• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA BOPKRI BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN 20092010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA BOPKRI BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN 20092010"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR

YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA

BOPKRI BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA

TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA

TAHUN AJARAN 2009/2010

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan (S1) Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun Oleh:

Noviyanti

NIM : 051114011

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR

YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA

BOPKRI BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA

TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA

TAHUN AJARAN 2009/2010

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S1) Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun Oleh:

Noviyanti

NIM : 051114011

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

PERSEPSI PA YOGYAKARTA, S

BANGUNTAPAN KONSELING IN

Pembimbing

Dr. M.M. Sri Hastuti,

ii

SKRIPSI

PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI , SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN S AN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP

INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN

Oleh:

Noviyanti

NIM : 051114011

Telah disetujui oleh :

uti, M.Si. Tanggal………

DI LUHUR SMA BOPKRI AP LAYANAN AN 2009/2010

(4)

PERSEPSI PA

PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI , SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN S AN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP

INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN

Oleh:

Noviyanti

NIM : 051114011

lah dipertahankan di depan Panitia Penguji,

(5)

P

Saya menyatakan den

memuat karya atau ba

dalam kutipan dan daf

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang say

bagian dari karya orang lain, kecuali yang t

daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilm

Yogyakarta,

saya tulis ini tidak

g telah disebutkan

ilmiah.

a, 2 Maret 2011

Penulis

(6)

LEMBAR

A ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMU

nda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Uni

: NOVIYANTI

or Mahasiswa : 051114011

gembangan ilmu pengetahuan, saya membe versitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya

RA SISWA KELAS XI SMA PANG

SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN S BANTUL YOGYAKARTA TERHADA DIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN 2009/

mikian saya memberi hak kepada Perpustaka gyakarta, untuk menyimpan, mengalihkan dalam a dalam bentuk pangkalan data, mendistri publikasikannya di internet atau media lain unt rlu meminta ijin dari saya maupun memberikan mencantumkan nama saya sebagai penulis.

pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

(7)

vi

MOTTO

“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya,

dan Ia akan bertindak”. (Mazmur 37:5)

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan

bertekunlah dalam doa”. (Rom 12:12)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

 Tuhan Yesus yang

selalu menyertai aku

 Kedua orang tuaku,

keluargaku, suamiku

yang selalu

mendoakan aku

 Alm. Bpk Yanto yang

(8)

vii

ABSTRAK

PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA BOPKRI

BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN 2009/2010

Noviyanti

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2010

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi siswa SMA kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Yogyakarta terhadap layanan konseling individual selama tahun ajaran 2009/2010.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) “Bagaimanakah persepsi para siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta terhadap layanan konseling individual selama tahun ajaran 2009/2010?”, (2) “Adakah perbedaan persepsi antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta yang sudah pernah dan yang belum pernah menjalani konseling individual selama tahun ajaran 2009/2010?”.

Populasi penelitian adalah siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta selama tahun ajaran 2009/2010 yang berjumlah 371 siswa. Sampel yang berjumlah 203 siswa (54,7%) diambil dengan menggunakan rumus Slovin dan merupakan cluster random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner “Persepsi Siswa Terhadap Layanan Konseling Individual” yang disusun oleh peneliti berdasarkan pada aspek kompetensi guru pembimbing dalam memberikan layanan konseling individual dengan koefisien reliabilitas rxx=0,900. Penggolongan persepsi dalam penelitian ini yaitu ”sangat baik”, ”baik”, ”cukup baik”, ”tidak baik”, dan ”sangat tidak baik” yang berpedoman pada Azwar (1999:108). Uji perbedaan menggunakan Uji t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) 98 siswa (48%) memiliki persepsi yang sangat baik, 87 siswa (42%)memiliki persepsi baik, 17 siswa (8%) memiliki persepsi cukup baik, 1 siswa (2%) memiliki persepsi tidak baik, dan tidak ada subjek penelitian yang memiliki persepsi sangat tidak baik, 2) ada perbedaan persepsi siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta yang sudah pernah dan yang belum pernah menjalani konseling individual (thitung= 3,132 dan ttabel= 1,667).

(9)

viii

ABSTRACT

THE PERCEPTION OF THE ELEVENTH GRADERS OF PANGUDI LUHUR HIGH SCHOOL, BOPKRI 2 YOGYAKARTA, BOPKRI HIGH

SCHOOL BANGUNTAPAN BANTUL TOWARDS INDIVIDUAL COUNSELING SERVICE DURING THE 2009/2010 ACADEMIC YEAR

Noviyanti

Sanata Dharma University, Yogyakarta 2010

This research is intended to know the perception of the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul towards individual counseling service during the 2009/2010 academic year.

This research is a descriptive research by using the research method. The problem formulations are: (1)" How is the perception of the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul towards individual counseling service during the 2009/2010 academic year? ", (2)" Is there any difference between the perception of the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul which have and have done individual counseling service during the 2009/2010 academic year?”.

The research population is the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul during the 2009/2010 academic year consisting of are 371 students. The sample shows that 203 students (54,7%) is taken by using the slovin formula and is a cluster random sampling. The research instrument used is the “Student’s Perception Towards Individual Counseling Service" questionnaire that is composed by the researcher based on the aspect of the guidance teacher competencies in giving individual counseling services with reliability coefficient rxx = 0,900. The perception classifications in this research are "very good", " good", " good enough", " bad", and " very bad" based on Azwar (1999: 108). The difference test ases the t test.

The research result shows that: 1) 98 students (48%) have “very good” perception, 87 students (42%) have “good” perception, 17 students (8%) have “good enough” perception, 1 student (2%) has “bad” perception, and there is no subject research that has “very bad” perception. 2) there is a different perception among the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul which have and have done individual counseling (tcount= 3,132 and ttable=1,667).

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yesus atas berkat dan penyertaanNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak pergumulan yang harus penulis

hadapi selama penulisan skripsi ini, namun kasih Tuhan Yesus yang tak

berkesudahan senantiasa mampu membangkitkan semangat penulis untuk terus

berusaha. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa

adanya bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan

setulus hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata

Dharma dan juga selaku Dosen pembimbing yang selama ini dengan sabar

membimbing, memperhatikan, mendukung, dan membantu penulis.

3. A. Setyandari, S.Pd., Psi., M.A. selaku Wakil Ketua Program Studi

Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

4. Drs. RH Dj. Sinurat, M.A. dan Dra. MJ. Retno Priyani, M. Si selaku dosen

penguji sekripsi.

5. Para Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata

Dharma, yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan juga ilmu yang

(11)

x

6. Segenap Karyawan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu

pengurusan segala keperluan administrasi penulis.

7. Kepala SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, Kepala SMA BOPKRI 2

Yogyakarta, dan Kepala SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta

yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis.

8. Ibu Sheila Sitarani, S.Psi guru BK di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta yang

telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian untuk skripsi ini.

9. Ibu Dra. Sunarningsih guru BK SMA BOPKRI 2 Yogyakarta yang telah

membantu penulis dalam melaksanakan penelitian untuk skripsi ini.

10. Bapak Yanuarius Yala, S.Pd guru BK SMA BOPKRI Banguntapan Bantul

Yogyakarta yang telah mambantu penulis dalam melaksanakan penelitian

untuk skripsi ini.

11. Semua siswa-siswi kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA

BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta

yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Kedua orang tuaku yang selalu memberikan dukungan dan memberikan yang

terbaik untuk aku dan juga selalu mendoakan aku.

13. “Simbok” dan “Pak Tuwa” yang selalu mendoakan aku.

14. Kakakku dan adik-adikku yang selalu menyayangi aku.

15. Mas Anton yang setia mendukung dan menyemangati aku.

16. Br. Sarju yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam

(12)

xi

17. Teman-temanku Koh Andre, Hendra, Nisa, Ike, Rose, Vidi, Estu, Betrik,

Wulan, Siska, Chubby, Udhay, Mama, Andre, Desi, sisil semua

teman-temanku Bimbingan dan Konseling angkatan 2005 yang selalu mendukung

aku.

18. Semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu per satu, saya hanya bisa

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Definisi Operasional... 10

F. Hipotesis Penelitian... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

A. Persepsi ... 13

1. Pengertian Persepsi ... 13

(14)

xiii

3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Persepsi... 15

B. Layanan Konseling Individual ... 20

1. Pengertian Konseling Individual... 20

2. Tujuan Konseling ... 21

3. Prinsip-prinsip Konseling ... 22

4. Proses atau Langkah-langkah Konseling ... 23

5. Aspek-aspek Konseling... 25

C. Kompetensi Konselor... 28

1. Kompetensi Profesional Konselor ... 29

2. Kompetensi Kepribadian Konselor ... 31

D. Persepsi Siswa Kelas XI SMA Terhadap Layanan Konseling ... Individual ... 31

BAB III METODE PENELITIAN... 34

A. Jenis Penelitian... 34

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

1. Populasi ... 35

2. Jumlah Sampel Penelitian ... 37

3. Pengambilan Sampel ... 37

C. Alat Pengumpulan Data ... 40

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 43

E. Teknik Analisis Data... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

(15)

xiv

B. Pembahasan... 57

BAB V PENUTUP ... 64

A. Ringkasan... 64

B. Kesimpulan ... 66

C. Saran-saran... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta Selama

Tahun Ajaran 2009/2010 ... 35

Tabel 2 Siswa Kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Selama Tahun

Ajaran 2009/2010... 36

Tabel 3 Siswa Kelas XI SMA BOPKRI Banguntapaan Bantul Yogyakarta

Selama Tahun Ajaran 2009/2010... 36

Tabel 4 Rincian sampel penelitian siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur

Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI

Banguntapan Bantul Yogyakarta Selama Tahun Ajaran

2009/2010 ... 39

Tabel 5 Kisi-kisi Persepsi Siswa Terhadap Layanan Konseling Individual

Tahun Ajaran Selama 2009/2010 Setelah Uji Coba ... 41

Tabel 6 Pengolonggan Persepsi Siswa Terhadap Layanan Konseling Individual

Selama Tahun Ajaran 2009/2010... 49

Tabel 7 Persepsi Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA

BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul

YogyakartaTerhadap Layanan Konseling Individual Selama Tahun

Ajaran 2009/2010... 53

Tabel 8 Persepsi Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA

(17)

xvi

Yogyakarta yang Sudah Pernah Menjalani Konseling Individual Selama

Tahun Ajaran 2009/2010 ... 54

Tabel 9 Persepsi Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA

BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul

Yogyakarta yang Belum Pernah Menjalani Konseling Individual Selama

Tahun Ajaran 2009/2010 ... 55

Tabel 10Perhitungan Mean, Standar Devisiasi, Nilai t Persepsi Siswa Kelas

XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta,

dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta yang Sudah Pernah

dan Belum Pernah Menjalani Konseling Individual Selama Tahun Ajaran

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian... 71

Lampiran 2 Tabulasi Skor Penelitian...76

Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Uji Daya Diskriminasi Item Total ...88

Lampiran 4 Hasil Perhitungan Uji Beda (Uji t) Empirik ...90

Lampiran 5 Hasil Perhitungan Uji Beda (Uji t) Teoritik ...91

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan hipotesis

penelitian.

A. Latar Belakang

Dewasa ini masalah-masalah yang dihadapi siswa semakin kompleks,

seperti masalah belajar, masalah dengan anggota keluarga, masalah pengisian

waktu luang, masalah pergaulan dengan teman sebaya maupun dengan lawan

jenis, dan masalah pergulatan dalam diri sendiri. Menurut Winkel dan Hastuti

(2004:47) masalah aktual yang kerap dihadapi oleh para siswa di sekolah,

antara lain:

1. Masalah belajar: motivasi belajar kurang sesuai; pilihan program yang tidak mantap; taraf prestasi belajar yang mengecewakan; cara belajar yang baik tidak jelas; kesukaran dalam mengatur waktu; hubungan dengan guru kurang memuaskan; peraturan sekolah yang terlalu longgar atau terlalu ketat; bahan pelajaran terlalu sukar, terlalu banyak, atau menjemukan.

2. Masalah keluarga: suasana di rumah kurang memuaskan, interaksi antara seluruh anggota keluarga kurang akrab; perceraian orangtua atau keluarga retak; keadaan ekonomi yang sulit; perhatian orangtua terhadap belajar di sekolah kurang; orangtua terlalu menuntut dan menekan; saudara laki-laki terlalu nakal, bahkan nekat.

3. Masalah pengisian waktu luang: tidak mempuyai hoby; tidak tahu cara mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat; terlalu dibebani pekerjaan di rumah.

4. Masalah pergaulan dengan teman sebaya: bermusuhan dengan teman tertentu di kelas; kesukaran menghindari pengaruh jelek dari teman-teman tertentu; menghadapi kelompok teman-teman yang berlainan pendapat.

(20)

gelisah dan prihatin tentang masa depan; ketegangan antara ingin modern, tetapi tidak berani melepaskan adat istiadat; kebingungan mengenai nilai-nilai moral yang harus berlaku di zaman ini; perang batin antara menunda gratifikasi demi masa depan; menentukan sikap terhadap dorongan dan godaan seksual.

Sumber permasalahan siswa banyak yang berasal dari luar sekolah,

misalnya, pengaruh yang kurang baik dari kelompok sebaya, hubungan

dengan orang tua dan anggota keluarga, pengaruh sinetron, film, video, game,

internet, iklim kekerasan dan kekurang disiplinan yang berlangsung di

masyarakat, dan berbagai faktor negatif lainnya dalam kehidupan sosial

(Prayitno dan Amti, 2004:26). Permasalahan ini sering tidak dapat diatasi

melalui pengajaran yang diberikan oleh guru di kelas. Oleh karena itu, di

samping kegiatan pengajaran juga dirasakan perlunya bimbingan dan

konseling di sekolah.

Bimbingan dan konseling di sekolah sebagai salah satu sub bidang dari

bidangpembinaan siswamempunyai fungsi yang khas bila dibanding dengan

sub bidang yang lain, meskipun semua sub bidang itu merupakan pelayanan

khusus kepada siswa. Fungsinya yang khas bersumber pada corak pelayanan

bimbingan sebagai bantuan yang bersifat psikis atau psikologisyang terletak

dalam tujuan pelayanan bimbingan dan konseling. Tujuan layanan bimbingan

ialah supaya sesama manusia mampu mengatur kehidupan sendiri, menjamin

perkembangan dirinya sendiri seoptimal mungkin, memikul langsung

tanggung jawab sepenuhnya atas arah hidupnya sendiri, menggunakan

kebebasannya sebagai manusia secara dewasa dengan berpedoman pada

(21)

semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan ini secara memuaskan (Winkel

dan Hastuti, 2004:64).

Layanan konseling individual merupakan salah satu program layanan

bimbingan dan konseling di sekolah yang dapat membantu siswa mengatasi

masalah yang dialami sehubungan dengan tugas perkembangannya. Menurut

Mappiare (1992:91) layanan konseling individual diperlukan dan penting

karena dirancang dengan maksud menopang perkembangan dalam diri

konseli (siswa) sehingga konseli memiliki pemahaman yang lebih besar

terhadap dirinya, meningkatkan keterbukaan terhadap dunianya, dan

mengikhtiarkan tingkah-laku yang lebih efektif. Menurut Latipun (2005:3)

layanan konseling individual penting bagi siswa karena merupakan salah satu

upaya untuk membantu mengatasi konflik, hambatan, dan kesulitan dalam

memenuhi kebutuhan, sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesehatan

mental.

Layanan konseling individual tidak hanya untuk peserta didik yang

bermasalah tetapi untuk seluruh peserta didik. Hal ini dikarenakan

permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik silih berganti; masalah yang

satu dapat diatasi masalah yang lain timbul. Menurut Prayitno dan Amti

(2004:100) layanan konseling diperlukan dan penting karena merupakan

suatu proses membantu individu mengatasi hambatan-hambatan

perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan optimal

kemampuan pribadi yang dimilikinya. Proses tersebut dapat terjadi setiap

(22)

Layanan konseling itu penting karena merupakan sarana bagi para

siswa untuk mengungkapkan permasalahan yang sedang mereka hadapi, baik

permasalahan di lingkungan sekolah, keluarga, dan pergaulannya dengan

teman sebaya kepada guru pembimbing di sekolahnya.

Layanan konseling individual bermanfaat dan membantu siswa dalam

mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang di hadapinya. Kendati

demikian, pelaksanaan layanan konseling individual pada kenyataannya

belum berjalan secara efektif. Hal ini dikarenakan persepsi siswa yang

berbeda-beda terhadap layanan konseling individual. Ada yang menganggap

bahwa dengan datang kepada guru pembimbing berarti menunjukkan aib.

Siswa yang datang kepada guru pembimbing dianggap mengalami ketidak

beresan tertentu. Ada yang menganggap dengan datang kepada guru

pembimbing ia tidak dapat berdiri sendiri. Siswa yang datang kepada guru

pembimbing adalah siswa yang telah berbuat salah, atau predikat-predikat

negatif lainnya (Prayitno dan Amti, 2004:123).

Berdasarkan observasi yang penulis lakukan pada waktu melaksanakan

Program Pengalaman Lapangan (PPL) pada tahun 2008 terhadap siswa di

Sekolah Menengah Pertama Maria Immaculata Yogyakarta, pada waktu

istirahat penulis menjumpai ada siswa yang mengatakan pada penulis bahwa

guru pembimbing seperti polisi sekolah yang memanggil siswa bermasalah

dan siswa yang melanggar peraturan. Kemudian penulis menyampaikan hal

tersebut kepada guru pembimbing, guru pembimbing mengatakan bahwa

(23)

sehingga belum pernah dipanggil dan belum pernah melakukan konseling

individual. Lebih lanjut guru pembimbing mengatakan bahwa berbeda dengan

siswa yang sudah pernah dipanggil atau sudah pernah melakukan konseling

individual, mereka sudah tahu manfaat yang didapat setelah dipanggil

maupun setelah melakukan konseling individual. Penulis juga melakukan

observasi terhadap siswa yang sudah pernah melakukan konseling individual,

mereka lebih dekat dengan guru pembimbing dan jika ada permasalahan lagi

mereka datang kepada guru pembimbing atau pada waktu itu juga ada yang

datang pada penulis atau mahasiswa PPL (Program Pengalaman Lapangan).

Hal ini membuat penulis berpendapat bahwa siswa yang belum pernah

melakukan konseling mempunyai persepsi yang berbeda dengan siswa yang

sudah pernah melakukan konseling. Siswa yang belum pernah melakukan

konseling menganggap bahwa guru pembimbing adalah polisi sekolah yang

memanggil siswa bermasalah seperti: tidak mentaati peraturan, prestasi

belajar kurang memuaskan, dan terlibat perkelahian. Sedangkan, siswa yang

pernah malakukan konseling menganggap bahwa guru pembimbing dapat

membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.

Sedangkan pada saat melaksanakan Program Pengalaman Lapangan

(PPL) pada tahun 2008 di SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta,

penulis melakukan interview dengan beberapa siswa pada waktu jam istirahat

mengenai layanan konseling individual. Penulis menanyakan langsung

kepada siswa apakah sudah pernah melakukan konseling individual dengan

(24)

mengatakan bahwa yang datang atau yang dipanggil oleh guru pembimbing

akan dicap atau dianggap sebagai siswa yang bermasalah di sekolah oleh

teman-temanya maupun guru lain. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa

lebih nyaman menceritakan permasalahannya pada mahasiswa PPL (Program

Pengalaman Lapangan) atau kepada teman-temannya, mereka mengatakan

kurang bebas dan aman apabila menceritakan masalahnya kepada guru

pembimbing. Beberapa siswa tersebut juga mengatakan bahwa guru

pembimbing kurang dapat mengerti keadaan siswa dan tidak ada gunanya

datang kepada guru pembimbing karena hanya memperpanjang dan

memperumit permasalahan.

Persepsi siswa mengenai layanan konseling individual berbeda-beda.

Hal ini di karenakan para siswa di sekolah memiliki pengalaman yang

berbeda-beda dalam menjalani proses konseling. Pengalaman siswa yang

datang sendiri kepada guru pembimbing untuk melakukan konseling mungkin

berbeda dengan pengalaman siswa yang di panggil oleh guru pembimbing.

Dari pengalaman tersebut akan muncul persepsi yang tidak baik dan persepsi

yang baik mengenai layanan konseling individual. Persepsi yang tidak baik

terhadap layanan konseling individual yang dilakukan oleh guru pembimbing

tersebut terkadang merupakan penilaian siswa yang subyektif. Hal ini

dikarenakan siswa menerima begitu saja pendapat yang terbentuk mengenai

guru pembimbing dari teman-temannya yang pernah menghadap guru

(25)

Oleh karena itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai

persepsi yang dimiliki oleh siswa yang sudah pernah menghadap guru

pembimbing untuk menjalani konseling individual dan siswa yang belum

pernah menghadap guru pembimbing untuk menjalani konseling individual.

Hal ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan persepsi antara

siswa yang belum dan yang sudah pernah menghadap guru pembimbing

untuk menjalani konseling individual. Apabila hasil penelitian menunjukkan

bahwa siswa yang belum pernah menghadap guru pembimbing untuk

menjalani konseling cenderung mempuyai persepsi tidak baik, maka guru

pembimbing perlu mengadakan sosialisasi mengenai fungsi konseling

individual.

Penelitian mengenai persepsi siswa terhadap layanan konseling

individual juga pernah dilakukan oleh Tuti Susilawati pada tahun 2008 di

SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun Ajaran 2007/2008. Hasil

penelitian dari Tuti Susilawati (2008) sekiranya berguna sebagai pembanding

maupun penguat bagi pengembangan skripsi ini. Penelitian yang dilakukan

oleh Tuti Susilawati (2008) di SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun

Ajaran 2007/2008 Terhadap Layanan Konseling Individual menunjukkan

bahwa: (1) 5 siswa kelas X (10%) memiliki persepsi terhadap layanan

konseling individual, dengan kualifikasi “sangat baik”, (2) 26 siswa kelas X

(52,0%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling individual “baik”, (3)

17 siswa kelas X (17,0%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling

(26)

memiliki persepsi terhadap konseling individual, dengan kualifikasi “tidak

baik”, (5) 1 siswa kelas X (2,0%) memiliki persepsi terhadap layanan

konseling individual, dengan kualifikasi “sangat tidak baik”, (6) 6 siswa kelas

XI (12,5%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling individual, dengan

kualifikasi “sangat baik”, (7) 17 siswa kelas XI (35,4%) memiliki persepsi

terhadap layanan konseling individual, dengan kualifikasi “baik”, (8) 25

siswa kelas XI (52,1%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling

individual, dengan kualifikasi “cukup baik”, (9) hasil uji hipotesis

menunjukkan bahwa, terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara

siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun

ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual.

Hasil penelitian Tuti Susilawati (2008) mengenai persepsi siswa

terhadap layanan konseling individual dapat saja berbeda dengan hasil yang

nantinya penulis peroleh karena subyek penelitiannya berbeda. Selain itu

hasil penelitian Tuti Susilowati juga menunjukkan bahwa persepsi siswa

terhadap layanan konseling individual di SMA Taman Madya Jetis

Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 sudah cukup baik. Kondisi ini belum

tentu ditemukan di sekolah yang lain.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai

persepsi para siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA

BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta

(27)

Penulis ingin mengetahui persepsi para siswa berdasarkan pengalamannya

masing-masing terhadap layanan konseling individual.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah persepsi para siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur

Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI

Banguntapan Bantul Yogyakarta terhadap layanan konseling individual

selama tahun ajaran 2009/2010?

2. Adakah perbedaan persepsi antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur

Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI

Banguntapan Bantul Yogyakarta yang sudah pernah menjalani konseling

individual dan yang belum pernah menjalani konseling individual selama

tahun ajaran 2009/2010?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Memperoleh gambaran mengenai persepsi para siswa kelas XI SMA

Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA

BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta terhadap layanan konseling

(28)

2. Mengetahui perbedaan persepsi siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur

Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI

Banguntapan Bantul Yogyakarta yang belum pernah menjalani konseling

individual dan yang sudah pernah menjalani konseling individual selama

tahun ajaran 2009/2010.

D. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Peneliti lain: Hasil penelitian ini dapat digunakan peneliti lain sebagai

sumber inspirasi atau bahan pembanding apabila ingin mengembangkan

penelitian di sekitar topik yang sama.

2. Penulis: Hasil penelitian ini dapat memberi pengalaman yang besar bagi

penulis mengenai layanan konseling individual di sekolah, sehingga

penulis menjadi lebih siap menghadapi tugas-tugas yang akan datang

sebagai guru pembimbing di sekolah.

3. Guru pembimbing: Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan

pemikiran tentang peningkatan kualitas layanan konseling individual di

sekolah.

E. Definisi Operasional

1. Persepsi

Persepsi adalah pandangan atau tanggapan individu terhadap benda,

(29)

sehari-hari. Dalam penelitian ini tanggapan berarti pendapat siswa kelas XI

SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA

BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta mengenai layanan konseling

individual.

2. Siswa

Siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peserta didik yang

belajar dan terdaftar di kelas XI di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA

BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul

Yogyakarta.

3. Konseling individual

Konseling individual adalah bantuan yang diberikan oleh guru

pembimbing kepada siswa melalui wawancara tata muka yang menuntut

adanya komunikasi untuk mencapai tujuan yang berupa pemecahan

masalah kehidupan (seperti masalah sekolah, pergaulan, pemahaman diri,

pengisian waktu luang, dan keluarga), pemenuhan kebutuhan akan

informasi, peneguhan hati, dan pengubahan sikap serta tingkah laku.

4. Kompetensi Konselor

a. Kompetensi profesional konselor adalah kemampuan konselor

melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian. Dalam penelitian ini

berarti kemampuan konselor dalam memberikan layanan konseling

individual kepada siswa sesuai dengan keahlian yang dimilikinya

seperti, menjaga rahasia, tidak larut dengan masalah siswa, dan

(30)

b. Kompetensi personal konselor adalah kemampuan konselor yang

menunjuk pada bagaimana konselor bersikap, tampil, dan menimbulkan

kesan bagi orang lain. Dalam penelitian ini berarti kemampuan konselor

dalam bersikap, tampil, dan menimbulkan kesan bagi siswa pada waktu

memberikan layanan konseling individual maupun tidak misalnya,

konselor penuh penerimaan, sabar, memberi perhatian pada semua

siswa, berpenampilan menarik, dan menyenangkan.

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan persepsi mengenai

layanan konseling individual antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur

Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan

Bantul Yogyakarta yang sudah pernah menjalani konseling individual dan

yang belum pernah menjalani konseling individual selama tahun ajaran

(31)

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam bab ini dibahas: (1) persepsi (pengertian persepsi, aspek-aspek yang

membentuk persepsi, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi). (2)

Layanan konseling individual (pengertian konseling, tujuan konseling,

prinsip-prinsip konseling, proses atau langkah-langkah konseling, aspek-aspek konseling).

(3) Kompetensi Konselor (kompetensi profesional konselor, kompetensi

kepribadian konselor).

A. Persepsi

1. Pengertian Persepsi

Persepsi adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan

kesan, penilaian, pendapat, merasakan, dan menginterpretasikan sesuatu

berdasarkan informasi yang ditampilkan oleh sumber lain (yang dipersepsi).

Menurut Davidoff (Walgito, 1989:88) persepsi adalah stimulus yang diindera

oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan, sehingga individu

menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu. Dengan demikian dapat

dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat indera, yaitu yang dimaksud

dengan penginderaan, dan melalui proses penginderaan tersebut stimulus itu

menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterprestasikan.

Martlin (Suharnan, 2005) mengemukakan persepsi adalah suatu proses

pengunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan di dalam ingatan)

untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterprestasi stimulus

(32)

(rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti telinga, dan hidung.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan informasi yang

diperoleh melalui sistem alat indera manusia. Misalnya, pada waktu

seseorang melihat sebuah gambar, membaca tulisan, atau mendengarkan

suara tertentu, ia akan melakukan interpretasi berdasarkan pengetahuan yang

dimilikinya dan relevan dengan hal-hal itu.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

persepsi berarti proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu

informasi terhadap stimulus yang didapat dari proses penginderaan terhadap

objek maupun peristiwa.

2. Aspek-aspek yang Membentuk Persepsi

Irwanto (1988:55) menegaskan bahwa persepsi sebagai proses

penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima sehingga menumbuhkan

pengertian terhadap lingkungan. Persepsi adalah penafsiran terhadap

lingkungan. Aktivitas kognitif yang menentukan individu dalam sikap dan

tingkah laku.

Melalui persepsi individu dapat menjadi sadar, dapat mengerti keadaan

lingkungan sekitar, dan dapat mengerti keadaan diri individu yang

bersangkutan. Oleh karena itu pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka

acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan.

Stimulus yang diterima dalam persepsi sama tetapi karena pengalaman,

kerangka acuan, kemampuan berpikirnya tidak sama ada kemungkinan hasil

(33)

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses persepsi

terbentuk karena adanya 2 aspek, yaitu:

a. Aspek kognitif yang berupa kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan

pengalaman.

b. Aspek afektif yang berupa perasaan

3. Faktor-Faktor yang Berpengaruhi Terhadap Persepsi

Menurut Siagian (1989:101-105) ada beberapa faktor yang berperan

dalam persepsi yaitu sebagai berikut:

a. Diri orang yang bersangkutan

Dalam hal ini yang menentukan persepsi bukan jenis stimulus,

melainkan karakteristik orang yang memberikan respon pada stimulus

tersebut. Apabila seseorang melihat sesuatu ia akan memberikan

interpretasi tentang apa yang dilihatnya. Hal ini dipengaruhi oleh sikap,

motif, kepentingan, pengalaman, dan harapan.

1) Sikap: mengenai sikap, dapat diberikan contoh sebagai berikut:

Seorang mahasiswa yang ingin memperoleh sebanyak mungkin dari

perkuliahannya senang mengajukan banyak pertanyaan kepada

dosennya pada waktu kuliah berlangsung. Untuk memudahkan hal itu

mahasiswa tersebut menempati kursi yang sedekat mungkin dengan

tempat di mana dosen berada karena dengan demikian apabila ia

menganjungkan tangan untuk bertanya, dosennya akan mudah

melihatnya dan memberikan kesempatan padanya untuk mengajukan

(34)

segan bertanya dan segan pula ditanya. Dengan karakteristik yang

demikian, mahasiswa yang bersangkutan akan berusaha memiliki

tempat duduk sejauh mungkin dari tempat duduk dosen sehingga ia

tidak merasa perlu bertanya dan baginya tidak menjadi soal, bahkan

akan senang apabila ia tidak pernah ditanya.

2) Motif: persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh motifnya. Motif

sudah barang tentu berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dan

intensitas motif itu sangat dipengaruhi oleh mendesak tidaknya

pemuasan kebutuhan tesebut. Misalnya, seorang yang sudah sangat

lapar akan berbeda persepsinya tentang makanan dari seorang yang

tidak lapar. Seorang yang sudah sangat lapar akan kurang

memperhitungkan apakah makanan yang di hadapannya enak atau

tidak. Yang penting baginya adalah menghilangkan rasa laparnya.

Sebaliknya, orang yang tidak lapar karena baru makan beberapa waktu

yang lalu akan menggunakan pertimbangan lain karena baginya

pemuasan kebutuhan dalam hal ini lapar tidak lagi mendesak.

Kalaupun ia memakan sesuatu, hal itu dilakukannya bukan untuk

menghilangkan rasa lapar. Jelaslah bahwa kedua orang yang melihat

benda yang sama dalam hal ini makanan mempunyai persepsi yang

berbeda tentang makanan itu karena motif pemuasan kebutuhan juga

berbeda.

3) Kepentingan: kepentingan seseorangpun biasanya mempengaruhi

(35)

bahwa seorang manajer mempunyai tingkat kemampuan yang tinggi,

baik secara manajerial maupun teknis, akan senang melihat para

bawahannya memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan bisa dikatakan

bahwa seorang manajer yang tangguh akan sangat gembira apabila

para bawahannya justru labih mampu dari dirinya untuk melaksanakan

tugas-tugas yang sifatnya teknis operasional karena dengan demikian

tugas-tugas manajerialnya, seperti dalam hal pembinaan dan

pengawasan akan lebih ringan. Kondisi demikian hanya bisa timbul

apabila kemampuan kerja para bawahannya yang tinggi itu tidak

merupakan ancaman bagi kepentingannya. Persepsi seorang manajer

tentang kemampuan para bawahannya akan lain dari contoh di atas

apabila manajer yang bersangkutan marasa terancam kepentingannya,

dalam hal ini kedudukan manajerialnya. Ancaman demikian biasanya

timbul apabila manajer yang bersangkutan bukanlah manajer yang

tangguh apapun kriteria yang digunakan tentang ketangguhan itu.

Dalam hal demikian manajer yang bersangkutan akan melihat

kemampuan para bawahannya untuk bekerja secara efektif dan

produktif sebagai usaha para bawahan itu untuk merongrong

kewibawaan manajer yang bersangkutan dan sebagai intrik untuk

menggesernya dari jabatannya. Jelas dari contoh di atas bahwa dua

orang manajer yang melihat hal yang sama kemampuan dan

produktivitas masing-masing tentang kepentingannya dalam hal ini

(36)

4) Pengalaman: pengalaman turut mempengaruhi persepsi seseorang.

Hal-hal tertentu yang sudah berulang kali dialami seseorang akan

dipandang dengan cara yang berbeda dari cara pandang orang lain

yang belum pernah mengalaminya. Misalnya, persepsi tentang

pesawat terbang. Seseorang yang hidup sekitar jalur penerbangan di

kawasan bandar udara yang sibuk akan berbeda persepsinya dengan

persepsi sekelompok di satu daerah pedalaman yang mungkin baru

pertama kali melihat pesawat udara. Persepsi orang kota tentang

indahnya pemandangan alam di daerah pegunungan sangat mungkin

lain apabila dibanding dengan persepsi orang-orang yang tinggal di

sekitar daerah pengunungan tersebut.

5) Harapan: harapan seseorangpun turut berpengaruh terhadap

persepsinya tentang sesuatu. Bahkan harapan itu begitu mewarnai

persepsi seseorang sehingga apa yang sesungguhnya dilihatnya sering

diinterpretasikan lain supaya sesuai dengan apa yang diharapkananya.

Misalnya, jika persepsi umum tentang ciri-ciri seorang petugas

hubungan masyarakat adalah keramah-tamahan, penampilan yang

menarik, kemampuan perkomunikasi dengan efektif, harapan

demikianlah yang mewarnai pandangannya tentang semua petugas

hubungan masyarakat.

b. Sasaran persepsi

Sasaran persepsi dapat berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat

(37)

melihatnya. Misalnya, seseorang yang ”suka omong banyak’ akan lebih

menarik perhatian meskipun tidak selalu dalam arti positif dibandingkan

dengan seorang pendiam dalam kelompok orang yang sama. Kehadiran

seorang yang sangat cantik atau sebaliknya yang penampilannya sangat

”mencolok” akan lebih menarik perhatian dibanding dengan orang-orang

yang ”biasa-biasa” saja. Dengan perkataan lain, gerakan, suara, ukuraan,

tindak-tanduk dan ciri-ciri lain dari sasaran persepsi turut menentukan cara

pandang orang yang melihatnya.

c. Faktor situasi.

Siagian (1989:105) menegaskan bahwa persepsi harus dilihat secara

kontekstual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula

mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam

perkembangan persepsi seseorang. Misalnya, kehadiran seseorang dengan

pakaian renang di komplek kolam renang tidak akan mengherankan karena

orang akan berpersepsi bahwa orang tersebut akan berenang. Akan tetapi

jika ia mengenakan pakaian renang di tempat yang tidak ada hubungannya

dengan kolam renang, tentu akan menarik perhatian karena kehadirannya

itu bukanlah hal yang biasa.

Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada berbagai

faktor yaitu: faktor diri orang yang bersangkutan, faktor sasaran persepsi,

dan faktor situasi yang dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap

suatu objek. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi persepsi individu

(38)

B. Layanan Konseling Individual

1. Pengertian Konseling Individual

Kata konseling counseling berasal dari kata counsel yang diambil dari

bahasa Latin yaitu consilium, artinya “bersama” atau “bicara bersama”

(Latipun, 2005:4). Pengertian “berbicara bersama-sama” dalam hal ini

adalah konselor (conselor) berbicara dengan seorang atau beberapa klien

(counselee). Lebih lanjut Pietrofesa (Latipun, 2005:5) mengemukakan

secara singkat bahwa konseling adalah proses yang melibatkan seseorang

profesional berusaha membantu orang lain dalam mencapai pemahaman

dirinya (self-understanding), membuat keputusan dan pemecahan masalah.

Menurut Prayitno dan Amti (2004:105) konseling individual adalah

proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling

oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang

mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada

teratasinya masalah yang dihadapi klien.

Dryden (Palmer & McMahon, 1989:39) mengatakan bahwa konseling

individual sangat menjaga kerahasiaan klien; konseling individual akan

membuat hubungan akrab antara klien dan konselor; konseling individual

sebagai proses pembelajaran klien; konseling individual adalah sebuah

proses teraputik.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas dapat dipahami

bahwa konseling individual yang dimaksud memuat beberapa hal yaitu (1)

(39)

menjaga kerahasiaan klien; (3) konseling individual akan membuat

hubungan akrab antara klien dan konselor; (4) proses membelajaran klien;

(5) pelaksanaannya dilakukan secara tatap muka; (6) tujuannya agar klien

dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau

masalah khusus yang dialaminya.

2. Tujuan Konseling

Tujuan konseling menurut Mcleod (2008:13) adalah sebagai berikut:

a. Pemahaman. Adanya pemahaman terhadap akar dan

perkembangan kesulitan emosional, mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih kontrol rasional ketimbang perasaan dan tindakan.

b. Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain; misalnya, dalam keluarga atau di tempat kerja.

c. Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini ditahan atau ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenaan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.

d. Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri, yang ditandai oleh kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subjek kritik diri dan penolakan.

e. Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan kearah pemenuhan potensi atau penerimaaan integrasi bagian diri yang sebelumnya saling bertentangan.

f. Pencerahan. Membantu klien mencapai kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

g. Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan problem tertentu yang tak bisa dipecahkan oleh klien seorang diri. Menuntut kompensasi umum dalam pemecahan masalah.

h. Memiliki keterampilan sosial. Mempelajari dan menguasai keterampilan sosial dan interpersonal seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan, asertif, atau mengendalikan kemarahan.

i. Perubahan kognitif.Modifikasi atau menganti kepercayaan yang tidak rasional atau pola pemikiran yang tidak dapat diadaptasi, yang diasosiasikan dengan tingkah laku penghancuran diri.

(40)

k. Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial (contoh: keluarga).

l. Penguatan. Berkenaan dengan keterampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan membuat klien mampu mengontrol kehidupannya.

m. Restitusi. Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak.

n. Reproduksi (generativity) dan aksi sosial. Menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli terhadap orang lain, membagi pengetahuan, dan mengkontribusikan kebaikan bersama (collective good) melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas.

Kemandirian menjadi tujuan utama konseling yaitu kemandirian

dalam pemahaman, pengembangan diri, dan pemecahan masalah oleh

klien sendiri.

3. Prinsip-prinsip Konseling

Menurut (Sukmadinata dan Nana Syaodih, 2007:18) ada lima

karakteristik yang sekaligus juga merupakan prinsip-prinsip konseling,

yaitu:

a. Konseling tidak sama dengan pemberian nasehat (advicement), sebab di dalam pemberian nasehat proses berpikir ada dan diberikan oleh penasehat, sedang dalam konseling proses berpikir dan pemecahan ditemukan dan dilakukan oleh klien sendiri.

b. Konseling mengusahakan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental yang berkenaan dengan pola-pola hidup.

c. Konseling lebih menyangkut sikap daripada perbuatan atas tindakan.

d. Konseling lebih berkenaan dengan penghayatan emosional daripada pemecahan intelektual.

e. Konseling menyangkut juga hubungan klien dengan orang lain.

Di dalam konseling, seorang konselor tidak memberikan suatu

pemecahan, tetapi berusaha untuk menciptakan situasi. Berkat situasi

tersebut si klien menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya, sehingga

(41)

Terjadinya perubahan sikap, menimbulkan perubahan pola pemikiran dan

pola hidup yang memungkinkan klien dapat memecahkan masalahnya

sendiri. Di dalam konseling pemecahan masalah dilakukan oleh klien

sendiri, sebab konseling pada dasarnya merupakan bantuan agar klien

dapat memecahkan masalahnya sendiri (Sukmadinata dan Nana Syaodih,

2007:18-19).

4. Proses atau Langkah-langkah Konseling

Menurut Winkel dan Hastuti (2004:473-476) proses atau

langkah-langkah konseling dibagi menjadi lima fase, yaitu pembukaan, penjelasan

masalah, pengalian latar belakang masalah, penyelesaian masalah, dan

penutup. Uraian yang lebih rinci mengenai ke lima fase tersebut adalah:

a. Pembukaan

Diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antar pribadi

(working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan

terbuka dan terarah dalam wawancara konseling. Bilamana konselor

dan konseli bertemu untuk pertama kali, waktunya akan lebih lama dan

isinya akan berbeda dibandingkan dengan pembukaan saat konseli dan

konselor bertemu kembali untuk melanjutkan wawancara yang telah

berlangsung sebelumnya.

b. Penjelasan masalah

Konseli mengemukakan hal yang ingin dibicarakan dengan

konselor, sambil mengutarakan sejumlah pikiran dan perasaan yang

(42)

mengutarakan apa yang dianggap perlu dikemukakan. Konselor

menerima uraian konseli sebagaimana adanya dan memantulkan pikiran

serta perasaan yang terungkap melalui penggunaan teknik konseling

seperti Refleksi dan Klarifikasi.

c. Pengalian latar belakang masalah

Dalam hal ini inisiatif agak bergeser ke pihak konselor, yang lebih

mengetahui apa yang dibutuhkan supaya konseli dan konselor

memperoleh gambaran yang bulat. Fase ini juga dapat disebut analisis

kasus, yang dilakukan menurut sistematika tertentu sesuai dengan

pendekatan konseling yang telah diambil.

d. Penyelesaian masalah

Berdasarkan apa yang digali dalam fase analisis kasus, konselor

dan konseli membahas bagaimana persoalan dapat diatasi. Meskipun

konseli selama fase ini harus ikut berpikir, memandang dan

mempertimbangkan, peranan konselor di institusi pendidikan dalam

mencari peyelesaian permasalahan umumnya lebih besar. Pada

umumnya konselor akan berusaha supaya konseli, di samping

perubahan dalam sikap dan pandangan, juga merencanakan tindakan

konkret untuk dilaksanakan sesudah proses konseling selesai.

e. Penutup

Bilamana konseli telah merasa mantap tentang penyelesaian

masalah yang ditemukan bersama dengan konselor, proses konseling

(43)

sehingga konselor dan konseli menyadari bahwa hubungan antar

pribadi, sebagaimana berlangsung selama wawancara atau rangkaian

wawancara konseling telah selesai.

5. Aspek-aspek Konseling

Agar dapat melalui proses atau langkah-langkah dalam konseling

dengan baik maka guru pembimbing perlu memperhatikan aspek-aspek

dalam konseling. Menurut Winkel dan Hastuti (2004:37-38) aspek-aspek

yang paling pokok dalam konseling yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Aspek pertemuan tatap muka: menunjuk pada periode waktu konseli/siswa berhadapan muka dengan guru pembimbing serta berwawancara dengan guru pembimbing mengenai masalah yang dihadapinya. Suatu proses konseling dapat selesai dalam satu kali bertemu muka, atau baru akan selesai setelah dua-tiga kali bertemu muka. Proses konseling terwujud dalam komunikasi manusiawi antara guru pembimbing dan konseli/siswa. Dalam pertemuan, guru pembimbing menggunakan teknik-teknik konseling yang memperlancar komunikasi antar pribadi. Guru Pembimbing memberikan tanggapan-tanggapan yang bersifat membantu. Tanggapan-tanggapan guru pembimbing yang bersifat membantu itulah yang disebut teknik-teknik konseling. Teknik-teknik konseling yang digunakan antara lain tampak pada sikap guru pembimbing yang penuh penerimaan terhadap konseli/siswa, berempati, memberi dukungan atau bombongan, peneguhan atau penguatan kepada konseli, memberikan klarifikasi refleksi atas pikiran dan perasaan yang dialami oleh konseli.

(44)

Menurut Latipun (2008, 55-63) semua pendekatan dan ahli konseling

menganggap bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi

keberhasilan hubungan konseling. Oleh karena itu, untuk menopang

tugas-tugasnya ada dua aspek, yaitu:

a. Aspek keahlian dan keterampilan

Aspek keahlian (expertice) dan keterampilan (skill) yang dimiliki

guru pembimbing merupakan salah satu alasan mengapa klien/siswa

mendatanginya. Klien/siswa datang ke guru pembimbing karena dia

mengakui bahwa guru pembimbing memiliki keahlian dan keterampilan

khusus untuk membantunya. Keterampilan guru pembimbing

diantaranya adalah: 1) keterampilan mendengarkan, 2) keterampilan

berempati: kemampuan guru pembimbing untuk merasakan apa yang

dirasakan oleh klien/siswa, merasa dan berpikir bersama klien dan

bukan untuk atau tentang klien, 3) keterampilan refleksi: guru

pembimbing memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan,

pikiran, dan pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap

perilaku verbal dan nonverbal, 4) keterampilan eksplorasi: penelusuran

atau penggalian, 5) keterampilan bertanya, 6) keterampilan menangkap

pesan utama, 7) keterampilan memberi dorongan minimal: kemampuan

guru pembimbing memberikan dorongan langsung dan singkat terhadap

(45)

b. Aspek personal guru pembimbing

Aspek personal yang harus dimiliki guru pembimbing adalah: 1)

spontanitas: menyangkut kemampuan guru pembimbing untuk

merespon peristiwa ke situasi yang sebagaimana dilihatnya dalam

hubungan konseling; 2) fleksibelitas: adalah kemampuan dan kemauan

guru pembimbing untuk mengubah, memodifikasi, dan menetapkan

cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan; 3) konsentrasi:

secara total guru pembimbing menfokuskan perhatiannya kepada

klien/siswa; 4) keterbukaan: kemampuan guru pembimbing untuk

mendengarkan dan menerima nilai-nilai orang lain, tanpa melakukan

distorsi dalam menemukan kebutuhannya sendiri; 5) stabilitas emosi:

personal guru pembimbing dalam keadaan sehat, tidak mengalami

gangguan mental yang dapat menghambat pertumbuhan dan

perkembangannya; 6) berkeyakinan akan kemampuan untuk berubah:

guru pembimbing selalu berkeyakinan bahwa orang pada dasarnya

mampu mengubah keadaannya yang mungkin belum sepenuhnya

optimal. Tugas guru pembimbing adalah membantu sepenuhnya proses

perubahan itu menjadi lebih efektif; 7) komitmen pada rasa

kemanusiaan: menjadi dasar bagi guru pembimbing dalam usahanya

membantu klien/siswa mencapai keinginan, perhatian, dan

kemauannya; 8) kemauan membantu klien/siswa mengubah

lingkungannya: guru pembimbing selalu bersedia membantu

(46)

dan keautentikan; 9) pengetahuan guru pembimbing: usaha untuk terus

belajar mengenai diri dan orang lain mnjadi tuntutan seorang guru

pembimbing; 10) totalitas: guru pembimbing perlu memiliki kualitas

pribadi yang baik, yang mencapai kondisi kesehatan mental secara

positif, memiliki otonomi, mandiri, dan tidak menggantungkan

pribadinya secara emosional kepada orang lain.

Sungguhpun demikian, keberhasilan konseling selain karena aspek

guru pembimbing sendiri juga ditentukan pula oleh aspek klien/siswa.

Dalam konteks konseling, klien/siswa adalah subjek yang memiliki

kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi

perubahan dirinya. Secara umum, klien/siswa datang ke guru pembimbing

karena satu atau beberapa alasan, diantaranya: atas kemauannya sendiri,

kamauan atau anjuran keluarga dan sahabat-sahabatnya, atau rujukan dari

profesional lain. Setiap klien/siswa memiliki kebutuhan dan atau harapan

tertentu terhadap penyelenggaraan konseling. Kebutuhan tersebut bersifat

“keharusan” untuk dipenuhi dan jika tidak terpenuhi akan mengalami

hambatan-hambatan psikologis yang lebih berat baginya. Sedangkan

harapan lebih merupakan keinginan-keinginan yang tidak mengharuskan

untuk dipenuhi.

C. Kompetensi Konselor

Menurut Ega (Lesmana, 2008: 68-69) kompetensi konselor menunjuk

(47)

keterampilan untuk membantu. Kompetensi konselor menurut ABKIN (2008)

berdasarkan PP No. 19 Tahun 2005; adalah kompetensi pedagogik,

kepribadian, sosial, dan profesional. Kendati demikian, kompetensi konselor

yang akan dibahas sebagai landasan teori dalam penelitian ini hanyalah

kompetensi kepribadian konselor dan kompetensi profesional konselor yaitu

sebagai berikut:

2) Memiliki teknik asesmen, sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling

3) Menyusun dan mengembangkan instrument asesmen untuk keperluan bimbingan dan konseling

4) Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli

5) Memilih dan mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi konseli

6) Memilih dan mengadministrasikan instrument untuk mengungkapka kondisi actual konseli berkaitan dengan lingkungan

7) Mengakses data dokumentasi tentang konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling

8) Menggunakan hasil asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat

9) Menampilkan tanggung jawab professional dalam praktik asesmen

b. Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling

1) Mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbinga dan konseling

2) Mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling 3) Mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan

konseling

4) Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja

5) Mengaplikasikan pendekatan/model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling 6) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan

(48)

Kompetensi Indikator

c. Merancang program bimbingan dan konseling

1) Menganalisis kebutuhan konseli

2) Menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasarkan kebutuhan peserta didik secara komperhensif dengan pendekatan perkembangan 3) Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan

dan konseling

Merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling

d. Mengimplementasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif

1) Melaksanakan program bimbingan dan konseling 2) Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan

bimbingan dan konseling

3) Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli

4) Mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling

e. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling

1) Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling

2) Melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling

3) Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait

4) Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling

f. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional

1) Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional

2) Menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor 3) Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak

larut dengan masalah konseli

4) Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan

5) Peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi

6) Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepantingan pribadi konselor

7) Menjaga kerahasiaan konseli g. Menguasai konsep

dalam bimbingan dan konseling

1) Memahami berbagai jenis dan metode penelitian 2) Mampu merancang penelitian bimbingan dan

(49)

2. Kompetensi Kepribadian Konselor

1) Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

2) Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain

3) Berakhak mulia dan berbudi pekerti luhur b. Menghargai dan

1) Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagau makhluk spiritual, bermoral, sosial, individu, dan berpotensi

2) Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya 3) Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya 4) dan konseli pada khususnya

5) Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya

6) Toleran terhadap permasalahan konseli 7) Bersikap demokratis

c. Menunjukkan integritas dan

stabilitas kepribadian yang kuat

1) Menampilkan kebribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten) 2) Menampilkan emosi yang stabil

3) Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan

4) Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stress dan frustasi

d. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi

1) Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif

2) Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri 3) Berpenampilan menarik dan menyenangkan 4) Berkomunikasi secara efektif

D. Persepsi Siswa Kelas XI SMA Terhadap Layanan Konseling Individual

Siswa memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam menjalani

konseling individual di sekolahnya. Menurut Siagian (1989:103) pengalaman

turut mempengaruhi persepsi seseorang. Pengalaman yang berbeda antara

siswa yang satu dengan yang lainnya menimbulkan persepsi yang berbeda

pula terhadap layanan konseling individual yang dilakukan oleh guru

(50)

pada saat melaksanakan konseling individual, maka siswa menjadi tidak

takut, tidak segan, dan tidak malu untuk menghadap guru pembimbing dan

melakukan konseling individual. Namun apabila siswa mempunyai

pengalaman yang kurang menyenangkan, maka siswa cenderung segan, takut,

dan malas untuk menghadap guru pembimbing apalagi melakukan konseling

individual. Kendati demikian, persepsi siswa terhadap layanan konseling

individual dapat juga disebabkan oleh seberapa jauh pemahaman siswa

tentang makna dan manfaat layanan konseling individual. Artinya, layanan

konseling individual yang dialami oleh siswa memberikan manfaat yang baik,

terutama dalam membantu siswa mengatasi permasalahannya.

Menurut Latipun (2005:3) layanan konseling individual penting bagi

siswa karena merupakan salah satu upaya untuk membantu mengatasi

konflik, hambatan, dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan, sekaligus

sebagai upaya meningkatkan kesehatan mental. Namun, pada kenyataannya

masih ada siswa yang belum mengetahui akan manfaat atau pentingnya

layanan konseling individual bagi dirinya. Sehingga masih banyak siswa yang

belum memanfaatkan layanan konseling individual di sekolahnya. Bahkan

masih ada yang beranggapan bahwa yang masuk ke ruang konseling adalah

siswa yang bermasalah saja. Prayitno (2004) mengatakan bahwa masih ada

kesalahpahaman mengenai peran bimbingan dan konseling, antara lain

konselor sekolah dianggap sebagai polisi sekolah, konseling hanya

(51)

nasehat. Hal ini mengakibatkan siswa menjadi enggan untuk menjalani

konseling dengan guru pembimbing karena tanggapan yang kurang tepat.

Berdasarkan pengamatan penulis selama melaksanakan Program

Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP tahun 2008 dan SMA tahun 2008,

memang terlihat adanya perbedaan persepsi. Perbedaan ini terlihat dari sikap

siswa terhadap guru pembimbing di sekolah. Siswa yang sudah pernah

melakukan layanan konseling individual lebih dekat dengan guru

pembimbing, mereka sering datang berkunjung ke ruang guru pembimbing,

tidak segan untuk bertanya kepada guru pembimbing mengenai perubahan

fisik yang mereka alami, dan mereka bersedia dengan terbuka menceritakan

masalah pribadi dengan guru pembimbing. Sebaliknya, siswa yang belum

pernah melakukan layanan konseling individual cenderung tertutup terhadap

guru pembimbing, bahkan mereka tidak mau bertegur sapa ketika bertemu.

Hal ini disoroti sebagai fakta bahwa memang ada perbedaan yang nampak

jelas terlihat. Perbedaan ini yang akan dijadikan dasar dalam membuat

hipotesis, yaitu ada perbedaan persepsi mengenai layanan konseling

individual antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA

BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta

yang sudah pernah menjalani konseling individual dan yang belum pernah

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan metodologi

penelitian, yaitu jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian, alat

pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei.

Menurut Furchan (2004: 447) penelitian deskriptif dirancang untuk

memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan.

Menurut Rahmat (2000: 415) penelitian deskriptif bertujuan mengidentifikasi

masalah atau memeriksa kondisi dan praktek yang berlaku. Tujuan penelitian

deskriptif adalah melukiskan variabel atau kondisi “apa yang ada” dalam

suatu situasi (Furchan, 2004: 415).

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui persepsi para siswa kelas

XI terhadap layanan konseling individual dan untuk mengetahui apakah ada

perbedaan persepsi antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta,

SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul

Yogyakarta selama tahun ajaran 2009/2010 yang sudah pernah dan yang

belum pernah menjalani konseling individual.

(53)

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah para siswa kelas XI SMA Pangudi

Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI

Banguntapan Bantul Yogyakarta selama tahun ajaran 2009/2010. Penulis

mendapatkan data siswa kelas XI dari ibu Sheila Sitarani, S.Psi guru

Bimbingan dan Konseling di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, ibu Dra.

Sunarningsih guru Bimbingan dan Konseling di SMA BOPKRI 2

Yogyakarta, dan bapak Yanuarius Yala, S.Pd guru Bimbingan dan

Konseling di SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta. Data

populasi disajikan dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1

Siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta Tahun Ajaran 2009/2010

Kelas Jumlah siswa yang sudah pernah menjalani konseling

Jumlah siswa yang belum pernah menjalani konseling

Jumlah siswa

XI IPA1 10 20 30

XI IPA2 9 23 32

XI IPS1 13 27 40

XI IPS2 19 21 40

XI IPS3 17 23 40

Jumlah siswa

(54)

Tabel 2

Siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2009/2010

Siswa kelas XI SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta Tahun Ajaran 2009/2010

Jadi jumlah keseluruhan siswa yang menjadi populasi dalam penelitian

ini adalah 182+153+36=371 siswa yang terdiri dari 123 siswa yang belum

pernah menjalani konseling individual dan 248 siswa yang sudah pernah

menjalani konseling individual.

2. Jumlah Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008:118). Sampel penelitian ini

(55)

2

Keterangan: n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

e = kelonggaran ketidak telitian karena kesalahan

pengambilan sampel yang dapat ditolelir.

Jadi jumlah sampel yang akan diambil (n), dengan nilai kritis/ batas

kesalahan (e) 5% dari populasi (N) tersebut adalah :

2

= 192,477 atau minimal 192 siswa yang akan menjadi sampel

penelitian terdiri dari siswa yang sudah pernah dan yang belum pernah

menjalani konseling individual.

3. Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalahcluster random

sampling, yaitu dengan cara menentukan kelompok/kelas (cluster) yang

akan digunakan untuk penelitian, dan diambil secara random. Pemilihan

sampel secara cluster random sampling menempuh langkah-langkah

sebagai berikut (Sumanto, 1990:27):

1) Populasi adalah 371 siswa kelas XI

2) Besarnya sampel menurut perhitungan statistika minimal adalah 192

siswa kelas XI yang terdiri dari siswa yang sudah pernah dan yang belum pernah menjalani konseling individual

(56)

4) Jumlah kelas XI di sekolah yang diteliti adalah 14 kelas, yaitu SMA

Pangudi Luhur Yogyakarta 5 kelas, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta 7

kelas, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta 2 kelas.

5) Meskipun jumlah siswa tiap-tiap kelas XI bervariasi, jumlah siswa

rata-rata tiap sekolah adalah 24 siswa.

6) Jumlah kelas/cluster yang diinginkan sama dengan jumlah sampel

dibagi dengan rata-rata jumlah siswa tiap-tiap cluster, 24. Jadi,

jumlah kelas yang diperlukan adalah 192 dibagi 24 sama dengan 8.

Pemilihan 8 dari 14 kelas dilakukan secara random. Prosedur

pengambilan sampel secara random dijelas sebagai berikut:

a. Penulis membuat undian bernomor urut mulai dari 1 sampai

dengan 3. Sesuai dengan jumlah kelas per jurusan.

b. Selanjutnya nomor-nomor itu digulung kemudian dikocok.

Kocokan pertama diambil secara acak sejumlah satu kelas

untuk kelas IPA dan kocokan kedua diambil secara acak

sejumlah satu kelas untuk kelas IPS, begitu selanjutnya.

Namun, karena jumlah siswa yang diperlukan masih kurang

akhirnya penulis mengabungkan semua jurusan di SMA

Pangudi Luhur dan dikocok diambil secara acak sejumlah satu

kelas.

c. Rincian populasi yang dijadikan sampel penelitian disajikan

(57)

Tabel 4

Rincian Sampel Penelitian Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul

Yogyakarta Selama Tahun Ajaran 2009/2010

Kelas Jumlah siswa yang

Dalam pelaksanaan penelitian jumlah sampel penelitian adalah 203

siswa kelas XI yang terdiri 75 siswa kelas XI yang sudah pernah menjalani

konseling individual dan 128 siswa kelas XI yang belum pernah menjalani

konseling individual, jumlah ini memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

karena minimal jumlah sampel penelitian adalah 192 siswa kelas XI dari 371

Gambar

Tabel 2 Siswa Kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Selama Tahun
Tabel 9 Persepsi Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
Tabel 1Siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta
Tabel 2Siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya dan memenuhi maksud Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor : 9 tahun 1975 dan Pasal 76

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ani Yuliyanti (2011) yang menyatakan bahwa Ukuran Perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap lamanya

MP-RHL Daerah merupakan rencana makro yang lebih bersifat management plan penanganan RHL yang disusun secara partisipatif di daerah dengan memperhatikan berbagai aspek dan

Dalam pembingkaian berita demonstrasi mahasiswa Semarang terkait rencana kenaikan harga BBM di TV Borobudur, dalam siaran berita “Jendela Jateng Sore”, pembingkaian

Penanganannya No Sasaran Jangka Menengah Renstra K/L Permasalahan Pelayanan SKPD Sebagai Faktor Penghambat Pendorong (1) (2) (3) (4) (5) 1 Meningkatnya

Hal tersebut tercermin oleh beberapa aparatur yang kurang sesuai antara keterampilan dan keahlian yang dimiliki dengan beban kerja, dan masih adanya pengangkatan

Berdasarkan pada evaluasi capaian kinerja pembangunan Kabupaten Blitar tahun lalu beserta proyeksi pencapaian kinerja tahun 2015, rancangan program indikatif di tahun 2016

Ada perbedaan yang sangat bermakna antara kelompok pembanding dengan kelompok uji A dan B tetapi tidak terjadi perbedaan yang bermakna antara kelompok pembanding