• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORITIS

B. Asertivitas

2. Spiritualitas Kongregasi SCMM

Spiritualitas dipahami sebagai sesuatu yang melatarbelakangi bentuk atau cara hidup seseorang dan berusaha menjadi dirinya sesuai dengan yang dicita-citakannya. Menurut Binawiratma (Paradda, 2002), spiritualitas bukan hanya menyangkut hidup rohani, tetapi menyangkut keseluruhan kehidupan manusia, yaitu bagaimana ia menyadari dan menghayati hidupnya, baik dalam relasinya dengan Allah maupun dengan sesamanya.

Spiritualitas kongregasi SCMM tidak terlepas dari spiritualitas hidup Mgr.Joannes Zwijsen sebagai pendiri kongregasi ini, yaitu tersentuh oleh injil belaskasih Allah dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Melayani sesama manusia terutama kepada mereka yang malang, dan tertindas, yang didasari oleh semangat belaskasih dan cinta tanpa pamrih.

Spiritualitas pendiri inilah yang menjiwai seluruh karya pelayanan para suster SCMM. Maksudnya, pelayanan para suster SCMM dilaksanakan dengan semangat belaskasih tanpa membeda-bedakan suku, agama maupun status ekonomi. Pelayanan dengan semangat belaskasih, berarti tidak mencari keuntungan diri atau kepuasan diri sendiri. Pelayanan melulu demi kesejahteraan hidup manusia dan perluasan kerajaan Allah di dunia.

Mgr. Joannes Zwijsen mengarahkan kongregasinya menurut spiritualitas St.Vincentius de Paul, yaitu “Meninggalkan Tuhan demi Tuhan”. Maksudnya, bahwa apabila para suster sedang berdoa dan tiba-tiba ada seseorang tyang sangat membutuhkan pelayanan, misalnya orang yang sakit parah dan segera ditolong, para

suster tidak boleh menolak, karena dalam diri orang sakit itulah hadir Tuhan. Setiap pelayanan hendaknya dilakukan dalam nama Tuhan.

3. Kharisma Kongregasi SCMM

Kharisma adalah karunia istimewa yang dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu supaya diabdikan kepada sesama dan gereja. Misalnya, karunia untuk berkata-kata, karunia untuk berkhotbah, karunia untuk bernubuat, karunia untuk menyembuhkan dan sebagainya (Heuken,1992). Karunia tersebut menjadi daya penggerak untuk mengabdi dan juga menjadi daya kekuatan hidup. Meskipun diberi dengan cuma-cuma namun tidak mungkin berguna tanpa ada usaha manusia. Tetapi, kharisma bukan semata-mata usaha manusia.

Kharisma para suster SCMM merupakan warisan Mgr.Joannes Zwijsen yaitu menjadi hamba Tuhan yang sederhana dan berbelaskasih terutama kepada kaum sederhana, kaum terbuang, yang tidak diperhatikan oleh sesama di sekitarnya. Para suster SCMM menerima karunia Roh Kudus untuk menampakkan cinta Allah yang berbelaskasih, kehadiran Tuhan yang telah bangkit dan membawa keselamatan dalam hidup sehari-hari. Hal ini dilaksanakan dengan mengabdikan diri yang diwujudkan dalam perhatian sepenuhnya kepada orang yang sangat membutuhkan pertolongan, yaitu yang malang, miskin, dan tertindas, baik yang dekat maupun yang jauh.

4. Keanggotaan Religius dalam Biara

Keanggotaan para religius (suster, bruder, frater) dalam biara dibedakan atas keangotaan sementara dan keanggotaan tetap atau definitif. Religius yang dikatakan sebagai anggota sementara adalah religius yang masih berada dalam masa kaul sementara. Masa ini sering juga disebut masa juniorat. Sedangkan religius yang dikatakan sebagai anggota definitif adalah religius yang sudah mengikrarkan kaul seumur hidup, atau yang biasa disebut kaul kekal. Seorang religius baru akan diijinkan mengikrarkan kaul kekal atau kaul seumur hidup setelah waktu yang ditetapkan oleh tarekat.

Konstitusi kongregasi SCMM mengatakan hal ini “profesi seumur hidup hanya dapat diikrarkan sesudah tiga, empat, lima, atau enam berkaul sementara. Dalam hal yang luar biasa masa profesi sementara ini dapat diperpanjang sampai sembilan tahun”. Hal ini mengandaikan bahwa seorang religius yang telah menjalani masa kaul sementara selama tiga atau lebih dianggap sudah lebih atau cukup matang dalam membuat pilihan, apakah akan bergabung secara definitif dengan kongregasi yang bersangkutan atau memilih untuk mengundurkan diri.

Di bawah ini akan diberikan uraian singkat mengenai kedua hal tersebut. a. Masa kaul sementara (juniorat)

Masa kaul sementara(juniorat) adalah masa di mana seorang religius belum mengikatkan diri secara definitif kepada kongregasi yang dimasukinya; keanggotaannya masih bersifat sementara. Hal ini dapat berlangsung selama tiga sampai sembilan tahun sesudah menyelesaikan masa novisiat. Dalam masa ini

seorang religius masih berada dalam masa pembinaan formal dari pihak kongregasi sebagai lanjutan dari pembinaan yang diterima di novisiat. Selain pembinaan dari pihak kongregasi, dari pihak religius yang bersangkutan juga dituntut berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membina diri sendiri agar semakin dewasa dalam hidup religius. Sejalan dengan pendapat ini Prasetya (1992:298) mengatakan:

“Masa juniorat adalah kelanjutan dari eksperimen dan pendalaman semangat serta cara hidup tarekat sampai calon betul-betul mempunyai sikap mencintai tarekat secara mendalam sehingga pihak tarekat mempunyai cukup alasan untuk menerimanya secara definitif sebagai anggota tarekat dalam profesi kaul kekal. Dari pihak anggota dituntut keaktifan dan kerelaan untuk membina diri agar semakin menjadi pribadi religius yang matang/dewasa dan tangguh sesuai dengan kharisma dan spiritualitas tarekat, kemudian dengan penuh dedikasi melaksanakan pengutusannya dalam tarekat.”

Masa kaul sementara merupakan masa di mana seorang religius mulai memasuki kehidupan komunitas dan karya kongregasi. Dalam komunitas ini seorang suster kaul sementara akan tinggal dan hidup bersama dengan para suster lainnya yang sudah berkaul kekal. Suster junior ini juga sudah mulai diberi tanggung jawab dalam karya kongregasi, namun tidak boleh terlalu banyak sehingga ia masih mempunyai cukup waktu untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan diri sebagai seorang religius.

Di kongregasi SCMM, pembinaan khusus para suster kaul sementara diserahkan kepada suster-suster yang ditunjuk oleh pimpinan kongregasi dan kepada pimpinan komunitas di mana suster yang bersangkutan tinggal. Mereka (para pembina dan pimpinan komunitan) diserahi tugas untuk mendampingi dan

membimbing suster yang berkaul sementara dalam melihat dan mengolah berbagai pengalaman dalam perjalanan hidup panggilannya. Di sini, di satu pihak seorang suster yang berkaul sementara diharapkan semakin mengenal kongregasi. Dengan semakin mengenal kongregasi secara lebih dalam, ia pada akhirnya dapat lebih memantapkan diri dengan pilihannya atau akan memilih mengundurkan diri. Di pihak lain, pihak kongregasi juga akan memberikan evaluasi terhadap suster yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan religius. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan religius yang dimaksudkan di sini antara lain adalah hidup doa, hidup kaul, hidup komunitas (hidup bersama), dan hidup karya. Dengan demikian boleh dikatakan seorang suster yang masih dalam masa kaul sementara masih berada dalam “pengawasan” para suster yang ditugaskan itu.

Suryasudarma (1994) mengatakan bahwa orang dalam masa kaul sementara baru saja mengalami transisi dari suasana di novisiat yang serba teratur, masuk ke lingkungan kerja nyata sehari-hari, yang konteksnya serba lain dari suasana di novisiat. Dalam kontek hidup sehari-hari seorang suster yang berkaul sementara ditantang untuk mempraktekkan apa yang diperolehnya di novisiat. Dia tidak bisa berlindung lagi pada aturan-aturan serta kebiasaan-kebiasaan yang aman, melainkan harus memilih dalam kebebasannya dengan kemungkinan (besar) bisa salah. Lingkungan hidup sehari-hari tidak senantiasa mendukung cita-cita atau aspirasi suster yang berkaul sementara, bahkan kadang-kadang dengan keras melawannya atau tidak cocok dengan idealismenya. Karena itu, seorang suster yang berkaul sementara umumnya masih berada dalam masa penyesuaian diri sehingga sering

menunjukkan tingkah laku yang canggung karena sulit beradaptasi dengan kenyataan hidup yang dihadapinya sehari-hari.

Seorang suster yang sudah berkaul sementara wajib melaksanakan kaul-kaulnya sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi. Mereka ikut ambil bagian di dalam perutusan kongregasi. Mereka ini diberi kesempatan untuk mengalami secara langsung pelayanan lewat karya-karya yang dipercayakan kepada mereka. Para suster yunior juga wajib hidup menurut konstitusi dan ketentuan-ketentuan lain dari kongregasi. Dengan kata lain, mereka wajib mengikuti semua peraturan yang telah ditetapkan di dalam kongregasi.

Dalam pembinaan hidup seorang suster junior, ada banyak aspek yang mesti dijalani bagi perkembangan hidupnya sebagai seorang religius. Dengan demikian mereka mempersiapkan diri untuk kaul kekalnya. Salah satu aspek yang terus menerus dibina dan dipantau pada suster junior ini adalah aspek psikologis, terutama dalam bidang afeksi. Diharapkan para suster junior semakin mantap dalam penguasaan diri, emosi dan perasaannya. Kemampuan untuk menguasai diri, emosi dan perasaan akan membantu mereka dalam membina relasi yang baik dalam komunitasnya dan juga akan membantu meraka dalam penghayatan kaul-kaulnya. b. Masa sesudah kaul kekal

Masa sesudah kaul kekal adalah masa di mana seorang suster sudah mengikatkan dirinya secara definitif kepada kongregasi yang dimasukinya. Ia tidak lagi berada dalam pembinaan formal dari kongregasi karena dianggap sudah cukup matang sebagai seorang religius, namun ia tetap diharapkan dapat membina dan

membaharui diri secara terus menerus sesuai dengan tuntutan zaman dan tuntutan spiritualitas. Seorang suster yang sudah berkaul kekal diharapkan terus menerus mengembangkan kemampuan dan ketrampilan dalam membatinkan atau menghidupi nilai-nilai religius dan mewujudkan cita-cita kongregasi, mewujudkan pengabdiannya sebagai ungkapan iman bersama sesuai dengan kharisma persekutuan, kemudian terus berusaha menyumbangkan bentuk kesaksian hidup bakti kongregasi dalam Gereja dan masyarakat sesuai dengan tempat dan kemampuan dalam tarekat (Prasetya,1994).

Religius yang sudah berkaul kekal dapat dikatakan sebagai generasi yang sudah menunjukkan usia yang tidak muda lagi, baik dari segi umur maupun dari segi kehidupannya sebagai religius. Usia ini merupakan usia yang cukup matang dalam rangka mewujudkan keterlibatan dengan orang lain. Pada usia ini orang seharusnya sudah matang dalam perkembangan pribadi dan sudah mandiri. Ia digolongkan sebagai orang yang sudah mapan dalam biara atau dalam pilihan hidupnya. Dengan pertimbangan tersebut pihak kongregasi sudah memberikan tanggung jawab besar kepadanya, bahkan sebagian di antaranya sudah terlibat dalam berbagai karya pelayanan kongregasi.

Seorang suster yang sudah berkaul kekal mempunyai komitmen secara definitif kepada kongregasi dan tugas-tugas kerasulannya. Dia akan sadar bahwa dia sungguh bertanggung jawab penuh atas hidup kerasulan kongregasi. Dia menyerahkan segala daya, milik dan dirinya untuk mengemban hidup dan misi kongregasi. Yang menjadi perhatian utamanya adalah tugas-tugas itu dengan

sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab. Meskipun seorang suster sudah berkaul kekal, ia tetap diberi kesempatan untuk mengikuti pembinaan, yaitu pembinaan yang lebih sesuai dengan keadaan dirinya dan kerasulannya.

Dalam konstitusi kongregasi dikatakan bahwa seorang suster yang sudah berkaul kekal tetap mungkin membina perkembangan rohaninya sepanjang hidup. Seluruh hidup merupakan proses perkembangan dan segala sesuatu di dalam hidup mempunyai maknanya. “Kebahagiaan dan penderitaan, suka dan duka, sakit dan usia lanjut merupakan pengalaman yang dapat membawa ke kedewasaan penuh di dalam Yesus Kristus dan kepada kepenuhan kita sendiri melalui penyerahan diri seutuhnya kepada kasihNya” (Keusters,1989:77).

5. Hidup Berkomunitas dalam Keanekaragaman

Hidup bersama dalam suatu komunitas merupakan salah satu ciri pokok hidup religius; penghayatan hidup religius sehari-hari terlaksana di komunitas. Dalam komunitas setiap anggota diharapkan mengalami kedekatan, memberi perhatian sekaligus memberi kekuatan satu sama lain (PC artikel 15). Komunitas religius adalah suatu kelompok yang dipanggil untuk hidup dan berbagi injil dan nilainya. Anggotanya percaya bahwa mereka dipanggil dengan panggilan yang sama, yaitu untuk saling mendukung, memelihara, memperhatikan, dan menantang dalam menghidupi injil lebih dalam. Komunitas dapat dikatakan juga sebagai sebuah kehidupan bersama yang diyakini sebagai anugerah dan karunia dari Allah. Disebut anugerah dan karunia, karena hal itu bukanlah pilihan melainkan tugas. Bukan

pilihan dalam hal ini bukan berarti tanpa kebebasan pribadi, tetapi setiap pribadi dengan bebas dan rela memilih untuk mengikuti pilihan pimpinan. Komunitas dianugerahkan Allah agar setiap anggotanya selalu membaharui hidupnya dalam kebersamaan. Hidup bersama yang dibangun bukan karena keinginan sendiri, atau karena kecocokan antarpribadi, tetapi lebih sebagai orang-orang yang secara kebetulan disatukan di dalam satu kelompok atau satu rumah.

Keanekaragaman dalam komunitas religius sangat nampak dalam diri tiap-tiap anggota komunitas. Masing-masing mempunyai kekhasannya masing-masing. Keanekaragaman ini nampak dari suku, bahasa, budaya, adat istiadat, kesenangan, kebiasaan dari setiap anggota kongregasi SCMM pada umum dan didalam komunitas khususnya. Dengan keanekaragaman ini, ada banyak kekayaan yang dapat dipelajari dan dikembangkan dan ada juga yang terkadang mendatangkan konflik ataupun salah paham. Kenyataan yang ada ini, setiap anggota komunitas datang dari latar belakang budaya, suku, adat istiadat yang berbeda-beda. Namun hal ini justru menjadi kekayaan yang disyukuri sebagai wujud cinta Allah yang besar dalam kehidupan religius. Dari keanekaragaman ini ada anggota yang datang dari budaya yang berbicara berterus terang, dan ada yang tertutup. Yang satu dari budaya yang relasi keluarganya akrab dan mengikat, yang lainnya dari budaya yang relasi keluarganya tidak begitu kuat; yang satu dari budaya yang menghormati orang lain dengan menatap wajahnya bila berbicara, yang lainnya dari budaya yang kalau menatap wajah dianggap tidak hormat dan tidak sopan. Perbedaan ini dapat dengan mudah mendatangkan konflik dan disalahmengerti. Cara mangatasinya cukup jelas.

Masing-masing anggota harus belajar mengerti budaya anggot a lain, mendalami budaya lain, dan belajar menghargai budaya tersebut. Maka sangat baik sejak masa pendidikan di novisiat mengenalkan kepada para novis macama-macam budaya dengan segala kekhasannnya. Dengan demikian, setiap anggota akan lebih mengenal satu sama lain dan saling menghargai.

Komunikasi asertif sangat membantu dalam menjembatani kenekaragaman dalam komunitas. Dengan adanya komunikasi asertif, perbedaan dapat diatasi dan segala praduga dapat dihindari sehingga masing-masing anggota komunitas dapat bersikap terbuka terhadap perbedaan yang ada diantara anggota komunitas. Bersikap terbuka dalam komunikasi asertif sangat membantu setiap pribadi untuk menyadari bahwa setiap orang tidak ada yang sama, dan menempatkan diri pada posisi teman berbicara yang dapat saling mengerti dan memahami. Dengan keanekaragan yang ada didalam komunitas, sangatlah mungkin setiap anggota menunjukkan sikap saling mendukung secara deskriptif bukan evaluatif, spontan namun jangan strategik, provisional namun jangan memastikan. Hal ini setiap anggota yang beranekaragam akan saling menghargai dan diterima sebagai saudara dalam komunitas kasih. Dalam keanekaragam, komunikasi asertif penting untuk menyatakan sikap positif khususnya dalam situasi antarbudaya karena ada begitu banyak hal yang terkadang tidak dikenal dan tidak diketahui oleh setiap anggota. Sebagai akibatnya terkadang anggota tidak mampu memperkirakan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Karena itu, diharapkan agar dalam komunikasi asertif didalam komunitas lawan bicara merasa nyaman dengan mengkomunikasikan sikap yang positif. Komunikasi asertif

yang terjadi dalam keanekaragam menjadi kedekatam yang menyatukan setiap anggota. Kedekatan hati membantu mengatasi perbedaan. Dalam komunikasi yang beraneka ragam budaya setiap anggota diajak mengembangkan semangat penerimaan satu sama lain. Hanya dengan menerima satu sama lain yang berbeda, setiap orang mampu membangun persaudaraan sejati dan dapat hidup bersama dalam satu komunitas, dan dapat bekerjasama dalam tugas perutusan.

Konstitusi kongregasi SCMM pada bab 3 no.24 mengatakan bahwa komunitas kita dipanggil untuk menjadi suatu tanda iman dan harapan di dunia ini; untuk menghayati Injil Yesus Kristus, khususnya di dalam mewujudkan cinta yang berbelaskasih seorang kepada yang lain dan kepada semua saudara-saudara kita. Artinya, didalam menghayati semangat injil setiap pribadi sederajat, terikat satu sama lain, saling mendukung dan dalam memberi inspirasi dalam iman; yang di dalamnya ada pemberdayaan satu sama lain, mampu mencintai dan mengenal serta mengungkapkan perasaan secara tepat dan penuh ketulusan hati, mampu membahasakan pikiran dan perasaannya secara jelas, mendengarkan dengan penuh perhatian, memperhatikan orang lain, serta menyelesaikan masalah secara dewasa dan efektif.

Dalam hidup berkomunitas setiap suster dituntut agar masing-masing menerima setiap pribadi apa adanya, bakat-bakatnya, kemampuan-kemampuannya, kebutuhan dan keterbatasannya, sambil menyadari bahwa dengan perbedaan setiap pribadi saling memperkaya. Dengan kata lain, para suster turut bertanggung jawab agar setiap anggota komunitas dapat menjadi dirinya sendiri. Sikap ini menentukan

terciptanya hubungan yang baik di antara para anggota komunitas, sehingga para anggota dapat hidup saling menghormati dan saling menunjukkan kasih persaudaraan (Kont, 1989 artikel 30).

Dokumen terkait