i
PENGARUH BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PARA SUSTER YUNIOR DAN YANG BERKAUL KEKAL LIMA TAHUN KE BAWAH KONGREGASI SUSTER
FRANSISKAN SANTA LUSIA PEMATANGSIANTAR
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Tantika Lumban Gaol NIM: 081124030
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada semua orang yang dengan sepenuh hati
membantu dan mendukung saya selama penulisan skripsi ini, terutama para
saudariku para suster KSFL, keluarga, seluruh dosen IPPAK-USD dan
v
MOTTO
"Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal”
(Yoh 8: 68)
Kita tidak bisa melakukan hal besar di bumi ini. Kita hanya bisa melakukan
hal kecil dengan cinta yang besar
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 Oktober 2012
Penulis
Tantika Lumban Gaol
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Tantika Lumban Gaol
Nomor Mahasiswa : 081124030
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PENGARUH BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PARA SUSTER YUNIOR DAN YANG BERKAUL KEKAL LIMA TAHUN KE BAWAH KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SANTA LUSIA PEMATANGSIANTAR
beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta izin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 24 Oktober 2012
Yang mengatakan,
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul PENGARUH BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PARA SUSTER YUNIOR DAN YANG BERKAUL KEKAL LIMA TAHUN KE BAWAH KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SANTA LUSIA (KSFL).
Judul ini dipilih berdasarkan keingintahuan penulis akan sumbangan bimbingan rohani terhadap kemampuan komunikasi antarpribadi di mana kemampuan ini mutlak perlu dalam hidup yang memudahkan para suster menjalani hidup berkomunitas dan karya pelayanan mereka. Keingintahuan tersebut muncul karena ada kesan bahwa komunikasi antarpribadi di kalangan para suster tak jarang terjadi salah paham yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam komunitas.
Bimbingan rohani adalah hubungan tetap antara dua orang di mana yang satu mencari pengaruh dari yang lain dalam perkembangan hidup rohani. Pengaruh itu ditujukan kepada kedewasaan rohani dan manusiawi. Salah satu indikator dari kedewasaan tersebut adalah kemampuan komunikasi antarpribadi. Kemampuan komunikasi antarpribadi adalah kemampuan membina dan memelihara komunikasi di mana mereka dapat menerima dan menyampaikan pesan secara tepat sehingga merasakan kenyamanan dalam jalinan komunikasi dengan sesama. Kemampuan komunikasi antarpribadi ini dipengaruhi banyak faktor antara lain pendidikan dan pengalaman. Salah satu bentuk pendidikan dalam Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia adalah bimbingan rohani.
Berdasarkan pemikiran di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu, H0: tidak ada pengaruh bimbingan rohani terhadap komunikasi antarpribadi para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia. H1: ada pengaruh bimbingan rohani terhadap kemampuan komunikasi antarpribadi para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia Pematangsiantar.
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif berbentuk regresi. Populasi dari penelitian ini adalah para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia Pematangsiantar sebanyak 60 responden. Instrumen yang digunakan ialah skala sikap yang dikembangkan dalam 30 pernyataan mengenai bimbingan rohani dan 30 pernyataan mengenai kemampuan komunikasi antarpribadi. Dari hasil uji validitas pada taraf signifikansi 5%, N 60 orang dengan nilai kritis 0,254 terdapat 59 item valid. Sedangkan dari hasil uji reliabilitas diperoleh koefisien alpha sebesar 0,674, yang berarti reliabilitas instrumen cukup tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai mean bimbingan rohani adalah 129.6500 dan mean kemampuan komunikasi antarpribadi adalah 31.2000, kedua
ix
ABSTRACT
This writing entitles THE INFLUENCE OF SPIRITUAL GUIDANCE TO INTERPERSONAL COMMUNICATION ABILITY OF THE JUNIOR AND THE SISTERS IN THE INITIAL FIVE YEARS OF PERPETUAL VOWS IN THE CONGREGATION OF FRANSISCAN SISTER OF SAINT LUCIA. This title was chosen based on the writer’s curiosity about spiritual guidance contribution to the interpersonal communication ability. It is realized that this ability is basically needed in their community and ministry. The writer thinks that the communication among the sisters is occasionally disrupted because of their misunderstanding. This causes inconvenience in community. This writing is destined to measure how deep is the influence of the spiritual guidance to sisters’ interpersonal communication ability.
Spiritual guidance is a continual relation between two persons in which one of them searching for guidance to one’s spirituality progress. The guidande is directed to spiritual guidance process, one is demanded to deliver and accept messages precisely in order to get the good relation for one’s personal and spiritual maturity. Thus, it is clear that spiritual guidance influences interpersonal communication ability.
Based on the theory above, it can be formulated research hypothesis, that are H0: there is no influence of spiritual guidance for Junior and five year perpetual vow sisters and H1: there is influence of spiritual guidance for junior and five year perpetual vows sisters of the Fransiscan Congregation of Saint Lucia, Pematangsiantar.
This research uses regressive quantitative method. Population of this research is junior sisters and five year perpetual vow sisters of the Fransiscan Congregation of Saint Lucia, Pematangsiantar. There are 60 respondents. The instrument applied is behavior scale which is encompassed in 30 questions about interpersonal communication ability. From the result of validity test on 5 % of significance level, N 60 respondents with 0,254 critical value is found 59 valid item. Whereas, the result of the reliability test coefficient alpha 0,674 that means the instrument reliability is high enough.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya yang telah penulis alami selama proses penulisan
skripsi ini sampai selesai. Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini
dapat diselesaikan berkat bantuan dan keterlibatan banyak pihak baik langsung
maupun tidak langsung membantu proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu
penulis mengucapkan limpah terimakasih serta penghargaan yang tulus kepada:
1. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK, M.Pd., selaku dosen utama yang dengan sepenuh
hati dan kesabaran mendampingi, mengarahkan, memberikan masukan yang
sangat berguna dalam seluruh proses penulisan skripsi ini sampai selesai.
2. Rm. Dr. B. A. Rukiyanto, SJ., selaku dosen pembimbing akademik sekaligus
penguji II yang setia membimbing dan memberi masukan selama proses
penulisan skripsi ini sampai selesainya.
3. Bapak Banyu Dewa, HS, S.Ag., M.Si., selaku dosen penguji III yang memberi
semangat kepada penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi.
4. Kaprodi IPPAK-USD, Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ., yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk menyusun skripsi dan melakukan penelitian dari
awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
5. Segenap dosen prodi IPPAK-USD, yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan yang dapat penulis gunakan sebagai bekal hidup
yang berharga.
6. Segenap staf karyawan IPPAK-USD khususnya bagian sekretariat yang selalu
xi
7. Sr. Adelberta, KSFL, selaku Pemimpin Umum Kongregasi Suster Fransiskan
Santa Lusia (KSFL) yang memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan
penelitian kepada para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke
bawah.
8. Sr. Gerarda, KSFL, yang membantu penulis dalam mendistribusikan koesioner
untuk para suster yang tersebar di berbagai komunitas yang ada di Sumatera
Utara dan mengembalikan sesuai dengan waktu yang penulis harapkan.
9. Teman-teman angkatan 2008/2009 yang dengan sepenuh hati dan ketulusan
mendukung, memotivasi penulis sampai selesainya skripsi ini.
10. Orang tua dan segenap keluarga yang selalu mencintai dan mendoakan penulis
dalam menjalani panggilan dan perutusan studi ini.
11. Para saudariku, suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah
yang bersedia memberikan waktu dan bantuannya kepada penulis sehingga
penulis dapat melakukan penelitian.
12. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang mencintai
mendoakan, memberikan perhatian yang tulus kepada penulis dalam
xii
Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam
menyusun skripsi ini sehingga masih jauh dari sempurna. Maka dari itu penulis
mengharapkan saran para pembaca yang bisa membangun demi perbaikan skripsi
ini. Akhirnya, penulis berharap semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang berkepentingan.
Yogyakarta, 24 Oktober 2012
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO . ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK .. ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR . ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 10
C.Pembatasan Masalah ... 10
D.Rumusan Permasalahan ... 11
E.Tujuan Penelitian ... 11
F. Manfaat Penulisan. ... 12
G.Metode Penulisan ... 12
xiv
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS ... 14
A. Bimbingan Rohani ... 14
1. Pengertian dan Tujuan Bimbingan Rohani ... 14
2. Prinsip-prinsip Bimbingan Rohani ... 16
a. Komunikasi Pribadi ... 16
b. Berdasarkan Pandangan Iman ... 17
c. Sharing ... 17
d. Membimbing ... 17
3. Model-model dalam Bimbingan Rohani ... 18
a. Bimbingan Rohani menurut Isinya ... 18
1) Bimbingan bagi Para Awam ... 18
2) Bimbingan bagi Para Imam ... 19
(a) Bidang Manusiawi ... 20
(b)Bidang Rohani ... 21
(c) Bidang Intelektual ... 22
(d)Bidang Pastoral ... 23
(e) Bidang hidup bersama/cinta persaudaraan ... 23
3) Bimbingan bagi Para Biarawan- Biarawati ... 24
(a) Keperawanan ... 25
(b)Kemiskinan ... 25
(c) Ketaatan ... 26
b. Bimbingan Rohani menurut Pelaksanaan dan Prosesnya ... 26
1) Bimbingan yang Edukatif dan Informatif ... 26
2) Bimbingan yang Kebapaan atau Keibuan ... 27
3) Bimbingan Rohani dalam Persahabatan ... 27
4) Proses Bimbingan Rohani ... 28
(a) Pembuka ... 28
(b)Inti ... 28
(1) Bentuk Bimbingan yang Edukatif dan Informatif ... 28
xv
(3) Proses Inti dalam Bimbingan Rohani bentuk Persahabatan .. 29
(c) Penutup ... 29
c. Bimbingan menurut Situasi Konkret dan Kebutuhan Orang yang Dibimbing ... 30
1) Bimbingan bagi Kaum Muda ... 30
2) Bimbingan bagi Keluarga ... 30
3) Bimbingan bagi Orang yang Mengatasi Krisis Hidup ... 31
4) Bimbingan bagi Orang yang akan memilih Panggilan Hidup ... 31
4. Peranan Pembimbing Rohani ... 32
a. Membimbing ... 32
b. Sahabat dan Teman Perjalanan ... 32
c. Penopang ... 33
d. Teladan ... 33
B. Kemampuan Komunikasi Antarpribadi ... 34
1. Pengertian Komunikasi secara Umum ... 34
2. Unsur-unsur dalam Komunikasi ... 36
a. Pengirim Berita atau Komunikator ... 37
b. Medium atau Bentuk Pesan ... 37
c. Komunikan ... 37
d. Prosedur Pengiriman Pesan ... 38
e. Tanggapan/ reaksi ... 38
3. Pengertian Komunikasi Antarpribadi ... 39
4. Syarat-syarat terjadinya Komunikasi Antarpribadi ... 40
a. Pembukaan Diri (self-disclousure) ... 40
b. Saling Membangun Kepercayaaan ... 42
c. Saling Mendengarkan dan Memahami ... 43
d. Saling mengungkapkan Perasaan secara verbal dan secara Nonverbal ... 43
e. Saling Menerima dan Mendukung ... 44
5. Tingkat Komunikasi Antarpribadi ... 44
C.Penelitian yang Relevan ... 46
xvi
1. Kerangka Pikir ... 47
2. Hipotesis ... 48
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 49
A.Jenis Penelitian ... 49
B.Desain Penelitian ... 49
C.Tempat dan Waktu Penelitian ... 50
D.Populasi dan Sampel ... 50
E.Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 51
1. Variabel Penelitian ... 51
2. Definisi Konseptual Variabel ... 51
3. Definisi Operasional Variabel ... 52
a. Bimbingan Rohani ... 52
b. Kemampuan Komunikasi Antarpribadi ... 52
4. Teknik Pengumpulan Data ... 52
5. Instrumen Penelitian ... 53
6. Kisi-kisi Penelitian ... 54
7. Pengembangan Instrumen ... 55
a. Uji Coba Terpakai ... 55
b. Uji Validitas ... 56
c. Uji Reliabilitas ... 57
8. Deskripsi Data ... 57
a. Bimbingan Rohani ... 58
b. Kemampuan Komunikasi Antarpribadi ... 59
F. Uji Persyaratan Analisis ... 59
1. Uji Normalitas Data ... 59
2. Uji Linieritas Regresi ... 60
3. Uji Homokedastisitas ... 61
G.Uji Hipotesis ... 61
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63
xvii
1. Uji Persyaratan Analisis ... 63
a. Uji Normalitas ... 63
b. Uji Linieritas ... 65
c. Uji Homokedastisitas ... 65
2. Deskripsi Data ... 67
a. Bimbingan Rohani ... 67
1) Pembimbing ... 68
2) Proses ... 69
3) Terbimbing ... 71
4) Tujuan ... 72
b. Kemampuan Komunikasi Antarpribadi ... 74
1) Menerima Pesan ... 75
2) Menyampaikan Pesan ... 77
3) Suasana ... 78
B. Uji Hipotesis ... 80
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 85
D. Refleksi Kateketis ... 90
1.Pengertian dan Tujuan Katekese ... 90
a. Katekese sebagai Pendidikan Iman ... 90
b. Katekese sebagai Komunikasi Iman ... 91
1) Unsur- unsur Komunikasi dalam Katekese ... 92
a) Bebas ... 92
b) Dinamis ... 93
c) Terbuka ... 93
d) Terencana ... 93
2. Proses dalam Katekese ... 94
3. Aspek Kateketis dalam Bimbingan Rohani ... 95
4. Aspek kateketis dalam Komunikasi Antarpribadi ... 96
xviii
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 99
A.Simpulan ... 99
B.Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 103
LAMPIRAN ... 105
Lampiran 1 : Kata Pengantar Koesioner ... (1)
Lampiran 2 : Petunjuk pengisian Koesioner ... (2)
Lampiran 3 : Koesioner Variabel X dan Variabel Y ... (3)
Lampiran 4 : Analisis Validitas Variabel X ... (8)
Lampiran 5 : Analisis Validitas Variabel Y ... (9)
Lampiran 6 : Tabel Total Variabel X dan Y ... (10)
Lampiran 7 : Tabel Descriptive Statistics ... (11)
xix
DAFTAR SINGKATAN
A Singkatan Dokumen Gereja
CT : Catechesi Tradendae
OT: Optatam Totius
PC : Perfectae Caritatis
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
PKKI: Pertemuan Kateketik antar-Keuskupan se-Indonesia
KHK : Kitab Hukum Kanonik
B Singkatan dalam Penelitian
ANOVA : Analisys of Variance
Dev : Deviasi
Ho : Hipotesis nol
H1 : Hipotesis alternatif
SPSS : Statistical Product and Service Solutions
Std : Standard
Sig : Signifikansi
C Singkatan lain
KSFL : Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nilai luhur panggilan seorang religius adalah kesalehan hidup rohaninya.
Ia dipanggil untuk menghadirkan satu bentuk hidup yang sepenuhnya dijiwai oleh
Kristus. Supaya keluhuran panggilan seorang religius itu tetap terjaga perlu usaha
dari orang-orang terpanggil itu dan tentu saja bersama rahmat Allah. Kristus juga
menuntut kerjasama dari pihak manusia yakni setiap religius harus bertekun
dalam mengembangkan hidup rohaninya, oleh karena itu para calon religius dan
para religius perlu dibantu dan diarahkan untuk memahami maksud Allah yang
memanggilnya.
Dewasa ini banyak kaum religius kurang memperhatikan hidup
rohaninya karena terlalu sibuk di dalam karya pelayanan. Mereka kurang
menyediakan waktu untuk menyepi, masuk ke dalam keheningan batin. Oleh
karena itu, banyak kaum religius yang mengalami krisis panggilan, muncul rasa
bosan, kurang puas akan berbagai fasilitas yang tersedia, mudah mengeluh, mudah
merasa jenuh dan lelah dalam karya. Setiap pribadi religius semestinya
mengusahakan keseimbangan antara hidup rohani dan hidup karya nyata. Untuk
itu, seorang religius harus meluangkan waktu untuk membenahi hidup rohaninya.
Salah satu bentuk pembinaan dalam kongregasi Fransiskan Santa Lusia
adalah melalui bimbingan rohani. Sebagai kaum religius, para suster Kongregasi
luput dari tuntutan itu seturut semangat Santo Fransiskus Asisi, para suster KSFL
harus menjaga keseimbangan hidup rohani dan karya pelayanannya. Oleh karena
itu, keanggotaan di dalam KSFL dibedakan menjadi tiga bagian yaitu; yunior,
medior dan senior. Tujuan dari pentahapan tersebut adalah agar pendampingan
dan pembinaan hidup rohani para suster dapat optimal dan sesuai dengan
kebutuhan para suster yang bersangkutan. KSFL menyediakan berbagai program
pembinaan bagi semua suster baik yunior, medior maupun senior. Akan tetapi
peneliti hanya memfokuskan perhatian pada pembinaan melalui bimbingan rohani
karena sampai sekarang program ini masih secara intensif dilaksanakan khususnya
bagi para suster yunior yang berkaul kekal lima tahun.
Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia (KSFL) didirikan oleh Muder
Lusia Dierckx pada tanggal 15 oktober 1847 di Meersel-Belgia. Kemudian para
suster KSFL dari Belanda mengembangkan karya ke Indonesia tepatnya pada
tanggal 03 Oktober 1925. Pada awal berdirinya Kongregasi ini bernama:
Kongregasi Peniten Rekolektin Ordo III Reguler Santo Fransiskus Asisi yang
sekarang dikenal dengan nama: Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia
(KSFL). Dalam tulisan ini peneliti memfokuskan kepada para suster yunior dan
suster kaul kekal usia lima tahun yang terdiri dari ± 60 orang yang sedang
menjalani dan sudah mengalami bimbingan rohani.
melaksanakan pengutusannya dengan penuh dedikasi (Konstitusi pasal 2: 32).
Pada tahap yunior para suster masih harus menjalani pembinaan secara
intensif sebelum mereka bergabung secara definitif dalam Kongregasi Suster
Fransiskan Santa Lusia dengan pengikraran kaul kekal. Salah satu program
pembinaan adalah dalam bentuk bimbingan rohani secara pribadi. Adapun isi dari
bimbingan rohani ini meliputi lima aspek pembinaan, yaitu aspek kepribadian,
Fransiskan, hidup religius yang terdiri dari kaul, doa dan karya kerasulan. Aspek
kepribadian bertujuan membantu para suster untuk mengenal dan menerima diri
apa adanya, mampu mengendalikan diri, memiliki semangat, mampu membangun
komunikasi antarpribadi dalam komunitas maupun di luar komunitas. Aspek
karisma bertujuan membantu para suster semakin terbuka akan rahmat panggilan
dan menghayati karisma dan spiritualitas kongregasi. Aspek Fransiskan bertujuan
membantu para suster agar semakin menghayati Injil secara radikal dengan
semangat pengosongan diri, kegembiraan dalam persaudaraan, dan pertobatan
terus-menerus sebagaimana dihidupi dan dihayati oleh Bapa Fransiskus Asisi.
Aspek hidup religius bertujuan untuk membantu para suster agar semakin
menumbuhkembangkan semangat doa, latihan rohani, askese dan menghayati
ketiga kaul sedangkan aspek karya kerasulan bertujuan untuk membantu para
suster melakukan pelayanan dengan sepenuh hati kepada siapapun mereka diutus
untuk melayani.
hidup sesuai dengan semangat kongregasi secara konsekwen dan konsisten (Konstitusi pasal 2: 13)
Pada kenyataannya para suster terkesan sering mengalami persoalan dalam
hidup berkomunitas yang diakibatkan oleh antara lain kurangnya kemampuan
dalam komunikasi antarpribadi yang menimbulkan salah paham, curiga, saling
mendiamkan, karena tidak mampu mengkomunikasikan perasaan, pikiran
masing-masing secara jujur dan terbuka. Kenyataan di atas membuat suasana
dalam komunitas tidak nyaman dan dalam kondisi demikian mempengaruhi
seluruh gerak hidup baik di komunitas maupun karya. Semestinya hidup
persaudaraan dalam komunitas menyuburkan semangat pelayanan para suster
dalam berbagai bidang yang mereka geluti.
Panggilan hidup sebagai religius pada zaman ini dihadapkan dengan
sejumlah tantangan. Tantangan zaman ditandai oleh hal-hal yang bersifat instan
cukup banyak orang muda yang masuk sebagai calon anggota tarekat religius
tergolong dalam generasi instan yang memiliki kecenderungan ingin langsung
hidup enak, tidak memiliki kesabaran dan daya tahan untuk memulai sesuatu dari
bawah, cepat menyerah bila berhadapan dengan kesulitan. Kenyataan ini tampak
dari lebih mudahnya orang berganti haluan dalam memilih jalan hidup ketika
mengalami keraguan atau kesulitan. Adanya gejala individualisme semakin
banyak ditemukan misalnya: kuatnya keinginan untuk mengejar aktualisasi diri,
sulitnya membangun hidup berkomunitas dan semangat kebersamaan
Masalah tersebut berangkat dari situasi zaman yang terus berubah dan
sekaligus perubahan mentalitas dan paradigma terhadap hidup. Seorang yang
Perubahan-perubahan antara lain berkaitan dengan kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan, kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi.
Kemajuan-kemajuan ini disatu sisi menggambarkan Kemajuan-kemajuan peradaban manusia. Namun
disisi lain kemajuan-kemajuan tersebut semakin membuat manusia terasing dari
dirinya sendiri dan lebih parah lagi bisa menjadi sumber yang merusak manusia
dan dunianya (Sudiarja, 2003: 11).
Dalam kenyataan kemajuan teknologi yang semakin canggih membawa
pengaruh terhadap perkembangan pribadi para suster. Apabila pribadi suster
kurang matang akan mudah terpengaruh terhadap tawaran-tawaran zaman karena
tidak mempunyai sikap dan prinsip yang kuat dan tangguh.
Menanggapi permasalahan di atas kongregasi berupaya meningkatkan
pembinaan hidup religius agar para suster yunior semakin memiliki pribadi yang
matang dan tangguh sehingga tidak mudah terpengaruh terhadap tantangan dan
situasi baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Para suster yunior
diharapkan selalu bertumbuh dan berkembang, oleh karena itu perlu dibimbing
dan diarahkan untuk menemukan nilai-nilai hidup dan spiritualitas yang hakiki.
Maka menurut penulis para suster perlu mendapat pendampingan dan bimbingan
yang tepat dan intensif sehingga mereka semakin memiliki kecakapan dalam
komunikasi antarpribadi dan melalui kemampuan berkomunikasi antarpribadi baik
dengan pembimbing rohani maupun dalam komunitas akan membantu mereka
menjalani panggilan dengan penuh kegembiraan.
Kegiatan bimbingan rohani bagi para suster dilaksanakan oleh seorang
sebagai pembimbing rohani. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh bimbingan
rohani terhadap kemampuan komunikasi antarpribadi. Dalam hal ini pembimbing
rohani mempunyai peluang untuk mengikuti perkembangan pribadi para suster
yunior melalui bimbingan rohani yang intensif di samping itu pembimbing rohani
mempunyai tanggung jawab utama sebagai fasilitator untuk membantu
perkembangan para suster dalam mencapai kemampuan komunikasi antarpribadi.
Dari pengamatan awal penulis, para suster yunior kurang memahami arti
bimbingan rohani dan tujuan bimbingan rohani, sehingga banyak di kalangan
yunior kurang memanfaatkan bimbingan rohani sebagai kesempatan untuk
berkomunikasi dengan pembimbing sedangkan pembimbing sering juga bukan
sebagai pribadi yang sungguh-sungguh mendengarkan terbimbing sehingga
kurang membantu terbimbing untuk sampai pada kemampuan komunikasi
antarpribadi. Oleh karena itu penulis ragu apakah para suster yunior
sungguh-sungguh tahu arti dan tujuan bimbingan rohani. Karena bila tidak memahami
esensi dari bimbingan rohani mengakibatkan kurang memanfaatkan bimbingan
rohani sebagai ajang untuk belajar dengan mengkomunikasikan seluruh diri dan
pergulatannya. Bimbingan rohani yang efektif akan membantu suster yunior
dalam memaknai dan mengolah berbagai pergulatan hidupsehingga suster yunior
sungguh mencapai kemampuan dalam komunikasi antarpribadi.
Bimbingan rohani penting bagi para suster yunior karena menjadi sarana
untuk berkomunikasi dengan pembimbing rohani dan merupakan kesempatan bagi
para suster yunior untuk mengungkapkan dirinya dengan jujur dan terbuka kepada
panggilan sebagai religius dalam hidup sehari-hari. Pertemuan yang intensif
antara suster terbimbing dengan pembimbing rohani akan menjadi efektif apabila
dalam pertemuan terjadi komunikasi yang didasari kepercayaan satu sama lain
dan akhirnya dapat terbuka dan jujur untuk menyampaikan seluruh diri dan
bersama-sama mengolah pengalaman dan pergulatannya dengan baik.
Dalam konteks bimbingan rohani syarat keterbukaan tampak bila suster
terbimbing mengungkapkan dengan jujur dan terbuka akan pengalaman jatuh dan
bangun, suka dan duka dalam menghayati karisma, persaudaraan dalam
komunitas, karya perutusan, hidup doa, ketiga kaul. Pembimbing juga siap dan
terbuka untuk mendengarkan, memberikan peneguhan maupun petunjuk bagi
terbimbing.
Dalam bimbingan rohani unsur percaya sangat mendasar dari kedua belah
pihak yakni dari pihak pembimbing maupun terbimbing. Dengan adanya
kepercayaan dari kedua belah pihak akan muncul keterbukaan dan kejujuran
menyampaikan segala pengalaman dan pergulatan. Akhirnya pengalaman
jatuh-bangun, suka-duka itu dapat diolah bersama dan dimaknai khususnya oleh
terbimbing sebagai bagian dari hidupnya dalam menghayati panggilan.
Kesalingpercayaan akan membuat relasi dan komunikasi antar pembimbing dan
terbimbing dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Seorang pembimbing harus menjadi pendengar yang empatik, karena bila
mendengarkan dengan empatik akan mudah memahami terbimbing. Sikap
mendengarkan dalam bimbingan rohani mutlak perlu karena kesediaan
baik suka-duka maupun jatuh-bangun dalam menghayati karisma, persaudaraan
dalam komunitas, karya perutusan, hidup doa maupun ketiga kaul. Pembimbing
rohani mampu memahami, menaruh empati, mengarahkannya hingga terbimbing
sungguh menemukan dirinya dan semakin tangguh dalam menjalani
panggilannya.
Seorang pembimbing rohani juga sangat perlu memiliki pemahaman
akan bahasa tubuh (nonverbal) di mana seseorang menyampaikan pesan bukan
dengan kata-kata saja tetapi dengan bahasa tubuh/syarat, misalnya: sorotan mata,
raut muka, senyuman, suara, dan kepalan tangan. Dalam konteks bimbingan
rohani, pembimbing rohani harus mampu menangkap bahasa nonverbal ini karena
yang dihadapi adalah seorang yunior yang bisa jadi mengalami pergulatan batin
yang serius yang mungkin tidak berani atau justru sengaja untuk tidak
diungkapkan. Demikian juga sikap menerima dan mendukung dalam bimbingan
rohani harus pertama-tama ditunjukkan oleh pihak pembimbing yang dipercayai
dapat berperan sebagai “penolong” untuk membantu terbimbing yang telah
mengutarakan pergulatannya dalam menghayati panggilannya.
Sebagaimana disebutkan di atas salah satu aspek dalam pembinaan
melalui bimbingan rohani adalah aspek kepribadian yang bertujuan membantu
para suster untuk mengenal dan menerima diri apa adanya, mampu
mengendalikan diri, memiliki semangat, mampu membangun relasi yang baik
dengan orang lain dalam komunitas maupun di luar komunitas. Aspek kepribadian
ini amat sangat menentukan bagi seorang suster dalam menghayati panggilannya.
membangun persaudaraan yang sehat dalam komunitas serta menjalankan
perutusannya dengan baik oleh karena itu dalam pembinaan harus dibangun dasar
dan pondasi yang kuat yakni cakap dalam komunikasi antarpribadi.
Pembinaan hidup para suster amat sangat penting demi mutu mereka
sendiri. Seorang suster dituntut menjadi teladan bagi semua orang. Menjadi
teladan berarti mengandaikan seorang suster memiliki kematangan pribadi,
mampu menjalin relasi interpersonal yang sehat. Pada kenyataannya sering sekali
tidak seperti yang diharapkan banyak suster kurang mampu memberikan teladan
yang baik bagi sesama bahkan para suster juga masih sering terlibat dalam
persoalan-persoalan intern di komunitas sendiri; salah paham, curiga, cemburu,
marah, mendiamkan, dan lain-lain. Hal itu barangkali dikarenakan kurangnya
keseriusan dalam membina diri dan juga kekurangberhasilan bimbingan rohani
sebagai ajang belajar dari pembimbing yang dianggap kompeten untuk itu.
Sebagai seorang suster penulis sendiri terbentur dalam sikap demikian,
oleh karena itu hal ini menjadi keprihatinan dalam diri penulis sekiranya para
suster mampu dan cakap dalam komunikasi antarpribadi akan sangat membantu
para suster dalam seluruh gerak hidupnya karena kemampuan menghayati
panggilan justru dimulai dari dalam persaudaraan intern di komunitas. Bilamana
persaudaraan sehat akan sangat membantu menyuburkan para suster dalam
menghayati tugas pelayanan mereka dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu
penulis tergerak untuk meneliti seberapa besar pengaruh pembinaan dalam hal ini
B.IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapatlah
diidentifikasi beberapa pokok permasalahan yang umum, yaitu:
1. Rendahnya pemahaman akan bimbingan rohani.
2. Pembimbing rohani masih kurang memiliki kualitas baik
3. Kurangnya keteladanan dari suster senior maupun medior
4. Komunitas belum menjadi tempat persemaian bagi panggilan yang baru dalam
diri yunior
5. Kesulitan dalam membuka diri dari pihak terbimbing dihadapan pembimbing
rohani.
6. Kurangnya komunikasi yang baik antara terbimbing dan pembimbing.
7. Para suster belum memiliki kecakapan komunikasi antarpribadi.
8. Mudahnya para suster memilih jalan pintas termasuk berubah haluan.
9. Sulit membuat komitmen.
10. Sikap Individualisme.
C. PEMBATASAN MASALAH
Mengingat luasnya permasalahan yang teridentifikasi dan keterbatasan
penulis baik dari segi waktu dan kemampuan maka pada skripsi ini masalah
dibatasi pada pengaruh bimbingan rohani terhadap kemampuan komunikasi
antarpribadi para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah
D. RUMUSAN PERMASALAHAN
Dari uraian di atas ada beberapa hal yang ingin dicermati lebih lanjut
sehingga pada akhirnya menjadi titik awal dari penulisan ini. Adapun masalah
yang ingin dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bimbingan rohani para suster yunior dan yang berkaul kekal
lima tahun ke bawah dalam KSFL?
2. Bagaimanakah komunikasi antarpribadi para suster yunior dan yang berkaul
kekal lima tahun ke bawah dalam KSFL?
3. Seberapa besar pengaruh bimbingan rohani terhadap kemampuan
berkomunikasi antarpribadi para suster para suster yunior dan yang berkaul
kekal lima tahun ke bawah dalam KSFL?
E. TUJUAN PENELITIAN
Maksud diadakannya penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi
mengenai pengaruh bimbingan rohani bagi kemampuan komunikasi antarpribadi
para suster. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan bimbingan rohani para suster yunior dan yang berkaul kekal
lima tahun ke bawah dalam KSFL.
2. Mendeskripsikan kemampuan komunikasi antarpribadi para suster yunior
dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah dalam KSFL
3. Mengetahui besarnya pengaruh bimbingan rohani terhadap kemampuan
komunikasi antarpribadi para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun
F.MANFAAT PENULISAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para suster baik
pembimbing maupun terbimbing, peneliti sendiri maupun peneliti lain.
1. Bagi para suster
Penelitian ini diharapkan dapat membantu para suster untuk menyadari
pentingnya meningkatkan efektivitas bimbingan rohani dalam rangka mencapai
kemampuan komunikasi antarpribadi para suster Kongregasi Suster Fransikan
Santa Lusia.
2. Bagi para pembimbing rohani
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan kepada pembimbing
rohani dalam rangka meningkatkan efektivitas bimbingan rohani.
3. Bagi Peneliti lain
Penelitian ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi peneliti lain yang ingin
mendalami bimbingan rohani dalam rangka membantu kemampuan komunikasi
antarpribadi.
G. METODE PENULISAN
Tulisan ini dikembangkan melalui penelitian lapangan yakni dengan
mengumpulkan, memaparkan, dan menganalisis data dari permasalahan yang ada
H. SISTEMATIKA PENULISAN
1. BAB I Berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
2. BAB II Menguraikan tentang bagaimanakah bimbingan rohani dan
bagaimanakah kemampuan komunikasi antarpribadi.
3. BAB III Mengenai metodologi penelitian pengaruh bimbingan rohani bagi
kemampuan komunikasi antarpribadi para suster yunior dan kaul kekal usia
lima tahun Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia yang meliputi jenis
penelitian, desain penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan
sampel, teknik dan instrumen pengumpulan data dan teknik analisis data.
4. BAB IV Uraian tentang hasil analisis pengaruh bimbingan rohani terhadap
kemampuan komunikasi antarpribadi para suster yunior dan kaul kekal usia
lima tahun Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia berdasarkan hasil analisis
pada bab III.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
Pada bagian ini, penulis akan mendalami tentang konsep dan teori
bagaimana pengaruh bimbingan rohani terhadap kemampuan komunikasi
antarpribadi. Pada dasarnya, bimbingan rohani mengantar seorang terbimbing
untuk semakin matang secara pribadi, baik dalam aspek manusiawi maupun dalam
aspek rohani (spiritual). Dengan semakin matang dalam tataran manusiawi dan
spiritual, diandaikan kemampuan seorang terbimbing dalam komunikasi
antarpribadi juga semakin baik.
A. BIMBINGAN ROHANI
Bimbingan rohani bukanlah pembicaraan yang biasa antara dua pribadi.
Bimbingan rohani merupakan suatu sarana dalam proses pembinaan seorang
religius untuk bertumbuh dan berkembang dalam penghayatan hidup religiusnya.
Pada bagian ini akan diuraikan tentang: 1) pengertian dan tujuan bimbingan
rohani, 2) Prinsip-prinsip bimbingan rohani, 3) model-model bimbingan rohani, 4)
peranan pembimbing rohani.
1. Pengertian dan Tujuan Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah hubungan tetap antara dua orang di mana yang
satu mencari pengaruh dari yang lain dalam perkembangan hidup rohani.
pribadi di mana orang dapat dengan sadar dan bebas melaksanakan diri menurut
nilai-nilai manusiawi yang sekaligus menjadi norma dan daya penarik baginya.
Nilai dan norma itu tidak dipelajari secara teoritis tetapi dalam hubungan pribadi
dengan pembimbing (Jacobs, 1973: 15-16)
Bimbingan rohani merupakan interaksi atau pembicaraan antarpribadi,
yang terjadi antara pembimbing dan orang yang dibimbing (terbimbing). Dalam
hidup religius, perhatian utama dalam bimbingan rohani adalah untuk memahami
panggilan yang khusus dari Allah, yang secara personal menyapa orang yang
dibimbing (Darminta 2006: 19). Bimbingan rohani membantu terbimbing untuk
bertumbuh dalam iman dan mengalami keakraban komunikasi dengan Tuhan,
bagaimana Tuhan hadir dan berkarya dalam hidupnya. Bimbingan rohani menjadi
sarana merefleksikan Tuhan yang hadir dan berkarya dalam hidup terbimbing
(Darminta 2006: 21).
Proses pembicaraan antarpribadi dalam bimbingan rohani terarah pada
pertumbuhan dan perkembangan pribadi terbimbing secara utuh, khususnya
pertumbuhan hidup rohaninya. Bimbingan rohani teristimewa membantu
terbimbing masuk ke dalam pengalaman rohani, yaitu pengalaman akan anugerah
rahmat dalam pengalaman hidup harian. Dengan bimbingan rohani, seorang
terbimbing dibantu untuk mengalami kehadiran Allah dalam segala peristiwa
hidupnya. Bimbingan rohani mengarahkan hidup konkret dan aktual terbimbing
agar sesuai dengan orientasi dasar hidup kristiani (Darminta, 1993: 250-251).
Orang yang mendapat bimbingan rohani diharapkan menjadi akrab
roh tersebut memampukannya dalam mengambil keputusan. Bimbingan rohani
membantu terbimbing semakin mampu mengenal suasana hati dan jiwanya dan
memahami tindakan Allah atas hidup atau panggilannya. Bimbingan rohani juga
menolong terbimbing semakin mengenali diri secara baik, menyadari apa yang
menjadi kekuatan maupun kelemahan dirinya, serta dapat menerima diri apa
adanya, sebagaimana Tuhan menerimanya. Adapun tujuan utama bimbingan
rohani adalah pertumbuhan iman melalui keakraban komunikasi dengan Tuhan.
Tuhan yang selalu hadir dan berkarya dalam hidupnya. Maka bimbingan rohani
menjadi sarana untuk merefleksikan kehadiran Tuhan dalam hidupnya setiap hari
(Darminta, 2006: 21).
2. Prinsip-prinsip Bimbingan Rohani
Praktek bimbingan rohani memuat sejumlah prinsip penting. Pada bagian
ini akan diuraikan sejumlah prinsip penting dalam praktek bimbingan rohani.
Sejumlah prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi Pribadi
Dalam bimbingan rohani terjadi suatu komunikasi konkret pribadi antara
dua orang dalam iman demi kedewasaan rohani terbimbing. Dalam bimbingan
rohani komunikasi antarpribadi merupakan syarat mutlak karena bimbingan
rohani dilaksanakan dalam komunikasi antarpribadi. Dikatakan bimbingan rohani
secara periodik atau terus menerus dalam kurun waktu tertentu sampai terbimbing
memiliki kedewasaan rohani (Jacobs, 1973: 36-37).
b. Berdasarkan Pandangan Iman
Bimbingan rohani adalah komunikasi antarpribadi dalam iman.
Pembicaraan harus diarahkan pada hidup yang konkret dan hidup konkret dilihat
dalam rangka iman. Ciri bimbingan rohani yang paling hakiki adalah pengarahan
iman kepada hidup yang konkret dan riil dalam arti pelaksanaan iman bukan
teorinya (Jacobs, 1973: 37-38).
c.Sharing
Dalam bimbingan rohani pembimbing dan terbimbing saling membuka
diri dan saling mengkomunikasikan pengalaman iman. Sharing ini mengandaikan
adanya komunikasi antarpribadi. Sharing pengalaman satu dengan yang lain
selalu dilandaskan pada pengenalan dan kesalingpercayaan antar kedua belah
pihak baik terbimbing maupun pembimbing (Jacobs, 1973: 38-39).
d. Membimbing
Dalam bimbingan rohani ada perbedaan antara yang dibimbing dan yang
membimbing. Orang yang membimbing harus lebih unggul dari pada yang
mereka bimbing. Pembimbing harus memiliki pengetahuan dan pengalaman
rohani melebihi orang yang dibimbing dan keunggulan itu dapat membantu
namun sudah mengarah ke sana karena dalam kenyataan demikian baru mungkin
ada komunikasi antarpribadi antara yang dibimbing dan yang membimbing
(Jacobs, 1973: 40-41).
3. Model-model dalam Bimbingan Rohani
Ada sejumlah model dalam bimbingan rohani. Sejumlah model tersebut
antara lain 1) bimbingan rohani menurut isinya, 2) bimbingan rohani menurut
pelaksanaannya, dan 3) bimbingan rohani menurut situasi konkret dan kebutuhan
orang yang dibimbing.
a. Bimbingan Rohani menurut Isinya
Bimbingan rohani dapat dijalankan sesuai dengan panggilan dan
kedudukan seseorang dalam kerohanian kristiani, yakni dalam rangka hidup
menggereja. Di dalam hidup menggereja ada pola hidup sebagai awam, imam dan
biarawan-biarawati. Kedudukan yang berbeda itu tentu saja akan membedakan
bimbingan yang terjadi. Di bawah ini akan dijelaskan ketiga jenis bimbingan
tersebut.
1) Bimbingan bagi Para Awam
Bimbingan rohani bukan khas religius namun juga bagi semua umat
kristiani. Kaum awam juga diandaikan mempunyai pembimbing rohani karena
hidup rohani perlu ditingkatkan oleh semua orang kristiani dan bukan hanya
kurang menggunakan kesempatan itu mungkin karena mereka kurang mengetahui
atau karena tingkat kesibukan baik umat sendiri maupun gembala yang memiliki
otoritas untuk membimbing umatnya. Sekarang ini yang terjadi dalam bimbingan
awam atau tepatnya pembinaan umat bersifat kolektif baik ditingkat lingkungan,
wilayah maupun paroki. Hal ini pun kurang menyentuh aspek perkembangan
hidup rohani umat secara pribadi karena tema yang dibicarakan lebih bersifat
umum dan kadang-kadang konteks yang berkaitan dengan pengelolaan paroki.
Oleh karena itu umat perlu disadarkan akan perlunya memiliki pembimbing
rohani selain mereka harus tekun dan setia mengikuti perayaan Ekaristi, menerima
sakramen tobat, serta mengikuti pengajaran agama, rekoleksi, retret dan bacaan
rohani (Jacobs, 1973: 86).
2) Bimbingan bagi Para Imam
Pembinaan rohani berhubungan erat dengan pendidikan intelektual dan pastoral dengan bantuan pembimbing rohani sehingga para seminaris belajar hidup dalam persekutuan mesra dan terus menerus dengan Bapa melalui putera-Nya Yesus Kristus. Karena ditahbiskan mereka harus menjadi secitra dengan Kristus sang Imam, maka hendaknya juga dalam hidup persekutuan akrab yang meliputi seluruh hidup mereka membiasakan diri sebagai sahabat berpaut pada-Nya. Hendaknya mereka diajak mencari Kristus dengan setia merenungkan sabda Allah, dalam keakraban yang aktif dengan misteri-misteri suci Gereja, terutama dalam Ekaristi dan ibadat harian. Penting juga para seminaris belajar hidup menurut doa, Injil, makin bertambah teguh dalam iman, harapan, dan cinta kasih, supaya dalam mengamalkannya mereka memperoleh semangat doa, peneguhan serta perlindungan bagi panggilan mereka. Kekuatan bagi keutamaan-keutamaan lain, dan supaya makin bertumbuhlah semangat mereka untuk memperolehkan semua orang bagi Kristus (Optatam Totius, artikel 8)
Panggilan menjadi imam adalah panggilan untuk mengikuti Kristus.
berjalan bersama, dan berkarya bersama Kristus. Untuk itu, bimbingan yang
intensif bagi para imam sangat perlu, sehingga lambat laun mereka dapat hidup
dan berkarya sebagaimana Tuhan Yesus. Bimbingan bagi para imam bertujuan
untuk membangun kesatuan dan persahabatan yang mendalam dengan Yesus
sendiri. Dalam bimbingan, para imam dihantar untuk sampai pada jawaban akan
pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mencintai Aku?” Para imam dalam hal ini
diarahkan pada semangat pemberian diri secara total kepada Allah. Adapun
bidang-bidang bimbingan bagi para imam adalah bidang manusiawi, bidang
rohani, bidang intelektual, dan bidang pastoral dan bidang hidup bersama/cinta
persaudaraan.
a) Bidang Manusiawi
Imam sebagai gambaran Kristus yang hidup harus tetap berusaha
mencerminkan di dalam dirinya kesempurnaan manusiawi yang telah tampak
dahulu dalam diri Sang Sabda yang menjadi daging. Kualitas ini mengandaikan
bahwa imam sendiri harus bertumbuh dalam kepribadian manusiawi sedemikian
rupa sehingga bisa menjadi jembatan bagi sesama untuk sampai kepada Yesus
penyelamat. Dan seperti Yesus, ia mesti mampu memahami kedalaman hati
sesama, menangkap masalah dan kesulitan mereka, mudah berjumpa dan
berdialog, mampu menciptakan kepercayaan dan kerjasama. Jadi, pertumbuhan
dan pemenuhan pribadi imam bukan hanya untuk pemenuhan diri tetapi demi
finalitas tugas pelayanannya. Finalitas tersebut menuntut kualitas: pribadi yang
pastoral, terdidik dalam mencintai kebenaran, loyal, hormat terhadap setiap
pribadi, punya kepekaan akan keadilan, benar dalam kata-katanya, solider, utuh,
seimbang dalam penilaian dan perilaku (Mardi Prasetyo, 2001: 128-131).
b)Bidang Rohani
Dalam bidang rohani ini, imam harus sampai pada kesatuan dengan
Yesus membawa penyerahan diri total pada Roh dalam semangat keputeraan
terhadap Bapa dan ikatan penuh kepercayaan terhadap Gereja. Adapun
pokok-pokok dan tuntutannya adalah:
(1)Nilai dan tuntutan kesatuan hidup yang mendalam dengan Kristus. Kesatuan
yang didasarkan pada sakramen baptis dan selalu disegarkan dalam sakramen
Ekaristi.
(2)Nilai dan tuntutan ketekunan untuk mencari Yesus. Ditekuni melalui
pengembangan hidup kontemplatif, ambil bagian secara aktif dalam misteri
kudus Gereja dan memperhatikan orang-orang kecil, lemah dan tertindas.
(3)Nilai dan tuntutan hidup doa dan lectio Divina. Tekun membaca dan
merenungkan Kitab Suci serta membaca kehadiran Allah dalam hidup. Juga
doa-doa yang personal
(4)Nilai dan tuntutan keheningan sebagai suasana rohani untuk menyadari
kehadiran Allah dan menjadi ciri man of God yang akan membantu umat
sampai pada Bapa.
(5)Nilai dan tuntutan Ekaristi, yang akan membawa kita pada disposisi batin
persembahan Kristus, keutamaan cinta kasih, devosi serta kerinduan akan
kesatuan dengan Yesus yang hadir dalam Ekaristi.
(6)Nilai keindahan dan kegembiraan Sakramen Tobat. Perasaan kecukupan
dewasa ini membawa orang pada kesombongan yang mengaburkan makna
rekonsiliasi dan pembaruan hidup di hadapan Tuhan.
(7)Nilai dan tuntutan mencari Kristus dalam sesama. Kesatuan yang mendalam
dengan Tuhan akan mendorong kita untuk membagikan cinta kasih kepada
sesama, dan cinta kasih ini perlu diintegrasikan di dalam pembinaan ketaatan,
kemiskinan, dan selibat.
(8)Nilai dan tuntutan hidup selibat yang harus diketahui, dihargai, dicintai, dan
dihayati seturut hakikat dan tujuannya yang sejati demi kerajaan Allah. Maka
harus disajikan secara jelas, positif tanpa ambivalensi (Mardi Prasetyo, 2001:
131-134).
c) Bidang Intelektual
Pembinaan dalam hal intelektual adalah dasar yang membantu imam
ambil bagian dalam sinar terang Allah agar menjadi bijaksana. Pada zaman
sekarang bidang intelektual ini sangat dituntut guna mewartakan Injil secara baru.
Kemajuan zaman dan ilmu teknologi menjadi tuntutan juga agar para imam dapat
berdialog dengan arus zaman dan sedapat mungkin membantu meletakkan arah
yang benar pada setiap perkembangan ilmu dan teknologi. Hanya melalui
Yesus Kristus secara lebih meyakinkan dan dipercaya juga dalam level penalaran
manusia (Mardi Prasetyo, 2001: 134-135).
d)Bidang Pastoral
Seluruh pembinaan baik manusiawi, rohani dan intelektual dalam diri
seorang imam diarahkan untuk tujuan khas pastoral. Pembinaan pastoral ini
diharapkan berkembang melalui refleksi yang matang dan penerapan yang praktis
(Mardi Prasetyo, 2001: 135-136).
e) Bidang hidup Bersama/ cinta persaudaraan
Para Imam sebagaimana semua orang adalah mahluk sosial yang harus
berelasi dengan orang lain dan dalam kebersamaan dengan orang lain mereka
dapat bertumbuh dan berkembang. Mereka juga akan menikmati kebahagiaan
dalam hidup bersama dalam komunitas. Cinta persaudaraan diantara para imam
adalah harta yang sangat bernilai disebuah keuskupan atau rumah religius, senjata
paling ampuh melawan kejahatan, kekuatan paling tangguh untuk kebaikan. Cinta
persaudaraan menghasilkan kekudusan yang lebih besar, cinta persaudaraan
menghasilkan hidup sehat yang lebih baik. Cinta persaudaraan menghasilkan
ketenangan jiwa yang lebih besar. Cinta persaudaraan menciptakan sebuah iklim
yang sehat untuk berkembang dalam kekudusan, dalam ketenangan jiwa, dan
kesejahteraan fisik. Cintailah satu dengan yang lain sabda Tuhan “seperti aku
telah mencintai kamu” ini adalah hukum adikodrati pewahyuan Kristus sebuah
yang pertama pada para imam, karena kepada para imam Ia pertama-tama
mewahyukannya. karena itu cinta, apakah itu kodrati ataupun adikodrati, adalah
makanan yang paling penting yang menghasilkan kebaikan dalam suasana yang
sehat dan suci. Cinta persaudaraan membutuhkan pengertian, hormat terhadap
orang lain, suatu penghormatan yang lahir dari iman (Breire, 2003: 38-42).
3) Bimbingan bagi Para Biarawan-Biarawati
Pembaruan tarekat-tarekat yang sesuai sangat tergantung dari pembinaan para anggota. Oleh karena itu perlu pembinaan mereka dibidang religius maupun kerasulan, begitu pula pendidikan pengetahuan maupun kejuruan, termasuk pula untuk mendapat ijazah yang diperlukan. Tetapi penyesuaian hidup religius dengan tuntutan-tuntutan zaman kita sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Untuk maksud itu hendaknya mereka-sesuai dengan bakat-kecerdasan dan watak-perangai pribadi masing-masing diberi pendidikan secukupnya tentang cara-cara hidup dan cara-cara berpandangan serta berpikir dalam masyarakat sekarang. Untuk itu para pemimpin hendaknya sedapat mungkin menciptakan kemungkinan serta mengusahakan bantuan dan waktu bagi mereka. Termasuk tugas para pemimpin juga: mengusahakan supaya moderator, para pembimbing rohani dan para dosen dipilih dengan sangat cermat dan disiapkan dengan sungguh baik (Perfectae Caritatis, artikel 18)
Bimbingan bagi religius dimaksudkan untuk hidup menurut semangat
Injil. Hidup menurut nasihat Injil berarti hidup yang diisi oleh cinta Kristus,
nasihat Injil untuk mengubah dunia. Dengan mengikrarkan ketiga kaul, setiap
religius dijadikan bebas untuk Allah dari ikatan afeksi, milik dan kekuasaan.
a) Keperawanan
Cinta kepada Tuhan dengan hati yang tidak terbagi. Berarti hubungan
dengan Tuhan melalui Kristus dalam Roh Kudus menjadi pusat dalam hidup
afeksi kita. Selibat ini langsung menyentuh kecenderungan yang lebih dalam dari
kodrat kemanusiaan kita. Keperawanan membebaskan hati manusia sedemikian
rupa hingga membakar hatinya semata-mata dengan cinta kepada Tuhan dan
sesama. Pembinaan hidup perawan punya tujuan-tujuan sebagai berikut:
(1)Bersyukur dan bergembira karena dipanggil Kristus secara pribadi.
(2)Membangun semangat rekonsiliasi, bimbingan rohani rutin, dan semangat
cinta persaudaraan dalam komunitas.
(3)Mewujudkan buah-buah keperawanan dalam bentuk kesuburan hidup rohani
dan karya pelayanan.
(4)Menciptakan suasana hidup penuh kepercayaan antara terbimbing dan
pembimbing. Pembimbing selalu siap sedia mendengarkan dengan penuh
kasih apa pun yang diungkapkan terbimbing dalam bimbingan, berusaha
menerangi dan menyemangati terbimbing.
(5)Mencoba bertindak bijaksana dalam komunikasi dan pergaulan antarpribadi
agar menghindari bahaya (Mardi Prasetyo, 2001: 92-94).
b) Kemiskinan
Penghayatan kemiskinan sebagaimana Kristus yang miskin dalam
kepemilikan maupun semangat, hidup kerja keras sebagaimana orang miskin,
kemiskinan di sekitarnya entah yang dialami oleh seseorang maupun kelompok
mestinya menumbuhkan keprihatinan dan pemilihan gaya hidup sederhana
dengan sikap lepas-bebas yang bersumber dari dalam batinnya (Mardi Prasetyo,
2001: 94-95).
c) Ketaatan
Ketaatan pertama-tama dihunjukkan kepada Allah dan bukan kepada
manusia namun Gereja mengakui bahwa orang-orang yang berkaul harus taat
kepada pemimpin sebagai wakil Allah yang sah. Ketaatan dapat dipahami sebagai
penyerahan kehendak kepada pemimpin sebagai wakil Allah. Ketaatan sama
sekali bukan perendahan martabat manusia karena ketaatan ini murni sarana
dalam mengikuti Kristus yang taat pada kehendak Bapa (Mardi Prasetyo, 2001:
96-97).
b. Bimbingan Rohani menurut Pelaksanaan dan Prosesnya
Model bimbingan rohani menurut bentuk pelaksanaannya dapat dibagi
dalam tiga macam, 1) bimbingan yang edukatif dan informatif, 2) bimbingan yang
kebapaan dan keibuan, 3)bimbingan rohani dalam persahabatan, 4)Proses
pelaksanaan.
1) Bimbingan yang Edukatif dan Informatif
Bimbingan ini dicirikan oleh banyaknya pengajaran dan informasi yang
yang masih tahap pemula yakni pada masa aspiran, postulan dan novis. Peran
pembimbing rohani sangat menonjol dengan memberikan informasi dalam
berbagai ajaran misalnya ajaran teologis, ajaran moral maupun rohani. Dalam
model ini pembimbing cenderung bersifat otoritatif. Tujuan utama bimbingan
model ini adalah untuk mengajar dan mendidik terbimbing agar memahami
panggilan kristiani maupun panggilan hidup religius (Darminta, 2006: 23).
2) Bimbingan yang Kebapaan atau Keibuan
Dalam model ini hubungan keduanya bisa terarah pada relasi antara bapa
atau ibu dengan anak rohani. Dalam relasi demikian dapat terjadi hubungan
afektif yang mendalam hingga kepersahabatan rohani yang sejati. Model
bimbingan ini cocok bagi tahap pemula maupun suster yunior karena pada
kenyataan semua orang yang masih dalam tahap pembinaan membutuhkan sosok
pembimbing yang kebapaan maupun keibuan (Darminta, 2006: 23-24).
3) Bimbingan Rohani dalam Persahabatan
Model ini terjadi antara dua orang yang sudah dewasa. Ciri kedewasaan
misalnya mempunyai hati nurani yang cukup terdidik, merdeka dan
bertanggungjawab menjadi dasar antara orang yang membimbing dan orang yang
dibimbing. Ada perbedaan dalam kompetensi namun tidak ada rasa lebih dari
pihak yang membimbing. Dasar untuk membangun hubungan adalah cinta
persaudaraan antara anak-anak Allah. Orang yang membimbing bersedia melayani
rohani. Dalam hubungan ini ada saling hormat, saling terbuka, dan saling
mempercayai. Pembimbing menjadi sahabat dan penunjuk jalan dalam perjalanan
hidup rohani orang yang dibimbing. Bimbingan ini cocok untuk yunior, medior
maupun senior (Darminta, 2006: 22-25).
4) Proses Bimbingan Rohani
Proses bimbingan rohani hampir sama dalam setiap bentuk bimbingan
menurut pelaksanaan ini yakni terdiri dari tiga bagian; 1) bagian pembuka, 2)
bagian inti dan 3) bagian penutup. Namun ada perbedaan pada bagian inti. Di
bawah ini akan dijelaskan secara singkat ketiga bagian tersebut.
(a) Pembuka
Pada bagian pembuka ini selalu diawali dengan menciptakan suasana
yang enak dan rileks (tidak tegang) tempat duduk dalam posisi nyaman untuk
bicara, ruangan yang mendukung, maupun sikap ramah dari pembimbing yang
menciptakan suasana nyaman bagi terbimbing. Setelah merasa cukup rileks bagi
kedua belah pihak pembimbing akan memulai dengan doa singkat.
(b) Inti
(1) Bentuk bimbingan yang Edukatif dan Informatif
Pada bagian inti ini, pada proses pembimbing yang memberikan
sejumlah ajaran baik teologis maupun moral dan hal-hal yang mendukung kepada
bimbingan ini melulu pengajaran namun tetap memperhatikan kebutuhan konkret
dari terbimbing.
(2) Bentuk bimbingan yang Kebapaan dan Keibuan
Proses bimbingan terjalin dengan cukup rileks dan terbuka karena relasi
afeksi yang terjadi diantara pembimbing dan terbimbing. Pembicaraan akan
mudah mengalir sampai pada hal-hal yang pribadi karena masing-masing
memiliki kepercayaan yang tinggi satu sama lain. Meskipun kedudukan berbeda
misalnya antara senior (pembimbing) dan yunior (terbimbing) namun komunikasi
mereka mendalam. Kemendalaman tersebut dapat dilihat dari sikap terbuka dan
jujur, akan seluruh pergulatan hidup terbimbing dan pembimbing hadir sebagai
ibu atau bapak rohani yang membantu mereka untuk semakin mengenal dan
menerima diri serta menerima orang lain dalam kelebihan dan kekurangannya
sehingga memungkinkan terbantunya terbimbing mencapai kedewasaan rohani.
(3) Proses Inti dalam Bimbingan Rohani bentuk Persahabatan
Pada proses inti ini terjadi komunikasi dari hati ke hati. Maka bisa
dibayangkan pembimbing dan terbimbing luwes untuk membicarakan hal-hal
yang mereka pandang perlu untuk dikomunikasikan yang bertujuan kepada
kedewasaan pribadi dan rohani (spiritual) mereka.
(c) Penutup
Pada bagian penutup selalu akan diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh
terbimbing sebagai kesempatan untuk merangkumkan seluruh isi bimbingan
c. Bimbingan menurut Situasi Konkret dan Kebutuhan Orang yang Dibimbing
Bimbingan rohani diberikan sesuai dengan kebutuhan konkret orang
seperti: 1) bimbingan kepada kaum muda, 2) bimbingan kepada keluarga, 3)
bimbingan bagi orang yang mengatasi krisis hidup, 4) bimbingan bagi orang yang
akan menentukan jalan panggilan hidup (Darminta, 2006: 25).
1) Bimbingan bagi Kaum Muda.
Bimbingan ini memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kaum muda berupa
nilai-nilai yang dianut kaum muda, tingkat penghayatan iman dalam hidup kaum
muda, tingkat keterbukaan kaum muda akan anugerah rahmat Allah yang
bertujuan pada pengembangan kepekaan akan kehidupan yang relasional yang
mencerminkan kedalaman tanggung jawab dan cinta terhadap orang lain:
keluarga, teman (Shelton, 1988: 54).
2) Bimbingan bagi Keluarga
Keluarga adalah seminarium, persemaian hidup, nilai dan iman;
cerminan kasih Kristus kepada Gereja. Keluarga amat penting, oleh karena itu
menjadi alamat kasih bimbingan. Keluarga adalah komunitas pertama dan asal
mula keberadaan setiap manusia dan merupakan persekutuan pribadi-pribadi
(comunio personarum) yang hidupnya berdasarkan dan bersumber pada
asal dan upaya efektif untuk membangun masyarakat yang manusiawi dan rukun.
Oleh karena itu, keluarga Katolik diharapkan dapat menyumbangkan
keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai Katolik yang dimiliki dan dihayatinya (KWI, 2011: 18).
3) Bimbingan bagi Orang yang Mengatasi Krisis Hidup
Hampir semua orang pernah menghadapi yang namanya krisis dalam
perjalanan hidupnya entah itu krisis komunikasi, krisis kepercayaan diri dll. Krisis
merupakan saat sulit bagi mereka yang sedang mengalaminya dan seringkali
membutuhkan bantuan dari mereka yang memiliki pengalaman dan pengetahuan
untuk menolong mereka menangani krisis yang sedang dialami seseorang itu
sehingga ia bisa keluar dari krisis itu dan belajar dari pengalaman tersebut.
4) Bimbingan bagi Orang yang akan Memilih Panggilan Hidup
Dalam konteks Gereja Katolik ada beberapa jenis status yang biasa
disebut sebagai panggilan hidup misalnya panggilan menjadi Imam,
biarawan-biarawati, berkeluarga atau memilih hidup sendiri tidak menjadi Imam dan
biarawan-biarawati tetapi juga tidak menikah (berkeluarga) namun mereka
bekerja dengan giat dalam bidang sosial. Semua jenis panggilan di atas dipandang
baik karena itulah banyak orang mengalami kebingungan untuk menentukan
pilihan yang tepat dan sesuai dengan dirinya. Orang yang dalam kondisi
kebingungan membutuhkan bantuan dan pertolongan guna menemukan status atau
pilihan hidup, oleh karena itu orang dalam kondisi ini perlu dibantu agar dapat
4. Peranan Pembimbing Rohani
Pembimbing rohani harus melaksanakan bimbingan dalam rangka hidup
menggereja dan atas nama gereja, maupun demi pelayanan bagi orang yang
dibimbing. Karena kehadirannya merupakan kehadiran yang personal, maka
bimbingan rohani juga mencakup suatu proses kesatuan hidup dalam Kristus.
Adapun peranan pembimbing adalah:
a. Membimbing
Orang yang membimbing harus lebih unggul dari pada yang mereka
bimbing, misalnya harus memiliki pengetahuan dan pengalaman rohani melebihi
orang yang dibimbing dan kelebihan itu dapat membantu terbimbing tersebut,
namun demikian bukan berarti terbimbing sama sekali belum dewasa tetapi sudah
mengarah kesana, dan dalam kenyataan demikian baru mungkin ada komunikasi
antarpribadi antara pembimbing dan terbimbing.
b. Sahabat dan Teman Perjalanan
Pembimbing rohani hadir sebagai sahabat dan teman perjalanan bagi
orang yang dibimbing, ia menjadi orang yang penuh perhatian, mendengarkan,
bersikap empatik terhadap orang yang dibimbing, dengan demikian pembimbing
rohani bukanlah penentu jalan hidup bagi orang yang dibimbing. Dia menjadi
sahabat yang menemani dan membantu perjalanan hidup orang itu, sebagai
orang yang ditemani dan membantu perjalanan iman terbimbing (Darminta, 2006:
36).
c. Penopang
Seorang pembimbing rohani sudah memiliki pengalaman hidup bersama
Allah, ia mengenali kehadiran Allah dalam setiap pengalamannya. Berdasarkan
pengalaman itu pula ia mampu menopang orang yang dibimbing sehingga selalu
mampu memusatkan hidupnya kepada Allah. Menopang juga dalam arti
mempermudah orang yang dibimbing dalam penghayatan hidup bersama Allah
dalam hidup konkret setiap hari. Terbimbing diharapkan sampai pada pengalaman
iman yang personal, konkret dan historis dan menghayatinya secara otentik lewat
penegasan rohani, yang dilakukan dalam suasana doa dan refleksi rohani, yang
menumbuhkan percakapan dari hati ke hati dengan Allah (Darminta, 2006: 36).
d. Teladan
Seorang pembimbing rohani adalah orang yang bergaul erat dengan
Allah serta memiliki pengalaman dalam penghayatan imannya, mengenal gerakan
roh dan seorang pendoa sejati. Pembimbing juga harus memiliki kemampuan
untuk membantu orang lain masuk kedalam pergaulan dengan Allah. Walaupun
kita sadari bahwa pembimbing rohani itu juga adalah suatu karunia roh atau suatu
karisma.
Seorang pembimbing harus mampu membangun hubungan secara
dibimbingnya, artinya bahwa orang yang dibimbing semakin mengenal dirinya
secara mendalam, tetapi bukan diri yang tertutup melainkan diri yang terbuka
kepada roh. Kehadiran personal ini merupakan komunikasi dalam iman.
Komunikasi ini biasanya terjadi dengan adanya wawancara, yang sifatnya lebih
memperjelas kesatuan hidup itu sendiri. Dengan demikian wawancara/sharing
merupakan bagian sentral dalam bimbingan rohani. Karenanya, bimbingan rohani
juga mengandaikan suatu seni wawancara. Kemampuan wawancara merupakan
tuntutan mutlak dari seorang pembimbing (Darminta, 2006: 37).
B. Kemampuan Komunikasi Antarpribadi
Pada bagian ini akan diulas sejumlah hal, antara lain 1) pengertian komunikasi secara umum, 2) Unsur-unsur komunikasi, 3) pengertian komunikasi
antarpribadi, 4) Syarat-syarat terjadinya komunikasi, 5) Tingkatan komunikasi.
1. Pengertian Komunikasi secara Umum
Kata komunikasi berasal dari kata latin cum yaitu kata depan yang berarti
dengan, bersama dengan, dan unus yaitu kata bilangan yang berarti satu. Dari
kedua kata ini terbentuk kata benda communio dan dalam bahasa Inggris menjadi
communion yang berarti kebersamaan, persekutuan, gabungan, pergaulan, hubungan. Untuk ber-communio dibutuhkan usaha dan kerja, dari kata itu dibuat
kata kerja communicare yang berarti membagi sesuatu dengan seseorang,
kepada seseorang, memberitahukan sesuatu kepada seseorang, bercakap-cakap,
bertukar pikiran, berhubungan, berteman. Proses dalam komunikasi adalah proses
penyampaian pikiran atau perasaan oleh seorang (komunikator) kepada orang lain
(komunikan) (Agus M. Hardjana, 2003: 10). Harold Laswell dalam karyanya ”The
Structure and Function of Communication in Society” mengartikan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
Steven J. Stein, Ph.D dan Howard E. Book, M. D. dalam bukunya yang
berjudul Ledakan EQ (2000: 165) mengungkapkan bahwa komunikasi
antarpribadi adalah kemampuan membina dan memelihara hubungan yang saling
memberi serta menerima kasih sayang. Keterampilan menjalin hubungan
antarpribadi yang positif dicirikan oleh kepedulian kepada sesama. Hal-hal yang
dibutuhkan dalam memelihara komunikasi antarpribadi yang baik:
• Pertama: menyangkut sikap menyadari lingkungan sosial kita; bagian ini
mengajari kita tentang kapan, di mana, dan mengapa kita memulai dan
mengakhiri berbagai macam antaraksi.
• Kedua: yakni peningkatan keterampilan antarpribadi, menyangkut aspek
verbal maupun nonverbal antaraksi ini-cara menjadi pendengar yang
baik, cara mengalihkan topik pembicaraan.
• Ketiga: menyorot keterampilan berbicara di depan khalayak. Apabila kita
merasa nyaman berbicara di depan sekelompok orang, kita berpeluang
lebih besar untuk dapat mengembangkan jaringan pergaulan yang
dan bermakna. Ranah antarpribadi berkaitan dengan “keterampilan
bergaul” yang kita miliki. Kemampuan kita berinteraksi dan bergaul baik
dengan orang lain, terdiri dari tiga skala: (1) empati adalah kemampuan
untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Tanggung jawab sosial
adalah kemampuan untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat
bekerja dan yang bermanfaat bagi kelompok masyarakatnya. Hubungan
antapribadi mengacu pada kemampuan untuk menciptakan dan
mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan, dan ditandai
oleh saling memberi dan menerima dan rasa kedekatan emosional. (2)
ranah penyesuaian diri berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap
lentur dan realistis, dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul.
(3) uji realitas adalah kemampuan untuk melihat sesuai dengan
kenyataannya, bukan seperti yang kita inginkan atau takuti; sikap
fleksibel kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan
tindakan kita dengan keadaan yang berubah-ubah dan pemecahan
masalah yakni kemampuan untuk mendefenisikan permasalahan,
kemudian bertindak untuk mencari dan menerapkan pemecahan yang jitu
dan tepat.
2. Unsur-unsur dalam Komunikasi
Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yakni komunikator, medium,
komunikan, prosedur pengiriman pesan, tanggapan/reaksi. Unsur-unsur pokok