TINGKAT PERILAKU
BULLYING
PARA SISWA KELAS XI SMA
BOPKRI 2 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2008/2009 DAN
SUMBANGAN BIMBINGAN dan KONSELING DALAM
MENANGGAPI PERILAKU
BULLYING
DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh: Wahyu Putri
031114003
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
…… when we truly
go with the flow of life, we allow
ourselves to grow and feel safe……
ABSTRAK
TINGKAT PERILAKU
BULLYING
PARA SISWA KELAS XI SMA
BOPKRI 2 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2008/2009 DAN
SUMBANGAN BIMBINGAN dan KONSELING DALAM
MENANGGAPI PERILAKU
BULLYING
DI SEKOLAH
Wahyu Putri
Universitas Sanata Dharma 2009
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat perilaku bullying para siswa kelas XI SMA BOPRKI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tingkat perilaku bullying para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 tahun ajaran 2008/2009?, (2) Bagaimana tingkat perilaku bullyingverbal para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 tahun ajaran 2008/2009?, (3) Bagaimana tingkat perilaku bullying fisik para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 tahun ajaran 2008/2009?, (4) Bagaimana tingkat perilaku bullying relasional para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 tahun ajaran 2008/2009?, dan (5) sumbangan apa yang bisa diberikan bimbingan dan konseling dalam menanggapi perilaku bullyingdi sekolah?
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner tentang tingkat perilaku bullying yang disusun penulis berdasarkan kisi-kisi jenis perilaku bullying. Subyek penelitian ini adalah para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 dengan populasi 184 siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah berdasarkan kategori jenjang (ordinal) (Azwar, 1992).
ABSTRACK
THE LEVEL OF BULLYING BEHAVIOR OF THE ELEVENTH
GRADE STUDENTS OF SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA IN
2008/2009 ACADEMIC YEAR, AND GUIDANCE AND
COUNSELING INPUT IN BULLYING BEHAVIOR AT SCHOOL
Wahyu Putri Sanata Dharma University
2009
This research aimed to describe the level of bullying behavior of eleventh grade students of SMA BOPKRI 2 Yogyakarta in 2008/2009 academic year. This research dealth with five problems: (1) what is the level of bullying behavior of eleventh grade students of SMA BOPKRI 2 Yogyakarta in 2008/2009 academic year?, (2) what is the level of verbalism bullying behavior of eleventh grade students of SMA BOPKRI 2 Yogyakarta in 2008/2009 academic year?, (3) what is the level of phsiycal bullying behavior of eleventh grade students of SMA BOPKRI 2 Yogyakarta in 2008/2009 academic year?, (4) what is the level of relational bullying behavior of eleventh grade students of SMA BOPKRI 2 Yogyakarta in 2008/2009 academic year?, and (5) what input does the guidance and counseling give toward the bullying behavior in the school? This was a descriptive research. The researcher used a questionnaire on the level of bullying behavior that the questions were compiled based on the blueprint of bullying behavior. The researcher distributed the questionnaire to 184 students of SMA BOPKRI 2 Yogyakarta. The data analysis technique used in the research was based on level category (ordinal) (Azwar,1992).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang selalu menyertai dan membimbing penulis selama pengerjaan skripsi ini. Terimakasih pula kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan hingga skripsi ini selesai. Terimakasih yang tulus diucapkan kepada :
1. Dra. M. J. Retno Priyani, M.Si, sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing, memberikan motivasi dan tidak henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Fajar Santoadi, S. Pd , Dr. Supratiknya dan Br. Triyono SJ sebagai intereter dalam pembuatan angket.
3. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan juga ilmu yang berguna bagi penulis selama ini dan untuk dukungan dalam menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.
4. Segenap Karyawan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dengan sabar pengurusan segala keperluan administrasi penulis (Mas Moko, Mas Anto, Mbak Agnes).
5. Sri Rahayuningsih, S.Pd, sebagai kepala sekolah SMA BOPKRI 2 Yogyakarta beserta seluruh guru/staff dan murid kelas XI yang sudah sangat membantu penulis. 6. Keluargaku, para suporter terbaik (Bapak Heribertus Bambang Supriyanto, Ibu
7. Sahabatku, Erika Haryulistiani Saksono atas bantungan, dukungan, kritikan, pendampingan dan segala aktivitas yang sudah dilakukan bersama-sama dengan penulis.
8. Reno Dwi Hapsari dan Yudhistira Setya Utama beserta Keluarga Tembong Raharjo dan Mami Ami.
9. Saudara Vembrianto, atas kesediaanya menjadi pak dosen unit emergency room, juru pengkritisi dan peneliti tulisan yang dibuat penulis, ‘konseptor’ handal untuk hari yang (katanya) paling menegangkan sedunia, serta menjadi teman untuk berbagi cerita dan apapun.
10. Keluarga kedua di luar rumah penulis : Andry Kurniawan, Paimo dan mbak Ida, Zakarias Adrianto, Ignatius Dani, Dameria Magdalena, Hillaria Yayan dan Sapto Raharjo, Mbak Kiki Damayanti.
11. Teman-teman dekat penulis : Maria Goreti a.k.a gotek bibir, Alita Alliet-tong, Ikun Ismail, Ditya Sarastiastuti, Dina Nainggolan, Mbak Ria dan Iwan Effendi atas obrolan-obrolan dan hiburannya, Yoseph “Cecep” Anggi Noen, Mas Angki dan seluruh penghuni MES56.
12. Bapak Steve atas pesan yang diberikan kepada penulis yang dalam dan inspiratif. 13. Teman-teman Komunitas Kolobendono Yogyakarta (KKY) yang selalu menemani
penulis di saat-saat apapun: Seprianus Kidding, Sigit Sudarisman, Kristiadi, Pikal dan Dwi, Mateus, Ardian Septiantono, Pitra, Yunan, Ria, Irna, Tyo, Bismo, dll 14. Teman-teman Alumnae Stella Duce 1: Rina ‘pudhel’, Dephoy, Iit, Maria Maro,
Vita, Tissa, Mbak Upi, Sita, Mita, Yusti, Mirta, Nenny Soerono dan Evi Marlina. 15. Teman-teman BK di kampus : Ida Widyaningsih, Maria Verawaty, Prias Hayu,
Arie, Modestus Adityo, Yasintha, Trias, Ocha, Elshinta, Mbak Nadia, Mbak Yuni, Mbak Sari, dll
16. Teman-teman Psikologi USD : Marin Damanik dan Mia atas referensi sumber-sumber penulisan yang sangat berguna, Widodo a.k.a Wiwid, Ajeng, Sheila Sittarani dan Yudhi. Khusus untuk Beni PAK 03 atas sumber-sumber dan koleksi referensinya yang diberikan kepada penulis.
17. Untuk Erdian Aji “ANJI” Prihartanto, terimakasih karena selalu mengingatkan dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi, dan kebaikan hatinya untuk selalu mengajak menikmati hiburan secara cuma-cuma di sela-sela penulisan skripsi. Juga untuk Rini Wulandari ‘Idol’, anak-anak DRIVE Band+ the Navigators yang baik hati lainnya (Robert, Irwan, Adi, Dygo,dan Budi).
18. Teman-teman band ; Alongside The Quay (Dimex, Ariok Emo, Ditto, Andra) yang telah memberikan penulis ‘jabatan’ dan ‘kesibukan’ baru di sela-sela penulisan skripsi, Nyoman Brahmana dan komunitas Reddoor distro (Ian Dole, Sigit Sita, Deni Biterpill, Acenk), Zamani Karmana, Mas Jompet, keluarga pagihari yang dulu maupun yang sekarang, Arief ‘Auf’ Nugroho+Krisna ‘simbah’ dan keluarga OhNina, Elang dan PolyesterEmbassy, EfekRumahKaca+management (Yurie, Akbar, Cholil, Adrian).
19. Teman-teman bersepeda keliling Jogja: Bhayu Radityo, Artha For President, Dhomas ‘Kampret’, Mas Yoyo Jewe, Mbak Rachel dan Tim, Piero (yang sekarang sudah pulang ke Italy), Iok, Ellay, Theo, Mas Yono, Sickgul, Laras, dll.
20. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan yang telah diberikan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN ……… iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……… iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN ………... vi
ABSTRAK ……….. vii
ABSTRACK ……… viii
KATA PENGANTAR ………. ix
DAFTAR ISI ………... xii
DAFTAR TABEL ……… xv
DAFTAR GAMBAR ……….. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi
BAB I : PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Rumusan Masalah ……… 7
C. Tujuan Penelitian ……….. 7
D. Manfaat Penelitian ……… 7
E. Batasan Istilah ……….. 9
BAB II : KAJIAN PUSTAKA ……… 10
A. PerilakuBullying……….. 10
2. Jenis-Jenis Perilaku Bullying……….. 14
3. Faktor-Faktor Penyebab PerilakuBullying……….. 17
a. Faktor yang Berasal Dari Dalam Diri ………. 17
b. Faktor yang Berasal Dari Luar Diri ………. 17
4. Karakteristik Pelaku, Korban dan PenontonBullying……….. 23
a. PelakuBullying……….. 23
b. KorbanBullying………. 23
c. Penonton Bullying……….. 24
5. DampakBullying………. 27
a. Bagi Pelaku Bullying………. 27
b. Bagi Korban Bullying………. 27
c. Bagi PenontonBullying……….. 28
B. Siswa Sebagai Remaja dan Apek–Aspek Perkembangannya ……… 30
1. Pengertian Siswa Sebagai Remaja ……… 30
2. Aspek-Aspek Perkembangan Siswa Sebagai Remaja ………... 30
C. Bimbingan dan Konseling di Sekolah ………. 37
1. Fungsi Bimbingan dan Koseling ………... 37
2. Sumbangan Yang Dapat Dilakukan Bimbingan dan Koseling Untuk Mencegah Berkembangnya PerilakuBullyingdi Sekolah ……… 41
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ……… 43
A. Jenis Penelitian ……… 43
B. Subyek Penelitian ………... 43
C. Instrumen Penelitian/ Alat Ukur ……… 44
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 55
A. Hasil Penelitian ……… 55
B. Pembahasan ………. 58
BAB V : SUMBANGAN YANG DAPAT DIBERIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENANGGAPI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH………... 62
BAB VI : PENUTUP ……… 65
A. Ringkasan …..……… 65
B. Kesimpulan ………. 67
C. Saran-saran ……..……….. 67
DAFTAR PUSTAKA ……… 69
TABEL
Tabel 1 : Perbedaan dan Persamaan Bullyingdengan Agresi ……….. 12
Tabel 2 : Jenis Sumbangan KeluargaDalam Pembentukan Pribadi Menjadi Pelaku, Korban, Maupun PenontonBullying…….. 20
Tabel 3 : Types of Bullies, Victims, ang Bystanders………. 25
Tabel 4 : Rincian Siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 ……….. 43
Tabel 5 : Rincian Siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 yang Mengikuti Penelitian ……….. 44
Tabel 6 : Kisi-Kisi PerilakuBullying……….. 45
Tabel 7 : Kategori Tingkat Perilaku Bullying………. 50
Tabel 8 : Jadwal Kegiatan Pengumpulan Data di Kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta ……….. 51
Tabel 9 : Penggolongan Tingkat PerilakuBullying……… 53
Tabel 10 : Penggolongan Tingkat PerilakuBullyingVerbal ……… 53
Tabel 11 : Penggolongan Tingkat PerilakuBullyingFisik ……….. 54
Tabel 12 : Penggolongan Tingkat PerilakuBullyingRelasional ………. 54
Tabel 13 : Penggolongan Tingkat PerilakuBullyingPara Siswa Kelas XI …. 55 Tabel 14 : Penggolongan Tingkat PerilakuBullyingVerbal Para Siswa Kelas XI ……… 56
Tabel 15 : Penggolongan Tingkat PerilakuBullyingFisik Para Siswa Kelas XI ………. 56
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Lingkaran Penindasan ……….. 26
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Kejadian kekerasan di institusi pendidikan akhir-akhir ini kerap kali kita dengar. Kasus praktik kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh. Dalam peristiwa tersebut, seorang praja tewas karena dianiaya oleh para senior dalam rangka pemberian
hukuman atas kesalahan yang dilakukannya. Kejadian tersebut bukan yang pertama
kali. Menurut Sulistyowati (2007), terdapat lebih dari 30 kasus kematian tak wajar
yang dicurigai disebabkan oleh tindak penganiayaan, yang terjadi dalam rentang
waktu yang panjang, dan diduga telah menjadi tradisi di dalam institusi tersebut.
Gunawan (2007) dalam harian Pikiran Rakyat edisi 5 Juli 2007, menuliskan bahwa perpeloncoan sebagai salah satu bentuk tindak kekerasan merupakan kegiatan yang sering terjadi pada institusi pendidikan mulai dari tingkat dasar dan menengah hingga perguruan tinggi. Banyak korban kekerasan bahkan menyebabkan kematian akibat kegiatan perpeloncoan yang biasa diberlakukan di awal tahun ajaran. Dalam skala yang lebih kecil, hubungan senior-junior yang tidak sehat juga terjadi di
sekolah-sekolah menengah. Kata kunci untuk mendeskripsikan semua gejala itu
adalah bullying.
Keterangan resmi dari Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Semai Jiwa
Amini dikatakan selama ini perhatian masyarakat ataupun praktisi pendidikan
korbannya. Hal ini bukan berarti bullying sebagai fenomena yang terisolasi dan
kedap dari lingkungan. Mengakarnya perilaku bullying sehingga sulit diberantas
seringkali justru disebabkan oleh ketidaktahuan bahkan keengganan lingkungan
untuk mengakui bahwa bullying terjadi di depan mereka, dan mempunyai akibat
sangat buruk. Penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini selama tahun 2004-2006 yang
dilakukan pada tiga SMA di dua kota besar di Pulau Jawa, diperoleh data bahwa
satu dari lima guru menganggap bullyingadalah hal biasa dalam kehidupan remaja
dan tidak perlu dipermasalahkan. Bahkan, satu dari empat guru berpendapat bahwa
bullying tidak akan berdampak buruk terhadap kondisi psikologis siswa. Sikap
seperti itulah yang secara tidak langsung membuat bullyingdapat tumbuh diantara
para siswa.
Di setiap tahun ajaran baru, banyak surat kabar memberitakan jalannya masa
orientasi siswa (MOS). Model orientasi siswa seperti ini sudah ada sejak jaman
dahulu sampai sekarang di hampir semua sekolah dengan cara penyelenggaraan
yang berbeda-beda. Bagi siswa baru, MOS yang di dalamnya terdapat unsur
kekerasan, akan lebih dipandang sebagai ajang balas dendam siswa senior. Siswa
junior harus patuh dengan perintah siswa senior. Hubungan senior-junior seperti
itulah yang akhirnya berkembang terus, baik di dalam lingkungan sekolah maupun
lingkungan luar sekolah, bahwa junior harus menurut pada yang senior, maka
wujudnya adalah budaya senioritas.
Menurut penelitian Juwita (Kompas, 2006), salah satu faktor bullying bisa
tumbuh dengan subur adalah budaya feodalisme, yaitu ketika orang muda harus
menghormati mereka yang usianya lebih tua apa pun perlakuan mereka. Beberapa
berlalu begitu saja seiring dengan berlalunya waktu, orang tua yang melihatbullying
sebagai ‘ujian’ bagi anak agar menjadi pribadi tahan banting dan disiplin. Selain itu,
Ratna menambahkan bahwa sebagian guru di sekolah menganggap sebuah hal yang
biasa jika kakak kelas mengintimidasi adik kelas dengan alasan bahwa si adik kelas
ini akan melakukan hal yang sama jika ia sudah duduk di kelas yang lebih tinggi.
Anggapan yang seperti inilah sangat kondusif memunculkan perilakubullying.
Sebuah artikel dalam detik.com dikatakan bahwa masyarakat belum
memahami dan menyadari adanya dampak jangka panjang dari perilaku bullying di
sekolah, baik si korban bullying, pelaku bullying, dan para penonton bullying.
Dampak tersebut bagi korban bullying antara lain: trauma yang berkepanjangan
yang dapat menghambat proses belajar dan proses tumbuh kembang anak, naiknya
tingkat depresi anak, agresi, penurunan nilai akademik dan kecenderungan bunuh
diri pada orang dewasa dan anak-anak. Dampak jangka panjang yang bisa muncul
pada si pelakubullying antara lain: tumbuh menjadi pribadi yang otoriter, tidak peka
terhadap perasaan orang lain, dan cenderung tumbuh menjadi pelaku kriminal.
Sedangkan dampak jangka panjang yang bisa muncul pada penonton bullying,
menurut Coloroso (2007:128) yaitu mereka lebih cenderung mengimitasi
aktivitas-aktivitas anti sosial para pelaku bullying. Aktivitas yang dilakukan pelaku bullying
dapat dijadikan contoh ketika di kemudian hari para penonton bullying berperan
menjadi pelaku bullying.
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa perilaku bullying
nampaknya sudah akrab dengan dunia kehidupan seorang anak. Perilaku tersebut
bisa tumbuh dari lingkungan keluarga dan berkembang dalam lingkungan
berawal dari lingkungan sekolah, mengingat bahwa sebagian besar waktu anak
selain berada di dalam lingkungan keluarga, adalah di dalam lingkungan sekolah. Di
lingkungan sekolah, anak akan mempelajari segala macam hal dan perilaku yang
terjadi di sekelilingnya. Sama halnya ketika terjadi bullying di lingkungan sekolah,
anak akan mengidentifikasi perilaku dan peran-peran tertentu dari apa yang
dilihatnya. Kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal di kalangan pelajar di
sekolah merupakan masalah yang serius. Anak yang mengalami kekerasan akan
mengalami masalah di kemudian hari dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan
hidupnya.
Menurut penulis, saat ini siswa hidup penuh dengan beragam tekanan. Baik
tekanan dari diri sendiri, keluarga, lingkungan dan dari sekolah. Dari sekolah,
tekanan dapat muncul akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang
kaku. Ketika sampai di rumah pun, siswa kerap tidak mendapatkan perhatian yang
cukup dari kedua orang tuanya karena orang tuanya pun harus bekerja. Dari semua
kondisi tersebut, siswa menjadi sulit untuk menyalurkan bakat-bakat non
akademisnya, sehingga penyalurannya mereka lakukan dengan melakukan
kejahilan-kejahilan maupun kekerasan yang merugikan siswa lain di lingkungan
sekolah.
Ketika peristiwabullyingitu terjadi di sekolah, yang menjadi pelaku kerap kali
bukan hanya siswa saja, tetapi juga para guru. Para siswa yang tidak melakukan,
atau kebetulan saja melihat peristiwa tersebut akan benar-benar merekam perilaku
dan peran yang dilihatnya. Selanjutnya, mereka akan mempraktikkan apa yang
dilihatnya terhadap teman sebangku maupun teman sebaya ketika di lingkungan
dijumpai atau bahkan dialami oleh anak setiap hari di lingkungan bermain dengan
teman sebayanya. Sering kali, peristiwa membullyseseorang di hadapan orang lain
(mengomentari penampilan karena si ‘A’ itu berbeda, mengejek karena badan si ‘B’
terlalu gemuk, atau terlalu tinggi, menggossip) dianggap sebagai sesuatu yang wajar
atau memang seharusnya dilakukan. Tidak jarang pula sekarang tayangan di stasiun
televisi banyak menanyangkan berbagai macam bentukbullying, yang tanpa disadari
membuat bullying itu sendiri menjadi sebuah kewajaran, dan tidak mempedulikan
bahaya yang akan timbul setelah melihat tayangan tersebut.
antara lain: bidang kurikulum dan pengajaran, bidang administrasi dan kepemimpinan, dan bidang kesiswaan. Bidang kesiswaan ini lebih dikenal sebagai bidang pelayanan bimbingan dan konseling karena bidang tersebut meliputi berbagai fungsi dan kegiatan yang mengacu kepada pelayanan kesiswaan secara individual agar masing-masing peserta didik dapat berkembang sesuai dengan bakat, potensi, minat, serta tahap-tahap perkembangannya. Dengan adanya pelayanan bimbingan konseling di sekolah, maka para siswa dapat dibantu mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi selama proses belajar dan sosialisasi di sekolah, yang salah satunya yaitu perilakubullying.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, fokus permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat perilaku bullying para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?
2. Bagaimana tingkat perilaku bullyingverbal para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?
3. Bagaimana tingkat perilaku bullying fisik para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?
4. Bagaimana tingkat perilaku bullying relasional para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?
5. Apakah sumbangan yang dapat diberikan oleh bimbingan dan konseling dalam menanggapi perilaku bullying para siswa kelas XI di SMA BOPKRI 2 Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Perilaku bullying para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009
2. Perilaku bullyingverbal para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009
4. Perilaku bullying relasional para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009
5. Sumbangan yang dapat diberikan oleh bimbingan dalam menanggapi perilaku bullying di sekolah tersebut.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai perilaku bullying di sekolah pada khususnya dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang bimbingan dan konseling pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : a. Guru Pembimbing SMA BOPKRI 2 Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan gambaran kepada guru pembimbing mengenai perilaku bullying yang ada di sekolah, memberikan masukan akan pentingnya pendampingan kepada anak-anak yang menjadi pelaku bully maupun korban bully di sekolah dan mempersempit ruang untuk terciptanya bullyingdi sekolah.
b. Peneliti
c. Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber inspirasi atau bahan pembanding bagi penelitian lain yang ingin mengembangkan penelitian mengenai topik bullying di sekolah.
d. Pembaca
Peneliti berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi para pembaca tentangbullyingdi lingkungan sekolah.
E. Batasan Istilah
Batasan istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Perilaku bullying adalah suatu tindakan yang menggunakan kekuasaan atau kekuatan yang ada dalam diri untuk menyerang dan/atau merendahkan seseorang atau kelompok lain supaya seseorang atau kelompok tersebut menjadi tertekan, dan tidak berdaya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini memuat pembahasan tentang perilaku bullying, siswa sebagai remaja dan aspek-aspek perkembangannya, serta pelayanan bimbingan dan konseling dalam menanggapi perilaku bullying di sekolah.
A. Perilaku Bullying
1. Arti PerilakuBullying
Bullying adalah sebuah istilah dan isu yang telah mendapatkan perhatian serius selama kurang lebih 20 tahun belakangan ini. Masih banyak siswa di sekolah yang tidak memahami pengertian dan dampak yang dapat ditimbulkan dari perilaku bullying. Terdapat suatu fenomena dimana banyak siswa tidak menyadari dirinya sedang menjadi pelaku, atau bahkan korban bullying. Untuk itu, langkah awal yang harus diambil adalah memahami terlebih dahulu pengetian dari bullyingitu sendiri.
Trigg dalam Media Indonesia (2006), mengatakan bahwa bullying merupakan penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tak berdaya. Penggunaan kekuasaan tersebut dilakukan berulang-ulang, baik dengan sasaran korban yang sama ataupun berbeda.
Papalia, et al. (2004) menyatakan bahwa bullyingadalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Riauskina et al. (2005) mencoba mengartikan bullying dengan membatasi
konteksnya dalam school bullying. Mereka mendefinisikan school bullyingyaitu
sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh
seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain
yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Olweus et al. (Greene, 2006) menyebutkan definisi yang lebih lengkap
tentang bullying.Bullyingadalah salah satu bentuk agresi yang ditujukan untuk
menyakiti atau menyebabkan gangguan pada korban. Hal ini terjadi akibat
adanya perbedaan kekuasaan atara pelaku dengan korban. Perilaku dapat
dikatakan bullyingbila hal itu terjadi secara berulang. Perilaku bullyingmuncul
bukanlah karena hasil provokasi melainkan muncul dari keinginan pelakunya.
Newman, Horne & Bartolomucci (Orpinas, 2006:14-15) mengatakan mengenai perilakubullying sebagai berikut:
Seperti yang sudah disampaikan diatas, Orpinas (2006: 14-16) mengatakan bahwa bullying merupakan bagian dari perilaku agresi. Adapun perbedaan dan persamaan antara bullying dengan agresi menurut Orpinas antara lain:
Tabel 1.
Perbedaan dan PersamaanBullyingdengan Agresi
Bullying Agresi
Tujuan
Tindakan dilakukan untuk menyerang dan merendahkan orang lain
Tindakan berpotensi untuk melukai orang lain
Objek Orang lain, baik sendiri maupun kelompok
Orang lain maupun benda mati
Alasan
Dengan atau tidak ada alasan, tindakan tetap dilakukan untuk menyerang dan merendahkan orang lain
Ada niat untuk mencederai atau melukai orang lain
Bentuk Fisik, verbal, relasional, seksual
Fisik, verbal, relasional, seksual
Peran Pelaku, korban dan penonton Pelaku, korban dan penonton
Pengulangan
Ada kecenderungan untuk mengulang terus menerus dengan objek yang sama maupun berbeda
Hanya kepada objek pada saat tindakan terjadi..
Pamela Orpinas (2006:14-16)
Ketika peristiwa bullying terjadi, ada beberapa unsur yang terlibat di dalamnya. Menurut Coloroso (2007 : 44), ketika peristiwa bullyingterjadi, maka sesungguhnya akan selalu melibatkan unsur-unsur berikut ini:
a. Ketidakseimbangan kekuatan.
Para pelaku bullyingselalu lebih kuat dari korban bullying. Hal ini membuat perilaku bullying dapat terjadi berulang kali, karena sang pelaku memiliki kekuatan yang tidak bisa diimbangi oleh korban maupun lingkungannya. b. Kesengajaan
Tindakan bullying dapat dilakukan dengan niat untuk mencederai. Jika pelaku dapat melakukan tindakan yang melukai orang lain, maka akan menimbulkan rasa senang di hati sang pelaku saat menyaksikan luka tersebut.
c. Pengulangan
Tindakan bullying dilakukan berulang kali. Pelaku maupun korban bullying mengetahui bahwa penindasan dapat dan mungkin akan terjadi kembali. d. Teror.
Bullying adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk mengintimidasi dan memelihara dominasi. Teror yang menusuk tepat di jantung korban bullying bukan hanya merupakan sebuah cara untuk mencapai tujuan bullying, teror itulah yang menjadi tujuan penindasan.
seseorang atau kelompok tersebut menjadi tertekan serta tidak berdaya. Perilaku tersebut dilakukan tidak hanya sekali melainkan berulang-ulang terhadap sasaran korban yang sama ataupun berbeda. Prinsip yang serupa dalam setiap pengertian dari para ahli yaitu adanya niat untuk merendahkan orang lain, dan pengulangan perilaku yang terus-menerus. Semakin korban tidak berdaya menghadapi serangan atau perlakuan negatif yang diberikan kepadanya maka para pelaku akan mendapatkan kesenangan. Pelaku juga akan melakukan serangan kembali dengan tingkat yang semakin tinggi pula.
2. Jenis-Jenis Perilaku Bullying
Perilaku bullying oleh Coloroso (2007: 46-52) dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu verbal, fisik dan relasional. Masing-masing dapat menimbulkan akibat atau dampak sendiri. Ketiga jenis kategori tersebut kerap membentuk kombinasi untuk menciptakan serangan yang lebih kuat. Ketiga jenis perilaku tersebut adalah :
a. Verbal
Serangan secara berulang dapat mengecilkan setiap anak dan tidak peduli berapa pun usianya.
Jika tindak kekerasan verbal dibolehkan atau diterima, bullying verbal akan menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Sekali seorang anak telah direndahkan martabatnya, maka anak itu akan lebih mudah diserang tanpa perlu menimbulkan rasa iba dari orang lain yang berada dalam jarak radius pendengaran. Ragam bentuk bullying verbal antara lain berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, hinaan yang diikuti dengan perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, serta gosip yang tidak benar.
b. Fisik
c. Relasional
Jenis perilaku ini merupakan yang paling sulit dideteksi dari luar. Jenis bullying relasional adalah pelemahan harga diri si korban bullying secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian ataupun penghindaran. Penghindaran yang merupakan suatu tindakan penyingkiran merupakan alat yang paling kuat. Anak yang digunjingkan mungkin bahkan tidak mendengar gosip itu, namun akan tetap akan mengalami efeknya. Bullying relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata yang tajam, helaan napas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa yang mengejek dan bahasa tubuh yang kasar. Bullying relasional mencapai puncak kekuatannya di awal masa remaja, saat terjadi perubahan-perubahan fisik, mental, emosional dan seksual. Ini adalah saat remaja mencoba untuk mengenali dan menyesuaikan diri dengan rekan-rekan sebaya mereka.
Orpinas (2006 : 25) menambahkan salah satu jenis perilaku bullying yaitu pelecehan seksual. Wujud perilaku tersebut adalah pemerkosaan, pemaksaan untuk melakukan tindakan seksual, dipaksa untuk mencium atau memegang sesuatu yang bersifat seksual, dan pelecehan seksual lainnya. Terkadang perilaku ini dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik atau verbal.
Dari ketiga jenis perilaku bullying yang telah disebutkan di atas yaitu: verbal, fisik dan relasional, didapatkan bahwa bullying verbal adalah salah satu jenis bullying yang paling mudah dan sering tanpa sadar dilakukan. Siapa saja dapat dengan mudah melakukan jenisbullying tersebut. Jenisbullyingverbal ini kerap menjadi pintu masuk menuju ke bentuk perilaku bullying lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih kejam dan merendahkan martabat.
3. Faktor-Faktor Penyebab PerilakuBullying
Faktor-faktor penyebab perilaku bullying dibagi menjadi 2 kategori
besar, yaitu :
a. Faktor yang berasal dari dalam diri
Menurut Beane (1999), beberapa faktor yang bisa menyebabkan timbulnya
perilaku bullying yang berasal dari dalam diri seseorang antara lain yaitu:
anak yang secara genetik dapat menjadi anak yang agresif dan mudah sekali
mencontoh lingkungannya; memiliki berbagai macam agresi internal dalam
diri; memerlukan tempat untuk menyalurkan atau memindahkan agresi
internal kepada orang lain; tidak mengetahui cara berinteraksi dengan
b. Faktor yang berasal dari luar diri
Selain faktor dari dalam diri seseorang, faktor yang dapat menimbulkan
perilaku bullying adalah faktor-faktor yang berada di luar diri seseorang.
Faktor tersebut berbagai macam bentuknya, dan dapat dikelompokkan
berdasarkan kelompok lingkungan yang menjadi wilayah hidup seorang
anak.
1) Lingkungan sekolah
Berbagai macam faktor penyebab timbulnya perilaku bullying yang
berasal dari lingkungan sekolah yaitu :
a) Menurut psikolog Seto Mulyadi dalam perbincangan dengan
detik.com (14 November 2007) dikatakan bahwa remaja saat ini
hidup penuh dengan tekanan, terutama yang datang dari sekolah.
Sekolah memiliki kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang
terlalu kaku. Remaja membutuhkan wadah untuk menyalurkan bakat
non akademik yang terpendam akibat tekanan kurikulum sekolah
yang terlalu berat. Saat ini, remaja tidak mempunyai wadah dan
sarana untuk menyalurkan kreativitasnya, sehingga penyalurannya
pun menjadi menyimpang, yaitu wujudnya dengan
kejahilan-kejahilan, penyiksaan dan dengan adanya perilaku bullying yang
lainnya
b) Para guru yang menganggap bullying di sekolah akan dapat berlalu
begitu saja seiring dengan berlalunya waktu, sehingga mereka
berpikir tidak perlu melakukan sebuah tindakan pencegahan apapun
c) Sebagian guru di sekolah menganggap sebuah hal yang biasa saat
kakak kelas mengintimidasi adik kelas dengan alasan bahwa si adik
kelas ini akan melakukan hal yang sama jika ia sudah duduk di kelas
yang lebih tinggi. Di sini budaya feodalisme berubah menjadi
senioritas, yaitu siswa junior harus patuh kepada siswa senior.
Karena sudah menjadi tradisi dan berlangsung sangat lama, maka
menjadi sebuah kewajaran jika pihak yang senior menjadi
sewenang-wenang dan pihak junior yang menerima perlakuan tersebut menjadi
terbiasa. Bullying yang dilakukan senior terhadap junior pada
akhirnya menjadi lingkaran rantai kekerasan yang tidak akan pernah
ada habisnya
d) Kelas-kelas di sekolah yang memiliki jumlah murid yang sangat
besar, sehingga dapat berpotensi menumbuhkan suasana bullying
dibandingkan dengan jumlah murid yang terbatas. Jumlah murid
yang besar membuat para guru tidak bisa mengontrol dan mengawasi
dengan maksimal perilaku yang terjadi antar siswa
2) Lingkungan keluarga
Anak belajar bertingkah laku pertama kali adalah di lingkungan keluarga,
sehingga keluarga dianggap sebagai pencetak atau pondasi tingkah laku
seseorang. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku
bullying dari lingkungan keluarga yaitu :
Semua jenis keluarga akan memberikan sumbangsih tersendiri dalam
pembentukan masing-masing pribadi pelaku, korban maupun
penontonbullying. Seperti dalam tabel 2:
Tabel 2. Jenis Sumbangan Keluarga Dalam Pembentukan Pribadi Menjadi Pelaku, Korban Maupun Penonton Bullying (Coloroso, 2007 : 150-195)
Keluarga Otoriter Keluarga Permisif Keluarga Demokrasi
Calon
Pelaku
Dalam keluarga ini, anak akan menjadi pribadi yang keras, terbiasa berkompetisi, tidak ada ruang bagi yang salah, adanya berbagai macam hukuman fisik/verbal yang sering dilakukan oleh orang tua, tidak berkembangnya rasa empati, dll, yang membuat seorang anak mencari orang lain untuk melampiaskan ketakutan mereka dan minindas orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka
Dalam keluarga ini, anak akan menjadi pribadi yang tidak dapat merasakan perasaan mereka sendiri (cenderung mengubur perasaan tersebut), tidak empatik, pribadi yang senang melihat dan merasa baik dengan membuat orang lain merasa buruk, dan pengertian akan cinta yang bersyarat.
Jenis keluarga ini dianggap paling ideal dalam pembentukan pribadi seorang anak. Tetapi sangatlah sukar mewujudkan keluarga yang sungguh demokratis. Jika suatu saat terjadi timpang, maka anak dapat terbentuk sebagai pribadi yang fanatik terhadap mayoritas, berani berkata tidak dan melawan (tetapi dalam hal apapun), senang untuk mengontrol orang lain, dan adanya kepuasan saat mempunyai kewenangan atau kekuasaan.
Calon Korban
Dalam keluarga ini tidak ada ruang untuk sebuah kesalahan. Ketika mereka ditindas atau mendapatkan tekanan, mereka akan berpendapat bahwa sudah sewajarnya mereka mendapatkan tekanan tersebut (menjadi hal yang wajar).
Keluarga ini sangat fleksibel, justru membuat anak menjadi sangat pasrah atas kejadian yang akan dihadapinya. Selain itu, calon korban dalam keluarga ini tidak tahu cara mencari pemecahan dari masalah yang dihadapinya.
Keberanian untuk
mengungkapkan perbedaan yang dipelajari dalam keluarga ini, seringkali membuat anak menjadi calon korban di lingkungan pergaulannya.
Calon
Penonton
Dalam keluarga ini, tidak jarang ditemukan kekerasan
fisik/verbal yang sering dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak. Hal ini membentuk pribadi para calon
Tipe keluarga ini adalah mengikuti arus dan aturan dibuat tetapi tidak pernah ada
ketegasan. Oleh karena itu, sumbangannya bagi calon
penontonbullyingyaitu
Dalam keluarga ini, pribadi calon penonton bisa menjadi
penonton pasif maupun penonton aktif. Penonton pasif
penonton yang terbiasa akan hal tersebut. Saat peristiwa itu
mereka tidak akan berbuat sesuatu untuk mencegah
atapun reaksi yang lain. Bahkan ada yang justru menyukainya karena peristiwa
tersebut dianggap tontonan yang menarik .terjadi di
hadapan mereka
pribadi mereka yang mudah mengikuti arus. Arus disini dalam pengertian bahwa
sesekali mereka bisa menikmati dan hanya sebagai
penonton saja. Di lain hari, saat ia melihat, ia bisa saja membantu pelakubullying ataupun bisa pula membantu
korbanbullying.
bukan urusan mereka. Menjadi penonton aktif karena keberanian mereka bertindak
saat peristiwa itu terjadi. Mereka bisa membela pelaku
ataupun malah si korban, ataupun melerai peristiwa
supaya tidak berlanjut.
b) Pandangan yang keliru dari orangtua.
Banyak orang tua yang melihat perilakubullying sebagai ajang tempa
diri bagi anaknya agar tumbuh menjadi pribadi tahan banting dan
disiplin. Hal ini yang membuat bullying di sekolah dapat tumbuh
dengan subur (Juwita : 2006)
c) Modelling
Anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan
kekerasan akan lebih terbiasa dengan perilaku kekerasan di
bandingkan dengan anak yang lingkungan keluarganya tidak penuh
dengan kekerasan. Dengan selalu menyaksikan orang tuanya marah,
bertindak kasar (atau anak yang merasa di abaikan dan tidak dicintai),
mereka akan dengan cepat dan mudah mengadaptasi perilaku yang di
dapatnya dari lingkungan keluarga itu.
d) Aspek relasional
Juwita (2006) menemukan bahwa anak yang tidak mulus interaksinya
dengan sang ayah, akan cenderung menjadi pelaku atau korban
anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, akan menyebabkan anak
tanpa sadar bertingkah laku apa pun untuk menarik perhatian. Tidak
jarang mereka juga menularkan perasaan tidak amannya tersebut dari
rumah ke sekolah.
3) Lingkungan masyarakat
Juwita (2006) mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab
perilaku bullying bisa tumbuh dengan subur dalam masyarakat adalah
budaya feodalisme, yaitu ketika orang muda harus menghormati mereka
yang usianya lebih tua apa pun perlakuan mereka. Budaya ini terwujud di
segala bidang kehidupan, sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu
faktor yang kuat penyebab timbulnya perilaku bullying di masyarakat.
Jika di dalam lingkungan sekolah, seperti salah satu sub bab yang sudah
di jelaskan di atas, budaya feodalisme ini terwujud dalam budaya
senioritas kakak kelas dan adik kelas. Karena sudah menjadi budaya,
maka masyarakat menjadi tidak sadar bahwa bullying sering terjadi di
depan mereka.
yang biasa atau wajar. Karena biasa dan wajar, praktik bullying di sekolah menjadi luput dari perhatian kita secara serius.
4. Karakteristik Pelaku , Korban dan Penonton Bullying
a. Pelaku bullying
Coloroso (2007) mengatakan bahwa ada banyak alasan mengapa beberapa anak menggunakan kecakapan dan bakat untuk menyerang atau melukai orang lain. Para pelaku bullying memiliki sifat yang sama dalam menyerang orang lain, walaupun cara dan gaya mereka berbeda-beda. Sifat yang pada umumnya ada dalam diri pelakubullyingantara lain :
1) Cenderung hiperaktif, disruptive,impulsive, danoveractive 2) Suka mendominasi orang lain
3) Suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan
4) Sulit melihat situasi dari titik pandang orang lain
5) Hanya peduli pada keinginan dan kesenangan mereka sendiri, bukan pada kebutuhan hak-hak, dan perasaan-perasaan orang lain
6) Menggunakan kesalahan, kritikan, dan tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan mereka pada targetnya
7) Haus perhatian
8) Memiliki temperamen yang sulit dan masalah pada atensi/konsentrasi
9) Berteman dengan anak-anak yang juga memiliki kecenderungan agresif
10) Kurang memiliki empati terhadap korbannya dan tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya
b. Korbanbullying
1) Anak baru di suatu lingkungan 2) Anak termuda di sekolah 3) Anak penurut
4) Anak yang perilakunya dianggap mengganggu bagi orang lain 5) Anak yang tidak mau berkelahi, lebih suka menyelesaikan
konflik tanpa kekerasan
6) Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian oran glain, penggugup, peka 7) Anak yang miskin atau yang kaya
8) Anak yang memiliki etnis/agama yang minoritas dan orientasi gender atau seksual yang berbeda.
9) Anak yang kurus atau gemuk, pendek atau jangkung 10) Anak yang memakai kacamata atau kawat gigi
11) Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya
12) Anak yang memiliki ciri fisik berbeda dengan mayoritas anak lainnya.
13) Anak dengan ketidakcakapan mental dan/atau fisik. Anak-anak seperti itu biasanya dua atau tiga kali lebih sering ditindas daripada anak-anak lain karena mereka memiliki ketidakcakapan yang nyata sehingga menyediakan dalih buat sang pelaku.
14) Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah. Mereka akan diserang karena sang pelaku sedang ingin menyerang seseorang di tempat itu dan pada saat itu juga.
c. Penontonbullying
Colorso (2007:128-132) menemukan ciri-ciri seseorang yang biasanya menjadi penonton perilaku bullying. Ciri-ciri tersebut antara lain:
1) Anak-anak yang hanya berdiam diri dan memandangi saja 2) Anak-anak yang mendorong penindas secara aktif
3) Anak-anak yang bergabung dan menjadi salah satu anggota dari gerombolan penindas
4) Memberikan penguatan kepada pelaku bullying berupa tepuk tangan, tawa dan anggota tubuh lainnya.
5) Menambah kehancuran kendali batin korban bullying dengan teriakan-teriakan, kritik-krtitik kejam yang bersifat verbal, fisik dan relasional.
berada dalam situasi dengan segala kerumitannya. Olweus juga menemukan bahwa mayoritas kalangan sebaya tidak membantu teman sekelasnya yang menjadi sasaran kekerasan.
Colorso (2007:134-141) mengemukakan bahwa terdapat empat alasan pokok yang sering dijadikan pembenar bagi sang penonton bullying untuk tidak ikut campur pada saat peristiwa bullyingitu terjadi, antara lain :
a) Sang penonton takut dirinya ikut tersakiti. Pelaku yang lebih besar dan lebih kuat serta memiliki reputasi yang membenarkan ketakutannya; itulah yang membuat tindakan membela target bukanlah siasat taktis yang bisa dilakukan. b) Penonton takut menjadi target bullying yang baru. Bahkan,
kalau sang penonton mampu membela target bullying, ada kemungkinan ia akan dipilih menjadi korban berikutnya oleh pelakubullying.
c) Penonton takut untuk melakukan sesuatu yang hanya akan memperburuk situasi.
d) Penonton tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan.
Secara umum, Orpinas (2006: 17) mengelompokkan karakteristik para pelaku, korban, dan penonton seperti yang disajikan dalam table 3:
Tabel 3.
Types of Bullies, Victims, and Bystanders Bullies Aggressive Follower Relational Victims Passive Provocative Relational
Bystanders Part of the problem Instigate
Watch Are Scared
Are ashamed or feel guilty for not helping
Part of the solution Ask for help
Help defuse the problem
5. Dampak Bullying
Peristiwa bullyingyang terjadi di sekolah secara langsung maupun tidak langsung akan membawa dampak bagi para personil yang terlibat di dalamnya. Para personil yang terlibat dalam sebuah peristiwabullying yaitu pelakubullying (sang penindas), korban bullying (sang tertindas), dan para penonton peristiwa bullying (biasanya teman sebaya atau yang sedang berada di sekeliling ketika peristiwabullyingterjadi). Uraian lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
a. Bagi pelaku bullying
Adapun dampak jangka panjang dari peristiwa bullying bagi para pelakubullyingmenurut Coloroso (2007: 56-79) yaitu :
1) Tumbuh menjadi pribadi yang suka terhadap kekerasan 2) Tumbuh sebagai pribadi yang memiliki ego yang besar
3) Tidak memiliki empati terhadap orang lain dan perasaan menyesal
4) Menjadi pribadi yang kejam dan penuh dendam terhadap orang lain
5) Tumbuh sebagai pribadi yang suka bereaksi agresif bahkan pada provokasi yang ringan, dan membenarkan tanggapan agresifnya dengan menempatkan kesalahan di luar dirinya 6) Suka menguasai, mengontrol, mendominasi, menduduki dan
menjajah
7) Memiliki sikap fanatisme terhadap perbedaan. Perbedaan sama dengan lemah, dan karenanya tidak layak mendapat penghargaan.
8) Tumbuh menjadi pribadi yang arogan dan memegang hukum senioritas
9) Merasa memiliki kekuasaan untuk mengecualikan orang lain, membatasi, mengisolasi dan memisahkan orang lain.
b. Bagi korbanbullying
1) Depresi
2) Rendahnya kepercayaan diri / minder 3) Pemalu dan penyendiri
4) Merosotnya prestasi akademik 5) Merasa terisolasi dalam pergaulan
6) Terpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh diri
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Olweus (1993) bullying dapat mempengaruhi kesehatan para korban bullying. Gejala-gejala yang nampak antara lain:
1) Stress dan menjadi mudah cemas
2) Menjadi sering sakit seperti terjangkit infeksi virus khususnya seperti flu, demam tinggi, batuk, paru-paru, telinga, hidung dan infeksi tenggorokan (stress dapat menurunkan system kekebalan tubuh)
3) Sering merasakan sakit di daerah persendian dan tulang tanpa sebab yang jelas, juga sakit tulang belakang dan mereka tidak akan mau untuk memeriksakannya
4) Sakit kepala dan sering migrant 5) Mudah capek, kelelahan
6) Susah tidur, selalu mimpi buruk, bangun lebih awal, dan bangun tidur menjadi lebih capai dibandingkan dengan saat akan tidur
7) Sering teringat peristiwa yang sudah dialami. Korban tidak bisa melupakan wajah dari pelaku yang sudah menyerangnya 8) Mengalami sindrom iritasi perut yang parah
9) Tidak bisa konsentrasi terhadap sesuatu dan untuk waktu yang lama
10) Sering berkeringat, gemetar, menggigil, berdebar-debar, dan serangan panik
11) Menjadi orang yang sangat waspada (tetapi bukan paranoia) 12) Hipersensitif, lemah, terisolasi, pendiam dan menarik diri
dari pergaulan
c. Para penonton bullying
menjadi salah satu anggota dari gerombolan penindas. Apa pun pilihan penonton peristiwa bullying, ada harga yang harus dibayar.
Menurut Coloroso (2007: 129-140), keterlibatan aktif penonton mendukung pelakubullyingdapat menambah perasaan tertekan pada korban. Penonton yang hanya berdiri tanpa melakukan apa pun atau menyingkir memiliki konsekuensi tersendiri. Ketidakadilan yang diabaikan menjadi suatu penyakit menular yang menginfeksi orang lain, bahkan mereka yang berpikir dapat menyingkir dari hal itu. Rasa percaya diri dan harga diri para penonton terkikis ketika mereka mengalahkan perasaan takut karena telah terlibat dan mengabaikan fakta bahwa dengan tidak melakukan apa-apa berarti tanggung jawab moral mereka pada teman-teman sebaya yang menjadi target telah hilang. Adapun dampak yang bisa muncul dalam diri sang penonton bullyingantara lain :
1) Menjadi tidak peka terhadap kekejaman yang terjadi di sekelilingnya
2) Berpotensi besar untuk menjadi pelaku bullying
3) Dapat berpotensi pula menjadi sasaran bullyingselanjutnya 4) Dapat mengintimidasi aktivitas-aktivitas yang dilakukan
pelaku bullying jika mereka menganggap pelaku sebagai model yang popular, kuat dan berani.
5) Menjadi pribadi yang responsif
6) Sulit mengembangkan perasaan empati, belas kasih dan pengambilan perspektif (dapat menempatkan diri pada sudut pandang orang lain).
B. Siswa Sebagai Remaja dan Aspek-Aspek Perkembangannya 1. Pengertian Siswa Sebagai Remaja
Menurut Rifai (1984) remaja adalah pemuda dan pemudi yang berada pada masa perkembangan yang disebut “adolesensi”. Masa ini merupakan suatu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia, di mana individu sudah tidak dapat lagi disebut anak kecil, tetapi juga belum dapat disebut orang dewasa. Masa remaja adalah suatu tahapan hidup manusia yang banyak mengalami perubahan dan membawa individu pindah dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi aspek jasmani, rohani, pikiran, perasaan, dan aspek sosial. Masa remaja merupakan masa peralihan atau transisi ke masa dewasa.
Gunarsa dan Gunarsa (1986: 203) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa yakni antara usia 12 sampai 21 tahun.. Perkembangan pada masa ini sangat menentukan perkembangannya di masa-masa selanjutnya.
2. Aspek-Aspek Perkembangan Siswa Sebagai Remaja
Perkembangan merupakan perubahan yang menyangkut aspek kualitatif. Menurut Herdiansiska dan Ediana (1999: 5) perubahan kualitatif mempunyai ciri-ciri, yaitu: progresif, teratur, berkesinambungan dan akumulatif. Aspek-aspek perkembangan, seperti yang diuraikan pada bagian berikut ini:
a. Perkembangan kepribadian
meliputi penilaian diri, penilaian sosial dan citra diri. Penilaian diri mengandung arti bahwa remaja menyadari keinginan atau dorongan yang datang dari dalam dirinya. Sedangkan penilaian sosial, mengandung arti bahwa remaja mampu mengevaluasi penilaian sosial terhadap dirinya. Keberhasilan remaja dalam mengembangkan kepribadiannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hurlock (1994:238) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu: pertama, faktor bawaan yang dibentuk oleh temperamen dan lingkungan yang terus-menerus saling mempengaruhi ; kedua, pengalaman awal dalam lingkungan keluarga ; dan ketiga, pengalaman-pengalaman dalam kehidupan selanjutnya.
b. Perkembangan identitas diri
Menurut Havighurst (Rifai, 1984), identitas diri adalah kemampuan dalam menjalankan peran-peran sosial menurut jenis kelamin masing-masing, artinya menerima jenis kelamin secara kodrati sehingga mempunyai perasaan puas terhadap diri sendiri, mempelajari dan menerima peran masing-masing sesuai dengan ketentuan atau norma-norma masyarakat. Identitas atau jati diri remaja tergantung pada keberadaan kelompok yang dapat memberikan makna bagi dirinya. Salah satu identitas diri yang diharapkan dapat dimiliki pada masa remaja adalah identitas jenis kelamin. c. Perkembangan sosial
yang sebaya. Hal ini mendorong remaja menilai penting hubungan dengan teman sebaya (peer group), teman yang merupakan tempat berbagi pengalaman dan perasaan serta wahana untuk membentuk identitas diri (Gunarsa dan Gunarsa, 1990:198). Ciri khas perkembangan sosial remaja tampak dari konformitas, yaitu gejala menyesuaikan diri dengan keinginan kelompok sebaya. Ciri khas konformitas pada usia remaja tersebut, yang membuat seseorang menjadi terikat terhadap teman sebaya (peer-group) daripada orang tua.
d. Perkembangan emosi
Menurut Hurlock (1994), emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan manusia seperti penyesuaian pribadi dan sosialnya. Perkembangan emosi dikendalikan oleh proses pematangan dan proses belajar secara bersamaan. Ada lima bentuk cara belajar yang menunjang perkembangan emosi, yaitu: coba ralat (trial and error), peniruan (imitation), menyama-bedakan (identification), pengondisian (conditioning) dan dengan pelatihan (training).
e. Perkembangan kognitif
Teori perkembangan kognitif menurut Piaget (Herdiansiska dan Ediana, 1999: 34) menyebutkan bahwa kemampuan kognitif remaja berada pada tahap formal operational. Pada tahap ini remaja harus mampu mengembangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya. Ia harus dapat memandang masalah dari berbagai sudut pandang dan menyelesaikan dengan mengambil banyak faktor sebagai landasan pertimbangan.
Gunarsa dan Gunarsa (1990: 197) mengungkapkan bahwa remaja memiliki kemampuan berpikir secara abstrak, idealis dan logis. Kemampuan berpikir remaja yang demikian itu membuat remaja, antara lain:
1) Kritis, yaitu menimbang segala sesuatu dengan kerangka pikir rasional dan jelas, sebab demikian remaja cenderung mempertanyakan ulang aturan-aturan yang diterima.
2) Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, yaitu perkembangan intelektual remaja membuatnya ingin mengetahui dan mempertanyakan banyak hal. Rasa ingin tahu yang kuat tersebut tumbuh bersamaan dengan kebutuhan bereksplorasi terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya.
3) Ego sentris, yaitu remaja memusatkan perhatian dan pikiran pada sudut pandangnya.
f. Perkembangan moral
diharapkan oleh kelompok dari dirinya dan mampu berperilaku sesuai dengan harapan masyarakatnya, tanpa harus selalu dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti dimasa anak-anak. Remaja memiliki kecenderungan untuk membentuk prinsip moral yang otonom, yang berlaku untuk dirinya sendiri, walaupun seringkali tidak bersesuaian dengan prinsip kelompok dan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sering memicu terjadinya konflik dengan orang tua dan orang dewasa lainnya. Remaja harus mampu mengendalikan perilakunya sendiri, dan tidak selalu bergantung pada orang tua dan para guru (Hurlock, 1994: 225). Hurlock (1994) menjelaskan bahwa perkembangan moral berarti perkembangan perilaku yang sesuai dengan tata moral kelompok sosial.
Aspek-aspek perkembangan remaja sebagaimana telah dipaparkan di atas akan berkembang dengan baik bila dalam perkembangannya saling berkesinambungan dan memperolah dukungan dari lingkungan. Jika lingkungan tidak mendukung, maka pemenuhan aspek-aspek perkembangan tersebut akan terhambat. Santrock (1995) mengemukakan bahwa dalam perkembangan emosi, setiap remaja mulai menuntut otonomi dan kebebasan emosional yang semakin besar dari orang tua mereka. Mereka akan berjuang untuk menemukan kenyamanan diri, terlebih ketika harus berelasi dengan teman sebaya. Hal ini dapat menjadi sebuah masalah jika kedua orangtua tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
yang memiliki emosi meledak-ledak akan cenderung menyerang teman lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa aspek-aspek di atas mempunyai dampak terhadap munculnya perilaku bullying dalam diri anak. Saat aspek-aspek perkembangan belum tercukupi, anak akan mencari pemenuhan dengan caranya sendiri. Pada saat itu dapat dikatakan awal permulaan munculnya perilaku bullying anak sebagai salah satu cara pemenuhan kebutuhan ataupun sebagai katarsis atas kegelisahan akan kekurangannya.
Selain perkembangan emosional pada remaja di atas, remaja juga memiliki tugas perkembangan untuk mencari identitas diri (Utamadi, 2007). Remaja yang berhasil menemukan identitas diri akan memunculkan kepribadian yang menarik dan dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Sosialisasi merupakan tahap dimana remaja menempatkan diri pada lingkungannya, sehingga akan menjadi mudah bagi mereka ketika bersosialisasi dengan orang lain termasuk di lingkungan sekolah. Masa remaja merupakan masa pembelajaran untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Konsep tersebut semestinya mendasari proses sosialisasi remaja, sehingga mereka mampu untuk menghindarkan diri dari tindakan agresif yang merugikan orang lain seperti perilaku bullying(Santrock, 1995).
dilakukan. Segala tindakan diarahkan agar dirinya diterima oleh lingkungan sosialnya.
Menurut Erikson (dalam Santrock, 1996), salah satu tugas perkembangan yang utama pada masa remaja adalah pembentukan indentitas diri yang kohern. Tugas pembentukan identitas digambarkan Erikson sebagai kemampuan pembuatan keputusan dengan mengeksplorasi alternatif dan komitmen berdasarkan peran tertentu. Remaja tertarik untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya dan kemana mereka akan menuju ke masa depan. Remaja yang berhasil mengatasi identitas yang saling bertentangan pada masa ini akan memunculkan suatu kepribadian yang menarik dan dapat diterima. Sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas, menjadi bingung dan menderita, sehingga perilaku mereka akan cenderung menarik diri dari identitas mereka dalam kelompok. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa remaja yang berhasil mengatasi identitas diri dan memunculkan kepribadian menarik berpotensi menjadi pelaku bullying di sekolah. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas dapat berpotensi pula menjadi korban bullying di lingkungan sekolah.
C. Bimbingan dan Konseling di Sekolah 1. Fungsi Bimbingan dan Konseling
a. Fungsi Pemahaman
b. Fungsi Pencegahan
Pelaksanaan fungsi pencegahan bagi konselor merupakan bagian dari tugas kewajibannya yang amat penting (Prayitno, 1999 : 202). Upaya pencegahan dalam dunia kesehatan mental berkaitan dengan lingkungan yang dapat mempengaruhi seseorang. Dalam lingkungan sekolah, memperbaiki dan mengubah lingkungan seringkali amat sulit dilakukan oleh konselor. Oleh sebab itu, konselor harus tetap berusaha untuk menghubungi dan membicarakan dengan pihak-pihak yang bersangkutan dengan lingkungan para siswa. Tahap-tahap dalam pelaksanaan fungsi pencegahan menurut Prayitno (1999 : 208) antara lain :
1) Identifikasi permasalahan yang mungkin timbul 2) Mengidentifikasi dan menganalisis sumber-sumber
penyebab timbulnya masalah
3) Mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat membantu pencegahan masalah tersebut
4) Menyusun rencana program pencegahan 5) Pelaksanaan dan monitoring
6) Evaluasi dan laporan
c. Fungsi Pengentasan
Orang yang mengalami masalah itu dianggap berada dalam suatu keadaan yang tidak mengenakan. Upaya membantu penyelesaian masalah seseorang berarti pula, menempatkan seseorang tersebut dalam keadaan yang pantas. Upaya yang dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Dalam hal tersebut, pelayanan bimbingan dan koseling menyelenggarakan fungsi pengentasan (Prayitno, 1999: 209).
Fungsi pengentasan melalui pelayanan bimbingan dan konseling berdimensi luas. Pelaksanaannya tidak hanya melalui bentuk layanan konseling perseorangan saja, tetapi dapat pula dengan menggunakan bentuk-bentuk layanan lainnya, seperti konseling kelompok, program-program orientasi dan informasi serta program-program-program-program lainnya yang disusun secara khusus bagi siswa.
Dalam kasus bullying di sekolah, fungsi pengentasan yang dilakukan bimbingan konseling bisa dilakukan kepada semua pihak yang berkaitan dengan peristiwa ataupun perilaku bullying yang terjadi di sekolah. Penyelenggaraan konseling perseorangan dapat diberikan kepada pelaku bullying, korban bullying, maupun penontonbullying. Selain itu layanan konseling bisa diberikan kepada orang tua masing-masing pihak, para guru di sekolah, maupun pemberian informasi secara intens kepada seluruh warga sekolah mengenai topikbullying.
d. Fungsi Pemeliharaan dan Pengembangan
hal itu merupakan pembawaan maupun hasil-hasil perkembangan yang telah dicapai selama ini. Berbicara mengenai ‘pemeliharaan’, maka pemeliharaan yang baik bukanlah sekedar mempertahankan agar hal-hal yang dimaksudkan tetap utuh, tidak rusak, dan tetap dalam keadaan semula, melainkan juga mengusahakan agar hal-hal tersebut bertambah baik, kalau dapat lebih indah, lebih menyenangkan dan memiliki nilai tambah dari waktu-waktu sebelumnya. Oleh karena itu, fungsi pemeliharaan dan fungsi pengembangan tidak dapat dipisahkan. Tugas-tugas dan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan, apalagi pemeliharaan dan pengembangan individu manusia dengan segala aspeknya sangat bervariasi dan kompleks, tidak dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, fungsi pemeliharaan dan fungsi pengembangan dalam suatu kegiatan atau program bimbingan dan konseling sebenarnya terkait langsung pada ketiga fungsi yang lainnya yakni: pemahaman, pencegahan, dan pengentasan. Dalam menjalankan fungsi pemeliharaan dan fungsi pengembangan itu, konselor sering kali tidak dapat berjalan sendiri, melainkan perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain.
ada, tetapi ditutup-tutupi karena dianggap sesuatu yang wajar. Oleh sebab itu petugas bimbingan harus tetap membuat program-program perencanaan atau kegiatan agar peristiwa bullying di sekolah tetap terpantau dan tidak meningkat. Petugas bimbingan dan konselor sekolah harus dapat menjalin kerjasama dengan berbagai pihak di dalam maupun di luar sekolah untuk menekan pertumbuhan bullying di dalam lingkungan sekolah.
2. Sumbangan Yang Dapat Dilakukan Bimbingan dan Konseling Untuk Mencegah Berkembangnya PerilakuBullyingdi Sekolah
Olweus (Coloroso, 2007:333-335) mengatakan bahwa ada beberapa intervensi yang dapat dilakukan pihak konselor sekolah untuk mencegah berkembangnya perilaku bullying di sekolah, antara lain yaitu :
a. Pengadaan kegiatan untuk pengumpulan informasi mengenai perilaku bullyingdi sekolah secara langsung dari para siswa
b. Pengadaan aturan-aturan yang jelas mengenai sanksi penindasan di ruang kelas atau di lingkungan sekolah secara menyeluruh
Para siswa perlu diberi pengetahuan akan adanya aturan-aturan yang dibuat pihak sekolah terhadap perilaku bullyingjika dilakukan di dalam lingkungan sekolah. Peraturan tersebut akan dilaksanakan dan berlaku kepada semua pihak di sekolah.
c. Pemberian pelatihan bagi para guru di sekolah untuk menanggapi
bullyingsecara peka dan konsisten
Para pendidik semestinya mengajarkan toleransi akan keragaman dan mencontohkan perilaku yang positif, menghargai dan mendukung secara tepat kepada para siswa. Para pendidik tidak lagi perlu berdalih untuk tidak turun tangan bahkan menutup mata terhadap permasalahan bullying di sekolah.
d. Pemberian pengawasan secara khusus untuk tempat-tempat yang sulit dijangkau dan tertutup, seperti sudut kantin, sudut kamar mandi, lorong kelas dan sebagainya
Salah satu strategi yang efektif untuk mengamankan sekolah adalah kehadiran fisik orang-orang dewasa yang bertanggung jawab.
e. Perbaikan kesadaran dan keterlibatan orang tua dalam bersikap dan melihat permasalahan bullying di sekolah
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan metodologi penelitian, yaitu jenis penelitian, variabel penelitian, subyek penelitian, instrumen penelitian/alat ukur dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei. Menurut Furchan (2005) penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan. Menurut Rahmat (2000: 415) penelitian deskriptif bertujuan mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek yang berlaku. Tujuan penelitian deskriptif adalah melukiskan variabel atau kondisi “apa yang ada“ dalam suatu situasi (Furchan, 2005). Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat perilaku bullyingpara siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah para siswa dan siswi yang duduk di kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 4. Jumlah siswa kelas XI
SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009
No Kelas Jumlah Siswa
1 XI – IPA 1 26
2 XI – IPA 2 25
3 XI – IPA 3 26
4 XI – IPS 1 31
5 XI – IPS 2 32
6 XI – IPS 3 32
7 XI – IPS 4 31
8 XI – BAHASA 10
Sedangkan jumlah siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta yang mengikuti penelitian dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 5. Jumlah siswa kelas XI SMA BOPKRI 2
Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 yang Mengikuti Penelitian
No Kelas Jumlah siswa
yang absen
Jumlah Siswa yang hadir
1 XI – IPA 1 1 25
2 XI – IPA 2 - 25
3 XI – IPA 3 2 24
4 XI – IPS 1 5 26
5 XI – IPS 2 7 25
6 XI – IPS 3 5 27
7 XI – IPS 4 8 23
8 XI – BAHASA 1 9
TOTAL 184
Dalam penelitian ini, tidak ada pemilihan sampel karena semua anggota populasi dijadikan subjek penelitian. Menurut Ari, dkk (Sukardi 2003)“population is all members of well defined class of people”. Responden yang dijadikan subjek penelitian berjumlah 184 orang.
C. Instrumen Penelitian/Alat Ukur
Instrumen dalam penelitian ini adalah skala psikologis untuk mengukur tingkat perilaku bullying para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 dalam bentuk kuesioner.
1. Jenis Alat Ukur
bullying ini adalah bentuk pernyataan dengan pilihan-pilihan. Responden dihadapkan pada stimulus yang berupa keadaan, situasi atau masalah. Saat pengisian kuisioner, responden diminta menentukan salah satu tindakan di antara pilihan-pilihan yang disediakan.
Tabel 6.
Kisi-Kisi PerilakuBullying
No Uraian No Soal Total
Item 1. Kekerasan Verbal:
a. Kontak Verbal Langsung:
1). Mengancam 1, 20, 34, 41 4
2). Mempermalukan 2, 47, 53 3
3). Memberikan julukan nama 27, 62 2
4). Merendahkan 11, 71 2
5). Mengganggu 13, 19, 54, 42 4
6). Sarkastik 3, 40, 63 3
7). Memberikan celaan dan hinaan 6, 14, 26, 31, 46, 48, 70
7
8). Membentak dengan kasar 10 1
9). Memberikan kritik tajam 5, 35, 61 3
10). Berbicara kasar dan meneror melalui telepon 24, 36, 52, 60, 68
5 11). Mencaci maki yang diikuti sebuah tindakan 4, 23, 25, 49, 73,
75, 78, 80
8
12). Penghinaan ras 12, 43, 67 3
b. Kontak Verbal Tidak Langsung:
1). Menyebarkan fitah/gossip mengenai hal yang tidak benar disertai dengan pengucilan
7, 51, 59, 64, 72, 83
6 2). Mengirim e-mail yang berisi intimidasi/ejekan 28, 55 2 3). Mengirim surat kaleng yang berisi ancaman dan
hinaan
39, 77, 85 3
2 Kekerasan Fisik:
a. Kontak fisik langsung
8, 17, 18, 29, 33, 38, 45, 56, 65, 79,
81, 83, 84
13
3 Kekerasan Relasional:
f. Menampilkan bahasa tubuh yang negative 9, 21, 30, 44, 57, 66, 74
7
g. Mendiamkan seseorang 22, 50 2
h. Sendiri atau bersama-sama dengan kelompok mayoritas untuk menghindari korban atau tidak mengikutsertakan korban dalam aktivitas bersama
16, 32, 37, 69 4
i. Memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak 15, 58, 76 3
2. Format Pernyataan
Item-item skala yang digunakan untuk mengungkap tingkat perilaku bullying para siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 adalah berupa pernyataan-pernyataan tentang jenis-jenis perilaku bullying. Alternatif jawaban yang disediakan peneliti ada empat yaitu “Sangat Sering” (SS), “Sering” (S), “Kadang-Kadang” (K) dan “Jarang” (J).
3. Penentuan Skor (scoring)
Penentuan skor untuk setiap jawaban dari item-item pernyataan adalah sebagai berikut :
a. Untuk pernyataan yang bersifat negatif (favorable) atau yang mengarah terhadap aspek jenis perilaku bullying, jawaban “Sangat Sering” (SS) diberi skor 4, “Sering”(S) diberi skor 3, “Kadang-Kadang”(K) diberi skor 2 dan “Jarang” (J) diberi skor 1.
b. Untuk pernyataan yang bersifat positif (unfavorable) atau tidak mencerminkan aspek jenis perilaku bullying, jawaban “Sangat Sering” (SS) diberi skor 1, “Sering”(S) diberi skor 2, “Kadang-Kadang”(K) diberi skor 3 dan “Jarang” (J) diberi skor 4.
para siswa, demikian juga sebaliknya. Tingkat kemampuan tersebut nampak dalam konsistensi munculnya/tampilnya perilaku tersebut. Indikator-indikator untuk menyusun kuesioner dibuat berdasarkan jenis-jenis perilaku bullying menurut Coloroso (2007), yang nampak pada Tabel 6.
4. Uji Coba Kuesioner Tingkat PerilakuBullying
Sebelum kuesioner digunakan untuk penelitian, sebelumnya sudah melalui tahap uji coba terlebih dahulu sehingga dapat diketahui kualitas dari kuesioner tersebut. Kualitas yang dimaksud adalah tingkat validitas dan reliabilitas dari kuesioner.
a. Validitas
Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut ( Azwar, 1999)
Validitas terbagi atas tiga macam, yaitu: validitas isi, validitas konstruk atau konsep dan validitas kriteria. Dalam penelitian ini, validitas yang digunakan adalah validitas isi. Validitas isi adalah validitas yang mencerminkan keseluruhan isi yang akan diukur ( Furchan, 1982). Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi atau dinilai lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat “professional judgement” (penilaian professional), ( Azwar, 2003).
1) Dra. M. J. Retno Priyani, M.Si 2) Dr. A. Supratiknya
3) Fajar Santoadi, S.Pd 4) Br. Tryono, S