BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.5 Spektrofotometri
2.5.2 Spektrofotometri inframerah
Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk:
1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik 2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik
Prinsip kerja spektrofotometri inframerah yaitu interaksi antara energi dengan suatu materi. Spektrofotometri inframerah berfokus pada radiasi elektromagnetik pada rentang frekuensi 4000-200 (Khopkar, 1990). Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul yang dapat menyebabkan pita sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Bentuk spektrum inframerah yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah. Satuan frekuensi yang digunakan pada garis horizontal dinyatakan dalam bilangan gelombang yang didefinisikan sebagai banyaknya gelombang dalam tiap satuan panjang (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu panjang gelombang 2,5-50 µm atau bilangan gelombang 4000-200 . Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul yang dapat menyebabkan pita dan absorbansi sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).
Daerah spektra spektroskopi inframerah dibagi dalam tiga kisaran yaitu inframerah dekat (12.500-4000 ), inframerah tengah (4000-400 ) dan
inframerah jauh (400-100 ). Daerah inframerah tengah merupakan daerah yang digunakan untuk penentuan gugus fungsi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Dua kawasan penting dalam pemeriksaan awal sebuah spektrum adalah daerah 4000 – 1300 (2,5 – 7,7 µm) dan daerah 909 – 650 (11,0 – 15,4 µm). Bagian kerapatan tinggi sebuah spektrum disebut daerah gugus fungsi.
Kerapatan khas bagi gugus-gugus fungsi yang penting seperti OH, NH dan C=O terletak pada bagian itu (Silverstein, 2005).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental. Isolat yang diperoleh di uji kemurniannya dengan metode KLT satu arah dan KLT dua arah, karakterisasi isolat dengan spektrofotometri UV dan IR.
3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas (Iwaki Pyrex), bejana, blender (Philips), mikroskop (Olympus), neraca analitik (Vibra AJ), neraca kasar (Homeline), oven listrik (Memmert), Penangas Air (Yenaco), seperangkat alat kromatografi lapis tipis, seperangkat alat penentu kadar air (Pyrex), spektrofotometer UV dan spektrofotometer IR (shimadzu).
3.3.2 Bahan-bahan
Bahan yang digunakan adalah helaian daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq), aquadest, bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisa kecuali dinyatakan lain adalah amil alkohol, ammonia hidroksida, asam asetat anhidrida, asam klorida, asam nitrat, asam sulfat, benzene, besi (III) klorida,
bismuth (III) nitrat, etanol, etilasetat, iodium, kalium iodida, kloroform, metanol, n-heksan, silika gel 60 , raksa (II) klorida, serbuk magnesium, timbal (II) asetat dan toluen.
3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi
Pembuatan pereaksi di bawah ini menurut Dirjen POM RI, 1995:
3.4.1 Pereaksi Liebermann-Burchard
Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat pekat tambahkan etanol hingga 50 ml. (Depkes RI, 1995).
3.4.2 Pereaksi natrium hidroksida 2 N
Sebanyak 8,002 g natrium hidroksida kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.4.3 Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dilarutkan dalam larutan kalium iodida dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.4.4 Peraksi Molisch
Sebanyak 3 g alfa-naftol dilarukan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.4.5 Pereaksi asam sulfat 2 N
Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1995).
3.4.6 Pereaksi Dragendorff
Sebanyak 0,6 g bismuth (II) nitrat dilarutkan dalam 2 ml asam klorida pekat, lalu ditambahkan 10 ml air suling. Pada wadah lain dilarutkan 6 g kalium
iodida dalam 10 ml air suling. Kemudian kedua larutan dicampurkan dengan 7 ml asam klorida pekat dan 15 m air suling (Depkes RI, 1995).
3.5 Pengambilan dan Pengolahan Sampel 3.5.1 Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah helaian daun kelapa sawit yang diambil dari perkebunan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Sei Pancur Tanjung Morawa Medan. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan sampel yang sama dari daerah lain.
3.5.2 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan kelapa sawit dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
3.6 Pengolahan sampel
Helaian daun kelapa sawit dibersihkan dari pengotoran dan tulang daunnya (lidi) dibuang, dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan lalu ditimbang berat basahnya. Selanjutnya dikeringkan di lemari pengering pada suhu ± 40 C hingga rapuh. Sampel yang telah kering dihaluskan atau diserbuk menggunakan blender dan ditimbang, selanjutnya disimpan dalam wadah bersih.
3.7 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik
Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan mengamati bentuk, bau, rasa dan warna dari serbuk simplisia daun kelapa sawit.
3.8 Skrining Fitokimia Simplisia daun kelapa sawit 3.8.1 Pemeriksaan glikosida
Sebanyak 3 g serbuk simplisia kemudian disari 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling ditambahkan dengan 10 ml asam klorida 2 N. Direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M lalu dikocok selama 5 menit dan disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran 3 bagian kloroform dan 2 isopropanol dilakukan berulang sebanyak 3 kali.
Kumpulan sari air diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50℃. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut, yaitu 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di penangas air. Sisa filtrat dilarutkan dalam 2 ml air suling dan 5 tetes pereaksi Molisch kemudian secara perlahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung reaksi. Glikosida pada tumbuhan dikatakan positif jika terbentuk cincin ungu (Depkes RI, 1995).
3.8.2 Pemeriksaan saponin
Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, jika terbentuk buih yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm dan penambahan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).
3.9 Pembuatan Ekstrak n-heksan
Sebanyak 500 g (10 bagian) serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah gelas berwarna gelap dan ditambahkan pelarut n-heksan sebanyak 7500 ml (15
bagian), ditutup dan biarkan selama 2 hari sambil sesekali diaduk. Pisahkan maserat, ampas dicuci kembali dengan pelarut n-heksan dengan cara yang sama diatas, maserat dipisahkan. Semua maserat yang diperoleh digabung, kemudian diuapkan dengan alat rotary evaporator dengan suhu ± 40°C, hasilnya diperoleh ekstrak kental (Mabry, 1970).
3.10 Pembuatan Fraksi N-heksan Daun Kelapa Sawit
Ampas (sisa) di angin-anginkan selama 10 menit. Kemudian di refluks untuk memisahkan glikon dan aglikonnya menggunakan HCl 2N selama 5 jam.
Diambil filtrat dipartisi dengan n-heksan dan didiamkan selama 12-18 jam.
Diambil lapisan n-heksan (lapisan atas), kemudian diuapkan hingga pekat, maka didapatkan fraksi n-heksan. Fraksi n-heksan dianalisis dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Aglikon saponin berada dalam lapisan n-heksan (Robinson, 1991).
3.11 Analisis Fraksi n-heksan secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Fraksi n-heksan dianalisis secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan fase diam plat pra lapis tipis silika gel GF 254 dengan fase gerak n-heksan-etil asetat dengan perbandingan (90:10), (80:20), (70:30), (60:40). Hasil analisis KLT diidentifikasi menggunakan penampak bercak Liebermann-Burchard (Harborne, 1987).
Cara kerja:
Fraksi ditotolkan pada plat lapis tipis silika gel GF 254, kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai plat di keluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan
penampak bercak Liebermann-Burchard dan di panaskan dalam oven pada suhu 110℃ selama 5 menit lalu diamati perubahan warna yang terjadi.
3.12 Isolasi senyawa saponin secara Kromatografi Lapis Tipis Preparatif Hasil yang menunjukkan fase terbaik digunakan untuk pengembang pada KLT preparatif sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard dan sebagai fase gerak digunakan n-heksan-etilasetat (60:40) dan fase diam plat pra lapis silika gel GF 254 (Harborne, 1987).
Cara kerja:
Fraksi n-heksan ditotolkan seperti pita pada jarak 1,5 cm dari tepi bawah plat KLT berukuran 20x20 cm yang telah diaktifkan, setelah hasil penotolan kering plat KLT dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak, pengembang dibiarkan naik membawa komponen yang ada, setelah mencapai batas pengembang plat dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Bagian plat ditutup dengan kaca yang bersih sedangkan pada sisi kanan dan kiri plat sebanyak ± 1 cm disemprot dengan penampak bercak Liebermann-Burchard.
Silika pada bagian tengah plat yang sejajar dengan bercak noda dikerok dan dikumpulkan. Silika yang dikumpulkan direndam dengan methanol p.a, kemudian dilakukan uji kemurnian terhadap isolat yang diperoleh.
3.13 Uji Kemurnian Isolat
3.13.1 Uji kemurnian isolat dengan KLT satu arah
Terhadap isolat dilakukan uji kemurnian dengan KLT satu arah menggunakan fase diam plat pra lapis silika gel GF254 dan fase gerak n-Heksana-etilasetat (80:20), (60:40), dan toluen-n-Heksana-etilasetat (70:30) dan sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard (Sastrohamidjojo, 1985).
Cara kerja:
Isolat ditotolkan pada plat pra lapis silika gel GF254 yang sebelumnya telah diaktifkan, kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang telah jenuh dengan uap pengembang dan ditutup rapat. Setelah itu, plat dikeluarkan dari bejana kromatografi dan dikeringkan diudara, kemudian plat disemprot dengan larutan penampak bercak Liebermann-Burchard. Warna bercak yang terjadi diamati dan dihitung harga Rf-nya.
3.13.2 Uji kemurnian isolat dengan KLT dua arah
Terhadap isolat dilakukan uji kemurnian dengan KLT dua arah menggunakan fase diam plat pra lapis silika gel GF254, fase gerak pertama n-heksana-etilasetat (60:40), fase gerak kedua toluen-etilasetat (70:30) dan sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard (Sastrohamidjojo, 1985).
Cara kerja:
Isolat ditotolkan pada plat pra lapis silika gel GF254 yang sebelumnya telah diaktifkan, kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang telah jenuh dengan uap fase gerak pertama dan ditutup rapat. Setelah itu, plat dikeluarkan dari bejana kromatografi, lalu diputar 90℃ dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang telah jenuh uap fase gerak kedua dan di tutup rapat.
Setelah itu, plat dikeluarkan dan dikeringkan diudara, kemudian plat disemprot dengan larutan penampak bercak LB. Warna bercak yang terjadi diamati dan dihitung harga Rf-nya.
3.14 Karakterisasi Isolat
Karakterisasi senyawa saponin hasil isolasi dilakukan dengan Spektrofotometri UV dan Spektrofotometri IR.
3.14.1 Karakterisasi Isolat Dengan Spektrofotometri UV
Isolat hasil isolasi dilarutkan dalam methanol p.a, kemudian dimasukkan ke dalam kuvet yang telah dibilas dengan methanol, selanjutnya absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 200-400 nm (Khopkar, 1990).
3.14.2 Karakterisasi Isolat Dengan Spektrofotometri IR
Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri inframerah dilakukan dengan cara mencampur isolat dengan kalium bromida menggunakan alat mixture vibrator, kemudian dicetak menjadi pellet dan dimasukkan ke dalam alat spektrofotometri inframerah lalu diukur spektrum inframerah pada bilangan gelombang 4000-500 (Khopkar, 1990).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Sampel
Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Herbarium Medanense Universitas Sumatera Utara terhadap bahan yang diteliti adalah tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) suku Arecaceae. Gambarnya dapat dilihat dibawah ini.
Gambar 4.1 Tumbuhan kelapa sawit
4.2 Hasil skrining fitokimia
Hasil skrining fitokimia pada serbuk simplisia daun kelapa sawit positif glikosida dan saponin. Skrining glikosida dengan penambahan pereaksi Molisch dan asam sulfat pekat melalui dinding tabung membentuk cincin berwarna ungu yang menunjukkan adanya senyawa glikosida. Terbentuknya busa yang stabil dengan pengocokan dalam air dan tidak hilang dengan penambahan HCl 2N menunjukkan adanya senyawaa saponin (Depkes RI 1995).
Tabel 4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk daun kelapa sawit
No Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
1 Saponin +
2 Glikosida +
Keterangan:
+ = mengandung golongan senyawa - = tidak mengandung golongan senyawa
4.3 Hasil Ekstraksi Simplisia Daun Kelapa Sawit
Hasil ekstraksi simplisia daun kelapa sawit dicuci dengan pelarut n-heksan dari 1 kg serbuk simplisia setelah dipekatkan menggunakan rotary evaporator diperoleh ekstrak kental 4 g. Penggunaan pelarut n-heksan adalah untuk menarik senyawa non polar yang bertujuan untuk melarutkan lemak atau senyawa lain.
4.4 Hasil Analisis Fraksi n-Heksan Secara KLT
Analisis senyawa saponin dengan KLT diperoleh satu bercak berwarna merah ungu pada fase gerak (90:10), (70:30), (80:20) dan tiga bercak berwarna merah ungu pada fase gerak (60:40). Harga Rf dari masing-masing perbandingan fase gerak dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan pola kromatogram pada Lampiran 10, halaman 47-48.
Fase gerak yang memberikan pemisahan terbaik adalah n-heksan-etilasetat (60:40) karena memberikan bercak yang lebih banyak dan pemisahannya lebih bagus. Selanjutnya dilakukan pemisahan terhadap senyawa saponin dengan KLT
preparatif untuk mendapatkan senyawa saponin dalam jumlah lebih banyak menggunakan fase diam silika gel 60 F254 dan penampak bercak pereaksi LB.
Tabel 4.2 Harga Rf Hasil analisis KLT fraksi n-heksan daun kelapa sawit No Fase gerak
4.5 Hasil Uji Kemurnian Isolat
Hasil uji kemurnian isolat dengan KLT satu arah menggunakan fase gerak n-heksan-etilasetat dengan perbandingan (80:20), (60:40) dan toluen-etilasetat (70:30) dengan penampak bercak pereaksi LB menunjukkan satu bercak tunggal berwarna merah ungu. Harga Rf dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Harga Rf uji kemurnian isolat
No Perbandingan fase gerak Harga Rf Penampak noda Liebemann-Burchard
1 n-heksan-etilasetat 80:20 0,18 Merah ungu
2 n-heksan-etilasetat 60:40 0,97 Merah ungu
3 Toluene-etilasetat 70:30 0,57 Merah ungu
Pemeriksaan uji kemurnian KLT dua arah dengan fase gerak pertama n-heksan-etilasetat (60:40) dan fase gerak kedua toluen-etilasetat (70:30) dengan penampak bercak pereaksi LB, hasilnya tetap memberikan satu bercak warna merah ungu dengan harga Rf 0,57. Ini menunjukkan bahwa saponin yang dihasilkan dari KLT preparatif telah murni. Kromatogram uji kemurnian dapat dilihat pada Lampiran 12-13, halaman 50-51.
4.6 Hasil Karakterisasi Isolat dengan Spektrofotometri UV dan IR
Spektrum ultraviolet isolat memberikan panjang gelombang absorbansi maksimum pada 202,8 nm. Hal ini menunjukkan adanya ikatan C=C tidak terkonjugasi akibat adanya transisi electron → ∗ (sastrohamidjojo, 1985).
Gambar spektrum ultraviolet isolat dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 52.
Hasil spektrofotometri inframerah terhadap isolat menunjukkan pita serapan yang melebar pada bilangan gelombang 3402,43 menunjukkan adanya gugus OH, bilangan gelombang 2920,23 dan 2858,51
menunjukkan adanya C-H. Pita serapan C-O pada bilangan gelombang 1107,14 . Bilangan gelombang 1624,06 menunjukkan adanya gugus C=C.
Serapan pada bilangan gelombang 1450,47 menunjukkan adanya . Hal ini dapat dilihat berdasarkan daerah serapan IR menggunakan hukum Hooke dimana gugus OH (3600-3300 .), gugus C-H (3000-2850 .), gugus C=C (1600-1500), gugus C-O (1250-1000 .) (Silverstein, 2005).
Gugus yang didapatkan pada spektrofotometer inframerah menyerupai struktur steroida saponin dengan mempunyai gugus C-H dan C-O (Robinson, 1991).
Gambar spektrum inframerah isolat dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 53.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Hasil analisis fraksi n-heksan dengan KLT diperoleh fase gerak yang terbaik adalah n-heksan:etilasetat (60:40), dari hasil KLT preparatif diperoleh 2 noda dan 1 noda yang lebih dominan dengan Rf (0,57) warna merah ungu.
2. Hasil karakterisasi dengan spektrofotometri UV memberikan absorbansi maksimum pada panjang gelombang (λ) 202,8 nm dan hasil spektrofotometri IR gugus yang didapatkan adalah gugus OH, C-H, C-O, C=C, .
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan identifikasi senyawa isolat saponin yag diperoleh dengan spektrofotometer massa, C-NMR, H-NMR dan mengisolasi senyawa lain serta uji aktivitas senyawa yang dikandung pada daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq).
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, evy. 2012. Karakterisasi dan isolasi senyawa triterpenoid/steroid daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Medan: Fakultas Farmasi USU.
Halaman 30.
Adlin, L. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2.
Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Halaman 24-25.
Agarwal, A. 2016. Duality of anti-nutritional factors in pulses. J Nutr Disorders Ther 6 (1): 1-2.
Avato, P.R., A. Bucci, C. Tava, A. Vitali, Z.Rosato, M. Bialy, & M. Jurzysta.
2006. Antimicrobial activity of saponins from Medicago spp.: Structure-activity relationship. Phytother. Res. 20: 454 - 457.
Balick, M.A. 1996. Plant, People and Culture: The Science Of Ethnobotany.
New York: Scientific American Library W.H Freeman and Company.
Halaman 12.
Chong, K.H., Zuraini, Z., Sasidharan, S., Devi, P.V.K., Latha, L.Y., and Ramanathan, S. 2008. Antimicrobial Activity of Elaeis guineensis leaf.
Pharmacologyonline. 3, 379–386.
Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.
Cetakan Pertama. Padang: Andalas University Press. Halaman 1, 21 dan 27
Depkes R.I. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 6-7.
Depkes R.I. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 323-325, 334.
Depkes RI. 2000. Farmakope Indonesia. Edisi Tiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7, 33, 534, 744, 748.
Ditjen POM RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Halaman 5-25.
Farnsworth, N.R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plant.
Journal of Pharmaceutical Sciences. 55(3): 262-263.
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Halaman 323, 353-361.
Gosse, B., J. Gnabre, R.B. Bates, C.W. Dicus, P. Nakkiew, & R.C.C. Huang.
2002. Antivirus saponins from Tieghemella heckelii. Journal of Natural Products. 65: 1942–1944.
Gritter, R.J., Bobbit, J.M., Schwarting, A. E. 1991. Pengantar Kromatografi.
Edisi Kedua. Bandung: ITB. Halaman 6, 108-123.
Gunawan, D. dan Mulyani, S. (2004). Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid Pertama. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 87.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan Padmawinata K, Soediro I, Niksolihin S. Terbitan Pertama. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hal. 151
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Halaman 465.
Hostettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A. 1995. Cara Kromatografi Preparatif: Penggunaan Pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah: Kokasi
Padmawinata. Bandung: ITB. Halaman 9-12, 33-34.
Jurzysta, M. 1973. Isolation and Chemical characterization of saponins from lucerne seeds (Medicago media Pers.). Acta Societatis Botanicorum Poloniae. 42(2): 202.
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman 222-223, 248.
Mabry, T.J., Markham, K.R., Thomas, M.B., 1970, The Systematic and Identification of Flavonoid, Hal 3-56, Springer-Verlag, New York:
Helderberg-Berlin.
Majinda, R.R.T. 2012. Extraction And Isolation Of Saponins. Natural Products Isolation. Methods In Molecular Biology. 864:1. Pages 415-417.
Merck, E., Darmstadt. 1978. Dyeing Reagents for Thin Layer and Paper Chromatography. German: Federal Republic of Germany. Page 1.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemindahan Senyawa dan Identifikasi Senyawa Aktif. Jurnal Kesehatan. 7: 362-363.
Netala, V.R., Ghosh, S.B., Bobbu, P., Anitha, D., Dan Tartte, V. 2015.
Triterpenoid Saponins: A Review On Biosynthesis, Applications And Mechanism Of Their Action. Internasional Journal Of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 7(1): 24-27.
Nyananyo, B.L., Mensah, S.I., Achama, C. 2010. Phytochemical Investigations of Some Tropical Plants. From The Niger Delta Area ff Nigeria: Scientia Africana. 9 (1), 173-177
Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi VI. Bandung:
Penerbit ITB. Halaman 193.
Sashidaran, S., Logeswaran, S., Yoga L, L. 2010. Wound Healing Activity of Elaeisguineensis Leaf Extract Ointment. International Journal of molecular Sciences. 13(1): 336-347.
Sastrosayono, S. 2008. Budidaya Kelapa Sawit. Jakarta: PT Agromedia Pustaka.
Halaman 6.
Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty. Halaman 6, 28-35.
Sastrohamidjojo, H. 1990. Sintesis Bahan Alam. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Silverstein, R.M., Webster, F.X., Kiemle, D.J. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds. Seventh Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Page 75.
Singh, J. & P.S. Basu. 2012. Non-nutritive bioactive compounds in pulses and their impact on human health: An overview. Food and Nutrition Sciences.
3: 1664-1672.
Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi.
Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro. Bandung:
Penerbit ITB. Halaman 5.
Stuart, B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications.
Australia: John Willey & Sons, Ltd. Pages 72, 77.
Sreenivasan, S., Rajoo, N., Rathinam, X., Lachimanan, Y. L., dan Rajoo, A.
2010. Wound Healing Potential of Elaeis Guineensis Jacq Leaves in an Infected Albino Rat Model. Molecules. 1(5). 3186-3199.
Vijayarathna, S., Zakaria, Z., Chen, Y., Latha, L.Y., Kanwar J.R., and Sasidharan, S. 2012. The Antimicrobial Efficacy of Elaeis guineensis:
Characterization. in Vitroand in Vivo Studies: Molecules. 17, 4860-4877.
Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Lampiran 2. Gambar satu pelepah kelapa sawit
Tulang daun/ Lidi
Daun
Lampiran 3. Gambar simplisia daun kelapa sawit
Lampiran 4. Gambar Gambar Spektrofotometer UV
Lampiran 5. Gambar Spektrofotometer IRGambar Spektrofotometer IR
Lampiran 6. Bagan Kerja Penelitian
Dibersihkan dari kotoran dan tulang daunnya (lidi) dibuang
Dicuci dengan air bersih Dikeringkan di dalam lemari pengering suhu ± 40℃
Ditimbang
Diserbuk / dihaluskan Ditimbang
Daun kelapa sawit
Simplisia
Serbuk simplisia
Skrining Fitokimia untuk pemeriksaan:
a. Saponin b. Glikosida
Lampiran 6 (lanjutan)
Dicuci dengan pelarut n-heksan dalam wadah gelap sampai terendam selama 2 hari sambil sesekali diaduk
Disaring
Dicuci dengan n-heksan dan dibiarkan selama 2 hari Disaring
Dicuci dengan n-heksan dan selama 2 hari
Disaring
Dikumpulkan Diuapkan dengan rotary evaporator dengan suhu ± 40℃
Serbuk simplisia
Ampas (sisa) Maserat I
Ampas (sisa) Maserat II
Ampas (sisa) Maserat III
Ekstrak kental
Lampiran 7. Bagan pembuatan fraksi n-heksan daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Ditambahkan HCl 2N dan di refluks selama 5 jam
Didinginkan kemudian saring
Diuapkan di waterbath sampai 1/3 bagian dari awal
Ditambahkan n-heksan kemudian dipisahkan
dipekatkan menggunakan penangas air suhu 45℃
Ampas (sisa)
Filtrat Ampas
Lapisan n-heksan Lapisan air
Fraksi n-heksan
lampiran 8. Bagan analisis fraksi n-heksan daun kelapa sawit secara KLT
di KLT dengan :
Fase Gerak : n-heksan-etilasetat (9:1; 8:2; 7:3; 6:4) Fase Diam : silika gel GF 254
Penampak noda : Liebermann-Burchard Fraksi n-heksan
Kromatogram KLT
Lampiran 9. Bagan isolasi senyawa saponin dari fraksi n-heksan daun kelapa sawit
Di KLT, fase gerak = n-heksan- etilasetat pada berbagai perbandingan, Fase diam = silika gel GF 254
Lampiran 10. Gambar kromatogram KLT fraksi n-heksan daun kelapa sawit dengan beberapa perbandingan fase gerak.
A B
Keterangan:
Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak = n-heksan-etilasetat dengan perbandingan A = (90:10), B = (80:20), penampak bercak = Liebermann-Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.
No A B
Lampiran 10. (lanjutan)
Keterangan:
Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak =
dengan perbandingan C = (70:30), D = (60:40), penampak bercak = Liebermann Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.
No C
Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak = n-heksan
dengan perbandingan C = (70:30), D = (60:40), penampak bercak = Liebermann Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.
C D dengan perbandingan C = (70:30), D = (60:40), penampak bercak = Liebermann-Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.
Warna
Lampiran 11. Gambar kromatogram isolasi senyawa saponin secara KLT preparatif
Keterangan:
Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak = n-heksan-etilasetat (60:40) penampak bercak = Liebermann burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.
No Noda Rf Warna
1 1 (polar) 0,34 Kuning
2 2 (non-polar) 0,58 Merah ungu
0,0 5,0
1,0 bp
tp 2
1
Lampiran 12. Gambar Kromatogram KLT satu arah dari isolat dengan fase gerak yang berbeda
A B C
Keterangan:
Fase diam = plat pra lapis silika gel GF254, fase gerak = A. n-heksan-etilasetat (80:20), B. n-heksan-etilasetat (60:40), C. Toluen-etilasetat (70:30), penampak bercak = Liebermann-Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas penotolan
Fase diam = plat pra lapis silika gel GF254, fase gerak = A. n-heksan-etilasetat (80:20), B. n-heksan-etilasetat (60:40), C. Toluen-etilasetat (70:30), penampak bercak = Liebermann-Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas penotolan