KAJIAN ISOLASI KAROTENOID
DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN
METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN
PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul ”Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 13 Februari 2007
RINGKASAN
DIANA SERLAHWATY. Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN.
Karotenoid yang terkandung dalam minyak sawit mempunyai potensi yang besar sebagai sumber pro-vitamin A. Konsentrat karotenoid dapat dijadikan suatu produk bernilai ekonomis tinggi yang dibutuhkan baik dalam industri farmasi, pangan maupun kosmetik. Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar kedua di dunia, perlu dukungan penelitian pengembangan teknologi yang dapat menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses penjerapan (adsorbsi) karotenoid dari minyak sawit kasar dan proses pelarutan kembali (desorbsi) karotenoid dari penjerap yang kaya karotenoid. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu penelitian pendahuluan, melakukan review data berbagai penjerap yang berpotensi menjadi penjerap karotenoid. Tahap kedua menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar. Tahap ketiga menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid dari bahan penjerap.
Hasil penelitian penjerapan karotenoid dari minyak sawit kasar dalam larutan n-heksana 50% w/v menggunakan dua jenis penjerap yaitu bleaching earth dan arang aktif : bleaching earth 4% b/v lebih effektif karena dapat menjerap karotenoid 22 kali lebih besar jika dibandingkan dengan arang aktif 10% b/v dan 48 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 20% b/v. Daya desorbsi penjerap bleaching earth 3 kali lebih besar dari penjerap arang aktif, dengan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 10% b/v adalah sebesar 44.47%, menggunakan pelarut n-heksana:eseton (40:60) yang ekivalen dengan nilai log P = 0.919 dan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 20% b/v adalah sebesar 39.16%. Total perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v adalah 16.59% menggunakan pelarut n-heksana:eseton (50:50) yang ekivalen dengan nilai log P = 1.153
SUMMARY
DIANA SERLAHWATY. Study of the Isolation Process of Carotenoid from Crude Palm Oils by the Adsorption Methods using Bleaching Agents. Under Supervision of PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN.
Carotenoid of palm oil is potential source of pro-vitamin A. Carotenoid concentrate can be made as highly-economic products which are utilized by pharmacies, food companies and cosmetics. Indonesia as the second producer of palm oil in the world. However, to optimize the palm oil products, it needs technology support in the research developments to gain the added value of the palm oil products. The objectives of this research are to study the adsorption and desorption process of carotenoid from crude palm oils. The research was conducted in three steps. The first was the prelimanary research aimed to evaluate various adsorbents which have potential adsorption to adsorp carotenoids. The second was to determine the effectivity of the adsorbents. The third was to determine the effective solvents which gave the high recovery of carotenoid eluted from adsorbents. The results of the adsorption of carotenoids from crude palm oils in n-heksana 50% (w/v) using two adsorbents i.e bleaching earth and charcoal (activated carbon): bleaching earth 4% (b/v) more effective than activated carbon. It adsorbed carotenoids 22 times higher than activated carbon 10% (b/v) and 48 times higher than activated carbon 20% (b/v). Desorption capacity of bleaching earth 3 times bigger than activated carbon. The total recovery carotenoid from activated carbon 10% (b/v) was 44.47% using the solvent n-heksana : acetone (40:60) which equivalent to the log P value was 0.919 and the total recovery carotenoid when using activated carbon 20% (b/v) was 39.16%. On the other hand, the total recovery carotenoid from bleaching earth 4% (b/v) was 16.59% using the solvent n-heksana : acetone (50:50) which equivalent to the log P value was 1.153
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta Dilindungi
KAJIAN ISOLASI KAROTENOID
DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN
METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN
PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat
Nama : Diana Serlahwaty
Nomor Pokok : F225010081
Program Studi : Ilmu Pangan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan
Prof.Dr.Ir.Betty Sri Laksmi Jenie, M.S Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 16 Februari 2007 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wata’alla, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan September 2006.
Saat ini Indonesia menjadi negara pengekspor CPO terbesar kedua didunia setelah Malaysia yang menempati urutan pertama. Demi memperkuat dan meningkatkan daya saing industri kelapa sawit di Indonesia perlu dilakukan pengembangan teknologi untuk memperoleh produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Karoten mempunyai nilai jual yang tinggi dan dibutuhkan oleh industri farmasi, pangan maupun kosmetik.
yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, dukungan dana pendidikan dan support moril yang tiada hentinya kepada penulis selama melanjutkan pendidikan S2 di program studi Ilmu Pangan IPB. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pengelola BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana) Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan kepada Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Industri Hilir Kelapa Sawit yang telah memberikan dukungan dana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Pangan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Sains di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Universitas Pancasila, teman-teman sejawat dosen khususnya Ena, mbak Rin, Ratna, sahabat-sahabat di Keluarga Alumni Universitas Pancasila, karyawan non edukatif di Fakultas Farmasi dan anak-anakku mahasiswa/i Fakultas Farmasi serta rekan-rekan seprofesi di Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia yang selalu menemani dalam suka maupun duka serta atas do’a, motivasi dan support semangat yang tidak henti-hentinya penulis dapatkan sampai tulisan ini selesai, juga kepada rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2001 sampai 2005 yang memberikan atmosfir yang menyenangkan berupa diskusi-diskusi, do’a dan support semangat. Juga kepada semua pihak yang telah membantu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada Ayahanda Abu Hassan Rais (Almarhum), Ibunda Saniar (Almarhumah) atas kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis semasa hidupnya dan terima kasih kepada Keluarga besar Abu Hassan Rais, Keluarga Besar Radjuddin Syufni, Keluarga Besar Asy-Syakiroh, Keluarga besar Muslimat atas kasih sayang dan dukungan do’anya yang selalu memotivasi agar penulis pantang mundur sampai selesainya tulisan ini.
Selanjutnya untuk keluarga keduaku di Bogor, Mak Ros, mbak Romsyah berserta kakak dan adik yang rumahnya tersedia bagiku selama penelitian sampai selesainya tulisan ini, terima kasih atas kasih sayang dan dorongan semanagt yang diberikan selama ini. Akhirnya kepada ananda tercinta M.Rino Diansyah, M.Rizky Octaviansyah dan adinda Ides terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala do’a dan dukungannya serta segala pengertian, pengorbanan, yang kalian berikan kepada mama selama masa studi yang panjang ini, dan telah merelakan kehilangan waktu untuk tidak bersamaku selama proses penelitian ini.
Semoga segala bantuan, do’a, dukungan semangat dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis akan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Amiin. Akhir kata penulis sampaikan dengan rasa syukur, semoga tesis ini memberi manfaat kepada yang membacanya, dan ikut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, Amiin
Bogor, 13 Februari 2007 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nias pada tanggal 13 Februari 1956 dari ayah Let.Kol (Purn) Abu Hassan Rais (Almarhum) dan ibu Saniar (Almarhumah). Penulis merupakan putri keempat dari sebelas bersaudara.
Penulis lulus dari S.D. Persit Kartika Chandra Kirana I di Medan pada tahun 1968, sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri LXXXVI di Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1971, dan Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri VI di Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1974. Pada tahun 1975 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Pancasila Jakarta, Fakultas Farmasi dan pada tahun 1987 penulis bekerja sebagai staf non edukatif pada bagian pendidikan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta. Penulis lulus sebagai Sarjana Farmasi pada tahun 1991 dan pada tahun 1993 melanjutkan studi profesi apoteker di Universitas Pancasila Jakarta dan lulus sebagai Apoteker pada tahun 1995.
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
PENDAHULAN ... 1
Latar Belakang... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 4
Hipotesis ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Minyak Sawit ... 5
Karotenoid ... 8
Analisis Karotenoid ... 10
Metode Adsorbsi ... 13
Pelarutan ... 16
Bahan Pemucat Arang Aktif ... 19
Pembuatan Arang Aktif ... 20
Kegunaan Arang Aktif ... 22
Bahan Pemucat Bleaching Earth ... 23
Interaksi Pelarut dan Solut dengan Bahan Pemucat ... 27
Adsorbsi satu Lapisan (Mono-layer) ... 27
Adsorbsi dua Lapisan (Bi-layer) ... 27
Interaksi Solut dengan Permukaan Bahan Pemucat ... 28
Kepolaran yang Lemah ... 28
Kepolaran Kuat ... 29
METODELOGI ... 38
Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
Bahan dan Alat ... 31
xii
Penelitian Pendahuluan ... 33
Penentuan Penjerap yang Effektif ... 33
Penjerap Arang Aktif 10% b/v ... 36
Penjerap Arang Aktif 20% b/v ... 36
Penjerap Bleaching Earth 2% b/v ... 37
Penentuan Konsentrasi Larutan Minyak Sawit Kasar ... 37
Penentuan Konsentrasi Penjerap Terseleksi ... 38
Penentuan Rekoveri Karotenoid ... 39
Prosedur Analisis ... 40
Analisis Kandungan Karotenoid, Metode Spektrofotometri ... 40
Analisis Komposisi Asam Lemak, Metode Kromatografi Gas . 42 Kadar Air, Metode Vakum ... 44
Nilai log P ... 44
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45
Penelitian Pendahuluan ... 45
Persiapan dan Karakterisasi Bahan Baku ... 45
Penentuan Penjerap yang Efektif ... 49
Penjerapan dengan Arang Aktif 10% b/v... 50
Penjerapan dengan Arang Aktif 20% b/v... 50
Penjerapan dengan Bleaching Earth 2% b/v ... 52
Penentuan Konsentrasi Larutan Minyak Sawit Kasar ... 54
Penentuan Konsentrasi Penjerap ... 55
Perolehan Kembali Karotenoid ... 56
Perolehan Kembali Karotenoid yang Terjerap pada ... Arang Aktif 10% b/v ... 57
Perolehan Kembali Karotenoid yang Terjerap pada ... Arang Aktif 20% b/v ... 59
xiii
SIMPULAN DAN SARAN ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi Asam Lemak Minyak Awit Kasar ... 6
2 Standar Kualitas Minyak Sawit Kasar Menurut SNI 01-2901-1995.... 7
3 Komponen Minor dari Minyak Sawit Kasar ... 7
4 Beberapa Jenis Karotenoid dengan Aktivitas pro-Vitamin A ... 10
5 Nilai Rf Berbagai Jenis Karotenoid pada Kromatografi Lapis Tipis ... 11
6 Residu Pelarut Organik yang Diijinkan dalam Makanan ... 17
7 Penggunaan Arang Aktif ... 23
8 Karakteristik Minyak Sawit Kasar (CPO) ... 46
9 Karakteristik Penjerap Arang Aktif ... 47
10 Karakteristik Penjerap Bleaching Earth ... 47
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Penampang Melintang Buah Kelapa Sawit ... 5
2 Struktur Molekul Senyawa Golongan Karotenoid ... 8
3 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Solut pada Larutan dan yang .... Teradsorbsi ... 14
4 Perubahan Entalpi dan Entropi yang terjadi dalam Reaksi Pelarutan . 20 5 Struktur Tanah Liat Montmorilllonite yang telah Diaktifkan ... 24
6 Diagram Alir Proses Pembuatan Bleaching Earth ... 26
7 Distribusi Pelarut A dan B Sebagai Mono-Layer pada Permukaan .... Bahan Pemucat ... 27
8 Distribusi Pelarut A dan B sebagai Bi-Layer pada Permukaan ... Bahan Pemucat ... 28
9. Skema Interaksi Sorpsi (Penempelan)... 28
10 Skema Interaksi Pergantian ... 29
11 Skema Adsorbsi Pelarut pada Dua Lapisan (Bi-Layer) ... 30
12 Skema Perbedaan Jenis Interaksi yang dapat terjadi pada Permukaan Bahan Pemucat yang Ditutupi oleh Suatu Lapisan Pelarut Bi-Layer... 30
13 Diagram Alir Proses Isolasi Karotenoid dari CPO dengan Metode .... Adsorbsi ... 32
14 Diagram Alir Penjerapan Karotenoid ... 34
15 Penjerap Arang Aktif sebelum Proses Penjerapan ... 35
16 Penjerap Bleaching Earth sebelum Proses Penjerapan ... 35
17 Diagram Alir Isolasi Karotenoid dari Penjerap ... 39
18 Skema Analilis Konsentrasi Karotenoid ... 41
19 Jumlah Karotenoid yang Terjerap Pada Penjerap Arang Aktif 10% b/v Dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO... 50
20 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 20% ... b/v dalam berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 51
xvi
22 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 10% ... dan 20% (b/v) serta Penjerap Bleaching Earth 2% b/v dalam ... Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 53 23 Persentase Penjerapan Karotenoid Menggunakan Penjerap ...
Bleaching Earth 2% b/v pada Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 54 24 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Berbagai Konsentrasi ...
Bleaching Earth pada Konsentrasi CPO dalam n-Heksana ... 50% b/v ... 56 25 Jumlah Karotenoid yang Terekstrak dari Penjerap Arang Aktif ...
10% b/V, Menggunakan Eluen Campuran n-Heksana dan Aseton ... dengan Berbagai Konsentrasi ... 58 26 Aktivitas Pelarut / Eluen dengan Nilai Log P pada Perolehan ...
Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 10% b/v ... 58 27 Jumlah Karotenoid yang Terekstrak dari Penjerap Arang Aktif ...
20% b/v, Menggunakan Eluen Campuran n-Heksana dan Aseton ... dengan Berbagai Konsentrasi ... 60 28 Aktivitas Pelarut / Eluen dengan Nilai Log P pada Perolehan ...
Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 20% b/v ... 61 29 Jumlah karotenoid yang terekstrak dari penjerap bleaching earth ... 4% b/v, menggunakan eluen campuran n-heksana dan aseton ...
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Nilai log P untuk Beberapa Macam Pelarut Organik ... 74 2 Hasil Analisis Komposisi Asam Lemak ... Minyak Sawit Kasar (CPO)... 76 Kromatogram GC Minyak Sawit Kasar Ulangan 1 ... 77 Kromatogram GC Minyak Sawit Kasar Ulangan 2 ... 78 3 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif ...
10% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 79 4 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif ...
20% b/v dalam berbagai konsentrasi larutan CPO ... 79 5 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap bleaching earth
2% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 80 6 Jumlah Karotenoid Sebelum Penjerapan Menggunakan Penjerap
Arang Aktif dan Bleaching Earth dalam Berbagai Konsentrasi .. Larutan CPO ... 80 7 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Proses Penjerapan ...
Menggunakan Penjerap Arang Aktif dan bleaching earth dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 80 8 Jumlah Karotenoid yang Terjerap Menggunakan Penjerap ...
Bleaching Earth (BE) Dalam Berbagai Konsentrasi pada ... Larutan CPO dalam n-Heksana 50% b/v ... 81 9 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang ..
aktif 10 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ... dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan ... 81 10 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang ..
Aktif 20 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ... dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan ... 82 11 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Bleaching Earth 4 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ...
Kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) merupakan salah satu komoditas nonmigas yang telah ditetapkan sebagai salah satu komoditi yang dapat dikembangkan menjadi produk lain untuk ekspor. Menurut Oil World (2002), industri kelapa sawit nasional merupakan salah satu sektor pembangunan unggulan. Sampai saat ini pengembangan industri minyak sawit mempunyai pasar yang cukup besar dan masih didominasi oleh produk
minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil).Produksi minyak sawit Indonesia
terus meningkat dengan laju sekitar 6% pertahun. Menurut IPOC (2005) dengan luas total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5.5 juta hektar mampu memproduksi CPO sebesar 16 juta ton sepanjang tahun 2005. Jumlah tersebut merupakan terbesar kedua di dunia setelah Malaysia dan pada tahun 2010 diproyeksikan akan menjadi yang terbesar didunia.
Penguatan dan peningkatan daya saing industri kelapa sawit di Indonesia perlu dukungan penelitian pengembangan teknologi hilir untuk memperoleh produk-produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Minyak sawit kasar (CPO) dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai produk turunan, salah satunya dengan mengambil komponen mikronutrien karotenoid dalam minyak sawit kasar menjadi produk konsentrat karotenoid. Produk ini dibutuhkan baik dalam industri pangan, farmasi, maupun industri kosmetik (May, 1994).
Komponen minor dari minyak sawit kasar mengandung 500-700 ppm
karotenoid, lebih dari 80% dalam bentuk α-, β-, -karoten dengan β-karoten
sebagai komponen utamanya (Goh et al., 1985; Choo. 1995). β-karoten
sebagai salah satu komponen minor dari minyak sawit kasar, merupakan prekursor vitamin A dan berfungsi sebagai pro-vitamin A (Olson 1989;
Hudson 1990). β-karoten memiliki 100% aktifitas vitamin A, sedangkan α-
dan -karoten memiliki 50-54% aktifitas vitamin A. Senyawa karotenoida minyak sawit memiliki aktivitas pro-vitamin A 10 kali lebih besar dibandingkan dengan wortel dan 300 kali lebih besar dari tomat (Tan, 1987;
biologis positif yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi
kebutaan karena xerofthalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker, penyakit
jantung koroner, mencegah proses penuaan yang terlalu dini (Ziegler, 1989;
May,1994; Umegaki et al., 1994; Poppel dan Goldbohm, 1995; Sahidin et al.,
2000), meningkatkan immunitas tubuh dan juga dapat berperan sebagai antioksidan yang memusnahkan radikal bebas yang selanjutnya mengurangi peluang terjadinya penyakit degeneratif (Iwashaki dan Murokoshi, 1992; Umegaki dan Ikegami, 1994; Sikorski, 1997; Miyawaki, 1998)
Adanya warna merah kuning pada minyak sawit umumnya tidak disukai oleh konsumen, sehingga para produsen minyak makan selalu berusaha menghilangkan warna tersebut dengan cara pemucatan. Pemucatan minyak sawit dilakukan dengan menggunakan bahan penjerap, kemudian diikuti dengan pemanasan pada tekanan hampa udara. Pada proses pemucatan minyak sawit dengan menggunakan penjerap, karotenoid akan teradsorbsi oleh bahan pemucat tersebut. Karotenoid yang diadsorbsi bahan pemucat umumnya oleh pabrik tidak dimanfaatkan. Dengan pertimbangan nilai nutrisi dan
fungsional β-karoten yang potensial terkandung dalam minyak sawit kasar,
maka perlu dipelajari beberapa upaya untuk memperoleh karotenoid dari minyak sawit kasar.
Dengan disadarinya manfaat dari senyawa karotenoid dan besarnya kandungan senyawa karotenoid di dalam minyak sawit kasar, isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar mendapat perhatian yang besar dari para peneliti. Berbagai cara telah dikembangkan untuk memperoleh senyawa karotenoid dari minyak sawit kasar. Beberapa metode yang telah dilakukan untuk memperoleh karotenoid dari minyak sawit kasar adalah dengan menggunakan metode penyabunan, ekstraksi pelarut, adsorbsi, urea, destilasi
molekuler, iodine, membran dan distilasi molekuler (Choo et al., 1989).
penjerap campuran abu sekam padi/silika gel pada nisbah (30:10 b/b) dengan metode kromatografi kolom adsorbsi, perolehan kembali karotenoid pada fraksi berwarna pertama adalah sebesar 49% dengan rendemen konsentrat fraksi berwarna pertama terhadap minyak sawit kasar sebesar 3.2%. Widayanto (2007) melaporkan pemekatan karotenoid pada metil ester kasar (crude methyl ester) dengan menggunakan kromatografi kolom adsorbsi menggunakan penjerap campuran abu sekam padi/silika gel pada nisbah (30:10 b/b), rekoveri karotenoid dari total karotenoid awal CPO adalah
70.25%. Selanjutnya Baharin et al. (1998) dan Latip et al. (2000)
menggunakan penjerap sintetik diaion HP-20, alumina dan silika gel. Adsorbsi silika gel lebih rendah 50% dari pada penjerap polimer sintetik
dengan perolehan kembali sekitar 40-65 %. Adsorbsi dengan bleaching agent
telah berhasil dilakukan oleh Pitoyo (1988) dengan rendemen sebesar 4.06%. Pemucatan minyak sawit dan lemak lainnya yang telah dikenal antara lain pemucatan dengan adsorbsi menggunakan bahan pemucat seperti tanah liat
(clay) jenis monmorilonit yang telah diasamkan dan karbon aktif.
Pada penelitian ini dilakukan kajian isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar dengan menggunakan metode adsorbsi menggunakan bahan
pemucat arang aktif dan bleaching earth sebagai penjerap, selanjutnya
dilakukan kajian untuk melepaskan karotenoid yang telah terjerap.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak
sawit kasar.
2. Menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Memberikan informasi kepada para peneliti dan industri berbasis kelapa
sawit, bahwa minyak sawit kasar dapat dijadikan sebagai sumber karotenoid atau pro-vitamin A, yang dapat memberikan nilai tambah dari segi finansial, sekaligus memberikan sumbangan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
2. Sebagai pengembangan ilmu dan teknologi dan dapat berguna dalam
peningkatan diversifikasi hasil perkebunan kelapa sawit
Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Penggunaan arang aktif dan bleaching earth dapat menjerap karotenoid
dari minyak sawit kasar dengan kandungan karotenoid yang tinggi.
2. Penggunaan pelarut campuran n-heksana dan aseton dapat menghasilkan
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak SawitProduksi minyak sawit Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 6% pertahun. Indonesia mampu memproduksi minyak sawit kasar
(CPO/Crude Palm Oil) sebesar 16 juta ton sepanjang tahun 2005 dengan luas
total perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5.5 juta hektar (IPOC, 2005).
Hasil tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) yang dipanen
ialah tandan kelapa sawit. Tandan telah masak apabila jumlah buah yang membrondol telah mencapai dua brondolan per kg tandan (Naibaho, 1983). Sebaiknya panen dilakukan pada buah berumur 15-17 minggu, karena selain sudah menurunnya kadar lemak, juga terjadi peningkatan asam lemak bebas, yang terbentuk dari penguraian lemak oleh enzim lipase, yang mulai aktif pada mesokarp. Dari kelapa sawit dapat dihasilkan dua jenis minyak yang sangat berlainan, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit
disebut minyak sawit (CPO/Crude Palm Oil) dan minyak yang berasal dari inti
kelapa sawit yang dinamakan minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil)
(Ketaren, 1986). Buah sawit umumnya berukuran panjang 2 – 5 cm dan berat antara 3 – 30 gram, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi, 1992). Warna daging buah putih kuning ketika masih muda dan berwarna jingga setelah buah matang (Ketaren 2005). Penampang melintang buah kelapa sawit disajikan pada Gambar 1.
Minyak sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit masih
disebut minyak sawit kasar (CPO /Crude Palm Oil). Minyak sawit, selain
mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak (3-5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida,
glikolipida dan berbagai komponen trace element (Muchtadi, 1992). Minyak
sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dengan persentase yang hampir sama. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar disajikan pada Tabel 1. Asam palmitat dan asam oleat merupakan asam lemak yang dominan terkandung dalam minyak sawit, sedangkan kandungan asam lemak linoleat dan asam stearatnya sedikit (Bailey’s 1996; Siew 2000). Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (meelting point) yang tinggi yaitu 640C. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap.
Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 140C
(Ketaren, 1986)
Tabel 1 Komposisi asam lemak minyak sawit kasara
Asam Lemak Kadar (%)
Minyak sawit bersifat setengah padat pada suhu kamar, dengan titik
cair antara 40-700C, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen
1992). Standar kualitas minyak sawit kasar menurut Standar Nasional Indonesia (1995) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar kualitas minyak sawit kasar menurut SNI 01-2901
No. Karakteristik Satuan Nilai
1. Asam lemak bebas (sebagai palmitat) % (b/b) Maks 5,0
2. Kadar air % (b/b) Maks 2,0
3. Kadar kotoran % (b/b) Maks 0,02
Komponen non trigliserida dalam minyak sawit kasar, menurut Choo
et al. (1989) memberikan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, serta mempercepat proses ketengikan dan kerusakan minyak. Kandungan non trigliserida yang terlalu tinggi dapat mempersingkat umur simpan minyak. Kandungan komponen minor dari minyak sawit kasar disajikan pada Tabel 3. Bau dan flavor pada minyak terdapat secara alami. Bau
khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh senyawa β-ionone. Bau dapat
terjadi karena adanya asam-asam lemak rantai pendek akibat minyak yang teroksidasi (Ketaren, 1986)
Tabel 3 Komponen minor dari minyak sawit kasar
Komponen minor Kadar (ppm)
karotenoid a 500-700
tokoferol an tokotrienol a 600-1000
sterol a 326-527
fosfolipid b 51-130
triterpen alkohol c 40-80
metil sterol c 40-80
squalene d 200-500
alkohol alifatik a 100-200
hidrokarbon alifatik d 50
a: Goh et al. (1985), b: Goh et al (1982), Goh et al. (1984),
Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen alami berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak, mempunyai ciri tertentu, yang dapat menunjukkan sifat-sifatnya yang mendasar, yang dapat ditemui pada tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Menurut Wirahadikusumah (1985) secara kimiawi senyawa karotenoid dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu karoten dan xantofil. Karoten adalah senyawa hidrokarbon yang tersusun oleh unsur-unsur C dan H, sedangkan xantofil adalah senyawa turunan dari karoten yang mengandung oksigen di dalam struktur molekulnya, sehingga unsur penyusun xantofil adalah C, H dan
O. Contoh senyawa yang termasuk karoten misalnya α, β, -karoten dan yang
termasuk xantofil adalah kriptoxantin, kapxantin dan zeaxantin.
Semua jenis karotenoid adalah senyawa hidrofobik, lipofilik dan sebenarnya tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut lemak. Pada hewan dan tumbuhan, karotenoid berbentuk seperti kristal atau amorphous padat dan larut dalam lemak (Delia 1997). Beberapa jenis senyawa golongan karotenoid disajikan pada Gambar 2.
Ikatan rangkap terkonjugasi dalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus kromofor yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid. Makin banyak ikatan rangkap ter-konjugasi, semakin pekat warna karotenoid tersebut, dan ini berarti semakin mengarah ke warna merah
(Wirahadikusumah 1985; Hassan 1987; Choo et al. 1989).
Di antara 600 atau lebih karotenoid yang ada di alam, hanya 50 di antaranya yang mempunyai aktivitas biologi sebagai pro-vitamin A, dan 60% vitamin A diperkirakan berasal dari pro-vitamin A (Simpson 1983). Semua karotenoid adalah senyawa lipofilik, tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan pelarut organik, seperti n-heksana dan benzena. Disamping itu senyawa karotenoid juga mudah larut dalam hidrokarbon terklorinasi, seperti khloroform dan metilen klrorida. Karotenoid mudah mengalami isomerisasi oleh panas, asam dan cahaya. Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430 – 480 nm (Fennema, 1996).
Karotenoid mudah teroksidasi karena banyaknya ikatan rangkap terkonyugasi. Adanya ikatan rangkap terkonyugasi menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi, terutama dalam bentuk padat. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan rangkap. Kepekaannya terhadap oksidasi membuat karotenoid digunakan sebagai antioksidan yang kekuatannya menyamai tokoferol dan askorbat (Fennema, 1996). Karotenoid belum mengalami
kerusakan oleh pemanasan pada suhu 600C, dan reaksi oksidasi karotenoid
berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat peroksidan (Muchtadi, 1992)
Sebahagian dari karotenoid yang mempunyai aktivitas sebagai
pro-vitamin A, disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa β
-karoten merupakan komponen -karotenoid yang mempunyai aktivitas pro-vitamin A terbesar (Linder 1991). Hal ini disebabkan oleh karena pada struktur
Tabel 4 Beberapa jenis karotenoid dengan aktivitas pro-vitamin Aa
Jenis karotenoid Aktivitas pro-vitamin A (%)
3,4 dehidro-β-karoten
100
β-karoten sebagai salah satu komponen bioaktif yang terkandung
dalam minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi kebutaan, mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. (Akbar, 1994; Kholmeier dan Hasting, 1995; Winarno 1997; Muhilal 1998).
Mengkonsumsi β-karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi
vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi
β-karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia mempunyai
kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinal), sehingga karoten ini disebut pro-vitamin A (Akbar, 1984, Winarno 1991).
Sekitar 25 % dari β-karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam
bentuk utuh, sedang 75 % sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan
bantuan enzim 15, 15’ β-karotenoid oksigenase (Fennema, 1996).
Analisis Karotenoid
Analisis komponen karotenoid dapat dilakukan dengan menggunakan
alat spektrofotometer UV-Vis, dan HPLC (High Performance Liquid
Cromatography) berdasarkan atas bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Identifikasi karotenoid dengan metode spektrofotometeri dapat dilakukan berdasarkan pada bentuk spektrum absorpsinya. Bentuk spektrum yang sama
menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976; Choo et al.1989; Muchtadi,
maksimum pada panjang gelombang tertentu dan setiap spektrum serapan untuk setiap jenis karotenoid berbeda antara satu pelarut dengan pelarut
lainnya, kalaupun ada yang sama jumlahnya relatif sedikit. Nilai Rf beberapa
jenis karotenoid dalam beberapa jenis pelarut disajikan pada Tabel 5. (Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992).
Tabel 5 Nilai Rf berbagai jenis karotenoid pada kromatografi lapis tipisa)
Karotenoid Nilai Rf x 100
A B C D E F G H
squalen 11
lycopercene 30
phytophloene 21 100
phytophloene 10 90
alfa karoten 84 70 47
beta karoten 80 66 26 88
gamma karoten 80 81 91 74 49 11 84
beta zea karoten 75
teta karoten 0 62
alfa zea karoten 55 20 0
gamma zea karoten 58 41 11 0 45
neurosporene 42
lycopene 10 13 1 0
a)
(Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992)
Keterangan / sistem :
A. Silika gel G (deactivated), ligh petroleum
B. MgO-Silika gel. (1:1, activated), (17% v/v), benzene in light petroleum
C. MgO-Silika gel. (1:1, deactivated), (10% v/v), benzene in light
petroleum
D. MgO-Silika gel. (1:1, activated), benzene
E. MgO; benzene-light petroleum (90:10 v/v)
F. MgO; benzene-light petroleum (50:50 v/v)
G. MgO; benzene-light petroleum (10:90 v/v)
Identifikasi karotenoid dengan teknik HPLC dengan kepekaannya yang tinggi dapat langsung digunakan dalam proses pemisahan serta penentuan
konsentrasi (Bushway, 1986; Kachik dan Beecher, 1987). Khachik et al.,
(1986), menggunakan teknik HPLC untuk memisahkan, mengindentifikasi dan menentukan konsentrasi karotenoid dalam ekstrak beberapa sayuran hijau. Sedangkan Fisher dan Kochis (1987) menggunakan teknik HPLC untuk memisahkan karotenoid pada cabe.
Jumlah karotenoid yang terdapat dalam suatu bahan, baik dalam tanaman ataupun dalam mikroba dapat ditetapkan secara spektrofotometri dan teknik HPLC. Baik karotenoid maupun komponen karotenoid, memiliki panjang gelombang maksimum dalam pelarut tertentu. Sifat penyerapan ini dijadikan dasar dalam menentukan jumlah karotenoid atau identifikasi kuantitatif secara spektrofotometri. Pelarut yang digunakan menurut Parker, 1992 adalah n-heksana. Dalam n-heksana karotenoid akan menyerap sinar secara maksimum pada panjang gelombang 450 nm. Pada panjang gelombang
ini karotenoid mempunyai nilai koefisien Ekstinksi sebesar 2600 (E % 1 cm =
2600)
Penentuan konsentrasi komponen karotenoid dan karotenoidnya sendiri menggunakan larutan standar biasanya sulit dilakukan, untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan teknik pendekatan menggunakan nilai koefisien Ekstinksi. Jika Y ml pelarut digunakan untuk memberikan serapan sebesar A pada panjang gelombang 450 nm, maka berat karotenoid dalam larutan dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
Keterangan :
X = berat karotenoid, dalam gram
A.Y = nilai serapan pada y ml pelarut
E % 1 cm = nilai koefisien Ekstinksi karotenoid = 2600 A.Y
X =
Metode Adsorbsi
Adsorpsi adalah proses untuk memisahkan suatu komponen berbentuk gas atau larutan menggunakan zat padat (penjerap). Pada proses adsorbsi terjadi perpindahan massa adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan penjerap. Penjerap adalah padatan atau cairan yang mengadsorbsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorbsi. Jadi proses adsorbsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren, 1986). Adsorbsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan sisi-sisi aktif di permukaan penjerap. Pada proses adsorbsi terjadi perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua fase.
Menurut Pari (1995) metode adsorbsi ada dua macam, yaitu adsorbsi
secara fisik (physiosorption) dan adsorbsi secara kimia (chemisorption).
Adsorbsi fisik terjadi sebagai akibat dari perbedaan energi atau daya tarik menarik elektrik (listrik) sehingga molekul–molekul penjerap terikat secara fisik pada molekul adsorbat. Permukaan partikel padat biasanya lebih aktif dari pada bagian dalamnya, sehingga umum dikatakan mempunyai aktivitas permukaan (surface activity).
Bila zat padat tersebut dimasukkan dalam suatu larutan, permukaan partikel zat padat tadi mempunyai daya tarik baik pada zat-zat yang terlarut maupun pada zat pelarutnya. Daya tarik atau kekuatan ikatan senyawa organik dengan suatu penjerap tergantung pada kekuatan tipe interaksi yaitu interaksi ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol terinduksi dan ikatan van der walls (Slejko 1985).
solut dapat menentukan juga mudah tidaknya solut tersebut teradsorbsi pada permukan penjerap bila dibandingkan dengan solut lain. Perbedaan daya teradsorbsi inilah yang akan menentukan mudah tidaknya campuran solut untuk dipisahkan dengan kromatografi adsorbsi. Oleh karena itu kromatografi adsorbsi merupakan cara yang cocok untuk memisahkan campuran solut yang serupa, tetapi mempunyai perbedaan bentuk stereometrik (Adnan 1997).
Bila larutan mengalir melalui permukaan yang aktif, akan terjadi proses adsorbsi dan desorpsi. Hubungan antara konsentrasi zat yang ada dalam larutan (Cm) dan yang teradsorbsi (Cs) terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kurva hubungan antara konsentrasi solut pada larutan dan yang teradsorbsi, (A) kurva konveks, (B) kurva garis lurus, (C) kurva konkaf. Cs= konsentrasi zat yang teradsorbsi, Cm= konsentrasi zat dalam larutan (Adnan 1997).
Kurva yang menggambarkan hubungan antara Cm dan Cs dinamakan isoterm adsorbsi. Isoterm yang berbentuk konveks seperti yang terlihat dalam Gambar 3A, dapat terjadi karena ada variasi aktivitas dari permukaan yang ada, yang mengakibatkan dihasilkannya hubungan yang tidak linier. Hubungan
demikian dimanakan Freundlich isotherm. Kurva isoterm yang berbentuk
garis lurus (Gambar 3B) merupakan keadaan yang dikehendaki, dimana permukaan tidak akan menjadi jenuh dengan zat yang diadsorbsi. Slope dari kurva isoterm yang merupakan garis lurus akan merupakan koefisien distribusi dan tidak tergantung dari besarnya konsentrasi. Kurva isoterm yang berbentuk konkaf (Gambar 3C) dihasilkan dari reaksi yang terjadi sedemikian sehingga mempercepat proses adsorbsi secara keseluruhannya.
Proses adsorbsi terdiri dari dua tipe adsorbsi, secara kimia dan fisika. Adsorbsi kimia adalah tipe adsorbsi dengan cara suatu molekul menempel ke permukaan melalui pembentukan suatu ikatan kima. Ciri-ciri dari adsorbsi
A B C
Cm
Cs Cs Cs
kimia adalah terjadi pada temperatur yang tinggi, jenis interaksinya kuat, berikatan kovalen antara permukaan penjerap dengan adsorbat, entalpinya
tinggi (∆H 400 KJ/mol), adsorbsi terjadi hanya pada suatu lapisan atas
(monolayer) dan energi aktivasinya tinggi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption).
Adsorbsi fisika adalah tipe adsorbsi dengan cara adsorbat menempel pada permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah. Ciri-ciri dari adsorbsi fisika adalah terjadi pada temperatur yang rendah, selalu di bawah temperatur kritis dari adsorbat, jenis interaksi adalah interaksi intermolekuler
(gaya van der Waals), entalpinya rendah (∆H <20 KJ/mol), adsorbsi dapat
terjadi dalam banyak lapisan (multilayers) dan energi aktivasinya rendah.
http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption).
Adsorbsi fisika terutama disebabkan oleh gaya van der Waals dan gaya elektrostatik antara molekul yang teradsorbsi dengan atom yang menyusun permukaan penjerap. Gaya van der Waals tersebut timbul sebagai akibat interaksi dipol-dipol, dimana pada jarak antar molekul tertentu terjadi kesetimbangan antara gaya tolak dan gaya tarik. Dalam fase cair dan fase padat terdapat gaya tarik van der Waals yang relatif lebih besar dibandingkan dengan gaya tarik dalam fase gas. Dalam fase cair, gaya van der Waals dapat mengelompokkan atom atau molekul dalam susunan yang teratur di dalam kristal molekulnya. Gaya van der Waals terdiri dari: interaksi dipol-dipol, interaksi dipol permanen-dipol induksi, interaksi dispersi (dipol sementara-dipol induksi) (Suzuki 1990).
Metode adsorbsi merupakan metode yang banyak diteliti, terutama
untuk mendapatkan karoten dari bahan pemucat (bleaching agent). Prinsip
dari metode ini adalah penjerapan (adsorbsi) komponen minor oleh penjerap
dan menarik kembali (desorpsi) komponen tersebut menggunakan pelarut.
Metode ini telah dipublikasikan sejak tahun 1976, dimana karotenoid dapat diekstraksi dari bahan penjerap yang digunakan dalam proses pemucatan
minyak sawit (Ooi et al., 1994; Choo, 1996).
penyabunan. Dengan cara ini karoten yang didapatkan mencapai 40% dari konsentrasi awal. Pemisahan karotenoid dari minyak sawit kasar dengan menggunakan penjerap resin sintetis (Diaion HP-20) telah dilaporkan oleh
Baharin et al. (1998). Dengan cara ini didapatkan tingkat perolehan kembali
(recovery) karotenoid yang beragam dari 40 – 65%, tergantung pada kondisi kolom kromatografi. Selanjutnya Desai dan Dubash (1994) juga melaporkan, dengan menggunakan penjerap campuran bentonit dan alumina (4 : 1) dalam bentuk gel untuk menjerap karoten dari CPO, didapatkan tingkat perolehan
kembali sebesar 79%; Lessin et al. (1997) menggunakan polimer sintetis
untuk menjerap karoten dari beberapa jenis buah segar dan yang telah
diproses; dan Sahidin et al. (2001) menggunakan penjerap campuran
magnesium oksida dan aluminium oksida (1 : 1) untuk memurnikan β-karoten
yang diekstraksi dari CPO dan didapatkan tingkat perolehan kembali sebesar 82,41%.
Konsentrat karotenoid telah berhasil diproduksi dari limbah serat sawit pada skala laboratorium oleh Masni (2004) dengan menggunakan metode ekstraksi pelarut, diikuti dengan pemisahan ekstak karotenoid menggunakan kolom kromatografi adsorbsi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Masni (2004) disimpulkan bahwa bahan pengekstrak (pelarut) untuk mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit adalah campuran n-heksana-aseton (10 : 1 v/v), karena dapat menghasilkan konsentrasi karotenoid yang lebih tinggi (1283 µg/g ekstrak kering) dibandingkan dengan n-heksana (629 µg/g ekstrak kering) dan campuran n-heksana-etanol (4 : 3 v/v) (18 µg/g ekstrak kering). Hasanah (2006) telah berhasil memproduksi konsentrat karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode kromatografi kolom adsorbsi menggunakan penjerap campuran abu sekam padi dengan silika gel pada nisbah (30:10 b/b) dengan total perolehan kembali 49% dengan rendemen 3.2 %.
Pelarutan
dari pada trigliserida, sebaiknya menggunakan pelarut yang mempunyai kepolaran yang hampir sama dengan karotenoid. Pelarut yang cocok untuk mengekstrak karotenoid adalah yang bersifat semi polar seperti isopropanol, etanol dan asetonitril.
Menurut Hamilton (1980) n-heksana merupakan pelarut yang umum
digunakan dalam metode ekstraksi pelarut, selanjutnya menurut Proctor et al.
(1994) pelarut n-heksana efektif digunakan sebagai bahan pelarut atau pengekstrak minyak. Pelarut yang digunakan mampu melarutkan karotenoid secara spontan, yaitu tidak menggunakan suhu yang tinggi. Karena pada suhu yang tinggi karotenoid sangat mudah terdegradasi. Reaksi pelarutan secara spontan dapat terjadi jika interaksi solut dan pelarut sama kuat (solut dan pelarut keduanya polar atau keduanya non polar).
Menurut Gross (1991) belum terdapat metode standar untuk ekstraksi karotenoid, namun untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang optimal sebaiknya digunakan bahan segar, tidak rusak dan contoh yang digunakan harus terwakili. Ekstraksi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat oksidasi. Dianjurkan pula agar sebelum diekstrak, contoh bahan yang digunakan dihaluskan atau dipotong kecil-kecil agar ekstraksi berjalan sempurna. Pelarut yang cocok untuk karotenoid adalah aseton, metanol, etanol, isopropil alkohol, n-heksana (Delia & Kimura 2004).
Di dalam ekstraksi pelarut, terdapat resiko adanya residu pelarut. Food and Drug Administration (FDA 1987) memberikan batasan jumlah sisa pelarut
yang masih diperkenankan dalam bahan makanan (Tabel 6).
Tabel 6 Residu pelarut organik yang diijinkan dalam makanana
a
Food and Drug Administration (1987).
Dalam memilih jenis pelarut organik, beberapa faktor perlu diperhatikan. Faktor-faktor itu antara lain adalah kelarutan substrat dan produk dalam pelarut, hidrofobisitas pelarut, reaktivitas pelarut, densitas, viskositas, tekanan permukaan, toksisitas, mudah/tidaknya terbakar, masalah pembuangannnya ke lingkungan, serta masalah biaya (Dordick, 1989; Hariyadi, 1996). Dari berbagai faktor tersebut yang mendapat perhatian sangat besar adalah masalah hidrofobisitas pelarut. Hidrofobisitas pelarut organik sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelarut tersebut dan hidrofobisitas suatu pelarut dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan berbagai parameter. Beberapa parameter yang dapat digunakan adalah : parameter kelarutan
Hildebrand ( ), solvatochromism of dye (EŤ) konstanta dieletrika ( ), dipole
moment (µ) dan nilai logaritma koefisien partisi (log P) (Laane et al. 1987a; Hariyadi, 1995)
Nilai P (koefisien partisi) adalah koefisien partisi suatu pelarut pada sistem dua fase yang terdiri dari fase organik dan fase air (persamaan 1).
Selanjutnya nilai log P suatu campuran pelarut-pelarut dapat ditentukan
dengan memakai rumus empiris yang diajukan oleh Hilhorst et al., (1984),
proporsional dengan fraksi molar (X), sesuai dengan persamaan 2 berikut ini
Nilai log P juga telah diusulkan untuk digunakan sebagai alat untuk menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan sistem pelarut yang lain (Halling, 1990; Hariyadi, 1996). Nilai log P untuk beberapa pelarut disajikan pada Lampiran 1
[pelarut] organik pers (1) [pelarut] air
P=
Bahan Pemucat Arang Aktif
Arang aktif merupakan produk yang banyak digunakan di dalam negeri, hampir 70 % produk arang aktif digunakan untuk pemurnian dalam sektor industri gula, minyak kelapa, farmasi, dan kimia. Selain itu juga banyak digunakan untuk proses penjernihan air dan industri lain (Pari, 1995). Bahan baku yang dapat dibuat menjadi arang aktif adalah semua bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuh – tumbuhan, binatang ataupun barang tambang. Bahan–bahan tersebut adalah berbagai jenis kayu, sekam padi, tulang binatang, batubara, tempurung kelapa, kulit biji kopi, bagase dan lain–lain. Akhir–akhir ini arang aktif dibuat dari bahan baku polimer seperti poliakrilonitril, rayon dan resol fenol (Hoyashi at al., 1984)
Arang adalah suatu bahan padat yang berpori–pori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon. Sebagian dari pori– porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain.
Komponennya terdiri dari karbon terikat (fixed carbon), abu, air, nitrogen dan
sulfur (Djatmiko et al., 1985). Arang yang merupakan residu dari peruraian
bahan yang mengandung karbon, sebagian besar komponennya adalah karbon dan terjadi akibat peruraian panas. Proses pemanasan ini dapat dilakukan dengan jalan memanasi bahan langsung atau tidak langsung di dalam timbunan, kiln, retort dan tanur (Djatmiko et al., 1985).
Arang aktif konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain, serta rongga atau pori dibersihkan dari senyawa lain atau kotoran sehingga permukaan dan pusat aktif menjadi luas atau daya adsorbsi terhadap cairan dan gas akan meningkat (Sudrajat dan Soleh, 1994). Arang aktif (arang yang sudah diaktifkan), pori–porinya terbuka dan permukaannya bertambah
luas sekitar 300 sampai 2000 m2/g. Permukaan arang aktif yang semakin
meluas ini menyebabkan daya adsorbsinya terhadap gas atau cairan semakin tinggi.
atau bereaksi setelah digunakan. Arang aktif berbentuk amorf, yang terdiri dari unsur karbon. Menurut Ferry (2002) kualitas arang ditentukan oleh kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, kadar karbon terikat, ukuran partikel dan kapasitas adsorbsi. Sedangkan mutu arang aktif dipengaruhi oleh bahan baku, bahan pengaktif dan proses pengolahan. Syarat mutu arang aktif di setiap negara berbeda–beda. Syarat mutu arang aktif di Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 06-3730-1995). Arang aktif dapat digunakan dalam industri pangan dan industri bukan pangan, sebagai bahan pemucat,
penjerap gas, penjerap logam dan sebagainya. Menurut Azah et al., (1983)
daya adsorbsi arang aktif dapat terjadi karena (1) adanya pori – pori mikro yang sangat banyak yang dapat menimbulkan gejala kapiler yang menyebabkan timbulnya daya serap (2) permukaan yang luas dari arang aktif (3) pada kondisi bervariasi hanya sebagian permukaan yang mempunyai daya serap, hal ini karena permukaan arang aktif bersifat heterogen, penyerapannya hanya terjadi pada permukaan yang aktif saja.
Faktor – faktor yang mempengaruhi daya serap arang aktif antara lain adalah : (1) sifat fisikokimia penjerap seperti ukuran pori, kehalusan dan komposisi kimia permukaan arang aktif (2) sifat fisikokimia adsorbat seperti ukuran dan polaritas molekul (3) sifat fase cair seperti pH dan suhu (4) lamanya proses adsorbsi berlangsung
Pembuatan Arang Aktif
Arang adalah produk setengah jadi dalam pembuatan arang aktif. Kualitas arang aktif yang dihasilkan diantaranya dipengaruhi oleh kesempurnaan proses pengarangan. Proses pengarangan terdiri dari empat
tahap (Sudrajat dan Salim, 1994) : (1) pada temperatur 100–200oC terjadi
penguapan air dan sampai temperatur 270oC mulai terjadi penguapan selulosa,
destilat mengandung asam organik dan sedikit metanol. (2) pada temperatur
270-310 oC reaksi eksoterm berlangsung. Terjadi penguraian selulosa secara
intensif menjadi larutan pirolignat, gas kayu dan sedikit ter. Asam piroglinat merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan
310-500oC, terjadi penguraian lignin, dihasilkan lebih banyak ter sedangkan
larutan pirolignat menurun. Produk gas CO2 menurun sedangkan gas CO, CH4
dan H2 meningkat. (4) pada temperatur 500-1000oC merupakan tahap
pemurnian arang atau peningkatan kadar karbon.
Arang aktif dapat dibuat dari bermacam – macam bahan baku yang banyak mengandung karbon seperti kayu, serbuk gergaji, sekam padi, tongkol jagung, tempurung kelapa, tulang dan lain – lain. Bahan baku ini dapat
diarangkan pada suhu tinggi tetapi sebaiknya di bawah 700oC.
Menurut Prawirakusuma dan Utomo (1970), khusus untuk tempurung
kelapa, suhu pengarangan sebaiknya berkisar dari 300-500oC. Pengaktifan
arang dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, bahan baku dikarbonisasi. Cara kedua, bahan baku dikarbonisasi terlebih dahulu kemudian arang yang diperoleh direndam dalam larutan pengaktif lalu diaktifkan.
Guerrero et al. (1970) menyatakan bahwa pembuatan arang aktif dilakukan
dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan arang bersifat amorf dan porous pada suhu rendah. Tahap kedua adalah proses pengaktifan arang untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga dapat meningkatkan porositas arang. Menurut Cheremisinoff dan Ellerbusch dalam Pari (1995), pada kedua proses tersebut terjadi tahap-tahap sebagai berikut : (1) dehidrasi, yaitu proses menghilangkan air (2) karbonisasi, yaitu proses penguraian selulosa organik menjadi unsur karbon serta mengeluarkan senyawa–senyawa nonkarbon (3) aktivasi yaitu proses pembentukan dan penyusunan karbon sehingga pori–pori menjadi lebih besar.
Proses aktifasi arang aktif ada dua macam yaitu proses aktifasi gas dan proses aktivasi kimia (Kienle, 1986). Prinsip pada aktifasi gas yaitu pemberian
uap air atau gas CO2 kepada arang yang telah dipanaskan. Arang yang telah
dihaluskan di masukkan ke dalam tungku aktivasi dan dipanaskan pada suhu
800–1000oC. Selama pemanasan ke dalamnya dialirkan uap air atau gas CO2.
Menurut Ferry (2002) selama proses pengaktifan arang terjadi beberapa
proses : (1) pada suhu 20oC sampai 110oC, terjadi penyerapan panas oleh
bahan, sehingga komponen volatif dan air menguap (2) pada suhu 110oC
terjadi peruraian selulosa menghasilkan karbon monoksida, asam asetat dan
metanol (3) pada suhu 270oC sampai 290oC, terjadi peruraian eksotermal pada
bahan menghasilkan gas dan uap bersama–sama dengan ter (4) pada suhu
290oC sampai 400oC, peruraian bahan berlangsung terus dan dihasilkan gas
karbon monoksida, karbon dioksida, asam asetat, metanol dan ter (5) pada
suhu 400oC sampai 500oC, perubahan bahan menjadi arang secara teoritis
telah sempurna.
Kegunaan Arang Aktif
Menurut Setyaningsih (1995), ada dua macam jenis arang aktif yang dibedakan menurut fungsinya, yaitu : (1) arang penjerap gas yang digunakan untuk menjerap kotoran berupa gas. Pori – pori yang terdapat pada jenis ini adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak bisa melewatinya. Arang jenis ini dapat ditemui pada arang tempurung kelapa. (2) arang fasa cair yang digunakan untuk menjerap kotoran atau zat yang tidak diinginkan dari cairan atau larutan. Jenis pori–pori dari arang ini adalah makropori yang memungkinkan molekul berukuran besar untuk masuk. Arang jenis ini biasanya berasal dari batu bara dan selulosa.
Tabel 7 Penggunaan Arang Aktif a
No. Tujuan Pemakaian
Untuk Gas
1. Pemurnian gas Desulfurisasi, menghilangkan gas beracun,
bau busuk dan asap
2. Pengolahan LNG Desulfurisasi dan penyaringan berbagai
bahan mentah serta reaksi
3. Katalisator Katalisator reaksi / pengangkut vinil klorida
dan vinil asetat
Untuk Cairan
1. Industri obat dan makanan
Menyaring dan menghilangkan warna
2. Minuman ringan dan keras
Menghilangkan warna dan bau
3. Kimia perminyakan Penyulingan bahan mentah, zat pewarna
4. Pembersih air Menyaring/menghilangkan warna, bau zat
pencemar dalam air, sebagai alat pelindung dan penukar resin dalam alat penyulingan air
5. Pembersih air buangan Mengatur dan membersihkan air buangan
dari pencemar, warna, bau dan logam berat
6. Penambakan udang &
benur
Pemurnian, penghilangan bau dan warna
7. Pelarut yang digunakan
kembali
Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa metanol, etil asetat dan lain – lain
Lain – lain
1. Pengolahan pulp Pemurnian dan penghilangan bau
2. Pengolahan pupuk Pemurnian
3. Pengolahan emas Pemurnian
4. Penyaringan minyak makan dan glukosa
Menghilangkan warna, bau dan rasa tidak enak
a
PDII LIPI, 2005
Bahan Pemucat Bleaching Earth
Bleaching earth (bleaching clay) menurut Ketaren (1986) merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO2, Al2O3, air terikat
serta ion Ca2+ , magnesium oksida dan besi oksida. Daya pemucat bleaching
earth disebabkan oleh ion Al3+ pada permukaan partikel penjerap sehingga
dapat mengadsobsi zat warna dan tergantung perbandingan SiO2 dan Al2O3
dalam bleaching earth. Struktur tanah liat montmorillonite yang telah
Gambar 5. Struktur tanah liat montmorillonite yang telah diaktifkan
Komposisi tanah liat montmorillonite dipengaruhi oleh jenis mineralnya dan asalnya sehingga perbandingan antara Al dan Si tidak selalu sama akan tetapi berkisar 1 : 4. Bentuk kristal montmorillonite terdiri dari dua lempeng silika dan satu lempeng aluminium yang menyebabkan lebih mudah mengembang jika dibandingkan dengan tanah liat lainnya (Gambar 5). Tanah
liat montmorillonite (bleaching earth) memiliki kapasitas pertukaran ion,
maka senyawa yang dijerap cenderung menempel pada permukaan tanah liat. Proses adsorbsi 80% terjadi pada bidang yang rata dari kristal sedangkan selebihnya terjadi pada sisi yang bersegi. Ukuran partikel tanah liat akan mempengaruhi besarnya luas permukaan, semakin kecil ukuran partikel semakin bertambah luas permukaan partikel.
Bleaching earth pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris
dan Amerika. Dalam perdangan bleaching earth mempunyai nama dan
berasal dari Amerika dikenal dengan nama Floridin, sedangkan yang berasal
dari Rusia, Kanada dan Jepang dikenal dengan nama Gluchower kaolin
(Ketaren, 1986)
Bleaching earth memiliki permukaan yang luas dan mempunyai afinitas spesifik terhadap molekul bertipe pigmen terdiri dari tanah pemucat alami dan yang telah diaktivasi. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil perlakuan tanah pemucat alami dengan asam mineral, umumnya asam sulfat. Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsobsi tanah tersebut sedemikian sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah sama, tanah pemucat aktif yang dibutuhkan hanya setengah dari tanah pemucat netral. Tanah liat yang digunakan sebagai bahan pemucat ialah jenis montmorillonite. Tanah liat montmorillonite terdiri dari garam Al-silika. Garam tersebut kekurangan satu elektron sehingga mudah menerima kation, disebut dengan kapasitas tukar ion (Naibaho, 1983). Adsorbsi kimia berlangsung searah (reversible) sedangkan adsorbsi fisika berlangsung bolak balik (irreversible). Ikatan antara penjerap dengan adsorbat (bahan yang diadsorbsi) lebih kuat pada hasil adsorbsi kimia dibandingkan dengan adsorbsi fisika. Karotenoid memiliki sifat proton aseptor, sehingga cenderung menarik kation dari luar. Tanah liat yang telah diasamkan mengandung atom H yang terikat. Keadaan demikian akan memungkinkan adanya suatu ikatan hidrogen yang berbentuk ikatan vander
Waals. Diagram alir proses pembuatan bleaching earth disajikan pada
Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan bleaching earth
Bahan
Pembantu
AIR
REAKTOR
AKTIVASI
PROSES PENCUCIAN
PROSES PENGEPRESAN
FLASH DRYER II
GRAIN MILLING
PROSES PENGEPAKAN
PRODUK
BAHAN
BAKU CRUSHER
FLASH DRYER I
WASTE
LARUTAN PENETRAL
PROSES NETRALISASI
BAK PENGENDAPAN
ENDAPAN AIR
Steam Boiler
Interaksi Pelarut dan Solut dengan Bahan Pemucat
Pada sistem adsorbsi, pelarut dan solut berinteraksi dengan bahan pemucat (penjerap). Ketika permukaan penjerap kontak dengan pelarut, maka permukaan akan ditutupi dengan suatu lapisan molekul pelarut. Jika pelarut yang digunakan terdiri dari suatu campuran pelarut maka sebagian permukaan akan ditutupi dengan satu jenis pelarut dan bagian permukaan yang lain ditutupi oleh jenis pelarut yang lain. Interaksi solut dengan penjerap ditimbulkan oleh dua atau lebih interaksi, tergantung dari jenis molekul permukaan. Suatu molekul solut akan berinteraksi dengan jenis partikel permukaan dikontrol secara statistik oleh ukuran total daerah permukaan yang ditutupi oleh partikel pelarut.
Adsorbsi satu lapisan (Mono-layer). Satu pelarut dapat diadsorbsi dari campuran pelarut pada permukaan penjerap mengikuti adsorbsi isoterm
Langmuir (Gambar 7). http://www.chromatography-online.org/Retention/
Surface-Adsorption-/monolayer/rs41.html.
Gambar 7 Distribusi pelarut A dan B sebagai mono-layer pada
permukaan bahan pemucat
Adsorbsi dua lapisan (Bi-layer). Isoterm adsorbsi dari pelarut yang lebih polar seperti etil asetat, isopropanol dan tetrahidrofuran dari larutan yang kepolarannya terdispersi seperti n-heptana pada permukaan penjerap (Gambar
8). http://www.chromatography-online.org/Retention/Surface Adsorp
tion/bi-layer/rs45.html.
t B
Pelarut A
Pelarut B Permukaan
Gambar 8 Distribusi pelarut A dan B sebagai bi-layer pada permukaan bahan pemucat
Interaksi Solut dengan Permukaan Bahan Pemucat
Kepolaran yang Lemah. Ada dua jenis interaksi yang dapat terjadi antara solut dan permukaan penjerap. Jenis interaksi yang pertama molekul solut dapat berinteraksi dengan lapisan pelarut yang teradsorbsi dan terdapat di permukaannya dan akan membentuk lapisan diatas pelarut tanpa menggantikan molekul pelarut (Gambar 9). Jenis interaksi ini disebut dengan interaksi sorpsi (penempelan) dan terjadi ketika kekuatan molekul antara solut dan penjerap lemah dibandingkan dengan kekuatan antara molekul pelarut dan penjerap.
Gambar 9 Skema interaksi sorpsi (penempelan).
Jenis interaksi yang kedua dimana molekul solut menggantikan molekul pelarut dari permukaan dan berinteraksi langsung dengan penjerap yaitu grup silanol. Jenis interaksi ini disebut dengan interaksi pergantikan. Dan terjadi ketika kekuatan interaksi antara molekul solut dan permukaan penjerap lebih kuat dari pada antara molekul pelarut dan permukaan penjerap. Jenis interaksi ini terjadi jika solut kepolarannya kuat seperti alkohol yang akan berinteraksi lebih kuat dengan grup silanol polar dari pada lapisan kloroform yang kepolarannya lemah.
PELARUT A
SOLUT
PELARUT B
Pelarut B Permukaan bahan pemucat
Gambar 10 Skema interaksi pergantian.
Gambar 10 menggambarkan interaksi pergantian, dimana permukaan penjerap ditutupi oleh lapisan dari satu atau lebih molekul pelarut yang berbeda. Lapisan dapat menghalangi langsung interaksi solut dengan penjerap dalam adsorbsinya. Jika interaksi solut dengan penjerap kuat, maka molekul solut akan menggantikan molekul pelarut pada permukaan yang disertai pelepasan molekul pelarut. Pada suatu penjerap, jika solut lebih polar, ia mampu menggantikan salah satu atau kedua pelarut dari permukaan. Jika solut kepolarannya sedang, molekul solut hanya dapat menggantikan molekul pelarut yang lebih lemah tetapi interaksi langsung dengan pelarut yang lebih kuat dengan interaksi sorpsi (penempelan), sehingga interaksi keduanya dapat terjadi pada waktu yang sama yaitu ineteraksi sorpsi dan pergantian.
Kepolaran kuat. Larutan yang terdiri dari campuran pelarut polar dan dispersi (atau kepolaran yang lemah), sering menghasilkan dua permukaan (bi-layer) ketika digunakan pada bahan pemucat.(Gambar 11).
Pelarut B yang diganti
Pelarut A yang diganti
Pelarut B
Pelarut A
Solut
Gambar 11 Skema adsorbsi pelarut pada dua lapisan (bi-layer).
Gambar 12 Skema perbedaan jenis interaksi yang dapat terjadi pada permukaan bahan pemucat yang ditutupi oleh suatu lapisan pelarut bi-layer.
Pada Gambar 11 terlihat bahwa proses sorpsi dan pergantian dapat terjadi antara solut dan permukaan penjerap cukup besar. Ada tiga permukaan yang berbeda untuk terjadinya interaksi dengan sorpsi dan juga ada tiga permukaan yang berbeda untuk interaksi dengan pergantian. Semua alternatif mungkin terjadi, tetapi yang lebih sering adalah beberapa partikel solut lebih dominan dengan satu jenis interaksi. Beberapa tipe interaksi ditunjukkan pada Gambar 12. dengan lapisan pelarut (A)
(SORPSI) lapisan kedua pelarut (B)
(SORPSI)
Solut berinteraksi dengan lapisan pertama pelarut (B) dengan pergantian pelarut dari lapisan
Pelarut (B) yang digantikan
Pelarut (B) yang digantikan
Penjerap Solut berinteraksi dengan
permukaan penjerap dengan menggantikan pelarut (A)
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium pengembangan produk dan
proses pangan, Laboratorium mutu dan keamanan pangan Southeast Asian
Food and Agricultural and Technology (SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor, Laboratorium kimia pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selain itu penelitian juga dilakukan di Laboratorium pengujian mutu Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta. Penelitian berlangsung dari bulan Juni 2005 sampai dengan bulan September 2006
Bahan dan Alat Bahan
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak
sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil) yang diperoleh dari PT. Sinar Meadow
International Indonesia Pulo Gadung Jakarta. Minyak sawit kasar dikemas dalam wadah tidak tembus cahaya. Penjerap yang digunakan adalah arang
aktif dan bleaching earth (Grade: Fuller Earth Pagoda Super) yang diperoleh
dari PT. Madu Lingga Perkasa Gersik Sukabumi. Standar β-karoten yang
digunakan diperoleh dari SIGMA. Digunakan juga bahan-bahan kimia seperti n-heksana, aseton, metanol, asam asetat, asetonitril, tetrahidrofuran, natrium sulfat anhidrat, gas nitrogen dan bahan kimia lainnya.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup : neraca analitik,
penangas air, refrigerator shaker, spektrofotometer UV-Vis, High
Performance Liquid Cromatography (HPLC), Gas Cromatography (GC), penyaring vacum, lemari pendingin, inkubator, vortex, pipet mikro, tabung vial, kertas saring whatman, kertas saring minyak, botol semprot dan peralatan gelas lainnya.
Metode
menjadi penjerap karotenoid dari minyak sawit kasar (2) Tahap kedua menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar. (3) Tahap ketiga menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid dari bahan penjerap. Diagram alir pelaksanaan penelitian ini disajikan pada Gambar 13
Gambar 13 Diagram alir proses isolasi karotenoid dari CPO dengan metode adsorbsi
larutan CPO
pelarut
penjerapan, shaker 150 rpm 400C; 60 menit
penjerap
penjerap kaya karotenoid
pelarut pencucian
vortex, 60 detik
filtrat,
analisis 444 nm
penjerap dengan residu karotenoid
konsentrat karotenoid penyaringan vacum
Penelitian pendahuluan
Untuk menentukan jenis penjerap yang berpotensi menjadi penjerap karotenoid dari minyak sawit kasar, dilakukan terlebih dahulu studi literatur dengan melakukan koleksi dan review berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan adsorbsi karotenoid. Selanjutnya penjerap yang potensial ditentukan dengan memilih jenis penjerap karotenoid yang mempunyai sifat dapat menjerap karotenoid sebanyak mungkin. Dilakukan juga studi literatur mengenai metode pelepasan komponen karotenoid tersebut dari penjerap.
Penentuan penjerap yang effektif
Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan karotenoid dari minyak sawit
kasar dengan penjerapan langsung secara batch. Masing-masing penjerap yang
akan diseleksi dan telah diaktifkan (dipanaskan dalam oven pada suhu 1200C
selama lebih dari 2 jam). Minyak sawit kasar dilarutkan ke dalam pelarut n-heksana dalam konsentrasi tertentu dimasukkan kedalam erlenmeyer bertutup yang telah dibungkus dengan alumunium foil kemudian ditambahkan arang
aktif (% b/v) atau bleaching earth (% b/v). Selanjutnya dilakukan pengadukan
dengan pengaduk bergoyang (shaker) dengan kecepatan 150 rpm dan suhu
400C selama 60 menit. Kemudian dilakukan penyaringan dengan
menggunakan penyaring vacum pada suhu larutan 400C. Filtrat hasil proses
penjerapan dianalisis dengan mengukur kadar karotenoid yang tidak terjerap menggunakan spektrofotometer UV-Vis, pada panjang gelombang 444 nm, berdasarkan metode Parker yang dimodifikasi (1992). Sejumlah karotenoid yang terikat di dalam penjerap tersebut kemudian diupayakan terlepas kembali dengan teknik pelarutan (elusi) menggunakan pelarut organik. Diagram alir penjerapan karotenoid disajikan pada Gambar 14. Penjerap arang aktif dan
penjerap bleaching earth sebelum dilakukan proses penjerapan karotenoid
disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16.