• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi tingkat asertivitas para suster konggregasi SCMM propinsi Indonesia tahun 2008/2009 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Deskripsi tingkat asertivitas para suster konggregasi SCMM propinsi Indonesia tahun 2008/2009 - USD Repository"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

Martina Ina Kii

041114028

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

JOGJAKARTA

2010 SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

(2)
(3)
(4)

Saat aku mencari Allah dan membiarkan diriku ditemukan

Allah maka aku menemukan segala-galanya. Namun, saat aku

mengejar segala-galanya yang kudapatlan adalah kehilangan

segala-galanya meskipun Allah tetap setia dan mencariku.

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Christ Jesus My God, true friend and Savior 2. Kongregasi SCMM

3. Bapak dan ibuku dan keluarga tercinta yang telah mendoakan dan mendukungku.

(5)
(6)
(7)

DESKRIPSI TINGKAT ASERTIVITAS PARA SUSTER KONGREGASI SCMM PROPINSI INDONESIA

TAHUN 2008/2009

Martina Ina Kii

Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma

2010

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan komunikasi asertif dari para suster kongregasi SCMM. Pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah: 1) Bagaimana tingkat asertivitas para suster SCMM dalam berkomunikasi? 2) Apakah ada perbedaan yang signifikan antara tingkat asertivitas para suster yang belum berkaul kekal dan yang sudah berkaul kekal dalam berkomunikasi?

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan komparatif. Adapun alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner komunikasi asertif yang disusun sendiri oleh peneliti. Responden penelitian adalah para suster kongregasi SCMM propinsi Indonesia yang berdomisili di Medan. Data yang diperoleh dianalisis melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menentukan skor dari masing-masing alternatif jawaban dan menghitung total skor yang sudah diberikan oleh responden. 2) Menentukan penggolongan kualifikasi komunikasi asertif seluruh responden berdasarkan pendapat Azwar (1999: 108) yakni kategori sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. 3) Untuk menguji perbedaan tingkat daya beda komunikasi asertif menggunakan rumus t-test.

(8)

THE DESCRIPTION OF THE ASSERTIVENESS LEVEL AMONG THE INDONESIAN PROVINCE

SISTERS OF THE CONGREGATION OF SCMM 2008/2009

Martina Ina Kii

Guidance and Counseling Study Program Sanata Dharma

2010

This research aimed to describe assertive communication among Sisters of SCMM Congregation. The questions of the research are: 1) How the assertiveness level takes place among SCMM sisters 2008/2009? 2) Are there significant differences between assertiveness level between temporal and perpetual vowed sisters 2008/2009?

This research is descriptive and comparative research. The instrument used is assertive communication questionnaire compiled by the researcher. The respondents were the Sisters of SCMM Congregation of Indonesian province, which are located in Medan. The obtained data were analyzed through the following steps: 1) Defining the score of each alternative answers and calculating the total score which was given by respondents. 2) Determining the qualifications of the classification of all respondents based on assertive communication according to Azwar (1999: 108), which is categorized as very low, low, medium, high, and very high. 3) Examining differences in the different levels of assertive communication using the t-test formula.

(9)

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Bapa Maha

Pemurah dan Berbelaskasih atas segala bimbingan dan penyertaan-Nya, yang

menuntun penulis sehingga skripsi ini selesai dengan baik. Begitu besar kasih

Tuhan sehingga Ia selalu menolong dan menopang setiap usaha dan karya

penulis. Walaupun banyak kesulitan, namun penulis tetap tekun,sabar dan setia.

Semuanya itu berkat kekuatan dan penghiburan dari-Nya. Oleh karena itu, pantas

dan layaklah penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka yang secara

langsung telah memotivasi dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr.M.M. Sri Hastuti, M.Si Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling

sekaligus sebagai dosen utama pembimbing skripsi yang telah dengan sabar

membantu penulis dalam penyusunan skripsi.

2. Para dosen program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata

Dharma yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu selama penulis

menjalani masa perkuliahan di Universitas Sanata Dharma.

3. Pimpinan kongregasi SCMM propinsi Indonesia yang telah memberikan

kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk menimba ilmu

pengetahuan di Universitas Sanata Dharma.

4. Pimpinan Komunitas (Sr.Martha Chandra) dan para suster SCMM Komunitas

St. Sesilia Yogyakarta yang memberikan dukungan dan perhatian dengan

caranya masing-masing. Secara khusus Sr.Yuliana Apu Day yang sungguh

(10)

Fidelia, Sr Hubertine, Sr Patricia di Sibolga yang dengan setia menyemangati

penulis untuk tetap sabar dan gembira dalam penyelesaian skripsi ini.

6. P.Mateus Mali CsSR dan P.Silvester Nusa, CsSR , P. Felix OCD, yang selalu

memberi banyak buah pemikiran untuk kelanjutan penyelesaian skripsi ini.

7. Para sahabatku: Fr Miguel de Lemos CMF, Fr Anton CMM , Br. Christ SVD,

Ocha, Isabella, Lopez, Agnez ( Sheshe), Mas Sigit, Sepry, Mas Bismo dan

Mas Pikal, Trias, Deny, Sr Saulina FdCC, Sr.Eva ADM dan Sr.Hilaria ADM,

Ria Murdani- Klaten, Elshinta, Tyan, yang dengan caranya masing-masing

memberikan dukungan.

8. Orang tua (Papa dan mama), Pater Hery CsSR, Ka Fonza thanks atas segala

doa dan dukungannya. Adekku Nini di Bali yang dengan caranya yang jutek

selalu menanyakan kapan selesai kuliah, dan saudara-saudariku yang selalu

memberikan dukungan lewat doa-doa mereka.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut mempunyai

andil dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga segala kebaikan, perhatian, serta dukungan yang telah mereka

(11)

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. v

D. Manfaat Hasil Penelitian……….. 7

E. Definisi Operasional………. 7

BAB II. KAJIAN TEORITIS……….. ……… 9

4. Langkah-langkah Berkomunikasi………... 16

B. Asertivitas………..…….………. 18

1. Pengertian……….. ……….... 18

2. Aspek – Aspek Asertivitas……….. ………... 21

3. Manfaat Asertivitas………...………... 24

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Asertivitas………….………... 25

5. Hambatan-hambatan dalam Mewujudkan Asertivitas………. 28

(12)

1. Sejarah Berdirinya……….. ………. 37

2. Spiritualitas Kongregasi SCMM……….. 41

3. Kharisma Kongregasi SCMM………. …… 42

4. Keanggotaan Religius dalam Biara………... 43

5. Hidup Berkomunitas dalam Keanekaragamaan..………. 48

D. Tinjauan Penelitian lain yang Relevan………... 52

BAB III. METODE PENELITIAN………. ………... 54

A. Jenis Penelitian..……. ………... 54

B. Responden Penelitian.……….... 55

C. Instrumen Pengumpulan Data………... 57

1. Kuesioner Komunikasi Asertif….………... 57

2. Kisi-kisi Komunikasi Asertif… ……….. 60

3. Penentuan Skor………. ………... 61

4. Uji Coba Kuesioner………. ……….. 61

5.Validitas dan Reliabilitas Kuesioner……….. 62

5.1. Validitas Kuesioner...………….. ………. 62

5.2. Uji Daya Beda Item Kuesioner……… 63

5.3. Reliabilitas Kuesioner………….………. …… 66

D. Teknik Analisis Data………..………... 67

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 72

A. Kualifikasi Komunikasi Asertif para suster SCMM ……… 72

B. Pembahasan……. ………... 77

1. Asertivitas para suster yang belum Berkaul Kekal ………. 80

2. Asertivitas suster yang sudah Berkaul Kekal..……….... 82

(13)

Lampiran 2 : Hasil Uji Coba……….. 97

Lampiran 3 : Uji Homogenitas Varians …..……… 105

Lampiran 4 : Tabulasi Data Skor Komunikasi Asertif………. 106

Lampiran 5 : Uji beda Kualifikasi Komunikasi Asertif……… 107

Lampiran 6 : Hasil T – test Penelitian………109

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kesadaran setiap orang akan pentingnya berkomunikasi dalam

berbagai bidang kehidupan semakin meningkat. Pentingnya berkomunikasi

membentuk pribadi setiap orang untuk saling pengertian dalam menumbuhkan relasi

dan membantu perkembangan intelektual dan sosial. Selain itu melalui komunikasi

dengan orang lain, kita semakin mengenal diri dan membentuk pribadi untuk

mengenal dan menemukan diri sendiri.

Kaum religius dipanggil untuk membangun komunitas persaudaraan, dengan

meniru gereja perdana (Kis, 4: 32). Terpanggil untuk hidup berkomunitas artinya

mau menjadi saksi cinta kasih, baik bagi sesama maupun bagi dirinya sendiri. Kaum

religius yang dipanggil untuk hidup berkomunitas, pertama-tama bukan atas dasar

rasa suka atau pun kecocokan satu sama lain, tetapi atas dasar panggilan yang sama

untuk mewartakan cinta Allah bagi sesama. Komunitas yang dibangun itu

membutuhkan sarana untuk mengungkapkan pewartaan yakni komunikasi antar

pribadi.

Komunikasi antar pribadi tidak cukup sampai pada taraf hati atau perasaan

saja, namun idealnya sampai pada taraf hubungan puncak (Supratiknya, 1995 : 34).

Artinya, komunikasi tersebut telah berkembang begitu mendalam sehingga kedua

(15)

Komunikasi yang sampai pada taraf hubungan puncak ditandai dengan adanya

kejujuran, keterbukaan, dan saling percaya yang mutlak dilakukan oleh kedua belah

pihak. Komunikasi yang sampai pada taraf hubungan puncak ini menghilangkan

rasa takut, rasa khawatir serta menjadikan setiap orang atau pribadi merasa bebas

untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.

Komunikasi yang sampai pada taraf puncak dapat menjadi suatu kelebihan

bagi setiap suster SCMM di dalam memelihara panggilan sebagai religius. Namun

demikian, menurut pengamatan penulis, komunikasi yang sampai pada taraf puncak

masih merupakan harapan dari para suster SCMM belum terwujud sepenuhnya, dan

masih terus diperjuangkan secara bersama-sama. Taraf ini belum dapat dicapai

karena masih banyak hambatan dalam berkomunikasi, khususnya dalam

mengungkapkan pikiran dan perasaan secara bebas. Komunikasi menjadi terhambat

dan macet karena komunikan merasa tak berdaya, dan tidak punya kemampuan

untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Karena banyaknya hambatan dalam

berkomunikasi, maka setiap suster masih perlu terus belajar agar dapat

mengkomunikasikan diri secara efektif. Untuk mencapai komunikasi yang sampai

pada taraf puncak ini, setiap orang hendaknya menyadari bahwa makna kata tidak

hanya terdapat dalam arti kata itu sendiri, namun juga pada siapa yang

mengatakannya, disampaikan untuk siapa, bagaimana suasana penyampaiannya, dan

(16)

Selain itu komunikasi juga terhambat karena kebebasan yang tidak terkontrol.

Maksudnya dalam mengungkapkan pikiran, perasaan dan dalam bertindak tanpa

mempertimbangkan perasaan atau pendapat orang lain. Hal ini menunjukkan adanya

kecenderungan memaksakan kehendak kepada orang lain, dan ada keinginan untuk

menang sendiri, serta menggunakan rasionalisasi bahwa sikapnya sudah benar karena

percaya bahwa pendapat dan perasaan yang telah diungkapkannya secara terus

terang. Sikap seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap agresif, yaitu sikap yang tidak

menghormati pendapat orang lain, dan juga kurang peduli pada kebutuhan dan

perasaan orang lain. Orang yang agresif akan memaksakan pendapat dan

keinginannya supaya diterima dengan cara mencemooh, mengancam, dan

memanipulasi (Stein dan Howard, 2004 : 93).

Salah satu bentuk komunikasi yang dapat membangun komunitas sampai

pada tingkat hubungan puncak adalah komunikasi yang asertif. Komunikasi yang

asertif adalah komunikasi yang mampu menyampaikan ide, pendapat, perasaan yang

secara jelas, tulus dan jujur, dan singkat sehingga penerima pesan dapat memahami

maksud pengirim pesan. Kemampuan untuk menyampaikan ide, pendapat, dan

perasaan secara jelas, singkat, tulus dan jujur hanya dapat dicapai apabila komunikan

sungguh merasa bebas dan penuh percaya tanpa rasa takut atau pun rasa khawatir.

Sikap saling percaya dapat diwujudkan apabila setiap orang mampu berpikir

menang-menang. Berpikir menang-menang adalah suatu kerangka pikiran dan hati

yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam suatu interaksi manusia dan

(17)

perasaan tak berdaya, dan juga tanpa merasa dikuasai oleh orang lain (Covey, 1997 :

201).

Keberhasilan yang optimal dalam setiap keinginan atau cita-cita, hanya akan

dicapai oleh orang-orang yang bersangkutan dan mau bekerjasama dengan orang

lain, dan bukan sebaliknya dengan mengorbankan atau menyingkirkan orang lain.

Hal ini sejalan dengan pandangan Stein dan Howard (2004:9) yang mengatakan

bahwa hubungan kita akan menjadi lebih erat, jika masing-masing kita saling

menghormati pendapat orang lain, sehingga pertentangan dapat terselesaikan dan

kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.

Penulis menyadari asertifitas penting dalam hidup berkomunitas. Asertifitas

dapat membangun komunikasi sampai pada hubungan puncak. Komunikasi yang

demikian ini menjadi kekhasan untuk memelihara panggilan kaum religius,

khususnya para suster SCMM. Apapun posisi seorang religius, ataupun profesi dan

bentuk hidup yang dipilih serta di mana pun ia berada, ia tetap membutuhkan

komunikasi yang asertif.

Konggregasi suster SCMM (Suster-Suster Cintakasih dari Maria Bunda

Berbelaskasih) hidup dan berkarya dengan semangat cinta tanpa pamrih. Ini

menunjukkan bahwa para suster mengakui semua manusia serupa, sederajat yang

mesti diterima dan dicintai. Sebagai manusia yang serupa dan sederajat, maka

manusia yang satu tidak lebih penting, tidak lebih berharga dari yang lain. Oleh

karena itu tidak ada alasan untuk menganggap orang lain dengan segala

(18)

Dalam konstitusi kongregasi SCMM artikel 20 dikatakan “kita menerima

kewajiban untuk memberikan diri kita seutuhnya kepada sesama manusia dimanapun

kongregasi mengutus kita”. Kita dapat memahami dan merasakan apa yang dirasakan

orang lain dengan memberi diri dan menanggapinya dengan penuh kesabaran, rasa

hormat, dan penghargaan. Hal ini menunjukkan bahwa para suster yang tergabung

dalam kongregasi SCMM diharapkan menyadari dan memiliki kemampuan untuk

memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain dan menanggapinya

dengan penuh kesabaran, rasa hormat dan penghargaan. Ini berarti bahwa para suster

diharapkan menguasai komunikasi yang asertif.

Semakin lama orang bergabung dalam kehidupan membiara, semakin orang

diharapkan menghayati semangat hidup yang dicita-citakan oleh kongregasi.

Demikian pula halnya dengan seorang suster SCMM. Seorang suster yang sudah

lebih lama bergabung dalam kongregasi SCMM diharapkan lebih menghayati

spiritualitas kongregasi dari pada suster yang baru bergabung. Seorang suster SCMM

yang sudah berkaul kekal diharapkan mempunyai penghayatan yang lebih baik

terhadap spiritualitas semangat belaskasih dan cinta tanpa pamrih jika dibandingkan

dengan suster yang belum berkaul kekal.

Penghayatan terhadap spiritualitas belaskasih dan cinta tanpa pamrih akan

tampak dalam perilaku sehari-hari, yaitu dengan mencintai dan mengakui kesetaraan

dengan orang lain. Pengakuan akan cinta dan kesetaraan ini mendorongnya untuk

mencintai dan menempatkan diri setara dengan orang lain. Artinya, dia tidak

(19)

rendah dari orang lain. Hal ini membuatnya mampu mengungkapkan diri apa adanya

sambil tetap mencintai dan menghargai orang lain yang serupa dengan dirinya.

Kurangnya kemampuan berkomunikasi secara asertif dapat menghambat

orang untuk bekerja sama dalam kelompok maupun dalam komunitas. Akibatnya

akan muncul kecenderungan untuk menarik diri dari orang lain, atau kecenderungan

untuk mengabaikan dan meremehkan orang lain. Sikap seperti ini sangatlah tidak

pantas sebagai seorang yang hidup dan bekerja dalam kelompok atau komunitas.

Mengingat pentingnya komunikasi yang asertif bagi pertumbuhan dan

panggilan para suster SCMM, penulis ingin memperoleh gambaran mengenai tingkat

komunikasi yang asertif dari para suster kongregasi SCMM.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendiskripsikan tingkat asertivitas para

suster SCMM dalam berkomunikasi. Secara rinci, pertanyaan yang ingin dijawab

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tingkat asertivitas para suster SCMM tahun 2008 / 2009?

2. Apakah ada perbedaan yang signifikan antara tingkat asertivitas para suster yang

(20)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui tingkat asertivitas para suster SCMM pada tahun 2008 / 2009.

2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara tingkat asertivitas

para suster yang belum berkaul kekal dan suster yang sudah berkaul kekal

anggota kongregasai SCMM pada tahun 2008 / 2009.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Semua suster yang diserahi tugas sebagai formator. Hasil penelitian ini dapat

memberikan masukan untuk mengembangkan program pembinaan demi

berkembangnya kemampuan berkomunikasi secara asertif para suster SCMM.

2. Peneliti dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bekal untuk

melaksanakan tugas dalam pendampingan para suster.

E. Definisi Operasional

1. Deskripsi merupakan pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara

jelas dan terinci (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1988).

2. Asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan diri seperti pikiran, ide,

pendapat, perasaan, kebutuhan, keinginan, dan tindakan secara jelas, tulus dan

(21)

3. Komunikasi asertif adalah kemampuan dan keberanian dalam menyampaikan

informasi baik pikiran, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai sendiri kepada orang

lain secara jujur, jelas dan tepat sambil tetap menghormati orang lain sebagai

pribadi.

4. Konggregasi adalah sebuah lembaga hidup bakti yang dijiwai oleh persekutuan

orang-orang yang hidup dalam karya, dan perutusan yang dijiwai oleh Roh Allah

sendiri.

5. Komunitas religius adalah suatu persekutuan yang dipanggil untuk hidup dalam

kebersamaan yang didasari oleh semangat injil. Komunitas berasal dari komunitas

kristiani yang didalamnya ada persaudaraan yang ditandai dengan “ sharing “,

dimana setiap anggota mau berbagi bersama dalam seluruh diri serta aspek

(22)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Komunikasi

1. Pengertian

Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian informasi (pesan, ide,

gagasan) dari satu pihak kepada pihak yang lain agar terjadi saling mempengaruhi

diantara keduanya. Hal ini sejalan dengan pandangan Walgito (1999:65) yang

mengatakan bahwa komunikasi merupakan penyampaian informasi, ide, atau

pemikiran, pengetahuan, konsep dan hal-hal lain kepada orang lain secara timbal

balik, baik sebagai pengirim pesan maupun sebagai penerima pesan. Pada umumnya

komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti

oleh kedua belah pihak. Maksudnya setiap pesan yang tertangkap oleh penerima

merupakan bentuk komunikasi yang membentuk hubungan antara pengirim dan

penerima pesan.

Selain makna komunikasi seperti yang terungkap dalam pengertian di atas,

secara luas komunikasi juga dapat diartikan sebagai bentuk tingkah laku seseorang

baik verbal maupun non verbal yang ditanggapi orang lain. Maksudnya, komunikasi

yang terungkap bukan hanya lewat kata-kata lisan dan tulisan, tetapi juga berupa

komunikasi non verbal seperti gerak tubuh, sentuhan, ekspresi wajah, volume suara

dan intonasi yang dapat meningkatkan pemahaman lewat apa yang terungkap dalam

(23)

mengkomunikasikan perasaan perlu diperhatikan dan diusahakan agar pesan

non-verbal yang terlihat cocok dengan pesan yang disampaikan secara non-verbal. Dengan

adanya pemahaman dari kedua belah pihak, maka akan sangat menolong dalam

membangun relasi yang hangat dan kerja sama yang efektif. Setiap bentuk tingkah

laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga merupakan sebentuk komunikasi

(Supratiknya, 2008).

Adapun komunikasi yang terjalin antara seorang dengan orang lain akan

mempengaruhi orang lain, sehingga orang yang diajak untuk berkomunikasi dapat

memberikan umpan balik yang berupa sanggahan atau persetujuan bahkan terjadi

perubahan tingkah laku. Komunikasi juga dapat mengubah sikap orang lain, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi itu sendiri berhubungan dengan

perilaku manusia dan kepuasan akan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan

orang lain.

Menurut Lunandi (1994:34) “komunikasi merupakan usaha dalam hidup

pergaulan untuk menyampaikan isi hati atau pikiran dan untuk memahami isi hati

atau pikiran orang lain dalam berkomunikasi”. Setiap orang yang menjalin hubungan

relasi dengan orang lain membutuhkan komunikasi yang baik agar hubungan

berelasi dan kerjasama semakin baik dan membuat setiap orang yang terlibat

didalamnya berkembang dalam aspek intelektual, sosial dan semakin mengenal

dirinya sendiri. Sedangkan De Vito (1997:23) mengungkapkan bahwa komunikasi

lebih mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan

(24)

tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Maksudnya, dalam

berkomunikasi gangguan tidak dapat dihindari namun gangguan itu dapat dikurangi

dengan cara menggunakan bahasa yang benar dan tepat serta mudah dipahami,

mempelajari ketrampilan mengirim dan menerima pesan, meningkatkan ketrampilan

mendengarkan dan menerima serta mengirimkan umpan balik. Sehingga proses

gangguan dalam pengiriman dan penerimaan pesan dapat diatasi, dan kedua belah

pihak dapat menumbuhkan saling pengertian dalam berkomunikasi.

Sebuah komunikasi dapat dikatakan asertif apabila penerima pesan dapat

mengintepretasikan pesan yang diterimanya seperti yang dimaksudkan oleh pengirim

pesan. Maksudnya selama berkomunikasi dengan orang lain, setiap orang secara

sadar maupun tidak, mengamati dan mencermati tanggapan yang diberikan oleh

orang lain sehingga pesan yang dikirim dan diterima sungguh dipahami sehingga

komunikasi berlajan lancar dan tidak tersendat. Dengan berkomunikasi setiap orang

berusaha memperbaiki pemahaman tentang sesuatu hal, lingkungan realitas ataupun

dunia sekitarnya. Berkomunikasi secara asertif semakin mempererat jalinan relasi

yang telah dibangun, dan setiap orang merasa diterima dan dapat menerima orang

lain.

Dari beberapa pengertian di atas disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu

penyampaian informasi, ide atau pun gagasan, pengetahuan, konsep dan lain-lain

yang merupakan isi hati seseorang dan memahami isi hati orang lain secara timbal

(25)

sendiri, menyiapkan pesan-pesan yang akan disampaikan kepada orang lain berupa

ide, pendapat, ataupun gagasan yang dapat memperkaya diri sendiri dan orang lain.

2. Tujuan Komunikasi

De Vito (1997:30-31) mengungkapkan ada empat tujuan yang perlu

diketahui dalam berkomunikasi yakni:

a. Menemukan

Tujuan dalam berkomunikasi menyangkut penemuan diri. Maksudnya,

seseorang yang berkomunikasi dengan orang lain mendapat umpan balik, dan dari

umpan balik itulah orang belajar mengenal dirinya sendiri mengenai emosi, pikiran,

kehendak, dan cita-cita. Dalam berbicara orang belajar menggunakan bahasa yang

baik dan benar, memberi umpan balik yang dapat dipahami orang lain serta

mengenal dan menemukan kemampuan diri yang dimiliki. Dari apa yang telah

dipelajari tentang diri sendiri dan dari orang lain selama berkomunikasi, khususnya

dalam perjumpaan antarpribadi kita semakin diperkaya. Dengan berbicara tentang

diri sendiri kepada orang lain kita akan memperoleh umpan balik yang berharga

mengenai perasaan, pemikiran dan perilaku.

b. Berhubungan

Dalam berkomunikasi kita berhubungan dengan orang lain, membina dan

memelihara hubungan yang baik dan benar. Kita ingin mendengarkan dan

(26)

banyak waktu dalam berhubungan dengan orang lain untuk membina dan

memelihara hubungan sosial.

c. Meyakinkan

Dalam berkomunikasi orang yang diajak berbicara dapat meyakinkan kita

agar kita mengubah sikap dan perilaku kita. Kita dapat menghabiskan banyak waktu

untuk melakukan persuasi antarpribadi baik sebagai sumber maupun penerima pesan.

Maksudnya komunikasi menjadi alat yang sangat baik untuk dapat mengubah sikap,

pemikiran dan perilaku kita lewat berkomunikasi dengan orang lain. Kita semakin

yakin akan kesan orang akan diri kita dalam berkomunikasi.

d. Bermain

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi untuk bermain dan

menghibur diri. Kita dapat mendengar pelawak, pembicaraan, musik, dan film

sebagian besar untuk hiburan. Banyak perilaku komunikasi yang dirancang untuk

menghibur orang lain seperti menceritakan lelucon, mengutarakan sesuatu yang baru,

dan mengaitkan cerita-cerita yang menarik. Maksudnya, komunikasi menjadi alat

untuk mengungkapkan dan menikmati kegembiraan, keceriaan, serta keterlibatan

dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga tidak sekedar jadi penonton.

3. Unsur-unsur Komunikasi

Dalam berkomunikasi ada berbagai cara yang dilakukan agar pesan yang

dikirim bisa sampai kepada si penerima pesan. Seseorang yang menyampaikan pesan

(27)

penerima pesan atau komunikan. Menurut Hardjana (2007:12) ada beberapa unsur

dalam komunikasi yakni:

a. Pihak yang mengawali

Sebelum mengirim pesan terlebih dahulu seseorang akan mengemas pesan

dalam bentuk yang dirasa sesuai dan dapat diterima serta dimengerti oleh penerima.

Dalam pengemasan pesan ini pengirim akan melakukan dua hal yakni; Pertama,

memikirkan sungguh-sungguh perasaan atau gagasan yang hendak disampaikan.

Kedua, menterjemahkan perasaan atau gagasan berupa lambang dalam bentuk

kata-kata atau non-kata-kata yang dirasa dapat menyampaikan makna yang hendak

disampaikan dengan tepat, baik, dan dapat diterima oleh penerimanya

b. Pesan yang dikomunikasikan

Pesan yang akan dikomunikasikan ini adalah pesan yang berarti dan

informatif. Informasi pesan bisa mengandung peristiwa, data, fakta atau penjelasan.

Pesan yang disampaikan bisa menghibur, memberi inspirasi, memberi informasi,

meyakinkan atau mengajak untuk berbuat sesuatu.

c. Media atau saluran

Pesan yang dikirim kepada penerima dapat disampaikan melalui saluran atau

media, secara lisan, tertulis, maupun lewat media elektronik. Maksudnya ada banyak

pesan yang dikirimkan dan kita terima tidak hanya lewat tulisan-tulisan atau

pembicaraan, melainkan lewat televisi dan mendengarkan radio setiap orang akan

(28)

d. Situasi komunikasi

Komunikasi dapat terjadi dalam situasi: tempat, waktu, keadaan iklim serta

psikologis tertentu. Maksudnya situasi yang telah terkondisi seperti tempat yang

telah ditentukan, waktu yang sudah disepakati, serta keadaan cuaca yang dapat saja

mempengaruhi jalannya komunikasi tersebut. Situasi inilah yang dapat menentukan

resmi dan formalnya pembicaraan, namun juga dapat terjadi pembicaraan yang tidak

resmi ataupun formal. Situasi ini dapat mempengaruhi jalannya komunikasi dan juga

hasil dari komunikasi itu sendiri. Sebab situasi dapat membuat pihak-pihak yang

berkomunikasi berperilaku wajar. Karena itu pada waktu berkomunikasi dengan

orang lain, kita tidak hanya mempertimbangkan isi dan cara menyampaikan, tetapi

juga situasi ketika komunikasi akan kita sampaikan.

e. Pihak yang menerima.

Penerima pesan adalah orang yang kita ajak untuk berkomunikasi. Maka dari

itu pesan yang kita kirimkan mestilah yang dapat dipahami oleh si penerima,

sehingga apa yang disampaikan oleh pengirim dapat dipahami secara tepat oleh si

penerima pesan. Dalam hal ini penerima pesan menaruh perhatian akan pesan yang

diterimanya, dan menjadi pendengar yang baik sehingga komunikasi dapat berjalan

lancar dan semakin meningkatkan pemahaman akan kedua belah pihak.

f. Umpan balik

Umpan balik merupakan tanggapan penerima terhadap pesan yang diterima

dari pengirim. Umpan balik dapat bersifat negatif maupun positif. Maksudnya

(29)

menerima pesan secara baik karena penafsiran pesan yang disampaikan tidak

dipahami. Sedangkan umpan balik positif menunjukkan bahwa penerima pesan

menanggapi, menerima dan mengerti pesan secara baik serta memberi tanggapan

sebagaimana yang diharapkan oleh pengirim pesan. Umpan balik positif ini membuat

komunikasi bisa berlanjut dan membuat hubungan kedua belah pihak bertambah

baik.

4. Langkah-langkah Berkomunikasi

Dalam berkomunikasi setiap orang berusaha untuk dapat menjalin relasi yang

baik dengan orang lain sehingga hubungan yang telah terjalin semakin berkembang

dan tiap pribadi yang terlibat didalamnya semakin diperkaya. Untuk memahami

orang lain dalam berkomunikasi ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan.

Menurut De Vito (1997:259) ada lima langkah berkomunikasi yang perlu

dipertimbangkan yakni:

a. Keterbukaan (Openness)

Keterbukaan hal yang terpenting dalam komunikasi antarpribadi. Dimana ada

saling mengungkapkan tanggapan terhadap situasi yang sedang dihadapi, termasuk

kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan oleh orang yang diajak

untuk berkomunikasi. Komunikator yang efektif harus terbuka kepada orang lain

yang diajaknya untuk berinteraksi. Keterbukaan ini akan membantu apakah

(30)

b. Empati (empathy)

Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan dan mengetahui apa

yang dirasakan oleh orang lain pada saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu,

melalui kaca mata itu tanpa kehilangan identitas diri. Empati berbentuk verbal dan

non-verbal dengan merefleksi balik kepada pembicara perasaan, mengadakan

pengungkapan diri yang berkaitan dengan peristiwa dan perasaan orang lain untuk

mengkomunikasikan pengertian dan pemahaman terhadap apa yang sedang dialami

orang itu.

c. Mendukung (supportiveness)

Hubungan antarpribadi yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap

mendukung. Dalam dukungan ini kita dapat menyatakan sikap Deskriptif, yaitu

mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian

mengenai kejadian tertentu. Spontanitas; orang yang spontan dalam berkomunikasi

akan secara terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikiran dan perasaannya.

Provisionalisme; orang bersedia mendengarkan pandangan ataupun pendapat

yang berlawanan dengan orang yang diajak berkomunikasi, serta bersedia mengubah

posisi jika keadaan mengharuskannya. Dukungan merupakan kemampuan untuk

menerima dan dan saling menolong sehingga orang lain merasakan bahwa dirinya

berharga dan diterima.

d. Sikap positif (positiveness)

Dalam mengkomunikasikan sikap positif ada hal yang mesti diperhatikan;

(31)

memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan perasaan positif untuk sesuatu

pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Sikap positif selalu

berfikir bahwa pada dasarnya semua manusia adalah baik. Hal ini diawali dengan

rasa percaya pada diri sendiri, baru kemudian percaya pada orang lain.

e. Kesetaraan (equality)

Komunikasi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada

pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai dan

berharga, bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk

disumbangkan. Perbedaan dan konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami

perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk memahami perbedaan

pendapat dan konflik. Dengan berkomunikasi kita mampu memecahkan konflik dan

bentuk-bentuk masalah dengan orang lain melalui cara-cara yang konstruktif.

Dengan cara ini komunikasi dapat semakin berkembang dan kedekatan relasi

semakin terasa demi kelangsungan hubungan yang telah dilakukan.

B. Asertivitas

1. Pengertian

Asertivitas berasal dari kata assert yang berarti menyatakan atau

menegaskan. Asertif adalah kemampuan untuk untuk menyatakan atau menegaskan

pikiran, perasaan, tindakan, keinginan dan kebutuhan dengan jelas, spesifik , dan

tidak taksa (multi-tafsir), sambil sekaligus tetap peka terhadap kebutuhan orang lain

(32)

penyampaian informasi (ide, gagasan, pendapat) secara jelas, jujur dan tepat, serta,

untuk tidak sependapat dengan orang lain tanpa menggunakan alasan yang

emosional, dan bertahan pada jalur yang benar. Orang yang berkomunikasi secara

asertif mampu mempertahankan pendapatnya sambil tetap menghormati orang lain

dan peka terhadap kebutuhannya. Komunikasi asertif ini ditandai oleh satu

pernyataan yang jelas tentang keyakinan, dengan sikap mempertimbangkan pendapat

dan perasaan orang lain (Stein dan Howard,2004: 89).

Komunikasi asertif berarti komunikasi yang bersifat aktif, langsung, jujur,

dan mengkomunikasikan respek terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain

(Alberti dan Emmons,2002:52). Dengan menjadi asertif, kita memandang keinginan,

kebutuhan dan hak kita dengan keinginan dan kebutuhan orang lain. Senada dengan

pendapat di atas, Adams dan Lenz (1995:5) mengatakan bahwa bersikap asertif

berarti bersikap jujur, jelas, mengkomunikasikan yang benar tentang diri sendiri,

sambil tetap menghormati orang lain. Menurut mereka, orang yang bersikap asertif

bergaul dengan jujur dan langsung; ia menyatakan perasaan, kebutuhan, ide, dan

mempertahankan haknya tanpa melanggar hak dan kebutuhan orang lain. Dia juga

otentik, apa adanya, terbuka dan langsung. Ia mampu bertindak demi kepentingan

diri sendiri, mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhannya. Apabila terjadi

konflik dengan orang lain, ia bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua

belah pihak. Ia juga bersedia bekerja sama dengan orang lain dalam memenuhi

(33)

Mengenai perilaku asertif, Alberti dan Emmons (2002:41-42) mengatakan :

“Perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut keinginan kita sendiri, untuk membela diri sendiri, tanpa kecemasan yang semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi tanpa menyangkal hak-hak orang lain”.

Orang yang bersikap asertif berarti mengerti apa yang dibutuhkan dan

diinginkan, menjelaskan kebutuhan dan keinginan itu kepada orang lain, bekerja

dengan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan sendiri sambil menunjukkan hormat

kepada orang lain. Ini berarti bahwa orang yang asertif juga mampu dan berani untuk

tidak sependapat dengan orang lain tanpa merasa bersalah dan tanpa merugikan atau

melukai orang lain. Dengan demikian asertivitas dapat meningkatkan kepercayaan

diri serta rasa nyaman dalam mengekspresikan diri. Asertivitas dapat membantu

orang untuk berpikir positif tentang dirinya sendiri sebagai orang yang berharga, dan

menghargai serta menerima orang lain sebagaimana adanya

Dari berbagai definisi diatas, penulis menyimpulkan arti asertif sebagai

kemampuan dan keberanian bertindak demi kepentingan diri sendiri, membela

hak-hak pribadi, dan mengkomunikasikan perasaan, pikiran, keyakinan dan nilai-nilai

sendiri kepada orang lain secara jujur, jelas dan tepat, tanpa merasa cemas atau

bersalah, sambil tetap menghormati orang lain sebagai pribadi berdasarkan

(34)

2. Aspek – aspek Asertivitas

Alberti dan Emmons (2002:42) menunjukkan aspek-aspek asertivitas sebagai

berikut:

a. Menunjukkan kesetaraan dalam hubungan manusia.

Ini berarti menempatkan kedua belah pihak secara setara. Orang yang asertif

menempatkan diri setara dengan orang lain. Ia tidak menganggap dirinya lebih tinggi

atau lebih rendah daripada orang lain, tidak menganggap dirinya lebih penting atau

lebih berharga dari pada orang lain, dan mengusahakan setiap pihak diuntungkan

dalam berbagai permasalahan.

b. Bertindak demi kepentingan diri.

Orang yang asertif adalah orang yang memiliki kemampuan untuk membuat

keputusan bagi dirinya sendiri dan bertindak demi kepentingan dirinya. Keputusan

itu berupa keputusan tentang karier, hubungan yang dibangunnya dengan orang lain,

gaya hidup, dan mempertahankan jadwal kegiatan yang telah dibuatnya. Ia juga

mampu berinisiatif mengawali pembicaraan dengan orang lain, dan mengorganisir

kegiatannya. Ia mempercayai penilaian dirinya sendiri, menetapkan tujuan bagi

dirinya sendiri dan berusaha untuk meraihnya.

c. Membela diri sendiri

Orang yang asertif berani mengatakan “tidak” untuk hal-hal yang merugikan

atau tidak sesuai dengan keinginanya. Ia juga berani mengatakan “ya” secara terus

terang untuk hal-hal yang sesuai dengan kepentingannya serta alasannya mengatakan

(35)

menanggapi setiap kritik atau cemoohan serta amarah dengan tenang, serta

mengekspresikan dirinya dan membela pendapat yang dianggapnya benar.

d. Mengkomunikasikan perasaan, pemikiran, keyakinan dan nilai-nilai dan

kebutuhan sendiri kepada orang lain secara langsung, jujur, dan tepat tanpa

merasa cemas atau merasa bersalah.

Orang yang asertif menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan,

pemikiran, keyakinan, dan nilai-nilai sendiri. Karena itu, ia dapat mengungkapkan

perasaan-perasaan, pemikiran, keyakinan dan nilai-nilai yang dimilikinya apa

adanya, tanpa merasa cemas atau merasa bersalah. Ia sanggup mengungkapkan

ketidak setujuan, amarah, persahabatan, mengakui perasaan takut dan cemas,

bersikap spontan dengan nyaman.

e. Mempertahankan hak-hak pribadi

Hal ini berkaitan dengan kemampuan sebagai warga negara, sebagai

konsumen, sebagai anggota sebuah organisasi atau sekolah atau kelompok kerja,

sebagai partisipan dalam peristiwa umum untuk mengekspresikan opini, untuk

bekerja bagi pembaharuan, dan untuk menanggapi pelanggaran haknya atau orang

lain.

f. Menghargai orang lain sebagai pribadi

Orang yang asertif mempertahankan hak-haknya dan mengungkapkan dirinya

dengan tetap berlaku adil dan hormat terhadap orang lain. Ia tetap memperhitungkan

(36)

menyakiti orang lain, tanpa menjuluki, mengintimidasi, memanipulasi, atau

mengendalikan orang lain.

Dari apa yang dikatakan oleh Alberti dan Emmons, Ros Jay (2005:97) juga

mempunyai pandangan yang sedikit berbeda tentang unsur asertivitas yakni:

a. Menunjukkan rasa hormat pada orang lain

Orang yang asertif senantiasa menunjukkan rasa hormatnya kepada orang

lain, dan rasa hormat ini mesti datang dari kedua belah pihak. Jika ingin dihormati

dan mendapat perlakuan yang adil dari orang lain, maka sebaliknya kita juga harus

menghormati dan memperlakukan orang lain dengan adil. Dalam hal ini, kita

memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengeluarkan pendapat tanpa

membentak atau mengkritik pendapatnya dengan tidak adil, berbicara dengan tenang

dan tidak berat sebelah ketika kita tidak setuju pada pendapat seseorang tanpa harus

meninggikan suara atau mengeluarkan ungkapan yang bersifat kasar.

b. Bersikap jujur.

Bersikap jujur adalah hak setiap orang. Kita dapat bersikap jujur untuk

mengekspresikan baik perasaan negatif maupun perasaan positif. Maka dari itu

apabila ada hal yang memberatkan dalam mengungkapkan perasaan tidak setuju dan

tidak ingin melakukan sesuatu, maka perlu dikatakan secara jujur. Dengan bersikap

jujur kita akan terlepas dari perasaan bersalah karena menyembunyikan perasaan

yang sebenarnya. Dengan bersikap jujur kita mampu berkata-kata secara terus terang

(37)

c. Berani untuk mengatakan “ tidak “

Orang yang bersikap asertif mampu berkata tidak dan mampu memberikan

penjelasan atas penolakan secara singkat, jelas, dan logis. Dengan mengatakan tidak

atas penolakan yang kita lakukan, kita tidak perlu merasa bersalah ataupun meminta

maaf, bila perlu kita dapat memberikan solusi lain yang dapat diterima oleh orang

lain.

3. Manfaat Asertivitas

Asertivitas sangat bermanfaat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Di

bawah ini akan diungkapkan beberapa manfaat asertivitas dalam kehidupan

sehari-hari. Pertama, asertivitas membuka kemungkinan baru memperoleh banyak teman,

dan mampu mempengaruhi orang lain dalam membina hubungan yang lebih akrab

dan hangat serta lebih jujur. Dengan demikian setiap orang semakin mampu untuk

bekerja sama dengan orang lain serta menjauhkan kita dari prasangka dan curiga.

Kedua, dalam menghadapi saat-saat yang menyulitkan dan kurang menyenangkan,

orang yang asertif mampu membuat orang lain merasa dihargai dan diterima, dan

bukan diremehkan ( Stein dan Howard, 2004:99-100). Ketiga, orang yang asertif

tetap percaya diri dan tenang meskipun mendapatkan banyak kritikan, memberikan

kesempatan kepada para pengkritik untuk menyampaikan pendapatnya sambil tetap

mempertahankan pendapatnya sendiri. Keempat, orang yang asertif mampu

menerima kritikan yang sah namun tetap tidak terpengaruh dengan tidak

(38)

ke masa depan dan tidak mengingat-ingat masa yang lampau (Hathaway,

2001:33-43).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas

Penulis berpendapat bahwa komunikasi yang asertif dipengaruhi oleh banyak

faktor. Beberapa di antaranya dijelaskan di bawah ini :

a. Konsep diri

Konsep diri adalah keseluruhan gambaran/pandangan/keyakinan dan

penghargaan/perasaan seseorang tentang dirinya sendiri (Sinurat,1993). Konsep diri

merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap komunikasi antarpribadi, karena

setiap tanggapan baik berupa perhatian maupun penolakan ataupun celaan dari orang

lain, menyebabkan seseorang memandang dirinya seperti perlakuan yang

diterimanya. Apabila orang mempunyai konsep diri yang positif, maka orang itu

akan memiliki ketrampilan dalam berkomunikasi secara asertif dan mampu

mengungkapkan isi pikirannya dengan baik dan jelas. Sebaliknya apabila orang

mempunyai konsep diri yang negatif, maka orang itu akan memiliki ketrampilan

berkomunikasi yang kurang asertif, maksudnya dalam mengungkapkan ide serta isi

pikirannya tidak jelas, ragu-ragu, bahkan cenderung malu untuk mengungkap diri

apa adanya. Orang yang memiliki konsep diri positif akan mampu berkomunikasi

secara wajar. Ia merasa tidak sulit dalam berbicara dengan orang lain. Ia akan

mampu mengungkapkan perasaannya, berani mengakui kesalahan, mampu menerima

(39)

gagasan-gagasan yang berlainan dengan pendapat orang lain. Ia tidak bergantung pada

penilaian orang lain, bahkan ia yakin bahwa apa yang diungkapkan itu penting.

Menurut Brooks dan Emmert (Rakhmat, 1993), orang yang mempunyai

konsep diri yang positif ditandai oleh lima hal, yakni; (1) yakin akan kemampuannya

dalam mengatasi masalah yang dihadapi; (2) merasa setara dengan orang lain; (3)

dapat menerima pujian tanpa harus merasa malu; (4) menyadari bahwa setiap orang

mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya

disetujui oleh masyarakat umum; (5) mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup

mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha

mengubahnya.

Berbeda dengan orang yang mempunyai konsep diri positif, orang yang

mempunyai konsep diri negatif akan mempunyai ketrampilan dalam komunikasi

secara asertif yang rendah. Mengenai hal ini Sinurat (1993) berpendapat bahwa

orang yang konsep dirinya negatif cenderung mengalami kesukaran dalam membuka

diri , dalam berbicara dengan orang lain, dalam mengakui kesalahan, dalam

mengungkapkan perasaan, dalam menerima kritik-kritik yang membangun orang

lain, dan dalam mengemukakan gagasan-gagasan yang berlainan dari pendapat orang

lain. Karena merasa tidak nyaman, ia takut jangan-jangan orang lain tidak

menyukainya jika ia memiliki pendapat yang berbeda.

Brooks dan Emmert (Rakhmat,1993) mengatakan ada lima tanda orang yang

(40)

1) Peka terhadap kritik; orang yang mempunyai konsep diri yang negatif tidak tahan

terhadap kritik dan mudah marah. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi

sebagai usaha untuk memjatuhkan harga dirinya. Dalam berkomunikasi, orang

yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog terbuka, dan

cenderung bersikeras dalam mempertahankan pendapatnya dengan logika yang

keliru.

2) Sangat responsif terhadap pujian; meskipun ia berpura-pura menghindari pujian,

ia tidak menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian.

3) Bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Orang yang mempunyai konsep diri

negatif selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun dan siapa pun.

Mereka kurang pandai dan tidak mampu mengungkapkan penghargaan atau

pengakuan terhadap kelebihan orang lain.

4) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Orang yang mempunyai konsep

diri negatif merasa tidak diperhatikan, sehingga ia bereaksi pada orang lain

sebagai musuh dan tidak dapat mengungkapkan kehangatan dan keakraban

persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan

menganggap dirinya sebagai korban sistem yang tidak beres.

5) Bersikap pesimistis terhadap kompetisi. Hal ini terungkap dalam keengganannya

bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap dirinya tak

(41)

b. Kesadaran diri

Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenal dan memilah-milah

perasaan, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengapa hal itu dirasakan, serta

mengetahui penyebab munculnya perasaan tersebut (Stein dan Book,2004:73).

Kesadaran diri di sini juga mencakup kemampuan mengenal pikiran, kebutuhan, dan

nilai-nila hidupnya. Dengan kesadaran diri orang akan mengetahui hal-hal yang ada

dalam dirinya dan bagaimana hl itu terjadi. Orang perlu terlebih dahulu menyadari

hal-hal tersebut, barulah ia dapat mengungkapkannya kepada orang lain. Artinya,

orang hanya mungkin mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan, keinginan, dan

nilai-nilai hidup kepada orang lain jika ia mengenal dan menyadarinya. Dengan

kesadaran diri orang juga dimungkinkan mengendalikan diri. Kesadaran diri

bermanfaat untuk berjaga-jaga dan antisipasi, karena orang yang mempunyai

kesadaran diri yang kuat dapat mengetahui saat mereka merasa kurang bersemangat,

mudah kesal, sedih, ataupun bersemangat. Dengan mengetahui hal ini ia dapat

mengantisipasi tindakan dan perilakunya. Tanpa kesadaraan diri orang akan mudah

terjerumus ke tindakan dan perilaku agresif atau pasif yang merugikan dirinya sendiri

dan orang lain.

5. Hambatan-hambatan dalam Mewujudkan Asertivitas

Hambatan dalam mewujudkan asertivitas dalam berkomunikasi terutama

datang dari diri sendiri. Aaron Beck (Alberti dan Emmons, 2002:96-98),

menjabarkan beberapa hambatan yang umum terjadi dalam mewujudkan asertivitas

(42)

a. Kecenderungan untuk berpikir kurang baik (negatif) terhadap diri sendiri.

Misalnya, seorang suster yang diminta untuk memimpin ibadat di lingkungan.

Sebenarnya dia memiliki kemampuan untuk melakukan tugas itu. Tetapi dia

merasa kurang mampu, sehingga meminta agar tugas tersebut diberikan kepada

orang lain saja. Ia yakin orang lain lebih mampu dari dirinya. Orang yang selalu

menilai dirinya negatif, tidak mampu mengatakan sesuatu yang benar, karena

merasa dirinya tidak pantas.

b. Kecenderungan untuk membesar-besarkan masalah. Masalah yang

dibesar-besarkan tidak menunjang perwujudan asertivitas dalam komunikasi karena di

situ akan muncul ketidakjujuran atau manipulasi. Hal ini akan menimbulkan

kemarahan dan ketidakpercayaan dari orang lain.

c. Mengabaikan masalah dan menganggap masalahnya akan hilang dengan

sendirinya. Dengan kata lain, menghindari masalah dan menganggapnya tidak

apa-apa, sehingga masalah dibiarkan begitu saja. Hal ini akan menimbulkan

perasaan tertekan bahkan dendam. Orang yang memiliki perasaan tertekan

ataupun dendam dapat dipastikan tidak mampu mengungkapkan perasaannya

secara asertif melainkan cenderung agresif. Perlu diakui bahwa tidak ada masalah

yang akan selesai dengan sendirinya. Masalah yang dipendam akan bertumpuk

dan akhirnya akan meledak suatu waktu.

d. Keyakinan bahwa hidup ini sudah takdir, sehingga enggan berusaha semaksimal

mungkin. Usaha untuk mencari peluang atau mencoba hal-hal baru menjadi

(43)

menjadikan orang “menelan” peristiwa atau keadaan yang dialami dan menerima

dengan pasif kata-kata atau perbuatan orang lain yang merendahkan dirinya dan

tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya.

e. Keinginan untuk menyenangkan orang lain karena 1) membutuhkan persetujuan

atau dukungan, 2) takut kalau-kalau menyinggung perasaan orang lain, 3) takut

kalau mendapat hukuman atau kehilangan, 4) adanya perasaan bersalah, 5)

keinginan mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara, 6) ada perasaan

diwajibkan atau diharuskan karena tugas, dan 7) keinginan untuk mengorbankan

diri demi kepentingan orang lain.

6. Cara-cara Meningkatkan Asertivitas

Asertivitas dapat memampukan setiap orang untuk berkomunikasi dan

membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Stein dan Book

(2004:54-142) menyebutkan cara-cara yang perlu ditempuh untuk meningkatkan asertivitas

sebagai berikut :

a. Mengamati perilaku sendiri. Maksudnya, memeriksa diri apakah sudah merasa

puas dalam menjalin hubungan antarpribadi dengan orang lain, apakah dalam

menanggapi orang lain sudah asertif atau belum. Untuk ini antara lain perlu juga

diperhatikan bahasa verbal dan bahasa non-verbal seperti kontak mata, sikap

tubuh, ekspresi wajah, suara serta isi pesan.

b. Menetapkan tujuan yang realistis bagi diri sendiri. Maksudnya, menilai diri

(44)

asertivitas. Target-terget khusus yang dimaksud adalah menentukan hal apa dan

dengan siapa ingin lebih asertif. Untuk itu perlu disadari perasaan yang sedang

dialami dan kebutuhan yang ingin dipenuhi.

c. Memusatkan perhatian pada situasi tertentu. Maksudnya, Pertama, mengingat

dengan jelas rincian peristiwa yang sesungguhnya. Kedua, menggunakan

informasi aktual dan kalau perlu menjelaskan tempat, waktu dan tindakan secara

spesifik. Ketiga, mengakui perasaan-perasaan khusus pada saat kejadian.

Keempat, mengungkapkan pendapat dan reaksi dengan jelas dan tulus dengan

bahasa yang bisa dimengerti oleh lawan bicara.

d. Mengamati model (teladan) yang efektif. Maksudnya, mengamati orang yang

menangani situasi yang sama dengan baik, khususnya gaya atau cara yang

dipakai oleh model tersebut, karena yang terpenting bukan apa yang dikatakan

tetapi bagaimana cara mengatasinya.

e. Membayangkan diri sedang menangani situasi secara asertif. Maksudnya,

mencoba menenangkan diri apabila mulai cemas dan mengganti pikiran-pikiran

yang negatif dengan pikiran-pikiran yang positif. Hal ini dapat diwujudkan

dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang positif atau menampilkan reaksi

positif pada setiap situasi.

f. Meminta bantuan apabila membutuhkannya. Maksudnya, apabila merasa tidak

sanggup menangani situasi secara asertif, perlu dicari bantuan dari orang yang

(45)

g. Berani mencoba. Maksudnya, bermain peran untuk melatih dan mempraktekkan

penanganan masalah secara asertif kepada teman dan rekan latihan. Dengan

demikian asertivitas akan menjadi sebuah kebiasaan.

h. Meminta umpan balik dengan orang lain, sehingga dapat mengembangkan

kekuatan (keberhasilan) dan memperbaiki bidang-bidang kelemahan (kegagalan)

dalam asertivitas.

i. Menguji diri sendiri dengan tes “dunia nyata”. Maksudnya, mulai bergerak dari

niat ke tindakan; mempraktekkan asertivitas dalam setiap situasi yang dihadapi.

Yang terpenting adalah secara langsung berlatih berperilaku asertif.

j. Mau dan terus berusaha memperoleh umpan balik dari teman, atau menggunakan

rekaman kaset.

k. Menentukan “pemerkuat sosial’. Maksudnya, meyakini asertivitas sebagai suatu

cara yang dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain, dan

memanfaatkan dukungan dari lingkungan tempat tinggal.

7. Asertivitas dalam Komunitas Religius.

Kebanyakan waktu manusia digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi

dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Dalam berkomunikasi secara asertif,

masih banyak orang yang kurang berani mengungkapkan diri secara asertif karena

dalam dirinya ada rasa takut untuk mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya

dirinya tidak disukai ataupun diterima. Selain itu juga dapat terjadi ada alasan “untuk

(46)

membuat pihak lain sakit hati (Suparno, 2005:38). Padahal dengan berkomunikasi

secara non-asertif ataupun tidak berani mengungkapkan perasaan, ataupun perbedaan

pendapat justru akan mengancam hubungan yang ada karena salah satu pihak merasa

dimanfaatkan oleh pihak yang lain. Seseorang dikatakan mampu berkomunikasi

secara asertif jika dirinya bersikap tulus dan jujur dalam mengungkapkan perasaan,

pikiran dan pendapatnya pada pihak lain sehingga tidak merugikan atau mengancam

integritas pihak lain. Seseorang yang kurang mampu berkomunikasi secara asertif

cenderung akan merugikan pihak lain atau bahkan merugikan dirinya sendiri karena

gagal mengungkapkan perasaan, pikiran dan pendapat ataupun keyakinannya.

Komunikasi asertif menunjukkan adanya pengertian mengenai apa yang

dibutuhkan dan diinginkan, mengkomunikasikan kepada orang lain apa yang menjadi

keinginan dan harapan, bekerja dengan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan

sendiri sambil tetap menunjukkan hormat kepada orang lain. Religius yang mampu

berkomunikasi secara asertif bergaul secara langsung dan jujur. Ia akan secara

langsung dan jujur mengkomunikasikan perasaan, kebutuhan-kebutuhan, dan ide-ide

serta mempertahankan haknya, tetapi dengan cara demikian rupa sehingga tidak

melanggar hak dan kebutuhan orang lain. Meskipun ia dengan tegas

mengkomunikasikan perasaan, kebutuhan, ide-ide, ia akan tetap mempertimbangkan

perasaan dan kebutuhan anggota lain dalam komunitas.

Religius yang mampu berkomunikasi secara asertif dalam komunitas

mempunyai diri otentik, apa adanya dan terbuka, mampu bertindak demi

(47)

meminta informasi dan bantuan dari anggota komunitas yang lain bila mana

membutuhkannya. Apabila terjadi konflik dengan anggota komunitas lain, ia akan

bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Anggota

komunitas yang mampu berkomunikasi asertif sadar bahwa ia membutuhkan dan

menginginkan kerja sama dan membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan

anggota komunitas lainnya. Karena itu ia berani bekerja sama dan membantu

anggota komunitas lain dalam memenuhi kebutuhannya. Religius yang

berkomunikasi asertif dalam komunitas mampu untuk tidak sependapat dengan

anggota komunitas lainnya. Ia akan mampu mempertahankan pendapatnya bila

dalam sebuah pembicaraan demi kelangsungan kehidupan komunitas terjadi

kesulitan sambil tetap menghormati pendapat orang lain dan peka terhadap

kebutuhannya.

Komunikasi asertif dalam komunitas bersifat interaktif. Artinya selain

anggota komunitas mengungkapkan diri apa adanya, ia juga mampu menerima apa

yang dikatakan atau yang dirasakan anggota komunitas lainnya tanpa harus bereaksi

dengan cara-cara yang mengingkari hak-hak mereka atas pikiran-pikiran atau

perasaan-perasaan mereka. Komunikasi asertif sebagai perilaku yang muncul dalam

bentuk pernyataan yang menampilkan diri sendiri, yaitu sebuah ungkapan perasaan

dan pengalaman sendiri secara otentik, jujur, dan apa adanya. Anggota komunitas

yang mampu menampilkan dirinya sendiri menunjukkan kesadaran akan dirinya,

bertanggung jawab atas dirinya dan juga sebagai pengendali hidupnya sendiri.

(48)

keyakinan, ide-ide, kesukaan, ketidaksukaan, perasaan, minat, reaksi, dan sikap serta

tujuan hidup. Dengan pernyataan diri yang jujur dalam komunikasi di komunitas

secara deklaratif, membuat anggota dikenal, dipahami oleh anggota komunitas

lainnya dengan lebih baik, dan dengan demikian memberikan kemungkinan kepada

anggota komunitas lainnya untuk menjadi lebih jujur dalam membangun relasi yang

akrab dan hangat dengan sesama anggota komunitas lainnya. Hal ini juga

mengundang dan mendorong anggota komunitas untuk berbagi pengalaman hidup

dalam panggilan yang lebih bermakna (Theo Rianto, 2008:91).

Dalam pengungkapan diri yang berkaitan dengan menanggapi permohonan

anggota komunitas lainnya, baik yang dapat dipenuhi maupun yang tidak dapat

dipenuhi. Apabila suatu permintaan dapat diterima, maka anggota komunitas yang

dimintai pertolongan akan menjawab ”ya”. Selanjutnya, apabila permintaan itu tidak

dapat diterima maka anggota komunitas yang dimintai bantuan akan secara jelas

mengkomunikasikan”tidak” jika “tidak” memang menyatakan perasaannya yang

sebenarnya. Anggota komunitas yang mengkomunikasikan penolakan secara jujur

akan menjadi lebih sadar dan memberi jawaban yang tepat secara jelas, sehingga

anggota komunitas lainnya dapat mengerti.

Anggota komunitas religius secara dewasa akan mampu memberi perhatian

serta menyatakan diri yang dapat mencegah konflik dan kesalahpahaman yang

terjadi. Hal ini menyebabkan setiap anggota komunitas tahu lebih awal apa yang

ingin dan dibutuhkan oleh anggota yang lainnya. Pengungkapan diri (keinginan dan

(49)

kerjasama serta dukungan dari anggota komunitas lainnya. Dengan

mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan, keyakinan kepada anggota komunitas,

membantu orang lain untuk terlibat, menjauhkan dari hal-hal yang tak terduga, dan

mempersiapkannya menghadapi kemungkinan adanya perubahan-perubahan yang

mungkin saja dapat mempengaruhinya. Pengungkapan diri secara jujur merupakan

kecakapan berkomunikasi yang membantu setiap anggota mengungkapkan keinginan

serta kebutuhannya, khususnya bila hal itu bersangkutan dan akan mempengaruhi

anggota komunitas lainnya. Dengan demikian akan mencegah terjadinya konflik atau

salah paham (Theo Riyanto, 2008:92-93).

Untuk membangun komunikasi asertif dalam komunitas religius, maka setiap

anggota perlu menyadari bahwa komunikasi sangat penting demi kelangsungan

hubungan serta relasi yang baik dan harmonis antar sesama anggota komunitas.

Tanpa komunikasi yang mendalam antara sesama anggota komunitas, maka

komunitas tidak akan terbentuk sebagai komunitas yang rukun dan saling

mendukung. Komunikasi dalam komunitas religius dapat membangun persaudaraan

dalam kesatuan hati dan budi sehingga setiap anggota semakin akrab, rukun, dan

saling bekerjasama baik dalam hidup bersama maupun dalam karya. Dengan

komunikasi yang asertif yang terbuka dan mendalam diharapkan setiap anggota

komunitas semakin mengenal satu sama lain, termasuk pergulatan batin yang

dialami. Dalam situasi seperti inilah kesatuan hati dan budi komunitas menjadi

(50)

Dari uraian diatas nampak bahwa komunikasi asertif merupakan komunikasi

yang sangat baik dan positif serta mendukung terciptanya relasi serta hubungan

antarpribadi yang hangat, akrab dan mendalam antara sesama anggota

komunitas,dampaknya meningkatkan pemahaman satu sama lain, terjadi “sharing”

yang saling meneguhkan panggilan masing-masing anggota komunitas. Dengan

berkomunikasi secara asertif anggota komunitas akan semakin mengenal dirinya

dengan baik sehingga dapat bertindak lebih dewasa sejalan dengan apa yang

dirasakan dan dipikirkannya. Hal ini dapat menciptakan komunikasi yang harmonis,

saling memberikan kemerdekaan, kepercayaan, saling memperkuat penghayatan

hidup berkaul, adanya semangat kasih terutama keterbukaan hati, penerimaan,

penghargaan dan pengakuan, mencintai sesama anggota komunitas dengan segala

kelebihan dan kekurangan untuk mengembangkan diri dengan cara-cara yang

menyenangkan serta penghayatan spiritualitas cinta yang berbelaskasih, serta

penghargaan terhadap setiap pribadi anggota komunitas sambil tetap menghargai

perbedaan suku, budaya, serta norma-norma secara sopan tanpa harus merugikan

atau melukai anggota komunitas lainnya.

C. Konggregasi Suster-suster Cinta Kasih Dari Maria Bunda Berbelaskasih

(SCMM ).

1. Sejarah Berdirinya.

Kongregasi SCMM merupakan salah satu lembaga hidup bakti yang didirikan

(51)

di `t Heike di Tilburg, Joannes Zwijsen terpanggil untuk membentuk suatu

perkumpulan kecil dalam rangka membantu pelayanan di parokinya. Pastor Joannes

Zwijsen merasa prihatin melihat umatnya yang sebagian besar adalah pekerja

industri tekstil dan buruh harian. Lingkungan sosial dari parokinya sangatlah buruk.

Pada umumnya anak-anak bekerja di pabrik dan bengkel-bengkel. Meskipun mereka

bekerja keras, namun penghasilannya sangat kecil. Menyadari lingkungan yang sulit

dan situasi yang menyedihkan dari umatnya, hati pastor Joannes Zwijsen tergerak

untuk menolong mereka. Beliau mencari jalan dan sarana untuk meringankan beban

mereka. Dengan penuh semangat beliau memutuskan untuk mendirikan suatu

lembaga karya kasih. Pastor Joannes Zwijsen mengatakan:

“Sejak ditunjuk sebagai pastor di paroki ini pada tahun 1832, saya memutuskan untuk mendirikan suatu lembaga karya kasih yang bekerja di paroki saya, secara khusus bagi kesejahteraan anak-anak miskin yang tidak mempunyai sarana untuk menerima pendidikan, bahkan yang paling dasarpun. Saya bermaksud untuk mendirikan sebuah sekolah, dimana anak-anak miskin itu dapat belajar membaca, menulis, menjahit dan merajut (Keusters,1989:8).”

Keprihatinan dan keputusan pastor Joannes Zwijsen diwujudkan dengan

sederhana. Pada tanggal 23 Nopember 1832, beliau membawa tiga gadis pertamanya

ke suatu rumah kecil di daerah `t Heike Tilburg. Mereka itu adalah Marie Michael

Leysen, Maria Catharina Jansen dan Maria Theresia Smits. Mereka inilah yang

kemudian menjadi suster pertama di konggregasi SCMM. Dengan keyakinan besar

akan penyelenggaraan Ilahi dan keinginan yang tulus untuk meringankan

(52)

Dalam perjalanan waktu, pastor Joannes Zwijsen hendak membatasi jumlah

susternya hanya tiga belas saja, sebagaimana jelas dari kutipan berikut ini ”....dengan

maksud ini telah dilengkapi suatu rumah dengan alat rumah tangga untuk

menampung tiga belas suster,dan kuasa Gerejawi memutuskan bahwa tak pernah

boleh diterima lebih dari tiga belas suster” (Keusters, 1989:10). Namun dalam

kepercayaannya yang teguh akan bimbingan Allah dan Penyelenggaraan Ilahi yang

penuh kasih, menyebabkan beliau kemudian meninggalkan rencana awalnya dan

menyetujui perkembangan yang cepat dari konggregasi yang didirikannya.

Setelah pendirian rumah cabang yang pertama di Delf, pastor Joannes

Zwijsen menyetujui sejumlah biara baru didirikan. Sejalan dengan dibukanya biara

tersebut, karya kasih juga semakin diperluas. Selain pendidikan, karya-karyanya

sekarang mencakup pemeliharaan orang sakit, orang lanjut usia, anak-anak yatim

piatu, serta berbagai bentuk pelayanan lainnya.

Pastor Joannes Zwijsen memberi nama konggregasi yang didirikannya itu,

SORORUM CARITATIS A NOSTRA DOMINA MATRE MISERICORDIAE

(Suster-suster Cinta Kasih dari Maria Bunda Berbelaskasih). Alasan beliau memberi

nama konggregasi tersebut “suster-suster cinta kasih“ adalah karena keutamaan cinta

kasih dan belas kasih harus diselenggarakan secara khusus dalam konggregasi.

Ditambah lagi dengan “bunda yang berbelaskasih” karena konggregasi didirikan

dalam perlindungan Maria Bunda Berbelaskasih (Keusters, 1989:11). Para suster

SCMM diharapkan diilhami oleh Maria, bunda mereka yang begitu penuh kebaikan

(53)

Semboyan konggregasi SCMM adalah “Cinta Tanpa Pamrih”, yang berarti

suster-suster dari konggregasi ini harus mengabdi sesama manusia berdasarkan cinta,

tanpa mencari kepuasan diri, kehormatan atau keuntungann diri sendiri

(Keusters,1989:12). Lambang kongregasi menunjukkan gambar Maria Bunda

Berbelaskasih. Bunga lili pada kedua sisi Maria dan sebuah hati yang menyala di

atasnya, melambangkan kemurnian dan cinta. Kemudian di kedua sisi lambang

tersebut, tergambar dua malaikat membawa semboyan “Cinta Tanpa Pamrih”.

Pastor Joannes Zwijsen menghendaki agar kongregasi yang didirikannya

menjadi suatu komunitas apostolik. Komunitas apostolik yaitu komunitas yang ikut

terlibat dalam karya pelayanan. Juga berarti secara langsung terjun di tengah-tengah

dunia dan mengikuti perkembangannya. Tujuan kongregasi sebagaiman dirumuskan

beliau adalah meneladani Yesus Kristus dalam semangat kesederhanaan dan cinta

penuh belaskasih melayani terutama kaum miskin, tertindas, dan berkekurangan

(Keusters,1989:13).

Pada tanggal 17 April 1942, pastor Joannes Zwijsen ditahbiskan menjadi

Uskup di `s-Hertogenbosch. Sejak itu beliau lebih dikenal dengan panggilan sebagai

uskup. Beliau meninggal dunia pada tanggal 16 Oktober 1877. Pada waktu itu

kongregasi SCMM telah memiliki anggota sebanyak 1500 orang yang telah tersebar

(54)

2. Spiritualitas Kongregasi SCMM

Spiritualitas dipahami sebagai sesuatu yang melatarbelakangi bentuk atau

cara hidup seseorang dan berusaha menjadi dirinya sesuai dengan yang

dicita-citakannya. Menurut Binawiratma (Paradda, 2002), spiritualitas bukan hanya

menyangkut hidup rohani, tetapi menyangkut keseluruhan kehidupan manusia, yaitu

bagaimana ia menyadari dan menghayati hidupnya, baik dalam relasinya dengan

Allah maupun dengan sesamanya.

Spiritualitas kongregasi SCMM tidak terlepas dari spiritualitas hidup

Mgr.Joannes Zwijsen sebagai pendiri kongregasi ini, yaitu tersentuh oleh injil

belaskasih Allah dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Melayani sesama

manusia terutama kepada mereka yang malang, dan tertindas, yang didasari oleh

semangat belaskasih dan cinta tanpa pamrih.

Spiritualitas pendiri inilah yang menjiwai seluruh karya pelayanan para suster

SCMM. Maksudnya, pelayanan para suster SCMM dilaksanakan dengan semangat

belaskasih tanpa membeda-bedakan suku, agama maupun status ekonomi. Pelayanan

dengan semangat belaskasih, berarti tidak mencari keuntungan diri atau kepuasan diri

sendiri. Pelayanan melulu demi kesejahteraan hidup manusia dan perluasan kerajaan

Allah di dunia.

Mgr. Joannes Zwijsen mengarahkan kongregasinya menurut spiritualitas

St.Vincentius de Paul, yaitu “Meninggalkan Tuhan demi Tuhan”. Maksudnya, bahwa

apabila para suster sedang berdoa dan tiba-tiba ada seseorang tyang sangat

Gambar

Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kepercayaan diri para novis SVD tahun II di Novisiat Sang Sabda Kuwu-Ruteng-Flores tahun 2006/2007 dan implikasinya bagi

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kepatuhan para penghuni asrama tahun pertama dan tahun kedua terhadap peraturan asrama putra Van Lith Muntilan. Masalah yang dibahas

Masalah- masalah Penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tingkat kebiasaan belajar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia para siswa jurusan IPS kelas II SMA Pangudi Luhur Sedayu

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Tahun

Berdasarkan Tabel 4, hasil penelitian tingkat disiplin diri para siswa kelas VII SMP BOPKRI III Yogyakarta tahun pelajaran 2008/2009 terhadap peraturan sekolah secara

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kecerdasan emosional para siswi remaja asrama putri Santa Yulia Surabaya tahun ajaran 2009/2010 dan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diadakan konseling kelompok bagi para suster Puteri Reinha Rosari Larantuka dengan topik cara mengungkapkan perasaan/emosi, cara

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat asertivitas guru dengan kemampuan mengontrol perilaku disruptive pada siswa sekolah dasar..