BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Perilaku Bullying
3. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Faktor-faktor penyebab perilaku bullying dibagi menjadi 2 kategori
besar, yaitu :
a. Faktor yang berasal dari dalam diri
Menurut Beane (1999), beberapa faktor yang bisa menyebabkan timbulnya
perilaku bullying yang berasal dari dalam diri seseorang antara lain yaitu:
anak yang secara genetik dapat menjadi anak yang agresif dan mudah sekali
mencontoh lingkungannya; memiliki berbagai macam agresi internal dalam
diri; memerlukan tempat untuk menyalurkan atau memindahkan agresi
internal kepada orang lain; tidak mengetahui cara berinteraksi dengan
b. Faktor yang berasal dari luar diri
Selain faktor dari dalam diri seseorang, faktor yang dapat menimbulkan
perilaku bullying adalah faktor-faktor yang berada di luar diri seseorang.
Faktor tersebut berbagai macam bentuknya, dan dapat dikelompokkan
berdasarkan kelompok lingkungan yang menjadi wilayah hidup seorang
anak.
1) Lingkungan sekolah
Berbagai macam faktor penyebab timbulnya perilaku bullying yang
berasal dari lingkungan sekolah yaitu :
a) Menurut psikolog Seto Mulyadi dalam perbincangan dengan
detik.com (14 November 2007) dikatakan bahwa remaja saat ini
hidup penuh dengan tekanan, terutama yang datang dari sekolah.
Sekolah memiliki kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang
terlalu kaku. Remaja membutuhkan wadah untuk menyalurkan bakat
non akademik yang terpendam akibat tekanan kurikulum sekolah
yang terlalu berat. Saat ini, remaja tidak mempunyai wadah dan
sarana untuk menyalurkan kreativitasnya, sehingga penyalurannya
pun menjadi menyimpang, yaitu wujudnya dengan
kejahilan-kejahilan, penyiksaan dan dengan adanya perilaku bullying yang
lainnya
b) Para guru yang menganggap bullying di sekolah akan dapat berlalu
begitu saja seiring dengan berlalunya waktu, sehingga mereka
berpikir tidak perlu melakukan sebuah tindakan pencegahan apapun
c) Sebagian guru di sekolah menganggap sebuah hal yang biasa saat
kakak kelas mengintimidasi adik kelas dengan alasan bahwa si adik
kelas ini akan melakukan hal yang sama jika ia sudah duduk di kelas
yang lebih tinggi. Di sini budaya feodalisme berubah menjadi
senioritas, yaitu siswa junior harus patuh kepada siswa senior.
Karena sudah menjadi tradisi dan berlangsung sangat lama, maka
menjadi sebuah kewajaran jika pihak yang senior menjadi
sewenang-wenang dan pihak junior yang menerima perlakuan tersebut menjadi
terbiasa. Bullying yang dilakukan senior terhadap junior pada
akhirnya menjadi lingkaran rantai kekerasan yang tidak akan pernah
ada habisnya
d) Kelas-kelas di sekolah yang memiliki jumlah murid yang sangat
besar, sehingga dapat berpotensi menumbuhkan suasana bullying
dibandingkan dengan jumlah murid yang terbatas. Jumlah murid
yang besar membuat para guru tidak bisa mengontrol dan mengawasi
dengan maksimal perilaku yang terjadi antar siswa
2) Lingkungan keluarga
Anak belajar bertingkah laku pertama kali adalah di lingkungan keluarga,
sehingga keluarga dianggap sebagai pencetak atau pondasi tingkah laku
seseorang. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku
bullying dari lingkungan keluarga yaitu :
Semua jenis keluarga akan memberikan sumbangsih tersendiri dalam
pembentukan masing-masing pribadi pelaku, korban maupun
penontonbullying. Seperti dalam tabel 2:
Tabel 2. Jenis Sumbangan Keluarga Dalam Pembentukan Pribadi Menjadi Pelaku, Korban Maupun Penonton Bullying (Coloroso, 2007 : 150-195)
Keluarga Otoriter Keluarga Permisif Keluarga Demokrasi
Calon Pelaku
Dalam keluarga ini, anak akan menjadi pribadi yang keras, terbiasa berkompetisi, tidak ada ruang bagi yang salah, adanya berbagai macam hukuman fisik/verbal yang sering dilakukan oleh orang tua, tidak berkembangnya rasa empati, dll, yang membuat seorang anak mencari orang lain untuk melampiaskan ketakutan mereka dan minindas orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka
Dalam keluarga ini, anak akan menjadi pribadi yang tidak dapat merasakan perasaan mereka sendiri (cenderung mengubur perasaan tersebut), tidak empatik, pribadi yang senang melihat dan merasa baik dengan membuat orang lain merasa buruk, dan pengertian akan cinta yang bersyarat.
Jenis keluarga ini dianggap paling ideal dalam pembentukan pribadi seorang anak. Tetapi sangatlah sukar mewujudkan keluarga yang sungguh demokratis. Jika suatu saat terjadi timpang, maka anak dapat terbentuk sebagai pribadi yang fanatik terhadap mayoritas, berani berkata tidak dan melawan (tetapi dalam hal apapun), senang untuk mengontrol orang lain, dan adanya kepuasan saat mempunyai kewenangan atau kekuasaan.
Calon Korban
Dalam keluarga ini tidak ada ruang untuk sebuah kesalahan. Ketika mereka ditindas atau mendapatkan tekanan, mereka akan berpendapat bahwa sudah sewajarnya mereka mendapatkan tekanan tersebut (menjadi hal yang wajar).
Keluarga ini sangat fleksibel, justru membuat anak menjadi sangat pasrah atas kejadian yang akan dihadapinya. Selain itu, calon korban dalam keluarga ini tidak tahu cara mencari pemecahan dari masalah yang dihadapinya.
Keberanian untuk
mengungkapkan perbedaan yang dipelajari dalam keluarga ini, seringkali membuat anak menjadi calon korban di lingkungan pergaulannya.
Calon Penonton
Dalam keluarga ini, tidak jarang ditemukan kekerasan
fisik/verbal yang sering dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak. Hal ini membentuk pribadi para calon
Tipe keluarga ini adalah mengikuti arus dan aturan dibuat tetapi tidak pernah ada
ketegasan. Oleh karena itu, sumbangannya bagi calon
penontonbullyingyaitu
Dalam keluarga ini, pribadi calon penonton bisa menjadi
penonton pasif maupun penonton aktif. Penonton pasif
yaitu hanya menonton saja karena mereka berpikir itu
penonton yang terbiasa akan hal tersebut. Saat peristiwa itu
mereka tidak akan berbuat sesuatu untuk mencegah
atapun reaksi yang lain. Bahkan ada yang justru menyukainya karena peristiwa
tersebut dianggap tontonan yang menarik .terjadi di
hadapan mereka
pribadi mereka yang mudah mengikuti arus. Arus disini dalam pengertian bahwa
sesekali mereka bisa menikmati dan hanya sebagai
penonton saja. Di lain hari, saat ia melihat, ia bisa saja membantu pelakubullying ataupun bisa pula membantu
korbanbullying.
bukan urusan mereka. Menjadi penonton aktif karena keberanian mereka bertindak
saat peristiwa itu terjadi. Mereka bisa membela pelaku
ataupun malah si korban, ataupun melerai peristiwa
supaya tidak berlanjut.
b) Pandangan yang keliru dari orangtua.
Banyak orang tua yang melihat perilakubullying sebagai ajang tempa
diri bagi anaknya agar tumbuh menjadi pribadi tahan banting dan
disiplin. Hal ini yang membuat bullying di sekolah dapat tumbuh
dengan subur (Juwita : 2006)
c) Modelling
Anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan
kekerasan akan lebih terbiasa dengan perilaku kekerasan di
bandingkan dengan anak yang lingkungan keluarganya tidak penuh
dengan kekerasan. Dengan selalu menyaksikan orang tuanya marah,
bertindak kasar (atau anak yang merasa di abaikan dan tidak dicintai),
mereka akan dengan cepat dan mudah mengadaptasi perilaku yang di
dapatnya dari lingkungan keluarga itu.
d) Aspek relasional
Juwita (2006) menemukan bahwa anak yang tidak mulus interaksinya
dengan sang ayah, akan cenderung menjadi pelaku atau korban
anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, akan menyebabkan anak
tanpa sadar bertingkah laku apa pun untuk menarik perhatian. Tidak
jarang mereka juga menularkan perasaan tidak amannya tersebut dari
rumah ke sekolah.
3) Lingkungan masyarakat
Juwita (2006) mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab
perilaku bullying bisa tumbuh dengan subur dalam masyarakat adalah
budaya feodalisme, yaitu ketika orang muda harus menghormati mereka
yang usianya lebih tua apa pun perlakuan mereka. Budaya ini terwujud di
segala bidang kehidupan, sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu
faktor yang kuat penyebab timbulnya perilaku bullying di masyarakat.
Jika di dalam lingkungan sekolah, seperti salah satu sub bab yang sudah
di jelaskan di atas, budaya feodalisme ini terwujud dalam budaya
senioritas kakak kelas dan adik kelas. Karena sudah menjadi budaya,
maka masyarakat menjadi tidak sadar bahwa bullying sering terjadi di
depan mereka.
Menurut Sulistyowati (2007) siaran televisi yang mengumbar kekerasan juga memberi andil pada praktik bullying. Bukan seberapa besar pengaruh televisi dalam mengubah perilaku penontonnya, tetapi, yang perlu mendapat tekanan ialah kekerasan yang diumbar melalui televisi menyebabkan individu (terutama anak-anak) menjadi cenderung permisif. Kekerasan pada tayangan televisi mungkin tidak mengubah perilaku penontonnya tetapi mendesakkan kekerasan itu sebagai sesuatu
yang biasa atau wajar. Karena biasa dan wajar, praktik bullying di sekolah menjadi luput dari perhatian kita secara serius.