• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI PARA SISWA KELAS XI SMA STELLA DUCE 1 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2008/2009 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP DIRI PARA SISWA KELAS XI SMA STELLA DUCE 1 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2008/2009 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh:

MARIA URSULA INDRIATI 031114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(2)

i

TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh:

MARIA URSULA INDRIATI 031114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

sebab  segala  sesuatu  yang  kami  kerjakan,  Engkaulah  yang  melakukannya bagi kami.” 

(YESAYA 26:12)

Kupersembahkan skripsi ini untuk: 

Yesus Kristus Tuhan dan Penolongku  Bunda Maria  Bapakku Robertus Suparlan dan Ibuku Evemia Kusteli  Mas Boy dan Mba Niken, Mas Yosef dan Mba Nani serta Frater Filipus  Junianto  Keponakan‐keponakanku tercinta Ayis, Gaby dan Stefani  Sahabat‐sahabatku 

(6)

v

(7)

vi

(8)

vii

2008/2009 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

Maria Ursula Indriati Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk: (1) mengetahui konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009; dan (2) mengetahui topik-topik bimbingan klasikal yang sesuai bagi para siswa tersebut.

Populasi penelitian ini adalah para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 yang berjumlah 145 siswa. Sampel penelitian berjumlah 139 siswa yaitu kelas XI IPS1 (38 siswa), kelas XI IPS2 (38 siswa), kelas XI IPS3 (35 siswa), dan kelas XI IPA2 (28 siswa).

Instrumen penelitian yang digunakan adalah Kuesioner Konsep Diri, yang terdiri dari 60 item dan disusun sendiri oleh peneliti. Teknik analisis data dalam penelitian dilakukan dengan menghitung mean. Kategorisasi konsep diri yaitu positif dan negatif; sedangkan kategorisasi skor item yaitu tinggi, rata-rata dan rendah

Hasil penelitian ini adalah: (1) konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 adalah: 60 siswa (58%) memiliki konsep diri positif dan 44 siswa (42%) memiliki konsep diri negatif; dan (2) usulan topik-topik bimbingan klasikal yang sesuai bagi para siswa ini adalah:

Latihan Membuat Pilihan, Pengungkapan Perasaan, Keterampilan Mengelola Emosi, dan Pemahaman Diri.

(9)

viii

YOGYAKARTA IN ACADEMIC PERIOD OF 2008/2009 AND ITS IMPLICATION TO THE PROPOSAL ON CLASSICAL

GUIDANCE TOPICS

Maria Ursula Indriati Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

This research was descriptive research that intended to: (1) find out the self concept of XI grade students of Stella Duce I Senior High School Yogyakarta in academic period of 2008/2009, and (2) find out the classical guidance topics that are appropriate to these students.

The populations of this research were the XI grade students of Stella Duce I Senior High School in academic period of 2008/2009 consisted of 145 students.

The samples of this research were 139 students, i.e. XI IPS1 class (38 students), XI IPS2 class (38 students), XI IPS3 class (35 students), and XI IPA2 class (28 students).

The instrument used in this research was Questionnaire of Self Concept comprising of 60 item compiled by the author. The technique of data analysis in this research was conducted by mean calculating. Categorizations of self concept were positive and negative, whereas categorizations of item scores were high, average and low.

The results of this research are: (1) self concept of XI grade student of Stella Duce 1 Senior High School Yogyakarta in academic period of 2008/2009 are: 60 students (58%) have positive self concept, 44 students (42%) have negative self concept, and (2) the proposal on classical guidance topics that are appropriate to the students: Training to Make Choice, Expression of Feelings, Capability to Manage Emotion, and Self Comprehension.

(10)
(11)
(12)

xi

HALAMAN JUDUL .………..………...…... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .………... ii

HALAMAN PENGESAHAN .………... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .………... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .……….….... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .…... vi

ABSTRAK .……... vii

ABSTRACT .………... viii

KATA PENGANTAR .………... ix

DAFTAR ISI .………... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .………... xiv

BAB I PENDAHULUAN .………... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah .………... 5

C. Tujuan Penelitian .………... 5

D. Manfaat Penelitian .………... 6

E. Definisi Operasional .………... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA .………... 8

A. Konsep Diri ... 8

1. Arti Konsep Diri ... 8

2. Perkembangan Konsep Diri ... 10

3. Aspek-Aspek Konsep Diri ...…………... 11

4. Penggolongan Konsep Diri ..……...………... 13

a. Konsep Diri Positif ... 13

b. Konsep Diri Negatif ... 17

(13)

xii

1. Arti Bimbingan Klasikal ... 24

2. Peran Bimbingan dalam Pengembangan Konsep Diri Siswa …... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 27

A. Jenis Penelitian ... 27

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

C. Instrumen Penelitian ... 28

D. Validitas dan dan Reliabilitas Instrumen ... 30

1. Validitas Instrumen ... 30

2. Reliabilitas Instrumen ... 33

E. Prosedur Pengumpulan Data... 35

1. Tahap Persiapan ... 35

2. Tahap Pelaksanaan ... 35

F. Teknik Analisis Data ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Konsep Diri Para Siswi Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 ... 38

B. Pembahasan ………... 39

1. Hasil Penelitian ... 39

2. Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal ... 44

BAB V PENUTUP ... 45

A. Ringkasan ... 45

B. Kesimpulan ... 46

C. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 51

(14)

xiii

Tabel 10 : Rincian Para Siswi Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 yang Mengikuti

Penelitian ... 28

Tabel 2 : Kisi-Kisi Kuesioner Konsep Diri ... 29

Tabel 3 : Koefisien Korelasi Alat Ukur ... 33

Tabel 4 : Jadwal Pengumpulan Data Penelitian ... 35

Tabel 5 : Kategorisasi Konsep Diri Para Siswi Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 ... 37

Tabel 6 : Kategorisasi Skor Item Para Siswi Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 ... 37

Tabel 7 : Konsep Diri Para Siswi Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 ... 38

Tabel 8 : Item-Item Konsep Diri Rata-Rata Tiap Aspek ... 39

Tabel 9 : Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal bagi Para Siswi Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 ... 44

(15)

xiv

Lampiran 1 : Tabulasi Skor Hasil Uji Coba ... 51

Lampiran 2 : Hasil Uji Analisis Validitas dan Reliabilitas SPSS Versi 15 ... 54

Lampiran 3 : Rekapitulasi Item Valid dan Gugur ... 56

Lampiran 4 : Data Metode Belah Dua Kuesioner ... 58

Lampiran 5 : Kuesioner Konsep Diri ... 61

Lampiran 6 : Tabulasi Skor Hasil Penelitian ... 64

Lampiran 7 : Pengolahan Data Penelitian ... 70

Lampiran 8 : Surat Ijin Penelitian ... 72

Lampiran 9 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian di Sekolah ... 73

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap orang dalam rentang waktu kehidupannya, yaitu proses peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Para remaja mulai dihadapkan pada perubahan- perubahan yang terjadi sesuai dengan perkembangannya. Perubahan-perubahan para remaja ini mendapat pengaruh besar dari lingkungan di sekitarnya, seperti perubahan secara emosional, sosial, perubahan bentuk tubuh, perubahan minat dan pola perilaku (Hurlock, 1990: 206-207).

Penyesuaian diri remaja dimulai dengan mencari atau bergabung dalam kelompok teman sebayanya di luar keluarga. Hal ini sesuai yang dikatakan Hurlock (1990:208) bahwa penyesuaian diri dengan standar kelompok teman sejenis lebih penting dari teman lawan jenis. Tetapi remaja mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas jika disamakan dengan teman-temannya. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat (Erickson dalam Hurlock, 1990:208). Remaja yang tidak mampu mengenali dirinya dengan baik, menerima diri apa adanya serta tidak tahu cara bersikap atau bertingkah laku cenderung mengalami kekaburan identitas diri, artinya adanya ketidakjelasan tentang status mereka sebagai seorang remaja.

Sebaliknya, apabila remaja tersebut mampu mengenali dan menerima diri apa adanya, serta mampu bertingkah laku sesuai dengan tugas perkembangannya,

1

(17)

cenderung memiliki dan menyadari identitas diri yang jelas. Pemahaman remaja akan dirinya setelah mengalami berbagai perubahan berpengaruh pula terhadap penilaian terhadap dirinya.

Konsep diri (self concept) adalah keseluruhan gambaran, pandangan, keyakinan dan penghargaan, perasaan seseorang tentang dirinya sendiri (Hurlock, 1990: 58). Konsep diri berasal dan berakar pada pengalaman masa kanak-kanak dan berkembang terutama sebagai akibat dari hubungan dengan orang lain. Hal tersebut berarti hubungan remaja dengan lingkungan di sekitarnya serta cara orang lain memperlakukannya turut membentuk gagasan pada diri remaja itu tentang keadaan dirinya sebagai seorang pribadi.

Konsep diri merupakan inti dari pola kepribadian seseorang. Pada masa kanak-kanak, pola kepribadian sudah terbentuk serta cenderung stabil dan seiring dengan proses perkembangan, yang terjadi adalah hanya mengalami beberapa perbaikan. Keberhasilan seseorang untuk memperbaiki kepribadiannya tergantung dari beberapa faktor. Pertama, individu harus menentukan diri ideal yang realistik.

Kedua, individu harus membuat penilaian yang realistik mengenai kekuatan dan kelemahannya. Ketiga, individu harus mempunyai konsep diri yang stabil.

Keempat, individu harus mampu mengembangkan sikap menerima diri sendiri (Pudjijogyanti, 1985: 2).

Konsep diri sangat perlu bagi remaja untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupannya. Menurut Rogers, “Kepribadian yang sehat bukan merupakan suatu keadaan yang ada, melainkan suatu proses” (Schultz, 1991:50).

Konsep diri bukan bawaan sejak lahir. Konsep diri adalah hasil dari proses belajar

(18)

melalui pengalaman hidup dan perlakuan dari lingkungan di sekitarnya yang akhirnya mempengaruhi remaja dalam memberikan penilaian terhadap dirinya secara positif maupun negatif. Remaja perlu untuk terus mengembangkan konsep diri. Dengan terbentuknya konsep diri yang baik, maka remaja akan memiliki kemampuan untuk bisa mengembangkan diri dalam segala hal.

Satu hal yang penting, yaitu memiliki konsep diri yang positif sangat diperlukan oleh remaja untuk dapat berperilaku atau melakukan interaksi sosial yang baik dan bergaul dengan lingkungan di mana remaja itu berada. Dalam pergaulan sosialnya, apabila remaja merasa dirinya diterima, dihargai dan dicintai, maka remaja itu pun mampu menerima, menghargai dan mencintai dirinya sendiri (Sinurat, 1991: 2). Dengan kata lain, apabila remaja tersebut mampu mengem- bangkan penilaian yang baik tentang dirinya sehingga konsep diri yang terbentuk adalah konsep diri yang positif. Remaja yang merasa dirinya tidak diterima, ditolak, atau tidak dicintai, maka remaja itu akan sulit pula untuk menerima keadaan dirinya dan memberi penilaian yang negatif tentang dirinya (). Konsep diri yang terbentuk adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri yang positif atau negatif membawa dampak berbeda dalam perilaku remaja. Remaja yang memiliki konsep diri positif cenderung lebih terbuka dan mampu mengembangkan diri dalam bergaul atau berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, remaja yang memiliki konsep diri negatif cenderung lebih tertutup dan sulit mengembangkan diri dalam berinteraksi dengan orang lain.

Para siswa SMA yang masih tergolong remaja, perlu memiliki dan mengembangkan konsep diri yang positif terlebih dalam melakukan interaksi

(19)

sosial. Dalam menumbuhkan dan mengembangkan konsep diri siswa di sekolah, peran dari guru pembimbing dalam memberikan bimbingan menjadi penting.

Kehidupan para siswa lebih banyak berhadapan dengan dirinya, misalnya timbul beberapa keinginan serta perasaan yang silih berganti dari yang sangat sedih ke sangat gembira, ingin membangun cita-cita tetapi tidak tahu bagaimana caranya, dan pergaulan dengan anggota keluarga maupun dengan lawan jenis yang bermasalah (Winkel dan Sri Hastuti, 2004: 118). Masalah-masalah yang timbul tersebut bersumber dari pemahaman mengenai konsep dirinya yang kurang.

Konsep diri yang positif merupakan modal penting dalam menjalin pergaulan dengan orang lain. Oleh sebab itu, para siswa perlu mendapat bimbingan untuk menemukan dan mengembangkan konsep diri positif.

Bimbingan yang dapat dilakukan untuk menemukan dan mengembangkan konsep diri siswa adalah melalui bimbingan pribadi-sosial. Bimbingan pribadi-sosial berarti bimbingan yang dilakukan dalam menghadapi pergumulan batin seseorang, membantu mengatur diri sendiri serta bimbingan untuk membina hubungan dengan sesama atau pergaulan sosial (Winkel dan Sri Hastuti, 2004: 118). Melalui bimbingan ini, para siswa dibantu untuk dapat menemukan dirinya dan berusaha untuk dapat mengembangkan konsep tentang dirinya yang positif.

Mengingat pentingnya konsep diri dan peranannya dalam kehidupan para remaja, peneliti mencoba mengungkap konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Alasan peneliti mengambil subjek penelitian para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta karena siswa-siswa kelas XI merupakan bagian dari kelompok masa remaja yang rentang usianya 16-17 tahun. Pada usia

(20)

tersebut, pada umumnya remaja sudah cukup mampu membangun konsep diri mengenai dirinya sendiri, seperti konsep diri berperanan penting untuk mencapai keberhasilan dalam prestasi belajar. Selanjutnya, peneliti dapat menyusun atau menentukan topik-topik bimbingan yang relevan untuk menumbuhkembangkan konsep diri para siswa yang positif. Guru pembimbing memiliki kewajiban untuk memberi bimbingan dalam menemukan, menumbuhkan dan mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri tiap siswa. Bimbingan yang diberikan guru pembimbing atau konselor sekolah kepada para siswa diharapkan mampu membantu siswa untuk memahami diri dan lingkungannya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?

2. Topik-topik bimbingan klasikal apa sajakah yang sesuai bagi para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

2. Untuk mengetahui topik-topik bimbingan klasikal yang sesuai bagi para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

(21)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

1. Para Siswa

Diharapkan para siswa mempunyai pemahaman mengenai konsep dirinya, sehingga siswa dapat mengembangkan konsep dirinya secara positif.

2. Guru Pembimbing

Hasil ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi guru pembimbing dalam meningkatkan layanan bimbingan di sekolah, terutama bimbingan pribadi-sosial untuk mengembangkan konsep diri para siswa.

3. Guru Bidang Studi

Hasil ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas dan membantu para siswa mengembangkan konsep diri secara positif.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 adalah keseluruhan gambaran, pandangan, keyakinan dan penghargaan, perasaan seseorang tentang dirinya sendiri (Hurlock, 1990: 58) dan diukur dengan menggunakan Kuesioner Konsep Diri yang disusun sendiri oleh peneliti.

(22)

2. Para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 adalah siswa-siswa yang terdaftar sebagai siswa kelas XI di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

3. Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang diberikan kepada kelompok siswa dalam satuan kelas pada tingkatan kelas tertentu, pada jenjang pendidikan tertentu dan pada waktu yang telah ditetapkan dalam jadwal pelajaran (Winkel dan Sri Hastuti, 2004: 563-564).

4. Topik-topik bimbingan klasikal adalah dasar penyusunan pokok bahasan sebagai pedoman layanan bimbingan.

(23)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. KONSEP DIRI 1. Arti Konsep Diri

Konsep diri adalah keseluruhan gambaran, pandangan, keyakinan dan penghargaan, perasaan seseorang tentang dirinya sendiri (Hurlock 1990: 58).

Pendapat ini hampir sama seperti yang dikemukakan oleh Djaali (2007: 129) yang mengartikan konsep diri sebagai pandangan seseorang tentang dirinya sendiri mengenai apa yang ia ketahui dan ia rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta bagaimana perilaku itu berpengaruh terhadap orang lain. Hal ini dipertegas oleh Sinurat (1991) yang berpendapat bahwa konsep diri adalah keseluruhan pandangan dan penghargaan atau perasaan seseorang tentang dirinya sendiri.

Sedangkan Burns (1993: 66) mengatakan konsep diri dapat dipandang sebagai seperangkat sikap-sikap terhadap diri dan penghargaan diri atau evaluasi tentang diri. Suatu sikap merupakan organisasi dari keyakinan-keyakinan yang relatif abadi di satu situasi yang memberi kecenderungan kepada seseorang untuk memberi respons di dalam suatu cara yang istimewa (Rokeach dalam Burns, 1993: 66). Sikap terdiri dari komponen kognitif dan komponen afektif. Demikian pula konsep diri sebagai seperangkat sikap terhadap diri terdiri dari komponen kognitif, komponen afektif dan evaluasi diri.

8

(24)

Komponen kognitif merupakan pengetahuan seseorang untuk mempersep- sikan keadaan dirinya atau dapat dikatakan sebagai gambaran seseorang tentang keadaan dirinya sendiri. Keadaan diri sebagai yang gemuk, kurus, berkulit putih, berkulit hitam, dapat menimbulkan pelepasan secara emosional dan evaluasi diri.

Evaluasi diri merupakan tingkatan dimana seseorang merasa positif maupun negatif mengenai karakteristik-karakteristik yang khusus mengenai dirinya (Burns, 1993: 15). Evaluasi diri tersebut memberi kecenderungan bagi seseorang untuk memberi respons ataupun bertingkah laku. Konsep diri bukan merupakan unsur bawaan. Setiap orang tidak dilahirkan dengan konsep diri. Pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh peristiwa belajar dan pengalaman, terutama yang berhubungan dengan dirinya seperti harga diri, kegagalan atau sukses yang dicapai (Surakhmad, 1980: 40).

Sikap dan perilaku orang lain terhadap dirinya akan sangat mempengaruhi seseorang dalam menilai dan memandang dirinya. Jadi dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan kombinasi dari apa yang dilihat seseorang tentang diri (citra diri), seberapa kuat seseorang merasakan bermacam segi perasaannya (intensitas afektif), apakah seseorang mempunyai pendapat menyenangkan atau tidak menyenangkan tentang dirinya (evaluasi diri) dan apa yang kemungkinan besar diperbuat seseorang di dalam memberi respons kepada evaluasi tentang dirinya (Burns, 1993: 73-74).

(25)

2. Perkembangan Konsep Diri

Konsep diri dapat berkembang melalui suatu proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Diri (self) berkembang ketika individu merasakan bahwa dirinya memiliki keunikan diri sendiri (Agustiani, 2006: 143). Selama periode awal kehidupan, konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi tentang diri sendiri. Kemudian dengan pertambahan usia, pandangan tentang diri ini menjadi lebih banyak didasari oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Agustiani, 2006: 143).

Perkembangan konsep diri dimulai dari masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak peran orang tua menjadi sangat dominan dalam proses perkembangan konsep dirinya (Hurlock, 1990:234). Konsep diri yang berkembang pertama-tama adalah konsep diri primer. Konsep diri primer adalah konsep diri yang terbentuk dalam diri anak dengan didasarkan atas pengalaman anak di rumah dan dibentuk dari berbagai konsep terpisah, yang masing-masing merupakan hasil dari pengalaman dengan anggota keluarga (Hurlock, 1989: 121).

Seiring dengan proses perkembangan dalam fase kehidupannya, interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya turut mempengaruhi perkembangan konsep diri anak. Selama masa pertengahan dan akhir, anak mulai memainkan peran yang dominan dengan kelompok teman sebaya, menggantikan orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh pada konsep dirinya (Agustiani, 2006: 144).

Hal tersebut memunculkan istilah konsep diri sekunder yaitu konsep diri yang terbentuk pada diri anak berdasarkan pada pengalaman anak dengan lingkungan di sekitarnya atau bagaimana anak melihat dirinya di mata orang lain.

(26)

Pada akhir masa anak atau biasa disebut masa remaja, konsep diri yang terbentuk sudah mulai stabil. Tetapi dengan dimulainya masa pubertas maka terjadi perubahan drastis pada konsep diri remaja. Agustiani mengatakan, bahwa remaja yang masih muda mempersepsikan dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara, walaupun ketidaktergantungannya dari orang dewasa masih belum mungkin terjadi dalam beberapa tahun, remaja mulai terarah pada pengaturan tingkah laku sendiri (Agustiani, 2006: 144). Lebih lanjut dikatakan bahwa nilai- nilai dan sikap-sikap yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir masa remaja cenderung menetap dan relatif merupakan pengatur tingkah laku yang bersifat permanen.

Kehidupan remaja tidak terlepas dari peran seorang guru pembimbing di sekolah, karena pada dasarnya seseorang yang disebut remaja masih tergolong siswa atau pelajar. Peran guru pembimbing adalah memberi bimbingan dalam menemukan, menumbuhkan dan mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri tiap siswa. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran konselor atau guru pembimbing di sekolah sangatlah penting bagi proses perkembangan konsep diri siswa khususnya dalam membantu siswa mengembangkan konsep diri yang positif.

3. Aspek-Aspek Konsep Diri

Beberapa aspek yang mendasari konsep diri menurut Berzonsky (1981:

328-329) dan Fitts (Agustiani, 2006:139-141) yaitu:

(27)

a. Diri fisik (physical self)

Diri fisik merupakan penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki oleh individu seperti bentuk tubuh (positif, pendek, gemuk, kurus), pakaian, benda yang dimiliki, kesehatan, dan penampilan diri (cantik, jelek, menarik, tidak menarik). Gambaran tentang tubuh merupakan hal penting dari diri fisik yang mendasari individu berpikir dan menilai keadaan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan.

b. Diri sosial (social self)

Diri sosial merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya meliputi bagaimana struktur, peran dan status sosial yang dimainkan oleh individu atau remaja khususnya dan sejauh mana penilaian individu terhadap baik buruknya perilaku atau perbuatan mereka. Setiap peranan yang dimainkan individu akan dapat memunculkan adanya suatu penghargaan sosial dari orang lain tentang bagaimana menilai setiap perbuatan dan tingkah lakunya. Bagi remaja sendiri, adanya penerimaan dan pengakuan sosial dari kelompok teman sebaya misalnya, menjadi suatu dasar untuk perkembangan setiap perilakunya.

c. Diri moral (moral self)

Diri moral merupakan pandangan individu terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan dan nilai-nilai moral yang dipegang meliputi batasan baik dan buruk seperti nilai-nilai dan prinsip- prinsip yang memberi arti dan arah tujuan bagi kehidupan individu.

(28)

d. Diri psikis (psychological self)

Diri psikis meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri. Diri psikis berkaitan pula dengan bagaimana seseorang dalam memandang dirinya berdasarkan pada sifat, karakter maupun perasaan- perasaan yang dimunculkan ketika menghadapi stimulus tertentu.

e. Diri keluarga (family self)

Diri keluarga merupakan perasaan dan harga diri individu dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh individu merasa berharga terhadap dirinya sebagai anggota keluarga dan terhadap peran atau fungsi yang dijalankannya sebagai anggota keluarga.

4. Penggolongan Konsep Diri

Penggolongan konsep diri secara umum menurut Burns (1993: 234):

a. Konsep diri positif

Konsep diri positif bersinonim dengan evaluasi diri positif, penghargaan diri positif, perasaan harga diri positif dan penerimaan diri yang positif. Memiliki konsep diri positif yaitu jika seseorang mampu menerima, menghargai dan menilai keadaan diri apa adanya secara positif dan orang lain menerima, menilai dan memandang dirinya secara positif pula (Burns, 1993: 234). Senada dengan pernyataan di atas, jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita (Rakhmat, 2005: 101).

Seseorang yang memiliki konsep diri positif selalu berusaha untuk menilai dan menerima keadaan diri apa adanya. Konsep diri positif akan selalu

(29)

mendorong seseorang untuk berpikir positif, optimis, tidak mudah menyerah atau berputus asa. Konsep diri positif diperoleh melalui kasih sayang, penerimaan dan penghargaan yang diberikan oleh tokoh-tokoh di sekitarnya (Sinurat, 1991: 2).

Orang yang memiliki konsep diri positif menurut Brooks & Emmert (Rakhmat, 2005: 105-106) ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Individu yakin akan kemampuannya untuk mengatasi masalah artinya jika individu merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah, maka masalah apapun yang dihadapi pada akhirnya individu dapat mengatasinya bahkan saat individu menghadapi kegagalan atau kemunduran. Kemampuan- kemampuan yang perlu dimiliki individu untuk mengatasi masalah (Staf Yayasan Cipta Loka Caraka, 1989: 149) misalnya yaitu:

a. Bersikap tenang dan obyektif.

Hindari mengatasi masalah dengan terburu-buru, dalam keadaan bingung atau perasaan terganggu. Seorang remaja sering membiarkan perasaan mengaburkan pertimbangan akal sehat, maka sebaiknya untuk sementara remaja melepaskan diri dari persoalan guna memikirkannya dengan lebih tenang dan obyektif.

b. Mempertimbangkan untung rugi atau akibat-akibat yang ditimbulkan.

Telitilah berbagai cara pemecahan, misalnya berapa banyak waktu yang digunakan untuk menimbang-nimbang pemecahan berdasarkan pada penting tidaknya masalah itu serta memperhitungkan akibat-akibat yang baik dan yang buruk dari berbagai tindakan untuk saat sekarang dan waktu yang akan datang bagi diri sendiri maupun orang lain.

(30)

c. Bersikap kreatif dan luwes.

Masalah-masalah yang dihadapi mungkin menuntut pemecahan baru serta kreatif. Jangan selalu menggunakan cara yang itu-itu saja dalam menghadapi tantangan hidup. Bersikap luwes berarti berani mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang perlu dalam sepanjang kehidupan. Jika individu bersikeras dan tetap berpegang pada satu pandangan atau rencana yang tidak jalan, individu akan kehilangan kesempatan untuk berkreasi dalam mengatasi masalah-masalahnya. Maka, diharapkan individu bersikap luwes, mau menggunakan alternatif lain dalam pemecahan masalahnya.

d. Bersikap optimis.

Apabila individu yang bersikap optimis, ia tidak akan mundur karena halangan dan tidak melamunkan sesuatu yang tidak ada. Sebaliknya, apabila individu menghadapi masalahnya dimulai dengan keyakinan bahwa tidak akan sanggup menyelesaikannya maka individu tersebut sudah pesimis terhadap suatu masalah, sehingga menanggapi masalah tersebut dengan tidak wajar. Hal ini menunjukkan kemampuannya dalam mengatasi masalah sudah diperlemah. Maka diperlukan sikap yang optimis, bahwa masalah tersebut bisa diselesaikan.

2. Individu merasa setara dengan orang lain artinya individu merasa sama dengan orang lain, tidak menganggap dirinya lebih positif atau lebih negatif dari orang lain. Ia tidak menganggap dirinya lebih berharga dari pada orang lain dan mengusahakan agar setiap orang tidak dirugikan tetapi mengusahakan

(31)

agar kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, meskipun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang budaya, atau sikap yang dimiliki orang lain.

3. Individu mampu mengungkapkan perasaan, pikiran maupun kebutuhannya secara langsung dan jujur kepada orang lain. Setiap individu mampu mengungkapkan hal-hal yang dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain apa adanya, dengan cara berbagi perasaan dan pikiran dengan orang lain.

Kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran tersebut akan membantu dalam memenuhi kebutuhannya. Ia sanggup mengutarakan ketidaksetujuan, amarah, persahabatan dan bersikap spontan.

4. Individu menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat artinya individu dapat mengaku pada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, perasaan sedih sampai bahagia, kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.

5. Individu mampu memperbaiki diri karena ia menyadari hal-hal yang negatif dalam diri dan berusaha mengubahnya. Hal-hal negatif individu turut menentukan konsep diri positif atau konsep diri negatif. Individu membutuhkan bantuan dan informasi dari orang lain dan tidak sungkan untuk mengatakan hal-hal negatif dalam diri kepada orang lain dan berusaha mengubah hal-hal negatif menjadi hal-hal positif. Demikian juga sebaliknya, jika orang lain membutuhkan bantuan ia bersedia membantunya.

(32)

Swan (Hay dkk, 1999) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif memiliki kecenderungan keadaan diri yang stabil dan biasanya hal itu terkait dengan konsep diri positif. Seseorang yang memiliki konsep diri positif akan memiliki perilaku yang bersifat positif, seperti kepercayaan diri yang positif, motivasi yang positif, optimis, kontrol diri yang baik, terbuka pada orang lain secara apa adanya, merasa dihargai atau diperhatikan oleh lingkungan. Di samping itu, seseorang yang memiliki konsep diri positif mampu merasakan adanya dukungan dari orang-orang sekitarnya, mampu mencintai dan dicintai, memiliki pendirian yang teguh, berusaha mematuhi etika lingkungan, berkeinginan untuk terus maju dan belajar serta menghargai pelajaran atau pengajar.

b. Konsep diri negatif

Konsep diri negatif dapat disamakan dengan evaluasi diri negatif, membenci diri, perasaan negatif diri dan tidak adanya perasaan menghargai sebagai pribadi dan penerimaan diri (Burns, 1993: 72). Konsep diri negatif dapat terbentuk apabila seseorang tidak menyukai keadaan dirinya dan pesimis untuk bisa menjadi pribadi yang diidam-idamkan orang lain. Bila orang tua, guru, dan teman-teman sebaya memperolok-olok, menolak, mengkritik, mengenai tingkah laku seseorang ataupun keadaan fisiknya, maka penghargaan terhadap diri atau harga diri kecil yang kemungkinan muncul (Burns, 1993: 234).

(33)

Memiliki konsep diri negatif membawa banyak dampak dalam kehidupan seseorang. Hardjana (1993: 26) mengemukakan beberapa dampak konsep diri negatif dalam hidup kita, antara lain:

1. Konsep diri negatif membuat seseorang cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal yang negatif dalam diri.

2. Konsep diri negatif mendorong seseorang untuk membuat perbandingan negatif dengan orang lain.

3. Konsep diri negatif menciptakan ingatan yang pilih-pilih, selektif, meneguhkan perasaan diri tak berharga.

4. Konsep diri negatif menciptakan sikap memihak dalam pandangan seseorang mengenai apa yang terjadi pada diri.

5. Konsep diri negatif cenderung membawa seseorang pada kegelapan.

Brooks & Emmert (dalam Rakhmat, 2005: 105) serta Calhoun & Acocella (1995) menguraikan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu:

1. Individu peka terhadap kritikan. Individu ini sangat tidak tahan terhadap kritikan yang diterimanya, mudah marah atau naik pitam. Penilaian terhadap dirinya seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.

2. Responsif sekali terhadap pujian meskipun individu berpura-pura menghindari pujian, individu tidak dapat menyembunyikan antusiasnya pada waktu menerima pujian apapun.

3. Bersikap hiperkritis. Individu selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apa pun dan dengan siapa pun, individu merasa tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan terhadap kelebihan orang lain.

(34)

4. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Individu merasa tidak diperhatikan karena individu bereaksi kepada orang lain sebagai musuh sehingga tidak dapat menciptakan kehangatan dan keakraban persahabatan.

5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keenganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam hal prestasi. Individu merasa tidak berdaya melawan persaingan yang dapat merugikan dirinya.

Swan (Hay dkk, 1999) mengemukakan bahwa orang yang secara umum memiliki konsep diri negatif cenderung memiliki perilaku-perilaku yang bersifat negatif seperti kepercayaan diri yang negatif, pesimistis, motivasi yang negatif, kurang dapat mengontrol diri, tidak teguh pendirian, dan mudah terpengaruh. Di samping itu, orang yang memiliki konsep diri negatif juga cenderung bersikap tertutup dan manipulatif, merasa kurang dihargai dan kurang diperhatikan, merasa kurang mencintai dan dicintai, cenderung menyimpang dari etika yang berlaku, tidak memiliki keinginan untuk maju (malas), serta kurang menghargai pekerjaan atau pengajar.

Furhmann (1990) menyatakan bahwa seseorang yang memandang negatif terhadap dirinya, menandakan bahwa ia memiliki konsep diri yang negatif dalam diri dan gagal dalam menghargai diri, kurangnya penghargaan diri akan menimbulkan pengasingan diri serta penyesuaian diri negatif. Konsep diri positif mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi sedangkan konsep diri negatif tidak mampu mengatasi permasalahan dan memiliki kecenderungan mencari jalan keluar yang salah.

(35)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif antara lain yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah, memiliki kepercayaan diri yang positif, motivasi yang positif, optimistis dan berusaha untuk terus maju dalam menghadapi masa depan.

Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain memiliki kepercayaan diri yang negatif, kurang memiliki motivasi, pesimistis dan tidak memiliki keinginan untuk maju sehingga tidak mampu mengatasi permasalahan, serta cenderung mencari jalan keluar yang salah.

B. SISWA SMA 1. Arti Siswa SMA

Siswa SMA dalam penelitian ini adalah siswa-siswa yang terdaftar sebagai siswa kelas XI di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009. Para siswa SMA tersebut tergolong dalam usia remaja yaitu 15-17 tahun. Istilah remaja atau adolesence berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere yang berarti “tumbuh”

atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari bahasa Inggris) mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu mulai berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, misalnya dalam masalah hak, perubahan intelektual, transformasi yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa.

(36)

Selanjutnya, Kartono (1990) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Para remaja mengalami perubahan-perubahan yang diawali dengan perubahan fisik yaitu berkembangnya tanda-tanda kelamin sekunder, perubahan peranan dari ketergantungan pada orang tua menuju kemandirian, memiliki kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri, seperti mulai meyakini kemampuan, potensi dan cita-citanya. Dengan kesadaran itu, remaja berusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai hidup misalnya kebaikan, keluhuran, keindahan, dan lain-lain (Jersild dalam Pudjijogyanti, 1985: 24).

2. Tugas Perkembangan Siswa SMA

Siswa SMA yang masih tergolong remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi. Menurut Hurlock (1999) semua tugas perkembangan itu terpusat pada peralihan sikap dan pola perilaku yang kekanak- kanakan dan mengadakan persiapan menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja (Hurlock, 1999) adalah:

1. Mencapai peranan sosial sebagai pria atau wanita.

2. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

3. Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

5. Mempersiapkan karier ekonomi untuk masa yang akan datang.

6. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

7. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etika sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.

Apabila remaja berhasil menjalankan tugas perkembangan tersebut, ia akan memperoleh kesenangan dan keberhasilan dalam menjalankan tugas-tugas

(37)

perkembangan selanjutnya. Namun, kegagalan pada tugas tersebut dapat mengakibatkan perasaan kurang bahagia, penolakan dari masyarakat dan kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas selanjutnya.

Pentingnya konsep diri bagi remaja adalah remaja akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Remaja dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Sebaliknya remaja dengan konsep diri yang negatif meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Remaja dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain (Rini, 2008).

Beberapa tokoh-tokoh penting dan berarti dalam kehidupan remaja yang dapat mempengaruhi konsep diri remaja (Hardjana, 1993:16-23) antara lain:

1. Orang tua

Orang tua menjadi faktor pertama dalam membentuk konsep diri anak.

Ikatan emosional yang pertama kali dirasakan dalam diri anak adalah dengan

(38)

orang tuanya. Orang tua yang tulus menerima, mencintai dan menyayangi anak, maka anak akan dibantu untuk memandang dirinya pantas untuk dicintai dan disayangi oleh orang lain maupun dirinya sendiri. Tetapi sebaliknya, jika orang tua tidak memberi kehangatan, cinta dan menunjukkan penerimaan kepada anak, maka anak cenderung ragu-ragu apakah mereka pantas untuk diterima dan dicintai oleh orang lain.

2. Saudara kandung

Hubungan dengan saudara kandung juga sangat penting bagi pembentukan konsep diri. Anak sulung yang diperlakukan seperti seorang pemimpin oleh adik-adiknya, cenderung merasa menjadi penasehat bagi adik- adiknya. Hal tersebut memberi dukungan dalam penbentukan konsep diri yang sehat. Sebaliknya seorang adik yang tidak menerima kasih sayang yang sebenarnya, merasa diperlakukan seperti anak kecil sehingga hal tersebut cenderung menghambat rasa percaya dirinya atau menumbuhkan konsep diri yang negatif.

3. Guru

Tokoh yang berperan dalam proses pengembangan konsep diri di sekolah adalah guru. Pribadi, sikap, tanggapan dan perlakuan seorang guru membawa dampak besar bagi penanaman gagasan dalam pikiran siswa tentang diri sendiri. Siswa yang banyak diperlakukan buruk, misalnya diremehkan, dinegatifkan, ditolak, tidak diberi perhatian serta dihukum di depan kelas, cenderung lebih sulit mengembangkan kepercayaan dan harga dirinya.

Sebaliknya, siswa yang banyak diterima, dihargai, dicintai, dipuji, mendapat

(39)

penghargaan dan diberi hadiah atas prestasinya akan lebih mudah mengembangkan konsep diri yang positif.

4. Teman sebaya

Kehidupan seorang remaja erat kaitannya dengan lingkungan di luar rumah dan salah satunya adalah dalam kelompok teman sebaya. Remaja mulai mengidentifikasikan diri dengan teman-teman sebayanya. Artinya remaja cenderung ingin sama dalam segala bentuk kebiasaan maupun perilakunya.

Dalam pergaulan dengan teman-teman, apakah remaja disenangi, dikagumi dan dihormati atau tidak, akan ikut menentukan dalam pembentukan gambaran diri seorang remaja. Perlakuan yang diberikan teman-teman sebaya dapat menjadi penguat gambaran diri remaja tetapi dapat juga membuyarkan gambaran diri tersebut.

C. BIMBINGAN KLASIKAL 1. Arti Bimbingan Klasikal

Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang diberikan kepada kelompok siswa dalam satuan kelas pada tingkatan kelas tertentu, pada jenjang pendidikan tertentu dan pada waktu yang telah ditetapkan dalam jadwal pelajaran (Winkel dan Sri Hastuti, 2004: 563-564). Adapun tujuan bimbingan adalah membantu individu dalam usahanya mencapai kebahagiaan hidup pribadi, kehidupan yang efektif dan produktif dalam masyarakat, hidup bersama dengan individu-individu lain serta mencapai keserasian antara cita-cita individu dengan kemampuan yang dimilikinya (Juhana, 1988).

(40)

Hal ini dipertegas lagi oleh Winkel (1997) bahwa tujuan bimbingan:

1. Agar sesama manusia mengatur kehidupan sendiri.

2. Menjamin perkembangan diri sendiri secara optimal.

3. Memikul tanggung jawab sepenuhnya atas arah hidupnya sendiri.

4. Menggunakan kebebasannya sebagai manusia secara dewasa dengan berpedoman pada cita-cita yang mewujudkan semua potensi yang baik.

5. Menyelesaikan semua tugas yang dihadapi dalam hidup secara memuaskan.

Pelaksanaan bimbingan klasikal dapat menguntungkan sekaligus merugikan. Keuntungan bagi konselor adalah mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak siswa secara bersamaan, menghemat waktu terlebih bila jumlah tenaga bimbingan terbatas. Keuntungan bagi siswa adalah siswa lebih rela menerima diri sendiri setelah menyadari bahwa teman-temannya juga sering menghadapi persoalan yang sama, siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan suatu masalah bersama-sama, melatih menerima suatu pendapat yang diutarakan teman lain, terbantu untuk mengatasi suatu masalah yang dirasakan sulit untuk dibicarakan langsung kepada konselor dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Kerugian pelaksanaan bimbingan klasikal adalah interaksi pribadi antara konselor sulit mengevaluasi apakah pelayanan bimbingan mencapai sasaran atau tidak. Selain itu, siswa kurang dapat diajak untuk berefleksi secara lebih dalam (Winkel dan Sri Hastuti, 2004).

Topik-Topik Bimbingan

Rangkaian topik-topik yang dimaksud dalam skripsi ini adalah topik-topik bimbingan klasikal. Topik-topik bimbingan ini dapat diusulkan setelah peneliti mengadakan penelitian mengenai konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009.

(41)

2. Peran Bimbingan dalam Pengembangan Konsep Diri Siswa

Bimbingan merupakan bagian integral dari pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia yang bertanggung jawab sehingga dapat bersikap dan berperilaku yang dapat membahagiakan diri dan dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya (Ahmadi, 1991).

Menurut Winkel (1997) bimbingan di institusi pendidikan formal akan berhadapan dengan banyak siswa yang dalam perkembangan dan beraneka tindakannya yang menampakkan sifat-sifat psikologis kepribadiannya menurut berbagai aspek. Bimbingan di sekolah dapat berperan secara maksimal, apabila guru pembimbing tidak hanya berpegang pada pengetahuan praktis tentang manusia lain yang diperoleh dalam pergaulan sehari-hari, tetapi juga sikap dan perilaku guru pembimbing menunjukkan kehangatan, pengertian, penerimaan, bersahabat terhadap perilaku siswa.

Peran bimbingan dalam pengembangan konsep diri siswa bisa dilakukan dengan cara memberikan pengarahan dan pemahaman kepada siswa tentang tugas-tugas yang diemban dalam menjalani kehidupannya. Seorang pembimbing harus memposisikan dirinya sebagai mitra remaja, agar dalam proses bimbingan tidak ada jarak yang memisahkan antara pembimbing dengan yang dibimbing. Hal ini penting dilakukan agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Kondisi inilah yang merupakan saat yang paling baik untuk melakukan bimbingan kepada siswa, sehingga siswa dapat diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif.

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei.

Metode survei ini bertujuan untuk mendeskripsikan peristiwa atau gejala yang ter- jadi pada saat penelitian dilakukan. Metode survei dirancang untuk memperoleh informasi tentang variabel, bukan untuk menghubungkan variabel yang satu dengan variabel yang lain (Furchan, 2004: 451). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah semua anggota kelompok orang, kejadian atau objek yang telah dirumuskan secara jelas (Furchan, 2004: 193). Populasi penelitian ini adalah para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 yang berjumlah 145 siswa. Ada 6 siswa yang tidak masuk.

Sampel adalah sebagian dari populasi (Furchan, 2004: 193). Jadi, sampel penelitian berjumlah 139 siswa. Adapun rincian para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 yang mengikuti penelitian disajikan dalam tabel 1 berikut ini:

27

(43)

Tabel 1

Rincian Para Siswa Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009 yang Mengikuti Penelitian

Kelas Siswa Hadir Siswa Tidak Hadir XI IPS3 (uji coba) 35 siswa -

XI IPS1 38 siswa -

XI IPS2 38 siswa -

XI IPA2 28 siswa 6 siswa

C. Instrumen Penelitian 1. Alat Pengumpul Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner Konsep Diri yang disusun sendiri oleh peneliti. Kuesioner bersifat tertutup artinya dalam kuesioner ini sudah disediakan alternatif jawaban sehingga siswa tinggal memilih jawaban dari alternatif jawaban yang sudah tersedia.

Kuesioner terbagi atas dua bagian. Bagian pertama berisi tentang kata pengantar dan petunjuk pengisian. Bagian kedua berisi pernyataan- pernyataan yang mengungkap konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

Kuesioner ini terdiri atas sejumlah pernyataan yang bersifat favorable (pernyataan positif) yaitu pernyataan yang mendukung indikator

dan pernyataan yang bersifat unfavorable (pernyataan negatif) yaitu pernyataan yang tidak mendukung indikator. Alternatif jawaban yang disediakan dalam penelitian ini ada empat yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

(44)

2. Penentuan Skor

Dimana untuk pernyataan yang bersifat positif (favorable) jawaban SS mendapat skor 4, S mendapat skor 3, TS mendapat skor 2, dan STS mendapat skor 1. Sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif (unfavorable) jawaban SS mendapat skor 1, S mendapat skor 2, TS mendapat skor 3, dan STS mendapat skor 4.

3. Kisi-Kisi Kuesioner

Kisi-kisi kuesioner konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Kisi-Kisi Kuesioner Konsep Diri

Aspek Indikator No Pernyataan

Favorable (+)

Unfavorable (-)

Total 1. Individu yakin akan

kemampuannya untuk mengatasi masalah.

a. Bersikap tenang dan obyektif.

b. Mempertimbangkan untung rugi mengatasi masalah.

c. Bersikap kreatif dan luwes.

d. Bersikap optimis.

1,3 5.6 9,11 13,14,17

2,4 7.8 10,12 15,16,18

4 4 4 6 18 2. Individu merasa setara

dengan orang lain.

a. Mampu menerima keadaan diri.

b. Mampu menjalin pertemanan dengan siapa pun.

c. Mampu menerima perbedaan yang dimiliki orang lain.

20,22 23,24 27,30

19,21 25,26 28,29

4 4 4

12 3. Individu mampu

mengungkapkan perasaan, pendapat maupun kebutuhan secara langsung dan jujur kepada orang lain.

a. Mampu mengungkapkan perasaan dan pendapat secara langsung dan jujur kepada orang lain.

b. Mampu mengungkapkan kebutuhan secara langsung dan jujur kepada orang lain.

32,33,35

37,39,42

31,34,36

38,40,41 6

6 12

(45)

4. Individu menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.

a. Menyadari bahwa orang lain juga mempunyai perasaan tertentu.

b. Menyadari bahwa orang juga mempunyai keinginan dan perilaku tertentu.

44,46 48,50

43,45 47,49

4 4

8 5. Individu mampu

memperbaiki diri karena ia menyadari hal-hal yang negatif dalam diri dan berusaha

mengubahnya

a. Menyadari hal-hal yang negatif dalam diri.

b. Mengubah hal-hal yang negatif menjadi hal-hal yang positif dalam diri.

51,53,54 57,59

52,55 56,58,60

5 5

10 Total Item 60

4. Uji Coba

Uji coba dilaksanakan pada tanggal 9 Agustus 2008 di kelas XI IPS3 yang berjumlah 35 siswa. Waktu yang diperlukan untuk menjawab kuesioner termasuk memberi petunjuk tentang cara pengisian adalah 45 menit. Adapun tabulasi skor uji coba dapat dilihat pada lampiran 1.

D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen 1. Validitas Instrumen

Validitas suatu alat ukur adalah sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang seharusnya diukur (Furchan, 2004: 293). Suatu alat ukur yang dihasilkan tepat dan teliti belum menjamin bahwa hasil tersebut merupakan cerminan dari apa yang seharusnya diukur. Dengan kata lain, apakah alat itu valid atau sahih (Masidjo, 1995). Suatu alat ukur dapat dikatakan memiliki tingkat validitas yang positif apabila alat tersebut mampu menjalankan fungsi ukurnya atau memberi hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran.

(46)

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi menunjuk pada sejauh mana instrumen tersebut mencerminkan isi sebagaimana dicantumkan dalam teori. Isi tersebut telah dijabarkan dalam tabel kisi-kisi. Validitas isi merupakan validitas yang melakukan pengujian terhadap isi tes dengan menggunakan pendapat nara sumber dalam bidang yang diukur (Suryabrata, 1989). Nara sumber yang diminta pendapat yaitu dosen pembimbing, satu dosen yang menguasai konsep diri dan satu guru BK di SMA yang hendak dilaksanakan penelitian. Jasa nara sumber berupa saran-saran tertulis.

Peneliti juga mendapat kesempatan untuk berkonsultasi dengan nara sumber mengenai pernyataan kuesioner yang kurang dipahami. Pendapat dan saran nara sumber mengenai pernyataan kuesioner sebelum diuji cobakan dapat disimpulkan sbb: (1) perumusan pernyataan dan bahasa cukup konsisten dengan tabel kisi-kisi, (2) secara keseluruhan pernyataan dipandang ideal untuk mengukur konsep diri siswa SMA kelas XI karena pernyataan-pernyataan itu sesuai dengan situasi dan kondisi di Yogyakarta.

Perhitungan koefisien korelasi masing-masing item menggunakan metode Product Moment dari Pearson (Masidjo, 1995:142) dengan rumus:

r =xy

( )( )

( )

{

N

XN2

XYX 2

} {

NX

Y2Y

( )

Y 2

}

Keterangan:

r = koefisien korelasi antara X dan Y xy

N = jumlah subjek

X = skor item belahan ganjil Y = skor item belahan genap

(47)

r =xy

( )( ) ( )

{

N

XN2

XYX 2

} {

NX

Y2Y

( )

Y 2

}

=

( )( )

( )

{

104×967120104×972444100062

} {

10006104×97866710061

(

10061

)

2

}

=

( )

{

100580480 100120036

} {

101781368

(

101223721

) }

100670366 101134176

=

( )

{

460444

} ( {

557647

) }

463810

=

5676521 ,

2 463810

=

0561 , 506720

463810

= 0,915

Kriteria pemilihan item (pernyataan kesahihan item) didasarkan pada korelasi item dengan batasan koefisien korelasi ≥ 0,30 dan koefisien korelasi ≤ 0,30 (Azwar, 1999: 65). Item yang mencapai koefisien korelasi

≥ 0,30 dinyatakan valid. Sedangkan, item yang mencapai koefisien korelasi ≤ 0,30 dapat dinyatakan gugur/tidak valid. Proses penghitungan koefisien korelasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Programme for Social Science) versi 15. Dari 70 item yang telah diuji cobakan, terdapat 60 item dinyatakan valid dan 10 item dinyatakan gugur. Rekapitulasi item valid dan gugur dapat dilihat pada lampiran 3. Kuesioner konsep diri dapat dilihat pada lampiran 5.

(48)

2. Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas alat ukur adalah taraf sampai dimana suatu alat mampu menunjukkan konsistensi hasil pengukurannya yang dilihatkan dalam taraf ketepatan dan ketelitian hasil. Suatu alat yang reliabel akan menunjukkan ketepatan dan ketelitian hasil dalam satu/berbagai pengukuran. Umar (1997) mengatakan reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukuran di dalam mengukur gejala yang mau diukur.

Perhitungan reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Belah Dua (Split-Half Method). Metode ini merupakan metode yang lebih efisien, karena dalam penentuan taraf reliabilitas suatu alat ukur untuk satu kali pengukuran pada satu kelompok subjek uji coba. Metode belah dua yang dipakai adalah berdasarkan urutan nomor item, yang bernomor ganjil menjadi belahan pertama dan yang bernomor genap menjadi belahan kedua.

Dalam menentukan taraf reliabilitas suatu alat ukur digunakan kriteria kualifikasi koefisien reliabilitas dari Masidjo (1995: 209) sebagai berikut:

Tabel 3

Koefisien Korelasi Alat Ukur Koefisien Korelasi Klasifikasi

0,91 - 1,00 Sangat tinggi

0,71 - 0,90 Tinggi

0,41 - 0,70 Cukup

0,21 - 0,40 Rendah

0 - 0,20 Sangat rendah

(49)

Untuk menguji taraf reliabilitas suatu alat ukur diperoleh dengan menggunakan formulasi koreksi dari Spearman-Brown (Masidjo, 1995:

219) sebagai berikut:

r

tt

=

xy xy

r r +

× 1

2 Keterangan:

r

tt = koefisien reliabilitas

r

xy = koefisien ganjil-genap Hasil perhitungan uji reliabilitas adalah:

r

tt

=

xy xy

r r +

× 1 2

r

=

915 , 0 1

915 , 0 2

+

×

= 915 , 1

83 , 1

= 0,956

Setelah diperoleh koefisien reliabilitas

r

tt = 0,956 kemudian diklasifikasikan pada tabel koefisien korelasi alat ukur, ternyata koefisien reliabilitas

r

tt = 0,956 masuk dalam klasifikasi sangat tinggi (0,91 - 1,00).

3. Mean atau rata-rata digunakan untuk mengetahui nilai rata-rata yang diperoleh setiap kelompok individu. Menurut Donal Ary dkk, mean adalah jumlah semua nilai dalam suatu sebaran dibagi dengan jumlah individu (Furchan, 2005: 158). Skor yang > mean dikategorikan positif, sedangkan skor yang ≤ mean dikategorikan negatif. Rumus untuk mencari mean:

Mean = N

X

= 104 20067

= 193

(50)

E. Prosedur Pengumpulan Data 1. Tahap Persiapan

a. Peneliti menghubungi pihak sekolah bahwa peneliti bermaksud mengadakan penelitian di sekolah yang bersangkutan.

b. Peneliti menyusun kuesioner penelitian dengan berkonsultasi pada dosen pembimbing.

c. Peneliti mengadakan uji coba kuesioner untuk menentukan reliabilitas dan validitas kuesioner penelitian.

d. Perhitungan hasil uji coba kuesioner menggunakan metode perhitungan komputer program SPSS versi 15 dan manual.

2. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data Penelitian

Pengumpulan data penelitian dilaksanakan sesuai dengan jam BK sehingga tidak mengganggu mata pelajaran di sekolah. Adapun jadwal pengumpulan data penelitian sebagai berikut:

Tabel 4

Jadwal Pengumpulan Data Penelitian

Kelas Tanggal Waktu Siswa Hadir Siswa Tidak Hadir XI IPS1 25-8-2008 06.45-07.30 38 siswa -

XI IPS2 25-8-2008 08.15-09.00 38 siswa - XI IPA2 25-8-2008 10.00-10.45 28 siswa 6 siswa

Adapun proses pengumpulan data dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

a. Peneliti mempersiapkan diri 15 menit lebih awal dari waktu pelaksanaan penelitian yang telah ditetapkan.

(51)

b. Peneliti memberikan penjelasan umum tentang maksud dan tujuan diadakannya penelitian.

c. Peneliti membagikan lembar kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya.

d. Peneliti memberikan penjelasan mengenai petunjuk umum cara mengerjakan dan mengisi kuesioner. Responden diberi kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas.

e. Peneliti membagikan kuesioner setelah memastikan seluruh responden memahami petunjuk pengisian kuesioner.

f. Peneliti memberikan kesempatan kepada subjek untuk mengisi bagian identitas pada kuesioner. Selama pengisian jawaban kuesioner, subjek diperkenankan untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami.

g. Peneliti mengecek kembali kelengkapan lembar kuesioner dan jawaban setelah semua terkumpul.

Proses pengumpulan data ini berjalan lancar. Para siswa mengisi kuesioner dengan tenang dan penuh antusias. Setelah data terkumpul, peneliti kemudian mengolah data tersebut.

F. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah:

1. Menentukan skor dari masing-masing alternatif jawaban yang sudah diberikan oleh subjek penelitian dan membuat tabulasi skor dari masing- masing butir item skala. Langkah selanjutnya menghitung total skor

(52)

masing-masing subjek penelitian dan total skor tiap item. Tabulasi skor hasil penelitian dan pengolahan data penelitian dapat dilihat pada lampiran 6 dan lampiran 7.

2. Pengolahan data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan analisis statistik deskriptif yang meliputi perhitungan mean. Kategorisasi konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta (dengan ∑item total = 60) disajikan pada tabel 5 berikut ini:

Tabel 5

Kategorisasi Konsep Diri Para Siswa Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009

Perhitungan Skor Kategori

> mean 193-240 Positif

≤ mean 60-193 Negatif

Kategorisasi tinggi rendah skor item secara keseluruhan dalam penelitian ini (dengan N = 104), diperoleh dengan perhitungan:

Xitem maksimum teoretik : 104 x 4 = 416 Xitem minimum teoretik : 104 x 1 = 104

Range : 416 – 104 = 312

σ (item teoretik) : 312 : 6 = 52

µ (item teoretik) : (416 + 104) : 2 = 260

Kategorisasi skor item para siswa disajikan pada tabel 6 berikut ini:

Tabel 6

Kategorisasi Skor Item Para Siswa Kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009

Perhitungan Skor Kategori

(µ+1,0σ) ≤ Xitem

312 ≤ Xitem 312 - 416 Tinggi

(µ-1,0σ) ≤ Xitem < (µ+1,0σ)

208 ≤ Xitem < 312 208 - 311 Rata-Rata Xitem < (µ-1,0σ)

Xitem < 208 104 - 207 Rendah

(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009

Konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta untuk setiap subjek penelitian (N=104) diperoleh dengan mengkategorisasikan skor yang diperoleh subjek ke dalam kategori positif dan negatif. Konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 yaitu:

Tabel 7

Konsep diri Para siswa Kelas XI

SMA Stella Duce 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2008/2009

Kategori Skor Frekuensi Persentase

Positif 193 - 240 60 siswa 58 %

Negatif 60 - 193 44 siswa 42 %

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 60 siswa (58%) memiliki konsep diri positif dan 44 siswa (42%) memiliki konsep diri negatif.

Selanjutnya topik-topik yang sesuai untuk para siswa ini didasarkan pada skor item kuesioner yang berkategori rata-rata dengan jumlah skor antara 208- 311. Item-item konsep diri rata-rata tiap aspek disajikan pada tabel 8 berikut ini:

38

(54)

Tabel 8

Item-Item Konsep Diri Rata-Rata Tiap Aspek

No Aspek Konsep Diri No

Item

Skor Kategori Usulan Topik Bimbingan

1. Mengatasi masalah (bersikap optimis). Latihan

Membuat Pilihan Saya mampu membuat keputusan dalam hidup secara

tepat.

13 309 Rata-rata Saya yakin bisa membuat keputusan yang bertanggung

jawab.

14 310 Rata-rata 2. Mengungkapkan perasaan, pendapat maupun

kebutuhan secara langsung dan jujur kepada orang lain.

Pengungkapan Perasaan,

Keterampilan Mengelola

Emosi Saya memberikan penjelasan atas ketidaksetujuan saya

terhadap pendapat teman lain.

32 311 Rata-rata Saya berani mengungkapkan perasaan negatif seperti

kekecewaan dan kesedihan pada orang lain.

33 309 Rata-rata Saya menyampaikan pendapat saya dengan tegas dan

meyakinkan kepada orang lain.

35 310 Rata-rata 3. Menyadari hal-hal yang negatif dalam diri dan

berusaha mengubahnya.

Pemahaman Diri

Jika orang lain memberikan kritik kepada saya, saya tetap menerima dan menghargainya.

54 311 Rata-rata

B. Pembahasan 1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian seperti tampak pada tabel 7 menunjukkan bahwa ada 60 siswa (58%) memiliki konsep diri positif dan 44 siswa (42%) memiliki konsep diri negatif. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar (58%) para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta memiliki konsep diri positif. Hal ini kemungkinan disebabkan beberapa faktor di antaranya yaitu:

Perlakuan orang tua yang memberikan kepercayaan, kebebasan, keyakinan, kasih sayang dan sikap menerima terhadap siswa sebagai pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, hubungan orang tua yang

(55)

harmonis mendukung rasa percaya diri dan rasa aman siswa. Sejalan dengan Winkel, Soemanto (1984: 95) menyebutkan bahwa siswa yang berasal dari lingkungan rumah yang sehat dengan suasana keluarga penuh rasa kasih sayang bagi siswa, maka kemungkinan besar siswa tersebut akan memiliki kesehatan mental dan emosi yang baik.

Perilaku guru yang menerima, memberi pengetahuan atas kebaikan- kebaikan siswa serta membantu siswa menyadari dan mewujudkan kemampuannya, mempercayai siswa, menghargai, mencintai dan memberi perhatian pada para siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Kartono (1987: 35) yang mengatakan bahwa sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bereaksi baik positif maupun negatif terhadap benda-benda atau situasi tertentu. Hal ini dipertegas oleh Purwanto (1995: 143) ada beberapa sikap dan sifat yang harus dimiliki seorang guru yaitu adil, percaya dan suka kepada peserta didiknya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa di hadapan peserta didiknya, benar-benar menguasai materi pelajarannya dan berpengetahuan luas.

Siswa memiliki intelegensi tinggi sehingga cenderung memandang dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan akademik lebih, dapat menyelesaikan tugas-tugas dan memiliki prestasi belajar yang cukup tinggi.

Hal ini didukung oleh Purwanto (1996: 52) yang menyatakan intelegensi adalah kesanggupan siswa untuk menyesuaikan diri pada kebutuhan baru dengan menggunakan kemampuan berpikir untuk mencapai tujuannya.

Intelegensi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa karena

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mempercepat adopsi teknologi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Departemen Pertanian, maka sejak tahun 2009 telah ditandatngani nota kesepahaman antara Badan

Beras hitam merupakan varietas lokal yang mengandung pigmen (terutama antosianin) paling baik, berbeda dengan beras putih atau beras warna lain.. Beras hitam memiliki rasa dan

Barbora (2009) menyimpulkan bahwa meta analisis menurut Sutrisno, Hery dan Kartono (2007) merupakan teknik yang digunakan untuk merangkum berbagai hasil penelitian

Baiquni pada tahun 2007 dalam Sahputra (2009: 11) menyatakan dalam situasi belajar yang sifatnya kompleks dan menyeluruh serta membutuhkan dan melibatkan interaksi, sering

Penelitian tentang degree diameter problem menghasilkan dua kegiatan penelitian yang utama, yaitu mengkonstruksi graf berarah dengan ordo lebih besar dari ordo graf berarah yang

1) Mendukung konsep materi dalam kegiatan belajar mengajar. 2) Mudah dan aman digunakan baik oleh siswa maupun guru. 3) Sesuai dengan tingkat perkembangan anak. 4) Mendukung

Pelaksanaan pengajaran membaca memiliki beberapa prinsip yang terdiri atas: 1) belajar membaca merupakan suatu proses yang sangat rumit dan peka terhadap

Berdasarkan Panduan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, pelaksanaan Festival Danau Poso dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat