Asam palmitat dan asam oleat merupakan asam lemak yang dominan terkandung dalam minyak sawit, sedangkan kandungan asam lemak linoleat dan asam stearatnya sedikit (Bailey’s 1996; Siew 2000). Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (meelting point) yang tinggi yaitu 640C. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh

rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap.

Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 140C

(Ketaren, 1986)

Tabel 1 Komposisi asam lemak minyak sawit kasara

Asam Lemak Kadar (%)

Asam lemak jenuh

Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (18:0)

Asam lemak tidak jenuh

Oleat (18:1) Linoleat (18:2) Linolenat (18:3) 0.1 – 1.0 0.9 - 1.5 41.8 - 46.8 4.2 - 5.1 37.3 - 40.8 9.1 - 11.0 0 - 0.6 a (Bailey’s, 1996).

Minyak sawit bersifat setengah padat pada suhu kamar, dengan titik

cair antara 40-700C, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen

karoten. Berdasarkan perbedaan titik cairnya minyak sawit dibagi menjadi 2 fraksi besar, yaitu fraksi olein berbentuk cair, dan fraksi stearin yang berbentuk padat pada suhu kamar (Hartley, 1970; Naibaho, 1983; Muchtadi,

1992). Standar kualitas minyak sawit kasar menurut Standar Nasional Indonesia (1995) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Standar kualitas minyak sawit kasar menurut SNI 01-2901

No. Karakteristik Satuan Nilai

1. Asam lemak bebas (sebagai palmitat) % (b/b) Maks 5,0

2. Kadar air % (b/b) Maks 2,0

3. Kadar kotoran % (b/b) Maks 0,02

Komponen non trigliserida dalam minyak sawit kasar, menurut Choo

et al. (1989) memberikan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, serta mempercepat proses ketengikan dan kerusakan minyak. Kandungan non trigliserida yang terlalu tinggi dapat mempersingkat umur simpan minyak. Kandungan komponen minor dari minyak sawit kasar disajikan pada Tabel 3. Bau dan flavor pada minyak terdapat secara alami. Bau

khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh senyawa β-ionone. Bau dapat

terjadi karena adanya asam-asam lemak rantai pendek akibat minyak yang teroksidasi (Ketaren, 1986)

Tabel 3 Komponen minor dari minyak sawit kasar

Komponen minor Kadar (ppm)

karotenoid a 500-700 tokoferol an tokotrienol a 600-1000 sterol a 326-527 fosfolipid b 51-130 triterpen alkohol c 40-80 metil sterol c 40-80 squalene d 200-500 alkohol alifatik a 100-200 hidrokarbon alifatik d 50

a: Goh et al. (1985), b: Goh et al (1982), Goh et al. (1984),

Karotenoid

Karotenoid merupakan kelompok pigmen alami berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak, mempunyai ciri tertentu, yang dapat menunjukkan sifat-sifatnya yang mendasar, yang dapat ditemui pada tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Menurut Wirahadikusumah (1985) secara kimiawi senyawa karotenoid dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu karoten dan xantofil. Karoten adalah senyawa hidrokarbon yang tersusun oleh unsur-unsur C dan H, sedangkan xantofil adalah senyawa turunan dari karoten yang mengandung oksigen di dalam struktur molekulnya, sehingga unsur penyusun xantofil adalah C, H dan

O. Contoh senyawa yang termasuk karoten misalnya α, β, -karoten dan yang

termasuk xantofil adalah kriptoxantin, kapxantin dan zeaxantin.

Semua jenis karotenoid adalah senyawa hidrofobik, lipofilik dan sebenarnya tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut lemak. Pada hewan dan tumbuhan, karotenoid berbentuk seperti kristal atau amorphous padat dan larut dalam lemak (Delia 1997). Beberapa jenis senyawa golongan karotenoid disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur molekul senyawa golongan karotenoid (Wirahadikusumah 1985).

Ikatan rangkap terkonjugasi dalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus kromofor yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid. Makin banyak ikatan rangkap ter-konjugasi, semakin pekat warna karotenoid tersebut, dan ini berarti semakin mengarah ke warna merah

(Wirahadikusumah 1985; Hassan 1987; Choo et al. 1989).

Di antara 600 atau lebih karotenoid yang ada di alam, hanya 50 di antaranya yang mempunyai aktivitas biologi sebagai pro-vitamin A, dan 60% vitamin A diperkirakan berasal dari pro-vitamin A (Simpson 1983). Semua karotenoid adalah senyawa lipofilik, tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan pelarut organik, seperti n-heksana dan benzena. Disamping itu senyawa karotenoid juga mudah larut dalam hidrokarbon terklorinasi, seperti khloroform dan metilen klrorida. Karotenoid mudah mengalami isomerisasi oleh panas, asam dan cahaya. Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430 – 480 nm (Fennema, 1996).

Karotenoid mudah teroksidasi karena banyaknya ikatan rangkap terkonyugasi. Adanya ikatan rangkap terkonyugasi menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi, terutama dalam bentuk padat. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan rangkap. Kepekaannya terhadap oksidasi membuat karotenoid digunakan sebagai antioksidan yang kekuatannya menyamai tokoferol dan askorbat (Fennema, 1996). Karotenoid belum mengalami

kerusakan oleh pemanasan pada suhu 600C, dan reaksi oksidasi karotenoid

berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat peroksidan (Muchtadi, 1992)

Sebahagian dari karotenoid yang mempunyai aktivitas sebagai

pro-vitamin A, disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa β

-karoten merupakan komponen -karotenoid yang mempunyai aktivitas pro-vitamin A terbesar (Linder 1991). Hal ini disebabkan oleh karena pada struktur

Tabel 4 Beberapa jenis karotenoid dengan aktivitas pro-vitamin Aa

Jenis karotenoid Aktivitas pro-vitamin A (%) β-karoten α-karoten -karoten β-zeakaroten β-karoten-5,6-mono epoksida 3,4 dehidro-β-karoten 100 50 - 54 42 - 50 20 - 40 21 75 aLinder (1991).

β-karoten sebagai salah satu komponen bioaktif yang terkandung

dalam minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi kebutaan, mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. (Akbar, 1994; Kholmeier dan Hasting, 1995; Winarno 1997; Muhilal 1998).

Mengkonsumsi β-karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi

vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi

β-karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia mempunyai

kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinal), sehingga karoten ini disebut pro-vitamin A (Akbar, 1984, Winarno 1991).

Sekitar 25 % dari β-karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam

bentuk utuh, sedang 75 % sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan

bantuan enzim 15, 15’ β-karotenoid oksigenase (Fennema, 1996).

Analisis Karotenoid

Analisis komponen karotenoid dapat dilakukan dengan menggunakan

alat spektrofotometer UV-Vis, dan HPLC (High Performance Liquid

Cromatography) berdasarkan atas bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Identifikasi karotenoid dengan metode spektrofotometeri dapat dilakukan berdasarkan pada bentuk spektrum absorpsinya. Bentuk spektrum yang sama

menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976; Choo et al.1989; Muchtadi,

maksimum pada panjang gelombang tertentu dan setiap spektrum serapan untuk setiap jenis karotenoid berbeda antara satu pelarut dengan pelarut

lainnya, kalaupun ada yang sama jumlahnya relatif sedikit. Nilai Rf beberapa

jenis karotenoid dalam beberapa jenis pelarut disajikan pada Tabel 5. (Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992).

Tabel 5 Nilai Rf berbagai jenis karotenoid pada kromatografi lapis tipisa)

Karotenoid Nilai Rf x 100 A B C D E F G H squalen 11 lycopercene 30 phytophloene 21 100 phytophloene 10 90 alfa karoten 84 70 47 beta karoten 80 66 26 88 gamma karoten 80 81 91 74 49 11 84

beta zea karoten 75

teta karoten 0 62

alfa zea karoten 55 20 0

gamma zea karoten 58 41 11 0 45

neurosporene 42

lycopene 10 13 1 0

a)

(Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992)

Keterangan / sistem :

A. Silika gel G (deactivated), ligh petroleum

B. MgO-Silika gel. (1:1, activated), (17% v/v), benzene in light petroleum

C. MgO-Silika gel. (1:1, deactivated), (10% v/v), benzene in light

petroleum

D. MgO-Silika gel. (1:1, activated), benzene

E. MgO; benzene-light petroleum (90:10 v/v)

F. MgO; benzene-light petroleum (50:50 v/v)

G. MgO; benzene-light petroleum (10:90 v/v)

Identifikasi karotenoid dengan teknik HPLC dengan kepekaannya yang tinggi dapat langsung digunakan dalam proses pemisahan serta penentuan

konsentrasi (Bushway, 1986; Kachik dan Beecher, 1987). Khachik et al.,

(1986), menggunakan teknik HPLC untuk memisahkan, mengindentifikasi dan menentukan konsentrasi karotenoid dalam ekstrak beberapa sayuran hijau. Sedangkan Fisher dan Kochis (1987) menggunakan teknik HPLC untuk memisahkan karotenoid pada cabe.

Jumlah karotenoid yang terdapat dalam suatu bahan, baik dalam tanaman ataupun dalam mikroba dapat ditetapkan secara spektrofotometri dan teknik HPLC. Baik karotenoid maupun komponen karotenoid, memiliki panjang gelombang maksimum dalam pelarut tertentu. Sifat penyerapan ini dijadikan dasar dalam menentukan jumlah karotenoid atau identifikasi kuantitatif secara spektrofotometri. Pelarut yang digunakan menurut Parker, 1992 adalah n-heksana. Dalam n-heksana karotenoid akan menyerap sinar secara maksimum pada panjang gelombang 450 nm. Pada panjang gelombang

ini karotenoid mempunyai nilai koefisien Ekstinksi sebesar 2600 (E % 1 cm =

2600)

Penentuan konsentrasi komponen karotenoid dan karotenoidnya sendiri menggunakan larutan standar biasanya sulit dilakukan, untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan teknik pendekatan menggunakan nilai koefisien Ekstinksi. Jika Y ml pelarut digunakan untuk memberikan serapan sebesar A pada panjang gelombang 450 nm, maka berat karotenoid dalam larutan dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :

X = berat karotenoid, dalam gram

A.Y = nilai serapan pada y ml pelarut

E % 1 cm = nilai koefisien Ekstinksi karotenoid = 2600 A.Y

X =

Metode Adsorbsi

Adsorpsi adalah proses untuk memisahkan suatu komponen berbentuk gas atau larutan menggunakan zat padat (penjerap). Pada proses adsorbsi terjadi perpindahan massa adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan penjerap. Penjerap adalah padatan atau cairan yang mengadsorbsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorbsi. Jadi proses adsorbsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren, 1986). Adsorbsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan sisi-sisi aktif di permukaan penjerap. Pada proses adsorbsi terjadi perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua fase.

Menurut Pari (1995) metode adsorbsi ada dua macam, yaitu adsorbsi

secara fisik (physiosorption) dan adsorbsi secara kimia (chemisorption).

Adsorbsi fisik terjadi sebagai akibat dari perbedaan energi atau daya tarik menarik elektrik (listrik) sehingga molekul–molekul penjerap terikat secara fisik pada molekul adsorbat. Permukaan partikel padat biasanya lebih aktif dari pada bagian dalamnya, sehingga umum dikatakan mempunyai aktivitas permukaan (surface activity).

Bila zat padat tersebut dimasukkan dalam suatu larutan, permukaan partikel zat padat tadi mempunyai daya tarik baik pada zat-zat yang terlarut maupun pada zat pelarutnya. Daya tarik atau kekuatan ikatan senyawa organik dengan suatu penjerap tergantung pada kekuatan tipe interaksi yaitu interaksi ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol terinduksi dan ikatan van der walls (Slejko 1985).

Proses adsorbsi dipengaruhi terutama oleh perbedaan polaritas solut yang dipisahkan. Hal ini disebabkan karena polaritas merupakan faktor yang menentukan daya larut dan terjadinya adsorbsi solut. Proses adsorbsi sangat peka terhadap perbedaan bentuk stereometrik dari solut yang dipisahkan. Banyaknya solut yang dapat ditampung pada permukaan penjerap, di antaranya dipengaruhi oleh konfigurasi solut tersebut. Bentuk konfigurasi

solut dapat menentukan juga mudah tidaknya solut tersebut teradsorbsi pada permukan penjerap bila dibandingkan dengan solut lain. Perbedaan daya teradsorbsi inilah yang akan menentukan mudah tidaknya campuran solut untuk dipisahkan dengan kromatografi adsorbsi. Oleh karena itu kromatografi adsorbsi merupakan cara yang cocok untuk memisahkan campuran solut yang serupa, tetapi mempunyai perbedaan bentuk stereometrik (Adnan 1997).

Bila larutan mengalir melalui permukaan yang aktif, akan terjadi proses adsorbsi dan desorpsi. Hubungan antara konsentrasi zat yang ada dalam larutan (Cm) dan yang teradsorbsi (Cs) terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kurva hubungan antara konsentrasi solut pada larutan dan yang teradsorbsi, (A) kurva konveks, (B) kurva garis lurus, (C) kurva konkaf. Cs= konsentrasi zat yang teradsorbsi, Cm= konsentrasi zat dalam larutan (Adnan 1997).

Kurva yang menggambarkan hubungan antara Cm dan Cs dinamakan isoterm adsorbsi. Isoterm yang berbentuk konveks seperti yang terlihat dalam Gambar 3A, dapat terjadi karena ada variasi aktivitas dari permukaan yang ada, yang mengakibatkan dihasilkannya hubungan yang tidak linier. Hubungan

demikian dimanakan Freundlich isotherm. Kurva isoterm yang berbentuk

garis lurus (Gambar 3B) merupakan keadaan yang dikehendaki, dimana permukaan tidak akan menjadi jenuh dengan zat yang diadsorbsi. Slope dari kurva isoterm yang merupakan garis lurus akan merupakan koefisien distribusi dan tidak tergantung dari besarnya konsentrasi. Kurva isoterm yang berbentuk konkaf (Gambar 3C) dihasilkan dari reaksi yang terjadi sedemikian sehingga mempercepat proses adsorbsi secara keseluruhannya.

Proses adsorbsi terdiri dari dua tipe adsorbsi, secara kimia dan fisika. Adsorbsi kimia adalah tipe adsorbsi dengan cara suatu molekul menempel ke permukaan melalui pembentukan suatu ikatan kima. Ciri-ciri dari adsorbsi

A B C

Cm

Cs Cs Cs

kimia adalah terjadi pada temperatur yang tinggi, jenis interaksinya kuat, berikatan kovalen antara permukaan penjerap dengan adsorbat, entalpinya

tinggi (∆H 400 KJ/mol), adsorbsi terjadi hanya pada suatu lapisan atas

(monolayer) dan energi aktivasinya tinggi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption).

Adsorbsi fisika adalah tipe adsorbsi dengan cara adsorbat menempel pada permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah. Ciri-ciri dari adsorbsi fisika adalah terjadi pada temperatur yang rendah, selalu di bawah temperatur kritis dari adsorbat, jenis interaksi adalah interaksi intermolekuler

(gaya van der Waals), entalpinya rendah (∆H <20 KJ/mol), adsorbsi dapat

terjadi dalam banyak lapisan (multilayers) dan energi aktivasinya rendah.

http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption).

Adsorbsi fisika terutama disebabkan oleh gaya van der Waals dan gaya elektrostatik antara molekul yang teradsorbsi dengan atom yang menyusun permukaan penjerap. Gaya van der Waals tersebut timbul sebagai akibat interaksi dipol-dipol, dimana pada jarak antar molekul tertentu terjadi kesetimbangan antara gaya tolak dan gaya tarik. Dalam fase cair dan fase padat terdapat gaya tarik van der Waals yang relatif lebih besar dibandingkan dengan gaya tarik dalam fase gas. Dalam fase cair, gaya van der Waals dapat mengelompokkan atom atau molekul dalam susunan yang teratur di dalam kristal molekulnya. Gaya van der Waals terdiri dari: interaksi dipol-dipol, interaksi dipol permanen-dipol induksi, interaksi dispersi (dipol sementara-dipol induksi) (Suzuki 1990).

Metode adsorbsi merupakan metode yang banyak diteliti, terutama

untuk mendapatkan karoten dari bahan pemucat (bleaching agent). Prinsip

dari metode ini adalah penjerapan (adsorbsi) komponen minor oleh penjerap

dan menarik kembali (desorpsi) komponen tersebut menggunakan pelarut.

Metode ini telah dipublikasikan sejak tahun 1976, dimana karotenoid dapat diekstraksi dari bahan penjerap yang digunakan dalam proses pemucatan

minyak sawit (Ooi et al., 1994; Choo, 1996).

Naibaho (1983), telah mengekstrak karoten dari tanah pemucat komersil dengan beberapa tahap yaitu pelunakan tanah pemucat dan

penyabunan. Dengan cara ini karoten yang didapatkan mencapai 40% dari konsentrasi awal. Pemisahan karotenoid dari minyak sawit kasar dengan menggunakan penjerap resin sintetis (Diaion HP-20) telah dilaporkan oleh

Baharin et al. (1998). Dengan cara ini didapatkan tingkat perolehan kembali

(recovery) karotenoid yang beragam dari 40 – 65%, tergantung pada kondisi kolom kromatografi. Selanjutnya Desai dan Dubash (1994) juga melaporkan, dengan menggunakan penjerap campuran bentonit dan alumina (4 : 1) dalam bentuk gel untuk menjerap karoten dari CPO, didapatkan tingkat perolehan

kembali sebesar 79%; Lessin et al. (1997) menggunakan polimer sintetis

untuk menjerap karoten dari beberapa jenis buah segar dan yang telah

diproses; dan Sahidin et al. (2001) menggunakan penjerap campuran

magnesium oksida dan aluminium oksida (1 : 1) untuk memurnikan β-karoten

yang diekstraksi dari CPO dan didapatkan tingkat perolehan kembali sebesar 82,41%.

Konsentrat karotenoid telah berhasil diproduksi dari limbah serat sawit pada skala laboratorium oleh Masni (2004) dengan menggunakan metode ekstraksi pelarut, diikuti dengan pemisahan ekstak karotenoid menggunakan kolom kromatografi adsorbsi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Masni (2004) disimpulkan bahwa bahan pengekstrak (pelarut) untuk mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit adalah campuran n-heksana-aseton (10 : 1 v/v), karena dapat menghasilkan konsentrasi karotenoid yang lebih tinggi (1283 µg/g ekstrak kering) dibandingkan dengan n-heksana (629 µg/g ekstrak kering) dan campuran n-heksana-etanol (4 : 3 v/v) (18 µg/g ekstrak kering). Hasanah (2006) telah berhasil memproduksi konsentrat karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode kromatografi kolom adsorbsi menggunakan penjerap campuran abu sekam padi dengan silika gel pada nisbah (30:10 b/b) dengan total perolehan kembali 49% dengan rendemen 3.2 %.

Pelarutan

Secara umum minyak sawit kasar terdiri dari komponen utama trigliserida dan karotenoid. Trigliserida lebih bersifat non polar dari pada komponen karotenoid. Untuk melarutkan karotenoid yang bersifat lebih polar

dari pada trigliserida, sebaiknya menggunakan pelarut yang mempunyai kepolaran yang hampir sama dengan karotenoid. Pelarut yang cocok untuk mengekstrak karotenoid adalah yang bersifat semi polar seperti isopropanol, etanol dan asetonitril.

Menurut Hamilton (1980) n-heksana merupakan pelarut yang umum

digunakan dalam metode ekstraksi pelarut, selanjutnya menurut Proctor et al.

(1994) pelarut n-heksana efektif digunakan sebagai bahan pelarut atau pengekstrak minyak. Pelarut yang digunakan mampu melarutkan karotenoid secara spontan, yaitu tidak menggunakan suhu yang tinggi. Karena pada suhu yang tinggi karotenoid sangat mudah terdegradasi. Reaksi pelarutan secara spontan dapat terjadi jika interaksi solut dan pelarut sama kuat (solut dan pelarut keduanya polar atau keduanya non polar).

Menurut Gross (1991) belum terdapat metode standar untuk ekstraksi karotenoid, namun untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang optimal sebaiknya digunakan bahan segar, tidak rusak dan contoh yang digunakan harus terwakili. Ekstraksi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat oksidasi. Dianjurkan pula agar sebelum diekstrak, contoh bahan yang digunakan dihaluskan atau dipotong kecil-kecil agar ekstraksi berjalan sempurna. Pelarut yang cocok untuk karotenoid adalah aseton, metanol, etanol, isopropil alkohol, n-heksana (Delia & Kimura 2004).

Di dalam ekstraksi pelarut, terdapat resiko adanya residu pelarut. Food and Drug Administration (FDA 1987) memberikan batasan jumlah sisa pelarut

yang masih diperkenankan dalam bahan makanan (Tabel 6).

Tabel 6 Residu pelarut organik yang diijinkan dalam makanana

a

Food and Drug Administration (1987).

No. Jenis Pelarut Residu (ppm)

1 2 3 4 5 6 7 Aseton Etilen diklorida Etanol Heksan Isopropil alkohol Metilen diklorida Metanol 30 30 30 25 50 30 50

Dalam memilih jenis pelarut organik, beberapa faktor perlu diperhatikan. Faktor-faktor itu antara lain adalah kelarutan substrat dan produk dalam pelarut, hidrofobisitas pelarut, reaktivitas pelarut, densitas, viskositas, tekanan permukaan, toksisitas, mudah/tidaknya terbakar, masalah pembuangannnya ke lingkungan, serta masalah biaya (Dordick, 1989; Hariyadi, 1996). Dari berbagai faktor tersebut yang mendapat perhatian sangat besar adalah masalah hidrofobisitas pelarut. Hidrofobisitas pelarut organik sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelarut tersebut dan hidrofobisitas suatu pelarut dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan berbagai parameter. Beberapa parameter yang dapat digunakan adalah : parameter kelarutan

Hildebrand ( ), solvatochromism of dye (EŤ) konstanta dieletrika ( ), dipole

moment (µ) dan nilai logaritma koefisien partisi (log P) (Laane et al. 1987a; Hariyadi, 1995)

Nilai P (koefisien partisi) adalah koefisien partisi suatu pelarut pada sistem dua fase yang terdiri dari fase organik dan fase air (persamaan 1).

Selanjutnya nilai log P suatu campuran pelarut-pelarut dapat ditentukan

dengan memakai rumus empiris yang diajukan oleh Hilhorst et al., (1984),

proporsional dengan fraksi molar (X), sesuai dengan persamaan 2 berikut ini

Nilai log P juga telah diusulkan untuk digunakan sebagai alat untuk menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan sistem pelarut yang lain (Halling, 1990; Hariyadi, 1996). Nilai log P untuk beberapa pelarut disajikan pada Lampiran 1

[pelarut] organik pers (1) P= [pelarut] air

Bahan Pemucat Arang Aktif

Arang aktif merupakan produk yang banyak digunakan di dalam negeri, hampir 70 % produk arang aktif digunakan untuk pemurnian dalam sektor industri gula, minyak kelapa, farmasi, dan kimia. Selain itu juga banyak digunakan untuk proses penjernihan air dan industri lain (Pari, 1995). Bahan baku yang dapat dibuat menjadi arang aktif adalah semua bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuh – tumbuhan, binatang ataupun barang tambang. Bahan–bahan tersebut adalah berbagai jenis kayu, sekam padi, tulang binatang, batubara, tempurung kelapa, kulit biji kopi, bagase dan lain–lain. Akhir–akhir ini arang aktif dibuat dari bahan baku polimer seperti poliakrilonitril, rayon dan resol fenol (Hoyashi at al., 1984)

Arang adalah suatu bahan padat yang berpori–pori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon. Sebagian dari pori– porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain.

Komponennya terdiri dari karbon terikat (fixed carbon), abu, air, nitrogen dan

sulfur (Djatmiko et al., 1985). Arang yang merupakan residu dari peruraian

bahan yang mengandung karbon, sebagian besar komponennya adalah karbon dan terjadi akibat peruraian panas. Proses pemanasan ini dapat dilakukan dengan jalan memanasi bahan langsung atau tidak langsung di dalam timbunan, kiln, retort dan tanur (Djatmiko et al., 1985).

Arang aktif konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain, serta rongga atau pori dibersihkan dari senyawa lain atau kotoran

Dokumen terkait