• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) SKRIPSI OLEH: KHAIRUNNISA NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) SKRIPSI OLEH: KHAIRUNNISA NIM"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN KELAPA SAWIT (

PROGRAM

UNIVERSITAS SUMATERA

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq

SKRIPSI

OLEH:

KHAIRUNNISA NIM 151501115

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN Jacq)

SARJANA FARMASI

(2)

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN KELAPA SAWIT (

Diajukan sebagai salah

Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

PROGRAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

KHAIRUNNISA NIM 151501115

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN Jacq)

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

SARJANA FARMASI

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan ridhoNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Isolasi Golongan Senyawa Saponin dari Daun Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Bapak Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt., dan Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt., dan Ibu Dra.

Herawati Ginting, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik selama perkuliahan dan Ibu Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt., selaku penasehat akademik yang memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orangtua, Ayahanda Zainal Abidin Hasibuan dan ibunda Farida Hanum Batubara tercinta, serta kakak, abang dan teman-teman seperjuangan atas doa, dukungan, semangat dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini.

(5)
(6)
(7)

ISOLASI GOLONGAN SENYAWA SAPONIN DARI DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

ABSTRAK

Latar Belakang: Salah satu kandungan senyawa metabolit sekunder dalam daun kelapa sawit adalah saponin, yang berkhasiat sebagai antibakteri, antivirus, sitotoksik atau antikanker dan efek hipokolesterolemia. Daun kelapa sawit memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder yaitu triterpenoid/steroid, saponin, tanin, glikosida, flavonoid dan alkaloid.

Tujuan: Isolasi golongan senyawa saponin dari fraksi n-heksan daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) .

Metode: Serbuk simplisia dibebas lemakkan dengan n-heksan, ampasnya (sisa) direfluks dengan HCl 2N selama 5 jam, filtrat yang diperoleh diuapkan sampai sepertiganya. Filtratnya dipartisi dengan pelarut n-heksan, kemudian dianalisis secara kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan fase gerak n-heksan-etilasetat perbandingan (90:10), (80:20), (70:30), (60:40), dengan penampak bercak pereaksi Liebermann-Burchard. Selanjutnya dipisahkan dengan KLT preparatif menggunakan fase gerak n-heksan-etilasetat (60:40). Isolat yang diperoleh diuji kemurniannya dengan KLT satu arah menggunakan fase gerak n-heksan-etilasetat (80:20), (60:40) dan toluen-etilasetat (70:30) dan KLT dua arah menggunakan fase gerak n-heksan-etilasetat (60:40) dan toluen-etilasetat (70:30), penampak bercak pereaksi Liebermann-Burchard. Isolat yang telah murni dikarakterisasi menggunakan spektrofotometri UV dan IR.

Hasil: Hasil skrining fitokimia dari simplisia daun kelapa sawit positif terhadap saponin dan glikosida. Hasil analisis fraksi n-heksan dengan KLT diperoleh fase gerak yang terbaik adalah n-heksan:etilasetat (60:40), dari hasil KLT preparatif diperoleh 2 noda Rf (0,34), (0,58) dan 1 noda yang lebih dominan dengan Rf (0,58). Hasil karakterisasi dengan spektrofotometri UV memberikan absorbansi maksimum pada panjang gelombang (λ) 202,8 nm dan hasil spektrofotometri IR gugus yang didapatkan adalah gugus OH, C-H, C-O, C=C, .

Kata kunci: daun kelapa sawit, saponin, kromatografi lapis tipis, spektrofotometri UV dan IR.

(8)

ISOLATION OF SAPONIN COMPOUNDS FROM OIL PALM LEAF (Elaeis guineensis Jacq)

ABSTRACT

Background: One of the secondary metabolite compounds contained in oil palm leaf is saponin, which has antibacterial, antiviral, cytotoxic or anticancer and hypocholesterolemia effects. Oil palm leaf contain secondary metabolites, namely triterpenoids / steroids, saponins, tannins, glycosides, flavonoids and alkaloids.

Purpose: The isolation of saponin compounds from the n-hexane fraction of oil palm leaf (Elaeis guineensis Jacq).

Method: Powdered simplex was defatted with n-hexane, the marc refluxed with HCl 2N for 5 hours, the filtrate obtained is evaporated up to one third, the filtrate then was partitioned with n-hexane, the n-hexane fraction was analyzed by thin layer chromatography (TLC) the mobile phase n-hexane-ethylacetate in the ratio (90:10), (80:20), (70:30), (60:40), visualizing reagent Liebermann-Burchard reagent. Subsequently separated by preparative TLC n-hexane-ethylacetate mobile phase in a ratio (60:40), the obtained isolates were tested for purity with one-way TLC mobile phases n-hexane-ethylacetate (80:20), (60:40) and toluene- ethylacetate (70:30) and two-way TLC mobile phases n-hexane-ethylacetate (60:40) and toluene-ethylacetate (70:30), visualizing reagent Liebermann- Burchard reagent. The results of pure isolates were characterized UV and IR spectrophotometries.

Results: : Phytochemical screening results from oil palm leaf simplicia are positive for saponins and glycosides. The results of analysis of the n-hexane fraction with TLC obtained the best mobile phase was n-hexane: ethylacetate (60:40), from the preparative TLC results obtained 2 stains Rf (0.34), (0.58) and 1 stain which was more dominant with Rf (0.58) red purple. The results of characterization with UV spectrophotometry gave maximum absorbance at wavelength (λ) of 202.8 nm and the results of IR spectrophotometry obtained were OH groups, C-H, C-O, C = C, .

Keywords: Oil palm leaf, saponin, thin layer chromatography, UV and IR spectrophotometry.

(9)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERNYATAAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Habitat tumbuhan ... 5

2.1.2 Morfologi ... 5

2.1.3 Nama lain ... 5

2.1.4 Sistematika tumbuhan ... 6

2.1.5 Kandungan kimia ... 6

2.1.6 Khasiat tumbuhan ... 6

2.2 Uraian Kimia ... 7

2.2.1 Saponin ... 7

2.2.2 Glikosida ... 9

2.2.3 Triterpenoid/Steroid ... 10

2.3 Ekstraksi ... 10

2.4 Kromatografi ... 12

2.4.1 Kromatografi kolom ... 13

2.4.2 Kromatografi cair kinerja tinggi ... 14

2.4.3 Kromatografi gas ... 14

2.4.4 Kromatografi lapis tipis ... 14

2.4.5 Kromatografi lapis tipis preparatif ... 16

2.4.6 Kromatografi lapis tipis dua arah ... 16

2.5 Spektrofotometri ... 17

2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet ... 17

(10)

2.5.2 Spektrofotometri inframerah ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Lokasi penelitian ... 21

3.2 Metode penelitian ... 21

3.3 Alat dan bahan ... 21

3.3.1 Alat ... 21

3.3.2 Bahan ... 21

3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 22

3.4.1 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 22

3.4.2 Pereaksi natrium hidroksida 2N ... 22

3.4.3 Pereaksi Bouchardat ... 22

3.4.4 Pereaksi Molisch ... 22

3.4.5 Pereaksi asam sulfat 2N ... 22

3.4.6 Pereaksi Dragendrof ... 22

3.5 Pengambilan dan pengolahan sampel ... 22

3.5.1 Pengambilan sampel ... 23

3.5.2 Identifikasi tumbuhan ... 23

3.6 Pengolahan sampel ... 23

3.7 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik ... 23

3.8 Skrining fitokimia simplisia daun kelapa sawit ... 24

3.8.1 Pemeiksaan glikosida ... 24

3.8.2 Pemeriksaan saponin ... 24

3.9 Pembuatan ekstrak n-heksan ... 24

3.10 Fraksinasi n-heksan ... 25

3.11 Analisis fraksi n-heksan secara kromatografi lapis tipis ... 25

3.12 Isolasi senyawa saponin secara KLT preparatif ... 26

3.13 Uji kemurnian isolat ... 26

3.13.1 Uji kemurnian isolat dengan KLT satu arah ... 26

3.13.2 Uji kemurnian isolat dengan KLT dua arah ... 27

3.14 Karakterisasi isolat ... 27

3.14.1 karakterisasi isolat dengan cara spektrofotometri UV ... 28

3.14.2 karakterisasi isolat dengan cara spektrofotometri IR ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Identifikasi sampel ... 29

4.2 Hasil skrining fitokimia ... 29

4.3 Hasil ekstraksi serbuk simplisia ... 30

4.4 Hasil analisis fraksi n-heksan secara KLT ... 30

4.5 Hasil uji kemurnian isolat ... 31

4.6 Hasil karakterisasi isolat dengan spektrofotometri UV dan IR ... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan ... 33

5.2 Saran ... 33

(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 34 LAMPIRAN ... 3

(12)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Struktur kima sapogenin ... 8 2.2 Struktur kimia triterpenoid ... 8 2.3 Struktur kimia steroid ... 9

(13)

DAFTAR TABEL

4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun kelapa sawit ... 30 4.2 Haga Rf hasil analisis KLT fraksi n-heksan daun kelapa sawit ... 31 4.3 Harga Rf uji kemurnian isolat ... 31

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil identifikasi tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) ... 37

2. Gambar satu pelepah kelapa sawit ... 38

3. Gambar simplisia daun kelapa sawit ... 39

4. Gambar spektrofotometri UV ... 40

5. Gambar spektrofotometri IR ... 41

6. Bagan Kerja Penelitian ... 42

7. Bagan pembuatan fraksi n-heksan daun kelapa sawit ... 44

8. Bagan analisis fraksi n-heksan daun kelapa sawit secara KLT ... 45

9. Bagan isolasi senyawa saponin dari fraksi n-heksan ... 46

10. Gambar kromatogram KLT fraksi n-heksan ... 47

11. Gambar kromatogram senyawa saponin secara KLT preparatif ... 49

12. Gambar Kromatogram KLT satu arah ... 50

13. Gambar kromatogram KLT dua arah ... 51

14. Gambar spektrum spektrofotometer UV ... 52

15. Gambar spektrum spektrofotometer IR ... 53 555

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit telah lama digunakan oleh masyarakat di Afrika Barat sebagai obat tradisional terutama untuk penyembuhan luka (Syahmi dkk., 2010).

Bagian yang digunakan adalah daun dari kelapa sawit yang telah diteliti memiliki aktivitas antioksidan (Vijayaratha dkk., 2012), antihipertensi (Jaffri dkk., 2011) antidiabetes (Rajavel dkk., 2012), antibakteri (Chong dkk., 2008; Vijayaratha dkk., 2012) dan stimulan untuk penyembuhan luka (Sasidharan dkk., 2010). Daun kelapa sawit mengandung beberapa komponen kimia.

Pada setiap bagian tanaman terdapat metabolit sekunder yang biasanya mempunyai efek farmakologi yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Salah satu senyawa kimia yang termasuk dalam golongan metabolit sekunder yang terkandung di dalam daun kelapa sawit adalah saponin, termasuk senyawa glikosida yang terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon. Menurut struktur aglikonnya, saponin dapat dibedakan menjadi dua macam tipe yaitu tipe steroida dan triterpenoida (Evans, 2002). Senyawa saponin diisolasi dengan tujuan sebagai obat, yaitu: sebagai antibakteri (Avato dkk., 2006), antivirus (Gosse dkk., 2002), stimulant untuk penyembuhan luka (Evans, 2002), sitotoksik atau antikanker (Argarwal, 2016) dan efek hipokolesterolemia (Singh dkk., 2012).

Senyawa saponin secara umum dapat diidentifikasi dari warna yang dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau menunjukkan adanya senyawa saponin triterpenoida dan warna merah muda atau ungu menunjukkan adanya senyawa saponin steroida (Farnsworth, 1966).

(16)

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan kepolaran.

Metode ini memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah digunakan untuk identifikasi pemisahan dari beberapa komponen. Identifikasi senyawa dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah menggunakan pereaksi warna, radiasi sinar ultraviolet, serta fluoresensi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Penelitian sebelumnya dari simplisia daun kelapa sawit mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, triterpnoid/steroid, glikosida, tanin dan saponin.

Hasil karakterisasi serbuk simplisia diperoleh kadar air 6,64%, kadar sari yang larut air 13,44%, kadar sari yang larut etanol 16,86%, kadar abu total 3,74%, dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,76% (Abdi, 2012).

Berdasarkan hal di atas maka dilakukan penelitian untuk isolasi senyawa saponin dari daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT), dipisahkan dengan cara kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif menggunakan pelarut (fase gerak) n-heksan-etilasetat dengan beberapa perbandingan. Isolat yang diperoleh diidentifikasi secara spektrofotometri UV dan IR.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah : a. Apakah senyawa saponin dari fraksi n-heksan daun kelapa sawit dapat

dipisahkan dengan cara kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif dengan fase gerak n-heksan:etil asetat?

b. Apakah senyawa saponin hasil isolasi dapat dikarakterisasikan secara spektrofotometri UV dan IR?

(17)

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah:

a. Senyawa saponin dari fraksi n-heksan daun kelapa sawit dapat dipisahkan dengan cara KLT preparatif dengan fase gerak n-heksan:etilasetat

b. Hasil isolasi senyawa saponin dapat diidentifikasi secara spektrofotometri UV dan IR

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

a. Untuk mengisolasi senyawa saponin dari fraksi n-heksan daun kelapa sawit yang dipisahkan dengan cara KLT preparatif dengan fase gerak n- heksan:etilasetat.

b. Untuk mengidentifikasi senyawa saponin hasil isolasi secara spektrofotometri UV dan IR

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

a. Menambah informasi bahwa golongan senyawa saponin dapat diisolasi dari fraksi n-heksan daun kelapa sawit.

b. Memberi informasi bahwa isolasi saponin dapat digunakan sebagai obat.

(18)

1.6 kerangka Pikir

Gambar 1.1 kerangka pikir penelitian Simplisia daun

kelapa sawit

Golongan metabolit sekunder

Skrining:

1. Glikosida 2. Saponin

Dibebas lemakkan

Ampas (sisa) Direfluks

Filtrat hasil refluks

Uji kemurnian isolat dengan Spektrofotometri

UV dan IR Fraksinasi cair-

cair

Identifikasi Saponin dengan

KLT

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Habitat

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Afrika Barat (Fauzi dkk., 2002). Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan dekat dengan sungai di Guinea Savanna Afrika Barat yang kering.

Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik, yaitu 16° lintang utara hingga 15°

lintang selatan. Penyebarannya di Indonesia meliputi daerah Aceh, Pantai Timur Sumatera, Jawa dan Sulawesi (Adlin, 2008).

2.1.2 Morfologi

Ciri-ciri morfologi tumbuhan kelapa sawit yaitu merupakan pohon yang tingginya dapat mencapai 24 meter, mempunyai akar serabut yang mengarah ke bawah dan ke samping. Selain itu terdapat beberapa akar yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Tulang daunnya sejajar, daunnya berwarna hijau tua dan pelepahnya bewarna sedikit lebih muda. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun dan kemudian pelepah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa (Sastrosayono, 2008).

2.1.3 Nama lain

Kelapa sawit dibeberapa negara dikenal dengan nama yang berbeda-beda, yakni: afrikaanse oliepalm (Belanda), oelpalme (Jerman), oilpalm (Inggris), kelapa bali (Melayu), salak minyak (Sunda), kelapa sawu (Jawa), kelapa bali (lampung) (Heyne, 1987).

(20)

2.1.4 Sistematika tumbuhan

Berdasarkan Herbarium Medanense (2013) sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Palmae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq 2.1.5 Kandungan kimia

Daun kelapa sawit mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, steroid/triterpenoid, saponin dan tanin (Sreenivasan dkk., 2010). Kandungan flavonoid dan polifenol daun kelapa sawit memberikan aktivitas sebagai stimulan penyembuh luka dan terpenoid dapat meningkatkan proses penyembuhan luka (Sasidharan dkk., 2010).

2.1.6 Khasiat tumbuhan

Semua bagian tumbuhan ini memiliki manfaat, daging buahnya dapat digunakan untuk mengobati infeksi kulit, minyak dari bijinya digunakan untuk memasak, membuat sabun, krim, dan kosmetik lainnya. Kayunya sebagai bahan bangunan rumah, getahnya digunakan sebagai bahan pencahar (Chong dkk., 2008). Akarnya digunakan untuk mengobati sakit kepala (Sreenivasan dkk., 2010). Daunnya merupakan obat tradisional untuk kanker, sakit kepala dan

(21)

rematik. Ekstrak daun dan jus dari tangkai daun muda dapat mengobati luka (Balick, 1996).

2.2 Uraian Kimia 2.2.1 Saponin

Saponin mula-mula diberi nama karena sifatnya yang khas menyerupai sabun (bahasa latin sapo berarti sabun). Saponin adalah sekelompok senyawa dengan struktur triterpenoid yang mengikat satu atau lebih gula jika dikocok dalam air akan menimbulkan busa dan dapat menyebabakan hemolisis sel darah merah. Larutan encer saponin sangat beracun untuk ikan dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa tahun terakhir ini saponin menjadi penting karena dapat digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Sapogenin dapat dibagi dua yaitu saponin triterpenoida dan saponin steroida (Robinson, 1991)

Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah dilaboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif, dan lain-lain). Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukoronat (Harborne, 1987)

Senyawa saponin secara umum dapat diidentifikasi dari warna yang dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau menunjukkan adanya senyawa saponin triterpenoida dan merah muda atau ungu

(22)

menunjukkan adanya senyawa saponin

saponin steroida memiliki hubungan glikosidik pada atom C usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etil

Aglikonnya diperoleh dengan hidrolisis

gula ciri kelarutannya sama dengan ciri sterol senyawa saponin dapat dilihat pada gambar

Sapogenin steroida

Gambar 2.

Saponin triterpenoida secara umum banyak terdapat pada tumbuhan dikotil seperti: gipsogenin terdapat pada Gypsophylla sp

Glycyrrhiza glabra (Gunawan dan Mul

Gipsogenin

Gambar 2.2 Saponin Triterpenoida (Gunawan dan Mulyani, 2004).

menunjukkan adanya senyawa saponin steroida. Saponin triterpenoida dan saponin steroida memiliki hubungan glikosidik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid

in ini larut dalam air dan etilasetat tetapi tidak laru Aglikonnya diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau enzim

tannya sama dengan ciri sterol (Farnsworth, 1966).

senyawa saponin dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Sapogenin triterpenoida Gambar 2.1 Sapogenin (Farnsworth, 1966).

Saponin triterpenoida secara umum banyak terdapat pada tumbuhan dikotil terdapat pada Gypsophylla sp dan asam glisiretat terdapat pada Glycyrrhiza glabra (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Asam gliserat

Saponin Triterpenoida (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Saponin triterpenoida dan 3 dan memiliki asal satuan isoprenoid.

tetapi tidak larut dalam eter.

dalam suasana asam atau enzim dan tanpa (Farnsworth, 1966). Tipe aglikon

triterpenoida

Saponin triterpenoida secara umum banyak terdapat pada tumbuhan dikotil dan asam glisiretat terdapat pada

Asam gliserat

Saponin Triterpenoida (Gunawan dan Mulyani, 2004).

(23)

Saponin steroida terdapat pada tumbuhan monokotil maupun dikotil, contohnya diosgenin yang terdapat pada Dioscorea hispida, dan hekogenin yang terdapat pada Agave americana (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Gambar 2.3 Saponin Steroida (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.2.2 Glikosida

Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula yang disebut aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa. Secara kimia dan fisiologi, glikosida alam cenderung dibedakan berdasarkan bagian aglikonnya. Hubungan ikatan antara aglikon dan glikon glikosida dapat dibedakan menjadi empat yaitu:

1. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom O, contoh: salicin.

2. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom S, contoh: sinigrin.

3. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom N, contoh: visin dan krotonosid.

4. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom C, contoh: aloin (Farnsworth, 1966).

(24)

2.2.3 Triterpenoid/Steroid

Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren. Senyawa steroid dahulu dianggap sebagai senyawa satwa, yaitu sebagai hormon kelamin, asam empedu dan lain-lain. Salah satu estrogen hewan adalah esteron. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintetis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang relatif rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Triterpenoid dapat dibagi atas 4 golongan senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1987).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penarikan senyawa metabolit sekunder dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak, ekstrak kental, ekstrak padat maupun ekstrak cair yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan (Depkes RI, 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

A. Cara dingin 1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan dan didiamkan selama beberapa hari pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus- menerus disebut maserasi kinetik, sedangkan maserasi yang dilakukan dengan

(25)

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi (Depkes RI, 2000).

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan.

Cara ini sesuai untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan kemungkinan besar beberapa senyawa hilang.

Beberapa senyawa ada yang sulit diekstraksi pada suhu kamar, tetapi metode maserasi dapat menghindari kerusakan senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh perkolat (Depkes RI, 2000).

B. Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah ektraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Metode refluks menggunakan sampel yang dimasukkan bersama pelarut ke

(26)

dalam labu yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu dan dilakukan secara kontinu (Mukhriani, 2014).

2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu 40-50°C (Depkes RI, 2000).

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

4. Infudasi

Infudasi adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit (Depkes RI, 2000).

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit (Depkes RI, 2000).

2.4 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa zat cair atau zat padat dan fase gerak dapat berupa gas atau zat cair. Kromatografi serapan fase diam berupa zat padat, kromatografi partisi fase diam berupa zat cair.

Keuntungan kromatografi adalah metode pemisahan yang cepat, mudah,

(27)

menggunakan peralatan yang murah dan sederhana, kecuali untuk kromatografi gas, hingga campuran yang kompleks dapat dipisahkan dengan mudah (Harborne, 1987).

Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase diam, yang berupa zat padat atau cair. Jika fase diam berupa zat padat disebut kromatografi serapan, jika berupa zat cair disebut kromatografi partisi. Karena fase gerak berupa zat cair atau gas maka terdapat 4 macam sistem kromatografi, yaitu:

1. Fase gerak zat cair-fase diam padat (kromatografi serapan):

- Kromatografi lapis tipis - Kromatografi kolom

2. Fase gerak gas-fase diam padat - Kromatografi gas-padat

3. Fase gerak zat cair-fase diam zat cair (kromatografi partisi) - Kromatografi kertas

4. Fase gerak gas-fase diam cair - Kromatografi gas-cair - Kromatografi kolom kapiler

Pemisahan dengan kromatografi tergantung pada senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi diantara fase gerak dan fase diam dalam perbandingan yang sangat berbeda dari satu senyawa terhadap senyawa lain (sastrohamidjojo, 1990).

2.4.1 Kromatografi kolom

Kromatografi kolom merupakan bentuk dari kromatografi cair. Fase diam baik bahan yang jerap (KCP) atau film zat cair pada penyangga (KCC),

(28)

ditempatkan di dalam tabung kaca berbentuk silinder, pada bagian bawah tertutup dengan katup atau keran dan fase gerak dibiarkan mengalir ke bawah karena gaya berat (Gritter dkk., 1991).

2.4.2 Kromatografi cair kinerja tinggi

KCKT dilakukan baik sebagai metode cair-padat maupun sebagai metode cair-cair. Segi unik KCKT ialah dengan pemakaian salah satu jenih detektor yang sangat peka untuk menganalisis eluen dari kolom jika kita memisahkan pelarut yang tidak berwarna atau yang konsestrasinya rendah (Gritter dkk., 1991).

2.4.3 Kromatografi gas

Dalam kromatografi gas fase gerak berupa gas lembam seperti helium, nitrogen, argon atau bahkan hidrogen yang digerakkan dengan tekanan melalui pipa yang berisi fase diam. Walaupun dikenal sebagai kromatografi gas padat, dengan fase diam berupa permukaan zat padat, kromatografi jenih ini tidak dipakai seluas kromatografi gas cair yang fase diamnya lapisan zat cair. Pada kromatografi gas hal yang sangat penting ialah kelarutan dimana kelarutan berkaitan erat dengan suhu maka pengendalian suhu yang tepat adalah keharusan (Gritter dkk., 1991).

2.4.4 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis ialah salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan kepolarannya.

Lapisan pemisah terdiri atas fase diam, ditempatkan pada penyangga berupa plat kaca, logam. Plat dimasukkan ke bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang sesuai (fase gerak) sehingga pemisahan terjadi dengan cara perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan menaik

(29)

(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Prinsip dari metode ini adalah adanya interaksi antara fase diam dan fase gerak yang dapat mengelusi senyawa sehingga terjadi pemisahan. Metode ini memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah digunakan untuk identifikasi pemisahan dari beberapa komponen. Identifikasi senyawa dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah menggunakan pereaksi warna, radiasi sinar ultraviolet, serta fluoresensi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pengamatan dengan sinar ultraviolet adalah cara sederhana yang dilakukan untuk senyawa tak berwarna. Beberapa senyawa organik berfluoresensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Cara lain apabila senyawa tidak dapat dideteksi dengan sinar ultraviolet maka harus dicoba dengan penyemprotan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dilakukan pemanasan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fase diam yang biasa digunakan adalah silika gel. Fasa diam (penyerap) dapat dibagi dua, yaitu jenis polar dan non polar. Penyerap polar meliputi berbagai oksida organik seperti silika, alumina, magnesium dan lain sebagainya.

Penyerap nonpolar yang biasa digunakan adalah arang. Fase diam ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, kemudian senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan/dideteksi dengan penampang noda yang sesuai (Gritter, dkk, 1991)

Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi digunakan harga Rf yang didefinisikan sebagai berikut (Sastrohamidjojo,1990):

(30)

Rf = jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik penotolan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik penotolan

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1990):

1. Struktur kimia 2. Sifat dari penyerap

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap 4. Pelarut

5. Derajat kejenuhan bejana pengembangan 6. Teknik percobaan

7. Jumlah cuplikan yang digunakan 8. Suhu

9. Kesetimbangan 10. derajat kemurniannya

2.4.5 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang sering dipakai adalah 0,5-2 mm. Plat kromatografi biasanya berukuran 20 x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat (Hostettmann dkk., 1995).

2.4.6 Kromatografi lapis tipis dua arah

KLT dua arah ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakterisasi kimia yang hampir sama, karna nilai Rf juga hampir sama, selain itu dua sistem fase gerak yang sangat

(31)

berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama. KLT dua arah dilakukan dengan melakukan penotolan sampel di salah satu sudut lapisan lempeng tipis dan mengembangkannya dengan eluen pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari chamber yang menggunakan eluen kedua sehingga pengembang dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembang yang pertama (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet (UV)

Spektrofotometri UV pada umumnya digunakan untuk menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik, menjelaskan informasi dari stuktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa. Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm. Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

Prinsip spektrofotometri ultraviolet adalah interaksi antara energy berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang berupa molekul.

Prinsip kerja spektrofotometri ultraviolet berdasarkan hukum LambertBeer, bila cahaya/sinar monokromatis melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi dipancarkan (Dachriyanus, 2004).

Spektrofotometer UV pada umunya digunakan untuk:

(32)

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan penjang gelombang maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).

Transisi-transisi elektronik yang terjadi diantara tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma-sigma star (σ→σ*), transisi n-sigma star (n→σ*), transisi n-phi star (n→π*) dan transisi phi-phi star (π→π*) (Gandjar dan Rohman, 2007).

a. Transisi sigma-sigma star (σ→σ*)

Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak diantara UV vakum (kurang dari 180 nm), contoh metana yang hanya mempunyai jenis ikatan C-H, mempunyai pita serapan elektron sigma pada panjang gelombang 125 nm.

b. Transisi non bonding elektron (n)-sigma star (n→σ*)

Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atom-atom yang memiliki elektron. Energi yang diperlukan untuk transisi ini lebih kecil dibanding transisi σ→σ*, sehingga sinar yang diserap pun mempunyai panjang gelombang lebih panjang, yakni sekitar 150-250 nm.

c. Transisi n→π* dan transisi π→π*

Untuk memungkinkan terjadinya jenis transisi ini, maka molekul organik harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan panjang

(33)

gelombang antara 200-700 nm dan panjang gelombang ini secara teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer.

2.5.2 Spektrofotometri inframerah

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik 2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik

Prinsip kerja spektrofotometri inframerah yaitu interaksi antara energi dengan suatu materi. Spektrofotometri inframerah berfokus pada radiasi elektromagnetik pada rentang frekuensi 4000-200 (Khopkar, 1990). Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul yang dapat menyebabkan pita sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Bentuk spektrum inframerah yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah. Satuan frekuensi yang digunakan pada garis horizontal dinyatakan dalam bilangan gelombang yang didefinisikan sebagai banyaknya gelombang dalam tiap satuan panjang (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu panjang gelombang 2,5-50 µm atau bilangan gelombang 4000-200 . Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul yang dapat menyebabkan pita dan absorbansi sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).

Daerah spektra spektroskopi inframerah dibagi dalam tiga kisaran yaitu inframerah dekat (12.500-4000 ), inframerah tengah (4000-400 ) dan

(34)

inframerah jauh (400-100 ). Daerah inframerah tengah merupakan daerah yang digunakan untuk penentuan gugus fungsi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dua kawasan penting dalam pemeriksaan awal sebuah spektrum adalah daerah 4000 – 1300 (2,5 – 7,7 µm) dan daerah 909 – 650 (11,0 – 15,4 µm). Bagian kerapatan tinggi sebuah spektrum disebut daerah gugus fungsi.

Kerapatan khas bagi gugus-gugus fungsi yang penting seperti OH, NH dan C=O terletak pada bagian itu (Silverstein, 2005).

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental. Isolat yang diperoleh di uji kemurniannya dengan metode KLT satu arah dan KLT dua arah, karakterisasi isolat dengan spektrofotometri UV dan IR.

3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas (Iwaki Pyrex), bejana, blender (Philips), mikroskop (Olympus), neraca analitik (Vibra AJ), neraca kasar (Homeline), oven listrik (Memmert), Penangas Air (Yenaco), seperangkat alat kromatografi lapis tipis, seperangkat alat penentu kadar air (Pyrex), spektrofotometer UV dan spektrofotometer IR (shimadzu).

3.3.2 Bahan-bahan

Bahan yang digunakan adalah helaian daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq), aquadest, bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisa kecuali dinyatakan lain adalah amil alkohol, ammonia hidroksida, asam asetat anhidrida, asam klorida, asam nitrat, asam sulfat, benzene, besi (III) klorida,

(36)

bismuth (III) nitrat, etanol, etilasetat, iodium, kalium iodida, kloroform, metanol, n-heksan, silika gel 60 , raksa (II) klorida, serbuk magnesium, timbal (II) asetat dan toluen.

3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi

Pembuatan pereaksi di bawah ini menurut Dirjen POM RI, 1995:

3.4.1 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat pekat tambahkan etanol hingga 50 ml. (Depkes RI, 1995).

3.4.2 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g natrium hidroksida kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dilarutkan dalam larutan kalium iodida dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4.4 Peraksi Molisch

Sebanyak 3 g alfa-naftol dilarukan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4.5 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1995).

3.4.6 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,6 g bismuth (II) nitrat dilarutkan dalam 2 ml asam klorida pekat, lalu ditambahkan 10 ml air suling. Pada wadah lain dilarutkan 6 g kalium

(37)

iodida dalam 10 ml air suling. Kemudian kedua larutan dicampurkan dengan 7 ml asam klorida pekat dan 15 m air suling (Depkes RI, 1995).

3.5 Pengambilan dan Pengolahan Sampel 3.5.1 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah helaian daun kelapa sawit yang diambil dari perkebunan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Sei Pancur Tanjung Morawa Medan. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan sampel yang sama dari daerah lain.

3.5.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan kelapa sawit dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

3.6 Pengolahan sampel

Helaian daun kelapa sawit dibersihkan dari pengotoran dan tulang daunnya (lidi) dibuang, dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan lalu ditimbang berat basahnya. Selanjutnya dikeringkan di lemari pengering pada suhu ± 40 C hingga rapuh. Sampel yang telah kering dihaluskan atau diserbuk menggunakan blender dan ditimbang, selanjutnya disimpan dalam wadah bersih.

3.7 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik

Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan mengamati bentuk, bau, rasa dan warna dari serbuk simplisia daun kelapa sawit.

(38)

3.8 Skrining Fitokimia Simplisia daun kelapa sawit 3.8.1 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia kemudian disari 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling ditambahkan dengan 10 ml asam klorida 2 N. Direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M lalu dikocok selama 5 menit dan disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran 3 bagian kloroform dan 2 isopropanol dilakukan berulang sebanyak 3 kali.

Kumpulan sari air diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50℃. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut, yaitu 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di penangas air. Sisa filtrat dilarutkan dalam 2 ml air suling dan 5 tetes pereaksi Molisch kemudian secara perlahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung reaksi. Glikosida pada tumbuhan dikatakan positif jika terbentuk cincin ungu (Depkes RI, 1995).

3.8.2 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, jika terbentuk buih yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm dan penambahan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.9 Pembuatan Ekstrak n-heksan

Sebanyak 500 g (10 bagian) serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah gelas berwarna gelap dan ditambahkan pelarut n-heksan sebanyak 7500 ml (15

(39)

bagian), ditutup dan biarkan selama 2 hari sambil sesekali diaduk. Pisahkan maserat, ampas dicuci kembali dengan pelarut n-heksan dengan cara yang sama diatas, maserat dipisahkan. Semua maserat yang diperoleh digabung, kemudian diuapkan dengan alat rotary evaporator dengan suhu ± 40°C, hasilnya diperoleh ekstrak kental (Mabry, 1970).

3.10 Pembuatan Fraksi N-heksan Daun Kelapa Sawit

Ampas (sisa) di angin-anginkan selama 10 menit. Kemudian di refluks untuk memisahkan glikon dan aglikonnya menggunakan HCl 2N selama 5 jam.

Diambil filtrat dipartisi dengan n-heksan dan didiamkan selama 12-18 jam.

Diambil lapisan n-heksan (lapisan atas), kemudian diuapkan hingga pekat, maka didapatkan fraksi n-heksan. Fraksi n-heksan dianalisis dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Aglikon saponin berada dalam lapisan n-heksan (Robinson, 1991).

3.11 Analisis Fraksi n-heksan secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Fraksi n-heksan dianalisis secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan fase diam plat pra lapis tipis silika gel GF 254 dengan fase gerak n- heksan-etil asetat dengan perbandingan (90:10), (80:20), (70:30), (60:40). Hasil analisis KLT diidentifikasi menggunakan penampak bercak Liebermann-Burchard (Harborne, 1987).

Cara kerja:

Fraksi ditotolkan pada plat lapis tipis silika gel GF 254, kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai plat di keluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan

(40)

penampak bercak Liebermann-Burchard dan di panaskan dalam oven pada suhu 110℃ selama 5 menit lalu diamati perubahan warna yang terjadi.

3.12 Isolasi senyawa saponin secara Kromatografi Lapis Tipis Preparatif Hasil yang menunjukkan fase terbaik digunakan untuk pengembang pada KLT preparatif sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann- Burchard dan sebagai fase gerak digunakan n-heksan-etilasetat (60:40) dan fase diam plat pra lapis silika gel GF 254 (Harborne, 1987).

Cara kerja:

Fraksi n-heksan ditotolkan seperti pita pada jarak 1,5 cm dari tepi bawah plat KLT berukuran 20x20 cm yang telah diaktifkan, setelah hasil penotolan kering plat KLT dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak, pengembang dibiarkan naik membawa komponen yang ada, setelah mencapai batas pengembang plat dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Bagian plat ditutup dengan kaca yang bersih sedangkan pada sisi kanan dan kiri plat sebanyak ± 1 cm disemprot dengan penampak bercak Liebermann-Burchard.

Silika pada bagian tengah plat yang sejajar dengan bercak noda dikerok dan dikumpulkan. Silika yang dikumpulkan direndam dengan methanol p.a, kemudian dilakukan uji kemurnian terhadap isolat yang diperoleh.

3.13 Uji Kemurnian Isolat

3.13.1 Uji kemurnian isolat dengan KLT satu arah

Terhadap isolat dilakukan uji kemurnian dengan KLT satu arah menggunakan fase diam plat pra lapis silika gel GF254 dan fase gerak n-Heksana- etilasetat (80:20), (60:40), dan toluen-etilasetat (70:30) dan sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard (Sastrohamidjojo, 1985).

(41)

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat pra lapis silika gel GF254 yang sebelumnya telah diaktifkan, kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang telah jenuh dengan uap pengembang dan ditutup rapat. Setelah itu, plat dikeluarkan dari bejana kromatografi dan dikeringkan diudara, kemudian plat disemprot dengan larutan penampak bercak Liebermann-Burchard. Warna bercak yang terjadi diamati dan dihitung harga Rf-nya.

3.13.2 Uji kemurnian isolat dengan KLT dua arah

Terhadap isolat dilakukan uji kemurnian dengan KLT dua arah menggunakan fase diam plat pra lapis silika gel GF254, fase gerak pertama n-heksana-etilasetat (60:40), fase gerak kedua toluen-etilasetat (70:30) dan sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard (Sastrohamidjojo, 1985).

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat pra lapis silika gel GF254 yang sebelumnya telah diaktifkan, kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang telah jenuh dengan uap fase gerak pertama dan ditutup rapat. Setelah itu, plat dikeluarkan dari bejana kromatografi, lalu diputar 90℃ dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang telah jenuh uap fase gerak kedua dan di tutup rapat.

Setelah itu, plat dikeluarkan dan dikeringkan diudara, kemudian plat disemprot dengan larutan penampak bercak LB. Warna bercak yang terjadi diamati dan dihitung harga Rf-nya.

3.14 Karakterisasi Isolat

Karakterisasi senyawa saponin hasil isolasi dilakukan dengan Spektrofotometri UV dan Spektrofotometri IR.

(42)

3.14.1 Karakterisasi Isolat Dengan Spektrofotometri UV

Isolat hasil isolasi dilarutkan dalam methanol p.a, kemudian dimasukkan ke dalam kuvet yang telah dibilas dengan methanol, selanjutnya absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 200-400 nm (Khopkar, 1990).

3.14.2 Karakterisasi Isolat Dengan Spektrofotometri IR

Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri inframerah dilakukan dengan cara mencampur isolat dengan kalium bromida menggunakan alat mixture vibrator, kemudian dicetak menjadi pellet dan dimasukkan ke dalam alat spektrofotometri inframerah lalu diukur spektrum inframerah pada bilangan gelombang 4000-500 (Khopkar, 1990).

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Sampel

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Herbarium Medanense Universitas Sumatera Utara terhadap bahan yang diteliti adalah tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) suku Arecaceae. Gambarnya dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 4.1 Tumbuhan kelapa sawit

4.2 Hasil skrining fitokimia

Hasil skrining fitokimia pada serbuk simplisia daun kelapa sawit positif glikosida dan saponin. Skrining glikosida dengan penambahan pereaksi Molisch dan asam sulfat pekat melalui dinding tabung membentuk cincin berwarna ungu yang menunjukkan adanya senyawa glikosida. Terbentuknya busa yang stabil dengan pengocokan dalam air dan tidak hilang dengan penambahan HCl 2N menunjukkan adanya senyawaa saponin (Depkes RI 1995).

(44)

Tabel 4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk daun kelapa sawit

No Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan

1 Saponin +

2 Glikosida +

Keterangan:

+ = mengandung golongan senyawa - = tidak mengandung golongan senyawa

4.3 Hasil Ekstraksi Simplisia Daun Kelapa Sawit

Hasil ekstraksi simplisia daun kelapa sawit dicuci dengan pelarut n-heksan dari 1 kg serbuk simplisia setelah dipekatkan menggunakan rotary evaporator diperoleh ekstrak kental 4 g. Penggunaan pelarut n-heksan adalah untuk menarik senyawa non polar yang bertujuan untuk melarutkan lemak atau senyawa lain.

4.4 Hasil Analisis Fraksi n-Heksan Secara KLT

Analisis senyawa saponin dengan KLT diperoleh satu bercak berwarna merah ungu pada fase gerak (90:10), (70:30), (80:20) dan tiga bercak berwarna merah ungu pada fase gerak (60:40). Harga Rf dari masing-masing perbandingan fase gerak dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan pola kromatogram pada Lampiran 10, halaman 47-48.

Fase gerak yang memberikan pemisahan terbaik adalah n-heksan-etilasetat (60:40) karena memberikan bercak yang lebih banyak dan pemisahannya lebih bagus. Selanjutnya dilakukan pemisahan terhadap senyawa saponin dengan KLT

(45)

preparatif untuk mendapatkan senyawa saponin dalam jumlah lebih banyak menggunakan fase diam silika gel 60 F254 dan penampak bercak pereaksi LB.

Tabel 4.2 Harga Rf Hasil analisis KLT fraksi n-heksan daun kelapa sawit No Fase gerak

n-heksan: etil asetat

Harga Rf Penampak noda Liebermann-

Burchard

1 2 3

1 60:40 0,70 0,77 0,97 Merah ungu

2 70:30 0,15 - - Merah ungu

3 80:20 0,18 - - Merah ungu

4 90:10 0,12 - - Merah ungu

4.5 Hasil Uji Kemurnian Isolat

Hasil uji kemurnian isolat dengan KLT satu arah menggunakan fase gerak n-heksan-etilasetat dengan perbandingan (80:20), (60:40) dan toluen-etilasetat (70:30) dengan penampak bercak pereaksi LB menunjukkan satu bercak tunggal berwarna merah ungu. Harga Rf dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Harga Rf uji kemurnian isolat

No Perbandingan fase gerak Harga Rf Penampak noda Liebemann-Burchard

1 n-heksan-etilasetat 80:20 0,18 Merah ungu

2 n-heksan-etilasetat 60:40 0,97 Merah ungu

3 Toluene-etilasetat 70:30 0,57 Merah ungu

(46)

Pemeriksaan uji kemurnian KLT dua arah dengan fase gerak pertama n- heksan-etilasetat (60:40) dan fase gerak kedua toluen-etilasetat (70:30) dengan penampak bercak pereaksi LB, hasilnya tetap memberikan satu bercak warna merah ungu dengan harga Rf 0,57. Ini menunjukkan bahwa saponin yang dihasilkan dari KLT preparatif telah murni. Kromatogram uji kemurnian dapat dilihat pada Lampiran 12-13, halaman 50-51.

4.6 Hasil Karakterisasi Isolat dengan Spektrofotometri UV dan IR

Spektrum ultraviolet isolat memberikan panjang gelombang absorbansi maksimum pada 202,8 nm. Hal ini menunjukkan adanya ikatan C=C tidak terkonjugasi akibat adanya transisi electron → (sastrohamidjojo, 1985).

Gambar spektrum ultraviolet isolat dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 52.

Hasil spektrofotometri inframerah terhadap isolat menunjukkan pita serapan yang melebar pada bilangan gelombang 3402,43 menunjukkan adanya gugus OH, bilangan gelombang 2920,23 dan 2858,51

menunjukkan adanya C-H. Pita serapan C-O pada bilangan gelombang 1107,14 . Bilangan gelombang 1624,06 menunjukkan adanya gugus C=C.

Serapan pada bilangan gelombang 1450,47 menunjukkan adanya . Hal ini dapat dilihat berdasarkan daerah serapan IR menggunakan hukum Hooke dimana gugus OH (3600-3300 .), gugus C-H (3000-2850 .), gugus C=C (1600-1500), gugus C-O (1250-1000 .) (Silverstein, 2005).

Gugus yang didapatkan pada spektrofotometer inframerah menyerupai struktur steroida saponin dengan mempunyai gugus C-H dan C-O (Robinson, 1991).

Gambar spektrum inframerah isolat dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 53.

(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Hasil analisis fraksi n-heksan dengan KLT diperoleh fase gerak yang terbaik adalah n-heksan:etilasetat (60:40), dari hasil KLT preparatif diperoleh 2 noda dan 1 noda yang lebih dominan dengan Rf (0,57) warna merah ungu.

2. Hasil karakterisasi dengan spektrofotometri UV memberikan absorbansi maksimum pada panjang gelombang (λ) 202,8 nm dan hasil spektrofotometri IR gugus yang didapatkan adalah gugus OH, C-H, C-O, C=C, .

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan identifikasi senyawa isolat saponin yag diperoleh dengan spektrofotometer massa, C-NMR, H-NMR dan mengisolasi senyawa lain serta uji aktivitas senyawa yang dikandung pada daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq).

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Abdi, evy. 2012. Karakterisasi dan isolasi senyawa triterpenoid/steroid daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Medan: Fakultas Farmasi USU.

Halaman 30.

Adlin, L. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2.

Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Halaman 24-25.

Agarwal, A. 2016. Duality of anti-nutritional factors in pulses. J Nutr Disorders Ther 6 (1): 1-2.

Avato, P.R., A. Bucci, C. Tava, A. Vitali, Z.Rosato, M. Bialy, & M. Jurzysta.

2006. Antimicrobial activity of saponins from Medicago spp.: Structure- activity relationship. Phytother. Res. 20: 454 - 457.

Balick, M.A. 1996. Plant, People and Culture: The Science Of Ethnobotany.

New York: Scientific American Library W.H Freeman and Company.

Halaman 12.

Chong, K.H., Zuraini, Z., Sasidharan, S., Devi, P.V.K., Latha, L.Y., and Ramanathan, S. 2008. Antimicrobial Activity of Elaeis guineensis leaf.

Pharmacologyonline. 3, 379–386.

Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.

Cetakan Pertama. Padang: Andalas University Press. Halaman 1, 21 dan 27

Depkes R.I. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 6-7.

Depkes R.I. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 323-325, 334.

Depkes RI. 2000. Farmakope Indonesia. Edisi Tiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7, 33, 534, 744, 748.

Ditjen POM RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI. Halaman 5-25.

Farnsworth, N.R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plant.

Journal of Pharmaceutical Sciences. 55(3): 262-263.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Halaman 323, 353-361.

Gosse, B., J. Gnabre, R.B. Bates, C.W. Dicus, P. Nakkiew, & R.C.C. Huang.

2002. Antivirus saponins from Tieghemella heckelii. Journal of Natural Products. 65: 1942–1944.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., Schwarting, A. E. 1991. Pengantar Kromatografi.

Edisi Kedua. Bandung: ITB. Halaman 6, 108-123.

Gunawan, D. dan Mulyani, S. (2004). Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid Pertama. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 87.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan Padmawinata K, Soediro I, Niksolihin S. Terbitan Pertama. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hal. 151

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Halaman 465.

Hostettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A. 1995. Cara Kromatografi Preparatif: Penggunaan Pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah: Kokasi

(49)

Padmawinata. Bandung: ITB. Halaman 9-12, 33-34.

Jurzysta, M. 1973. Isolation and Chemical characterization of saponins from lucerne seeds (Medicago media Pers.). Acta Societatis Botanicorum Poloniae. 42(2): 202.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman 222-223, 248.

Mabry, T.J., Markham, K.R., Thomas, M.B., 1970, The Systematic and Identification of Flavonoid, Hal 3-56, Springer-Verlag, New York:

Helderberg-Berlin.

Majinda, R.R.T. 2012. Extraction And Isolation Of Saponins. Natural Products Isolation. Methods In Molecular Biology. 864:1. Pages 415-417.

Merck, E., Darmstadt. 1978. Dyeing Reagents for Thin Layer and Paper Chromatography. German: Federal Republic of Germany. Page 1.

Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemindahan Senyawa dan Identifikasi Senyawa Aktif. Jurnal Kesehatan. 7: 362-363.

Netala, V.R., Ghosh, S.B., Bobbu, P., Anitha, D., Dan Tartte, V. 2015.

Triterpenoid Saponins: A Review On Biosynthesis, Applications And Mechanism Of Their Action. Internasional Journal Of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 7(1): 24-27.

Nyananyo, B.L., Mensah, S.I., Achama, C. 2010. Phytochemical Investigations of Some Tropical Plants. From The Niger Delta Area ff Nigeria: Scientia Africana. 9 (1), 173-177

Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi VI. Bandung:

Penerbit ITB. Halaman 193.

Sashidaran, S., Logeswaran, S., Yoga L, L. 2010. Wound Healing Activity of Elaeisguineensis Leaf Extract Ointment. International Journal of molecular Sciences. 13(1): 336-347.

Sastrosayono, S. 2008. Budidaya Kelapa Sawit. Jakarta: PT Agromedia Pustaka.

Halaman 6.

Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty. Halaman 6, 28- 35.

Sastrohamidjojo, H. 1990. Sintesis Bahan Alam. Cetakan Pertama. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Silverstein, R.M., Webster, F.X., Kiemle, D.J. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds. Seventh Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Page 75.

Singh, J. & P.S. Basu. 2012. Non-nutritive bioactive compounds in pulses and their impact on human health: An overview. Food and Nutrition Sciences.

3: 1664-1672.

Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi.

Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro. Bandung:

Penerbit ITB. Halaman 5.

Stuart, B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications.

Australia: John Willey & Sons, Ltd. Pages 72, 77.

Sreenivasan, S., Rajoo, N., Rathinam, X., Lachimanan, Y. L., dan Rajoo, A.

2010. Wound Healing Potential of Elaeis Guineensis Jacq Leaves in an Infected Albino Rat Model. Molecules. 1(5). 3186-3199.

(50)

Vijayarathna, S., Zakaria, Z., Chen, Y., Latha, L.Y., Kanwar J.R., and Sasidharan, S. 2012. The Antimicrobial Efficacy of Elaeis guineensis:

Characterization. in Vitroand in Vivo Studies: Molecules. 17, 4860-4877.

(51)

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)

(52)

Lampiran 2. Gambar satu pelepah kelapa sawit

Tulang daun/ Lidi

Daun

(53)

Lampiran 3. Gambar simplisia daun kelapa sawit

(54)

Lampiran 4. Gambar Gambar Spektrofotometer UV

(55)

Lampiran 5. Gambar Spektrofotometer IRGambar Spektrofotometer IR

(56)

Lampiran 6. Bagan Kerja Penelitian

Dibersihkan dari kotoran dan tulang daunnya (lidi) dibuang

Dicuci dengan air bersih Dikeringkan di dalam lemari pengering suhu ± 40℃

Ditimbang

Diserbuk / dihaluskan Ditimbang

Daun kelapa sawit

Simplisia

Serbuk simplisia

Skrining Fitokimia untuk pemeriksaan:

a. Saponin b. Glikosida

(57)

Lampiran 6 (lanjutan)

Dicuci dengan pelarut n- heksan dalam wadah gelap sampai terendam selama 2 hari sambil sesekali diaduk

Disaring

Dicuci dengan n-heksan dan dibiarkan selama 2 hari Disaring

Dicuci dengan n-heksan dan selama 2 hari

Disaring

Dikumpulkan Diuapkan dengan rotary evaporator dengan suhu ± 40℃

Serbuk simplisia

Ampas (sisa) Maserat I

Ampas (sisa) Maserat II

Ampas (sisa) Maserat III

Ekstrak kental

(58)

Lampiran 7. Bagan pembuatan fraksi n-heksan daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Ditambahkan HCl 2N dan di refluks selama 5 jam

Didinginkan kemudian saring

Diuapkan di waterbath sampai 1/3 bagian dari awal

Ditambahkan n-heksan kemudian dipisahkan

dipekatkan menggunakan penangas air suhu 45℃

Ampas (sisa)

Filtrat Ampas

Lapisan n-heksan Lapisan air

Fraksi n- heksan

(59)

lampiran 8. Bagan analisis fraksi n-heksan daun kelapa sawit secara KLT

di KLT dengan :

Fase Gerak : n-heksan-etilasetat (9:1; 8:2; 7:3; 6:4) Fase Diam : silika gel GF 254

Penampak noda : Liebermann-Burchard Fraksi n-heksan

Kromatogram KLT

(60)

Lampiran 9. Bagan isolasi senyawa saponin dari fraksi n-heksan daun kelapa sawit

Di KLT, fase gerak = n-heksan- etilasetat pada berbagai perbandingan, Fase diam = silika gel GF 254

Dikembangka n dengan pelarut metanol p.a

Di uji kemurnian dengan KLT satu arah dan dua arah

Dikarakterisasi dengan

spektrofotomet ri UV dan IR Fraksi n-heksan

Kromatogram

2 noda

Noda 1 Noda 2

Isolat

Isolat murni

Spektrum Tidak

dilanjutkan

(61)

Lampiran 10. Gambar kromatogram KLT fraksi n-heksan daun kelapa sawit dengan beberapa perbandingan fase gerak.

A B

Keterangan:

Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak = n-heksan-etilasetat dengan perbandingan A = (90:10), B = (80:20), penampak bercak = Liebermann- Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.

No A B

Rf Warna Rf Warna

1 0,12 Merah ungu 0,18 Merah ungu

2 0,33 Biru muda 0,34 Biru muda

3 0,73 Biru muda 0,41 Biru muda

4 - - 0,71 Biru muda

1,0

0,0 0,5

3

2

1

4

3

2 1

bp

tp

(62)

Lampiran 10. (lanjutan)

Keterangan:

Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak =

dengan perbandingan C = (70:30), D = (60:40), penampak bercak = Liebermann Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.

No C

Rf

1 0,15

2 0,75

3 -

4 -

- - 1,0

0,0 0,5

(lanjutan)

C D

Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak = n-heksan

dengan perbandingan C = (70:30), D = (60:40), penampak bercak = Liebermann Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.

C D

Warna Rf Warna

Merah ungu 0,17 Biru muda

Ungu tua 0, 26 Biru muda

- 0,46 Biru muda

- 0,70 Merah ungu

- 0,77 Merah ungu

- 0,97 Merah ungu

2

1

heksan-etilasetat dengan perbandingan C = (70:30), D = (60:40), penampak bercak = Liebermann- Burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.

Warna Biru muda

muda Biru muda Merah ungu Merah ungu Merah ungu 5 4

3 6

bp

tp 1

2

(63)

Lampiran 11. Gambar kromatogram isolasi senyawa saponin secara KLT preparatif

Keterangan:

Fase diam = plat pra lapis silika gel 60 F254, fase gerak = n-heksan-etilasetat (60:40) penampak bercak = Liebermann burchard, tp = titik awal penotolan, bp = batas rambatan pengembang.

No Noda Rf Warna

1 1 (polar) 0,34 Kuning

2 2 (non-polar) 0,58 Merah ungu

0,0 5,0

1,0 bp

tp 2

1

Referensi

Dokumen terkait

Antara yang jelas dapat diperhatikan adalah amalan-amalan berikut yang kini mula menjadi norma dalam kalangan masyarakat Islam di Malaysia iaitu, amalan menyalakan api

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/W16, 2011 ISPRS Trento 2011 Workshop, 2-4 March 2011, Trento,

Membawa : Laptop, Kabel Roll, Modem dan Flasdisk Acara : Kualitas Data Sekolah. Demikian atas perhatian dan kehadirannya disampaikan

Gosong Karang Pakiman yang memiliki topografi terumbu berbentuk slope , di dominasi oleh substrat berpasir dan memiliki arus serta gelombang keras ketika musim timur dan

Penelitian ini meneliti perubahan histopatologi pada ginjal di 10 Plasmodium inui terinfeksi Macaca mulatta monyet oleh cahaya dan mikroskop elektron untuk mengembangkan model

Pada penelitian ini uji statistik yang digunakan adalah rumus korelasi Chi Square yaitu untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan harga diri

- Pengadaan Peralatan Kantor PBJ 1 Paket Bandar Lampung 200.000.000 APBD-P Oktober 2012 Oktober - Desember 2012 Pengadaan Langsung - Pengadaan Perlengkapan Kantor PBJ 1 Paket

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kepadatan kultur Daphnia carinata King dan fotoperiode yang berbeda terhadap produksi efipium.. Hasil