PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR
YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA
BOPKRI BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA
TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA
TAHUN AJARAN 2009/2010
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan (S1) Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun Oleh:
Noviyanti
NIM : 051114011
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR
YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA
BOPKRI BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA
TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA
TAHUN AJARAN 2009/2010
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S1) Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun Oleh:
Noviyanti
NIM : 051114011
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERSEPSI PA YOGYAKARTA, S
BANGUNTAPAN KONSELING IN
Pembimbing
Dr. M.M. Sri Hastuti,
ii
SKRIPSI
PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI , SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN S AN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP
INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN
Oleh:
Noviyanti
NIM : 051114011
Telah disetujui oleh :
uti, M.Si. Tanggal………
DI LUHUR SMA BOPKRI AP LAYANAN AN 2009/2010
PERSEPSI PA
PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI , SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN S AN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP
INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN
Oleh:
Noviyanti
NIM : 051114011
lah dipertahankan di depan Panitia Penguji,
P
Saya menyatakan den
memuat karya atau ba
dalam kutipan dan daf
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang say
bagian dari karya orang lain, kecuali yang t
daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilm
Yogyakarta,
saya tulis ini tidak
g telah disebutkan
ilmiah.
a, 2 Maret 2011
Penulis
LEMBAR
A ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMU
nda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Uni
: NOVIYANTI
or Mahasiswa : 051114011
gembangan ilmu pengetahuan, saya membe versitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya
RA SISWA KELAS XI SMA PANG
SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN S BANTUL YOGYAKARTA TERHADA DIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN 2009/
mikian saya memberi hak kepada Perpustaka gyakarta, untuk menyimpan, mengalihkan dalam a dalam bentuk pangkalan data, mendistri publikasikannya di internet atau media lain unt rlu meminta ijin dari saya maupun memberikan mencantumkan nama saya sebagai penulis.
pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
vi
MOTTO
“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya,
dan Ia akan bertindak”. (Mazmur 37:5)
“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan
bertekunlah dalam doa”. (Rom 12:12)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus yang
selalu menyertai aku
Kedua orang tuaku,
keluargaku, suamiku
yang selalu
mendoakan aku
Alm. Bpk Yanto yang
vii
ABSTRAK
PERSEPSI PARA SISWA KELAS XI SMA PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA, SMA BOPKRI 2 YOGYAKARTA, DAN SMA BOPKRI
BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL SELAMA TAHUN AJARAN 2009/2010
Noviyanti
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2010
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi siswa SMA kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Yogyakarta terhadap layanan konseling individual selama tahun ajaran 2009/2010.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) “Bagaimanakah persepsi para siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta terhadap layanan konseling individual selama tahun ajaran 2009/2010?”, (2) “Adakah perbedaan persepsi antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta yang sudah pernah dan yang belum pernah menjalani konseling individual selama tahun ajaran 2009/2010?”.
Populasi penelitian adalah siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta selama tahun ajaran 2009/2010 yang berjumlah 371 siswa. Sampel yang berjumlah 203 siswa (54,7%) diambil dengan menggunakan rumus Slovin dan merupakan cluster random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner “Persepsi Siswa Terhadap Layanan Konseling Individual” yang disusun oleh peneliti berdasarkan pada aspek kompetensi guru pembimbing dalam memberikan layanan konseling individual dengan koefisien reliabilitas rxx=0,900. Penggolongan persepsi dalam penelitian ini yaitu ”sangat baik”, ”baik”, ”cukup baik”, ”tidak baik”, dan ”sangat tidak baik” yang berpedoman pada Azwar (1999:108). Uji perbedaan menggunakan Uji t.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) 98 siswa (48%) memiliki persepsi yang sangat baik, 87 siswa (42%)memiliki persepsi baik, 17 siswa (8%) memiliki persepsi cukup baik, 1 siswa (2%) memiliki persepsi tidak baik, dan tidak ada subjek penelitian yang memiliki persepsi sangat tidak baik, 2) ada perbedaan persepsi siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta yang sudah pernah dan yang belum pernah menjalani konseling individual (thitung= 3,132 dan ttabel= 1,667).
viii
ABSTRACT
THE PERCEPTION OF THE ELEVENTH GRADERS OF PANGUDI LUHUR HIGH SCHOOL, BOPKRI 2 YOGYAKARTA, BOPKRI HIGH
SCHOOL BANGUNTAPAN BANTUL TOWARDS INDIVIDUAL COUNSELING SERVICE DURING THE 2009/2010 ACADEMIC YEAR
Noviyanti
Sanata Dharma University, Yogyakarta 2010
This research is intended to know the perception of the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul towards individual counseling service during the 2009/2010 academic year.
This research is a descriptive research by using the research method. The problem formulations are: (1)" How is the perception of the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul towards individual counseling service during the 2009/2010 academic year? ", (2)" Is there any difference between the perception of the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul which have and have done individual counseling service during the 2009/2010 academic year?”.
The research population is the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul during the 2009/2010 academic year consisting of are 371 students. The sample shows that 203 students (54,7%) is taken by using the slovin formula and is a cluster random sampling. The research instrument used is the “Student’s Perception Towards Individual Counseling Service" questionnaire that is composed by the researcher based on the aspect of the guidance teacher competencies in giving individual counseling services with reliability coefficient rxx = 0,900. The perception classifications in this research are "very good", " good", " good enough", " bad", and " very bad" based on Azwar (1999: 108). The difference test ases the t test.
The research result shows that: 1) 98 students (48%) have “very good” perception, 87 students (42%) have “good” perception, 17 students (8%) have “good enough” perception, 1 student (2%) has “bad” perception, and there is no subject research that has “very bad” perception. 2) there is a different perception among the eleventh graders of Pangudi Luhur High School, BOPKRI 2 Yogyakarta, BOPKRI High School Banguntapan Bantul which have and have done individual counseling (tcount= 3,132 and ttable=1,667).
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan Yesus atas berkat dan penyertaanNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak pergumulan yang harus penulis
hadapi selama penulisan skripsi ini, namun kasih Tuhan Yesus yang tak
berkesudahan senantiasa mampu membangkitkan semangat penulis untuk terus
berusaha. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa
adanya bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan
setulus hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata
Dharma dan juga selaku Dosen pembimbing yang selama ini dengan sabar
membimbing, memperhatikan, mendukung, dan membantu penulis.
3. A. Setyandari, S.Pd., Psi., M.A. selaku Wakil Ketua Program Studi
Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.
4. Drs. RH Dj. Sinurat, M.A. dan Dra. MJ. Retno Priyani, M. Si selaku dosen
penguji sekripsi.
5. Para Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma, yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan juga ilmu yang
x
6. Segenap Karyawan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu
pengurusan segala keperluan administrasi penulis.
7. Kepala SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, Kepala SMA BOPKRI 2
Yogyakarta, dan Kepala SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta
yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis.
8. Ibu Sheila Sitarani, S.Psi guru BK di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta yang
telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian untuk skripsi ini.
9. Ibu Dra. Sunarningsih guru BK SMA BOPKRI 2 Yogyakarta yang telah
membantu penulis dalam melaksanakan penelitian untuk skripsi ini.
10. Bapak Yanuarius Yala, S.Pd guru BK SMA BOPKRI Banguntapan Bantul
Yogyakarta yang telah mambantu penulis dalam melaksanakan penelitian
untuk skripsi ini.
11. Semua siswa-siswi kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta
yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Kedua orang tuaku yang selalu memberikan dukungan dan memberikan yang
terbaik untuk aku dan juga selalu mendoakan aku.
13. “Simbok” dan “Pak Tuwa” yang selalu mendoakan aku.
14. Kakakku dan adik-adikku yang selalu menyayangi aku.
15. Mas Anton yang setia mendukung dan menyemangati aku.
16. Br. Sarju yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam
xi
17. Teman-temanku Koh Andre, Hendra, Nisa, Ike, Rose, Vidi, Estu, Betrik,
Wulan, Siska, Chubby, Udhay, Mama, Andre, Desi, sisil semua
teman-temanku Bimbingan dan Konseling angkatan 2005 yang selalu mendukung
aku.
18. Semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu per satu, saya hanya bisa
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Definisi Operasional... 10
F. Hipotesis Penelitian... 12
BAB II LANDASAN TEORI ... 13
A. Persepsi ... 13
1. Pengertian Persepsi ... 13
xiii
3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Persepsi... 15
B. Layanan Konseling Individual ... 20
1. Pengertian Konseling Individual... 20
2. Tujuan Konseling ... 21
3. Prinsip-prinsip Konseling ... 22
4. Proses atau Langkah-langkah Konseling ... 23
5. Aspek-aspek Konseling... 25
C. Kompetensi Konselor... 28
1. Kompetensi Profesional Konselor ... 29
2. Kompetensi Kepribadian Konselor ... 31
D. Persepsi Siswa Kelas XI SMA Terhadap Layanan Konseling ... Individual ... 31
BAB III METODE PENELITIAN... 34
A. Jenis Penelitian... 34
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35
1. Populasi ... 35
2. Jumlah Sampel Penelitian ... 37
3. Pengambilan Sampel ... 37
C. Alat Pengumpulan Data ... 40
D. Prosedur Pengumpulan Data ... 43
E. Teknik Analisis Data... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52
xiv
B. Pembahasan... 57
BAB V PENUTUP ... 64
A. Ringkasan... 64
B. Kesimpulan ... 66
C. Saran-saran... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta Selama
Tahun Ajaran 2009/2010 ... 35
Tabel 2 Siswa Kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Selama Tahun
Ajaran 2009/2010... 36
Tabel 3 Siswa Kelas XI SMA BOPKRI Banguntapaan Bantul Yogyakarta
Selama Tahun Ajaran 2009/2010... 36
Tabel 4 Rincian sampel penelitian siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI
Banguntapan Bantul Yogyakarta Selama Tahun Ajaran
2009/2010 ... 39
Tabel 5 Kisi-kisi Persepsi Siswa Terhadap Layanan Konseling Individual
Tahun Ajaran Selama 2009/2010 Setelah Uji Coba ... 41
Tabel 6 Pengolonggan Persepsi Siswa Terhadap Layanan Konseling Individual
Selama Tahun Ajaran 2009/2010... 49
Tabel 7 Persepsi Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul
YogyakartaTerhadap Layanan Konseling Individual Selama Tahun
Ajaran 2009/2010... 53
Tabel 8 Persepsi Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
xvi
Yogyakarta yang Sudah Pernah Menjalani Konseling Individual Selama
Tahun Ajaran 2009/2010 ... 54
Tabel 9 Persepsi Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul
Yogyakarta yang Belum Pernah Menjalani Konseling Individual Selama
Tahun Ajaran 2009/2010 ... 55
Tabel 10Perhitungan Mean, Standar Devisiasi, Nilai t Persepsi Siswa Kelas
XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta,
dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta yang Sudah Pernah
dan Belum Pernah Menjalani Konseling Individual Selama Tahun Ajaran
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian... 71
Lampiran 2 Tabulasi Skor Penelitian...76
Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Uji Daya Diskriminasi Item Total ...88
Lampiran 4 Hasil Perhitungan Uji Beda (Uji t) Empirik ...90
Lampiran 5 Hasil Perhitungan Uji Beda (Uji t) Teoritik ...91
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan hipotesis
penelitian.
A. Latar Belakang
Dewasa ini masalah-masalah yang dihadapi siswa semakin kompleks,
seperti masalah belajar, masalah dengan anggota keluarga, masalah pengisian
waktu luang, masalah pergaulan dengan teman sebaya maupun dengan lawan
jenis, dan masalah pergulatan dalam diri sendiri. Menurut Winkel dan Hastuti
(2004:47) masalah aktual yang kerap dihadapi oleh para siswa di sekolah,
antara lain:
1. Masalah belajar: motivasi belajar kurang sesuai; pilihan program yang tidak mantap; taraf prestasi belajar yang mengecewakan; cara belajar yang baik tidak jelas; kesukaran dalam mengatur waktu; hubungan dengan guru kurang memuaskan; peraturan sekolah yang terlalu longgar atau terlalu ketat; bahan pelajaran terlalu sukar, terlalu banyak, atau menjemukan.
2. Masalah keluarga: suasana di rumah kurang memuaskan, interaksi antara seluruh anggota keluarga kurang akrab; perceraian orangtua atau keluarga retak; keadaan ekonomi yang sulit; perhatian orangtua terhadap belajar di sekolah kurang; orangtua terlalu menuntut dan menekan; saudara laki-laki terlalu nakal, bahkan nekat.
3. Masalah pengisian waktu luang: tidak mempuyai hoby; tidak tahu cara mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat; terlalu dibebani pekerjaan di rumah.
4. Masalah pergaulan dengan teman sebaya: bermusuhan dengan teman tertentu di kelas; kesukaran menghindari pengaruh jelek dari teman-teman tertentu; menghadapi kelompok teman-teman yang berlainan pendapat.
gelisah dan prihatin tentang masa depan; ketegangan antara ingin modern, tetapi tidak berani melepaskan adat istiadat; kebingungan mengenai nilai-nilai moral yang harus berlaku di zaman ini; perang batin antara menunda gratifikasi demi masa depan; menentukan sikap terhadap dorongan dan godaan seksual.
Sumber permasalahan siswa banyak yang berasal dari luar sekolah,
misalnya, pengaruh yang kurang baik dari kelompok sebaya, hubungan
dengan orang tua dan anggota keluarga, pengaruh sinetron, film, video, game,
internet, iklim kekerasan dan kekurang disiplinan yang berlangsung di
masyarakat, dan berbagai faktor negatif lainnya dalam kehidupan sosial
(Prayitno dan Amti, 2004:26). Permasalahan ini sering tidak dapat diatasi
melalui pengajaran yang diberikan oleh guru di kelas. Oleh karena itu, di
samping kegiatan pengajaran juga dirasakan perlunya bimbingan dan
konseling di sekolah.
Bimbingan dan konseling di sekolah sebagai salah satu sub bidang dari
bidangpembinaan siswamempunyai fungsi yang khas bila dibanding dengan
sub bidang yang lain, meskipun semua sub bidang itu merupakan pelayanan
khusus kepada siswa. Fungsinya yang khas bersumber pada corak pelayanan
bimbingan sebagai bantuan yang bersifat psikis atau psikologisyang terletak
dalam tujuan pelayanan bimbingan dan konseling. Tujuan layanan bimbingan
ialah supaya sesama manusia mampu mengatur kehidupan sendiri, menjamin
perkembangan dirinya sendiri seoptimal mungkin, memikul langsung
tanggung jawab sepenuhnya atas arah hidupnya sendiri, menggunakan
kebebasannya sebagai manusia secara dewasa dengan berpedoman pada
semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan ini secara memuaskan (Winkel
dan Hastuti, 2004:64).
Layanan konseling individual merupakan salah satu program layanan
bimbingan dan konseling di sekolah yang dapat membantu siswa mengatasi
masalah yang dialami sehubungan dengan tugas perkembangannya. Menurut
Mappiare (1992:91) layanan konseling individual diperlukan dan penting
karena dirancang dengan maksud menopang perkembangan dalam diri
konseli (siswa) sehingga konseli memiliki pemahaman yang lebih besar
terhadap dirinya, meningkatkan keterbukaan terhadap dunianya, dan
mengikhtiarkan tingkah-laku yang lebih efektif. Menurut Latipun (2005:3)
layanan konseling individual penting bagi siswa karena merupakan salah satu
upaya untuk membantu mengatasi konflik, hambatan, dan kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan, sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesehatan
mental.
Layanan konseling individual tidak hanya untuk peserta didik yang
bermasalah tetapi untuk seluruh peserta didik. Hal ini dikarenakan
permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik silih berganti; masalah yang
satu dapat diatasi masalah yang lain timbul. Menurut Prayitno dan Amti
(2004:100) layanan konseling diperlukan dan penting karena merupakan
suatu proses membantu individu mengatasi hambatan-hambatan
perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan optimal
kemampuan pribadi yang dimilikinya. Proses tersebut dapat terjadi setiap
Layanan konseling itu penting karena merupakan sarana bagi para
siswa untuk mengungkapkan permasalahan yang sedang mereka hadapi, baik
permasalahan di lingkungan sekolah, keluarga, dan pergaulannya dengan
teman sebaya kepada guru pembimbing di sekolahnya.
Layanan konseling individual bermanfaat dan membantu siswa dalam
mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang di hadapinya. Kendati
demikian, pelaksanaan layanan konseling individual pada kenyataannya
belum berjalan secara efektif. Hal ini dikarenakan persepsi siswa yang
berbeda-beda terhadap layanan konseling individual. Ada yang menganggap
bahwa dengan datang kepada guru pembimbing berarti menunjukkan aib.
Siswa yang datang kepada guru pembimbing dianggap mengalami ketidak
beresan tertentu. Ada yang menganggap dengan datang kepada guru
pembimbing ia tidak dapat berdiri sendiri. Siswa yang datang kepada guru
pembimbing adalah siswa yang telah berbuat salah, atau predikat-predikat
negatif lainnya (Prayitno dan Amti, 2004:123).
Berdasarkan observasi yang penulis lakukan pada waktu melaksanakan
Program Pengalaman Lapangan (PPL) pada tahun 2008 terhadap siswa di
Sekolah Menengah Pertama Maria Immaculata Yogyakarta, pada waktu
istirahat penulis menjumpai ada siswa yang mengatakan pada penulis bahwa
guru pembimbing seperti polisi sekolah yang memanggil siswa bermasalah
dan siswa yang melanggar peraturan. Kemudian penulis menyampaikan hal
tersebut kepada guru pembimbing, guru pembimbing mengatakan bahwa
sehingga belum pernah dipanggil dan belum pernah melakukan konseling
individual. Lebih lanjut guru pembimbing mengatakan bahwa berbeda dengan
siswa yang sudah pernah dipanggil atau sudah pernah melakukan konseling
individual, mereka sudah tahu manfaat yang didapat setelah dipanggil
maupun setelah melakukan konseling individual. Penulis juga melakukan
observasi terhadap siswa yang sudah pernah melakukan konseling individual,
mereka lebih dekat dengan guru pembimbing dan jika ada permasalahan lagi
mereka datang kepada guru pembimbing atau pada waktu itu juga ada yang
datang pada penulis atau mahasiswa PPL (Program Pengalaman Lapangan).
Hal ini membuat penulis berpendapat bahwa siswa yang belum pernah
melakukan konseling mempunyai persepsi yang berbeda dengan siswa yang
sudah pernah melakukan konseling. Siswa yang belum pernah melakukan
konseling menganggap bahwa guru pembimbing adalah polisi sekolah yang
memanggil siswa bermasalah seperti: tidak mentaati peraturan, prestasi
belajar kurang memuaskan, dan terlibat perkelahian. Sedangkan, siswa yang
pernah malakukan konseling menganggap bahwa guru pembimbing dapat
membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
Sedangkan pada saat melaksanakan Program Pengalaman Lapangan
(PPL) pada tahun 2008 di SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta,
penulis melakukan interview dengan beberapa siswa pada waktu jam istirahat
mengenai layanan konseling individual. Penulis menanyakan langsung
kepada siswa apakah sudah pernah melakukan konseling individual dengan
mengatakan bahwa yang datang atau yang dipanggil oleh guru pembimbing
akan dicap atau dianggap sebagai siswa yang bermasalah di sekolah oleh
teman-temanya maupun guru lain. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa
lebih nyaman menceritakan permasalahannya pada mahasiswa PPL (Program
Pengalaman Lapangan) atau kepada teman-temannya, mereka mengatakan
kurang bebas dan aman apabila menceritakan masalahnya kepada guru
pembimbing. Beberapa siswa tersebut juga mengatakan bahwa guru
pembimbing kurang dapat mengerti keadaan siswa dan tidak ada gunanya
datang kepada guru pembimbing karena hanya memperpanjang dan
memperumit permasalahan.
Persepsi siswa mengenai layanan konseling individual berbeda-beda.
Hal ini di karenakan para siswa di sekolah memiliki pengalaman yang
berbeda-beda dalam menjalani proses konseling. Pengalaman siswa yang
datang sendiri kepada guru pembimbing untuk melakukan konseling mungkin
berbeda dengan pengalaman siswa yang di panggil oleh guru pembimbing.
Dari pengalaman tersebut akan muncul persepsi yang tidak baik dan persepsi
yang baik mengenai layanan konseling individual. Persepsi yang tidak baik
terhadap layanan konseling individual yang dilakukan oleh guru pembimbing
tersebut terkadang merupakan penilaian siswa yang subyektif. Hal ini
dikarenakan siswa menerima begitu saja pendapat yang terbentuk mengenai
guru pembimbing dari teman-temannya yang pernah menghadap guru
Oleh karena itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai
persepsi yang dimiliki oleh siswa yang sudah pernah menghadap guru
pembimbing untuk menjalani konseling individual dan siswa yang belum
pernah menghadap guru pembimbing untuk menjalani konseling individual.
Hal ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan persepsi antara
siswa yang belum dan yang sudah pernah menghadap guru pembimbing
untuk menjalani konseling individual. Apabila hasil penelitian menunjukkan
bahwa siswa yang belum pernah menghadap guru pembimbing untuk
menjalani konseling cenderung mempuyai persepsi tidak baik, maka guru
pembimbing perlu mengadakan sosialisasi mengenai fungsi konseling
individual.
Penelitian mengenai persepsi siswa terhadap layanan konseling
individual juga pernah dilakukan oleh Tuti Susilawati pada tahun 2008 di
SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun Ajaran 2007/2008. Hasil
penelitian dari Tuti Susilawati (2008) sekiranya berguna sebagai pembanding
maupun penguat bagi pengembangan skripsi ini. Penelitian yang dilakukan
oleh Tuti Susilawati (2008) di SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun
Ajaran 2007/2008 Terhadap Layanan Konseling Individual menunjukkan
bahwa: (1) 5 siswa kelas X (10%) memiliki persepsi terhadap layanan
konseling individual, dengan kualifikasi “sangat baik”, (2) 26 siswa kelas X
(52,0%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling individual “baik”, (3)
17 siswa kelas X (17,0%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling
memiliki persepsi terhadap konseling individual, dengan kualifikasi “tidak
baik”, (5) 1 siswa kelas X (2,0%) memiliki persepsi terhadap layanan
konseling individual, dengan kualifikasi “sangat tidak baik”, (6) 6 siswa kelas
XI (12,5%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling individual, dengan
kualifikasi “sangat baik”, (7) 17 siswa kelas XI (35,4%) memiliki persepsi
terhadap layanan konseling individual, dengan kualifikasi “baik”, (8) 25
siswa kelas XI (52,1%) memiliki persepsi terhadap layanan konseling
individual, dengan kualifikasi “cukup baik”, (9) hasil uji hipotesis
menunjukkan bahwa, terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara
siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun
ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual.
Hasil penelitian Tuti Susilawati (2008) mengenai persepsi siswa
terhadap layanan konseling individual dapat saja berbeda dengan hasil yang
nantinya penulis peroleh karena subyek penelitiannya berbeda. Selain itu
hasil penelitian Tuti Susilowati juga menunjukkan bahwa persepsi siswa
terhadap layanan konseling individual di SMA Taman Madya Jetis
Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 sudah cukup baik. Kondisi ini belum
tentu ditemukan di sekolah yang lain.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai
persepsi para siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta
Penulis ingin mengetahui persepsi para siswa berdasarkan pengalamannya
masing-masing terhadap layanan konseling individual.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah persepsi para siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI
Banguntapan Bantul Yogyakarta terhadap layanan konseling individual
selama tahun ajaran 2009/2010?
2. Adakah perbedaan persepsi antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI
Banguntapan Bantul Yogyakarta yang sudah pernah menjalani konseling
individual dan yang belum pernah menjalani konseling individual selama
tahun ajaran 2009/2010?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Memperoleh gambaran mengenai persepsi para siswa kelas XI SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA
BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta terhadap layanan konseling
2. Mengetahui perbedaan persepsi siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI
Banguntapan Bantul Yogyakarta yang belum pernah menjalani konseling
individual dan yang sudah pernah menjalani konseling individual selama
tahun ajaran 2009/2010.
D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Peneliti lain: Hasil penelitian ini dapat digunakan peneliti lain sebagai
sumber inspirasi atau bahan pembanding apabila ingin mengembangkan
penelitian di sekitar topik yang sama.
2. Penulis: Hasil penelitian ini dapat memberi pengalaman yang besar bagi
penulis mengenai layanan konseling individual di sekolah, sehingga
penulis menjadi lebih siap menghadapi tugas-tugas yang akan datang
sebagai guru pembimbing di sekolah.
3. Guru pembimbing: Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan
pemikiran tentang peningkatan kualitas layanan konseling individual di
sekolah.
E. Definisi Operasional
1. Persepsi
Persepsi adalah pandangan atau tanggapan individu terhadap benda,
sehari-hari. Dalam penelitian ini tanggapan berarti pendapat siswa kelas XI
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA
BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta mengenai layanan konseling
individual.
2. Siswa
Siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peserta didik yang
belajar dan terdaftar di kelas XI di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul
Yogyakarta.
3. Konseling individual
Konseling individual adalah bantuan yang diberikan oleh guru
pembimbing kepada siswa melalui wawancara tata muka yang menuntut
adanya komunikasi untuk mencapai tujuan yang berupa pemecahan
masalah kehidupan (seperti masalah sekolah, pergaulan, pemahaman diri,
pengisian waktu luang, dan keluarga), pemenuhan kebutuhan akan
informasi, peneguhan hati, dan pengubahan sikap serta tingkah laku.
4. Kompetensi Konselor
a. Kompetensi profesional konselor adalah kemampuan konselor
melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian. Dalam penelitian ini
berarti kemampuan konselor dalam memberikan layanan konseling
individual kepada siswa sesuai dengan keahlian yang dimilikinya
seperti, menjaga rahasia, tidak larut dengan masalah siswa, dan
b. Kompetensi personal konselor adalah kemampuan konselor yang
menunjuk pada bagaimana konselor bersikap, tampil, dan menimbulkan
kesan bagi orang lain. Dalam penelitian ini berarti kemampuan konselor
dalam bersikap, tampil, dan menimbulkan kesan bagi siswa pada waktu
memberikan layanan konseling individual maupun tidak misalnya,
konselor penuh penerimaan, sabar, memberi perhatian pada semua
siswa, berpenampilan menarik, dan menyenangkan.
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan persepsi mengenai
layanan konseling individual antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan
Bantul Yogyakarta yang sudah pernah menjalani konseling individual dan
yang belum pernah menjalani konseling individual selama tahun ajaran
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini dibahas: (1) persepsi (pengertian persepsi, aspek-aspek yang
membentuk persepsi, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi). (2)
Layanan konseling individual (pengertian konseling, tujuan konseling,
prinsip-prinsip konseling, proses atau langkah-langkah konseling, aspek-aspek konseling).
(3) Kompetensi Konselor (kompetensi profesional konselor, kompetensi
kepribadian konselor).
A. Persepsi
1. Pengertian Persepsi
Persepsi adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan
kesan, penilaian, pendapat, merasakan, dan menginterpretasikan sesuatu
berdasarkan informasi yang ditampilkan oleh sumber lain (yang dipersepsi).
Menurut Davidoff (Walgito, 1989:88) persepsi adalah stimulus yang diindera
oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat indera, yaitu yang dimaksud
dengan penginderaan, dan melalui proses penginderaan tersebut stimulus itu
menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterprestasikan.
Martlin (Suharnan, 2005) mengemukakan persepsi adalah suatu proses
pengunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan di dalam ingatan)
untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterprestasi stimulus
(rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti telinga, dan hidung.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan informasi yang
diperoleh melalui sistem alat indera manusia. Misalnya, pada waktu
seseorang melihat sebuah gambar, membaca tulisan, atau mendengarkan
suara tertentu, ia akan melakukan interpretasi berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya dan relevan dengan hal-hal itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
persepsi berarti proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu
informasi terhadap stimulus yang didapat dari proses penginderaan terhadap
objek maupun peristiwa.
2. Aspek-aspek yang Membentuk Persepsi
Irwanto (1988:55) menegaskan bahwa persepsi sebagai proses
penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima sehingga menumbuhkan
pengertian terhadap lingkungan. Persepsi adalah penafsiran terhadap
lingkungan. Aktivitas kognitif yang menentukan individu dalam sikap dan
tingkah laku.
Melalui persepsi individu dapat menjadi sadar, dapat mengerti keadaan
lingkungan sekitar, dan dapat mengerti keadaan diri individu yang
bersangkutan. Oleh karena itu pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka
acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan.
Stimulus yang diterima dalam persepsi sama tetapi karena pengalaman,
kerangka acuan, kemampuan berpikirnya tidak sama ada kemungkinan hasil
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses persepsi
terbentuk karena adanya 2 aspek, yaitu:
a. Aspek kognitif yang berupa kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan
pengalaman.
b. Aspek afektif yang berupa perasaan
3. Faktor-Faktor yang Berpengaruhi Terhadap Persepsi
Menurut Siagian (1989:101-105) ada beberapa faktor yang berperan
dalam persepsi yaitu sebagai berikut:
a. Diri orang yang bersangkutan
Dalam hal ini yang menentukan persepsi bukan jenis stimulus,
melainkan karakteristik orang yang memberikan respon pada stimulus
tersebut. Apabila seseorang melihat sesuatu ia akan memberikan
interpretasi tentang apa yang dilihatnya. Hal ini dipengaruhi oleh sikap,
motif, kepentingan, pengalaman, dan harapan.
1) Sikap: mengenai sikap, dapat diberikan contoh sebagai berikut:
Seorang mahasiswa yang ingin memperoleh sebanyak mungkin dari
perkuliahannya senang mengajukan banyak pertanyaan kepada
dosennya pada waktu kuliah berlangsung. Untuk memudahkan hal itu
mahasiswa tersebut menempati kursi yang sedekat mungkin dengan
tempat di mana dosen berada karena dengan demikian apabila ia
menganjungkan tangan untuk bertanya, dosennya akan mudah
melihatnya dan memberikan kesempatan padanya untuk mengajukan
segan bertanya dan segan pula ditanya. Dengan karakteristik yang
demikian, mahasiswa yang bersangkutan akan berusaha memiliki
tempat duduk sejauh mungkin dari tempat duduk dosen sehingga ia
tidak merasa perlu bertanya dan baginya tidak menjadi soal, bahkan
akan senang apabila ia tidak pernah ditanya.
2) Motif: persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh motifnya. Motif
sudah barang tentu berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dan
intensitas motif itu sangat dipengaruhi oleh mendesak tidaknya
pemuasan kebutuhan tesebut. Misalnya, seorang yang sudah sangat
lapar akan berbeda persepsinya tentang makanan dari seorang yang
tidak lapar. Seorang yang sudah sangat lapar akan kurang
memperhitungkan apakah makanan yang di hadapannya enak atau
tidak. Yang penting baginya adalah menghilangkan rasa laparnya.
Sebaliknya, orang yang tidak lapar karena baru makan beberapa waktu
yang lalu akan menggunakan pertimbangan lain karena baginya
pemuasan kebutuhan dalam hal ini lapar tidak lagi mendesak.
Kalaupun ia memakan sesuatu, hal itu dilakukannya bukan untuk
menghilangkan rasa lapar. Jelaslah bahwa kedua orang yang melihat
benda yang sama dalam hal ini makanan mempunyai persepsi yang
berbeda tentang makanan itu karena motif pemuasan kebutuhan juga
berbeda.
3) Kepentingan: kepentingan seseorangpun biasanya mempengaruhi
bahwa seorang manajer mempunyai tingkat kemampuan yang tinggi,
baik secara manajerial maupun teknis, akan senang melihat para
bawahannya memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan bisa dikatakan
bahwa seorang manajer yang tangguh akan sangat gembira apabila
para bawahannya justru labih mampu dari dirinya untuk melaksanakan
tugas-tugas yang sifatnya teknis operasional karena dengan demikian
tugas-tugas manajerialnya, seperti dalam hal pembinaan dan
pengawasan akan lebih ringan. Kondisi demikian hanya bisa timbul
apabila kemampuan kerja para bawahannya yang tinggi itu tidak
merupakan ancaman bagi kepentingannya. Persepsi seorang manajer
tentang kemampuan para bawahannya akan lain dari contoh di atas
apabila manajer yang bersangkutan marasa terancam kepentingannya,
dalam hal ini kedudukan manajerialnya. Ancaman demikian biasanya
timbul apabila manajer yang bersangkutan bukanlah manajer yang
tangguh apapun kriteria yang digunakan tentang ketangguhan itu.
Dalam hal demikian manajer yang bersangkutan akan melihat
kemampuan para bawahannya untuk bekerja secara efektif dan
produktif sebagai usaha para bawahan itu untuk merongrong
kewibawaan manajer yang bersangkutan dan sebagai intrik untuk
menggesernya dari jabatannya. Jelas dari contoh di atas bahwa dua
orang manajer yang melihat hal yang sama kemampuan dan
produktivitas masing-masing tentang kepentingannya dalam hal ini
4) Pengalaman: pengalaman turut mempengaruhi persepsi seseorang.
Hal-hal tertentu yang sudah berulang kali dialami seseorang akan
dipandang dengan cara yang berbeda dari cara pandang orang lain
yang belum pernah mengalaminya. Misalnya, persepsi tentang
pesawat terbang. Seseorang yang hidup sekitar jalur penerbangan di
kawasan bandar udara yang sibuk akan berbeda persepsinya dengan
persepsi sekelompok di satu daerah pedalaman yang mungkin baru
pertama kali melihat pesawat udara. Persepsi orang kota tentang
indahnya pemandangan alam di daerah pegunungan sangat mungkin
lain apabila dibanding dengan persepsi orang-orang yang tinggal di
sekitar daerah pengunungan tersebut.
5) Harapan: harapan seseorangpun turut berpengaruh terhadap
persepsinya tentang sesuatu. Bahkan harapan itu begitu mewarnai
persepsi seseorang sehingga apa yang sesungguhnya dilihatnya sering
diinterpretasikan lain supaya sesuai dengan apa yang diharapkananya.
Misalnya, jika persepsi umum tentang ciri-ciri seorang petugas
hubungan masyarakat adalah keramah-tamahan, penampilan yang
menarik, kemampuan perkomunikasi dengan efektif, harapan
demikianlah yang mewarnai pandangannya tentang semua petugas
hubungan masyarakat.
b. Sasaran persepsi
Sasaran persepsi dapat berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat
melihatnya. Misalnya, seseorang yang ”suka omong banyak’ akan lebih
menarik perhatian meskipun tidak selalu dalam arti positif dibandingkan
dengan seorang pendiam dalam kelompok orang yang sama. Kehadiran
seorang yang sangat cantik atau sebaliknya yang penampilannya sangat
”mencolok” akan lebih menarik perhatian dibanding dengan orang-orang
yang ”biasa-biasa” saja. Dengan perkataan lain, gerakan, suara, ukuraan,
tindak-tanduk dan ciri-ciri lain dari sasaran persepsi turut menentukan cara
pandang orang yang melihatnya.
c. Faktor situasi.
Siagian (1989:105) menegaskan bahwa persepsi harus dilihat secara
kontekstual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula
mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam
perkembangan persepsi seseorang. Misalnya, kehadiran seseorang dengan
pakaian renang di komplek kolam renang tidak akan mengherankan karena
orang akan berpersepsi bahwa orang tersebut akan berenang. Akan tetapi
jika ia mengenakan pakaian renang di tempat yang tidak ada hubungannya
dengan kolam renang, tentu akan menarik perhatian karena kehadirannya
itu bukanlah hal yang biasa.
Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada berbagai
faktor yaitu: faktor diri orang yang bersangkutan, faktor sasaran persepsi,
dan faktor situasi yang dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap
suatu objek. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi persepsi individu
B. Layanan Konseling Individual
1. Pengertian Konseling Individual
Kata konseling counseling berasal dari kata counsel yang diambil dari
bahasa Latin yaitu consilium, artinya “bersama” atau “bicara bersama”
(Latipun, 2005:4). Pengertian “berbicara bersama-sama” dalam hal ini
adalah konselor (conselor) berbicara dengan seorang atau beberapa klien
(counselee). Lebih lanjut Pietrofesa (Latipun, 2005:5) mengemukakan
secara singkat bahwa konseling adalah proses yang melibatkan seseorang
profesional berusaha membantu orang lain dalam mencapai pemahaman
dirinya (self-understanding), membuat keputusan dan pemecahan masalah.
Menurut Prayitno dan Amti (2004:105) konseling individual adalah
proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling
oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang
mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada
teratasinya masalah yang dihadapi klien.
Dryden (Palmer & McMahon, 1989:39) mengatakan bahwa konseling
individual sangat menjaga kerahasiaan klien; konseling individual akan
membuat hubungan akrab antara klien dan konselor; konseling individual
sebagai proses pembelajaran klien; konseling individual adalah sebuah
proses teraputik.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas dapat dipahami
bahwa konseling individual yang dimaksud memuat beberapa hal yaitu (1)
menjaga kerahasiaan klien; (3) konseling individual akan membuat
hubungan akrab antara klien dan konselor; (4) proses membelajaran klien;
(5) pelaksanaannya dilakukan secara tatap muka; (6) tujuannya agar klien
dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau
masalah khusus yang dialaminya.
2. Tujuan Konseling
Tujuan konseling menurut Mcleod (2008:13) adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman. Adanya pemahaman terhadap akar dan
perkembangan kesulitan emosional, mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih kontrol rasional ketimbang perasaan dan tindakan.
b. Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain; misalnya, dalam keluarga atau di tempat kerja.
c. Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini ditahan atau ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenaan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.
d. Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri, yang ditandai oleh kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subjek kritik diri dan penolakan.
e. Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan kearah pemenuhan potensi atau penerimaaan integrasi bagian diri yang sebelumnya saling bertentangan.
f. Pencerahan. Membantu klien mencapai kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
g. Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan problem tertentu yang tak bisa dipecahkan oleh klien seorang diri. Menuntut kompensasi umum dalam pemecahan masalah.
h. Memiliki keterampilan sosial. Mempelajari dan menguasai keterampilan sosial dan interpersonal seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan, asertif, atau mengendalikan kemarahan.
i. Perubahan kognitif.Modifikasi atau menganti kepercayaan yang tidak rasional atau pola pemikiran yang tidak dapat diadaptasi, yang diasosiasikan dengan tingkah laku penghancuran diri.
k. Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial (contoh: keluarga).
l. Penguatan. Berkenaan dengan keterampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan membuat klien mampu mengontrol kehidupannya.
m. Restitusi. Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak.
n. Reproduksi (generativity) dan aksi sosial. Menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli terhadap orang lain, membagi pengetahuan, dan mengkontribusikan kebaikan bersama (collective good) melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas.
Kemandirian menjadi tujuan utama konseling yaitu kemandirian
dalam pemahaman, pengembangan diri, dan pemecahan masalah oleh
klien sendiri.
3. Prinsip-prinsip Konseling
Menurut (Sukmadinata dan Nana Syaodih, 2007:18) ada lima
karakteristik yang sekaligus juga merupakan prinsip-prinsip konseling,
yaitu:
a. Konseling tidak sama dengan pemberian nasehat (advicement), sebab di dalam pemberian nasehat proses berpikir ada dan diberikan oleh penasehat, sedang dalam konseling proses berpikir dan pemecahan ditemukan dan dilakukan oleh klien sendiri.
b. Konseling mengusahakan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental yang berkenaan dengan pola-pola hidup.
c. Konseling lebih menyangkut sikap daripada perbuatan atas tindakan.
d. Konseling lebih berkenaan dengan penghayatan emosional daripada pemecahan intelektual.
e. Konseling menyangkut juga hubungan klien dengan orang lain.
Di dalam konseling, seorang konselor tidak memberikan suatu
pemecahan, tetapi berusaha untuk menciptakan situasi. Berkat situasi
tersebut si klien menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya, sehingga
Terjadinya perubahan sikap, menimbulkan perubahan pola pemikiran dan
pola hidup yang memungkinkan klien dapat memecahkan masalahnya
sendiri. Di dalam konseling pemecahan masalah dilakukan oleh klien
sendiri, sebab konseling pada dasarnya merupakan bantuan agar klien
dapat memecahkan masalahnya sendiri (Sukmadinata dan Nana Syaodih,
2007:18-19).
4. Proses atau Langkah-langkah Konseling
Menurut Winkel dan Hastuti (2004:473-476) proses atau
langkah-langkah konseling dibagi menjadi lima fase, yaitu pembukaan, penjelasan
masalah, pengalian latar belakang masalah, penyelesaian masalah, dan
penutup. Uraian yang lebih rinci mengenai ke lima fase tersebut adalah:
a. Pembukaan
Diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antar pribadi
(working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan
terbuka dan terarah dalam wawancara konseling. Bilamana konselor
dan konseli bertemu untuk pertama kali, waktunya akan lebih lama dan
isinya akan berbeda dibandingkan dengan pembukaan saat konseli dan
konselor bertemu kembali untuk melanjutkan wawancara yang telah
berlangsung sebelumnya.
b. Penjelasan masalah
Konseli mengemukakan hal yang ingin dibicarakan dengan
konselor, sambil mengutarakan sejumlah pikiran dan perasaan yang
mengutarakan apa yang dianggap perlu dikemukakan. Konselor
menerima uraian konseli sebagaimana adanya dan memantulkan pikiran
serta perasaan yang terungkap melalui penggunaan teknik konseling
seperti Refleksi dan Klarifikasi.
c. Pengalian latar belakang masalah
Dalam hal ini inisiatif agak bergeser ke pihak konselor, yang lebih
mengetahui apa yang dibutuhkan supaya konseli dan konselor
memperoleh gambaran yang bulat. Fase ini juga dapat disebut analisis
kasus, yang dilakukan menurut sistematika tertentu sesuai dengan
pendekatan konseling yang telah diambil.
d. Penyelesaian masalah
Berdasarkan apa yang digali dalam fase analisis kasus, konselor
dan konseli membahas bagaimana persoalan dapat diatasi. Meskipun
konseli selama fase ini harus ikut berpikir, memandang dan
mempertimbangkan, peranan konselor di institusi pendidikan dalam
mencari peyelesaian permasalahan umumnya lebih besar. Pada
umumnya konselor akan berusaha supaya konseli, di samping
perubahan dalam sikap dan pandangan, juga merencanakan tindakan
konkret untuk dilaksanakan sesudah proses konseling selesai.
e. Penutup
Bilamana konseli telah merasa mantap tentang penyelesaian
masalah yang ditemukan bersama dengan konselor, proses konseling
sehingga konselor dan konseli menyadari bahwa hubungan antar
pribadi, sebagaimana berlangsung selama wawancara atau rangkaian
wawancara konseling telah selesai.
5. Aspek-aspek Konseling
Agar dapat melalui proses atau langkah-langkah dalam konseling
dengan baik maka guru pembimbing perlu memperhatikan aspek-aspek
dalam konseling. Menurut Winkel dan Hastuti (2004:37-38) aspek-aspek
yang paling pokok dalam konseling yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Aspek pertemuan tatap muka: menunjuk pada periode waktu konseli/siswa berhadapan muka dengan guru pembimbing serta berwawancara dengan guru pembimbing mengenai masalah yang dihadapinya. Suatu proses konseling dapat selesai dalam satu kali bertemu muka, atau baru akan selesai setelah dua-tiga kali bertemu muka. Proses konseling terwujud dalam komunikasi manusiawi antara guru pembimbing dan konseli/siswa. Dalam pertemuan, guru pembimbing menggunakan teknik-teknik konseling yang memperlancar komunikasi antar pribadi. Guru Pembimbing memberikan tanggapan-tanggapan yang bersifat membantu. Tanggapan-tanggapan guru pembimbing yang bersifat membantu itulah yang disebut teknik-teknik konseling. Teknik-teknik konseling yang digunakan antara lain tampak pada sikap guru pembimbing yang penuh penerimaan terhadap konseli/siswa, berempati, memberi dukungan atau bombongan, peneguhan atau penguatan kepada konseli, memberikan klarifikasi refleksi atas pikiran dan perasaan yang dialami oleh konseli.
Menurut Latipun (2008, 55-63) semua pendekatan dan ahli konseling
menganggap bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi
keberhasilan hubungan konseling. Oleh karena itu, untuk menopang
tugas-tugasnya ada dua aspek, yaitu:
a. Aspek keahlian dan keterampilan
Aspek keahlian (expertice) dan keterampilan (skill) yang dimiliki
guru pembimbing merupakan salah satu alasan mengapa klien/siswa
mendatanginya. Klien/siswa datang ke guru pembimbing karena dia
mengakui bahwa guru pembimbing memiliki keahlian dan keterampilan
khusus untuk membantunya. Keterampilan guru pembimbing
diantaranya adalah: 1) keterampilan mendengarkan, 2) keterampilan
berempati: kemampuan guru pembimbing untuk merasakan apa yang
dirasakan oleh klien/siswa, merasa dan berpikir bersama klien dan
bukan untuk atau tentang klien, 3) keterampilan refleksi: guru
pembimbing memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan,
pikiran, dan pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap
perilaku verbal dan nonverbal, 4) keterampilan eksplorasi: penelusuran
atau penggalian, 5) keterampilan bertanya, 6) keterampilan menangkap
pesan utama, 7) keterampilan memberi dorongan minimal: kemampuan
guru pembimbing memberikan dorongan langsung dan singkat terhadap
b. Aspek personal guru pembimbing
Aspek personal yang harus dimiliki guru pembimbing adalah: 1)
spontanitas: menyangkut kemampuan guru pembimbing untuk
merespon peristiwa ke situasi yang sebagaimana dilihatnya dalam
hubungan konseling; 2) fleksibelitas: adalah kemampuan dan kemauan
guru pembimbing untuk mengubah, memodifikasi, dan menetapkan
cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan; 3) konsentrasi:
secara total guru pembimbing menfokuskan perhatiannya kepada
klien/siswa; 4) keterbukaan: kemampuan guru pembimbing untuk
mendengarkan dan menerima nilai-nilai orang lain, tanpa melakukan
distorsi dalam menemukan kebutuhannya sendiri; 5) stabilitas emosi:
personal guru pembimbing dalam keadaan sehat, tidak mengalami
gangguan mental yang dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya; 6) berkeyakinan akan kemampuan untuk berubah:
guru pembimbing selalu berkeyakinan bahwa orang pada dasarnya
mampu mengubah keadaannya yang mungkin belum sepenuhnya
optimal. Tugas guru pembimbing adalah membantu sepenuhnya proses
perubahan itu menjadi lebih efektif; 7) komitmen pada rasa
kemanusiaan: menjadi dasar bagi guru pembimbing dalam usahanya
membantu klien/siswa mencapai keinginan, perhatian, dan
kemauannya; 8) kemauan membantu klien/siswa mengubah
lingkungannya: guru pembimbing selalu bersedia membantu
dan keautentikan; 9) pengetahuan guru pembimbing: usaha untuk terus
belajar mengenai diri dan orang lain mnjadi tuntutan seorang guru
pembimbing; 10) totalitas: guru pembimbing perlu memiliki kualitas
pribadi yang baik, yang mencapai kondisi kesehatan mental secara
positif, memiliki otonomi, mandiri, dan tidak menggantungkan
pribadinya secara emosional kepada orang lain.
Sungguhpun demikian, keberhasilan konseling selain karena aspek
guru pembimbing sendiri juga ditentukan pula oleh aspek klien/siswa.
Dalam konteks konseling, klien/siswa adalah subjek yang memiliki
kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi
perubahan dirinya. Secara umum, klien/siswa datang ke guru pembimbing
karena satu atau beberapa alasan, diantaranya: atas kemauannya sendiri,
kamauan atau anjuran keluarga dan sahabat-sahabatnya, atau rujukan dari
profesional lain. Setiap klien/siswa memiliki kebutuhan dan atau harapan
tertentu terhadap penyelenggaraan konseling. Kebutuhan tersebut bersifat
“keharusan” untuk dipenuhi dan jika tidak terpenuhi akan mengalami
hambatan-hambatan psikologis yang lebih berat baginya. Sedangkan
harapan lebih merupakan keinginan-keinginan yang tidak mengharuskan
untuk dipenuhi.
C. Kompetensi Konselor
Menurut Ega (Lesmana, 2008: 68-69) kompetensi konselor menunjuk
keterampilan untuk membantu. Kompetensi konselor menurut ABKIN (2008)
berdasarkan PP No. 19 Tahun 2005; adalah kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional. Kendati demikian, kompetensi konselor
yang akan dibahas sebagai landasan teori dalam penelitian ini hanyalah
kompetensi kepribadian konselor dan kompetensi profesional konselor yaitu
sebagai berikut:
2) Memiliki teknik asesmen, sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling
3) Menyusun dan mengembangkan instrument asesmen untuk keperluan bimbingan dan konseling
4) Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli
5) Memilih dan mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi konseli
6) Memilih dan mengadministrasikan instrument untuk mengungkapka kondisi actual konseli berkaitan dengan lingkungan
7) Mengakses data dokumentasi tentang konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling
8) Menggunakan hasil asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat
9) Menampilkan tanggung jawab professional dalam praktik asesmen
b. Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling
1) Mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbinga dan konseling
2) Mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling 3) Mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan
konseling
4) Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja
5) Mengaplikasikan pendekatan/model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling 6) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan
Kompetensi Indikator
c. Merancang program bimbingan dan konseling
1) Menganalisis kebutuhan konseli
2) Menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasarkan kebutuhan peserta didik secara komperhensif dengan pendekatan perkembangan 3) Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan
dan konseling
Merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling
d. Mengimplementasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif
1) Melaksanakan program bimbingan dan konseling 2) Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan
bimbingan dan konseling
3) Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli
4) Mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling
e. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling
1) Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling
2) Melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling
3) Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait
4) Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling
f. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional
1) Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional
2) Menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor 3) Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak
larut dengan masalah konseli
4) Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan
5) Peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi
6) Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepantingan pribadi konselor
7) Menjaga kerahasiaan konseli g. Menguasai konsep
dalam bimbingan dan konseling
1) Memahami berbagai jenis dan metode penelitian 2) Mampu merancang penelitian bimbingan dan
2. Kompetensi Kepribadian Konselor
1) Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2) Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain
3) Berakhak mulia dan berbudi pekerti luhur b. Menghargai dan
1) Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagau makhluk spiritual, bermoral, sosial, individu, dan berpotensi
2) Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya 3) Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya 4) dan konseli pada khususnya
5) Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya
6) Toleran terhadap permasalahan konseli 7) Bersikap demokratis
c. Menunjukkan integritas dan
stabilitas kepribadian yang kuat
1) Menampilkan kebribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten) 2) Menampilkan emosi yang stabil
3) Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan
4) Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stress dan frustasi
d. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi
1) Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif
2) Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri 3) Berpenampilan menarik dan menyenangkan 4) Berkomunikasi secara efektif
D. Persepsi Siswa Kelas XI SMA Terhadap Layanan Konseling Individual
Siswa memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam menjalani
konseling individual di sekolahnya. Menurut Siagian (1989:103) pengalaman
turut mempengaruhi persepsi seseorang. Pengalaman yang berbeda antara
siswa yang satu dengan yang lainnya menimbulkan persepsi yang berbeda
pula terhadap layanan konseling individual yang dilakukan oleh guru
pada saat melaksanakan konseling individual, maka siswa menjadi tidak
takut, tidak segan, dan tidak malu untuk menghadap guru pembimbing dan
melakukan konseling individual. Namun apabila siswa mempunyai
pengalaman yang kurang menyenangkan, maka siswa cenderung segan, takut,
dan malas untuk menghadap guru pembimbing apalagi melakukan konseling
individual. Kendati demikian, persepsi siswa terhadap layanan konseling
individual dapat juga disebabkan oleh seberapa jauh pemahaman siswa
tentang makna dan manfaat layanan konseling individual. Artinya, layanan
konseling individual yang dialami oleh siswa memberikan manfaat yang baik,
terutama dalam membantu siswa mengatasi permasalahannya.
Menurut Latipun (2005:3) layanan konseling individual penting bagi
siswa karena merupakan salah satu upaya untuk membantu mengatasi
konflik, hambatan, dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan, sekaligus
sebagai upaya meningkatkan kesehatan mental. Namun, pada kenyataannya
masih ada siswa yang belum mengetahui akan manfaat atau pentingnya
layanan konseling individual bagi dirinya. Sehingga masih banyak siswa yang
belum memanfaatkan layanan konseling individual di sekolahnya. Bahkan
masih ada yang beranggapan bahwa yang masuk ke ruang konseling adalah
siswa yang bermasalah saja. Prayitno (2004) mengatakan bahwa masih ada
kesalahpahaman mengenai peran bimbingan dan konseling, antara lain
konselor sekolah dianggap sebagai polisi sekolah, konseling hanya
nasehat. Hal ini mengakibatkan siswa menjadi enggan untuk menjalani
konseling dengan guru pembimbing karena tanggapan yang kurang tepat.
Berdasarkan pengamatan penulis selama melaksanakan Program
Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP tahun 2008 dan SMA tahun 2008,
memang terlihat adanya perbedaan persepsi. Perbedaan ini terlihat dari sikap
siswa terhadap guru pembimbing di sekolah. Siswa yang sudah pernah
melakukan layanan konseling individual lebih dekat dengan guru
pembimbing, mereka sering datang berkunjung ke ruang guru pembimbing,
tidak segan untuk bertanya kepada guru pembimbing mengenai perubahan
fisik yang mereka alami, dan mereka bersedia dengan terbuka menceritakan
masalah pribadi dengan guru pembimbing. Sebaliknya, siswa yang belum
pernah melakukan layanan konseling individual cenderung tertutup terhadap
guru pembimbing, bahkan mereka tidak mau bertegur sapa ketika bertemu.
Hal ini disoroti sebagai fakta bahwa memang ada perbedaan yang nampak
jelas terlihat. Perbedaan ini yang akan dijadikan dasar dalam membuat
hipotesis, yaitu ada perbedaan persepsi mengenai layanan konseling
individual antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA
BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta
yang sudah pernah menjalani konseling individual dan yang belum pernah
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan metodologi
penelitian, yaitu jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian, alat
pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei.
Menurut Furchan (2004: 447) penelitian deskriptif dirancang untuk
memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan.
Menurut Rahmat (2000: 415) penelitian deskriptif bertujuan mengidentifikasi
masalah atau memeriksa kondisi dan praktek yang berlaku. Tujuan penelitian
deskriptif adalah melukiskan variabel atau kondisi “apa yang ada” dalam
suatu situasi (Furchan, 2004: 415).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui persepsi para siswa kelas
XI terhadap layanan konseling individual dan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan persepsi antara siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta,
SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul
Yogyakarta selama tahun ajaran 2009/2010 yang sudah pernah dan yang
belum pernah menjalani konseling individual.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah para siswa kelas XI SMA Pangudi
Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI
Banguntapan Bantul Yogyakarta selama tahun ajaran 2009/2010. Penulis
mendapatkan data siswa kelas XI dari ibu Sheila Sitarani, S.Psi guru
Bimbingan dan Konseling di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, ibu Dra.
Sunarningsih guru Bimbingan dan Konseling di SMA BOPKRI 2
Yogyakarta, dan bapak Yanuarius Yala, S.Pd guru Bimbingan dan
Konseling di SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta. Data
populasi disajikan dalam tabel 1 berikut ini:
Tabel 1
Siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta Tahun Ajaran 2009/2010
Kelas Jumlah siswa yang sudah pernah menjalani konseling
Jumlah siswa yang belum pernah menjalani konseling
Jumlah siswa
XI IPA1 10 20 30
XI IPA2 9 23 32
XI IPS1 13 27 40
XI IPS2 19 21 40
XI IPS3 17 23 40
Jumlah siswa
Tabel 2
Siswa kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2009/2010
Siswa kelas XI SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta Tahun Ajaran 2009/2010
Jadi jumlah keseluruhan siswa yang menjadi populasi dalam penelitian
ini adalah 182+153+36=371 siswa yang terdiri dari 123 siswa yang belum
pernah menjalani konseling individual dan 248 siswa yang sudah pernah
menjalani konseling individual.
2. Jumlah Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008:118). Sampel penelitian ini
2
Keterangan: n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = kelonggaran ketidak telitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang dapat ditolelir.
Jadi jumlah sampel yang akan diambil (n), dengan nilai kritis/ batas
kesalahan (e) 5% dari populasi (N) tersebut adalah :
2= 192,477 atau minimal 192 siswa yang akan menjadi sampel
penelitian terdiri dari siswa yang sudah pernah dan yang belum pernah
menjalani konseling individual.
3. Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalahcluster random
sampling, yaitu dengan cara menentukan kelompok/kelas (cluster) yang
akan digunakan untuk penelitian, dan diambil secara random. Pemilihan
sampel secara cluster random sampling menempuh langkah-langkah
sebagai berikut (Sumanto, 1990:27):
1) Populasi adalah 371 siswa kelas XI
2) Besarnya sampel menurut perhitungan statistika minimal adalah 192
siswa kelas XI yang terdiri dari siswa yang sudah pernah dan yang belum pernah menjalani konseling individual
4) Jumlah kelas XI di sekolah yang diteliti adalah 14 kelas, yaitu SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta 5 kelas, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta 7
kelas, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul Yogyakarta 2 kelas.
5) Meskipun jumlah siswa tiap-tiap kelas XI bervariasi, jumlah siswa
rata-rata tiap sekolah adalah 24 siswa.
6) Jumlah kelas/cluster yang diinginkan sama dengan jumlah sampel
dibagi dengan rata-rata jumlah siswa tiap-tiap cluster, 24. Jadi,
jumlah kelas yang diperlukan adalah 192 dibagi 24 sama dengan 8.
Pemilihan 8 dari 14 kelas dilakukan secara random. Prosedur
pengambilan sampel secara random dijelas sebagai berikut:
a. Penulis membuat undian bernomor urut mulai dari 1 sampai
dengan 3. Sesuai dengan jumlah kelas per jurusan.
b. Selanjutnya nomor-nomor itu digulung kemudian dikocok.
Kocokan pertama diambil secara acak sejumlah satu kelas
untuk kelas IPA dan kocokan kedua diambil secara acak
sejumlah satu kelas untuk kelas IPS, begitu selanjutnya.
Namun, karena jumlah siswa yang diperlukan masih kurang
akhirnya penulis mengabungkan semua jurusan di SMA
Pangudi Luhur dan dikocok diambil secara acak sejumlah satu
kelas.
c. Rincian populasi yang dijadikan sampel penelitian disajikan
Tabel 4
Rincian Sampel Penelitian Siswa Kelas XI SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, dan SMA BOPKRI Banguntapan Bantul
Yogyakarta Selama Tahun Ajaran 2009/2010
Kelas Jumlah siswa yang
Dalam pelaksanaan penelitian jumlah sampel penelitian adalah 203
siswa kelas XI yang terdiri 75 siswa kelas XI yang sudah pernah menjalani
konseling individual dan 128 siswa kelas XI yang belum pernah menjalani
konseling individual, jumlah ini memenuhi syarat sebagai sampel penelitian
karena minimal jumlah sampel penelitian adalah 192 siswa kelas XI dari 371