Martina Ina Kii
041114028
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
JOGJAKARTA
2010 SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Saat aku mencari Allah dan membiarkan diriku ditemukan
Allah maka aku menemukan segala-galanya. Namun, saat aku
mengejar segala-galanya yang kudapatlan adalah kehilangan
segala-galanya meskipun Allah tetap setia dan mencariku.
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Christ Jesus My God, true friend and Savior 2. Kongregasi SCMM
3. Bapak dan ibuku dan keluarga tercinta yang telah mendoakan dan mendukungku.
DESKRIPSI TINGKAT ASERTIVITAS PARA SUSTER KONGREGASI SCMM PROPINSI INDONESIA
TAHUN 2008/2009
Martina Ina Kii
Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma
2010
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan komunikasi asertif dari para suster kongregasi SCMM. Pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah: 1) Bagaimana tingkat asertivitas para suster SCMM dalam berkomunikasi? 2) Apakah ada perbedaan yang signifikan antara tingkat asertivitas para suster yang belum berkaul kekal dan yang sudah berkaul kekal dalam berkomunikasi?
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan komparatif. Adapun alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner komunikasi asertif yang disusun sendiri oleh peneliti. Responden penelitian adalah para suster kongregasi SCMM propinsi Indonesia yang berdomisili di Medan. Data yang diperoleh dianalisis melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menentukan skor dari masing-masing alternatif jawaban dan menghitung total skor yang sudah diberikan oleh responden. 2) Menentukan penggolongan kualifikasi komunikasi asertif seluruh responden berdasarkan pendapat Azwar (1999: 108) yakni kategori sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. 3) Untuk menguji perbedaan tingkat daya beda komunikasi asertif menggunakan rumus t-test.
THE DESCRIPTION OF THE ASSERTIVENESS LEVEL AMONG THE INDONESIAN PROVINCE
SISTERS OF THE CONGREGATION OF SCMM 2008/2009
Martina Ina Kii
Guidance and Counseling Study Program Sanata Dharma
2010
This research aimed to describe assertive communication among Sisters of SCMM Congregation. The questions of the research are: 1) How the assertiveness level takes place among SCMM sisters 2008/2009? 2) Are there significant differences between assertiveness level between temporal and perpetual vowed sisters 2008/2009?
This research is descriptive and comparative research. The instrument used is assertive communication questionnaire compiled by the researcher. The respondents were the Sisters of SCMM Congregation of Indonesian province, which are located in Medan. The obtained data were analyzed through the following steps: 1) Defining the score of each alternative answers and calculating the total score which was given by respondents. 2) Determining the qualifications of the classification of all respondents based on assertive communication according to Azwar (1999: 108), which is categorized as very low, low, medium, high, and very high. 3) Examining differences in the different levels of assertive communication using the t-test formula.
Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Bapa Maha
Pemurah dan Berbelaskasih atas segala bimbingan dan penyertaan-Nya, yang
menuntun penulis sehingga skripsi ini selesai dengan baik. Begitu besar kasih
Tuhan sehingga Ia selalu menolong dan menopang setiap usaha dan karya
penulis. Walaupun banyak kesulitan, namun penulis tetap tekun,sabar dan setia.
Semuanya itu berkat kekuatan dan penghiburan dari-Nya. Oleh karena itu, pantas
dan layaklah penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka yang secara
langsung telah memotivasi dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr.M.M. Sri Hastuti, M.Si Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling
sekaligus sebagai dosen utama pembimbing skripsi yang telah dengan sabar
membantu penulis dalam penyusunan skripsi.
2. Para dosen program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu selama penulis
menjalani masa perkuliahan di Universitas Sanata Dharma.
3. Pimpinan kongregasi SCMM propinsi Indonesia yang telah memberikan
kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk menimba ilmu
pengetahuan di Universitas Sanata Dharma.
4. Pimpinan Komunitas (Sr.Martha Chandra) dan para suster SCMM Komunitas
St. Sesilia Yogyakarta yang memberikan dukungan dan perhatian dengan
caranya masing-masing. Secara khusus Sr.Yuliana Apu Day yang sungguh
Fidelia, Sr Hubertine, Sr Patricia di Sibolga yang dengan setia menyemangati
penulis untuk tetap sabar dan gembira dalam penyelesaian skripsi ini.
6. P.Mateus Mali CsSR dan P.Silvester Nusa, CsSR , P. Felix OCD, yang selalu
memberi banyak buah pemikiran untuk kelanjutan penyelesaian skripsi ini.
7. Para sahabatku: Fr Miguel de Lemos CMF, Fr Anton CMM , Br. Christ SVD,
Ocha, Isabella, Lopez, Agnez ( Sheshe), Mas Sigit, Sepry, Mas Bismo dan
Mas Pikal, Trias, Deny, Sr Saulina FdCC, Sr.Eva ADM dan Sr.Hilaria ADM,
Ria Murdani- Klaten, Elshinta, Tyan, yang dengan caranya masing-masing
memberikan dukungan.
8. Orang tua (Papa dan mama), Pater Hery CsSR, Ka Fonza thanks atas segala
doa dan dukungannya. Adekku Nini di Bali yang dengan caranya yang jutek
selalu menanyakan kapan selesai kuliah, dan saudara-saudariku yang selalu
memberikan dukungan lewat doa-doa mereka.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut mempunyai
andil dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga segala kebaikan, perhatian, serta dukungan yang telah mereka
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……… iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. v
D. Manfaat Hasil Penelitian……….. 7
E. Definisi Operasional………. 7
BAB II. KAJIAN TEORITIS……….. ……… 9
4. Langkah-langkah Berkomunikasi………... 16
B. Asertivitas………..…….………. 18
1. Pengertian……….. ……….... 18
2. Aspek – Aspek Asertivitas……….. ………... 21
3. Manfaat Asertivitas………...………... 24
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Asertivitas………….………... 25
5. Hambatan-hambatan dalam Mewujudkan Asertivitas………. 28
1. Sejarah Berdirinya……….. ………. 37
2. Spiritualitas Kongregasi SCMM……….. 41
3. Kharisma Kongregasi SCMM………. …… 42
4. Keanggotaan Religius dalam Biara………... 43
5. Hidup Berkomunitas dalam Keanekaragamaan..………. 48
D. Tinjauan Penelitian lain yang Relevan………... 52
BAB III. METODE PENELITIAN………. ………... 54
A. Jenis Penelitian..……. ………... 54
B. Responden Penelitian.……….... 55
C. Instrumen Pengumpulan Data………... 57
1. Kuesioner Komunikasi Asertif….………... 57
2. Kisi-kisi Komunikasi Asertif… ……….. 60
3. Penentuan Skor………. ………... 61
4. Uji Coba Kuesioner………. ……….. 61
5.Validitas dan Reliabilitas Kuesioner……….. 62
5.1. Validitas Kuesioner...………….. ………. 62
5.2. Uji Daya Beda Item Kuesioner……… 63
5.3. Reliabilitas Kuesioner………….………. …… 66
D. Teknik Analisis Data………..………... 67
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 72
A. Kualifikasi Komunikasi Asertif para suster SCMM ……… 72
B. Pembahasan……. ………... 77
1. Asertivitas para suster yang belum Berkaul Kekal ………. 80
2. Asertivitas suster yang sudah Berkaul Kekal..……….... 82
Lampiran 2 : Hasil Uji Coba……….. 97
Lampiran 3 : Uji Homogenitas Varians …..……… 105
Lampiran 4 : Tabulasi Data Skor Komunikasi Asertif………. 106
Lampiran 5 : Uji beda Kualifikasi Komunikasi Asertif……… 107
Lampiran 6 : Hasil T – test Penelitian………109
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kesadaran setiap orang akan pentingnya berkomunikasi dalam
berbagai bidang kehidupan semakin meningkat. Pentingnya berkomunikasi
membentuk pribadi setiap orang untuk saling pengertian dalam menumbuhkan relasi
dan membantu perkembangan intelektual dan sosial. Selain itu melalui komunikasi
dengan orang lain, kita semakin mengenal diri dan membentuk pribadi untuk
mengenal dan menemukan diri sendiri.
Kaum religius dipanggil untuk membangun komunitas persaudaraan, dengan
meniru gereja perdana (Kis, 4: 32). Terpanggil untuk hidup berkomunitas artinya
mau menjadi saksi cinta kasih, baik bagi sesama maupun bagi dirinya sendiri. Kaum
religius yang dipanggil untuk hidup berkomunitas, pertama-tama bukan atas dasar
rasa suka atau pun kecocokan satu sama lain, tetapi atas dasar panggilan yang sama
untuk mewartakan cinta Allah bagi sesama. Komunitas yang dibangun itu
membutuhkan sarana untuk mengungkapkan pewartaan yakni komunikasi antar
pribadi.
Komunikasi antar pribadi tidak cukup sampai pada taraf hati atau perasaan
saja, namun idealnya sampai pada taraf hubungan puncak (Supratiknya, 1995 : 34).
Artinya, komunikasi tersebut telah berkembang begitu mendalam sehingga kedua
Komunikasi yang sampai pada taraf hubungan puncak ditandai dengan adanya
kejujuran, keterbukaan, dan saling percaya yang mutlak dilakukan oleh kedua belah
pihak. Komunikasi yang sampai pada taraf hubungan puncak ini menghilangkan
rasa takut, rasa khawatir serta menjadikan setiap orang atau pribadi merasa bebas
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Komunikasi yang sampai pada taraf puncak dapat menjadi suatu kelebihan
bagi setiap suster SCMM di dalam memelihara panggilan sebagai religius. Namun
demikian, menurut pengamatan penulis, komunikasi yang sampai pada taraf puncak
masih merupakan harapan dari para suster SCMM belum terwujud sepenuhnya, dan
masih terus diperjuangkan secara bersama-sama. Taraf ini belum dapat dicapai
karena masih banyak hambatan dalam berkomunikasi, khususnya dalam
mengungkapkan pikiran dan perasaan secara bebas. Komunikasi menjadi terhambat
dan macet karena komunikan merasa tak berdaya, dan tidak punya kemampuan
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Karena banyaknya hambatan dalam
berkomunikasi, maka setiap suster masih perlu terus belajar agar dapat
mengkomunikasikan diri secara efektif. Untuk mencapai komunikasi yang sampai
pada taraf puncak ini, setiap orang hendaknya menyadari bahwa makna kata tidak
hanya terdapat dalam arti kata itu sendiri, namun juga pada siapa yang
mengatakannya, disampaikan untuk siapa, bagaimana suasana penyampaiannya, dan
Selain itu komunikasi juga terhambat karena kebebasan yang tidak terkontrol.
Maksudnya dalam mengungkapkan pikiran, perasaan dan dalam bertindak tanpa
mempertimbangkan perasaan atau pendapat orang lain. Hal ini menunjukkan adanya
kecenderungan memaksakan kehendak kepada orang lain, dan ada keinginan untuk
menang sendiri, serta menggunakan rasionalisasi bahwa sikapnya sudah benar karena
percaya bahwa pendapat dan perasaan yang telah diungkapkannya secara terus
terang. Sikap seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap agresif, yaitu sikap yang tidak
menghormati pendapat orang lain, dan juga kurang peduli pada kebutuhan dan
perasaan orang lain. Orang yang agresif akan memaksakan pendapat dan
keinginannya supaya diterima dengan cara mencemooh, mengancam, dan
memanipulasi (Stein dan Howard, 2004 : 93).
Salah satu bentuk komunikasi yang dapat membangun komunitas sampai
pada tingkat hubungan puncak adalah komunikasi yang asertif. Komunikasi yang
asertif adalah komunikasi yang mampu menyampaikan ide, pendapat, perasaan yang
secara jelas, tulus dan jujur, dan singkat sehingga penerima pesan dapat memahami
maksud pengirim pesan. Kemampuan untuk menyampaikan ide, pendapat, dan
perasaan secara jelas, singkat, tulus dan jujur hanya dapat dicapai apabila komunikan
sungguh merasa bebas dan penuh percaya tanpa rasa takut atau pun rasa khawatir.
Sikap saling percaya dapat diwujudkan apabila setiap orang mampu berpikir
menang-menang. Berpikir menang-menang adalah suatu kerangka pikiran dan hati
yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam suatu interaksi manusia dan
perasaan tak berdaya, dan juga tanpa merasa dikuasai oleh orang lain (Covey, 1997 :
201).
Keberhasilan yang optimal dalam setiap keinginan atau cita-cita, hanya akan
dicapai oleh orang-orang yang bersangkutan dan mau bekerjasama dengan orang
lain, dan bukan sebaliknya dengan mengorbankan atau menyingkirkan orang lain.
Hal ini sejalan dengan pandangan Stein dan Howard (2004:9) yang mengatakan
bahwa hubungan kita akan menjadi lebih erat, jika masing-masing kita saling
menghormati pendapat orang lain, sehingga pertentangan dapat terselesaikan dan
kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.
Penulis menyadari asertifitas penting dalam hidup berkomunitas. Asertifitas
dapat membangun komunikasi sampai pada hubungan puncak. Komunikasi yang
demikian ini menjadi kekhasan untuk memelihara panggilan kaum religius,
khususnya para suster SCMM. Apapun posisi seorang religius, ataupun profesi dan
bentuk hidup yang dipilih serta di mana pun ia berada, ia tetap membutuhkan
komunikasi yang asertif.
Konggregasi suster SCMM (Suster-Suster Cintakasih dari Maria Bunda
Berbelaskasih) hidup dan berkarya dengan semangat cinta tanpa pamrih. Ini
menunjukkan bahwa para suster mengakui semua manusia serupa, sederajat yang
mesti diterima dan dicintai. Sebagai manusia yang serupa dan sederajat, maka
manusia yang satu tidak lebih penting, tidak lebih berharga dari yang lain. Oleh
karena itu tidak ada alasan untuk menganggap orang lain dengan segala
Dalam konstitusi kongregasi SCMM artikel 20 dikatakan “kita menerima
kewajiban untuk memberikan diri kita seutuhnya kepada sesama manusia dimanapun
kongregasi mengutus kita”. Kita dapat memahami dan merasakan apa yang dirasakan
orang lain dengan memberi diri dan menanggapinya dengan penuh kesabaran, rasa
hormat, dan penghargaan. Hal ini menunjukkan bahwa para suster yang tergabung
dalam kongregasi SCMM diharapkan menyadari dan memiliki kemampuan untuk
memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain dan menanggapinya
dengan penuh kesabaran, rasa hormat dan penghargaan. Ini berarti bahwa para suster
diharapkan menguasai komunikasi yang asertif.
Semakin lama orang bergabung dalam kehidupan membiara, semakin orang
diharapkan menghayati semangat hidup yang dicita-citakan oleh kongregasi.
Demikian pula halnya dengan seorang suster SCMM. Seorang suster yang sudah
lebih lama bergabung dalam kongregasi SCMM diharapkan lebih menghayati
spiritualitas kongregasi dari pada suster yang baru bergabung. Seorang suster SCMM
yang sudah berkaul kekal diharapkan mempunyai penghayatan yang lebih baik
terhadap spiritualitas semangat belaskasih dan cinta tanpa pamrih jika dibandingkan
dengan suster yang belum berkaul kekal.
Penghayatan terhadap spiritualitas belaskasih dan cinta tanpa pamrih akan
tampak dalam perilaku sehari-hari, yaitu dengan mencintai dan mengakui kesetaraan
dengan orang lain. Pengakuan akan cinta dan kesetaraan ini mendorongnya untuk
mencintai dan menempatkan diri setara dengan orang lain. Artinya, dia tidak
rendah dari orang lain. Hal ini membuatnya mampu mengungkapkan diri apa adanya
sambil tetap mencintai dan menghargai orang lain yang serupa dengan dirinya.
Kurangnya kemampuan berkomunikasi secara asertif dapat menghambat
orang untuk bekerja sama dalam kelompok maupun dalam komunitas. Akibatnya
akan muncul kecenderungan untuk menarik diri dari orang lain, atau kecenderungan
untuk mengabaikan dan meremehkan orang lain. Sikap seperti ini sangatlah tidak
pantas sebagai seorang yang hidup dan bekerja dalam kelompok atau komunitas.
Mengingat pentingnya komunikasi yang asertif bagi pertumbuhan dan
panggilan para suster SCMM, penulis ingin memperoleh gambaran mengenai tingkat
komunikasi yang asertif dari para suster kongregasi SCMM.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendiskripsikan tingkat asertivitas para
suster SCMM dalam berkomunikasi. Secara rinci, pertanyaan yang ingin dijawab
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tingkat asertivitas para suster SCMM tahun 2008 / 2009?
2. Apakah ada perbedaan yang signifikan antara tingkat asertivitas para suster yang
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui tingkat asertivitas para suster SCMM pada tahun 2008 / 2009.
2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara tingkat asertivitas
para suster yang belum berkaul kekal dan suster yang sudah berkaul kekal
anggota kongregasai SCMM pada tahun 2008 / 2009.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Semua suster yang diserahi tugas sebagai formator. Hasil penelitian ini dapat
memberikan masukan untuk mengembangkan program pembinaan demi
berkembangnya kemampuan berkomunikasi secara asertif para suster SCMM.
2. Peneliti dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bekal untuk
melaksanakan tugas dalam pendampingan para suster.
E. Definisi Operasional
1. Deskripsi merupakan pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara
jelas dan terinci (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1988).
2. Asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan diri seperti pikiran, ide,
pendapat, perasaan, kebutuhan, keinginan, dan tindakan secara jelas, tulus dan
3. Komunikasi asertif adalah kemampuan dan keberanian dalam menyampaikan
informasi baik pikiran, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai sendiri kepada orang
lain secara jujur, jelas dan tepat sambil tetap menghormati orang lain sebagai
pribadi.
4. Konggregasi adalah sebuah lembaga hidup bakti yang dijiwai oleh persekutuan
orang-orang yang hidup dalam karya, dan perutusan yang dijiwai oleh Roh Allah
sendiri.
5. Komunitas religius adalah suatu persekutuan yang dipanggil untuk hidup dalam
kebersamaan yang didasari oleh semangat injil. Komunitas berasal dari komunitas
kristiani yang didalamnya ada persaudaraan yang ditandai dengan “ sharing “,
dimana setiap anggota mau berbagi bersama dalam seluruh diri serta aspek
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Komunikasi
1. Pengertian
Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian informasi (pesan, ide,
gagasan) dari satu pihak kepada pihak yang lain agar terjadi saling mempengaruhi
diantara keduanya. Hal ini sejalan dengan pandangan Walgito (1999:65) yang
mengatakan bahwa komunikasi merupakan penyampaian informasi, ide, atau
pemikiran, pengetahuan, konsep dan hal-hal lain kepada orang lain secara timbal
balik, baik sebagai pengirim pesan maupun sebagai penerima pesan. Pada umumnya
komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti
oleh kedua belah pihak. Maksudnya setiap pesan yang tertangkap oleh penerima
merupakan bentuk komunikasi yang membentuk hubungan antara pengirim dan
penerima pesan.
Selain makna komunikasi seperti yang terungkap dalam pengertian di atas,
secara luas komunikasi juga dapat diartikan sebagai bentuk tingkah laku seseorang
baik verbal maupun non verbal yang ditanggapi orang lain. Maksudnya, komunikasi
yang terungkap bukan hanya lewat kata-kata lisan dan tulisan, tetapi juga berupa
komunikasi non verbal seperti gerak tubuh, sentuhan, ekspresi wajah, volume suara
dan intonasi yang dapat meningkatkan pemahaman lewat apa yang terungkap dalam
mengkomunikasikan perasaan perlu diperhatikan dan diusahakan agar pesan
non-verbal yang terlihat cocok dengan pesan yang disampaikan secara non-verbal. Dengan
adanya pemahaman dari kedua belah pihak, maka akan sangat menolong dalam
membangun relasi yang hangat dan kerja sama yang efektif. Setiap bentuk tingkah
laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga merupakan sebentuk komunikasi
(Supratiknya, 2008).
Adapun komunikasi yang terjalin antara seorang dengan orang lain akan
mempengaruhi orang lain, sehingga orang yang diajak untuk berkomunikasi dapat
memberikan umpan balik yang berupa sanggahan atau persetujuan bahkan terjadi
perubahan tingkah laku. Komunikasi juga dapat mengubah sikap orang lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi itu sendiri berhubungan dengan
perilaku manusia dan kepuasan akan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan
orang lain.
Menurut Lunandi (1994:34) “komunikasi merupakan usaha dalam hidup
pergaulan untuk menyampaikan isi hati atau pikiran dan untuk memahami isi hati
atau pikiran orang lain dalam berkomunikasi”. Setiap orang yang menjalin hubungan
relasi dengan orang lain membutuhkan komunikasi yang baik agar hubungan
berelasi dan kerjasama semakin baik dan membuat setiap orang yang terlibat
didalamnya berkembang dalam aspek intelektual, sosial dan semakin mengenal
dirinya sendiri. Sedangkan De Vito (1997:23) mengungkapkan bahwa komunikasi
lebih mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan
tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Maksudnya, dalam
berkomunikasi gangguan tidak dapat dihindari namun gangguan itu dapat dikurangi
dengan cara menggunakan bahasa yang benar dan tepat serta mudah dipahami,
mempelajari ketrampilan mengirim dan menerima pesan, meningkatkan ketrampilan
mendengarkan dan menerima serta mengirimkan umpan balik. Sehingga proses
gangguan dalam pengiriman dan penerimaan pesan dapat diatasi, dan kedua belah
pihak dapat menumbuhkan saling pengertian dalam berkomunikasi.
Sebuah komunikasi dapat dikatakan asertif apabila penerima pesan dapat
mengintepretasikan pesan yang diterimanya seperti yang dimaksudkan oleh pengirim
pesan. Maksudnya selama berkomunikasi dengan orang lain, setiap orang secara
sadar maupun tidak, mengamati dan mencermati tanggapan yang diberikan oleh
orang lain sehingga pesan yang dikirim dan diterima sungguh dipahami sehingga
komunikasi berlajan lancar dan tidak tersendat. Dengan berkomunikasi setiap orang
berusaha memperbaiki pemahaman tentang sesuatu hal, lingkungan realitas ataupun
dunia sekitarnya. Berkomunikasi secara asertif semakin mempererat jalinan relasi
yang telah dibangun, dan setiap orang merasa diterima dan dapat menerima orang
lain.
Dari beberapa pengertian di atas disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu
penyampaian informasi, ide atau pun gagasan, pengetahuan, konsep dan lain-lain
yang merupakan isi hati seseorang dan memahami isi hati orang lain secara timbal
sendiri, menyiapkan pesan-pesan yang akan disampaikan kepada orang lain berupa
ide, pendapat, ataupun gagasan yang dapat memperkaya diri sendiri dan orang lain.
2. Tujuan Komunikasi
De Vito (1997:30-31) mengungkapkan ada empat tujuan yang perlu
diketahui dalam berkomunikasi yakni:
a. Menemukan
Tujuan dalam berkomunikasi menyangkut penemuan diri. Maksudnya,
seseorang yang berkomunikasi dengan orang lain mendapat umpan balik, dan dari
umpan balik itulah orang belajar mengenal dirinya sendiri mengenai emosi, pikiran,
kehendak, dan cita-cita. Dalam berbicara orang belajar menggunakan bahasa yang
baik dan benar, memberi umpan balik yang dapat dipahami orang lain serta
mengenal dan menemukan kemampuan diri yang dimiliki. Dari apa yang telah
dipelajari tentang diri sendiri dan dari orang lain selama berkomunikasi, khususnya
dalam perjumpaan antarpribadi kita semakin diperkaya. Dengan berbicara tentang
diri sendiri kepada orang lain kita akan memperoleh umpan balik yang berharga
mengenai perasaan, pemikiran dan perilaku.
b. Berhubungan
Dalam berkomunikasi kita berhubungan dengan orang lain, membina dan
memelihara hubungan yang baik dan benar. Kita ingin mendengarkan dan
banyak waktu dalam berhubungan dengan orang lain untuk membina dan
memelihara hubungan sosial.
c. Meyakinkan
Dalam berkomunikasi orang yang diajak berbicara dapat meyakinkan kita
agar kita mengubah sikap dan perilaku kita. Kita dapat menghabiskan banyak waktu
untuk melakukan persuasi antarpribadi baik sebagai sumber maupun penerima pesan.
Maksudnya komunikasi menjadi alat yang sangat baik untuk dapat mengubah sikap,
pemikiran dan perilaku kita lewat berkomunikasi dengan orang lain. Kita semakin
yakin akan kesan orang akan diri kita dalam berkomunikasi.
d. Bermain
Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi untuk bermain dan
menghibur diri. Kita dapat mendengar pelawak, pembicaraan, musik, dan film
sebagian besar untuk hiburan. Banyak perilaku komunikasi yang dirancang untuk
menghibur orang lain seperti menceritakan lelucon, mengutarakan sesuatu yang baru,
dan mengaitkan cerita-cerita yang menarik. Maksudnya, komunikasi menjadi alat
untuk mengungkapkan dan menikmati kegembiraan, keceriaan, serta keterlibatan
dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga tidak sekedar jadi penonton.
3. Unsur-unsur Komunikasi
Dalam berkomunikasi ada berbagai cara yang dilakukan agar pesan yang
dikirim bisa sampai kepada si penerima pesan. Seseorang yang menyampaikan pesan
penerima pesan atau komunikan. Menurut Hardjana (2007:12) ada beberapa unsur
dalam komunikasi yakni:
a. Pihak yang mengawali
Sebelum mengirim pesan terlebih dahulu seseorang akan mengemas pesan
dalam bentuk yang dirasa sesuai dan dapat diterima serta dimengerti oleh penerima.
Dalam pengemasan pesan ini pengirim akan melakukan dua hal yakni; Pertama,
memikirkan sungguh-sungguh perasaan atau gagasan yang hendak disampaikan.
Kedua, menterjemahkan perasaan atau gagasan berupa lambang dalam bentuk
kata-kata atau non-kata-kata yang dirasa dapat menyampaikan makna yang hendak
disampaikan dengan tepat, baik, dan dapat diterima oleh penerimanya
b. Pesan yang dikomunikasikan
Pesan yang akan dikomunikasikan ini adalah pesan yang berarti dan
informatif. Informasi pesan bisa mengandung peristiwa, data, fakta atau penjelasan.
Pesan yang disampaikan bisa menghibur, memberi inspirasi, memberi informasi,
meyakinkan atau mengajak untuk berbuat sesuatu.
c. Media atau saluran
Pesan yang dikirim kepada penerima dapat disampaikan melalui saluran atau
media, secara lisan, tertulis, maupun lewat media elektronik. Maksudnya ada banyak
pesan yang dikirimkan dan kita terima tidak hanya lewat tulisan-tulisan atau
pembicaraan, melainkan lewat televisi dan mendengarkan radio setiap orang akan
d. Situasi komunikasi
Komunikasi dapat terjadi dalam situasi: tempat, waktu, keadaan iklim serta
psikologis tertentu. Maksudnya situasi yang telah terkondisi seperti tempat yang
telah ditentukan, waktu yang sudah disepakati, serta keadaan cuaca yang dapat saja
mempengaruhi jalannya komunikasi tersebut. Situasi inilah yang dapat menentukan
resmi dan formalnya pembicaraan, namun juga dapat terjadi pembicaraan yang tidak
resmi ataupun formal. Situasi ini dapat mempengaruhi jalannya komunikasi dan juga
hasil dari komunikasi itu sendiri. Sebab situasi dapat membuat pihak-pihak yang
berkomunikasi berperilaku wajar. Karena itu pada waktu berkomunikasi dengan
orang lain, kita tidak hanya mempertimbangkan isi dan cara menyampaikan, tetapi
juga situasi ketika komunikasi akan kita sampaikan.
e. Pihak yang menerima.
Penerima pesan adalah orang yang kita ajak untuk berkomunikasi. Maka dari
itu pesan yang kita kirimkan mestilah yang dapat dipahami oleh si penerima,
sehingga apa yang disampaikan oleh pengirim dapat dipahami secara tepat oleh si
penerima pesan. Dalam hal ini penerima pesan menaruh perhatian akan pesan yang
diterimanya, dan menjadi pendengar yang baik sehingga komunikasi dapat berjalan
lancar dan semakin meningkatkan pemahaman akan kedua belah pihak.
f. Umpan balik
Umpan balik merupakan tanggapan penerima terhadap pesan yang diterima
dari pengirim. Umpan balik dapat bersifat negatif maupun positif. Maksudnya
menerima pesan secara baik karena penafsiran pesan yang disampaikan tidak
dipahami. Sedangkan umpan balik positif menunjukkan bahwa penerima pesan
menanggapi, menerima dan mengerti pesan secara baik serta memberi tanggapan
sebagaimana yang diharapkan oleh pengirim pesan. Umpan balik positif ini membuat
komunikasi bisa berlanjut dan membuat hubungan kedua belah pihak bertambah
baik.
4. Langkah-langkah Berkomunikasi
Dalam berkomunikasi setiap orang berusaha untuk dapat menjalin relasi yang
baik dengan orang lain sehingga hubungan yang telah terjalin semakin berkembang
dan tiap pribadi yang terlibat didalamnya semakin diperkaya. Untuk memahami
orang lain dalam berkomunikasi ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan.
Menurut De Vito (1997:259) ada lima langkah berkomunikasi yang perlu
dipertimbangkan yakni:
a. Keterbukaan (Openness)
Keterbukaan hal yang terpenting dalam komunikasi antarpribadi. Dimana ada
saling mengungkapkan tanggapan terhadap situasi yang sedang dihadapi, termasuk
kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan oleh orang yang diajak
untuk berkomunikasi. Komunikator yang efektif harus terbuka kepada orang lain
yang diajaknya untuk berinteraksi. Keterbukaan ini akan membantu apakah
b. Empati (empathy)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan dan mengetahui apa
yang dirasakan oleh orang lain pada saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu,
melalui kaca mata itu tanpa kehilangan identitas diri. Empati berbentuk verbal dan
non-verbal dengan merefleksi balik kepada pembicara perasaan, mengadakan
pengungkapan diri yang berkaitan dengan peristiwa dan perasaan orang lain untuk
mengkomunikasikan pengertian dan pemahaman terhadap apa yang sedang dialami
orang itu.
c. Mendukung (supportiveness)
Hubungan antarpribadi yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung. Dalam dukungan ini kita dapat menyatakan sikap Deskriptif, yaitu
mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian
mengenai kejadian tertentu. Spontanitas; orang yang spontan dalam berkomunikasi
akan secara terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikiran dan perasaannya.
Provisionalisme; orang bersedia mendengarkan pandangan ataupun pendapat
yang berlawanan dengan orang yang diajak berkomunikasi, serta bersedia mengubah
posisi jika keadaan mengharuskannya. Dukungan merupakan kemampuan untuk
menerima dan dan saling menolong sehingga orang lain merasakan bahwa dirinya
berharga dan diterima.
d. Sikap positif (positiveness)
Dalam mengkomunikasikan sikap positif ada hal yang mesti diperhatikan;
memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan perasaan positif untuk sesuatu
pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Sikap positif selalu
berfikir bahwa pada dasarnya semua manusia adalah baik. Hal ini diawali dengan
rasa percaya pada diri sendiri, baru kemudian percaya pada orang lain.
e. Kesetaraan (equality)
Komunikasi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada
pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai dan
berharga, bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan. Perbedaan dan konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami
perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk memahami perbedaan
pendapat dan konflik. Dengan berkomunikasi kita mampu memecahkan konflik dan
bentuk-bentuk masalah dengan orang lain melalui cara-cara yang konstruktif.
Dengan cara ini komunikasi dapat semakin berkembang dan kedekatan relasi
semakin terasa demi kelangsungan hubungan yang telah dilakukan.
B. Asertivitas
1. Pengertian
Asertivitas berasal dari kata assert yang berarti menyatakan atau
menegaskan. Asertif adalah kemampuan untuk untuk menyatakan atau menegaskan
pikiran, perasaan, tindakan, keinginan dan kebutuhan dengan jelas, spesifik , dan
tidak taksa (multi-tafsir), sambil sekaligus tetap peka terhadap kebutuhan orang lain
penyampaian informasi (ide, gagasan, pendapat) secara jelas, jujur dan tepat, serta,
untuk tidak sependapat dengan orang lain tanpa menggunakan alasan yang
emosional, dan bertahan pada jalur yang benar. Orang yang berkomunikasi secara
asertif mampu mempertahankan pendapatnya sambil tetap menghormati orang lain
dan peka terhadap kebutuhannya. Komunikasi asertif ini ditandai oleh satu
pernyataan yang jelas tentang keyakinan, dengan sikap mempertimbangkan pendapat
dan perasaan orang lain (Stein dan Howard,2004: 89).
Komunikasi asertif berarti komunikasi yang bersifat aktif, langsung, jujur,
dan mengkomunikasikan respek terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain
(Alberti dan Emmons,2002:52). Dengan menjadi asertif, kita memandang keinginan,
kebutuhan dan hak kita dengan keinginan dan kebutuhan orang lain. Senada dengan
pendapat di atas, Adams dan Lenz (1995:5) mengatakan bahwa bersikap asertif
berarti bersikap jujur, jelas, mengkomunikasikan yang benar tentang diri sendiri,
sambil tetap menghormati orang lain. Menurut mereka, orang yang bersikap asertif
bergaul dengan jujur dan langsung; ia menyatakan perasaan, kebutuhan, ide, dan
mempertahankan haknya tanpa melanggar hak dan kebutuhan orang lain. Dia juga
otentik, apa adanya, terbuka dan langsung. Ia mampu bertindak demi kepentingan
diri sendiri, mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhannya. Apabila terjadi
konflik dengan orang lain, ia bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua
belah pihak. Ia juga bersedia bekerja sama dengan orang lain dalam memenuhi
Mengenai perilaku asertif, Alberti dan Emmons (2002:41-42) mengatakan :
“Perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut keinginan kita sendiri, untuk membela diri sendiri, tanpa kecemasan yang semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi tanpa menyangkal hak-hak orang lain”.
Orang yang bersikap asertif berarti mengerti apa yang dibutuhkan dan
diinginkan, menjelaskan kebutuhan dan keinginan itu kepada orang lain, bekerja
dengan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan sendiri sambil menunjukkan hormat
kepada orang lain. Ini berarti bahwa orang yang asertif juga mampu dan berani untuk
tidak sependapat dengan orang lain tanpa merasa bersalah dan tanpa merugikan atau
melukai orang lain. Dengan demikian asertivitas dapat meningkatkan kepercayaan
diri serta rasa nyaman dalam mengekspresikan diri. Asertivitas dapat membantu
orang untuk berpikir positif tentang dirinya sendiri sebagai orang yang berharga, dan
menghargai serta menerima orang lain sebagaimana adanya
Dari berbagai definisi diatas, penulis menyimpulkan arti asertif sebagai
kemampuan dan keberanian bertindak demi kepentingan diri sendiri, membela
hak-hak pribadi, dan mengkomunikasikan perasaan, pikiran, keyakinan dan nilai-nilai
sendiri kepada orang lain secara jujur, jelas dan tepat, tanpa merasa cemas atau
bersalah, sambil tetap menghormati orang lain sebagai pribadi berdasarkan
2. Aspek – aspek Asertivitas
Alberti dan Emmons (2002:42) menunjukkan aspek-aspek asertivitas sebagai
berikut:
a. Menunjukkan kesetaraan dalam hubungan manusia.
Ini berarti menempatkan kedua belah pihak secara setara. Orang yang asertif
menempatkan diri setara dengan orang lain. Ia tidak menganggap dirinya lebih tinggi
atau lebih rendah daripada orang lain, tidak menganggap dirinya lebih penting atau
lebih berharga dari pada orang lain, dan mengusahakan setiap pihak diuntungkan
dalam berbagai permasalahan.
b. Bertindak demi kepentingan diri.
Orang yang asertif adalah orang yang memiliki kemampuan untuk membuat
keputusan bagi dirinya sendiri dan bertindak demi kepentingan dirinya. Keputusan
itu berupa keputusan tentang karier, hubungan yang dibangunnya dengan orang lain,
gaya hidup, dan mempertahankan jadwal kegiatan yang telah dibuatnya. Ia juga
mampu berinisiatif mengawali pembicaraan dengan orang lain, dan mengorganisir
kegiatannya. Ia mempercayai penilaian dirinya sendiri, menetapkan tujuan bagi
dirinya sendiri dan berusaha untuk meraihnya.
c. Membela diri sendiri
Orang yang asertif berani mengatakan “tidak” untuk hal-hal yang merugikan
atau tidak sesuai dengan keinginanya. Ia juga berani mengatakan “ya” secara terus
terang untuk hal-hal yang sesuai dengan kepentingannya serta alasannya mengatakan
menanggapi setiap kritik atau cemoohan serta amarah dengan tenang, serta
mengekspresikan dirinya dan membela pendapat yang dianggapnya benar.
d. Mengkomunikasikan perasaan, pemikiran, keyakinan dan nilai-nilai dan
kebutuhan sendiri kepada orang lain secara langsung, jujur, dan tepat tanpa
merasa cemas atau merasa bersalah.
Orang yang asertif menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan,
pemikiran, keyakinan, dan nilai-nilai sendiri. Karena itu, ia dapat mengungkapkan
perasaan-perasaan, pemikiran, keyakinan dan nilai-nilai yang dimilikinya apa
adanya, tanpa merasa cemas atau merasa bersalah. Ia sanggup mengungkapkan
ketidak setujuan, amarah, persahabatan, mengakui perasaan takut dan cemas,
bersikap spontan dengan nyaman.
e. Mempertahankan hak-hak pribadi
Hal ini berkaitan dengan kemampuan sebagai warga negara, sebagai
konsumen, sebagai anggota sebuah organisasi atau sekolah atau kelompok kerja,
sebagai partisipan dalam peristiwa umum untuk mengekspresikan opini, untuk
bekerja bagi pembaharuan, dan untuk menanggapi pelanggaran haknya atau orang
lain.
f. Menghargai orang lain sebagai pribadi
Orang yang asertif mempertahankan hak-haknya dan mengungkapkan dirinya
dengan tetap berlaku adil dan hormat terhadap orang lain. Ia tetap memperhitungkan
menyakiti orang lain, tanpa menjuluki, mengintimidasi, memanipulasi, atau
mengendalikan orang lain.
Dari apa yang dikatakan oleh Alberti dan Emmons, Ros Jay (2005:97) juga
mempunyai pandangan yang sedikit berbeda tentang unsur asertivitas yakni:
a. Menunjukkan rasa hormat pada orang lain
Orang yang asertif senantiasa menunjukkan rasa hormatnya kepada orang
lain, dan rasa hormat ini mesti datang dari kedua belah pihak. Jika ingin dihormati
dan mendapat perlakuan yang adil dari orang lain, maka sebaliknya kita juga harus
menghormati dan memperlakukan orang lain dengan adil. Dalam hal ini, kita
memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengeluarkan pendapat tanpa
membentak atau mengkritik pendapatnya dengan tidak adil, berbicara dengan tenang
dan tidak berat sebelah ketika kita tidak setuju pada pendapat seseorang tanpa harus
meninggikan suara atau mengeluarkan ungkapan yang bersifat kasar.
b. Bersikap jujur.
Bersikap jujur adalah hak setiap orang. Kita dapat bersikap jujur untuk
mengekspresikan baik perasaan negatif maupun perasaan positif. Maka dari itu
apabila ada hal yang memberatkan dalam mengungkapkan perasaan tidak setuju dan
tidak ingin melakukan sesuatu, maka perlu dikatakan secara jujur. Dengan bersikap
jujur kita akan terlepas dari perasaan bersalah karena menyembunyikan perasaan
yang sebenarnya. Dengan bersikap jujur kita mampu berkata-kata secara terus terang
c. Berani untuk mengatakan “ tidak “
Orang yang bersikap asertif mampu berkata tidak dan mampu memberikan
penjelasan atas penolakan secara singkat, jelas, dan logis. Dengan mengatakan tidak
atas penolakan yang kita lakukan, kita tidak perlu merasa bersalah ataupun meminta
maaf, bila perlu kita dapat memberikan solusi lain yang dapat diterima oleh orang
lain.
3. Manfaat Asertivitas
Asertivitas sangat bermanfaat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Di
bawah ini akan diungkapkan beberapa manfaat asertivitas dalam kehidupan
sehari-hari. Pertama, asertivitas membuka kemungkinan baru memperoleh banyak teman,
dan mampu mempengaruhi orang lain dalam membina hubungan yang lebih akrab
dan hangat serta lebih jujur. Dengan demikian setiap orang semakin mampu untuk
bekerja sama dengan orang lain serta menjauhkan kita dari prasangka dan curiga.
Kedua, dalam menghadapi saat-saat yang menyulitkan dan kurang menyenangkan,
orang yang asertif mampu membuat orang lain merasa dihargai dan diterima, dan
bukan diremehkan ( Stein dan Howard, 2004:99-100). Ketiga, orang yang asertif
tetap percaya diri dan tenang meskipun mendapatkan banyak kritikan, memberikan
kesempatan kepada para pengkritik untuk menyampaikan pendapatnya sambil tetap
mempertahankan pendapatnya sendiri. Keempat, orang yang asertif mampu
menerima kritikan yang sah namun tetap tidak terpengaruh dengan tidak
ke masa depan dan tidak mengingat-ingat masa yang lampau (Hathaway,
2001:33-43).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas
Penulis berpendapat bahwa komunikasi yang asertif dipengaruhi oleh banyak
faktor. Beberapa di antaranya dijelaskan di bawah ini :
a. Konsep diri
Konsep diri adalah keseluruhan gambaran/pandangan/keyakinan dan
penghargaan/perasaan seseorang tentang dirinya sendiri (Sinurat,1993). Konsep diri
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap komunikasi antarpribadi, karena
setiap tanggapan baik berupa perhatian maupun penolakan ataupun celaan dari orang
lain, menyebabkan seseorang memandang dirinya seperti perlakuan yang
diterimanya. Apabila orang mempunyai konsep diri yang positif, maka orang itu
akan memiliki ketrampilan dalam berkomunikasi secara asertif dan mampu
mengungkapkan isi pikirannya dengan baik dan jelas. Sebaliknya apabila orang
mempunyai konsep diri yang negatif, maka orang itu akan memiliki ketrampilan
berkomunikasi yang kurang asertif, maksudnya dalam mengungkapkan ide serta isi
pikirannya tidak jelas, ragu-ragu, bahkan cenderung malu untuk mengungkap diri
apa adanya. Orang yang memiliki konsep diri positif akan mampu berkomunikasi
secara wajar. Ia merasa tidak sulit dalam berbicara dengan orang lain. Ia akan
mampu mengungkapkan perasaannya, berani mengakui kesalahan, mampu menerima
gagasan-gagasan yang berlainan dengan pendapat orang lain. Ia tidak bergantung pada
penilaian orang lain, bahkan ia yakin bahwa apa yang diungkapkan itu penting.
Menurut Brooks dan Emmert (Rakhmat, 1993), orang yang mempunyai
konsep diri yang positif ditandai oleh lima hal, yakni; (1) yakin akan kemampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi; (2) merasa setara dengan orang lain; (3)
dapat menerima pujian tanpa harus merasa malu; (4) menyadari bahwa setiap orang
mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya
disetujui oleh masyarakat umum; (5) mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup
mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha
mengubahnya.
Berbeda dengan orang yang mempunyai konsep diri positif, orang yang
mempunyai konsep diri negatif akan mempunyai ketrampilan dalam komunikasi
secara asertif yang rendah. Mengenai hal ini Sinurat (1993) berpendapat bahwa
orang yang konsep dirinya negatif cenderung mengalami kesukaran dalam membuka
diri , dalam berbicara dengan orang lain, dalam mengakui kesalahan, dalam
mengungkapkan perasaan, dalam menerima kritik-kritik yang membangun orang
lain, dan dalam mengemukakan gagasan-gagasan yang berlainan dari pendapat orang
lain. Karena merasa tidak nyaman, ia takut jangan-jangan orang lain tidak
menyukainya jika ia memiliki pendapat yang berbeda.
Brooks dan Emmert (Rakhmat,1993) mengatakan ada lima tanda orang yang
1) Peka terhadap kritik; orang yang mempunyai konsep diri yang negatif tidak tahan
terhadap kritik dan mudah marah. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi
sebagai usaha untuk memjatuhkan harga dirinya. Dalam berkomunikasi, orang
yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog terbuka, dan
cenderung bersikeras dalam mempertahankan pendapatnya dengan logika yang
keliru.
2) Sangat responsif terhadap pujian; meskipun ia berpura-pura menghindari pujian,
ia tidak menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian.
3) Bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Orang yang mempunyai konsep diri
negatif selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun dan siapa pun.
Mereka kurang pandai dan tidak mampu mengungkapkan penghargaan atau
pengakuan terhadap kelebihan orang lain.
4) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Orang yang mempunyai konsep
diri negatif merasa tidak diperhatikan, sehingga ia bereaksi pada orang lain
sebagai musuh dan tidak dapat mengungkapkan kehangatan dan keakraban
persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan
menganggap dirinya sebagai korban sistem yang tidak beres.
5) Bersikap pesimistis terhadap kompetisi. Hal ini terungkap dalam keengganannya
bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap dirinya tak
b. Kesadaran diri
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenal dan memilah-milah
perasaan, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengapa hal itu dirasakan, serta
mengetahui penyebab munculnya perasaan tersebut (Stein dan Book,2004:73).
Kesadaran diri di sini juga mencakup kemampuan mengenal pikiran, kebutuhan, dan
nilai-nila hidupnya. Dengan kesadaran diri orang akan mengetahui hal-hal yang ada
dalam dirinya dan bagaimana hl itu terjadi. Orang perlu terlebih dahulu menyadari
hal-hal tersebut, barulah ia dapat mengungkapkannya kepada orang lain. Artinya,
orang hanya mungkin mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan, keinginan, dan
nilai-nilai hidup kepada orang lain jika ia mengenal dan menyadarinya. Dengan
kesadaran diri orang juga dimungkinkan mengendalikan diri. Kesadaran diri
bermanfaat untuk berjaga-jaga dan antisipasi, karena orang yang mempunyai
kesadaran diri yang kuat dapat mengetahui saat mereka merasa kurang bersemangat,
mudah kesal, sedih, ataupun bersemangat. Dengan mengetahui hal ini ia dapat
mengantisipasi tindakan dan perilakunya. Tanpa kesadaraan diri orang akan mudah
terjerumus ke tindakan dan perilaku agresif atau pasif yang merugikan dirinya sendiri
dan orang lain.
5. Hambatan-hambatan dalam Mewujudkan Asertivitas
Hambatan dalam mewujudkan asertivitas dalam berkomunikasi terutama
datang dari diri sendiri. Aaron Beck (Alberti dan Emmons, 2002:96-98),
menjabarkan beberapa hambatan yang umum terjadi dalam mewujudkan asertivitas
a. Kecenderungan untuk berpikir kurang baik (negatif) terhadap diri sendiri.
Misalnya, seorang suster yang diminta untuk memimpin ibadat di lingkungan.
Sebenarnya dia memiliki kemampuan untuk melakukan tugas itu. Tetapi dia
merasa kurang mampu, sehingga meminta agar tugas tersebut diberikan kepada
orang lain saja. Ia yakin orang lain lebih mampu dari dirinya. Orang yang selalu
menilai dirinya negatif, tidak mampu mengatakan sesuatu yang benar, karena
merasa dirinya tidak pantas.
b. Kecenderungan untuk membesar-besarkan masalah. Masalah yang
dibesar-besarkan tidak menunjang perwujudan asertivitas dalam komunikasi karena di
situ akan muncul ketidakjujuran atau manipulasi. Hal ini akan menimbulkan
kemarahan dan ketidakpercayaan dari orang lain.
c. Mengabaikan masalah dan menganggap masalahnya akan hilang dengan
sendirinya. Dengan kata lain, menghindari masalah dan menganggapnya tidak
apa-apa, sehingga masalah dibiarkan begitu saja. Hal ini akan menimbulkan
perasaan tertekan bahkan dendam. Orang yang memiliki perasaan tertekan
ataupun dendam dapat dipastikan tidak mampu mengungkapkan perasaannya
secara asertif melainkan cenderung agresif. Perlu diakui bahwa tidak ada masalah
yang akan selesai dengan sendirinya. Masalah yang dipendam akan bertumpuk
dan akhirnya akan meledak suatu waktu.
d. Keyakinan bahwa hidup ini sudah takdir, sehingga enggan berusaha semaksimal
mungkin. Usaha untuk mencari peluang atau mencoba hal-hal baru menjadi
menjadikan orang “menelan” peristiwa atau keadaan yang dialami dan menerima
dengan pasif kata-kata atau perbuatan orang lain yang merendahkan dirinya dan
tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya.
e. Keinginan untuk menyenangkan orang lain karena 1) membutuhkan persetujuan
atau dukungan, 2) takut kalau-kalau menyinggung perasaan orang lain, 3) takut
kalau mendapat hukuman atau kehilangan, 4) adanya perasaan bersalah, 5)
keinginan mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara, 6) ada perasaan
diwajibkan atau diharuskan karena tugas, dan 7) keinginan untuk mengorbankan
diri demi kepentingan orang lain.
6. Cara-cara Meningkatkan Asertivitas
Asertivitas dapat memampukan setiap orang untuk berkomunikasi dan
membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Stein dan Book
(2004:54-142) menyebutkan cara-cara yang perlu ditempuh untuk meningkatkan asertivitas
sebagai berikut :
a. Mengamati perilaku sendiri. Maksudnya, memeriksa diri apakah sudah merasa
puas dalam menjalin hubungan antarpribadi dengan orang lain, apakah dalam
menanggapi orang lain sudah asertif atau belum. Untuk ini antara lain perlu juga
diperhatikan bahasa verbal dan bahasa non-verbal seperti kontak mata, sikap
tubuh, ekspresi wajah, suara serta isi pesan.
b. Menetapkan tujuan yang realistis bagi diri sendiri. Maksudnya, menilai diri
asertivitas. Target-terget khusus yang dimaksud adalah menentukan hal apa dan
dengan siapa ingin lebih asertif. Untuk itu perlu disadari perasaan yang sedang
dialami dan kebutuhan yang ingin dipenuhi.
c. Memusatkan perhatian pada situasi tertentu. Maksudnya, Pertama, mengingat
dengan jelas rincian peristiwa yang sesungguhnya. Kedua, menggunakan
informasi aktual dan kalau perlu menjelaskan tempat, waktu dan tindakan secara
spesifik. Ketiga, mengakui perasaan-perasaan khusus pada saat kejadian.
Keempat, mengungkapkan pendapat dan reaksi dengan jelas dan tulus dengan
bahasa yang bisa dimengerti oleh lawan bicara.
d. Mengamati model (teladan) yang efektif. Maksudnya, mengamati orang yang
menangani situasi yang sama dengan baik, khususnya gaya atau cara yang
dipakai oleh model tersebut, karena yang terpenting bukan apa yang dikatakan
tetapi bagaimana cara mengatasinya.
e. Membayangkan diri sedang menangani situasi secara asertif. Maksudnya,
mencoba menenangkan diri apabila mulai cemas dan mengganti pikiran-pikiran
yang negatif dengan pikiran-pikiran yang positif. Hal ini dapat diwujudkan
dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang positif atau menampilkan reaksi
positif pada setiap situasi.
f. Meminta bantuan apabila membutuhkannya. Maksudnya, apabila merasa tidak
sanggup menangani situasi secara asertif, perlu dicari bantuan dari orang yang
g. Berani mencoba. Maksudnya, bermain peran untuk melatih dan mempraktekkan
penanganan masalah secara asertif kepada teman dan rekan latihan. Dengan
demikian asertivitas akan menjadi sebuah kebiasaan.
h. Meminta umpan balik dengan orang lain, sehingga dapat mengembangkan
kekuatan (keberhasilan) dan memperbaiki bidang-bidang kelemahan (kegagalan)
dalam asertivitas.
i. Menguji diri sendiri dengan tes “dunia nyata”. Maksudnya, mulai bergerak dari
niat ke tindakan; mempraktekkan asertivitas dalam setiap situasi yang dihadapi.
Yang terpenting adalah secara langsung berlatih berperilaku asertif.
j. Mau dan terus berusaha memperoleh umpan balik dari teman, atau menggunakan
rekaman kaset.
k. Menentukan “pemerkuat sosial’. Maksudnya, meyakini asertivitas sebagai suatu
cara yang dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain, dan
memanfaatkan dukungan dari lingkungan tempat tinggal.
7. Asertivitas dalam Komunitas Religius.
Kebanyakan waktu manusia digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi
dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Dalam berkomunikasi secara asertif,
masih banyak orang yang kurang berani mengungkapkan diri secara asertif karena
dalam dirinya ada rasa takut untuk mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya
dirinya tidak disukai ataupun diterima. Selain itu juga dapat terjadi ada alasan “untuk
membuat pihak lain sakit hati (Suparno, 2005:38). Padahal dengan berkomunikasi
secara non-asertif ataupun tidak berani mengungkapkan perasaan, ataupun perbedaan
pendapat justru akan mengancam hubungan yang ada karena salah satu pihak merasa
dimanfaatkan oleh pihak yang lain. Seseorang dikatakan mampu berkomunikasi
secara asertif jika dirinya bersikap tulus dan jujur dalam mengungkapkan perasaan,
pikiran dan pendapatnya pada pihak lain sehingga tidak merugikan atau mengancam
integritas pihak lain. Seseorang yang kurang mampu berkomunikasi secara asertif
cenderung akan merugikan pihak lain atau bahkan merugikan dirinya sendiri karena
gagal mengungkapkan perasaan, pikiran dan pendapat ataupun keyakinannya.
Komunikasi asertif menunjukkan adanya pengertian mengenai apa yang
dibutuhkan dan diinginkan, mengkomunikasikan kepada orang lain apa yang menjadi
keinginan dan harapan, bekerja dengan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan
sendiri sambil tetap menunjukkan hormat kepada orang lain. Religius yang mampu
berkomunikasi secara asertif bergaul secara langsung dan jujur. Ia akan secara
langsung dan jujur mengkomunikasikan perasaan, kebutuhan-kebutuhan, dan ide-ide
serta mempertahankan haknya, tetapi dengan cara demikian rupa sehingga tidak
melanggar hak dan kebutuhan orang lain. Meskipun ia dengan tegas
mengkomunikasikan perasaan, kebutuhan, ide-ide, ia akan tetap mempertimbangkan
perasaan dan kebutuhan anggota lain dalam komunitas.
Religius yang mampu berkomunikasi secara asertif dalam komunitas
mempunyai diri otentik, apa adanya dan terbuka, mampu bertindak demi
meminta informasi dan bantuan dari anggota komunitas yang lain bila mana
membutuhkannya. Apabila terjadi konflik dengan anggota komunitas lain, ia akan
bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Anggota
komunitas yang mampu berkomunikasi asertif sadar bahwa ia membutuhkan dan
menginginkan kerja sama dan membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan
anggota komunitas lainnya. Karena itu ia berani bekerja sama dan membantu
anggota komunitas lain dalam memenuhi kebutuhannya. Religius yang
berkomunikasi asertif dalam komunitas mampu untuk tidak sependapat dengan
anggota komunitas lainnya. Ia akan mampu mempertahankan pendapatnya bila
dalam sebuah pembicaraan demi kelangsungan kehidupan komunitas terjadi
kesulitan sambil tetap menghormati pendapat orang lain dan peka terhadap
kebutuhannya.
Komunikasi asertif dalam komunitas bersifat interaktif. Artinya selain
anggota komunitas mengungkapkan diri apa adanya, ia juga mampu menerima apa
yang dikatakan atau yang dirasakan anggota komunitas lainnya tanpa harus bereaksi
dengan cara-cara yang mengingkari hak-hak mereka atas pikiran-pikiran atau
perasaan-perasaan mereka. Komunikasi asertif sebagai perilaku yang muncul dalam
bentuk pernyataan yang menampilkan diri sendiri, yaitu sebuah ungkapan perasaan
dan pengalaman sendiri secara otentik, jujur, dan apa adanya. Anggota komunitas
yang mampu menampilkan dirinya sendiri menunjukkan kesadaran akan dirinya,
bertanggung jawab atas dirinya dan juga sebagai pengendali hidupnya sendiri.
keyakinan, ide-ide, kesukaan, ketidaksukaan, perasaan, minat, reaksi, dan sikap serta
tujuan hidup. Dengan pernyataan diri yang jujur dalam komunikasi di komunitas
secara deklaratif, membuat anggota dikenal, dipahami oleh anggota komunitas
lainnya dengan lebih baik, dan dengan demikian memberikan kemungkinan kepada
anggota komunitas lainnya untuk menjadi lebih jujur dalam membangun relasi yang
akrab dan hangat dengan sesama anggota komunitas lainnya. Hal ini juga
mengundang dan mendorong anggota komunitas untuk berbagi pengalaman hidup
dalam panggilan yang lebih bermakna (Theo Rianto, 2008:91).
Dalam pengungkapan diri yang berkaitan dengan menanggapi permohonan
anggota komunitas lainnya, baik yang dapat dipenuhi maupun yang tidak dapat
dipenuhi. Apabila suatu permintaan dapat diterima, maka anggota komunitas yang
dimintai pertolongan akan menjawab ”ya”. Selanjutnya, apabila permintaan itu tidak
dapat diterima maka anggota komunitas yang dimintai bantuan akan secara jelas
mengkomunikasikan”tidak” jika “tidak” memang menyatakan perasaannya yang
sebenarnya. Anggota komunitas yang mengkomunikasikan penolakan secara jujur
akan menjadi lebih sadar dan memberi jawaban yang tepat secara jelas, sehingga
anggota komunitas lainnya dapat mengerti.
Anggota komunitas religius secara dewasa akan mampu memberi perhatian
serta menyatakan diri yang dapat mencegah konflik dan kesalahpahaman yang
terjadi. Hal ini menyebabkan setiap anggota komunitas tahu lebih awal apa yang
ingin dan dibutuhkan oleh anggota yang lainnya. Pengungkapan diri (keinginan dan
kerjasama serta dukungan dari anggota komunitas lainnya. Dengan
mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan, keyakinan kepada anggota komunitas,
membantu orang lain untuk terlibat, menjauhkan dari hal-hal yang tak terduga, dan
mempersiapkannya menghadapi kemungkinan adanya perubahan-perubahan yang
mungkin saja dapat mempengaruhinya. Pengungkapan diri secara jujur merupakan
kecakapan berkomunikasi yang membantu setiap anggota mengungkapkan keinginan
serta kebutuhannya, khususnya bila hal itu bersangkutan dan akan mempengaruhi
anggota komunitas lainnya. Dengan demikian akan mencegah terjadinya konflik atau
salah paham (Theo Riyanto, 2008:92-93).
Untuk membangun komunikasi asertif dalam komunitas religius, maka setiap
anggota perlu menyadari bahwa komunikasi sangat penting demi kelangsungan
hubungan serta relasi yang baik dan harmonis antar sesama anggota komunitas.
Tanpa komunikasi yang mendalam antara sesama anggota komunitas, maka
komunitas tidak akan terbentuk sebagai komunitas yang rukun dan saling
mendukung. Komunikasi dalam komunitas religius dapat membangun persaudaraan
dalam kesatuan hati dan budi sehingga setiap anggota semakin akrab, rukun, dan
saling bekerjasama baik dalam hidup bersama maupun dalam karya. Dengan
komunikasi yang asertif yang terbuka dan mendalam diharapkan setiap anggota
komunitas semakin mengenal satu sama lain, termasuk pergulatan batin yang
dialami. Dalam situasi seperti inilah kesatuan hati dan budi komunitas menjadi
Dari uraian diatas nampak bahwa komunikasi asertif merupakan komunikasi
yang sangat baik dan positif serta mendukung terciptanya relasi serta hubungan
antarpribadi yang hangat, akrab dan mendalam antara sesama anggota
komunitas,dampaknya meningkatkan pemahaman satu sama lain, terjadi “sharing”
yang saling meneguhkan panggilan masing-masing anggota komunitas. Dengan
berkomunikasi secara asertif anggota komunitas akan semakin mengenal dirinya
dengan baik sehingga dapat bertindak lebih dewasa sejalan dengan apa yang
dirasakan dan dipikirkannya. Hal ini dapat menciptakan komunikasi yang harmonis,
saling memberikan kemerdekaan, kepercayaan, saling memperkuat penghayatan
hidup berkaul, adanya semangat kasih terutama keterbukaan hati, penerimaan,
penghargaan dan pengakuan, mencintai sesama anggota komunitas dengan segala
kelebihan dan kekurangan untuk mengembangkan diri dengan cara-cara yang
menyenangkan serta penghayatan spiritualitas cinta yang berbelaskasih, serta
penghargaan terhadap setiap pribadi anggota komunitas sambil tetap menghargai
perbedaan suku, budaya, serta norma-norma secara sopan tanpa harus merugikan
atau melukai anggota komunitas lainnya.
C. Konggregasi Suster-suster Cinta Kasih Dari Maria Bunda Berbelaskasih
(SCMM ).
1. Sejarah Berdirinya.
Kongregasi SCMM merupakan salah satu lembaga hidup bakti yang didirikan
di `t Heike di Tilburg, Joannes Zwijsen terpanggil untuk membentuk suatu
perkumpulan kecil dalam rangka membantu pelayanan di parokinya. Pastor Joannes
Zwijsen merasa prihatin melihat umatnya yang sebagian besar adalah pekerja
industri tekstil dan buruh harian. Lingkungan sosial dari parokinya sangatlah buruk.
Pada umumnya anak-anak bekerja di pabrik dan bengkel-bengkel. Meskipun mereka
bekerja keras, namun penghasilannya sangat kecil. Menyadari lingkungan yang sulit
dan situasi yang menyedihkan dari umatnya, hati pastor Joannes Zwijsen tergerak
untuk menolong mereka. Beliau mencari jalan dan sarana untuk meringankan beban
mereka. Dengan penuh semangat beliau memutuskan untuk mendirikan suatu
lembaga karya kasih. Pastor Joannes Zwijsen mengatakan:
“Sejak ditunjuk sebagai pastor di paroki ini pada tahun 1832, saya memutuskan untuk mendirikan suatu lembaga karya kasih yang bekerja di paroki saya, secara khusus bagi kesejahteraan anak-anak miskin yang tidak mempunyai sarana untuk menerima pendidikan, bahkan yang paling dasarpun. Saya bermaksud untuk mendirikan sebuah sekolah, dimana anak-anak miskin itu dapat belajar membaca, menulis, menjahit dan merajut (Keusters,1989:8).”
Keprihatinan dan keputusan pastor Joannes Zwijsen diwujudkan dengan
sederhana. Pada tanggal 23 Nopember 1832, beliau membawa tiga gadis pertamanya
ke suatu rumah kecil di daerah `t Heike Tilburg. Mereka itu adalah Marie Michael
Leysen, Maria Catharina Jansen dan Maria Theresia Smits. Mereka inilah yang
kemudian menjadi suster pertama di konggregasi SCMM. Dengan keyakinan besar
akan penyelenggaraan Ilahi dan keinginan yang tulus untuk meringankan
Dalam perjalanan waktu, pastor Joannes Zwijsen hendak membatasi jumlah
susternya hanya tiga belas saja, sebagaimana jelas dari kutipan berikut ini ”....dengan
maksud ini telah dilengkapi suatu rumah dengan alat rumah tangga untuk
menampung tiga belas suster,dan kuasa Gerejawi memutuskan bahwa tak pernah
boleh diterima lebih dari tiga belas suster” (Keusters, 1989:10). Namun dalam
kepercayaannya yang teguh akan bimbingan Allah dan Penyelenggaraan Ilahi yang
penuh kasih, menyebabkan beliau kemudian meninggalkan rencana awalnya dan
menyetujui perkembangan yang cepat dari konggregasi yang didirikannya.
Setelah pendirian rumah cabang yang pertama di Delf, pastor Joannes
Zwijsen menyetujui sejumlah biara baru didirikan. Sejalan dengan dibukanya biara
tersebut, karya kasih juga semakin diperluas. Selain pendidikan, karya-karyanya
sekarang mencakup pemeliharaan orang sakit, orang lanjut usia, anak-anak yatim
piatu, serta berbagai bentuk pelayanan lainnya.
Pastor Joannes Zwijsen memberi nama konggregasi yang didirikannya itu,
SORORUM CARITATIS A NOSTRA DOMINA MATRE MISERICORDIAE
(Suster-suster Cinta Kasih dari Maria Bunda Berbelaskasih). Alasan beliau memberi
nama konggregasi tersebut “suster-suster cinta kasih“ adalah karena keutamaan cinta
kasih dan belas kasih harus diselenggarakan secara khusus dalam konggregasi.
Ditambah lagi dengan “bunda yang berbelaskasih” karena konggregasi didirikan
dalam perlindungan Maria Bunda Berbelaskasih (Keusters, 1989:11). Para suster
SCMM diharapkan diilhami oleh Maria, bunda mereka yang begitu penuh kebaikan
Semboyan konggregasi SCMM adalah “Cinta Tanpa Pamrih”, yang berarti
suster-suster dari konggregasi ini harus mengabdi sesama manusia berdasarkan cinta,
tanpa mencari kepuasan diri, kehormatan atau keuntungann diri sendiri
(Keusters,1989:12). Lambang kongregasi menunjukkan gambar Maria Bunda
Berbelaskasih. Bunga lili pada kedua sisi Maria dan sebuah hati yang menyala di
atasnya, melambangkan kemurnian dan cinta. Kemudian di kedua sisi lambang
tersebut, tergambar dua malaikat membawa semboyan “Cinta Tanpa Pamrih”.
Pastor Joannes Zwijsen menghendaki agar kongregasi yang didirikannya
menjadi suatu komunitas apostolik. Komunitas apostolik yaitu komunitas yang ikut
terlibat dalam karya pelayanan. Juga berarti secara langsung terjun di tengah-tengah
dunia dan mengikuti perkembangannya. Tujuan kongregasi sebagaiman dirumuskan
beliau adalah meneladani Yesus Kristus dalam semangat kesederhanaan dan cinta
penuh belaskasih melayani terutama kaum miskin, tertindas, dan berkekurangan
(Keusters,1989:13).
Pada tanggal 17 April 1942, pastor Joannes Zwijsen ditahbiskan menjadi
Uskup di `s-Hertogenbosch. Sejak itu beliau lebih dikenal dengan panggilan sebagai
uskup. Beliau meninggal dunia pada tanggal 16 Oktober 1877. Pada waktu itu
kongregasi SCMM telah memiliki anggota sebanyak 1500 orang yang telah tersebar
2. Spiritualitas Kongregasi SCMM
Spiritualitas dipahami sebagai sesuatu yang melatarbelakangi bentuk atau
cara hidup seseorang dan berusaha menjadi dirinya sesuai dengan yang
dicita-citakannya. Menurut Binawiratma (Paradda, 2002), spiritualitas bukan hanya
menyangkut hidup rohani, tetapi menyangkut keseluruhan kehidupan manusia, yaitu
bagaimana ia menyadari dan menghayati hidupnya, baik dalam relasinya dengan
Allah maupun dengan sesamanya.
Spiritualitas kongregasi SCMM tidak terlepas dari spiritualitas hidup
Mgr.Joannes Zwijsen sebagai pendiri kongregasi ini, yaitu tersentuh oleh injil
belaskasih Allah dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Melayani sesama
manusia terutama kepada mereka yang malang, dan tertindas, yang didasari oleh
semangat belaskasih dan cinta tanpa pamrih.
Spiritualitas pendiri inilah yang menjiwai seluruh karya pelayanan para suster
SCMM. Maksudnya, pelayanan para suster SCMM dilaksanakan dengan semangat
belaskasih tanpa membeda-bedakan suku, agama maupun status ekonomi. Pelayanan
dengan semangat belaskasih, berarti tidak mencari keuntungan diri atau kepuasan diri
sendiri. Pelayanan melulu demi kesejahteraan hidup manusia dan perluasan kerajaan
Allah di dunia.
Mgr. Joannes Zwijsen mengarahkan kongregasinya menurut spiritualitas
St.Vincentius de Paul, yaitu “Meninggalkan Tuhan demi Tuhan”. Maksudnya, bahwa
apabila para suster sedang berdoa dan tiba-tiba ada seseorang tyang sangat