• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

B. Siswa Sebagai Remaja dan Apek–Aspek Perkembangannya

2. Aspek-Aspek Perkembangan Siswa Sebagai Remaja

Perkembangan merupakan perubahan yang menyangkut aspek kualitatif. Menurut Herdiansiska dan Ediana (1999: 5) perubahan kualitatif mempunyai ciri-ciri, yaitu: progresif, teratur, berkesinambungan dan akumulatif. Aspek-aspek perkembangan, seperti yang diuraikan pada bagian berikut ini:

a. Perkembangan kepribadian

Aspek perkembangan kepribadian remaja yang terpenting ialah konsep diri. Konsep diri merupakan gambaran remaja tentang dirinya, yang

meliputi penilaian diri, penilaian sosial dan citra diri. Penilaian diri mengandung arti bahwa remaja menyadari keinginan atau dorongan yang datang dari dalam dirinya. Sedangkan penilaian sosial, mengandung arti bahwa remaja mampu mengevaluasi penilaian sosial terhadap dirinya. Keberhasilan remaja dalam mengembangkan kepribadiannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hurlock (1994:238) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu: pertama, faktor bawaan yang dibentuk oleh temperamen dan lingkungan yang terus-menerus saling mempengaruhi ; kedua, pengalaman awal dalam lingkungan keluarga ; dan ketiga, pengalaman-pengalaman dalam kehidupan selanjutnya.

b. Perkembangan identitas diri

Menurut Havighurst (Rifai, 1984), identitas diri adalah kemampuan dalam menjalankan peran-peran sosial menurut jenis kelamin masing-masing, artinya menerima jenis kelamin secara kodrati sehingga mempunyai perasaan puas terhadap diri sendiri, mempelajari dan menerima peran masing-masing sesuai dengan ketentuan atau norma-norma masyarakat. Identitas atau jati diri remaja tergantung pada keberadaan kelompok yang dapat memberikan makna bagi dirinya. Salah satu identitas diri yang diharapkan dapat dimiliki pada masa remaja adalah identitas jenis kelamin. c. Perkembangan sosial

Menurut Hurlock (1994) perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Remaja mulai memperluas relasinya dengan teman sebaya. Ada dorongan yang kuat untuk bergaul dengan orang lain dan ingin diterima oleh orang lain, khususnya

yang sebaya. Hal ini mendorong remaja menilai penting hubungan dengan teman sebaya (peer group), teman yang merupakan tempat berbagi pengalaman dan perasaan serta wahana untuk membentuk identitas diri (Gunarsa dan Gunarsa, 1990:198). Ciri khas perkembangan sosial remaja tampak dari konformitas, yaitu gejala menyesuaikan diri dengan keinginan kelompok sebaya. Ciri khas konformitas pada usia remaja tersebut, yang membuat seseorang menjadi terikat terhadap teman sebaya (peer-group) daripada orang tua.

d. Perkembangan emosi

Menurut Hurlock (1994), emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan manusia seperti penyesuaian pribadi dan sosialnya. Perkembangan emosi dikendalikan oleh proses pematangan dan proses belajar secara bersamaan. Ada lima bentuk cara belajar yang menunjang perkembangan emosi, yaitu: coba ralat (trial and error), peniruan (imitation), menyama-bedakan (identification), pengondisian (conditioning) dan dengan pelatihan (training).

Banyak faktor yang mempengaruhi kematangan emosi remaja, antara lain: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan teman sebaya. Lingkungan keluarga yang mampu menciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga, misalnya adanya saling percaya, saling menghargai, penuh tanggungjawab dan membantu remaja untuk mencapai kematangan emosional. Penerimaan yang hangat dan penghargaan yang tepat dari teman sebaya turut pula mempengaruhi emosi remaja.

e. Perkembangan kognitif

Teori perkembangan kognitif menurut Piaget (Herdiansiska dan Ediana, 1999: 34) menyebutkan bahwa kemampuan kognitif remaja berada pada tahap formal operational. Pada tahap ini remaja harus mampu mengembangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya. Ia harus dapat memandang masalah dari berbagai sudut pandang dan menyelesaikan dengan mengambil banyak faktor sebagai landasan pertimbangan.

Gunarsa dan Gunarsa (1990: 197) mengungkapkan bahwa remaja memiliki kemampuan berpikir secara abstrak, idealis dan logis. Kemampuan berpikir remaja yang demikian itu membuat remaja, antara lain:

1) Kritis, yaitu menimbang segala sesuatu dengan kerangka pikir rasional dan jelas, sebab demikian remaja cenderung mempertanyakan ulang aturan-aturan yang diterima.

2) Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, yaitu perkembangan intelektual remaja membuatnya ingin mengetahui dan mempertanyakan banyak hal. Rasa ingin tahu yang kuat tersebut tumbuh bersamaan dengan kebutuhan bereksplorasi terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya.

3) Ego sentris, yaitu remaja memusatkan perhatian dan pikiran pada sudut pandangnya.

f. Perkembangan moral

Perkembangan moral remaja dipengaruhi juga oleh ruang lingkup dimana mereka tinggal. Pada masa ini remaja perlu mempelajari apa yang

diharapkan oleh kelompok dari dirinya dan mampu berperilaku sesuai dengan harapan masyarakatnya, tanpa harus selalu dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti dimasa anak-anak. Remaja memiliki kecenderungan untuk membentuk prinsip moral yang otonom, yang berlaku untuk dirinya sendiri, walaupun seringkali tidak bersesuaian dengan prinsip kelompok dan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sering memicu terjadinya konflik dengan orang tua dan orang dewasa lainnya. Remaja harus mampu mengendalikan perilakunya sendiri, dan tidak selalu bergantung pada orang tua dan para guru (Hurlock, 1994: 225). Hurlock (1994) menjelaskan bahwa perkembangan moral berarti perkembangan perilaku yang sesuai dengan tata moral kelompok sosial.

Aspek-aspek perkembangan remaja sebagaimana telah dipaparkan di atas akan berkembang dengan baik bila dalam perkembangannya saling berkesinambungan dan memperolah dukungan dari lingkungan. Jika lingkungan tidak mendukung, maka pemenuhan aspek-aspek perkembangan tersebut akan terhambat. Santrock (1995) mengemukakan bahwa dalam perkembangan emosi, setiap remaja mulai menuntut otonomi dan kebebasan emosional yang semakin besar dari orang tua mereka. Mereka akan berjuang untuk menemukan kenyamanan diri, terlebih ketika harus berelasi dengan teman sebaya. Hal ini dapat menjadi sebuah masalah jika kedua orangtua tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Remaja yang tidak terpenuhi aspek perkembangan emosinya, maka secara langsung akan berdampak dalam berelasi dengan teman sebaya. Anak

yang memiliki emosi meledak-ledak akan cenderung menyerang teman lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa aspek-aspek di atas mempunyai dampak terhadap munculnya perilaku bullying dalam diri anak. Saat aspek-aspek perkembangan belum tercukupi, anak akan mencari pemenuhan dengan caranya sendiri. Pada saat itu dapat dikatakan awal permulaan munculnya perilaku bullying anak sebagai salah satu cara pemenuhan kebutuhan ataupun sebagai katarsis atas kegelisahan akan kekurangannya.

Selain perkembangan emosional pada remaja di atas, remaja juga memiliki tugas perkembangan untuk mencari identitas diri (Utamadi, 2007). Remaja yang berhasil menemukan identitas diri akan memunculkan kepribadian yang menarik dan dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Sosialisasi merupakan tahap dimana remaja menempatkan diri pada lingkungannya, sehingga akan menjadi mudah bagi mereka ketika bersosialisasi dengan orang lain termasuk di lingkungan sekolah. Masa remaja merupakan masa pembelajaran untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Konsep tersebut semestinya mendasari proses sosialisasi remaja, sehingga mereka mampu untuk menghindarkan diri dari tindakan agresif yang merugikan orang lain seperti perilaku bullying(Santrock, 1995).

Santrock (1995) menyebutkan bahwa berdasarkan tahap perkembangannya secara kognitif remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal, dimana pemikiran menjadi lebih abstrak atau tidak terbatas pada pengalaman konkret aktual. Pada masa remaja, seseorang telah mengetahui tata aturan yang berlaku di lingkungan dimana ia tinggal. Dengan begitu, remaja sudah bisa membedakan perilaku mana yang boleh atau dilarang untuk

dilakukan. Segala tindakan diarahkan agar dirinya diterima oleh lingkungan sosialnya.

Menurut Erikson (dalam Santrock, 1996), salah satu tugas perkembangan yang utama pada masa remaja adalah pembentukan indentitas diri yang kohern. Tugas pembentukan identitas digambarkan Erikson sebagai kemampuan pembuatan keputusan dengan mengeksplorasi alternatif dan komitmen berdasarkan peran tertentu. Remaja tertarik untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya dan kemana mereka akan menuju ke masa depan. Remaja yang berhasil mengatasi identitas yang saling bertentangan pada masa ini akan memunculkan suatu kepribadian yang menarik dan dapat diterima. Sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas, menjadi bingung dan menderita, sehingga perilaku mereka akan cenderung menarik diri dari identitas mereka dalam kelompok. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa remaja yang berhasil mengatasi identitas diri dan memunculkan kepribadian menarik berpotensi menjadi pelaku bullying di sekolah. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas dapat berpotensi pula menjadi korban bullying di lingkungan sekolah.

Menurut Erikson (dalam Santrock, 1995) kenakalan remaja terjadi karena anak remaja gagal mengalami identitas diri. Tidak jarang pula mereka berperilaku menyimpang seperti membolos, melalaikan tugas belajar dan mogok belajar. Selain itu, juga mengalami hambatan dalam proses sosialisasi di sekolah, bahkan tindakan agresif terkadang sering muncul di dalam pergaulan.

C. Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Dokumen terkait