• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUMUSAN LOKAKARYA NASIONAL PENYUSUNAN MASTER PLAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BOGOR, TANGGAL DESEMBER 2002

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUMUSAN LOKAKARYA NASIONAL PENYUSUNAN MASTER PLAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BOGOR, TANGGAL DESEMBER 2002"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

RUMUSAN LOKAKARYA NASIONAL

PENYUSUNAN MASTER PLAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BOGOR, TANGGAL 16-17 DESEMBER 2002

Dengan memperhatikan presentasi draft MP-RHL Nasional oleh Tim Pakar, presentasi hasil penyusunan MP-RHL Daerah, arahan Kepala Badan Planologi Kehutanan, masukan dari nara sumber serta hasil diskusi dengan peserta Lokakarya, maka disusun Rumusan Sementara Lokakarya Nasional Penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) sebagai berikut :

1. MP-RHL Nasional merupakan rencana makro berjangka lima tahun yang memuat arah, kebijakan dan strategi penanganan RHL – yang berlandaskan pada pola umum dan standard serta kriteria rehabilitasi hutan dan lahan - dan diterapkan pada wilayah administratif, dengan tetap

memperhatikan rencana RHL berbasis DAS.

2. Secara spesifik MP-RHL Daerah bertujuan menghasilkan arahan makro penyelenggaraan RHL guna memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan dan lahan khususnya dalam menunjang perencanaan dan pelaksanaan RHL yang efektif dan efisien (tepat lokasi, tepat sasaran dan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat) serta menunjang terwujudnya komitmen dan visi bersama terhadap penanganan SDH dan lahan ke depan.

3. MP-RHL Daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas, keterpaduan dan keberhasilan RHL di daerah melalui perencanaan RHL yang terintegrasi dengan memperhatikan karakteristik kondisi sumberdaya hutan dan lahan serta prioritas penanganan berdasarkan kriteria yang ditetapkan.

4. MP-RHL Daerah bersifat strategis karena tidak hanya berperan dalam mendukung dan

meningkatkan keberhasilan pelaksanaan RHL, namun juga sebagai salah satu entry point dalam mewujudkan kesamaan visi dan komitmen bersama serta wadah/perekat dari berbagai pihak di daerah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan ke depan.

5. MP-RHL disusun dengan latar belakang sebagai berikut :

a. Kondisi SDH dan lahan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat liputan tahun 2000, terdapat kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi (kecuali Papua) seluas 96,3 juta ha (± 50,3% luas daratan Indonesia), seluas 54,6 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan. Kondisi ini memerlukan penanganan yang terintegrasi dan sistematis dari berbagai pihak terkait.

b. Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan termasuk kegiatan RHL. Salah satu hal mendasar guna menunjang terciptanya kondisi tersebut adalah diketahuinya kondisi dan potensi SDH dan lahan yang tersedia di daerah. Kaitan dengan hal tersebut, perlu fasilitasi data dan informasi kondisi SDH dan lahan di daerah agar daerah dapat menyusun rencana dengan baik. c. Diperlukannya kesamaan persepsi, visi serta komitmen bersama dari semua pihak terhadap

penanganan SDH dan lahan ke depan. Penyusunan MP-RHL Daerah merupakan salah satu cara dalam rangka mewujudkan hal tersebut.

(2)

d. Penanganan RHL membutuhkan persiapan dan dana yang besar. Perlu fasilitasi agar daerah dapat “menjual” daerahnya kepada investor melalui penyediaan data dan informasi menyangkut kondisi riil lapangan yang tersedia berdasarkan hasil kerja bersama secara terpadu di daerah.

e. Mekanisme penggunaan DAK-DR sesuai amanat UU No. 25 tahun 1999 (Pusat 60% dan Daerah 40%) memerlukan perencanaan lokasi yang baik. MP-RHL Daerah membantu memfasilitasi perencanaan lokasi penanganan RHL melalui informasi indikatif yang selanjutnya dijabarkan dalam rancangan teknik yang lebih rinci agar tercipta pelaksanaan RHL yang efektif dan efisien (tepat lokasi, tepat sasaran, ekonomis dan bermanfaat). Disamping itu, MP-RHL Daerah dilengkapi dengan arah, strategi, kebijakan, kelembagaan dan pasar dalam penanganan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

6. Melalui penyusunan MP-RHL Daerah diharapkan dapat terwujud :

a. Terciptanya transparasi dan keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan RHL

b. Terwujudnya komitmen bersama dalam pengelolaan SDH dan lahan

c. Terwujudnya kesamaan persepsi, strategi, kelembagaan dan peran parapihak dalam penanganan RHL

d. Terwujudnya pelaksanaan RHL yang efektif dan efisien e. Diketahuinya kondisi riil sumberdaya hutan dan lahan daerah

f. Tersedianya data dan informasi SDH dan lahan bagi parapihak/investor g. Berkembangnya partisipatif aktif masyarakat.

7. MP-RHL Daerah merupakan rencana makro yang lebih bersifat management plan penanganan RHL yang disusun secara partisipatif di daerah dengan memperhatikan berbagai aspek dan kriteria baik teknis maupun administratif sehingga pelaksanaan RHL dapat dilakukan efektif dan efisien. MP-RHL Daerah diharapkan dapat saling melengkapi dengan technical plan penanganan RHL seperti Pola dan RTL RLKT.

8. Departemen Kehutanan lebih berperan untuk memberikan fasilitasi dalam penyusunan MP-RHL Daerah. Daerah diberi keleluasaan untuk merencanakan penanganan RHL berdasarkan kondisi, potensi dan kesepakatan di daerah. Meskipun demikian, MP-RHL Daerah minimal memuat :

a. Visi dan misi RHL daerah.

b. Lokasi prioritas penanganan RHL per kabupaten/DAS/Sub DAS pada propinsi bersangkutan untuk waktu 5 (lima) tahun ke depan.

c. Strategi, kebijakan serta kelembagaan penanganan RHL. d. Rencana aksi RHL menurut jadwal waktu dan lokasi.

9. Permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan MP-RHL : a. Penyusunan MP-RHL Nasional

ƒ Kesulitan dalam memadukan/merumuskan tujuan RHL Nasional karena terdapat komponen lain di luar pengaruh/jurisdiksi Pemerintah (Departemen Kehutanan)

(3)

seperti kebijakan pemerintah daerah dan sektor lain serta kesiapan individu/lembaga masyarakat.

ƒ Pelaksanaan penyusunan MP-RHL Nasional dilakukan bersamaan dengan pengadaan/penafsiran citra landsat sehinga mengakibat-kan penyusunannya mengalami keterlambatan karena harus menunggu hasil penafsiran.

ƒ Dana pendukung penyusunan MP-RHL dan pengadaan/penafsiran citra landsat selalu terbit terlambat. Akibatnya proses penyusunan mengalami keterlambatan dari rencana yang ditetapkan.

ƒ Terdapat tiga propinsi yang belum menyelesaikan proses paduserasi tata ruang wilayah propinsi (Sumut, Riau, Kalteng). Akibatnya penetapan indikasi areal yang perlu direhabilitasi belum mantap karena masih mempergunakan TGHK yang telah banyak mengalami perubahan di lapangan dan kurang mendapat pengakuan. b. Penyusunan MP-RHL Daerah

ƒ Pelaksanaan penyusunan MP-RHL Nasional dan MP-RHL Daerah dilakukan secara paralel (bersama-sama). Akibatnya MP-RHL Daerah tidak mempunyai acuan konkrit menyangkut arahan dan kebijakan makro penanganan RHL. Penyusunan MP-RHL Daerah umumnya lebih mempertimbangkan kondisi dan potensi yang ada tanpa memperhatikan kebijakan dan peluang secara nasional.

ƒ Koordinasi pelaksanaan penyusunan MP-RHL Daerah masih lemah dan belum terdapat kesamaan persepsi, sehingga terdapat interpretasi yang sangat beragam terhadap SK Menhut Nomor : 7211/Kpts-II/2002 tgl 29 Juli 2002. Hal tersebut mengakibatkan pelaksanaan penyusunan MP-RHL Daerah tidak seperti yang diharapkan.

ƒ Dukungan dana penyusunan MP-RHL Daerah terbit terlambat dan belum

memperhatikan kondisi daerah yang beragam. Akibatnya pelaksanaan penyusunan tidak dapat dilaksanakan secara baik.

ƒ Hierarki antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota tidak jelas, sehingga menyulitkan dalam penyusunan MP-RHL Daerah.

ƒ Terdapat kesenjangan hubungan antara provinsi dan kabupaten bahwa hal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi belum tentu diikuti oleh Pemerintah Kabupaten/kota, misalnya Perda Provinsi belum tentu diikuti oleh perda Kabupaten.

ƒ Terdapat kesulitan perencanaan RHL yang disebabkan belum adanya kepastian hukum kawasan hutan.

ƒ Proses penyusunan MP-RHL Daerah memerlukan waktu cukup lama karena dilaksanakan secara swakelola dan partisipatif dengan mempertimbangkan kondisi kesiapan kelembagaan masyarakat.

ƒ Sumberdaya Manusia (SDM) dan fasilitas/peralatan pendukung di sebagian daerah masih lemah, sebagai contoh CD-ROM yang dikirim dari pusat tidak bisa

dioperasikan karena belum ada SDM ataupun peralatannya.

10. Rekomendasi dalam penyusunan MP-RHL : a. Penyusunan MP-RHL Nasional

(4)

ƒ RHL Nasional segera diselesaikan untuk menjadi acuan dalam penyusunan MP-RHL Daerah. Oleh karena perlu pemanfaatan berbagai sumber dana dan informasi dari berbagai pihak agar MP-RHL Nasional dapat diselesaikan secara konkrit.

ƒ MP-RHL Nasional seharusnya memuat arahan tentang kebijakan dan strategi penanganan RHL dikaitkan dengan kondisi SDH dan lahan serta memperhatikan permasalahan pembangunan kehutanan dan perubahan lingkungan strategis yang terjadi.

ƒ Perlu dikembangkan komunikasi intensif pusat-daerah agar kebijakan dan strategi yang ditetapkan dalam penanganan RHL dapat diimplementasikan di lapangan (aplicable).

ƒ Penyusunan MP-RHL Nasional perlu didukung kawasan hutan yang mempunyai kepastian hukum (legal formal) dan mantap.

b. Penyusunan MP-RHL Daerah

ƒ MP-RHL Daerah digunakan sebagai acuan dan kerangka evaluasi penanganan RHL serta sekaligus sebagai perekat berbagai pihak di daerah.

ƒ Dalam rangka meningkatkan kesamaan persepsi dari berbagai pihak di daerah diperlukan kegiatan sosialisasi pelaksanaan penyusunan MP-RHL secara intensif ke daerah.

ƒ Penyusunan MP-RHL Daerah dilakukan secara swakelola melibatkan parapihak di daerah (prop./kab./kota). Dalam pelaksanaannya diupayakan untuk menciptakan jejaring kerja (networking) serta ketertautan (institutional crafting) dari berbagai pihak terkait agar pekerjaan yang dihasilkan merupakan keputusan dan tanggungjawab bersama. Dinas Kehutanan Propinsi mengkoor-dinasikan pelaksanaan

penyusunannya, sedangkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) atau Balai Pengelolaan DAS terlibat aktif dan bertanggungjawab dalam teknis penyusunannya.

ƒ Pelaksanaan penyusunan MP-RHL Daerah agar memperhatikan Kepmenhut No. : 7211/Kpts-II/2002 tentang Pedoman Penyusunan MP-RHL Daerah. Pelaksanaan penyusunan tidak diperkenankan diserahkan kepada pihak ketiga atau perguruan tinggi. Unsur perguruan tinggi dapat dilibatkan sebagai nara sumber atau tim kerja.

ƒ Terminologi master plan untuk sementara hendaknya tidak terlalu menjadi kendala dalam pelaksanaan penyusunan MP-RHL baik Nasional maupun Daerah. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah mengamankan spirit dari nilai yang dikandung dalam MP-RHL tersebut.

ƒ Dimaklumi bahwa waktu yang tersedia dalam rangka penyusunan MP-RHL Daerah sangat terbatas. Kaitan dengan hal tersebut diharapkan agar seluruh daerah dapat menginventarisir kegiatan penyusunan MP-RHL Daerah yang dapat diselesaikan sampai dengan akhir bulan Desember 2002 dan mengusulkan sisa kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan ke Biro Perencanaan dan Keuangan, dengan tembusan ke Pusat Rencana Kehutanan dengan diketahui oleh KPKN setempat guna proses lebih lanjut (luncuran).

ƒ Khusus terhadap Daerah yang telah menyelesaikan penyusunan MP-RHL Daerah agar segera menyampaikan hasilnya ke Pusat Rencana Kehutanan, Badan

(5)

Planologi Kehutanan dan mengusulkan rencana kegiatan sosialisasi hasil penyusunan sesuai kebutuhan daerah.

ƒ Data yang disampaikan oleh Badan Planologi Kehutanan merupakan data indikatif berdasarkan hasil penutupan lahan, sehingga perlu segera didefinitifkan di Daerah.

ƒ Dinas Kehutanan provinsi harus lebih aktif melakukan penjelasan tentang MP-RHL ke tingkat kabupaten.

Di tengah kompleksnya permasalahan kehutanan yang dihadapi diharapkan MP-RHL Daerah dapat sebagai salah satu sarana perekat bagi semua pihak di daerah untuk mau duduk bersama dan secara jernih

merencanakan penanganan SDH dan lahan ke depan. Dimaklumi bahwa tidak mudah untuk mewujudkan komitmen dan kesamaan persepsi dari banyak pihak. Komitmen bersama dari semua pihak inilah yang perlu direalisasikan yang juga merupakan sebagai salah satu entry point dalam mewujudkan Program Kehutanan Nasional yang legitimate. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa institusi kehutanan tidak dapat berjalan sendiri untuk meraih cita-citanya, karena keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh dukungan dan partisipasi dari para pihak terkait. Oleh karena itu MP-RHL barulah menjadi titik awal dari rangkaian kegiatan rehabilitasi, sedangkan tugas berat berikutnya adalah bagaimana meyakinkan pihak-pihak terkait terutama tingkat Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga masyarakat agar mau menerima dan melaksanakan rencana yang telah ditetapkan dalam MP-RHL Daerah.

Bogor, 17 Desember 2002 TIM PERUMUS Ketua, ttd. Dr. SILVER HUTABARAT Wakil Daerah :

1. Ir. Marthinus Rante Allo, MSi/Prop. Sulawesi Utara 2. Ir. Mochammad As’ari, M.Reg.Sc/Prop. Sumatera Utara 3. Ir. Marthen Kayoi, MM/Prop. Papua

4. Ir. H. Sonny Partono/Prop. Kalimantan Selatan 5. Ir. Memet Rachmat/Prop. Jawa Barat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini menunjukkan F hitung lebih besar dari F tabel dan nilai probabilitas jauh lebih kecil dari alpha 0,05 maka dapat dikatakan bahwa dimensi dalam store atmosphere

(Abu Su’ud. Menurut sejarahnya, Agama Hindu mempunyai usia yang cukup tua dan panjang, dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh umat manusia. Agama Hindu pada

Untuk itu kami menyatakan kesanggupan mematuhi ketentuan yang berlaku pada Balai Sertifikasi Industri dan ketentuan lainnya yang berlaku. Demikian, atas perhatiannya diucapkan

Tujuan penelitian ini yaitu (1) mengetahui peningkatan prestasi belajar IPA materi sifat-sifat cahaya dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri pada siswa kelas V SD

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media sapih hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, sedangkan parameter lain seperti persentase hidup, tinggi, diameter,

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana hasil pemahaman membaca mahasiswa, bagaimana kemampuan menulis paragraf mahasiswa, apakah ada hubungan yang

Sebagai wujud dari negara demokrasi dalam hal ini, Dewan Prwakilan Rakyat adalah insiator pengagas lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang

(2) Rencana Induk Menara Telekomunikasi (Cell Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk mengarahkan, menjaga dan menjamin agar pembangunan dan pengoperasian