BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Spektrofotometri
Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur transmitan atau serapan suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan penggabungan dari dua fungsi alat yang terdiri dari spektrometer yang menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer sebagai alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik. Interaksi antara molekul
dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi (Satiadarma, dkk., 2004; Gandjar dan Rohman, 2007).
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan visibel terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800 nm, memiliki komponen-komponen yang meliputi sumber-sumber sinar, monokromator, dan sistem optik (Gandjar dan Rohman, 2012).
Ada tiga macam proses penyerapan energi ultraviolet dan visibel yaitu penyerapan oleh transisi elektronik ikatan dan elektron anti ikatan (elektron σ, elektron π, dan elektron n), penyerapan oleh transisi elektronik d dan f dari molekul kompleks (kebanyakan ion-ion logam transisi), dan penyerapan oleh perpindahan muatan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), transisi-transisi elektronik terjadi di antara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada empat, yaitu transisi σ→σ*, transisi n→σ*, transisi n→π*, dan transisi π→π*. Berikut uraian keempat jenis transisi tersebut.
a. Transisi σ→σ*
Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak di antara UV vakum (kurang dari 180 nm) sehingga kurang bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri ultraviolet-visibel.
b. Transisi n→σ*
Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang
diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil daripada transisi σ→σ* sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang lebih panjang sekitar 150-250 nm. Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang gelombang kurang dari 200 nm. Pengaruh pelarut pada transisi ini adalah pergeseran puncak serapan ke panjang gelombang ke arah yang lebih pendek dalam pelarut yang lebih polar. Pergeseran ke panjang gelombang ke arah yang lebih pendek ini disebut pergeseran hipsokromik.
c. Transisi n→π* dan transisi π→π*
Untuk memungkinkan terjadinya transisi ini, maka molekul organik harus mempunyai gugus fungsi yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital π yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan panjang gelombang spektrofotometer ultraviolet-visibel yaitu antara 200-700 nm. Pelarut dapat mempengaruhi transisi ini, dimana hal ini berkaitan dengan adanya perbedaan kemampuan pelarut untuk mensolvasi antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi.
Dalam kebanyakan transisi π→π*, molekul dalam keadaan dasar relatif non polar dan keadaan tereksitasinya lebih polar dibandingkan keadaan dasar. Jika pelarut polar digunakan pada molekul yang mengalami transisi ini, maka akan menyebabkan pelarut polar berinteraksi lebih kuat dengan keadaan tereksitasi, sehingga perbedaan energi transisi π→π* pada pelarut polar ini lebih kecil yang mengakibatkan terjadinya pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar (pergeseran batokromik).
Dalam kebanyakan molekul-molekul yang menunjukkan transisi n→π*, keadaan dasar lebih polar dibandingkan dengan keadaan tereksitasi. Secara khusus, pelarut-pelarut yang berikatan hidrogen akan berinteraksi secara lebih kuat dengan pasangan elektron yang tidak berpasangan pada molekul dalam keadaan dasar dibanding pada molekul dalam keadaan tereksitasi. Akibatnya, transisi n→π* akan mempunyai energi yang lebih besar sehingga panjang gelombang transisi ini akan mengalami pergeseran ke panjang gelombang ke arah yang lebih pendek (pergeseran hipsokromik).
Bagian molekul yang bertanggung jawab terhadap penyerapan cahaya disebut kromofor dan terdiri atas ikatan rangkap dua atau rangkap tiga, terutama jika ikatan rangkap tersebut terkonjugasi. Semakin panjang ikatan rangkap dua atau rangkap tiga terkonjugasi di dalam molekul, molekul tersebut akan lebih mudah menyerap cahaya (Cairns, 2008).
Gugus fungsi yang mempunyai elektron bebas, seperti –OH, ‒O, ‒NH2 dan –OCH3 yang memberikan transisi n→π* disebut gugus auksokrom. Gugus ini adalah gugus yang tidak dapat menyerap radiasi ultraviolet-sinar tampak, tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar atau pergeseran batokromik disertai dengan peningkatan intensitas (efek hiperkromik) (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.4.1 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang
untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5-40 μm (Ditjen POM RI, 1995).
Sinar tampak dan sinar ultraviolet memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik. Transisi-transisi elektronik akan meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi tereksitasi. Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Apabila pada molekul yang sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorpsi yang merupakan garis spektrum. Pada kenyataannya, spektrum ultraviolet-visibel bukan merupakan suatu pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum tersebut disebabkan oleh terjadinya eksitasi elektron lebih dari satu macam pada gugus molekul yang sangat kompleks. Terjadinya dua atau lebih pita spektrum diberikan oleh molekul dengan struktur yang lebih kompleks karena terjadi beberapa transisi sehingga mempunyai lebih dari satu panjang gelombang (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri ultraviolet-visibel antara lain:
a. Pemilihan panjang gelombang maksimum
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum, dapat diperoleh dengan membuat kurva hubungan antara
absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu:
• Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
• Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.
• Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang terjadi pada pengulangan akan kecil sekali, karena digunakan panjang gelombang maksimal.
b. Pembuatan kurva kalibrasi
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan tersebut diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi merupakan garis lurus.
c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer sebaiknya antara 0,2-0,6 karena pada kisaran nilai tersebut, kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal.
2.4.2 Hukum Lambert-Beer
Menurut Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari. Sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi.
Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu dalam Hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Hukum Lambert-Beer umumnya dikenal dengan persamaan sebagai berikut: A = a.b.c (g/L) atau
A = ɛ.b.c (mol/L) atau A = .b.c (g/100 ml)
Dimana: A = absorbansi b = tebal kuvet (cm) a = absorptivitas c = konsentrasi
ɛ = absorptivitas molar = absorptivitas spesifik
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal (Gandjar dan Rohman, 2007).