• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Sosiologi Sastra

Dalam karya sastra terdapat unsur-unsur yang begitu banyak. Setiap unsur bahkan unsur yang terkecilpun menentukan kebenaran nilai karya sastra itu. Oleh karena itu, menelaah karya sastra perlu dibantu dengan pendekatan dari luar karya sastra, seperti: pendekatan sosiologis, psikologis, dan historis maupun budaya. Pendekatan ini sangatlah bermanfaat untuk melengkapi penelitian terhadap sebuah karya sastra. Dari sekian unsur-unsur sastra penulis akan memfokuskan tinjauan dan penjelasan mengenai sosiologi sastra.

Kajian yang membicarakan tentang hubungan sastra dan masyarakat disebut kajian sosiologi sastra. Sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.

Nyoman (2004:79) menyatakan bahwa :

Suatu proses kehidupan mencakup hubungan antara masyarakat dengan manusia dan antara peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Pendekatan sosiologis sastra artinya menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat. Aspek sosial karya sastra kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari.

Teori sosiologi sastra sebenarnya sudah diketengahkan sejak sebelum Masehi. Sudah sewajarnya apabila sastra, yang pada awal perkembangan tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial, dianggap sebagai unsur kebudayaan yang dapat mempengaruhi masyarakatnya. Suatu dokumen memuat bahwa teori sastra adalah karya Plato.

Penulis memilih pendekatan sosiologi sastra dengan menggunakan teori Wellek dan Werren (1989:111), mereka membuat tiga konsep untuk meneliti sastra secara sosiologis sastra. Menurut mereka karya sastra dapat diteliti berdasarkan:

1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi, politik, dan lain-lainnya yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.

2. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra dalam karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahannya adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuan atau pesan yang disampaikan.

3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sastra terhadap pembaca karya sastra.

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan ini mencoba melihat sisi masyarakat pada karya sastra. Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sisni adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Yang kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.

Yang ketiga adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra mempengaruhi pembaca, menimbulkan perubahan dan perkembangan sosial. Dalam menganalisis kisah kelahiran Nabi Isa putera Maryam, penulis berpedoman pada pendekatan sosiologi sastra yang mempermasalahkan tujuan dari karya sastra maupun pesan moralnya terhadap masyarakat.

Penulis menggunakan teori Wellek dan Werren pada bagian kedua, di mana Wellek dan Werren melihat bahwa sosiologi sastra yang diteliti adalah nilai sosiologi sastra apa saja yang tersirat dalam sebuah karya sastra dan apa yang menjadi tujuan dari sebuah karya sastra.

Unsur-unsur yang akan diteliti adalah unsur yang tersirat yang mempengaruhi si pembaca / masyarakat, dan hal-hal lain yang tersirat yang menggambarkan pola-pola masyarakat serta nilai-nilai sosial yang meliputi nilai pesan moral, pesan relegius dan pesan kritik sosial (Nurgiyantoro, 1998:320-342).

1. Pesan Moral

Nilai moral tidak dapat didefenisikan karena merupakan pandangan hidup seseorang yang bersifat tidak terbatas. Nilai moral yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, dan keinginan pengarang yang bersangkutan.

Secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI,1995 dalam Nurgiyantoro, 1998:320).

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup “way of life”

pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Menurut Kenny (1996:89) dalam (Nurgiyantoro, 1998:320) :

Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis “petunjuk” itu dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita.

Nurgiyantoro (1998:323) menegaskan bahwa:

Karya sastra, senantiasa menawarkan nilai sosiologis yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat luhur pada hakikatnya bersifat universal, dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Nilai sosiologis sastra lebih memberatkan pada sifat kodrati manusia yang hakiki (yakni akhlak), bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan dan dihakimi oleh manusia. Bahkan, adakalanya ia tampak bertentangan dengan ajaran agama. Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian baik.

Moral merupakan salah satu wujud tema dalam bentuk sederhana, walaupun tidak semua tema merupakan nilai. Moral dikatakan bersifat praktis karena “ajaran” yang diberikan langsung ditunjukan secara konkret lewat sikap dan tingkah laku tokoh cerita.

Dalam suatu karya sastra banyak sekali jenis dan wujud pesan moral yang disampaikan. Dalam karya sastra sering terdapat lebih dari satu pesan moral. Hal ini belum lagi berdasarkan pertimbangan atau penafsiran dan pihak pembaca yang juga dapat berbeda-beda baik dari segi jumlah maupun jenisnya. Jenis dan wujud pesan moral yang

terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interest pengarang yang bersangkutan.

Dalam kisah kelahiran Nabi Isa putera Maryam dapat dilihat salah satu contoh moral terhadap pembaca, yaitu bahwa manusia di atas permukaan bumi ini harus berbuat baik dan selalu berusaha agar apa yang di cita-citakan tercapai.



















/Wahuj ilaiki bijiż’i al-nakhlati tusāqi

‘alaiki ru

aban janiyyan/.

dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kurma merupakan makanan yang sangat baik bagi wanita yang sedang melahirkan dan setelah melahirkan masa nifas/ selesai melahirkan, karena ia mudah dicerna, lezat lagi mengandung kalori yang tinggi.

Pada ayat di atas terlihat bagaimana Maryam as. yang dalam keadaan lemah itu masih diperintahkan untuk melakukan kegiatan dalam bentuk menggerakan pohon guna memperoleh rezeki, walaupun-boleh jadi- pohon itu tidak dapat bergerak karena lemahnya fisik Maryam setelah melahirkan dan walaupun. Ini sebagai isyarat kepada semua pihak untuk tidak berpangku tangan menanti datangnya rezeki, tetapi harus berusaha sepanjang kemampuan yang dimiliki.

2.Pesan Kritik Sosial

Banyak karya sastra yang bernilai tinggi di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial, di mana wujud kehidupan sosial yang dikritik sangat beragam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya sastra tersebut menjadi bernilai bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua intrinsiknya.

Pesan kritik sosial merupakan hubungan sosial manusia dengan lingkup sosial dan alam. Karya sastra yang memiliki kritik sosial, biasanya lahir di tengah-tengah masyarakat apabila terjadi hal-hal yang tidak baik dalam kehidupan sosial masyarakat.

Pesan kritik sosial akan ada pada karya sastra jika seseorang pengarang menjadi korban ketidak baikan di sebuah lingkungan. (Nurgiyantoro, 1998:332).

Adapun contoh ayat pada kisah kelahiran nabi Isa yang menjelaskan pada pesan kritik sosial adalah:

Surat ali ‘Imran Ayat 46

















/Wa yukallimu al-nāsa f al-mahdi wa kahlan wa mina al-şālih na./

Dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh."

Penjelasan:

Ayat yang terkandung di atas adalah, Nabi Isa telah berbicara ketika masih dalam buaian.

Tidak dijelaskan oleh ayat ini pada usia berapa beliau berbicara, tatapi tidak dapat disangkal bahwa hal tersebut terjadi pada usia buaian atau pada usia yang biasanya anak belum dapat berbicara. Karena itu, sekelompok orang yang datang untuk mengecam Maryam, karena ia melahirkan seorang bayi sedang dia belum bersuami. Dia tidak menjawab, tetapi ia menunjukan ke arah bayinya sebagaimana hal ini dijelaskan dalam surat Maryam ayat 29

Kemampuan berbicara itu bukan bukti ketuhanan Isa as. apalagi ucapan pertama yang beliau ucapkan adalah: “sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah, Dia memberiku kitab Injil dan Dia menjadikan aku seorang nabi”, sebagaimana hal ini ditegaskan dalam surat Maryam ayat 30. Di sisi lain, penegasan bahwa beliau pun berbicara pada usia dewasa menunjukkan bahwa beliau akan mencapai usia tersebut, dan demikian beliau mengalami perubahan, sedangkan yang mengalami perubahan pastilah bukan Tuhan. Jadi, bicaranya nabi Isa di waktu kecil merupakan mukjizat

Kata (اھ ) /kahlan/ yang diterjemahkan di atas dengan dewasa dipahami oleh banyak ulama sebagai usia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, demikian Mufassir al-Jamal dalam dalam al-futuhat al-habiyah.

Pesan kritik sosial yang dapat diambil adalah, kalau dilihat zaman sekarang, sangatlah langka adanya seorang bayi yang mampu berbicara sewaktu dalam buaian. Tentu ada hikmah dan pesan yang harus dipetik dari peristiwa berbicaranya seorang bayi. Peristiwa ini merupakan peringatan bagi umat manusia, untuk selalu taat pada Allah karena Dia Maha segalanya. Mungkin saja, kondisi masyarakat saat itu memperhatinkan, jauh dari ajaran agama.

3.Pesan Religius

Pesan Relegius menyatakan pesan keagamaan dari sesuatu sesuai dengan aturan agama yang ada. Istilah relegius membawa konotasi pada makna agama. Agama lebih menunjukan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi, sedangkan relegius bersifat lebih mendalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi (Mangunwijaya, 1998:11-12).

Adapun pesan relegi/keagamaan yang dapat kita ambil dari kisah kelahiran Nabi Isa putera Maryam adalah:

Dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 47

















































/Qālat rabbi annā yakūnu l waladun wa lam yamsasn basyarun qāla każāliki

Allahu yakhluqu mā yasyā`u iżā qaā amran fainnamā yaqūlu lahū kun

fayakūnu/.

Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.

Adapun pesan yang terkandung dalam ayat di atas adalah ternyata, ketika malaikat Jibril menyampaikan kepada Maryam as. bahwa dia akan melahirkan seorang anak yang bernama al-Masih Isa putera Maryam, ia sadar bahwa anak tersebut tidak berbapak, karena namanya dinisbahkan kepada Maryam, bukan kepada seorang ayah, sehingga Maryam bertanya: ”Tuhanku, aku percaya kepada-Mu, percaya juga kekuasaan-Mu. Tetapi, bagaimana bisa aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun yang bukan mahramku, apalagi melakukan hubungan yang mengakibatkan lahirnya anak.” Allah berfirman dengan perantaraan Jibril: “ Demikianlah, yakni memang engkau adalah wanita yang tidak pernah dan tidak ada bersuami, tetapi Allah mampu menganugrahkan kepadamu seorang anak, karena Allah mencipta apa yang dikehendaki-Nya. Yang demikian itu sangat mudah bagi-Nya, karena apabila Dia menetapkan sesuatu, maka sedemikian mudah dah cepat kehendak-Nya terlaksana, sehingga keadaannya hanya bagaikan Dia berfirman kepadanya: “jadilah” maka jadilah ia.

Kata (نك) / kun/ dalam ayat ini digunakan sekedar untuk menggambarkan betapa mudah Allah menciptakan sesuatu dan betapa cepat terciptanya sesuatu bila Dia menghendaki. Cepat dan mudahnya itu diibaratkan dengan mengucapkan kata kun. Walaupun sebenarnya Allah tidak perlu mengucapkannya karena Dia tidak memerlukan suatu apa pun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya. Sekali lagi, kata kun hanya melukiskan buat manusia betapa Allah tidak membutuhkan sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya dan betapa cepat sesuatu dapat terwujud, bahkan lebih cepat jika Dia menghendaki dari waktu yang digunakan manusia mengucapkan kata kun. Perlu dicatat bahwa ini bukan berarti Isa as, lahir secara cepat, dan tanpa proses sebagaimana dialami oleh para ibu ketika melahirkan. Kisah kelahiran ini dijelaskan dalam surat Maryam ayat 16-26 yang menjelaskan proses mulai dari kehamilan Maryam sampai detik-detik menjelang kelahiran puteranya.

Pesan religinya adalah Allah ingin membuktikan kepada manusia akan keMaha Kekuasaan-Nya. Jika Allah berkehendak terhadap sesuatu, dia tak butuh proses, tak terikat hukum sebab akibat, dan lain-lain. Hal ini dapat dipahami melalui kata يفنك.

Dokumen terkait