• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI ALKALOID DARI KULIT BATANG LANDOYUNG (Litsea cubeba (Lour.) Pers.)

SKRIPSI

OLEH:

PAUL YOB ASA KARMELANT HUTAPEA NIM 141524061

PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

ISOLASI ALKALOID DARI KULIT BATANG LANDOYUNG (Litsea cubeba (Lour.) Pers.)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

PAUL YOB ASA KARMELANT HUTAPEA NIM 141524061

PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

ISOLASI ALKALOID DARI KULIT BATANG LANDOYUNG (Litsea cubeba (Lour.) Pers.)

OLEH:

PAUL YOB ASA KARMELANT HUTAPEA NIM 141524061

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 31 Maret 2017 Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt.

NIP 195709091985112001 NIP 195310301980031002

Pembimbing II, Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt.

NIP 195709091985112001

Prof. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt. Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.

NIP 195108161980031002 NIP 195707231986012001

Prof. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt.

NIP 195108161980031002

Medan, Juni 2017 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.

NIP 195707231986012001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Isolasi Alkaloid dari Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers,“. Bahan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Prof.

Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa perkuliahan di Fakultas Farmasi USU Medan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Ginda Haro, M. Sc., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk-petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya bahan skripsi ini. Bapak Imam Bagus Sumantri, M.Si., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang selalu memberikan bimbingan selama masa perkuliahan serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Drs. Melanthon Hutapea dan Apoan Pasaribu, Abang David Alvin Toffler Hutapea, Kakak Ruth Mery Currie Hutapea, S.Pd., dan Ellya Hexa Melanth Hutapea, S.E, yang selalu setia mendukung dan memberikan doa yang tulus yang tidak ternilai apapun. Penulis juga tidak lupa berterima kasih dengan orang-orang terdekat dan semua teman-teman yang ikut serta membantu dan memberi dukungan kepada penulis selama penelitian dan penulisan bahan skripsi ini.

(5)

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan bahan skripsi ini dan penulis menyadari bahwa bahan skripsi ini masih belum sempurna, apabila ada kritik dan saran yang membangun untuk bahan ini Penulis dengan senang hati menerimanya. Semoga bahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.

Medan, Maret 2017 Penulis,

Paul Yob Asa Karmelant Hutapea NIM 141524061

(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Paul Yob Asa Karmelant Hutapea

NIM : 141524061

Program Studi : S-1 Ekstensi Farmasi

Judul Skripsi : Isolasi Alkaloid dari Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri, dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi dan bukan plagiat karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumber di dalam pustaka.

Apabila dikemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun oleh Program Studi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.

Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.

Medan, Maret 2017 Yang membuat pernyataan

Paul Yob Asa Karmelant Hutapea NIM 141524061

(7)

ISOLASI ALKALOID DARI KULIT BATANG LANDOYUNG (Litsea cubeba (Lour.) Pers.)

ABSTRAK

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam penyedian bahan baku tumbuhan obat karena sumber daya tersebut tersimpan di dalam hutan dan belum termanfaat dengan baik. Salah satu tumbuhan obat tersebut adalah landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.), yang berbau aromatis dan pada umumnya tumbuh di wilayah pegunungan Simalungun, Tapanuli Utara, dan wilayah hutan Sumatera Utara. Masyarakat umumnya menggunakan tanaman ini sebagai rempah-rempah, sebagai obat kejang urat, demam, rematik dan masyarakat simalungun menggunakannya sebagai holat dan pembersih rahim ketika melahirkan. Kulit batang landoyung mengandung 1,25% minyak atsiri yang terdiri dari sitronelal dan sitral, serta mengandung 0,4% alkaloid.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, penetapan kadar air, kadar abu total, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol dan kadar abu tidak larut asam, mengetahui Rf senyawa alkaloid tunggal yang telah diisolasi, dan mengetahui panjang gelombang serta gugus fungsi isolat alkaloid yang diperoleh. Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi secara maserasi dan metode kromatografi lapis tipis preparatif dengan fase gerak kloroform-metanol-amonia (90:10:1) untuk memisahkan crude alkaloid (alkaloid kasar) yang diperoleh dengan pengocokan asam basa dari ekstrak etanol dan menggunakan spektrofotometer ultra violet dan spektrofotometer infra merah untuk karakterisasi isolat.

Hasil penelitian yang diperoleh memenuhi karakterisasi simplisia menurut MMI. Ada 2 isolat yang diperoleh dari hasil isolasi dengan harga Rf 0,69 dan 0,72 berwarna merah jingga setelah disemprot dengan Dragendorff. Isolat yang diperoleh telah murni setelah diuji dengan KLT satu arah dan KLT 2 dimensi dan menghasilkan satu noda. Kedua isolat diuji dengan spektrofotometri ultra violet, isolat 1 memiliki panjang gelombang 300 nm, 282 nm dan 201 nm, sedangkan isolat 2 memiliki panjang gelombang 281 nm dan 201 nm. Hasil spektrofotometri infra merah kedua isolat memiliki gugus fungsi berupa N-H, C=N,C=C aromatis, C≡N, C-O dan C-H alifatis.

Kata kunci: Landoyung, alkaloid, ekstraksi, kromatografi lapis tipis, spektrofotometri ultra violet dan spektrofotometri infra merah

(8)

ISOLATION OF ALKALOID FROM LANDOYUNG CORTEX (Litsea cubeba (Lour.) Pers.)

ABSTRACT

Indonesia has a huge potential in the provision of medicinal plant raw materials since these resource are stored in forests and not yet uses as well. One of the herb is landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.), smelling aromatic and generally grows in the mountainous region of Simalungun, North Tapanuli and forest area in North Sumatera. Society generally use this plant as a spice, as drug spasms, fever, rheumatic and Simalungun people use it as holat and cleaning the uterus during labor. Landoyung cortex contain 1.25% essential oil consisting of citronellal and citral, and contains 0.4% of alkaloids.

The purpose of this study determined the characteristic simplicia macroscopic, determinated of moisture content, ash levels, levels of soluble extract in water, levels of soluble extract in etanol and levels of acid insoluble ash, to knew Rf alkaloid isolates that had been isolated, and knew the wavelength as well as the functional groups of isolates alkaloid obtained. This study used extraction method (maseration) and preparative thin layer chromatography with the mobile phase chloroform-methanol-amonia (90:10:1) to separated the crude alkaloids obtained by agitation of acid base of the ethanol extract and used ultra violet spectrophotometer and infrared spectrophotometer for characterization of isolates.

The results obtained in accordance with the requirements of the simplicia characteristics based on MMI. There were 2 isolates obtained from isolation with Rf 0.69 and 0.72 orange red after sprayed with Dragendorff. Isolates obtained was pure as tested by TLC one way and TLC two way and produced one spot. The both of isolates were tested by ultraviolet spectrophotometry, isolate 1 had wavelength of 300 nm, 282 nm and 201 nm, while the isolate 2 has wavelength of 281 nm and 201 nm. The results of two isolates with infrared spectrophotometry had functional groups such as N-H, C=N, C=C aromatic, C≡N, C-O and C-H aliphatic.

Keywords: Landoyung, alkaloids, extraction, thin layer chromatography, spectrophotometry ultraviolet and infrared spectrophotometry

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan Skripsi ... ii

Kata Pengantar ... iii

Surat Penyataan ... v

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Habitat ... 5

2.1.2 Morfologi ... 5

2.1.3 Sistematika Tumbuhan ... 6

2.2 Uraian Kimia ... 6

2.2.1 Alkaloid ... 6

2.2.2 Glikosida ... 11

2.2.3 Saponin ... 11

(10)

2.2.4 Steroid/Triterpenoid ... 12

2.2.5 Flavonoid ... 12

2.3 Metode Ekstraksi ... 13

2.4 Kromatografi ... 14

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 14

2.4.2 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif ... 16

2.4.3 KLT Dua Arah ... 16

2.5 Spektrofotometri ... 17

2.5.1 Spektrofotometri Ultraviolet (UV) ... 17

2.5.2 Spektrofotometri Inframerah (IR) ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Alat ... 21

3.2 Bahan ... 21

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 22

3.3.1 Pereaksi Mayer ... 22

3.3.2 Pereaksi Bouchardat ... 22

3.3.3 Pereaksi Dragendorff ... 22

3.3.4 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 22

3.3.5 Pereaksi Asam Klorida 2 N ... 22

3.3.6 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N ... 23

3.3.7 Pereaksi Asam Sulfat 2 N ... 23

3.3.8 Pereaksi Molish ... 23

3.3.9 Pereaksi Besi (III) Klorida 1% ... 23

3.3.10 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M ... 23

3.4 Penyiapan Bahan Tanaman ... 23

(11)

3.4.2 Identifikasi Tanaman ... 24

3.4.3 Pengolahan Bahan Tanaman ... 24

3.5 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 24

3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 24

3.5.2 Penetapan Kadar Air ... 24

3.5.3 Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Air ... 25

3.5.4 Pemeriksaan Kadar Sari Yang Larut Dalam Etanol ... 25

3.5.5 Penetapan Kadar Abu Total ... 25

3.5.6 Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam .... 26

3.6 Skrining Fitokimia ... 26

3.6.1 Pemeriksaan Alkaloid ... 26

3.6.2 Pemeriksaan Glikosida ... 27

3.6.3 Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida ... 27

3.6.4 Pemeriksaan Flavonoida ... 27

3.6.5 Pemeriksaan Tanin ... 28

3.6.6 Pemeriksaan Saponin ... 28

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung ... . 28

(Litsea cubeba (Lour.) Pers.) (EEKBL) 3.8 Isolasi Senyawa Alkaloid Dari Ekstrak Etanol Dengan ... . 29

Metode Pengocokan Asam Basa 3.9 Analisis Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi Secara Kromatografi .. 29

Lapis Tipis (KLT) 3.10 Isolasi Senyawa Alkaloid Secara Kromatografi ... . 30

Lapis Tipis Preparatif 3.11 Analisis Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi Secara ... . 31

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Dengan Satu Arah Memakai Fase Gerak yang Berbeda 3.12 Uji Kemurnian Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi ... . 31

3.13 Karakterisasi Isolat ... . 32

(12)

3.13.1 Karakterisasi Isolat Secara Spektrofotometri ... . 32

Ultraviolet 3.13.2 Karakterisasi Isolat Secara Spektrofotometri ... . 32

Inframerah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Hasil Identifikasi Tanaman ... 33

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia ... 33

4.2.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 33

4.2.2 Pemeriksaan Karakteristik Serbuk Simplisia ... 33

Kulit Batang Landoyung (SSKBL) Dan Ekstrak Kulit Batang Landoyung (EEKBL) 4.3 Hasil Skrining Fitokimia ... 35

4.4 Hasil Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung ... 36

(EEKBL) 4.5 Hasil Pembuatan Ekstrak Alkaloid Kasar (Crude Alkaloid) ... 36

Dari EEKBL 4.6 Hasil Isolasi Senyawa Alkaloid Secara Kromatografi ... 38

Lapis Tipis Preparatif 4.7 Hasil Uji Kemurnian Isolat ... 38

4.7.1 Uji Kemurnian Isolat Secara Kromatografi Lapis ... 38

Tipis Satu Arah 4.7.2 Uji Kemurnian Isolat Secara Kromatografi Lapis ... 39

Tipis Dua Dimensi 4.8 Hasil Karakteristik Isolat ... 39

4.8.1 Karakteristik Isolat 3 Dengan Spektrofotometri ... 39

Ultraviolet 4.8.2 Karakterisasi Isolat 3 Dengan Spektrofotometri ... 40

Inframerah 4.8.3 Karakterisasi Isolat 4 Dengan Spektrofotometri ... 41

Ultraviolet 4.8.4 Karakterisasi Isolat 4 Dengan Spektrofotometri ... 41 Inframerah

(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 47

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Kulit Batang ... 33 Landoyung Dan EEKBL

4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Kulit Batang ... 35 Landoyung Dan EEKBL

4.3 Data Hasil KLT Ekstrak Alkaloid Kasar Dari Kulit Batang ... 37 Landoyung

4.4 Data Hasil KLT Satu Arah Isolat Alkaloid Dari Kulit Batang ... 39 Landoyung

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur Alkaloid Golongan Pirol Dan Pirolidin ... 7

2. Struktur Alkaloid Golongan Pirolizidin ... 7

3. Struktur Alkaloid Golongan Piridin Dan Piperidin ... 7

4. Struktur Alkaloid Golongan Tropan ... 7

5. Struktur Alkaloid Golongan Kuinolin ... 8

6. Struktur Alkaloid Golongan Isokuinolin ... 8

7. Struktur Alkaloid Golongan Aporfin ... 8

8. Struktur Alkaloid Golongan Kuinolizidin ... 8

9. Struktur Alkaloid Golongan Indol ... 9

10. Struktur Alkaloid Golongan Imidazol ... 9

11. Struktur Alkaloid Golongan Purin ... 9

12. Struktur Alkaloid Golongan Steroid ... 10

13. Hasil Kromatogram Crude Alkaloid Dengan Fase Gerak ... 38

Kloroform-Metanol-Amonia (90:10:1) 14. Hasil Spektrofotometri Ultraviolet Dari Isolat 3 Alkaloid ... 40

15. Hasil Spektrofotometri Inframerah Dari Isolat 3 Alkaloid ... 40

16. Hasil Spektrofotometri Ultraviolet Dari Isolat 4 Alkaloid ... 41

17. Hasil Spektrofotometri Infra Merah Dari Isolat 4 Alkaloid ... 41

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 47 2. Gambar Tumbuhan Landoyung ... 48 3. Gambar Makroskopik Simplisia Dan Serbuk Simplisia Kulit Batang .. 49

Landoyung

4. Bagan Penelitian ... 50 5. Isolasi Senyawa Alkaloid Dari Ekstrak Alkaloid Kasar ... 54

(Crude Alkaloid) Secara Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)

6. Pengujian Kemurnian Isolat Dan Karakterisasi Isolat ... 55 7. Perhitungan Karakteristik Serbuk Simplisia Kulit Batang ... 56

Landoyung (SSKBL) Dan Ekstrak Kulit Batang Landoyung (EEKBL) 8. Hasil Analisis Pola Kromatogram Ekstrak Alkaloid Kasar Kulit ... 62

Batang Landoyung (Litsea Cubeba (Lour.) Pers.)

9. Gambar Kromatogram KLT Preparatif Dari Ekstrak Alkaloid Kasar ... 64 (Crude Alkaloid)

10. Hasil Analisis Pola Kromatogram Isolat Secara Kromatografi ... 65 Lapis Tipis Satu Arah

11. Gambar Kromatogram KLT Preparatif Dari Isolat 4 ... 66 12. Hasil Analisis Pola Kromatogram Isolat 4 Secara Kromatografi ... 67

Lapis Tipis Satu Arah

13. Hasil Analisis Pola Kromatogram Isolat 3 Dan 4 Secara ... 68 Kromatografi Tipis Satu Arah

14. Hasil Analisis Pola Kromatogram Isolat 3 Dan 4 Secara ... 70 Kromatografi Tapis Tipis Dua Dimensi

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam penyedian bahan baku tumbuhan obat karena sumber daya tersebut tersimpan di dalam hutan dan belum termanfaat dengan baik. Kekayaan alam tumbuhan obat Indonesia terdiri atas 30.000 jenis tumbuhan dari total 40.000 spesies jenis tumbuhan di dunia (Diastuti, 2005), dimana 940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat dan sebagian besar sudah dimanfaatkan nenek moyang kita untuk mengobati berbagai penyakit. Jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di kawasan Asia (Marina, dkk., 2015 dan Aksara, 2013).

Tumbuhan berkhasiat obat telah banyak diteliti untuk mencari senyawa baru ataupun menambah keanekaragaman senyawa yang telah ada. Penelitian tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti secara empiris, etnobotani dan etnofarmakologi (Hernani, 2004). Tumbuhan berkhasiat obat menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktifitas biologi beraneka ragam serta memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai macam penyakit (Titis, dkk., 2013). Selanjutnya dilakukan upaya untuk pengisolasian senyawa murni dan turunannya sebagai bahan dasar obat modern (Hernani, 2004).

Litsea cubeba (Lour.) Pers. merupakan salah satu tumbuhan aromatis yang

oleh masyarakat Indonesia dikenal dengan nama krangean atau ki lemo. Hampir semua bagian tumbuhan ini beraroma dan mengandung minyak atsiri (Kayang dkk., 2009). Secara empiris minyak kulit batang krangean telah dimanfaatkan sebagai obat kejang urat atau otot (Marina, 2015). Masyarakat Dayak Kenyan di

(18)

Kalimantan memanfaatkan batang dan buah untuk rempah-rempah (Muchtaridi, 2005). Masyarakat Batak Toba memanfaatkannya sebagai obat rematik, pegal- pegal, demam, dan untuk rempah (Rahmawati, 2004). Akar dan cabang untuk obat sakit pencernaan, sakit kepala, sakit saat menstruasi, dan obat mabuk perjalanan (Heryati dkk., 2009). Litsea cubeba (Lour.) Pers. di masyarakat Simalungun sendiri dikenal dengan nama landoyung, air perasan dari kulit batang digunakan sebagai pembersih rahim setelah melahirkan dan sebagai holat.

Ki lemo (bahasa daerah Jawa dari Litsea cubeba (Lour.) Pers.) yang merupakan suku Lauraceae mengandung senyawa bioaktif alkaloid (laurotetanin), minyak atsiri (sitral, limonen, sabinen, sitronelal), flavonoid dan steroid (BPOM RI, 2010, Muchtaridi, 2005, Zuhra, dkk., 2013 dan Heyne, 1987). Senyawa alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang terletak dalam sistem siklik. Senyawa alkaloid penyebarannya di alam serta aktivitas biologisnya sangat penting (Harborne, 1987). Efek fisiologis yang kuat dan selektifitas senyawa alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat bermanfaat dalam hal pengobatan (Azzahra, dkk., 2015). Alkaloid berbentuk basa biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah kemudian diendapkan dengan amonia pekat (Harborne, 1987). Senyawa alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air yang diasamkan, yang melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter, dan sebagainya (Robinson, 1995). Isolasi dilakukan dengan metode asam basa untuk mendapatkan senyawa alkaloida dari kulit batang landoyung. Pemisahan senyawa alkaloida dapat dilakukan dengan kromatografi kolom atau kromatografi lapis tipis preparatif yang

(19)

dipantau dengan kromatografi lapis tipis menggunakan fase diam dan fase gerak (Gritter dkk., 1991).

Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers) telah diteliti sebelumnya, menurut Marina, dkk. (2015) daun landoyung mengandung metabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid, fenolik dan steroid, dan ekstrak etanol dari daunnya dapat digunakan sebagai antibakteri. Zhang, dkk. (2012) alkaloid isokuinolin dari Litsea cubeba memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi dan sitotoksik dan minyak

atsirinya dapat menekan aktivitas lokomotor mencit (Muchtaridi, dkk., 2005).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian terhadap kulit kayu landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) yang meliputi pemeriksaan makroskopik, karakterisasi simplisia (penetapan kadar air, kadar sari larut air dan etanol, kadar abu dan kadar abu tidak larut asam), skrining fitokimia dan isolasi senyawa alkaloida. Senyawa hasil isolasi diidentifikasi dengan spektrofotometri sinar ultraviolet (UV) dan inframerah (IR).

1.2 Perumusan Masalah

a. Apakah karakteristik simplisia kulit batang landoyung memenuhi persyaratan berdasarkan Materia Medika Indonesia?

b. Apakah senyawa alkaloid dari kulit batang landoyung dapat diisolasi menjadi senyawa tunggal atau murni?

c. Berapakah panjang gelombang senyawa alkaloid hasil isolasi yang diidentifikasi dengan spektrofotometri ultraviolet (UV)?

d. Apakah terdapat golongan senyawa alkaloid hasil isolasi yang diidentifikasi dengan spektrofotometri inframerah (IR)?

(20)

1.3 Hipotesis

a. Karakteristik simplisia kulit batang landoyung memenuhi persyaratan berdasarkan Materia Medika Indonesia.

b. Senyawa alkaloid dari kulit batang landoyung dapat diisolasi menjadi senyawa tunggal atau murni.

c. Panjang gelombang senyawa alkaloid hasil isolasi berkisar antara 200-400 nm yang diidentifikasi dengan spektrofotometri ultraviolet (UV).

d. Terdapat golongan senyawa alkaloid hasil isolasi yang diidentifikasi dengan spektrofotometri inframerah (IR).

1.4 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia dari kulit batang landoyung apakah memenuhi persyaratan.Untuk mengetahui Rf senyawa tunggal alkaloid yang telah diisolasi dari kulit batang landoyung.

b. Untuk mengetahui panjang gelombang senyawa alkaloid hasil isolasi yang diidentifikasi dengan spektrofotometri ultraviolet (UV).

c. Untuk mengetahui gugus fungsi senyawa alkaloid hasil isolasi yang diidentifikasi dengan spektrofotometri inframerah (IR).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah untuk memberikan informasi tentang adanya senyawa alkaloid alam yang diperoleh dari kulit batang landoyung.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Habitat

Tumbuhan landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) merupakan tanaman pegunungan yang dikenal dengan sebutan “Mountain pepper” atau “lada gunung”

(Kurniawati, 2015). Jenis ini tersebar secara alami dari Himalaya timur sampai Asia bagian tenggara, Cina bagian selatan dan Taiwan. Di Indonesia, tanaman ini tumbuh liar di lereng-lereng gunung yang ada di Pulau Jawa dan Sumatera pada ketinggian 230 m hingga 700 m di atas permukaan laut (Widyati, 2015), selain itu terdapat juga di Kalimantan Timur pada ketinggian 400-600 mdpl. Di wilayah Sumatera antara lain terdapat di beberapa tempat di dataran tinggi yang berada di Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Toba Samosir. Di Jawa Barat tegakan alam ki lemo ditemukan di kawasan Kawah Putih Ciwidey, Gunung Papandayan, Gunung Gede Prangango dan Gunung Tangkuban Perahu. Nama lain dari landoyung antara lain kilemo (Sunda), krangean (Jawa), antarasa (Batak Toba) dan apokayan (Malinau, Kalimantan Timur) (Kemenhut, 2014).

2.1.2 Morfologi

Pohon landoyung dewasa memiliki tinggi total antara 15-20 m (Heyne, 1987). Pohon landoyung yang berada di dataran tinggi Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara memiliki kisaran tinggi total dan diameter batang antara 5-25 m dan 3,82-29,5 cm. Daun tunggal berwarna hijau, berbentuk lonjong dengan tepi rata dan ujung runcing, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, panjang 10-14 cm dan lebar 7-9 cm. Tanaman ini memiliki bunga majemuk berbentuk malai, berkelamin dua. Buah bulat berukuran kecil

(22)

menyerupai biji merica dengan ciri masak fisiologis buah berwarna hitam (Kemenhut, 2014).

2.1.3 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan landoyung menurut Hutapea, J. R. (1994) adalah sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Rhamnales Suku : Lauraceae Marga : Litsea

Jenis : Litsea cubeba Pers.

2.2 Uraian Kimia 2.2.1 Alkaloid

Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa dengan satu atau lebih atom nitrogen yang umumnya berada dalam bentuk gabungan sistem siklik, seringkali terdapat dalam bentuk cincin heterosiklik (Robinson, 1995). Golongan senyawa alkaloid ini biasanya memiliki aktivitas farmakologis pada manusia dan hewan. Ciri-ciri alkaloid umumnya berbentuk padat (kristal), walaupun ada yang cair dalam suhu kamar (contohnya nikotin), memutar bidang polarisasi, berasa pahit, larut air dalam bentuk garam dan larut dalam pelarut organik (tidak larut dalam air, larut dalam pelarut kloroform, eter, dan lain sebagainya) dalam bentuk bebas atau basanya (Harborne, 1987).

Alkaloid dapat dibedakan menjadi dua divisi berdasarkan struktur kimianya:

(23)

a. Non-heterosiklik atau atipikal alkaloid, kadang-kadang disebut protoalkaloid atau amina biologis.

b. Heterosiklik atau tipikal alkaloid, dibagi menjadi 12 kelompok menurut struktur cincinnya.

1. Alkaloid golongan pirol dan pirolidin, yaitu alkaloid yang mengandung inti pirol dan pirolidin dalam struktur kimianya. Contohnya higrin pada tumbuhan Erythtroxylon coca.

Gambar 1. Struktur alkaloid golongan pirol dan pirolidin

2. Alkaloid golongan pirolizidin, yaitu alkaloid yang mengandung inti pirolizidin dalam strukutur kimianya. Contohnya retronesin pada tumbuhan Senecio jacobaea.

Gambar 2. Struktur alkaloid golongan pirolizidin

3. Alkaloid golongan piridin dan piperidin, yaitu alkaloid yang mengandung inti piridin dan piperidin dalam struktur kimianya. Contohnya nikotin pada tumbuhan Nicotiana tabaccum yang mempunyai inti piridin.

Gambar 3. Struktur alkaloid golongan piridin dan piperidin

(24)

4. Alkaloid golongan tropan, yaitu alkaloid yang mengandung inti tropan dalam struktur kimianya. Contohnya atropin pada tumbuhan Atropa belladonna.

Gambar 4. Struktur alkaloid golongan tropan

5. Alkaloid golongan kuinolin, yaitu alkaloid yang mengandung inti kuinolian dalam struktur kimianya. Contohnya kuinin pada tumbuhan Cinchona officinalis.

Gambar 5. Struktur alkaloid golongan kuinolin

6. Alkaloid golongan isokuinolin, yaitu alkaloid yang mengandung inti isokuinolin dalam struktur kimianya. Contohnya papaverin pada tumbuhan Papaver somniferum.

Gambar 6. Struktur alkaloid golongan isokuinolin

7. Alkaloid golongan aporfin, yaitu alkaloid yang mengandung inti aporfin dalam struktur kimianya. Contohnya boldin pada tumbuhan Peumus boldus.

Gambar 7. Struktur alkaloid golongan aporfin

(25)

8. Alkaloid golongan kuinolizidin, yaitu alkaloid yang mengandung inti kuinolizidin dalam struktur kimianya. Contohnya sistin pada tumbuhan Cystisus scoparius.

Gambar 8. Struktur alkaloid golongan kuinolizidin

9. Alkaloid golongan indol atau benzopirol, yaitu alkaloid yang mengandung inti indol dalam struktur kimianya. Contohnya psilosin pada tumbuhan Psilocybe sp.

Gambar 9. Struktur alkaloid golongan indol

10. Alkaloid golongan imidazol atau glioksalin, yaitu alkaloid yang mengandung inti imidazol dalam struktur kimianya. Contohnya pilokarpin pada tumbuhan Pilocarpus jaborandi.

Gambar 10. Struktur alkaloid golongan imidazol

11. Alkaloid golongan purin, yaitu alkaloid yang mengandung inti purin dalam struktur kimianya. Contohnya kafein pada tumbuhan Coffea arabica.

Gambar 11. Struktur alkaloid golongan purin

(26)

12. Alkaloid golongan steroid, yaitu alkaloid yang mengandung inti steroida (siklopentana perhidrofenantren) dalam struktur kimianya. Contohnya solanidin pada tumbuhan Lycopersicon esculentum (Evans, 2009).

Gambar 12. Struktur alkaloid golongan steroid Menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai:

a. Alkaloid sesungguhnya

Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas psikologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa; lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis; diturunkan dari asam amino;

biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloid kuartener, yang bersifat agak asam daripada basa.

b. Protoalkaloid

Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloid diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Contoh adalah meskalin dan ephedrin.

c. Pseudoalkaloid

Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, umumnya basa.

(27)

Ada dua seri alkaloid yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloid steroidal (contohnya konesin) dan purin (contoh kafein) (Sastrohamidjojo, 1996).

2.2.2 Glikosida

Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula yang disebut aglikon.

Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa. Secara kimia dan fisiologi, glikosida alam cenderung dibedakan berdasarkan bagian aglikonnya (Robinson, 1995).

Hubungan ikatan antara aglikon dan glikon glikosida dapat dibedakan menjadi empat yaitu:

1. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom O, contoh: salicin.

2. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom S, contoh: sinigrin.

3. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom N, contoh: visin dan krotonosid

4. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom C, contoh: aloin (Farnsworth, 1966).

2.2.3 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol (Harborne, 1987). Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat, yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menimbulkan hemolisis sel darah merah, dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba.

(28)

Saponin merupakan senyawa berasa pahit dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lender (Robinson, 1995).

2.2.4 Steroid/Triterpenoid

Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren. Senyawa steroid dahulu dianggap sebagai senyawa satwa, yaitu sebagai hormon kelamin, asam empedu dan lain-lain. Salah satu estrogen hewan adalah esteron. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintetis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang relatif rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Triterpenoid dapat dibagi atas 4 golongan senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1987).

2.2.5 Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder. Keberadaannya dalam daun kemungkinan dipengaruhi oleh adanya proses fotosintetis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoida (Markham, 1998). Senyawa flavonoida mempunyai struktur C6-C3-C6. Tiap bagian C6 merupakan cincin benzena yang dihubungkan oleh atom C3 yang merupakan rantai alifatik (Sastrohamidjojo, 1996; Markham, 1998).

Flavonoida umumnya terdapat dalam tumbuhan terikat pada gula sebagai glikosida. Flavonoida terdapat dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai glikosida. Glikosidanya larut dalam air dan etanol tapi tidak larut dalam pelarut organik, sedangkan geninnya (aglikon) tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut-pelarut organik.

(29)

2.3 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut tertentu.

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut menurut Depkes (2000) yaitu:

A. Cara dingin 1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar.

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh perkolat.

B. Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu 40-50°C.

(30)

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Infudasi

Infudasi adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.4 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu proses pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair). Kromatografi serapan dikenal jika fase diam berupa zat padat, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Semua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi sendiri di antara fase gerak dan fase diam dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari suatu senyawa terhadap senyawa lain.

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, dimana fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, lempeng aluminium atau lempeng plastik

(31)

(Gandjar, 2007). Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita. Setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

a. Penyerap/fase diam KLT

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penyerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT. Penyerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk sellulosa (Gandjar, 2007).

b. Fase gerak pada KLT

Fase gerak yang digunakan pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba. Biasanya fase gerak yang digunakan berisi dua campuran pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal.

Fase gerak yang digunakan harus memiliki tingkat kemurniaan yang tinggi sehingga dapat memberikan pemisahan yang baik (Gandjar, 20070.

c. Harga Rf

Rf atau faktor retardasi didefiniskan sebagai perbandingan antara jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak. Nilai Rf ini terkait dengan faktor perlambatan dan nilai ini bukanlah suatu nilai fisika absolut untuk suatu komponen, meskipun demikian dengan pengendalian kondisi KLT secara hati-hati, nilai Rf dapat digunakan sebagai cara kualitatif. Nilai maksimum Rf adalah 1 dan nilai minimumnya adalah 0 (Sastrohamidjojo, 1985).

(32)

Rf= Jarak yang ditempuh solut Jarak yang ditempuh fase gerak

Faktor yang mempengaruhi harga Rf yaitu struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan keterataan dari lapisan penyerap, pelarut dan derajat kemurniannya, derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana, teknik percobaan, jumlah cuplikan yang digunakan, suhu dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penyerap yang sering dipakai adalah 0,5-2 mm. Plat kromatografi biasanya berukuran 20 x 20 cm.

Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penyerap yang paling umum digunakan adalah silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri di sekeliling permukaan bagian dalam bejana (Hostettmann, 1995).

2.4.3 KLT dua arah

KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama, selain itu dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran

(33)

tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama (Gandjar, 2007).

Cuplikan ditotolkan pada satu sudut lapisan yang berbentuk bujur sangkar dan dikembangkan dengan satu sistem pelarut sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Plat diangkat, dikeringkan, diputar 90 derajat, lalu diletakkan di dalam sistem pelarut yang kedua sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terdapat di sepanjang bagian bawah plat.

Komponen yang terpisah (bercak) biasanya terdapat dimana saja pada lapisan (Gritter, dkk., 1991).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri ultraviolet (UV)

Prinsip spektrofotometri ultraviolet adalah interaksi terjadi antara energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang berupa molekul. Prinsip kerja spektrofotometri ultraviolet berdasarkan hukum Lambert- Beer, bila cahaya/sinar monokromatis melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi dipancarkan (Dachrianus, 2004).

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan (absorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm.

Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

Transisi-transisi elektronik yang terjadi diantara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma-sigma star (σ→σ*), transisi n -

(34)

sigma star (n→σ*), transisi n -phi star (n→π*) dan transisi phi -phi star (π→π*) (Gandjar, 2007).

a. Transisi sigma-sigma star (σ→σ*)

Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak diantara UV vakum (kurang dari 180 nm), contoh metana yang hanya mempunyai jenis ikatan –C-H, mempunyai pita serapan elektron sigma pada panjang gelombang 125 nm.

b. Transisi non bonding electron (n)-sigma star (n→σ*)

Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang diperlukan untuk transisi ini lebih kecil dibanding transisi σ→σ*, sehingga sinar yang diserappun mempunyai panjang gelombang lebih panjang, yakni sekitar 150- 250 nm.

c. Transisi n→π* dan transisi π→π*

Untuk memungkinkan terjadinya jenis transisi ini, maka molekul organik harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan panjang gelombang antara 200-700 nm, dan panjang gelombang ini secara teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer.

Perbedaan antara transisi n→π* dan transisi π→π* adalah:

n→π* π→π*

i. Absorbtivitas molar (ε) antara 10- 100 liter. cm-1.mol-1

ii. Biasanya, pelarut yang polar menyebabkan pergesaran biru atau hypsochromic shift (pergeseran pita serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek)

i. Absorbtivitas molar (ε) antara 1000-10.000 liter. cm-1. mol-1

ii. Biasanya, pelarut yang polar menyebabkan pergesaran merah atau bathchromic shift (pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang)

(35)

Spektrofotometer ultraviolet pada umumnya digunakan untuk (Sastrohamidjojo, 1991):

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.

2.5.2 Spektrofotometri inframerah

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Prinsip kerja spektrofotometri inframerah yaitu interaksi energi dengan suatu materi. Spektrofotometri inframerah berfokus pada radiasi elektromagnetik pada rentang frekuensi 4000-200 cm-1 (Khopkar, 1990). Bentuk spektrum inframerah yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah. Satuan frekuensi yang digunakan pada garis horizontal yang dinyatakan dalam bilangan gelombang yang didefinisikan sebagai banyaknya gelombang dalam tiap satuan panjang.

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu panjang gelombang 2,5-50 µm atau bilangan gelombang 4000-200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul yang dapat menyebabkan pita dan absorbs sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia

(36)

atau gugus fungsi (Dachrianus, 2004). Daerah spektra spektroskopi inframerah dibagi dalam tiga kisaran yaitu inframerah dekat (12.500-4000 cm-1), inframerah tengah (4000-400 cm-1) dan inframerah jauh (400-100 cm-1). Daerah inframerah tengah merupakan daerah yang digunakan untuk penentuan gugus fungsi (Gandjar, 2007).

Identifikasi setiap ikatan yang khas dari setiap gugus fungsi merupakan basis dan interpretasi spektrum inframerah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum (Dachriyanus, 2004) yaitu:

1. Spektrum harus tajam dan jelas

2. Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni

3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilkan pita atau serapan pada bilangan gelombang yang tepat

4. Metode penyiapan sampel harus dinyatakan

Suatu inframerah yang dilewatkan melalui cuplikan senyawa-senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain diteruskan/ditransmisikan tanpa serap (Sastrohamidjojo, 1985).

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini meliputi pengumpulan dan pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak, analisis ekstrak dengan kromatografi lapis tipis (KLT), isolasi alkaloid dari ekstrak kasar alkaloid (crude alkaloid), uji kemurnian isolat dan karakterisasi isolat dengan spektrofotometri ultra violet (UV) dan spektrofotometri infra merah (IR).

3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, blender, eksikator, neraca analitik, neraca kasar, oven listrik, penangas air, penguap vakum putar (rotary evaporator), seperangkat alat kromatografi lapis tipis (Desaga), seperangkat alat penentuan kadar air (alat stahl), spektrofotometer infra merah (Shimadzu), spektrofotometer ultra violet (Shimadzu) dan tanur.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah kulit kayu landoyung (Litsea cubeba (Pers.) Lour.). Bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisa (E. Merck) yang terdiri dari α-naftol, ammonia, asam asetat anhidrida, asam asetat glacial, asam klorida, asam nitrat, asam sulfat, benzen, besi (III) klorida, bismuth (III) nitrat, etanol 96%, etil asetat, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, n-heksan, plat pra lapis silica gel 60 F254, raksa (II) klorida, serbuk seng, silica gel 60 mesh 230-400 ASTM, timbal (II) asetat dan toluen. Selain itu juga digunakan air suling (aquades) dan etanol 80% hasil destilasi.

(38)

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi

Pembuatan larutan pereaksi yaitu pereaksi Mayer, Bouchardat, Dragendorff, Molish, timbale (II) asetat 0,4 M (Depkes, 1995), pereaksi asam klorida 2 N, asam sulfat 2 N, natrium hidroksida 2 N, asam nitrat 0,5 N, besi (III) klorida 1%

(Depkes, 1979), pereaksi Liebermann-Burchard (Harborne, 1987).

3.3.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,359 g raksa (II) klorida ditimbang, dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml. Pada wadah lain kalium iodida sebanyak 5 g dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kedua larutan dicampurkan lalu ditambahkan air suling hingga 100 ml.

3.3.2 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling dan sebanyak 2 g iodium ditimbang, dilarutkan dalam larutan kalium iodida dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.3.3 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,85 g bismuth (III) nitrat ditimbang, dilarutkan dalam 10 ml asam asetat glacial, lalu ditambahkan 40 ml air suling. Pada wadah lain dilarutkan 8 g kalium iodida dalam 30 ml air suling. Kedua larutan dicampurkan sama banyak, lalu ditambahkan 20 ml asam asetat glacial dan diencerkan dengan air suling hingga volume 100 ml.

3.3.4 Pereaksi Liebermann-Burchard

Dua puluh bagian asam asetat anhidrida dicampurkan dengan satu bagian asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform, dicampur. Larutan ini dibuat baru.

3.3.5 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling secukupnya sampai volume 100 ml.

(39)

3.3.6 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Ditimbang 8,002 g kristal natrium hidroksida, dilarutkan dalam air aquades sehingga diperoleh larutan 100 ml.

3.3.7 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 9,8 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling secukupnya hingga volume 100 ml.

3.3.8 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml.

3.3.9 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, dilarutkan dalam air suling sehingga diperoleh larutan 100 ml.

3.3.10 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, dilarutkan dalam air suling bebas karbondioksida sehingga diperoleh larutan 100 ml.

3.4 Penyiapan Bahan Tanaman

Penyiapan bahan tanaman meliputi pengambilan bahan tanaman, identifikasi tanaman, dan pengolahan bahan tanaman.

3.4.1 Pengambilan bahan tanaman

Pengambilan bahan tanaman dilakukan secara purposif, yang artinya tanpa membandingkan dengan daerah lain. Bahan tanaman yang digunakan adalah kulit batang landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) diambil dari kebun di daerah Gambiri, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Pengambilan kulit batang dengan cara mengikis kulit batang pohon tanpa ikut lendir (kambium) pohon.

(40)

3.4.2 Identifikasi tanaman

Identifikasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.

3.4.3 Pengolahan bahan tanaman

Kulit batang landoyung diambil dari pohon landoyung, dibersihkan, dipotong kira-kira berukuran 5 cm. Kulit batang ini kemudian dikeringkan di lemari pengering hingga kering dan ditimbang sebagai berat kering.

3.5 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia 3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk luar dari simplisia kulit batang landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.).

3.5.2 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima.

a. Penjenuhan toluena

Sebanyak 200 ml toluena dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam.

Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Dimasukkan 5 gram serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian

(41)

kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar.

Setelah air dan toluena memisah secara sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).

3.5.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.5.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96 % dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat menggunakan kertas saring untuk menghindari penguapan etanol tersebut. Sejumlah 20 ml filtrat diukur menggunakan gelas ukur dan diuapkan sampai kering ke dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dalam oven dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

(42)

3.5.5 Penetapan kadar abu total

Ditimbang 2 g serbuk yang telah digerus, dimasukkan dalam kurs porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Kurs dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC di dalam tanur selama 3 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.5.6 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total, dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dipijarkan di dalam tanur sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.6 Skrining Fitokimia

Pemeriksaan skrining fitokimia (uji pendahuluan) dilakukan berdasarkan metode dari Depkes (1995) dan Farnsworth (1966) yang meliputi senyawa alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, tannin dan triterpenoid/steroid.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia ditimbang menggunakan neraca analitik, kemudian ditambahkan 1 ml larutan HCl encer (HCl 2N) dan 9 ml air suling di dalam labu erlenmeyer, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, kemudian didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk percobaan berikut:

a. Tiga tetes filtrat, ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan berwarna kuning.

(43)

b. Tiga tetes filtrat, ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna jingga.

c. Tiga tetes filtrat, ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna kuning (Depkes RI. 1995).

3.6.2 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 gram serbuk simplisia ditimbang, lalu disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 95% dan 3 bagian air suling. Direfluks selama 10 menit, didinginkan, lalu disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran 2 bagian isopropanol dan 3 bagian kloroform, perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, disaring, kemudian diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50oC, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml akuades dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, lalu ditambahkan dengan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat, terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (glikon) (Depkes RI, 1995).

3.6.3 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann- Burhard), diteteskan pada saat akan mereaksikan sampel uji. Apabila terbentuk warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1987).

(44)

3.6.4 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 gram serbuk simplisia ditambah 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Ditambahkan 0,1 gram serbuk Mg, 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol ke dalam 5 ml filtrat, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika pada lapisan amil alkohol terjadi warna merah kekuningan atau jingga (Farnsworth, 1966).

3.6.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.6.6 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Saponin positif jika terbentuk busa yang stabil tidak kurang dari 10 menit setinggi 1 sampai 10 m dan dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang (Depkes RI, 1995).

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) (EEKBL)

Pembuatan ekstrak etanol kulit batang landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) (EEKBL) dilakukan secara maserasi. Prosedur pembuatan ekstrak:

Sebanyak 250 gram serbuk simplisia kulit batang landoyung dimasukkan ke dalam sebuah bejana, dituangi dengan cairan penyari etanol 80% sebanyak 2500 ml, ditutup rapat, dibiarkan selama 5 hari pada tempat yang terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, lalu saring, peras dan cuci ampas dengan penyari etanol 80%

(45)

secukupnya. Dipindahkan ke bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, lalu disaring (Ditjen POM, 1979). Maserat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan alat rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental.

3.8 Isolasi Senyawa Alkaloid dari Ekstrak Etanol dengan Metode Pengocokan Asam Basa

Senyawa alkaloid yang terdapat dalam ekstrak etanol 80% diisolasi dengan menggunakan metode pengocokan asam basa sampai diperoleh alkaloid kasar.

Cara kerja:

Sebanyak 30 gram ekstrak etanol ditambahkan HCl 2 N hingga pH 2-3, disaring dan filtrat dibasakan dengan NH4OH hingga pH 9-10. Filtrat dikocok dengan 100 ml kloroform dalam corong pisah, lapisan air dan lapisan kloroform dipisahkan. Perlakuan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Lapisan kloroform yang diperoleh dikumpulkan dan disaring. Volume kloroform yang diperoleh diuapkan menjadi sepertiganya dengan penguap vakum putar pada suhu tidak lebih dari 40C. Ditambahkan HCl 2N sama banyak ke dalam fraksi kloroform, dikocok dalam corong pisah, lalu lapisan asam dan lapisan kloroform dipisahkan. Perlakuan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Lapisan asam dikumpulkan dan disaring, kemudian dibasakan dengan NH4OH hingga pH 9-10, dikocok dengan 100 ml kloroform kemudian kedua lapisan dipisahkan. Perlakuan ini dilakukan sebanyak tiga kali, lapisan kloroform dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap vakum putar bertekanan rendah sampai didapat ekstrak alkaloid kasar yang kental.

3.9 Analisis Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ekstrak alkaloid kasar diKLT untuk melihat kandungan alkaloidnya dengan menggunakan plat pra lapis tipis silika gel 60 F254 sebagai fase diamnya, fase gerak

(46)

digunakan campuran kloroform-metanol-amonia dengan berbagai perbandingan dan penampak bercak larutan Dragendorff.

Cara kerja:

Campuran pengembang di masukkan ke dalam chamber (berbagai perbandingan). Ekstrak alkaloid kasar ditotolkan pada plat pra lapis silika gel 60 F254, setelah kering dimasukkan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan uap pengembang dan ditutup rapat. Sesudah pengembangan selesai plat dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan di udara, kemudian plat disemprot dengan larutan penampak bercak Dragendorff, warna bercak yang terjadi diamati dan dihitung harga Rf-nya.

3.10 Isolasi Senyawa Alkaloid Secara Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Isolasi senyawa alkaloid dilakukan secara KLT preparatif, sebagai fase gerak digunakan kloroform-metanol-amonia (90:10:1) dan penampak bercak digunakan pereaksi Dragendorff.

Cara kerja:

Ekstrak kasar alkaloid diencerkan dengan kloroform dan ditotolkan pada jarak 2 cm dari tepi bawah plat pra lapis silika gel 60 F254 berukuran 20 x 20 cm yang telah diaktifkan sehingga membentuk pita. Plat dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak, pengembang dibiarkan naik. Plat yang selesai dielusi, ditutup dengan kaca yang bersih sedangkan pada sisi kanan dan kiri disemprot dengan pereaksi Dragendorff dan dipanaskan dengan hair dryer. Bercak berwarna merah jingga yang terdapat pada sisi kiri yang dihubungkan pada sisi kanan terhadap isolat yang diperoleh dikerok dan dikumpulkan (Hostettmann,

(47)

1995), direndam dengan metanol satu malam dan disaring kemudian pelarutnya diuapkan. Dilakukan uji kemurnian terhadap isolat yang diperoleh.

3.11 Analisis Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Satu Arah

Hasil isolasi ekstrak alkaloid kasar (isolat) dilakukan KLT satu arah untuk melihat kandungan alkaloidnya menggunakan plat pra lapis silika gel F254 dengan fase gerak yang berbagai macam, yaitu kloroform-metanol-amonia (90:10:1), diklorometan-metanol-amonia (60:35:5) dan kloroform-etil asetat (60:40).

Penampak bercak dipakai pereaksi Dragendorff.

Cara kerja:

Campuran pengembang dimasukkan ke dalam chamber. Isolat ditotolkan pada plat pra lapis silika gel 60 F254, dimasukkan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan uap pengembang dan ditutup rapat. Plat setelah pengembangan dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan di udara, kemudian disemprot dengan larutan penampak bercak Dragendorff. Warna bercak diamati dan dihitung harga Rf-nya (Sastrohamidjojo, 1985 dan Stahl, 1985).

3.12 Uji Kemurnian Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi

Uji kemurnian isolat dengan KLT dua arah menggunakan fase gerak I diklorometan-metanol-amonia (50:50:1) dan fase gerak II kloroform-metanol- amonia (85:15:1). Fase diam plat pra lapis silika gel F254 ukuran 10 x 10 dan penampak bercak digunakan pereaksi Dragendorff.

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat, lalu dielusi memakai fase gerak I hingga mencapai batas elusi, plat dikeluarkan dari chamber, dikeringkan. Plat dielusi

(48)

kembali dengan arah yang berbeda 90 memakai fase gerak II dan disemprot pereaksi Dragendorff, setelah itu plat dikeringkan lalu diamati noda yang terlihat.

3.13 Karakterisasi Isolat

Karakterisasi senyawa hasil isolasi dilakukan dengan spektrofotometri ultra violet dan spektrofotometri infra merah.

3.13.1 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri ultra violet

Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri ultra violet dilakukan dengan cara melarutkan zat hasil isolasi dengan metanol kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 200-400 nm (Khopkar, 1990).

3.13.2 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri infra merah

Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri infra merah dilakukan dengan cara mencampur 1 mg isolat dengan 100 mg kalium bromida menggunakan alat mixture vibrator dan dimasukkan ke dalam alat spektrofotometer infra merah lalu diukur pada bilangan gelombang 4000 - 500 cm-1 (Khopkar, 1990).

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tanaman

Hasil identifikasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor menyebutkan bahwa sampel adalah kulit batang landoyung suku Lauraceae, jenis Litsea cubeba (Lour) Pers. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia 4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia kulit batang landoyung adalah kulit berbentuk gelondong atau silinder (seperti pipa), menggulung membujur, melengkung atau datar, tebal 0,5 mm-1,5 mm. Permukaan luar kasar tidak beraturan, warna coklat muda sampai hitam kecoklatan. Permukaan dalam rata, warna coklatan sampai hitam kecoklatan.

4.2.2 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia kulit batang landoyung (SSKBL) dan ekstrak etanol kulit batang landoyung (EEKBL)

Hasil karakteristik SSKBL dan EEKBL dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik SSKBL dan EEKBL

No Karakteristik Simplisia Ekstrak

1 Kadar air 5,66% 9,33%

2 Kadar sari larut air 8,00% 26,66%

3 Kadar sari larut etanol 8,33% 29,00%

4 Kadar abu total 2,62% 2,24%

5 Kadar abu tidak larut asam 0,65% 0,47%

(50)

Hasil tabel 4.1 menunjukkan karakteristik SSKBL yang diperoleh, terdiri dari kadar air 5,66%, kadar sari larut dalam air 8,00%, kadar sari larut etanol 8,33%, kadar abu total 2,62% dan kadar abu tidak larut asam 0,65%. Kadar air SSKBL yang diperoleh memenuhi persyaratan yang tertera dalam Materia Medika Indonesia (tidak lebih dari 10%) (MMI, 1995). Hasil karakterisasi EEKBL (Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung) yang diperoleh, terdiri dari kadar air 9,33%, kadar abu total 2,62%, kadar abu tidak larut asam 0,47%, kadar sari larut air 26,66% dan kadar sari larut etanol 29,00%. Kadar air EEKBL yang diperoleh memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Herbal Indonesia (tidak lebih dari 10%) (Depkes RI, 1979).

Penetapan kadar air untuk memberi batasan atau rentang besarnya kandungan air di dalam simplisia, karena tingginya kandungan air dapat mempercepat pertumbuhan jamur (Ditjen POM, 2000). Kadar sari larut air dan etanol merupakan pengujian untuk penetapan jumlah kandungan senyawa yang dapat larut dalam air dan kandungan senyawa yang larut dalam etanol (Ditjen POM, 2000). Penetapan kadar sari larut air untuk mengetahui kadar senyawa yang bersifat polar dalam simplisia dan kadar sari larut etanol untuk mengetahui kadar senyawa yang bersifat polar dan non polar. Senyawa-senyawa yang dapat larut dalam air adalah glikosida, tanin, gula, enzim, zat warna dan asam organik.

Senyawa-senyawa yang larut dalam etanol adalah glikosida, flavonoid, steroid/triterpenoid, karotenoid dan dalam jumlah sedikit yang larut yaitu lemak (Depkes RI, 1986). Penetapan kadar abu untuk mengetahui kandungan mineral internal yang terdapat di dalam simplisia yang diteliti, serta senyawa anorganik yang tersisa selama pembakaran. Kadar abu tidak larut asam untuk menentukan jumlah silika, khususnya pasir yang ada pada simplisia (WHO, 1998).

(51)

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia dari SSKBL dan EEKBL dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia SSKBL dan EEKBL

No Pemeriksaan Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Alkaloid + +

2 Glikosida + +

3 Triterpenoid/Steroid + +

4 Flavonoid + +

5 Tanin + +

6 Saponin + +

Keterangan: (+) positif: mengandung golongan senyawa ; (-) negatif: tidak mengandung golongan senyawa

Hasilnya menunjukkan bahwa SSKBL dan EEKBL mengandung alkaloid, triterpenoid/steroid, flavonoid, glikosida, tanin, dan saponin. Penambahan pereaksi Mayer memberikan hasil berupa endapan putih, pereaksi Dragendorff memberikan hasil berupa endapan kuning jingga dan pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan kecoklatan. Ketiga hasil tersebut menunjukkan bahwa SSKBL dan EEKBL mengandung alkaloid. Penambahan pereaksi Molish dan asam sulfat pekat pada SSKBL dan EEKBL membentuk cincin ungu yang menunjukkan adanya glikosida. Penambahan pereaksi Liebermann-Buchard (asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat) pada SSKBL dan EEKBL menghasilkan warna merah keunguan yang menunjukkan adanya triterpenoid/steroid. Penambahan serbuk magnesium, asam klorida pekat dan larutan amil alkohol pada SSKBL dan EEKBL memberikan warna merah pada lapisan amil alkohol yang menunjukkan adanya flavonoid.

Penambahan larutan besi (III) klorida 1% pada SSKBL dan EEKBL memberikan warna biru yang menunjukkan adanya tanin. Senyawa saponin dapat dideteksi dengan pengocokan air panas terhadap SSKBL dan EEKBL yang akan menghasilkan busa dan apabila ditambah dengan asam klorida encer (HCl 2N) maka busa tidak hilang.

Gambar

Gambar 1. Struktur alkaloid golongan pirol dan pirolidin
Gambar 12. Struktur alkaloid golongan steroid  Menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai:
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik SSKBL dan EEKBL
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia SSKBL dan EEKBL
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sistem kromatografi lapis tipis hasil ekstraksi cair-cair dengan menggunakan fase diam silika gel GF 254 dan fase gerak kloroform-metanol (3:2) memberikan

Ekstrak etanol yang diperoleh kemudian difraksinasi menggunakan metode kromatografi lapis tipis preparatif dengan fase gerak campuran yaitu, kloroform, n- butanol,

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui perbedaan kadar kapsul gemfibrozil dengan nama dagang dan

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

Uji mikrobiologi aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak daun belimbing wuluh dilakukan dengan metode difusi agar yang menggunakan pencadang kertas dengan cara mengukur

Berdasarkan penjelasan di atas penulis melakukan penelitian tentang penetapan kadar kalium, kalsium, natrium dan magnesium yang terdapat pada bunga nangka betina dan jantan

Manfaat penelitian yang dilakukan adalah untuk memberikan informasi bahwa aplikasi metode spektrofotometri ultraviolet secara Mean Centering Of Ratio Spectra (MCR)

Ekstrak etanol yang diperoleh kemudian difraksinasi menggunakan metode kromatografi lapis tipis preparatif dengan fase gerak campuran yaitu, kloroform, n- butanol,