• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.7. Spesifikasi Perencanaan Sumur Resapan

Sumur resapan yang akan direncanakan nantinya adalah sumur resapan dangkal dengan tampang lingkaran dan menggunakan talang air hujan yang dibuat pada masing-masing rumah. Berdasarkan analisis, dimensi sumur resapan ditentukan pada kedalaman 3,0 m berdiameter 1,5 m. Untuk merencanakan sumur resapan yang baik ada bebrapa spesifikasi yang perlu diperhatikan, yaitu:

9,8500 11,4513 12,0458 12,5170 12,7552 12,9093 8,7862 10,2146 10,7448 11,1652 11,3777 11,5151 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0

PUH 2 PUH 5 PUH 10 PUH 25 PUH 50 PUH 100

Q ( m 3/det ik )

Intensitas Curah Hujan (mm/jam)

1. Penutup Sumur

Pada bagian atas dibuat penutup dari beton bertulang setebal 10 cm, yang bagian atasnya ditimbun dengan tanah yang dipadatkan setebal 15 cm. Untuk penutup sumur dapat dipilih berbagai bahan diantaranya:

a) Pelat beton bertulang dengan tebal 10 cm dicampur dengan satu bagian semen, dua bagian pasir, dan tiga bagian kerikil (1pc : 2ps :3kr).

b) Pelat tidak bertulang dengan tebal 10 cm dengan perbandingan campuran yang sama, berbentuk cubung dan tidak diberi beban di atasnya atau Ferocement (setebal 10 cm)

2. Dinding Sumur Resapan

Untuk konstruksi sumur resapan, dinding konstruksi direncanakan dari bahan batu bata yang disusun dan diberi rongga agar dapat lebih cepat meresap ke dalam tanah atau dapat juga terbuat dari buis beton dengan diameter 100 cm. Dinding sumur bagian atas dapat menggunakan batu bata merah, batako, campuran satu bagian semen, empat bagian pasir (1pc : 4 ps) diplester dan diaci semen.

3. Pengisi Sumur Resapan

Pengisi sumur dapat berupa batu pecah ukuran 10-20 cm, pecahan bata merah ukuran 5-10 cm, ijuk, serta arang. Pecahan batu disusun berongga yang berfungsi sebagai media penahan agar dinding sumur tidak tergerus dan sebagai media penyaring air hujan sebelum diresapkan ke tanah.

4. Saluran Air Hujan

Konstruksi sumur resapan dilengkapi dengan pipa inlet PVC dengan diameter 100 mm dan pipa peluap PVC berdiameter 100 mm yang diarahkan ke saluran drainase. Pipa peluap ini dipasang pada kedalaman 25 cm dari permukaan tanah dan ujungnya diberi saringan kawat.

Skema perencanaan sumur resapan dapat dilihat pada Gambar 4.13 berikut ini.

4.8 Analisis Debit Banjir Rencana Dan Pengaruh Penerapan Sumur Resapan Terhadap Kapasitas Sungai Aek Ristop Di Kelurahan Hutatoruan VII

1. Total Debit Banjir yang Ditampung Oleh Sumur Resapan:

Sebagaimana telah diuraikan di muka, debit banjir yang mampu ditampung oleh sumur resapan adalah 0,73x10-3 m3/detik. Total rumah yang ada di kawasan permukiman Kelurahan Hutatoruan VII, Kec. Tarutung tersebut adalah 1.256 rumah. Sehingga total debit banjir yang ditampung oleh sumur resapan pada kawasan permukiman tersebut adalah: /det m 1,623 1256 10 x 0,87 Q 3 3 resapan sumur rembesan

2. Analisis Debit Banjir Rencana Output

Debit Banjir rencana (input) di kawasan permukiman di Kelurahan Hutatoruan VII, Kec. Tarutung seluas 110 Ha ditetapkan dengan PUH (Periode Ulang Hujan) 5 Tahun adalah:

/det m 11,45 Qr 1,1 74,894 0,50 0,278 Qr A I C 0,278 Qr 3 in in in

Debit banjir rencana (output) merupakan debit banjir rencana (input) dikurangi debit rembesan. Debit banjir rencana (output) di lokasi kelurahan Hutatoruan VII:

/det m 9,827 1,623 45 , 11 Q Qr Qr 3 resapan sumur rembesan in out

3. Perhitungan Kapasitas Sungai Aek Ristop

terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Aek Ristop. Sungai ini mengalir sepanjang 2,1 Km kawasan permukiman di Kelurahan tersebut. Lebar dan ketinggian rata-rata dasar sungai sampai ke permukaan masing masing adalah 3,0 m dan 2,2 m.

Kapasitas sungai Aek ristop (kondisi air meluap) yang mengalir di sepanjang Kelurahan Hutatoruan VII tersebut adalah:

3 m 13.860 2,2 3,0 2100 V H B L V

Sedangkan kapasitas sumur resapan: Jari-jari sumur rencana (R) = 0,75 m Kedalaman sumur resapan = 3,0 m

V = Luas alas x Kedalaman sumur resapan = πR2 xH

= (0,75)2 x 3,0 = 5,30 m3

Sehingga kapasitas total sumur resapan di kawasan permukiman Kelurahan Hutatoruan VII adalah:

3 T ot al 5,30x1256 6.656,8m V

Maka, dengan penerapan sumur resapan mampu mengurangi kapasitas sungai terdekat (Aek Ristop) yang mengalir di sepanjang kawasan permukiman di Kelurahan Hutatoruan VII tersebut (Sungai Aek Ristop) adalah sebesar:

3 Resapan Sumur T ot al Sungai m 7203,2 V' 6656,8 13860 V' V V V'

Dengan penerapan sumur resapan, persentase kapasitas sungai berkurang menjadi: % 51,97 % 100 x 13860 7203,2 % 100 x V V' % sungai resapan sumur dieruksi mampu yang sungai Kapasit as

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa besar laju infiltrasi dengan menggunakan single ring infiltrometer dengan diameter 30 cm dan tinggi 60 cm adalah sebesar 17,40 cm/jam.

2. Pengujian falling head permeability yang dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah, mengindikasikan bahwa kondisi tanah pada lokasi penelitian dikategorikan jenis tanah lanau dengan koefisien permeabilitas tanah (k) pda kedalaman 1,5 m adalah 9,704 x 10-4 cm/detik.

3. Besar intensitas curah hujan di lokasi studi berdasarkan dat curah hujan 10 tahun terakhir mulai dari tahun 2003 s.d 2012 dengan metode Van Breen yang dikombinasikan dengan Metode Talbot untuk durasi hujan 1 jam pada PUH (Periode Ulang Hujan) 2, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun masing- masing adalah 97,731 mm/jam; 105,846 mm/jam; 109,769 mm/jam; 112,812 mm/jam; 114,330 mm/jam; dan 115,304 mm/jam.

4. Setelah dilakukan perhitungan laju infiltrasi dan intensitas curah hujan, maka dapat disimpulkan bahwa sumur resapan yang direncanakan terbukti efektif mempercepat infiltrasi, yaitu hasil laju infiltrasi ≥ intensitas hujan untuk PUH 2 s.d 100 tahun dengan durasi hujan selama 1 jam.

5. Berdasarkan perhitungan, desain sumur resapan adalah berbentuk lingkaran dengan diameter 1,5 m, kedalaman 3,0 m dan debit masuk rencana adalah 0,99 x 10-3 m3/det, sehingga untuk 1.256 unit rumah dapat menghasilkan debit masukan 1,24344 m3/det.

6. Terjadi reduksi debit banjir 0,99 x 10-3 m3/detik unuk setiap unit rumah yang masuk ke sumur resapan dan maresap ke dalam tanah dengan

selama 1,7 jam. Dengan kata lain, terjadi efisiensi debit banjir sebesar 88,08% dari total debit banjir (0,99 x 10-3 m3/detik) yang dihasilkan oleh 1 unit rumah di kawasan permukiman tanpa sumur resapan.

7. Debit banjir sebelum sumur resapan direncanakan adalah sebesar 11,45 m3/detik, setelah ada sumur resapan berkurang menjadi 10,2146 m3/detik atau terjadi pengurangan lilpasan sebesar 10,86% dari debit banjir total kawasan permukiman.

5.2 Saran

1. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan di lokasi permukiman yang berbeda dan kondisi tanah yang berbeda pula sehingga diperoleh nilai perbandingan yang meyakinkan dari hasil penelitian.

2. Untuk metode perhitungan laju infiltrasi disarankan menggunakan metode selain Metode Horton agar bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan.

3. Pentingnya sosialisasi krisis air bersih dan upaya pemulihannya, akan mampu memacu kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian sumberdaya air tanah.

4. Perlunya peningkatan kajian, komunikasi, dan penyebarluasan untuk memasyarakatkan drainase ramah lingkungan dengan pemodelan sumur resapan agar lebih cepat diterapkan dan efisien dalam pelaksanaannya.

5. Penerapan sumur resapan air pada kawasan perumahan/permukiman menjadi suatu keharusan yang perlu direalisasikan secara bersama-sama pada setiap rumah, sebagai suatu upaya memperkecil genangan-genangan air atau bahaya banjir dan mencegah menurunnya permukaaan air tanah serta dalam rangka mewujudkan perumahan yang berwawasan lingkungan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Drainase

Drainase berasal dari bahasa inggris yaitu drainage yang artinya mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air. Dalam bidang Teknik Sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004).

Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan/lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Bangunan sistem drainase secara berurutan mulai dari hulu terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima (receivingwaters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-gorong, jembatan-jembatan, talang dan saluran miring/got miring

(Suripin, 2004).

Sesuai dengan cara kerjanya, jenis saluran drainase buatan dapat dibedakan menjadi:

a. Saluran Interceptor (Saluran Penerima)

Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran ini biasanya terdapat di saluran collector atau conveyor atau langsung di natural drainage/sungai alam.

b. Saluran Collector (Saluran Pengumpul)

Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran conveyor (pembawa).

c. Saluran Conveyor (Saluran Pembawa)

Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.

Menurut keberadaannya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Natural Drainage (Drainase Alamiah)

Terbentuk melalui proses alamiah yang terbentuk sejak bertahun-tahun mengikuti hukum alam yang berlaku. Dalam kenyataannya sistem ini berupa sungai beserta anak-anak sungainya yang membentuk suatu jaringan alur aliran.

b. Artifical Drainage (Drainase Buatan)

Dibuat oleh manusia, dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan atau melengkapi kekurangan-kekurangan sistem drainase alamiah dalam fungsinya membuang kelebihan air yang mengganggu. Jika ditinjau dari sistem jaringan drainase, kedua sistem tersebut harus merupakan kesatuan tinjauan yang berfungsi secara bersama.

Menurut fungsinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi:

a. Single purpose, yaitu saluran hanya berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja.

b. Multi purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air buangan, baik secara tercampur maupun secara bergantian.

Menurut konstruksinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi:

a. Drainase saluran terbuka

Saluran drainase primer biasanya berupa saluran terbuka, baik berupa saluran dari tanah, pasangan batu kali atau beton.

b. Drainase saluran tertutup

Pada kawasan perkotaan yang padat, saluran drainase biasanya berupa saluran tertutup. Saluran dapat berupa buis beton yang dilengkapi dengan bak

pengontrol, atau saluran pasangan batu kali/beton yang diberi plat tutup dari beton bertulang. Karena tertutup, maka perubahan penampang saluran akibat sedimentasi, sampah, dan lain-lain tidak dapat terlihat dengan mudah (Suripin, 2004).

Menurut konsepnya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Drainase konvensional

Drainase konvensional adalah upaya membuang atau mengalirkan air kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase konvensional, seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada semua kawasan, akan memunculkan berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir.

Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut dapat kita lihat sekarang ini, yaitu kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga banjir, longsor, dan pelumpuran. Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai. Demikian juga mengalirkan air secepatnya berarti menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang, kekeringan di musim kemarau akan terjadi. Sehingga banjir dan kekeringan merupakan dua fenomena yang saling memperparah dan terjadi susul-menyusul.

b. Drainase Ramah Lingkungan

Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air kelebihan dengan cara sebanyak-banyaknya meresapkan air ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya. Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada musim kemarau. Beberapa metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai diantaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode

Gambar 2.1 River Side Polder, Kolam Konservasi, dan Drainase Resapan

Metode kolam konversi

Metode kolam konservasi dilakukan dengan membuat kolam-kolam air, baik di perkotaan, permukiman, pertanian, atau perkebunan. Kolam konservasi ini dibuat untuk menampung air hujan terlebih dahulu, diresapkan dan sisanya dapat dialirkan ke sungai secara perlahan-lahan. Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah dengan topografi rendah, daerah- daerah bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau secara ekstra dibuat dengan menggali suatu areal atau bagian tertentu. Di samping itu, kolam konservasi dapat dikembangkan menjadi bak-bak permanen air hujan, khususnya di daerah-daerah dengan intensitas hujan yang rendah.

Metode sumur resapan

Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur- sumur untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan atau kawasan tertentu (Dr Sunjoto, UGM). Sumur resapan ini juga dapat dikembangkan pada areal olahraga dan wisata. Konstruksi dan kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu

dicatat bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat harus mendapatkan pemahaman mendetail untuk tidak memasukkan air limbah rumah tangganya ke sumur resapan tersebut.

Metode river side polder

Metode river side polder adalah metode menahan aliran air dengan mengelola/menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder pinggir sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran sungai di berbagai tempat secara selektif di sepanjang sungai. Lokasi polder perlu dicari, sejauh mungkin polder yang dikembangkan mendekati kondisi alamiah, dalam arti bukan polder dengan pintu-pintu hidraulik teknis dan tanggul-tanggul lingkar hidraulis yang mahal. Pada saat muka air naik (banjir), sebagian air akan mengalir ke polder dan akan keluar jika banjir reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi dan konservasi air terjaga. Upaya ini sedang dilakukan di Jepang dan Jerman secara besar- besaran, sebagai upaya menahan air untuk konservasi sungai musim kemarau dan menghindari banjir serta meningkatkan daya dukung ekologi wilayah keairan. Demikian juga dapat meningkatkan pasokan air sungai musim kemarau untuk mendukung transportasi sungai atau pertanian.

Metode areal perlindungan air tanah

Metode areal perlindungan air tanah dilakukan dengan cara menetapkan kawasan lindung untuk air tanah, di kawasan tersebut tidak boleh dibangun bangunan apa pun. Areal tersebut dikhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Di berbagai kawasan perlu segera mungkin dicari tempat-tempat yang cocok secara geologi dan ekologi sebagai areal untuk recharge dan perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian penting dari komponen drainase kawasan. Konsep drainase ramah lingkungan atau eko-drainase ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Kesalahan pemahaman masyarakat, dinas terkait, dan perguruan tinggi tentang filosofi konsep drainase, yaitu membuang air secepat-cepatnya ke sungai, perlu segera

drainase permukiman, tempat olahraga dan rekreasi, pertanian dan perkebunan dengan konsep drainase ramah lingkungan.

2.2 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer dengan matahari sebagai wali utama dalam proses tersebut. Komponen utama dalam siklus hidrologi adalah kondensasi, presipitasi, infiltrasi, limpasan permukaan (run off), evaporasi, dan transpirasi.

Gambar 2.2 Siklus Hidrologi

Untuk menjaga siklus hidrologi agar komponennya dapat bekerja sebagaimana mestinya, maka perlu dipertahankan keseimbangan melalui proses pengisian air hujan dengan meresapkannya ke dalam pori/rongga tanah, batuan atau yang disebut dengan upaya konservasi air.

Prinsip dasar konservasi air adalah mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi. Atas dasar prinsip ini maka curah hujan yang berlebihan pada musim hujan tidak dibiarkan mengalir ke laut, melainkan ditampung dalam suatu wadah yang memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah (groundwater recharge) melalui pemanfaatan air hujan dengan cara membuat sumur resapan maupun sumur biopori. Pada siklus hidrologi, posisi sumur resapan (Gambar 2.3)

membantu proses infiltrasi/perkolasi guna mengurangi limpasan air hujan yang berlebih pada permukaan tanah sehingga air hujan dapat bergerak secara vertikal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki sistem air tanah.

Gambar 2.3 Posisi Sumur Resapan dalam Siklus Hidrologi

2.3 Konsep Umum infiltrasi 2.3.1 Defenisi

Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan.

Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi yang tidak kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk seterusnya mengalir ke sungai disekitar.

Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya air dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam tanah maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada kondisi kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah yang lebih rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran antara (interflow) dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang berada pada lapisan air tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke samping dan ke atas) dengan gaya kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar.

Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk kedalam tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada suatu tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat tertentu laju infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju perkolasi.

Ketika air hujan jatuh diatas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk kedalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan kedalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Di bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam tanah, sedangkan pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus keatas, kebawah, dan kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang relative kecil.

Mekanisme infiltrasi melibatkan 3 proses yang tidak saling mempengaruhi:

a. proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah. b. tertampungnya air hujan tersebut didalam tanah.

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi

Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju infiltrasi tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f ≤ fp dan f ≤ I (Soemarto, 1999).

Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah (Maryono, 2004).

Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah sebagai berikut:

1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang jenuh.

2. Kadar air atau lengas tanah

3. Pemadatan tanah oleh curah hujan

4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan dari partikel liat

5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah 6. Struktur tanah

7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik) 8. Proporsi udara yang terdapat dalam tanah

9. Topografi atau kemiringan lahan 10. Intensitas hujan

11. Kekasaran permukaan tanah 12. Kualitas air yang akan terinfiltrasi

Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat dikategorikan menjadi dua faktor utama yaitu:

1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time).

2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah.

Selain dari beberapa factor yang menentukan infiltrasi diatas terdapat pula sifat-sifat khusus dari tanah yang menentukan dan membatasi kapasitas infiltrasi (Arsyad, 1989) sebagai berikut:

a. Ukuran pori

Laju masuknya hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran pori dan susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori aerasi, oleh karena pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang memungkinkan air keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik.

b. Kemantapan pori

Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak terganggu selama waktu tidak terjadi hujan.

c. Kandungan air

Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang. d. Profil tanah

Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka proses infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Oleh karena

Dokumen terkait