PENETAPAN KADAR CAMPURAN RIFAMPISIN DAN
ISONIAZID DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET SECARA MEAN
CENTERING OF RATIO SPECTRA (MCR)
SKRIPSI
OLEH:
WILLYA M. K. SIHOTANG
NIM 151524076
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENETAPAN KADAR CAMPURAN RIFAMPISIN DAN
ISONIAZID DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET SECARA MEAN
CENTERING OF RATIO SPECTRA (MCR)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
WILLYA M. K. SIHOTANG
NIM 151524076
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Panitia Penguji,
Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, S.U., Apt. NIP 195306191983031001
Prof. Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt. NIP 195006221980021001
Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. NIP 195409101983032001
Dra. Tuty Roida Pardede, M.Si., Apt. NIP 195401101980032001
PENGESAHAN SKRIPSI
PENETAPAN KADAR CAMPURAN RIFAMPISIN DAN ISONIAZID DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET SECARA MEAN CENTERING OF RATIO SPECTRA (MCR)
OLEH:
WILLYA M. K. SIHOTANG NIM 151524076
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 06 Oktober 2017
Medan, Oktober 2017 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Dekan,
Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt. Pembimbing I,
Prof. Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt. NIP 195006221980021001
Pembimbing II,
Dra. Tuty Roida Pardede, M.Si., Apt. NIP 195401101980032001
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih karunia dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan masa perkuliahan dan penelitian hingga penyusunan skripsi dengan baik. Adapun judul skripsi penulis adalah “Penetapan Kadar Campuran Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR)”, dimana skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang bersedia memberi arahan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dra. Tuty Roida Pardede, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing II sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah mendukung, mengajar, mengarahkan, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penelitian sampai penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, S.U., Apt., selaku ketua penguji dan Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang bersedia untuk menguji dan memberi masukan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu-ilmu yang berharga selama kegiatan perkuliahan.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ayah AKP. Romanus Sihotang dan Ibu Irene Lumbantobing, Amd., yang selalu mendoakan, memberi perhatian, mendukung dalam segala hal, dan mencurahkan kasih sayang sepenuhnya, kepada Kakak Rolita Sihotang, Adik Julietta Sihotang dan Marco Sihotang yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada penulis, kepada sahabat-sahabat yang memberi semangat kepada penulis, yaitu Friska Sinaga, Mawar Sari Perangin-angin, Ruth Bancin, Caroline Silalahi, Anggi Sitompul, Silvyana, Lasma Ida Pasaribu, Brian Lumbantobing, Ruben Setiawan, dan teman-teman yang lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penulis.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membutuhkannya. Terima kasih.
Medan, Oktober 2017 Penulis
Willya M. K. Sihotang NIM 151524076
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Willya M. K. Sihotang
Nomor Induk Mahasiswa : 151524076
Program Studi : Ekstensi Sarjana Farmasi
Judul Skripsi : Penetapan Kadar Campuran Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR)
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi dan bukan plagiat karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumbernya di dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun oleh Program Studi Farmasi Universitas Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.
Medan, Oktober 2017 Yang membuat pernyataan,
Willya M. K. Sihotang NIM 151524076
PENETAPAN KADAR CAMPURAN RIFAMPISIN DAN ISONIAZID DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET SECARA MEAN CENTERING OF RATIO SPECTRA (MCR)
ABSTRAK
Rifampisin dan isoniazid merupakan salah satu kombinasi sediaan tablet yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis. Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) merupakan salah satu metode yang telah dikembangkan dalam spektrofotometri ultraviolet pada penetapan kadar zat aktif yang terkandung dalam suatu sediaan farmasi. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menetapkan kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) dengan menggunakan pelarut HCl 0,1 N.
Penelitian ini menggunakan sampel Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg dan Tablet Pro TB 2 yang keduanya mengandung rifampisin 150 mg dan isoniazid 150 mg dan dilakukan penetapan kadar secara spektrofotometri ultraviolet secara MCR yang diukur pada panjang gelombang 234 nm untuk rifampisin dan 267 nm untuk isoniazid dalam pelarut HCl 0,1 N. Metode perhitungan dilakukan dengan bantuan software MATLAB versi R2009a. Penelitian dilanjutkan dengan pengujian validasi terhadap metode MCR dalam analisis penetapan kadar, seperti akurasi, presisi, batas deteksi, dan batas kuantitasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg mengandung rifampisin (96,56 ± 0,84)% dan isoniazid (94,04 ± 1,71)%, sedangkan Tablet Pro TB 2 mengandung rifampisin (96,63 ± 0,73)% dan isoniazid (99,23 ± 0,85)%. Hasil uji validasi rifampisin yaitu akurasi 100,52%, presisi 1,1%, LOD 1,443 µg/ml, dan LOQ 4,8113 µg/ml, sedangkan isoniazid yaitu akurasi 99,39%, presisi 0,95%, LOD 0,9669 µg/ml, dan LOQ 3,2229 µg/ml.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa metode spektrofotometri secara ultraviolet secara MCR dapat digunakan untuk menetapkan kadar rifampisin dan isoniazid dalam tablet dan memenuhi persyaratan akurasi, presisi, batas deteksi, dan batas kuantitasi.
Kata kunci : Rifampisin, Isoniazid, Spektrofotometri, Mean Centering of Ratio Spectra, Validasi.
DETERMINATION OF RIFAMPICIN AND ISONIAZID MIXTURE IN TABLET BY MEAN CENTERING OF RATIO SPECTRA (MCR)
ULTRAVIOLET SPECTROPHOTOMETRY METHOD ABSTRACT
Rifampicin and isoniazid is one of combination preparations tablet used in the treatment of tuberculosis. Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) is one of the methods that has been developed in ultraviolet spectrophotometry for determination of active substances that is contained in a pharmaceutical preparations. The purpose of this research which is to determine a mixture of rifampicin and isoniazid in preparation tablet by mean centering of ratio spectra ultraviolet spectrophotometry method in a solvent HCl 0.1 N.
This research was using Rifampicin 150 mg / Isoniazid 150 mg Generic Tablet and Pro TB 2 Tablet which contains rifampicin 150 mg and isoniazid 150 mg and was determined by MCR ultraviolet spectrophotometry method and was measured at wavelengths 234 nm for rifampicin and 267 nm for isoniazid in a solvent HCl 0.1 N. The calculations were done with software MATLAB R2009a version. The research was continued by testing validation to a method of MCR in the analysis the determination of levels, as accuracy, precision, limit of detection, and limit of quatification.
The research results shown that Rifampicin 150 mg / Isoniazid 150 mg Generic Tablet is containing rifampicin (96.56 ± 0.84)% and isoniazid (94.04 ± 1.71)%, meanwhile Pro TB 2 Tablet is containing rifampicin (96.63 ± 0.73)% and isoniazid (99.23 ± 0.85)%. The results of the validation of rifampicin for accuracy 100.52%, precision 1.1% , LOD 1.443 µg/ml, and LOQ 4.8113 µg/ml, meanwhile isoniazid for accuracy 99.39%, precision 0.95%, LOD 0.9669 µg/ml, and LOQ 3.2229 µg/ml.
Base on the research results could be concluded that MCR ultraviolet spectrophotometry method can be used to determine contents rifampicin and isoniazid in tablet and fulfill the accuracy, precision, limit of detection, and limit of quantification.
Keywords : Rifampicin, Isoniazid, Spectrophotometry, Mean Centering of Ratio Spectra, Validation.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
SURAT PERNYATAAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR GAMBAR DALAM LAMPIRAN ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Hipotesis ... 4 1.4 Tujuan Penelitian ... 4 1.5 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Uraian Bahan ... 6
2.1.1 Rifampisin ... 6
2.2 Tablet ... 8
2.3 Metode Analisis ... 9
2.4 Spektrofotometri ... 10
2.4.1 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis) ... 13
2.4.2 Hukum Lambert-Beer ... 15
2.5 Metode Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) ... 16
2.6 Perangkat Lunak Matlab ... 19
2.7 Validasi Metode Analisis ... 20
2.7.1 Akurasi ... 20
2.7.2 Presisi ... 21
2.7.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 21
2.7.4 Linearitas ... 22
2.7.5 Rentang ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Jenis Penelitian ... 23
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23
3.3 Alat ... 23
3.4 Bahan ... 24
3.5 Pengambilan Sampel ... 24
3.6 Prosedur Penelitian ... 24
3.6.1 Pembuatan HCl 0,1 N ... 24
3.6.2 Pembuatan Larutan Induk Baku ... 24
3.6.2.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Rifampisin .... 24
3.6.3 Pembuatan Spektrum Serapan Maksimum ... 25
3.6.3.1 Pembuatan Spektrum Serapan Maksimum Rifampisin ... 25
3.6.3.2 Pembuatan Spektrum Serapan Maksimum Isoniazid ... 25
3.6.4 Pembuatan Spektrum Serapan Larutan Standar ... 26
3.6.4.1 Pembuatan Spektrum Serapan Larutan Standar Rifampisin ... 26
3.6.4.2 Pembuatan Spektrum Serapan Larutan Standar Isoniazid ... 26
3.6.5 Pembuatan Spektrum Serapan Campuran Rifampisin dan Isoniazid ... 26
3.6.6 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio ... 27
3.6.6.1 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio Rifampisin ... 27
3.6.6.2 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio Isoniazid . 27 3.6.6.3 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio Tunggal Rifampisin dan Isoniazid dari Campuran Rifampisin dan Isoniazid ... 27
3.6.7 Pembuatan Spektrum Serapan secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) ... 28
3.6.7.1 Pembuatan Spektrum Serapan Rifampisin secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) ... 28
3.6.7.2 Pembuatan Spektrum Serapan Isoniazid secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) ... 28
3.6.8 Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 28
3.6.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Rifampisin ... 28
3.6.8.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Isoniazid ... 29
3.6.9.1 Akurasi ... 29
3.6.9.2 Presisi ... 30
3.6.9.3 Batas Deteksi (Limit of Detection, LOD) dan Batas Kuantitatif (Limit of Quantification, LOQ) ... 30
3.6.10 Penentuan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet ... 30
3.6.11 Analisis Data Penetapan Kadar secara Statistik ... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
4.1 Hasil Penentuan Spektrum Serapan Maksimum ... 33
4.2 Hasil Pembuatan Spekrum Serapan Rifampisin dan Isoniazid pada Berbagai Konsentrasi ... 35
4.3 Hasil Spektrum Serapan Campuran Rifampisin dan Isoniazid ... 35
4.4 Hasil Spektrum Serapan Rasio Rifampisin dan Isoniazid .... 36
4.5 Hasil Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) Rifampisin dan Isoniazid ... 38
4.6 Hasil dan Pembuatan Kurva Kalibrasi dari Nilai MC (Mean Center) ... 39
4.7 Hasil Validasi Metode ... 40
4.8 Hasil Penetapan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet ... 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
5.1 Kesimpulan ... 43
5.2 Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg ... 42 4.2 Kadar Rifampisim dan Isoniazid dalam Tablet Pro TB 2 ... 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Struktur Rifampisin ... 6 2.2 Struktur Isoniazid ... 7 4.1 Spektrum Serapan Maksimum Rifampisin (13,5 µg/ml) dengan
Panjang Gelombang Maksimal 230 nm ... 33 4.2 Spektrum Serapan Maksimum Isoniazid (11 µg/ml) ... 33 4.3 Tumpang Tindih Spektrum Serapan Maksimum Rifampisin
dengan Panjang Gelombang 230 nm dan Isoniazid dengan Panjang Gelombang 266,6 nm (13,5 µg/ml dan 11 µg/ml) ... 34 4.4 Spektrum Serapan Rifampisin pada Berbagai Konsentrasi
(Panjang Gelombang Maksimum 230 nm) ... 35 4.5 Spektrum Serapan Isoniazid pada Berbagai Konsentrasi
(Panjang Gelombang Maksimum 266,6 nm) ... 35 4.6 Spektrum Serapan Campuran Rifampisin dan Isoniazid 13,5
µg/ml dan 11 µg/ml ... 36 4.7 Spektrum Rasio Rifampisin pada Panjang Gelombang
Maksimum 234 nm dengan Menggunakan Spektrum Serapan Isoniazid 15 µg/ml sebagai Divisor ... 36 4.8 Spektrum Rasio Isoniazid pada Panjang Gelombang
Maksimum 267 nm dengan Menggunakan Spektrum Serapan Rifampisin 15 µg/ml sebagai Divisor ... 37 4.9 Spektrum MCR dari Baku Rifampisin dengan Berbagai
Konsentrasi pada Panjang Gelombang Maksimum 234 nm ... 38 4.10 Spektrum MCR dari Baku Isoniazid dengan Berbagai
Konsentrasi pada Panjang Gelombang Maksimum 267 nm ... 38 4.11 Spektrum Tumpang Tindih MCR dari Baku Rifampisin dan
Isoniazid dengan Berbagai Konsentrasi ... 39 4.12 Kurva Kalibrasi Rifampisin ... 40 4.13 Kurva Kalibrasi Isoniazid ... 40
DAFTAR GAMBAR DALAM LAMPIRAN
Gambar Halaman
1 Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg ... 46 2 Tablet Pro TB 2 ... 46 3 Kotak Tablet Pro TB 2 ... 46 4 Personal Computer (PC) dan Spektrofotometri UV-Vis
(Shimadzu 1800) ... 48 5 Neraca Analitik (Boeco Germany) ... 48 6 Sonikator (Branson 1510) ... 48
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Sampel Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg
dan Tablet Pro TB 2 ... 46
2 Komposisi Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg dan Tablet Pro TB 2 ... 47
3 Gambar Alat yang Digunakan ... 48
4 Bagan Alir Prosedur Penelitian ... 49
5 Bagan Alir Prosedur Penelitian secara Keseluruhan ... 62
6 Perhitungan Pembuatan HCl 0,1 N ... 63
7 Contoh Perhitungan Penentuan Konsentrasi Serapan Baku Rifampisin dan Isoniazid Berdasarkan Hukum Lambert-Beer . 64 8 Data Kalibrasi Hasil MCR, Persamaan Regresi, dan Koefisien Korelasi Baku Rifampisin ... 65
9 Data Kalibrasi Hasil MCR, Persamaan Regresi, dan Koefisien Korelasi Baku Isoniazid ... 66
10 Contoh Perhitungan Hasil Uji Perolehan Kembali (%Recovery) Rifampisin dan Isoniazid terhadap Tablet Generik ... 67
11 Data Hasil Uji Persen Perolehan Kembali Rifampisin terhadap Tablet Generik ... 71
12 Data Hasil Uji Persen Perolehan Kembali Isoniazid terhadap Tablet Generik ... 72
13 Perhitungan Standar Deviasi (SD) dan Standar Deviasi Relatif (RSD) Rifampisin dari Hasil Persen Perolehan Kembali terhadap Tablet Generik ... 73
14 Perhitungan Standar Deviasi (SD) dan Standar Deviasi Relatif (RSD) Isoniazid dari Hasil Persen Perolehan Kembali terhadap Tablet Generik ... 74
15 Perhitungan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ) Rifampisin ... 75
16 Perhitungan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)
Isoniazid ... 76 17 Contoh Perhitungan Kadar Teoritis Rifampisin dan Isoniazid
dalam Tablet Generik ... 77 18 Contoh Perhitungan Kadar Teoritis Rifampisin dan Isoniazid
dalam Tablet Pro TB 2 ... 79 19 Contoh Perhitungan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam
Sediaan Tablet ... 81 20 Hasil Analisis Kadar Teoritis Rifampisin dan Isoniazid dalam
Tablet Generik ... 82 21 Perhitungan Statistik Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam
Tablet Generik ... 83 22 Hasil Analisis Kadar Teoritis Rifampisin dan Isoniazid dalam
Tablet Pro TB 2 ... 86 23 Perhitungan Statistik Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam
Tablet Pro TB 2 ... 87 24 Spektrum Serapan Rifampisin Konsentrasi 15 µg/ml dan
Serapan Isoniazid 15 µg/ml sebagai Divisor ... 90 25 Spektrum Serapan Rasio Rifampisin dari Sampel Generik
pada Panjang Gelombang 234 nm ... 91 26 Spektrum Serapan Rasio Isoniazid dari Sampel Generik pada
Panjang Gelombang 267 nm... 93 27 Spektrum Serapan Rasio Rifampisin dari Sampel Pro TB 2
pada Panjang Gelombang 234 nm ... 95 28 Spektrum Serapan Rasio Isoniazid dari Sampel Pro TB 2 pada
Panjang Gelombang 267 nm ... 97 29 Spektrum Serapan MCR Rifampisin dari Sampel Generik
pada Panjang Gelombang 234 nm ... 99 30 Spektrum Serapan MCR Isoniazid dari Sampel Generik pada
Panjang Gelombang 267 nm ... 101 31 Spektrum Serapan MCR Rifampisin dari Sampel Pro TB 2
32 Spektrum Serapan MCR Isoniazid dari Sampel Pro TB 2 pada
Panjang Gelombang 267 nm ... 105
33 Spektrum Serapan Rasio Rifampisin pada Uji Perolehan Kembali 80% ... 107
34 Spektrum Serapan Rasio Rifampisin pada Uji Perolehan Kembali 100% ... 108
35 Spektrum Serapan Rasio Rifampisin pada Uji Perolehan Kembali 120% ... 109
36 Spektrum Serapan Rasio Isoniazid pada Uji Perolehan Kembali 80% ... 110
37 Spektrum Serapan Rasio Isoniazid pada Uji Perolehan Kembali 100% ... 111
38 Spektrum Serapan Rasio Isoniazid pada Uji Perolehan Kembali 120% ... 112
39 Spektrum Serapan MCR Rifampisin pada Uji Perolehan Kembali 80% ... 113
40 Spektrum Serapan MCR Rifampisin pada Uji Perolehan Kembali 100% ... 114
41 Spektrum Serapan MCR Rifampisin pada Uji Perolehan Kembali 120% ... 115
42 Spektrum Serapan MCR Isoniazid pada Uji Perolehan Kembali 80% ... 116
43 Spektrum Serapan MCR Isoniazid pada Uji Perolehan Kembali 100% ... 117
44 Spektrum Serapan MCR Isoniazid pada Uji Perolehan Kembali 120% ... 118
45 Daftar Nilai Distribusi r ... 119
46 Daftar Nilai Distribusi t ... 120
47 Sertifikat Pengujian Rifampisin ... 121
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu jenis penyakit yang telah lama diketahui menjadi salah satu penyebab kematian di dunia. Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat, terutama di negara yang sedang berkembang. Sekitar delapan puluh persen pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-59 tahun), sehingga dampak kerugian ekonomi bagi kesehatan masyarakat cukup besar karena menurunnya produktivitas sumber daya manusia (Rejeki, dkk., 2012).
Pada kasus TB, penyebabnya yaitu mikobakteri (Mycobacterium tuberculosis) yang tumbuh atau berkembang secara sangat lambat. Konsekuensi dari kasus ini yaitu diperlukan waktu terapi yang sangat lama. Contoh antibiotika yang digunakan adalah isoniazid, pirazinamid, rifampisin, etambutol, dan streptomisin. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat antituberkulosis (OAT) (Nugroho, 2012; Adriztina, dkk., 2014).
Rifampisin dan isoniazid merupakan salah satu kombinasi sediaan tablet yang digunakan dalam pengobatan TB. Rifampisin memiliki panjang gelombang 231 nm, 263 nm, dan 336 nm, sedangkan isoniazid memiliki panjang gelombang 266 nm dalam pelarut asam (Moffat, dkk., 2011).
Metode spektrofotometri telah dikembangkan sampai sekarang sehingga dapat digunakan dalam penetapan kadar campuran zat aktif dalam suatu sediaan yang mengandung dua atau lebih zat aktif tanpa dilakukan pemisahan terhadap zat-zat yang terkandung di dalamnya. Salah satu metode spektrofotometri yang telah dikembangkan untuk penetepan kadar dua atau lebih campuran dalam suatu sediaan yaitu metode spektrofotometri secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) yang telah digunakan oleh Afkhami dan Bahram (2005) dalam analisis binary mixtures asam mefenamat dan parasetamol, serta ternary mixtures dari asam asetilsalisilat, asam askorbat, dan parasetamol secara simultan.
Metode spektrofotometri secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) merupakan metode spektrofotometri ultraviolet yang lebih lanjut dimana tidak diperlukan tahap-tahap derivatisasi dan metode ini dikenal sebagai metode yang efektif terhadap waktu dan harga dibandingkan dengan metode kromatografi. Metode MCR juga dapat digunakan untuk penetapan kadar campuran dua atau lebih zat aktif yang memiliki kelarutan yang sama dan untuk campuran yang tidak diketahui matriksnya. Perkembangan metode MCR lebih selektif dibandingkan dengan metode spektrofotometri lainnya, serta merupakan metode yang stabil untuk digunakan dalam penetapan kadar (Abdelwahab, dkk., 2012).
Penetapan kadar zat berkhasiat dalam berbagai sediaan obat merupakan bagian yang penting dalam instansi yang melakukan penetapan kadar obat, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan dan industri obat. Oleh karena itu diperlukan metode analisis yang memerlukan alat dan biaya operasional yang relatif lebih murah serta lebih mudah dalam pelaksanaannya, namun dapat memberikan hasil dengan akurasi dan presisi yang baik (Hayun, dkk., 2006).
Menurut Farmakope Indonesia edisi V (2014), persyaratan kadar umum untuk sediaan tablet yaitu tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap penetapan kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apakah hasil uji validasi terhadap metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) untuk penetapan kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet memenuhi persyaratan uji validasi?
b. Apakah kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang ditentukan dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) memenuhi persyaratan kadar umum sediaan tablet?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dibuat hipotesis sebagai berikut:
a. Hasil uji validasi terhadap metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) untuk penetapan kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet memenuhi persyaratan uji validasi.
b. Kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang ditentukan dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) memenuhi persyaratan kadar umum sediaan tablet.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apakah hasil uji validasi terhadap metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) untuk penetapan kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet memenuhi persyaratan uji validasi.
b. Untuk mengetahui apakah kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang ditentukan dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) memenuhi persyaratan kadar umum sediaan tablet.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi bahwa penggunaan metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) dapat dilakukan terhadap penetapan kadar campuran rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Rifampisin
Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian tentang rifampisin sebagai berikut:
Gambar 2.1 Struktur Rifampisin (Ditjen BKAK, 2014)
Nama Kimia : 5,6,9,17,19,21-Heksahidroksi-23-metoksi-2,4,12,16,18,20,22 heptametil-8-[N-(4-metil-1-piperazinil)formimidoil]-2,7 (epoksipentadeka[1,11,13]trienimino)naftol[2,1-b]furan-1,11-(2H)-dion21-asetat
Rumus Molekul : C43H58N4O12 Berat Molekul : 822,95
Pemerian : Serbuk hablur, cokelat merah.
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam kloroform; larut dalam etil asetat dan dalam metanol.
Rifampisin memiliki aksi membentuk kompleks stabil dengan DNA-dependent RNA polimerase, dengan mengikat subunit β enzim sehingga
menyebabkan penghambatan pada sintesis DNA. Resistensi terhadap obat ini terjadi karena mutasi pada subunit β enzim. Rifampisin dimetabolisme di hati (proses deasetilasi) menajdi metabolit aktif sehingga toksik pada hati yang menyebabkan kerusakan pada sel hati. Rifampisin dapat menginduksi enzim CYP450 sehingga dapat meningkatkan proses metabolisme obat lain jika digunakan secara bersamaan. Obat ini digunakan baik pada pengobatan TBC maupun leprosis (Nugroho, 2012).
Menurut Moffat, dkk. (2011), rifampisin memiliki panjang gelombang 231 nm ( = 320a), 263, dan 336 nm ( = 250a) pada pelarut asam dengan metode spektrofotometri ultraviolet.
2.1.2 Isoniazid
Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian tentang rifampisin sebagai berikut:
Gambar 2.2 Struktur Isoniazid (Ditjen BKAK, 2014).
Nama Kimia : Asam isonikotinat hidrazida Rumus Molekul : C6H7N3O
Berat Molekul : 137,14
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur; putih atau tidak berwarna; tidak berbau, perlahan-lahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya.
Kelarutan : Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam kloroform dan eter.
Isoniazid mempunyai aksi menghambat pembentukan asam mikolat, suatu komponen selubung sel pada mikobakteria. Proses metabolisme isoniazid melibatkan proses asetilasi yang dipengaruhi oleh faktor genetik suatu ras sehingga dibagi menjadi dua kelompok, antara lain asetilator cepat dan asetilator lambat. Efek samping utama dari isoniazid adalah hepatotoksik (10-20%) dan neuropati perifer (Nugroho, 2012).
Menurut Moffat, dkk. (2011), isoniazid memiliki panjang gelombang 266 nm ( = 390a) pada pelarut asam dan 298 nm pada pelarut basa dengan metode spektrofotometri ultraviolet.
2.2 Tablet
Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai: a. Tablet cetak. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab
dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan.
b. Tablet kempa. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen BKAK, 2014).
Tablet dibuat dengan tiga cara umum, yaitu granulasi basah, granulasi kering (mesin rol atau mesin slag) dan kempa langsung. Tujuan granulasi basah dan kering adalah untuk meningkatkan aliran campuran dan atau kemampuan kempa (Ditjen BKAK, 2014).
2.3 Metode Analisis
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), suatu metode analisis terdiri dari serangkaian langkah yang harus diikuti untuk tujuan analisis kualitatif, kuantitatif, dan informasi struktur dengan menggunakan teknik tertentu. Dalam setiap analisis, pemilihan metode merupakan masalah yang paling penting. Pemilihan suatu metode analisis harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Tujuan analisis, biaya yang dibutuhkan, dan waktu yang diperlukan. b. Level analit yang diharapkan dan batas deteksi yang diperlukan.
c. Macam sampel yang akan dianalisis serta pra-perlakuan sampel yang diperlukan.
d. Jumlah sampel yang dianalisis.
e. Ketepatan dan ketelitian yang diinginkan untuk analisis kuantitatif.
f. Ketersediaan bahan rujukan, senyawa baku, bahan-bahan kimia, dan pelarut yang dibutuhkan.
g. Peralatan yang tersedia.
h. Kemungkinan adanya gangguan pada saat deteksi atau pada saat pengukuran sampel.
Metode yang baik seharusnya memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1. Peka, artinya metode harus dapat dipakai untuk menetapkan kadar senyawa dalam konsentrasi yang kecil.
2. Tepat, artinya metode tersebut menghasilkan suatu hasil analisis yang sama atau hampir sama dalam satu seri pengukuran.
3. Teliti, artinya metode dapat menghasilkan nilai rata-rata yang sangat dekat dengan nilai yang sebenarnya.
4. Selektif, artinya untuk penetapan kadar senyawa tertentu, meode tersebut tidak banyak terpengaruh oleh adanya senyawa lain.
5. Kasar, artinya adanya perubahan komposisi pelarut atau variasi lingkungan tidak menyebabkan perubahan hasil analisis.
6. Praktis, artinya metode tersebut mudah dikerjakan dan tidak banyak memerlukan waktu dan biaya. Syarat ini diperlukan sebab banyak senyawa-senyawa yang tidak stabil apabila waktu penetapan terlalu lama (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.4 Spektrofotometri
Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur transmitan atau serapan suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan penggabungan dari dua fungsi alat yang terdiri dari spektrometer yang menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer sebagai alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik. Interaksi antara molekul
dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi (Satiadarma, dkk., 2004; Gandjar dan Rohman, 2007).
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan visibel terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800 nm, memiliki komponen-komponen yang meliputi sumber-sumber sinar, monokromator, dan sistem optik (Gandjar dan Rohman, 2012).
Ada tiga macam proses penyerapan energi ultraviolet dan visibel yaitu penyerapan oleh transisi elektronik ikatan dan elektron anti ikatan (elektron σ, elektron π, dan elektron n), penyerapan oleh transisi elektronik d dan f dari molekul kompleks (kebanyakan ion-ion logam transisi), dan penyerapan oleh perpindahan muatan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), transisi-transisi elektronik terjadi di antara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada empat, yaitu transisi σ→σ*, transisi n→σ*, transisi n→π*, dan transisi π→π*. Berikut uraian keempat jenis transisi tersebut.
a. Transisi σ→σ*
Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak di antara UV vakum (kurang dari 180 nm) sehingga kurang bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri ultraviolet-visibel.
b. Transisi n→σ*
Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang
diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil daripada transisi σ→σ* sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang lebih panjang sekitar 150-250 nm. Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang gelombang kurang dari 200 nm. Pengaruh pelarut pada transisi ini adalah pergeseran puncak serapan ke panjang gelombang ke arah yang lebih pendek dalam pelarut yang lebih polar. Pergeseran ke panjang gelombang ke arah yang lebih pendek ini disebut pergeseran hipsokromik.
c. Transisi n→π* dan transisi π→π*
Untuk memungkinkan terjadinya transisi ini, maka molekul organik harus mempunyai gugus fungsi yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital π yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan panjang gelombang spektrofotometer ultraviolet-visibel yaitu antara 200-700 nm. Pelarut dapat mempengaruhi transisi ini, dimana hal ini berkaitan dengan adanya perbedaan kemampuan pelarut untuk mensolvasi antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi.
Dalam kebanyakan transisi π→π*, molekul dalam keadaan dasar relatif non polar dan keadaan tereksitasinya lebih polar dibandingkan keadaan dasar. Jika pelarut polar digunakan pada molekul yang mengalami transisi ini, maka akan menyebabkan pelarut polar berinteraksi lebih kuat dengan keadaan tereksitasi, sehingga perbedaan energi transisi π→π* pada pelarut polar ini lebih kecil yang mengakibatkan terjadinya pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar (pergeseran batokromik).
Dalam kebanyakan molekul-molekul yang menunjukkan transisi n→π*, keadaan dasar lebih polar dibandingkan dengan keadaan tereksitasi. Secara khusus, pelarut-pelarut yang berikatan hidrogen akan berinteraksi secara lebih kuat dengan pasangan elektron yang tidak berpasangan pada molekul dalam keadaan dasar dibanding pada molekul dalam keadaan tereksitasi. Akibatnya, transisi n→π* akan mempunyai energi yang lebih besar sehingga panjang gelombang transisi ini akan mengalami pergeseran ke panjang gelombang ke arah yang lebih pendek (pergeseran hipsokromik).
Bagian molekul yang bertanggung jawab terhadap penyerapan cahaya disebut kromofor dan terdiri atas ikatan rangkap dua atau rangkap tiga, terutama jika ikatan rangkap tersebut terkonjugasi. Semakin panjang ikatan rangkap dua atau rangkap tiga terkonjugasi di dalam molekul, molekul tersebut akan lebih mudah menyerap cahaya (Cairns, 2008).
Gugus fungsi yang mempunyai elektron bebas, seperti –OH, ‒O, ‒NH2 dan –OCH3 yang memberikan transisi n→π* disebut gugus auksokrom. Gugus ini adalah gugus yang tidak dapat menyerap radiasi ultraviolet-sinar tampak, tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar atau pergeseran batokromik disertai dengan peningkatan intensitas (efek hiperkromik) (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.4.1 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang
untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5-40 μm (Ditjen POM RI, 1995).
Sinar tampak dan sinar ultraviolet memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik. Transisi-transisi elektronik akan meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi tereksitasi. Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Apabila pada molekul yang sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorpsi yang merupakan garis spektrum. Pada kenyataannya, spektrum ultraviolet-visibel bukan merupakan suatu pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum tersebut disebabkan oleh terjadinya eksitasi elektron lebih dari satu macam pada gugus molekul yang sangat kompleks. Terjadinya dua atau lebih pita spektrum diberikan oleh molekul dengan struktur yang lebih kompleks karena terjadi beberapa transisi sehingga mempunyai lebih dari satu panjang gelombang (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri ultraviolet-visibel antara lain:
a. Pemilihan panjang gelombang maksimum
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum, dapat diperoleh dengan membuat kurva hubungan antara
absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu:
• Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
• Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.
• Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang terjadi pada pengulangan akan kecil sekali, karena digunakan panjang gelombang maksimal.
b. Pembuatan kurva kalibrasi
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan tersebut diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi merupakan garis lurus.
c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer sebaiknya antara 0,2-0,6 karena pada kisaran nilai tersebut, kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal.
2.4.2 Hukum Lambert-Beer
Menurut Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari. Sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi.
Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu dalam Hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Hukum Lambert-Beer umumnya dikenal dengan persamaan sebagai berikut: A = a.b.c (g/L) atau
A = ɛ.b.c (mol/L) atau A = .b.c (g/100 ml)
Dimana: A = absorbansi b = tebal kuvet (cm) a = absorptivitas c = konsentrasi
ɛ = absorptivitas molar = absorptivitas spesifik
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.5 Metode Mean Centering of Ratio Spectra (MCR)
Metode Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) metode yang diyakini baik karena campuran biner maupun terner dapat ditentukan tanpa pemisahan terlebih dahulu. Dalam metode ini, spektrum rasio diperoleh setelah konstanta dihilangkan dengan rerata pemusatan spektrum rasio (Mohsen, dkk., 2013).
Metode MCR diterapkan untuk pengembangan lebih lanjut dari selektivitas untuk menyelesaikan tumpang tindih yang terdapat antara obat dalam campuran
biner maupun terner. Metode ini menghilangkan tahap-tahap derivatisasi dan karena itu rasio signal-to-noise ditingkatkan (Kamal, dkk., 2016).
Menurut Afkhami dan Bahram (2005), persyaratan penggunaan metode MCR adalah sebagai berikut.
a. Digunakan untuk penetapan kadar campuran biner, terner, atau lebih.
b. Zat aktif yang satu tidak boleh mempengaruhi penetapan kadar dari zat aktif lainnya.
c. Dapat digunakan untuk penetapan kadar campuran yang tidak diketahui matriksnya.
d. Dapat digunakan untuk zat aktif yang mempunyai kelarutan yang sama.
e. Dapat digunakan untuk penetapan kadar campuran obat yang mempunyai panjang gelombang yang berdekatan.
f. Dapat digunakan untuk penetapan kadar sediaan dengan perbandingan zat aktif yang jauh berbeda.
Penjelasan metode MCR menurut Mohsen, dkk. (2013) dapat dimisalkan vektor tiga dimensi:
[5] y = [1] [3]
Kemudian kolom dilakukan mean centered dengan mengurangi rerata dari ketiga angka di atas. [3] y' = [3] [3] [5] [3] [+2] MC(y) = y ‒ y' = [ ] ‒ [3] = [‒2] [3] [3] [ 0 ]
Hal ini dapat membuktikan jika vektor y dikalikan dengan n (angka konstan), vektor hasil mean centered juga dikalikan dengan n, juga jika sebuah nilai konstan ditambahkan pada vektor y, maka mean centered vektor ini tidak berubah.
Misalkan ada campuran dua komponen yaitu X dan Y. Jika tidak ada interaksi antara kedua komponen tersebut dan hukum Beer dipenuhi untuk setiap komponen, maka ditulis:
m = αxCx + αyCy ( ) Keterangan :
Am = vektor absorbansi dari campuran αx = vektor absorptivitas dari X αy = vektor absorptivitas dari Y Cx = konsentrasi X
Cy = konsentrasi Y
Jika persamaan ( ) dibagi dengan αy sesuai dengan spektrum dari larutan standar Y dalam campuran biner, spektrum rasio pertama diperoleh dalam bentuk persamaan (2) (untuk kemungkinan dasar pembagian, nilai nol tidak dapat digunakan sebagai divisor) (Mohsen, dkk., 2013).
B = m/αy = αxCx/αy + Cy (2)
Jika persamaan (2) dilakukan mean centered (MC) karena nilai mean centered dari sebuah konstanta adalah nol, maka persamaan (3) dapat diperoleh sebagai berikut.
MC(B) = MC [αxCx/αy] (3)
Persamaan (3) merupakan dasar matematika dar analisis campuran biner yang memperbolehkan penetapan kadar konsentrasi dari setiap komponen aktif dalam
larutan (X dalam persamaan tersebut) tanpa mengganggu komponen aktif lain dari sistem campuran biner (Y dalam persamaan tersebut). Persamaan (3) menunjukkan adanya hubungan yang linear antara nilai dari MC(B) dan konsentrasi X dalam larutan (Mohsen, dkk., 2013).
Kurva kalibrasi dapat dibangun dengan memplot nilai MC(B) terhadap konsentrasi X dalam larutan standar dalam campuran biner. Untuk sensitivitas nilai MC(B) yang lebih baik, maka panjang gelombang diukur sesuai dengan panjang gelombang maksimum dan minimum yang dipilih (Mohsen, dkk., 2013).
2.6 Perangkat Lunak Matlab
Menurut Widiarsono (2005), Matlab merupakan suatu program komputer yang bias membantu memecahkan masalah matematis yang kerap kita temui dalam bidang teknis.
Secara lengkap, Matlab merupakan bahasa pemrograman dengan kemampuan tinggi dalam bidang komputasi. Matlab memiliki kemampuan menintegrasikan komputasi, visualisasi, dan pemrograman. Oleh karena itu, Matlab banyak digunakan dalam bidang riset-riset yang memerlukan komputasi numerik yang kompleks (Widiarsono, 2005).
Kemampuan Matlab dapat dimanfaatkan untuk menemukan solusi dari berbagai masalah numerik secara cepat, misalkan sistem dua persamaan linear dengan dua variabel:
x ‒ 2y = 32 12x + 5y = 12
hingga yang kompleks, seperti mencari akar-akar polinomial, interpolasi dari sejumlah data, perhitungan dengan matriks, pengolahan sinyal, dan metode numerik. Salah satu aspek yang sangat berguna dari Matlab ialah kemampuannya untuk menggambarkan berbagai jenis grafik sehingga kita bias memvisualisasikan data dan fungsi yang kompleks (Widiarsono, 2005).
Matlab merupakan kepanjangan dari Matrix Laboratory. Sesuai dengan namanya, struktur data yang terdapat dalam Matlab menggunakan matriks atau array berdimensi dua (double). Oleh karena itu, penguasaan teori matriks mutlak diperlukan bagi pengguna pemula Matlab agar mudah dalam mempelajari dan memahami operasi-operasi yang ada di Matlab (Widiarsono, 2005).
2.7 Validasi Metode Analisis
Tujuan utama yang harus dicapai dari suatu kegiatan analisis kimia adalah dihasilkannya data hasil uji yang absah (valid). Secara sederhana hasil uji yang absah dapat digambarkan sebagai hasil uji yang mempunyai akurasi (accuracy) dan presisi (precission) yang baik. Validasi adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).
2.7.1 Akurasi
Akurasi (kecermatan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan dan dapat ditentukan
melalui dua cara yaitu metode simulasi (spiked placebo recovery) dan metode penambahan bahan baku atau standard addition method (Harmita, 2004).
Menurut Harmita (2004) dalam metode adisi (penambahan bahan baku), sejumlah sampel yang dianalisis ditambah analit dengan konsentrasi biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan, dicampur, dan dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya.
2.7.2 Presisi
Presisi adalah derajat kesesuaian di antara masing-masing hasil uji, jika prosedur analisis ditetapkan berulang kali pada sejumlah cuplikan yang diambil dari satu sampel homogen. Presisi dinyatakan sebagai deviasi standar atau deviasi standar relatif (Satiadarma, dkk., 2004).
Parameter-parameter seperti simpangan baku (SB), simpangan baku relatif (relative standard deviation), dan derajat kepercayaan haruslah dikalkulasi untuk mendapatkan tingkat presisi tertentu (Ermer dan Miller, 2005). Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang (Harmita, 2004).
2.7.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).
2.7.4 Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transormasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit (Harmita, 2004).
Persamaan garis yang digunakan pada kurva kalibrasi diperoleh dari persamaan y = ax + b. Persaman ini akan menghasilkan koefisien korelasi (r). Sebelum melakukan perhitungan regresi, perlu ditentukan terlebih dahulu apakah ada korelasi linear yang signifikan antara dua variabel yang diuji dengan menghitung koefisien korelasi atau uji korelasi. Koefisien korelasi inilah yang digunakan untuk mengetahui linieritas suatu metode analisis. Jika besarnya r yang dihitung dari satu seri data lebih besar dari harga r teoritis berarti korelasi antara X dan Y signifikan. Sebaliknya, bila harga r terhitung lebih kecil dari teoritis berarti tidak ada hubungan signifikan antara variabel X dan Y, sehingga tidak perlu dilakukan analisis regresi lebih lanjut. Jadi, analisis regresi hanya dilakukan apabila r terhitung lebih besar dari r teoritis (Satiadarma, dkk., 2004; Mursyidi, 1985).
2.7.5 Rentang
Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang telah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. Kisaran-kisaran konsentrasi yang diuji tergantung pada jenis metode dan kegunaannya (Harmita, 2004; Gandjar dan Rohman, 2007).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) terhadap analisis campuran rifampisin dan isoniazid yang terkandung dalam sediaan tablet generik dan tablet merek dagang.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2017 sampai dengan Mei 2017 di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
3.3 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu 1800) lengkap, personal computer (PC) yang dilengkapi dengan software UV Probe 2.42, Ms. Excel 2007, dan MATLAB® versi R2009a (The MathWorks™), neraca analitik (Boeco Germany), sonikator (Branson 1510), alat-alat gelas serta alat-alat-alat-alat lainnya yang diperlukan dalam penyiapan sampel. Gambar beberapa alat yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 48.
3.4 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah HCl p.a (Merck), akuades, baku rifampisin ARS (Asean Reference Substance), baku isoniazid BPFI, Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg (PT Phapros Tbk) dan Tablet Pro TB 2® (PT Phapros Tbk).
3.5 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel secara purposif, yaitu sampel yang diambil dapat mewakili populasi dan berdasarkan kriteria spesifik yang ditetapkan peneliti (Kuntjojo, 2009). Sampel yang digunakan yaitu Tablet Generik Rifampisin 150 mg / Isoniazid 150 mg (PT Phapros Tbk) dan Tablet Pro TB 2® (PT Phapros Tbk) yang masing-masing mengandung rifampisin 150 mg dan isoniazid 150 mg.
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Pembuatan Pelarut HCl 0,1 N
Diencerkan 8,3 ml HCl 37% (v/v) dengan 1 liter akuades (Ditjen POM RI, 1979). Perhitungan pembuatan pereaksi dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 63.
3.6.2 Pembuatan Larutan Induk Baku
3.6.2.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Rifampisin
Ditimbang dengan seksama 50,3 mg baku pembanding rifampisin ARS kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan pelarut HCl 0,1 N hingga larut, dan dicukupkan volume dengan pelarut yang sama sampai garis tanda sehingga didapatkan konsentrasi 1006 µg/ml (LIB I). Dari LIB I
dipipet 2,5 ml lalu dimasukkan ke dalam ke dalam labu tentukur 50 ml, dicukupkan volume dengan pelarut yang sama sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 50,3 µg/ml (LIB II). Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 49.
3.6.2.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazid
Ditimbang dengan seksama 50,2 mg baku pembanding isoniazid BPFI kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan pelarut HCl 0,1 N hingga larut, dan dicukupkan volume dengan pelarut yang sama sampai garis tanda sehingga didapatkan konsentrasi 1004 µg/ml (LIB I). Dari LIB I dipipet 2,5 ml lalu dimasukkan ke dalam ke dalam labu tentukur 50 ml, dicukupkan volume dengan pelarut yang sama sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 50,2 µg/ml (LIB II). Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 50.
3.6.3 Pembuatan Spektrum Serapan Maksimum
3.6.3.1 Pembuatan Spektrum Serapan Maksimum Rifampisin
Diambil sebanyak 2,7 ml dari LIB II rifampisin (konsentrasi 50,3 µg/ml) kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, untuk kemudian diencerkan dengan pelarut HCl 0,1 N hingga garis tanda lalu dikocok sampai homogen untuk memperoleh larutan rifampisin dengan konsentrasi 13,5 µg/ml. Diukur serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 49.
3.6.3.2 Pembuatan Spektrum Serapan Maksimum Isoniazid
Diambil sebanyak 2,2 ml dari LIB II isoniazid (konsentrasi 50,2 µg/ml) kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, untuk kemudian diencerkan
dengan pelarut HCl 0,1 N hingga garis tanda lalu dikocok sampai homogen untuk memperoleh larutan isoniazid dengan konsentrasi 11 µg/ml. Diukur serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 50.
3.6.4 Pembuatan Spektrum Serapan Larutan Standar
3.6.4.1 Pembuatan Spektrum Serapan Larutan Standar Rifampisin
Larutan standar rifampisin dibuat dalam 5 labu tentukur 10 ml yang memiliki konsentrasi masing-masing 6 µg/ml; 9 µg/ml; 12 µg/ml; 15 µg/ml; dan 18 µg/ml, dengan cara dipipet sebanyak 1,2 ml; 1,8 ml; 2,4 ml; 3 ml; dan 3,6 ml secara berurutan dari LIB II rifampisin dan dicukupkan dengan pelarut HCl 0,1 N sampai garis tanda. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 51.
3.6.4.2 Pembuatan Spektrum Serapan Larutan Standar Isoniazid
Larutan standar isoniazid dibuat dalam 5 labu tentukur 10 ml yang memiliki konsentrasi masing-masing 5 µg/ml; 7,5 µg/ml; 10 µg/ml; 12,5 µg/ml; dan 15 µg/ml, dengan cara dipipet sebanyak 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 2,5 ml; dan 3 ml secara berurutan dari LIB II isoniazid dan dicukupkan dengan pelarut HCl 0,1 N sampai garis tanda. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 52.
3.6.5 Pembuatan Spektrum Serapan Campuran Rifampisin dan Isoniazid
Diambil sebanyak 2,7 ml dari LIB II rifampisin dan 2,2 ml dari LIB II isoniazid kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, untuk kemudian diencerkan dengan pelarut HCl 0,1 N hingga garis tanda lalu dikocok sampai homogen untuk memperoleh larutan rifampisin dengan konsentrasi 13,5 µg/ml
dan isoniazid dengan konsentrasi 11 µg/ml. Diukur serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 53.
3.6.6 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio
3.6.6.1 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio Rifampisin
Spektrum serapan rifampisin pada berbagai konsentrasi dibagi dengan spektrum serapan isoniazid konsentrasi 15 µg/ml dengan bantuan software UV Probe 2.42 dimana spekrum serapan rifampisin yang telah disimpan di-manipulate dengan tipe data set kemudian dipilih operasi pembagian (division) dengan tujuan untuk membagi spektrum rifampisin dengan isoniazid. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 54.
3.6.6.2 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio Isoniazid
Spektrum serapan isoniazid pada berbagai konsentrasi dibagi dengan spektrum serapan rifampisin konsentrasi 15 µg/ml dengan bantuan software UV Probe 2.42 dimana spekrum serapan isoniazid yang telah disimpan di-manipulate dengan tipe data set kemudian dipilih operasi pembagian (division) dengan tujuan untuk membagi spektrum isoniazid dengan rifampisin. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 55.
3.6.6.3 Pembuatan Spektrum Serapan Rasio Tunggal Rifampisin dan Isoniazid dari Campuran Rifampisin dan Isoniazid
Spektrum serapan campuran rifampisin dan isoniazid dibagi masing-masing dengan spektrum serapan rifampisin dengan konsentrasi 15 µg/ml (untuk penetapan kadar isoniazid), dan dengan spektrum serapan isoniazid dengan konsentrasi 15 µg/ml (untuk penetapan kadar rifampisin) dengan bantuan software
telah disimpan di-manipulate dengan tipe data set kemudian dipilih operasi pembagian dengan tujuan untuk membagi spektrum campuran dengan spektrum rifampisin dan isoniazid. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 56.
3.6.7 Pembuatan Spektrum Serapan secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR)
3.6.7.1 Pembuatan Spektrum Serapan Rifampisin secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR)
Hasil manipulasi spektrum rifampisin (hasil rasio) dipindahkan ke software Ms. Excel 2007 kemudian di-meancenter-kan dengan bantuan software MATLAB versi R2009a. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 57.
3.6.7.2 Pembuatan Spektrum Serapan Isoniazid secara Mean Centering of Ratio Spectra (MCR)
Hasil manipulasi spektrum isoniazid (hasil rasio) dipindahkan ke software Ms. Excel 2007 kemudian di-meancenter-kan dengan bantuan software MATLAB versi R2009a. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 58.
3.6.8 Pembuatan Kurva Kalibrasi
3.6.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Rifampisin
Nilai mean center (MC) dari spektrum rasio serapan rifampisin pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh, dihitung, dan diplot dengan konsentrasi untuk mendapatkan persamaan garis regresinya. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 59.
3.6.8.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Isoniazid
Nilai mean center (MC) dari spektrum rasio serapan isoniazid pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh, dihitung, dan diplot dengan konsentrasi untuk mendapatkan persamaan garis regresinya. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 60.
3.6.9 Validasi Metode 3.6.9.1 Akurasi
Uji akurasi dilakukan dengan penambahan baku (standar addition method), yaitu dengan membuat 3 konsentrasi analit sampel dengan rentang spesifik 80%, 100%, dan 120%, dimana masing-masing dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Setiap rentang spesifik mengandung 70% analit dan 30% baku pembanding, kemudian dianalisis dengan perlakuan yang sama seperti pada penetapan pada sampel (Harmita, 2004). Spektrum serapan yang dihasilkan kemudian dibuat spektrum rasio untuk masing–masing rifampisin dan isoniazid, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan spektrum MCR dan dilakukan penetapan kadar seperti pada sampel. Berikut di bawah merupakan rumus persen perolehan kembali:
% Perolehan Kembali = x 100%
Keterangan:
CF
= Konsentrasi sampel setelah penambanhan baku CA = Konsentrasi sampel sebelum penambahan bakuCA *
3.6.9.2 Presisi
Penentuan presisi berdasarkan nilai relative standard deviation (RSD) dengan persyaratan simpangan baku relatif bernilai kurang dari 2% (Satiadarma, dkk., 2004). RSD dirumuskan sebagai berikut:
RSD = x 100% Keterangan:
RSD = Standar deviasi relatif (%) SD = Standar deviasi
= Kadar rata-rata zat dalam sampel
3.6.9.3 Batas Deteksi (Limit of Detection, LOD) dan Batas Kuantitatif (Limit of Quantification, LOQ)
Berdasarkan absorbansi pada panjang gelombang analisis dilakukan pula perhitungan LOD dan LOQ.
SB = LOD = s o LOQ = s o Keterangan: SB = Simpangan baku Slope = a (y = ax + b)
3.6.10 Penentuan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet
Ditimbang 20 tablet dan digerus dalam lumpang sampai halus dan homogen. Kemudian ditimbang sejumlah serbuk setara dengan 50 mg rifampisin secara
seksama (penimbangan dilakukan sebanyak 6 kali pengulangan) dan dihitung kesetaraan isoniazid yang terkandung di dalamnya. Dimasukkan serbuk yang telah ditimbang ke dalam labu tentukur 50 ml dan dilarutkan dengan pelarut HCl 0,1 N sampai garis tanda, dihomogenkan dengan sonikator selama 15 menit. Larutan tersebut kemudian disaring, lebih kurang 10 ml filtrat pertama dibuang, filtrat selanjutnya ditampung. Kemudian dipipet 0,75 ml filtrat dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. Dicukupkan dengan pelarut HCl 0,1 N sampai garis tanda sehingga diperoleh larutan yang mengandung rifampisin konsentrasi 15 µg/ml dan isoniazid konsentrasi 15 µg/ml. Diukur serapan pada panjang gelombang 200-400 nm. Bagan alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 61.
3.6.11 Analisis Data Penetapan Kadar secara Statistik
Data perhitungan kadar rifampisin dan isoniazid dianalisis secara statistik dengan menggunakan ttabel distribusi yang dapat dilihat pada Lampiran 46 halaman 120.
Rumus yang digunakan adalah:
SD =
Untuk mencari thitung digunakan rumus:
t
hitung =
Data diterima jika thitung < ttabel pada terval kepercayaa 99% de ga la α = 0,01.
Keterangan:
SD = Standard deviation / simpangan baku X = Kadar dalam satu perlakuan
= Kadar rata-rata dalam satu perlakuan n = Jumlah pengulangan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penentuan Spektrum Serapan Maksimum
Spektrum serapan maksimum rifampisin dan isoniazid masing-masing dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.
Gambar 4.1 Spektrum Serapan Maksimum Rifampisin (13,5 µg/ml) dengan
Panjang Gelombang Maksimum 230 nm
Gambar 4.2 Spektrum Serapan Maksimum Isoniazid (11 µg/ml) dengan Panjang
Gelombang Maksimum 266,6 nm
Menurut Moffat, dkk. (2011), panjang gelombang maksimum untuk rifampisin dalam suasana asam ( = 320a) terletak pada 231 nm, sedangkan untuk isonizid dalam suasana asam ( = 390a) terletak pada panjang gelombang
266 nm. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh panjang gelombang maksimum rifampisin pada 230 nm dan isoniazid pada 266,6 nm. Dalam hal ini, panjang gelombang maksimum hasil analisis dari masing-masing zat aktif memenuhi syarat.
Gambar 4.3 Tumpang Tindih Spektrum Serapan Maksimum Rifampisin dengan
Panjang Gelombang Maksimum 230 nm dan Isoniazid dengan Panjang Gelombang Maksimum 266,6 nm (13,5 µg/ml dan 11 µg/ml)
Spektrum tumpang tindih pada Gambar 4.3 dibuat dengan menggabungkan serapan dari rifampisin konsentrasi 13,5 µg/ml dan isoniazid konsentrasi 11 µg/ml. Metode spektrofotometri biasa tidak dapat digunakan untuk menetapkan kadar rifampisin dan isoniazid dalam campurannya karena spektrum keduanya saling tumpang tindih, sehingga absorbansi pada panjang gelombang spektrum rifampisin dan isoniazid tidak menyatakan besar konsentrasi zat tersebut dalam campurannya. Berbeda dengan metode spektrofotometri biasa, spektrofotometri ultraviolet metode Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) dapat menetapkan kadar suatu zat dalam campurannya dengan zat lain.
4.2 Hasil Pembuatan Spektrum Serapan Rifampisin dan Isoniazid pada Berbagai Konsentrasi
Spektrum serapan rifampisin dan isoniazid pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5.
Gambar 4.4 Spektrum Serapan Rifampisin pada Berbagai Konsentrasi (Panjang
Gelombang Maksimum 230 nm)
Gambar 4.5 Spektrum Serapan Isoniazid pada Berbagai Konsentrasi (Panjang
Gelombang Maksimum 266,6 nm)
4.3 Hasil Spektrum Serapan Campuran Baku Rifampisin dan Isoniazid
Spektrum serapan campuran baku rifampisin dan isoniazid dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Spektrum Serapan Campuran Rifampisin dan Isoniazid (13,5 µg/ml
dan 11 µg/ml)
Campuran baku rifampisin konsentrasi 13,5 µg/ml dan isoniazid 11 µg/ml menghasilkan spektrum yang berbeda dengan spektrum campuran keduanya karena spektrum tersebut merupakan kombinasi dari spektrum zat penyusunnya.
4.4 Hasil Spektrum Serapan Rasio Rifampisin dan Isoniazid
Spektrum rasio rifampisin dan isoniazid dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 di bawah ini.
Gambar 4.7 Spektrum Rasio Rifampisin pada Panjang Gelombang Maksimum
234 nm dengan Menggunakan Spektrum Serapan Isoniazid 15 µg/ml sebagai Divisor
Gambar 4.8 Spektrum Rasio Isoniazid pada Panjang Gelombang Maksimum 267
nm dengan Menggunakan Spektrum Serapan Rifampisin 15 µg/ml sebagai Divisor
Spektrum rasio rifampisin dibuat dengan membagi spektrum serapan rifampisin pada berbagai konsentrasi dengan spektrum serapan isoniazid konsentrasi 15 µg/ml, sedangkan spektrum rasio isoniazid dibuat dengan membagi spektrum serapan isoniazid dengan spektrum serapan rifampisin konsentrasi 15 µg/ml. Setelah dirasiokan, diperoleh panjang gelombang maksimum rifampisin 234 nm dan isoniazid 267 nm.
Metode Mean Centering of Ratio Spectra (MCR) diawali dengan membuat spektrum rasio dan memilih konsentrasi divisor. Penentuan konsentrasi divisor diambil dari rentang konsentrasi yang memenuhi hukum Lambert-Beer (An dan Hoang, 2009). Konsentrasi divisor yang digunakan dalam penelitian ini adalah rifampisin 15 µg/ml dan isoniazid 15 µg/ml. Dasar pemilihan konsentrasi divisor adalah bahwa tidak terdapat perbedaan pada letak panjang gelombang maksimum dari zat-zat yang dibagi spektrumnya, yang berbeda hanya tinggi puncak atau nilai absorbansi yang dihasilkan, sehingga yang dipilih adalah konsentrasi yang mendekati dengan perbandingan sampel.