KAJIAN ISOLASI KAROTENOID
DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN
METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN
PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul ”Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 13 Februari 2007
RINGKASAN
DIANA SERLAHWATY. Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN.
Karotenoid yang terkandung dalam minyak sawit mempunyai potensi yang besar sebagai sumber pro-vitamin A. Konsentrat karotenoid dapat dijadikan suatu produk bernilai ekonomis tinggi yang dibutuhkan baik dalam industri farmasi, pangan maupun kosmetik. Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar kedua di dunia, perlu dukungan penelitian pengembangan teknologi yang dapat menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses penjerapan (adsorbsi) karotenoid dari minyak sawit kasar dan proses pelarutan kembali (desorbsi) karotenoid dari penjerap yang kaya karotenoid. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu penelitian pendahuluan, melakukan review data berbagai penjerap yang berpotensi menjadi penjerap karotenoid. Tahap kedua menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar. Tahap ketiga menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid dari bahan penjerap.
Hasil penelitian penjerapan karotenoid dari minyak sawit kasar dalam larutan n-heksana 50% w/v menggunakan dua jenis penjerap yaitu bleaching earth dan arang aktif : bleaching earth 4% b/v lebih effektif karena dapat menjerap karotenoid 22 kali lebih besar jika dibandingkan dengan arang aktif 10% b/v dan 48 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 20% b/v. Daya desorbsi penjerap bleaching earth 3 kali lebih besar dari penjerap arang aktif, dengan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 10% b/v adalah sebesar 44.47%, menggunakan pelarut n-heksana:eseton (40:60) yang ekivalen dengan nilai log P = 0.919 dan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 20% b/v adalah sebesar 39.16%. Total perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v adalah 16.59% menggunakan pelarut n-heksana:eseton (50:50) yang ekivalen dengan nilai log P = 1.153
SUMMARY
DIANA SERLAHWATY. Study of the Isolation Process of Carotenoid from Crude Palm Oils by the Adsorption Methods using Bleaching Agents. Under Supervision of PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN.
Carotenoid of palm oil is potential source of pro-vitamin A. Carotenoid concentrate can be made as highly-economic products which are utilized by pharmacies, food companies and cosmetics. Indonesia as the second producer of palm oil in the world. However, to optimize the palm oil products, it needs technology support in the research developments to gain the added value of the palm oil products. The objectives of this research are to study the adsorption and desorption process of carotenoid from crude palm oils. The research was conducted in three steps. The first was the prelimanary research aimed to evaluate various adsorbents which have potential adsorption to adsorp carotenoids. The second was to determine the effectivity of the adsorbents. The third was to determine the effective solvents which gave the high recovery of carotenoid eluted from adsorbents. The results of the adsorption of carotenoids from crude palm oils in n-heksana 50% (w/v) using two adsorbents i.e bleaching earth and charcoal (activated carbon): bleaching earth 4% (b/v) more effective than activated carbon. It adsorbed carotenoids 22 times higher than activated carbon 10% (b/v) and 48 times higher than activated carbon 20% (b/v). Desorption capacity of bleaching earth 3 times bigger than activated carbon. The total recovery carotenoid from activated carbon 10% (b/v) was 44.47% using the solvent n-heksana : acetone (40:60) which equivalent to the log P value was 0.919 and the total recovery carotenoid when using activated carbon 20% (b/v) was 39.16%. On the other hand, the total recovery carotenoid from bleaching earth 4% (b/v) was 16.59% using the solvent n-heksana : acetone (50:50) which equivalent to the log P value was 1.153
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta Dilindungi
KAJIAN ISOLASI KAROTENOID
DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN
METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN
PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat
Nama : Diana Serlahwaty
Nomor Pokok : F225010081
Program Studi : Ilmu Pangan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan
Prof.Dr.Ir.Betty Sri Laksmi Jenie, M.S Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 16 Februari 2007 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wata’alla, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan September 2006.
Saat ini Indonesia menjadi negara pengekspor CPO terbesar kedua didunia setelah Malaysia yang menempati urutan pertama. Demi memperkuat dan meningkatkan daya saing industri kelapa sawit di Indonesia perlu dilakukan pengembangan teknologi untuk memperoleh produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Karoten mempunyai nilai jual yang tinggi dan dibutuhkan oleh industri farmasi, pangan maupun kosmetik.
yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, dukungan dana pendidikan dan support moril yang tiada hentinya kepada penulis selama melanjutkan pendidikan S2 di program studi Ilmu Pangan IPB. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pengelola BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana) Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan kepada Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Industri Hilir Kelapa Sawit yang telah memberikan dukungan dana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Pangan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Sains di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Universitas Pancasila, teman-teman sejawat dosen khususnya Ena, mbak Rin, Ratna, sahabat-sahabat di Keluarga Alumni Universitas Pancasila, karyawan non edukatif di Fakultas Farmasi dan anak-anakku mahasiswa/i Fakultas Farmasi serta rekan-rekan seprofesi di Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia yang selalu menemani dalam suka maupun duka serta atas do’a, motivasi dan support semangat yang tidak henti-hentinya penulis dapatkan sampai tulisan ini selesai, juga kepada rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2001 sampai 2005 yang memberikan atmosfir yang menyenangkan berupa diskusi-diskusi, do’a dan support semangat. Juga kepada semua pihak yang telah membantu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga.
KAJIAN ISOLASI KAROTENOID
DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN
METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN
PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul ”Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 13 Februari 2007
RINGKASAN
DIANA SERLAHWATY. Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN.
Karotenoid yang terkandung dalam minyak sawit mempunyai potensi yang besar sebagai sumber pro-vitamin A. Konsentrat karotenoid dapat dijadikan suatu produk bernilai ekonomis tinggi yang dibutuhkan baik dalam industri farmasi, pangan maupun kosmetik. Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar kedua di dunia, perlu dukungan penelitian pengembangan teknologi yang dapat menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses penjerapan (adsorbsi) karotenoid dari minyak sawit kasar dan proses pelarutan kembali (desorbsi) karotenoid dari penjerap yang kaya karotenoid. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu penelitian pendahuluan, melakukan review data berbagai penjerap yang berpotensi menjadi penjerap karotenoid. Tahap kedua menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar. Tahap ketiga menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid dari bahan penjerap.
Hasil penelitian penjerapan karotenoid dari minyak sawit kasar dalam larutan n-heksana 50% w/v menggunakan dua jenis penjerap yaitu bleaching earth dan arang aktif : bleaching earth 4% b/v lebih effektif karena dapat menjerap karotenoid 22 kali lebih besar jika dibandingkan dengan arang aktif 10% b/v dan 48 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 20% b/v. Daya desorbsi penjerap bleaching earth 3 kali lebih besar dari penjerap arang aktif, dengan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 10% b/v adalah sebesar 44.47%, menggunakan pelarut n-heksana:eseton (40:60) yang ekivalen dengan nilai log P = 0.919 dan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 20% b/v adalah sebesar 39.16%. Total perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v adalah 16.59% menggunakan pelarut n-heksana:eseton (50:50) yang ekivalen dengan nilai log P = 1.153
SUMMARY
DIANA SERLAHWATY. Study of the Isolation Process of Carotenoid from Crude Palm Oils by the Adsorption Methods using Bleaching Agents. Under Supervision of PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN.
Carotenoid of palm oil is potential source of pro-vitamin A. Carotenoid concentrate can be made as highly-economic products which are utilized by pharmacies, food companies and cosmetics. Indonesia as the second producer of palm oil in the world. However, to optimize the palm oil products, it needs technology support in the research developments to gain the added value of the palm oil products. The objectives of this research are to study the adsorption and desorption process of carotenoid from crude palm oils. The research was conducted in three steps. The first was the prelimanary research aimed to evaluate various adsorbents which have potential adsorption to adsorp carotenoids. The second was to determine the effectivity of the adsorbents. The third was to determine the effective solvents which gave the high recovery of carotenoid eluted from adsorbents. The results of the adsorption of carotenoids from crude palm oils in n-heksana 50% (w/v) using two adsorbents i.e bleaching earth and charcoal (activated carbon): bleaching earth 4% (b/v) more effective than activated carbon. It adsorbed carotenoids 22 times higher than activated carbon 10% (b/v) and 48 times higher than activated carbon 20% (b/v). Desorption capacity of bleaching earth 3 times bigger than activated carbon. The total recovery carotenoid from activated carbon 10% (b/v) was 44.47% using the solvent n-heksana : acetone (40:60) which equivalent to the log P value was 0.919 and the total recovery carotenoid when using activated carbon 20% (b/v) was 39.16%. On the other hand, the total recovery carotenoid from bleaching earth 4% (b/v) was 16.59% using the solvent n-heksana : acetone (50:50) which equivalent to the log P value was 1.153
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta Dilindungi
KAJIAN ISOLASI KAROTENOID
DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN
METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN
PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat
Nama : Diana Serlahwaty
Nomor Pokok : F225010081
Program Studi : Ilmu Pangan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan
Prof.Dr.Ir.Betty Sri Laksmi Jenie, M.S Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 16 Februari 2007 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wata’alla, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan September 2006.
Saat ini Indonesia menjadi negara pengekspor CPO terbesar kedua didunia setelah Malaysia yang menempati urutan pertama. Demi memperkuat dan meningkatkan daya saing industri kelapa sawit di Indonesia perlu dilakukan pengembangan teknologi untuk memperoleh produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Karoten mempunyai nilai jual yang tinggi dan dibutuhkan oleh industri farmasi, pangan maupun kosmetik.
yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, dukungan dana pendidikan dan support moril yang tiada hentinya kepada penulis selama melanjutkan pendidikan S2 di program studi Ilmu Pangan IPB. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pengelola BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana) Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan kepada Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Industri Hilir Kelapa Sawit yang telah memberikan dukungan dana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Pangan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Sains di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Universitas Pancasila, teman-teman sejawat dosen khususnya Ena, mbak Rin, Ratna, sahabat-sahabat di Keluarga Alumni Universitas Pancasila, karyawan non edukatif di Fakultas Farmasi dan anak-anakku mahasiswa/i Fakultas Farmasi serta rekan-rekan seprofesi di Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia yang selalu menemani dalam suka maupun duka serta atas do’a, motivasi dan support semangat yang tidak henti-hentinya penulis dapatkan sampai tulisan ini selesai, juga kepada rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2001 sampai 2005 yang memberikan atmosfir yang menyenangkan berupa diskusi-diskusi, do’a dan support semangat. Juga kepada semua pihak yang telah membantu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada Ayahanda Abu Hassan Rais (Almarhum), Ibunda Saniar (Almarhumah) atas kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis semasa hidupnya dan terima kasih kepada Keluarga besar Abu Hassan Rais, Keluarga Besar Radjuddin Syufni, Keluarga Besar Asy-Syakiroh, Keluarga besar Muslimat atas kasih sayang dan dukungan do’anya yang selalu memotivasi agar penulis pantang mundur sampai selesainya tulisan ini.
Selanjutnya untuk keluarga keduaku di Bogor, Mak Ros, mbak Romsyah berserta kakak dan adik yang rumahnya tersedia bagiku selama penelitian sampai selesainya tulisan ini, terima kasih atas kasih sayang dan dorongan semanagt yang diberikan selama ini. Akhirnya kepada ananda tercinta M.Rino Diansyah, M.Rizky Octaviansyah dan adinda Ides terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala do’a dan dukungannya serta segala pengertian, pengorbanan, yang kalian berikan kepada mama selama masa studi yang panjang ini, dan telah merelakan kehilangan waktu untuk tidak bersamaku selama proses penelitian ini.
Semoga segala bantuan, do’a, dukungan semangat dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis akan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Amiin. Akhir kata penulis sampaikan dengan rasa syukur, semoga tesis ini memberi manfaat kepada yang membacanya, dan ikut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, Amiin
Bogor, 13 Februari 2007 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nias pada tanggal 13 Februari 1956 dari ayah Let.Kol (Purn) Abu Hassan Rais (Almarhum) dan ibu Saniar (Almarhumah). Penulis merupakan putri keempat dari sebelas bersaudara.
Penulis lulus dari S.D. Persit Kartika Chandra Kirana I di Medan pada tahun 1968, sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri LXXXVI di Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1971, dan Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri VI di Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1974. Pada tahun 1975 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Pancasila Jakarta, Fakultas Farmasi dan pada tahun 1987 penulis bekerja sebagai staf non edukatif pada bagian pendidikan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta. Penulis lulus sebagai Sarjana Farmasi pada tahun 1991 dan pada tahun 1993 melanjutkan studi profesi apoteker di Universitas Pancasila Jakarta dan lulus sebagai Apoteker pada tahun 1995.
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
PENDAHULAN ... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian ... 3 Manfaat Penelitian ... 4 Hipotesis ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 5 Minyak Sawit ... 5 Karotenoid ... 8 Analisis Karotenoid ... 10 Metode Adsorbsi ... 13 Pelarutan ... 16 Bahan Pemucat Arang Aktif ... 19
Pembuatan Arang Aktif ... 20 Kegunaan Arang Aktif ... 22 Bahan Pemucat Bleaching Earth ... 23 Interaksi Pelarut dan Solut dengan Bahan Pemucat ... 27
Adsorbsi satu Lapisan (Mono-layer) ... 27 Adsorbsi dua Lapisan (Bi-layer) ... 27 Interaksi Solut dengan Permukaan Bahan Pemucat ... 28
xii
Penelitian Pendahuluan ... 33 Penentuan Penjerap yang Effektif ... 33 Penjerap Arang Aktif 10% b/v ... 36 Penjerap Arang Aktif 20% b/v ... 36 Penjerap Bleaching Earth 2% b/v ... 37 Penentuan Konsentrasi Larutan Minyak Sawit Kasar ... 37 Penentuan Konsentrasi Penjerap Terseleksi ... 38 Penentuan Rekoveri Karotenoid ... 39 Prosedur Analisis ... 40 Analisis Kandungan Karotenoid, Metode Spektrofotometri ... 40 Analisis Komposisi Asam Lemak, Metode Kromatografi Gas . 42 Kadar Air, Metode Vakum ... 44 Nilai log P ... 44 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45 Penelitian Pendahuluan ... 45 Persiapan dan Karakterisasi Bahan Baku ... 45 Penentuan Penjerap yang Efektif ... 49 Penjerapan dengan Arang Aktif 10% b/v... 50 Penjerapan dengan Arang Aktif 20% b/v... 50 Penjerapan dengan Bleaching Earth 2% b/v ... 52 Penentuan Konsentrasi Larutan Minyak Sawit Kasar ... 54 Penentuan Konsentrasi Penjerap ... 55 Perolehan Kembali Karotenoid ... 56
xiii
SIMPULAN DAN SARAN ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Komposisi Asam Lemak Minyak Awit Kasar ... 6 2 Standar Kualitas Minyak Sawit Kasar Menurut SNI 01-2901-1995.... 7 3 Komponen Minor dari Minyak Sawit Kasar ... 7 4 Beberapa Jenis Karotenoid dengan Aktivitas pro-Vitamin A ... 10 5 Nilai Rf Berbagai Jenis Karotenoid pada Kromatografi Lapis Tipis ... 11
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Penampang Melintang Buah Kelapa Sawit ... 5 2 Struktur Molekul Senyawa Golongan Karotenoid ... 8 3 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Solut pada Larutan dan yang .... Teradsorbsi ... 14 4 Perubahan Entalpi dan Entropi yang terjadi dalam Reaksi Pelarutan . 20 5 Struktur Tanah Liat Montmorilllonite yang telah Diaktifkan ... 24 6 Diagram Alir Proses Pembuatan Bleaching Earth ... 26 7 Distribusi Pelarut A dan B Sebagai Mono-Layer pada Permukaan .... Bahan Pemucat ... 27 8 Distribusi Pelarut A dan B sebagai Bi-Layer pada Permukaan ... Bahan Pemucat ... 28 9. Skema Interaksi Sorpsi (Penempelan)... 28 10 Skema Interaksi Pergantian ... 29 11 Skema Adsorbsi Pelarut pada Dua Lapisan (Bi-Layer) ... 30 12 Skema Perbedaan Jenis Interaksi yang dapat terjadi pada Permukaan
Bahan Pemucat yang Ditutupi oleh Suatu Lapisan Pelarut Bi-Layer... 30 13 Diagram Alir Proses Isolasi Karotenoid dari CPO dengan Metode .... Adsorbsi ... 32 14 Diagram Alir Penjerapan Karotenoid ... 34 15 Penjerap Arang Aktif sebelum Proses Penjerapan ... 35 16 Penjerap Bleaching Earth sebelum Proses Penjerapan ... 35 17 Diagram Alir Isolasi Karotenoid dari Penjerap ... 39 18 Skema Analilis Konsentrasi Karotenoid ... 41 19 Jumlah Karotenoid yang Terjerap Pada Penjerap Arang Aktif 10% b/v
Dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO... 50 20 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 20% ...
b/v dalam berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 51 21 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Bleaching Earth ....
xvi
22 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 10% ... dan 20% (b/v) serta Penjerap Bleaching Earth 2% b/v dalam ... Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 53 23 Persentase Penjerapan Karotenoid Menggunakan Penjerap ...
Bleaching Earth 2% b/v pada Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 54 24 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Berbagai Konsentrasi ...
Bleaching Earth pada Konsentrasi CPO dalam n-Heksana ... 50% b/v ... 56 25 Jumlah Karotenoid yang Terekstrak dari Penjerap Arang Aktif ...
10% b/V, Menggunakan Eluen Campuran n-Heksana dan Aseton ... dengan Berbagai Konsentrasi ... 58 26 Aktivitas Pelarut / Eluen dengan Nilai Log P pada Perolehan ...
Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 10% b/v ... 58 27 Jumlah Karotenoid yang Terekstrak dari Penjerap Arang Aktif ...
20% b/v, Menggunakan Eluen Campuran n-Heksana dan Aseton ... dengan Berbagai Konsentrasi ... 60 28 Aktivitas Pelarut / Eluen dengan Nilai Log P pada Perolehan ...
Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 20% b/v ... 61 29 Jumlah karotenoid yang terekstrak dari penjerap bleaching earth ... 4% b/v, menggunakan eluen campuran n-heksana dan aseton ...
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Nilai log P untuk Beberapa Macam Pelarut Organik ... 74 2 Hasil Analisis Komposisi Asam Lemak ... Minyak Sawit Kasar (CPO)... 76 Kromatogram GC Minyak Sawit Kasar Ulangan 1 ... 77 Kromatogram GC Minyak Sawit Kasar Ulangan 2 ... 78 3 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif ...
10% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 79 4 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif ...
20% b/v dalam berbagai konsentrasi larutan CPO ... 79 5 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap bleaching earth
2% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 80 6 Jumlah Karotenoid Sebelum Penjerapan Menggunakan Penjerap
Arang Aktif dan Bleaching Earth dalam Berbagai Konsentrasi .. Larutan CPO ... 80 7 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Proses Penjerapan ...
Menggunakan Penjerap Arang Aktif dan bleaching earth dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ... 80 8 Jumlah Karotenoid yang Terjerap Menggunakan Penjerap ...
Bleaching Earth (BE) Dalam Berbagai Konsentrasi pada ... Larutan CPO dalam n-Heksana 50% b/v ... 81 9 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang ..
aktif 10 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ... dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan ... 81 10 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang ..
Aktif 20 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ... dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan ... 82 11 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Bleaching Earth 4 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ...
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) merupakan salah satu komoditas nonmigas yang telah ditetapkan sebagai salah satu komoditi yang
dapat dikembangkan menjadi produk lain untuk ekspor. Menurut Oil World
(2002), industri kelapa sawit nasional merupakan salah satu sektor
pembangunan unggulan. Sampai saat ini pengembangan industri minyak sawit
mempunyai pasar yang cukup besar dan masih didominasi oleh produk
minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil).Produksi minyak sawit Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 6% pertahun. Menurut IPOC (2005)
dengan luas total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai
5.5 juta hektar mampu memproduksi CPO sebesar 16 juta ton sepanjang tahun
2005. Jumlah tersebut merupakan terbesar kedua di dunia setelah Malaysia
dan pada tahun 2010 diproyeksikan akan menjadi yang terbesar didunia.
Penguatan dan peningkatan daya saing industri kelapa sawit di
Indonesia perlu dukungan penelitian pengembangan teknologi hilir untuk
memperoleh produk-produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Minyak
sawit kasar (CPO) dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai produk
turunan, salah satunya dengan mengambil komponen mikronutrien karotenoid
dalam minyak sawit kasar menjadi produk konsentrat karotenoid. Produk ini
dibutuhkan baik dalam industri pangan, farmasi, maupun industri kosmetik
(May, 1994).
Komponen minor dari minyak sawit kasar mengandung 500-700 ppm
karotenoid, lebih dari 80% dalam bentuk α-, β-, -karoten dengan β-karoten
sebagai komponen utamanya (Goh et al., 1985; Choo. 1995). β-karoten sebagai salah satu komponen minor dari minyak sawit kasar, merupakan
prekursor vitamin A dan berfungsi sebagai pro-vitamin A (Olson 1989;
Hudson 1990). β-karoten memiliki 100% aktifitas vitamin A, sedangkan α-
dan -karoten memiliki 50-54% aktifitas vitamin A. Senyawa karotenoida
minyak sawit memiliki aktivitas pro-vitamin A 10 kali lebih besar
dibandingkan dengan wortel dan 300 kali lebih besar dari tomat (Tan, 1987;
biologis positif yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi
kebutaan karena xerofthalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker, penyakit jantung koroner, mencegah proses penuaan yang terlalu dini (Ziegler, 1989;
May,1994; Umegaki et al., 1994; Poppel dan Goldbohm, 1995; Sahidin et al.,
2000), meningkatkan immunitas tubuh dan juga dapat berperan sebagai
antioksidan yang memusnahkan radikal bebas yang selanjutnya mengurangi
peluang terjadinya penyakit degeneratif (Iwashaki dan Murokoshi, 1992;
Umegaki dan Ikegami, 1994; Sikorski, 1997; Miyawaki, 1998)
Adanya warna merah kuning pada minyak sawit umumnya tidak
disukai oleh konsumen, sehingga para produsen minyak makan selalu
berusaha menghilangkan warna tersebut dengan cara pemucatan. Pemucatan
minyak sawit dilakukan dengan menggunakan bahan penjerap, kemudian
diikuti dengan pemanasan pada tekanan hampa udara. Pada proses pemucatan
minyak sawit dengan menggunakan penjerap, karotenoid akan teradsorbsi oleh
bahan pemucat tersebut. Karotenoid yang diadsorbsi bahan pemucat umumnya
oleh pabrik tidak dimanfaatkan. Dengan pertimbangan nilai nutrisi dan
fungsional β-karoten yang potensial terkandung dalam minyak sawit kasar,
maka perlu dipelajari beberapa upaya untuk memperoleh karotenoid dari
minyak sawit kasar.
Dengan disadarinya manfaat dari senyawa karotenoid dan besarnya
kandungan senyawa karotenoid di dalam minyak sawit kasar, isolasi
karotenoid dari minyak sawit kasar mendapat perhatian yang besar dari para
peneliti. Berbagai cara telah dikembangkan untuk memperoleh senyawa
karotenoid dari minyak sawit kasar. Beberapa metode yang telah dilakukan
untuk memperoleh karotenoid dari minyak sawit kasar adalah dengan
menggunakan metode penyabunan, ekstraksi pelarut, adsorbsi, urea, destilasi
molekuler, iodine, membran dan distilasi molekuler (Choo et al., 1989).
Dalam upaya memperoleh senyawa karotenoid, metode adsorbsi
merupakan metode yang paling banyak digunakan. Sejumlah penjerap telah
banyak dicoba untuk mendapatkan karotenoid dalam jumlah tinggi. Adsorbsi
menggunakan abu sekam padi telah dilakukan oleh Masni (2004) dengan
penjerap campuran abu sekam padi/silika gel pada nisbah (30:10 b/b) dengan
metode kromatografi kolom adsorbsi, perolehan kembali karotenoid pada
fraksi berwarna pertama adalah sebesar 49% dengan rendemen konsentrat
fraksi berwarna pertama terhadap minyak sawit kasar sebesar 3.2%.
Widayanto (2007) melaporkan pemekatan karotenoid pada metil ester kasar
(crude methyl ester) dengan menggunakan kromatografi kolom adsorbsi menggunakan penjerap campuran abu sekam padi/silika gel pada nisbah
(30:10 b/b), rekoveri karotenoid dari total karotenoid awal CPO adalah
70.25%. Selanjutnya Baharin et al. (1998) dan Latip et al. (2000) menggunakan penjerap sintetik diaion HP-20, alumina dan silika gel.
Adsorbsi silika gel lebih rendah 50% dari pada penjerap polimer sintetik
dengan perolehan kembali sekitar 40-65 %. Adsorbsi dengan bleaching agent
telah berhasil dilakukan oleh Pitoyo (1988) dengan rendemen sebesar 4.06%.
Pemucatan minyak sawit dan lemak lainnya yang telah dikenal antara lain
pemucatan dengan adsorbsi menggunakan bahan pemucat seperti tanah liat
(clay) jenis monmorilonit yang telah diasamkan dan karbon aktif.
Pada penelitian ini dilakukan kajian isolasi karotenoid dari minyak
sawit kasar dengan menggunakan metode adsorbsi menggunakan bahan
pemucat arang aktif dan bleaching earth sebagai penjerap, selanjutnya dilakukan kajian untuk melepaskan karotenoid yang telah terjerap.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak
sawit kasar.
2. Menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Memberikan informasi kepada para peneliti dan industri berbasis kelapa
sawit, bahwa minyak sawit kasar dapat dijadikan sebagai sumber
karotenoid atau pro-vitamin A, yang dapat memberikan nilai tambah dari
segi finansial, sekaligus memberikan sumbangan dalam meningkatkan
kesehatan masyarakat.
2. Sebagai pengembangan ilmu dan teknologi dan dapat berguna dalam
peningkatan diversifikasi hasil perkebunan kelapa sawit
Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Penggunaan arang aktif dan bleaching earth dapat menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar dengan kandungan karotenoid yang tinggi.
2. Penggunaan pelarut campuran n-heksana dan aseton dapat menghasilkan
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak SawitProduksi minyak sawit Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar
6% pertahun. Indonesia mampu memproduksi minyak sawit kasar
(CPO/Crude Palm Oil) sebesar 16 juta ton sepanjang tahun 2005 dengan luas total perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5.5 juta hektar
(IPOC, 2005).
Hasil tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) yang dipanen ialah tandan kelapa sawit. Tandan telah masak apabila jumlah buah yang
membrondol telah mencapai dua brondolan per kg tandan (Naibaho, 1983).
Sebaiknya panen dilakukan pada buah berumur 15-17 minggu, karena selain
sudah menurunnya kadar lemak, juga terjadi peningkatan asam lemak bebas,
yang terbentuk dari penguraian lemak oleh enzim lipase, yang mulai aktif pada
mesokarp. Dari kelapa sawit dapat dihasilkan dua jenis minyak yang sangat
berlainan, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit
disebut minyak sawit (CPO/Crude Palm Oil) dan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil) (Ketaren, 1986). Buah sawit umumnya berukuran panjang 2 – 5 cm dan berat
antara 3 – 30 gram, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi
berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi, 1992). Warna
daging buah putih kuning ketika masih muda dan berwarna jingga setelah
buah matang (Ketaren 2005). Penampang melintang buah kelapa sawit
[image:34.612.241.363.539.689.2]disajikan pada Gambar 1.
Minyak sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit masih
disebut minyak sawit kasar (CPO /Crude Palm Oil). Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam
lemak (3-5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk
karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida,
glikolipida dan berbagai komponen trace element (Muchtadi, 1992). Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dengan
persentase yang hampir sama. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar
disajikan pada Tabel 1. Asam palmitat dan asam oleat merupakan asam lemak
yang dominan terkandung dalam minyak sawit, sedangkan kandungan asam
lemak linoleat dan asam stearatnya sedikit (Bailey’s 1996; Siew 2000). Asam
palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair
(meelting point) yang tinggi yaitu 640C. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan)
dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 140C (Ketaren, 1986)
Tabel 1 Komposisi asam lemak minyak sawit kasara
Asam Lemak Kadar (%)
Asam lemak jenuh
Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (18:0)
Asam lemak tidak jenuh
Oleat (18:1) Linoleat (18:2) Linolenat (18:3)
0.1 – 1.0 0.9 - 1.5 41.8 - 46.8
4.2 - 5.1
37.3 - 40.8 9.1 - 11.0
0 - 0.6 a
(Bailey’s, 1996).
Minyak sawit bersifat setengah padat pada suhu kamar, dengan titik
cair antara 40-700C, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karoten. Berdasarkan perbedaan titik cairnya minyak sawit dibagi menjadi 2
fraksi besar, yaitu fraksi olein berbentuk cair, dan fraksi stearin yang
1992). Standar kualitas minyak sawit kasar menurut Standar Nasional
Indonesia (1995) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar kualitas minyak sawit kasar menurut SNI 01-2901
No. Karakteristik Satuan Nilai
1. Asam lemak bebas (sebagai palmitat) % (b/b) Maks 5,0
2. Kadar air % (b/b) Maks 2,0
3. Kadar kotoran % (b/b) Maks 0,02
Komponen non trigliserida dalam minyak sawit kasar, menurut Choo
et al. (1989) memberikan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, serta mempercepat proses ketengikan dan kerusakan
minyak. Kandungan non trigliserida yang terlalu tinggi dapat mempersingkat
umur simpan minyak. Kandungan komponen minor dari minyak sawit kasar
disajikan pada Tabel 3. Bau dan flavor pada minyak terdapat secara alami. Bau
khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh senyawa β-ionone. Bau dapat
terjadi karena adanya asam-asam lemak rantai pendek akibat minyak yang
[image:36.612.166.493.468.666.2]teroksidasi (Ketaren, 1986)
Tabel 3 Komponen minor dari minyak sawit kasar
Komponen minor Kadar (ppm)
karotenoid a 500-700
tokoferol an tokotrienol a 600-1000
sterol a 326-527
fosfolipid b 51-130
triterpen alkohol c 40-80
metil sterol c 40-80
squalene d 200-500
alkohol alifatik a 100-200
hidrokarbon alifatik d 50
a: Goh et al. (1985), b: Goh et al (1982), Goh et al. (1984),
Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen alami berwarna kuning,
jingga, merah jingga serta larut dalam minyak, mempunyai ciri tertentu, yang
dapat menunjukkan sifat-sifatnya yang mendasar, yang dapat ditemui pada
tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Menurut
Wirahadikusumah (1985) secara kimiawi senyawa karotenoid dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu karoten dan xantofil. Karoten adalah
senyawa hidrokarbon yang tersusun oleh unsur-unsur C dan H, sedangkan
xantofil adalah senyawa turunan dari karoten yang mengandung oksigen di
dalam struktur molekulnya, sehingga unsur penyusun xantofil adalah C, H dan
O. Contoh senyawa yang termasuk karoten misalnya α, β, -karoten dan yang
termasuk xantofil adalah kriptoxantin, kapxantin dan zeaxantin.
Semua jenis karotenoid adalah senyawa hidrofobik, lipofilik dan
sebenarnya tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut lemak. Pada hewan
dan tumbuhan, karotenoid berbentuk seperti kristal atau amorphous padat dan
larut dalam lemak (Delia 1997). Beberapa jenis senyawa golongan karotenoid
disajikan pada Gambar 2.
Ikatan rangkap terkonjugasi dalam molekul karotenoid menandakan
adanya gugus kromofor yang menyebabkan terbentuknya warna pada
karotenoid. Makin banyak ikatan rangkap ter-konjugasi, semakin pekat warna
karotenoid tersebut, dan ini berarti semakin mengarah ke warna merah
(Wirahadikusumah 1985; Hassan 1987; Choo et al. 1989).
Di antara 600 atau lebih karotenoid yang ada di alam, hanya 50 di
antaranya yang mempunyai aktivitas biologi sebagai pro-vitamin A, dan 60%
vitamin A diperkirakan berasal dari pro-vitamin A (Simpson 1983). Semua
karotenoid adalah senyawa lipofilik, tidak larut dalam air tetapi larut dalam
lemak dan pelarut organik, seperti n-heksana dan benzena. Disamping itu
senyawa karotenoid juga mudah larut dalam hidrokarbon terklorinasi, seperti
khloroform dan metilen klrorida. Karotenoid mudah mengalami isomerisasi
oleh panas, asam dan cahaya. Karena warnanya mempunyai kisaran dari
kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan
antara 430 – 480 nm (Fennema, 1996).
Karotenoid mudah teroksidasi karena banyaknya ikatan rangkap
terkonyugasi. Adanya ikatan rangkap terkonyugasi menyebabkan karotenoid
peka terhadap oksidasi, terutama dalam bentuk padat. Oksidasi karotenoid
akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga,
besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang
mengandung ikatan rangkap. Kepekaannya terhadap oksidasi membuat
karotenoid digunakan sebagai antioksidan yang kekuatannya menyamai
tokoferol dan askorbat (Fennema, 1996). Karotenoid belum mengalami
kerusakan oleh pemanasan pada suhu 600C, dan reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat
peroksidan (Muchtadi, 1992)
Sebahagian dari karotenoid yang mempunyai aktivitas sebagai
pro-vitamin A, disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa β
-karoten merupakan komponen -karotenoid yang mempunyai aktivitas
Tabel 4 Beberapa jenis karotenoid dengan aktivitas pro-vitamin Aa
Jenis karotenoid Aktivitas pro-vitamin A (%)
β-karoten α-karoten -karoten β-zeakaroten
β-karoten-5,6-mono epoksida 3,4 dehidro-β-karoten
100 50 - 54 42 - 50 20 - 40
21 75
aLinder (1991).
β-karoten sebagai salah satu komponen bioaktif yang terkandung dalam minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat
bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi kebutaan, mencegah timbulnya
penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, dan mengurangi terjadinya
penyakit degeneratif. (Akbar, 1994; Kholmeier dan Hasting, 1995; Winarno
1997; Muhilal 1998).
Mengkonsumsi β-karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi
vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk
mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi β-karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinal),
sehingga karoten ini disebut pro-vitamin A (Akbar, 1984, Winarno 1991).
Sekitar 25 % dari β-karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam
bentuk utuh, sedang 75 % sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan
bantuan enzim 15, 15’ β-karotenoid oksigenase (Fennema, 1996).
Analisis Karotenoid
Analisis komponen karotenoid dapat dilakukan dengan menggunakan
alat spektrofotometer UV-Vis, dan HPLC (High Performance Liquid Cromatography) berdasarkan atas bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Identifikasi karotenoid dengan metode spektrofotometeri dapat dilakukan
berdasarkan pada bentuk spektrum absorpsinya. Bentuk spektrum yang sama
maksimum pada panjang gelombang tertentu dan setiap spektrum serapan
untuk setiap jenis karotenoid berbeda antara satu pelarut dengan pelarut
lainnya, kalaupun ada yang sama jumlahnya relatif sedikit. Nilai Rf beberapa jenis karotenoid dalam beberapa jenis pelarut disajikan pada Tabel 5.
[image:40.612.163.500.216.521.2](Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992).
Tabel 5 Nilai Rf berbagai jenis karotenoid pada kromatografi lapis tipisa)
Karotenoid Nilai Rf x 100
A B C D E F G H
squalen 11
lycopercene 30
phytophloene 21 100
phytophloene 10 90
alfa karoten 84 70 47
beta karoten 80 66 26 88
gamma karoten 80 81 91 74 49 11 84
beta zea karoten 75
teta karoten 0 62
alfa zea karoten 55 20 0
gamma zea karoten 58 41 11 0 45
neurosporene 42
lycopene 10 13 1 0
a)
(Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992)
Keterangan / sistem :
A. Silika gel G (deactivated), ligh petroleum
B. MgO-Silika gel. (1:1, activated), (17% v/v), benzene in light petroleum C. MgO-Silika gel. (1:1, deactivated), (10% v/v), benzene in light
petroleum
D. MgO-Silika gel. (1:1, activated), benzene E. MgO; benzene-light petroleum (90:10 v/v) F. MgO; benzene-light petroleum (50:50 v/v) G. MgO; benzene-light petroleum (10:90 v/v)
Identifikasi karotenoid dengan teknik HPLC dengan kepekaannya yang
tinggi dapat langsung digunakan dalam proses pemisahan serta penentuan
konsentrasi (Bushway, 1986; Kachik dan Beecher, 1987). Khachik et al.,
(1986), menggunakan teknik HPLC untuk memisahkan, mengindentifikasi dan
menentukan konsentrasi karotenoid dalam ekstrak beberapa sayuran hijau.
Sedangkan Fisher dan Kochis (1987) menggunakan teknik HPLC untuk
memisahkan karotenoid pada cabe.
Jumlah karotenoid yang terdapat dalam suatu bahan, baik dalam
tanaman ataupun dalam mikroba dapat ditetapkan secara spektrofotometri dan
teknik HPLC. Baik karotenoid maupun komponen karotenoid, memiliki
panjang gelombang maksimum dalam pelarut tertentu. Sifat penyerapan ini
dijadikan dasar dalam menentukan jumlah karotenoid atau identifikasi
kuantitatif secara spektrofotometri. Pelarut yang digunakan menurut Parker,
1992 adalah n-heksana. Dalam n-heksana karotenoid akan menyerap sinar
secara maksimum pada panjang gelombang 450 nm. Pada panjang gelombang
ini karotenoid mempunyai nilai koefisien Ekstinksi sebesar 2600 (E % 1 cm = 2600)
Penentuan konsentrasi komponen karotenoid dan karotenoidnya sendiri
menggunakan larutan standar biasanya sulit dilakukan, untuk mengatasi hal
ini, dapat digunakan teknik pendekatan menggunakan nilai koefisien
Ekstinksi. Jika Y ml pelarut digunakan untuk memberikan serapan sebesar A
pada panjang gelombang 450 nm, maka berat karotenoid dalam larutan dapat
dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
Keterangan :
X = berat karotenoid, dalam gram A.Y = nilai serapan pada y ml pelarut
E % 1 cm = nilai koefisien Ekstinksi karotenoid = 2600 A.Y
X =
Metode Adsorbsi
Adsorpsi adalah proses untuk memisahkan suatu komponen berbentuk
gas atau larutan menggunakan zat padat (penjerap). Pada proses adsorbsi
terjadi perpindahan massa adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat)
ke permukaan penjerap. Penjerap adalah padatan atau cairan yang
mengadsorbsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang
diadsorbsi. Jadi proses adsorbsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan,
gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren,
1986). Adsorbsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul
adsorbat dengan sisi-sisi aktif di permukaan penjerap. Pada proses adsorbsi
terjadi perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua
fase.
Menurut Pari (1995) metode adsorbsi ada dua macam, yaitu adsorbsi
secara fisik (physiosorption) dan adsorbsi secara kimia (chemisorption). Adsorbsi fisik terjadi sebagai akibat dari perbedaan energi atau daya tarik
menarik elektrik (listrik) sehingga molekul–molekul penjerap terikat secara
fisik pada molekul adsorbat. Permukaan partikel padat biasanya lebih aktif
dari pada bagian dalamnya, sehingga umum dikatakan mempunyai aktivitas
permukaan (surface activity).
Bila zat padat tersebut dimasukkan dalam suatu larutan, permukaan
partikel zat padat tadi mempunyai daya tarik baik pada zat-zat yang terlarut
maupun pada zat pelarutnya. Daya tarik atau kekuatan ikatan senyawa organik
dengan suatu penjerap tergantung pada kekuatan tipe interaksi yaitu interaksi
ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol terinduksi
dan ikatan van der walls (Slejko 1985).
Proses adsorbsi dipengaruhi terutama oleh perbedaan polaritas solut
yang dipisahkan. Hal ini disebabkan karena polaritas merupakan faktor yang
menentukan daya larut dan terjadinya adsorbsi solut. Proses adsorbsi sangat
peka terhadap perbedaan bentuk stereometrik dari solut yang dipisahkan.
Banyaknya solut yang dapat ditampung pada permukaan penjerap, di
solut dapat menentukan juga mudah tidaknya solut tersebut teradsorbsi pada
permukan penjerap bila dibandingkan dengan solut lain. Perbedaan daya
teradsorbsi inilah yang akan menentukan mudah tidaknya campuran solut
untuk dipisahkan dengan kromatografi adsorbsi. Oleh karena itu kromatografi
adsorbsi merupakan cara yang cocok untuk memisahkan campuran solut yang
serupa, tetapi mempunyai perbedaan bentuk stereometrik (Adnan 1997).
Bila larutan mengalir melalui permukaan yang aktif, akan terjadi
proses adsorbsi dan desorpsi. Hubungan antara konsentrasi zat yang ada dalam
[image:43.612.152.488.287.423.2]larutan (Cm) dan yang teradsorbsi (Cs) terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kurva hubungan antara konsentrasi solut pada larutan dan yang teradsorbsi, (A) kurva konveks, (B) kurva garis lurus, (C) kurva konkaf. Cs= konsentrasi zat yang teradsorbsi, Cm= konsentrasi zat dalam larutan (Adnan 1997).
Kurva yang menggambarkan hubungan antara Cm dan Cs dinamakan
isoterm adsorbsi. Isoterm yang berbentuk konveks seperti yang terlihat dalam
Gambar 3A, dapat terjadi karena ada variasi aktivitas dari permukaan yang
ada, yang mengakibatkan dihasilkannya hubungan yang tidak linier. Hubungan
demikian dimanakan Freundlich isotherm. Kurva isoterm yang berbentuk garis lurus (Gambar 3B) merupakan keadaan yang dikehendaki, dimana
permukaan tidak akan menjadi jenuh dengan zat yang diadsorbsi. Slope dari
kurva isoterm yang merupakan garis lurus akan merupakan koefisien distribusi
dan tidak tergantung dari besarnya konsentrasi. Kurva isoterm yang berbentuk
konkaf (Gambar 3C) dihasilkan dari reaksi yang terjadi sedemikian sehingga
mempercepat proses adsorbsi secara keseluruhannya.
Proses adsorbsi terdiri dari dua tipe adsorbsi, secara kimia dan fisika.
Adsorbsi kimia adalah tipe adsorbsi dengan cara suatu molekul menempel ke
permukaan melalui pembentukan suatu ikatan kima. Ciri-ciri dari adsorbsi
A B C
Cm
Cs Cs Cs
kimia adalah terjadi pada temperatur yang tinggi, jenis interaksinya kuat,
berikatan kovalen antara permukaan penjerap dengan adsorbat, entalpinya
tinggi (∆H 400 KJ/mol), adsorbsi terjadi hanya pada suatu lapisan atas
(monolayer) dan energi aktivasinya tinggi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption).
Adsorbsi fisika adalah tipe adsorbsi dengan cara adsorbat menempel
pada permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah. Ciri-ciri dari
adsorbsi fisika adalah terjadi pada temperatur yang rendah, selalu di bawah
temperatur kritis dari adsorbat, jenis interaksi adalah interaksi intermolekuler
(gaya van der Waals), entalpinya rendah (∆H <20 KJ/mol), adsorbsi dapat
terjadi dalam banyak lapisan (multilayers) dan energi aktivasinya rendah. http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption).
Adsorbsi fisika terutama disebabkan oleh gaya van der Waals dan gaya
elektrostatik antara molekul yang teradsorbsi dengan atom yang menyusun
permukaan penjerap. Gaya van der Waals tersebut timbul sebagai akibat
interaksi dipol-dipol, dimana pada jarak antar molekul tertentu terjadi
kesetimbangan antara gaya tolak dan gaya tarik. Dalam fase cair dan fase
padat terdapat gaya tarik van der Waals yang relatif lebih besar dibandingkan
dengan gaya tarik dalam fase gas. Dalam fase cair, gaya van der Waals dapat
mengelompokkan atom atau molekul dalam susunan yang teratur di dalam
kristal molekulnya. Gaya van der Waals terdiri dari: interaksi dipol-dipol,
interaksi dipol permanen-dipol induksi, interaksi dispersi (dipol
sementara-dipol induksi) (Suzuki 1990).
Metode adsorbsi merupakan metode yang banyak diteliti, terutama
untuk mendapatkan karoten dari bahan pemucat (bleaching agent). Prinsip dari metode ini adalah penjerapan (adsorbsi) komponen minor oleh penjerap dan menarik kembali (desorpsi) komponen tersebut menggunakan pelarut. Metode ini telah dipublikasikan sejak tahun 1976, dimana karotenoid dapat
diekstraksi dari bahan penjerap yang digunakan dalam proses pemucatan
minyak sawit (Ooi et al., 1994; Choo, 1996).
Naibaho (1983), telah mengekstrak karoten dari tanah pemucat
penyabunan. Dengan cara ini karoten yang didapatkan mencapai 40% dari
konsentrasi awal. Pemisahan karotenoid dari minyak sawit kasar dengan
menggunakan penjerap resin sintetis (Diaion HP-20) telah dilaporkan oleh
Baharin et al. (1998). Dengan cara ini didapatkan tingkat perolehan kembali (recovery) karotenoid yang beragam dari 40 – 65%, tergantung pada kondisi kolom kromatografi. Selanjutnya Desai dan Dubash (1994) juga melaporkan,
dengan menggunakan penjerap campuran bentonit dan alumina (4 : 1) dalam
bentuk gel untuk menjerap karoten dari CPO, didapatkan tingkat perolehan
kembali sebesar 79%; Lessin et al. (1997) menggunakan polimer sintetis untuk menjerap karoten dari beberapa jenis buah segar dan yang telah
diproses; dan Sahidin et al. (2001) menggunakan penjerap campuran magnesium oksida dan aluminium oksida (1 : 1) untuk memurnikan β-karoten
yang diekstraksi dari CPO dan didapatkan tingkat perolehan kembali sebesar
82,41%.
Konsentrat karotenoid telah berhasil diproduksi dari limbah serat sawit
pada skala laboratorium oleh Masni (2004) dengan menggunakan metode
ekstraksi pelarut, diikuti dengan pemisahan ekstak karotenoid menggunakan
kolom kromatografi adsorbsi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan Masni (2004) disimpulkan bahwa bahan pengekstrak (pelarut) untuk
mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit adalah campuran
n-heksana-aseton (10 : 1 v/v), karena dapat menghasilkan konsentrasi karotenoid yang
lebih tinggi (1283 µg/g ekstrak kering) dibandingkan dengan n-heksana (629
µg/g ekstrak kering) dan campuran n-heksana-etanol (4 : 3 v/v) (18 µg/g
ekstrak kering). Hasanah (2006) telah berhasil memproduksi konsentrat
karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode kromatografi kolom
adsorbsi menggunakan penjerap campuran abu sekam padi dengan silika gel
pada nisbah (30:10 b/b) dengan total perolehan kembali 49% dengan
rendemen 3.2 %.
Pelarutan
Secara umum minyak sawit kasar terdiri dari komponen utama
trigliserida dan karotenoid. Trigliserida lebih bersifat non polar dari pada
dari pada trigliserida, sebaiknya menggunakan pelarut yang mempunyai
kepolaran yang hampir sama dengan karotenoid. Pelarut yang cocok untuk
mengekstrak karotenoid adalah yang bersifat semi polar seperti isopropanol,
etanol dan asetonitril.
Menurut Hamilton (1980) n-heksana merupakan pelarut yang umum
digunakan dalam metode ekstraksi pelarut, selanjutnya menurut Proctor et al.
(1994) pelarut n-heksana efektif digunakan sebagai bahan pelarut atau
pengekstrak minyak. Pelarut yang digunakan mampu melarutkan karotenoid
secara spontan, yaitu tidak menggunakan suhu yang tinggi. Karena pada suhu
yang tinggi karotenoid sangat mudah terdegradasi. Reaksi pelarutan secara
spontan dapat terjadi jika interaksi solut dan pelarut sama kuat (solut dan
pelarut keduanya polar atau keduanya non polar).
Menurut Gross (1991) belum terdapat metode standar untuk ekstraksi
karotenoid, namun untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang optimal sebaiknya
digunakan bahan segar, tidak rusak dan contoh yang digunakan harus
terwakili. Ekstraksi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya
kerusakan akibat oksidasi. Dianjurkan pula agar sebelum diekstrak, contoh
bahan yang digunakan dihaluskan atau dipotong kecil-kecil agar ekstraksi
berjalan sempurna. Pelarut yang cocok untuk karotenoid adalah aseton,
metanol, etanol, isopropil alkohol, n-heksana (Delia & Kimura 2004).
Di dalam ekstraksi pelarut, terdapat resiko adanya residu pelarut. Food
and Drug Administration (FDA 1987) memberikan batasan jumlah sisa pelarut
yang masih diperkenankan dalam bahan makanan (Tabel 6).
Tabel 6 Residu pelarut organik yang diijinkan dalam makanana
a
Food and Drug Administration (1987).
No. Jenis Pelarut Residu (ppm)
1 2 3 4 5 6 7
Aseton
Etilen diklorida Etanol
Heksan
Isopropil alkohol Metilen diklorida Metanol
Dalam memilih jenis pelarut organik, beberapa faktor perlu
diperhatikan. Faktor-faktor itu antara lain adalah kelarutan substrat dan produk
dalam pelarut, hidrofobisitas pelarut, reaktivitas pelarut, densitas, viskositas,
tekanan permukaan, toksisitas, mudah/tidaknya terbakar, masalah
pembuangannnya ke lingkungan, serta masalah biaya (Dordick, 1989;
Hariyadi, 1996). Dari berbagai faktor tersebut yang mendapat perhatian sangat
besar adalah masalah hidrofobisitas pelarut. Hidrofobisitas pelarut organik
sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelarut tersebut dan hidrofobisitas suatu
pelarut dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan berbagai parameter.
Beberapa parameter yang dapat digunakan adalah : parameter kelarutan
Hildebrand ( ), solvatochromism of dye (EŤ) konstanta dieletrika ( ), dipole moment (µ) dan nilai logaritma koefisien partisi (log P) (Laane et al. 1987a; Hariyadi, 1995)
Nilai P (koefisien partisi) adalah koefisien partisi suatu pelarut pada
sistem dua fase yang terdiri dari fase organik dan fase air (persamaan 1).
Selanjutnya nilai log P suatu campuran pelarut-pelarut dapat ditentukan
dengan memakai rumus empiris yang diajukan oleh Hilhorst et al., (1984), proporsional dengan fraksi molar (X), sesuai dengan persamaan 2 berikut ini
Nilai log P juga telah diusulkan untuk digunakan sebagai alat untuk
menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan
sistem pelarut yang lain (Halling, 1990; Hariyadi, 1996). Nilai log P untuk
beberapa pelarut disajikan pada Lampiran 1
[pelarut] organik pers (1)
[pelarut] air P=
Bahan Pemucat Arang Aktif
Arang aktif merupakan produk yang banyak digunakan di dalam
negeri, hampir 70 % produk arang aktif digunakan untuk pemurnian dalam
sektor industri gula, minyak kelapa, farmasi, dan kimia. Selain itu juga banyak
digunakan untuk proses penjernihan air dan industri lain (Pari, 1995). Bahan
baku yang dapat dibuat menjadi arang aktif adalah semua bahan yang
mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuh – tumbuhan, binatang
ataupun barang tambang. Bahan–bahan tersebut adalah berbagai jenis kayu,
sekam padi, tulang binatang, batubara, tempurung kelapa, kulit biji kopi,
bagase dan lain–lain. Akhir–akhir ini arang aktif dibuat dari bahan baku
polimer seperti poliakrilonitril, rayon dan resol fenol (Hoyashi at al., 1984) Arang adalah suatu bahan padat yang berpori–pori dan merupakan
hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon. Sebagian dari pori–
porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain.
Komponennya terdiri dari karbon terikat (fixed carbon), abu, air, nitrogen dan sulfur (Djatmiko et al., 1985). Arang yang merupakan residu dari peruraian bahan yang mengandung karbon, sebagian besar komponennya adalah karbon
dan terjadi akibat peruraian panas. Proses pemanasan ini dapat dilakukan
dengan jalan memanasi bahan langsung atau tidak langsung di dalam
timbunan, kiln, retort dan tanur (Djatmiko et al., 1985).
Arang aktif konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari ikatan dengan
unsur lain, serta rongga atau pori dibersihkan dari senyawa lain atau kotoran
sehingga permukaan dan pusat aktif menjadi luas atau daya adsorbsi terhadap
cairan dan gas akan meningkat (Sudrajat dan Soleh, 1994). Arang aktif (arang
yang sudah diaktifkan), pori–porinya terbuka dan permukaannya bertambah
luas sekitar 300 sampai 2000 m2/g. Permukaan arang aktif yang semakin meluas ini menyebabkan daya adsorbsinya terhadap gas atau cairan semakin
tinggi.
Menurut Ferry (2002) arang aktif mengandung 2-15 % dan 2-3 % abu.
Sedangkan menurut Hassler (1974) arang aktif adalah arang halus yang
berwarna hitam tidak berbau, tidak mempunyai rasa, higroskopis, tidak larut
atau bereaksi setelah digunakan. Arang aktif berbentuk amorf, yang terdiri dari
unsur karbon. Menurut Ferry (2002) kualitas arang ditentukan oleh kadar air,
kadar zat terbang, kadar abu, kadar karbon terikat, ukuran partikel dan
kapasitas adsorbsi. Sedangkan mutu arang aktif dipengaruhi oleh bahan baku,
bahan pengaktif dan proses pengolahan. Syarat mutu arang aktif di setiap
negara berbeda–beda. Syarat mutu arang aktif di Indonesia diatur dalam
Standar Nasional Indonesia (SNI 06-3730-1995). Arang aktif dapat digunakan
dalam industri pangan dan industri bukan pangan, sebagai bahan pemucat,
penjerap gas, penjerap logam dan sebagainya. Menurut Azah et al., (1983) daya adsorbsi arang aktif dapat terjadi karena (1) adanya pori – pori mikro
yang sangat banyak yang dapat menimbulkan gejala kapiler yang
menyebabkan timbulnya daya serap (2) permukaan yang luas dari arang aktif
(3) pada kondisi bervariasi hanya sebagian permukaan yang mempunyai daya
serap, hal ini karena permukaan arang aktif bersifat heterogen, penyerapannya
hanya terjadi pada permukaan yang aktif saja.
Faktor – faktor yang mempengaruhi daya serap arang aktif antara lain
adalah : (1) sifat fisikokimia penjerap seperti ukuran pori, kehalusan dan
komposisi kimia permukaan arang aktif (2) sifat fisikokimia adsorbat seperti
ukuran dan polaritas molekul (3) sifat fase cair seperti pH dan suhu (4)
lamanya proses adsorbsi berlangsung
Pembuatan Arang Aktif
Arang adalah produk setengah jadi dalam pembuatan arang aktif.
Kualitas arang aktif yang dihasilkan diantaranya dipengaruhi oleh
kesempurnaan proses pengarangan. Proses pengarangan terdiri dari empat
tahap (Sudrajat dan Salim, 1994) : (1) pada temperatur 100–200oC terjadi penguapan air dan sampai temperatur 270oC mulai terjadi penguapan selulosa, destilat mengandung asam organik dan sedikit metanol. (2) pada temperatur
270-310 oC reaksi eksoterm berlangsung. Terjadi penguraian selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas kayu dan sedikit ter. Asam piroglinat
merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan
310-500oC, terjadi penguraian lignin, dihasilkan lebih banyak ter sedangkan larutan pirolignat menurun. Produk gas CO2 menurun sedangkan gas CO, CH4 dan H2 meningkat. (4) pada temperatur 500-1000oC merupakan tahap pemurnian arang atau peningkatan kadar karbon.
Arang aktif dapat dibuat dari bermacam – macam bahan baku yang
banyak mengandung karbon seperti kayu, serbuk gergaji, sekam padi, tongkol
jagung, tempurung kelapa, tulang dan lain – lain. Bahan baku ini dapat
diarangkan pada suhu tinggi tetapi sebaiknya di bawah 700oC.
Menurut Prawirakusuma dan Utomo (1970), khusus untuk tempurung
kelapa, suhu pengarangan sebaiknya berkisar dari 300-500oC. Pengaktifan arang dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, bahan baku
dikarbonisasi. Cara kedua, bahan baku dikarbonisasi terlebih dahulu kemudian
arang yang diperoleh direndam dalam larutan pengaktif lalu diaktifkan.
Guerrero et al. (1970) menyatakan bahwa pembuatan arang aktif dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan arang bersifat amorf dan
porous pada suhu rendah. Tahap kedua adalah proses pengaktifan arang
untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga
dapat meningkatkan porositas arang. Menurut Cheremisinoff dan Ellerbusch
dalam Pari (1995), pada kedua proses tersebut terjadi tahap-tahap sebagai
berikut : (1) dehidrasi, yaitu proses menghilangkan air (2) karbonisasi, yaitu
proses penguraian selulosa organik menjadi unsur karbon serta mengeluarkan
senyawa–senyawa nonkarbon (3) aktivasi yaitu proses pembentukan dan
penyusunan karbon sehingga pori–pori menjadi lebih besar.
Proses aktifasi arang aktif ada dua macam yaitu proses aktifasi gas dan
proses aktivasi kimia (Kienle, 1986). Prinsip pada aktifasi gas yaitu pemberian
uap air atau gas CO2 kepada arang yang telah dipanaskan. Arang yang telah dihaluskan di masukkan ke dalam tungku aktivasi dan dipanaskan pada suhu
800–1000oC. Selama pemanasan ke dalamnya dialirkan uap air atau gas CO2. Menurut Ferry (2002) selama proses pengaktifan arang terjadi beberapa
terjadi peruraian selulosa menghasilkan karbon monoksida, asam asetat dan
metanol (3) pada suhu 270oC sampai 290oC, terjadi peruraian eksotermal pada bahan menghasilkan gas dan uap bersama–sama dengan ter (4) pada suhu
290oC sampai 400oC, peruraian bahan berlangsung terus dan dihasilkan gas karbon monoksida, karbon dioksida, asam asetat, metanol dan ter (5) pada
suhu 400oC sampai 500oC, perubahan bahan menjadi arang secara teoritis telah sempurna.
Kegunaan Arang Aktif
Menurut Setyaningsih (1995), ada dua macam jenis arang aktif yang
dibedakan menurut fungsinya, yaitu : (1) arang penjerap gas yang digunakan
untuk menjerap kotoran berupa gas. Pori – pori yang terdapat pada jenis ini
adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya,
tapi molekul dari cairan tidak bisa melewatinya. Arang jenis ini dapat ditemui
pada arang tempurung kelapa. (2) arang fasa cair yang digunakan untuk
menjerap kotoran atau zat yang tidak diinginkan dari cairan atau larutan. Jenis
pori–pori dari arang ini adalah makropori yang memungkinkan molekul
berukuran besar untuk masuk. Arang jenis ini biasanya berasal dari batu bara
dan selulosa.
Saat ini arang aktif telah digunakan secara luas dalam industri kimia,
pangan dan farmasi. Sudrajat dan Salim (1994) mengemukakan bahwa arang
aktif dapat memurnikan produk yang dihasilkan industri dan juga berguna
untuk mendapatkan kembali zat–zat berharga dari campurannya serta sebagai
Tabel 7 Penggunaan Arang Aktif a
No. Tujuan Pemakaian
Untuk Gas
1. Pemurnian gas Desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk dan asap
2. Pengolahan LNG Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan mentah serta reaksi
3. Katalisator Katalisator reaksi / pengangkut vinil klorida dan vinil asetat
Untuk Cairan
1. Industri obat dan makanan
Menyaring dan menghilangkan warna
2. Minuman ringan dan keras
Menghilangkan warna dan bau
3. Kimia perminyakan Penyulingan bahan mentah, zat pewarna 4. Pembersih air Menyaring/menghilangkan warna, bau zat
pencemar dalam air, sebagai alat pelindung dan penukar resin dalam alat penyulingan air
5. Pembersih air buangan Mengatur dan membersihkan air buangan dari pencemar, warna, bau dan logam berat 6. Penambakan udang &
benur
Pemurnian, penghilangan bau dan warna
7. Pelarut yang digunakan kembali
Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa metanol, etil asetat dan lain – lain
Lain – lain
1. Pengolahan pulp Pemurnian dan penghilangan bau 2. Pengolahan pupuk Pemurnian
3. Pengolahan emas Pemurnian 4. Penyaringan minyak
makan dan glukosa
Menghilangkan warna, bau dan rasa tidak enak
a
PDII LIPI, 2005
Bahan Pemucat Bleaching Earth
Gambar 5. Struktur tanah liat montmorillonite yang telah diaktifkan
Komposisi tanah liat montmorillonite dipengaruhi oleh jenis
mineralnya dan asalnya sehingga perbandingan antara Al dan Si tidak selalu
sama akan tetapi berkisar 1 : 4. Bentuk kristal montmorillonite terdiri dari dua
lempeng silika dan satu lempeng aluminium yang menyebabkan lebih mudah
mengembang jika dibandingkan dengan tanah liat lainnya (Gambar 5). Tanah
liat montmorillonite (bleaching earth) memiliki kapasitas pertukaran ion, maka senyawa yang dijerap cenderung menempel pada permukaan tanah liat.
Proses adsorbsi 80% terjadi pada bidang yang rata dari kristal sedangkan
selebihnya terjadi pada sisi yang bersegi. Ukuran partikel tanah liat akan
mempengaruhi besarnya luas permukaan, semakin kecil ukuran partikel
semakin bertambah luas permukaan partikel.
berasal dari Amerika dikenal dengan nama Floridin, sedangkan yang berasal dari Rusia, Kanada dan Jepang dikenal dengan nama Gluchower kaolin
(Ketaren, 1986)
Bleaching earth memiliki permukaan yang luas dan mempunyai afinitas spesifik terhadap molekul bertipe pigmen terdiri dari tanah pemucat
alami dan yang telah diaktivasi. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil
perlakuan tanah pemucat alami dengan asam mineral, umumnya asam sulfat.
Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsobsi tanah tersebut sedemikian
sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah sama, tanah pemucat
aktif yang dibutuhkan hanya setengah dari tanah pemucat netral. Tanah liat
yang digunakan sebagai bahan pemucat ialah jenis montmorillonite. Tanah liat
montmorillonite terdiri dari garam Al-silika. Garam tersebut kekurangan satu
elektron sehingga mudah menerima kation, disebut dengan kapasitas
tukar ion (Naibaho, 1983). A