• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI DESKRIPSI PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI FSE ANGKATAN 2002─2008 TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ANTARA MEREKA DENGAN PEMIMPIN KOMUNITAS DALAM BIMBINGAN PRIBADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI DESKRIPSI PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI FSE ANGKATAN 2002─2008 TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ANTARA MEREKA DENGAN PEMIMPIN KOMUNITAS DALAM BIMBINGAN PRIBADI"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DESKRIPSI PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI FSE ANGKATAN 2002─2008 TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

ANTARA MEREKA DENGAN PEMIMPIN KOMUNITAS DALAM BIMBINGAN PRIBADI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Noren NIM : 021114014

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

¾ Serahkanlah segala kecemasanmu kepada Tuhan sebab Ia yang memelihara kamu (1 Petrus 5:7).

¾ Jangan menggantungkan harapanmu pada manusia semata, akan tetapi berharaplah pada Kasih setia-Nya yang tak pernah mengecewakanmu. ¾ Pengalaman adalah”guru” yang paling baik.

PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan kepada

Persaudaraan suster Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE)

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 September 2009

Penulis,

(6)

vi

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata DharmaYogyakarta:

Nama : Noren

NIM : 021114014

Demi pengembangan ilmu pengetahuan saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: DESKRIPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI FSE ANGKATAN 2002—2008 TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ANTARA MEREKA DENGAN PEMIMPIN KOMUNITAS DALAM BIMBINGAN PRIBADI. Dengan demikian saya memberikan hak kepada Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 30 September 2009 Yang menyatakan

(7)

vii

ABSTRAK

DESKRIPSI PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI FSE ANGKATAN 2002─2008 TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

ANTARA MEREKA DENGAN PEMIMPIN KOMUNITAS DALAM BIMBINGAN PRIBADI

Noren

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2009

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) persepsi para suster yunior kongregasi FSE angkatan 20022008 tentang komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi (2) persepsi para suster yunior kongregasi FSE angkatan 20022008 tentang setiap unsur komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi. Subyek penelitian ini adalah para suster yunior kongregasi FSE angkatan 2002−2008 berjumlah 33 suster yang ada di propinsi Sumatera utara, DKI Jakarta dan DIY.

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode survei dengan mengunakan kuesioner. Kuesioner ini terdiri dari 50 item mengenai lima unsur komunikasi antarpribadi yaitu unsur pembukaan diri, saling membangun kepercayaan, saling mendengarkan sambil memahami, saling mengungkapkan perasaan secara verbal dan non verbal, saling menerima dan mendukung.

(8)

viii

THE DESCRIPTION OF THE JUNIOR SISTER’S PERCEPTION OF FSE CONGREGATION FROM THE YEAR OF 2002-2008, ABOUT THE

COMMUNICATION INTER-PERSONAL BETWEEN THEM AND THE COMMUNITY LEADER IN THE PERSONAL COUNSELING

Noren

Sanata Dharma University. Yogyakarta

2009

The purpose of this research was conducted to know; (1) The perception of the FSE junior sisters from the year of 2002-2008 about the inter-personal communication between them and the community leader in personal counseling. (2) The perception of FSE junior sister from the year of 2002-2008 about each cases in the inter -personal communication between them and the community leader in the personal counseling. The research subjects are: the junior sisters of FSE Congregation in the year of 2002-2008. The number respondents are 33 sisters who live in North Sumatera, DKI Jakarta and DIY.

The researcher used the descriptive research with the survey method by using questioners that consist of 50 items related to the inter-personal communication theory. They are: Opening personal minded, Building the trust, Listening and Understanding each other, Sharing of feelings in verbal and non verbal, Receiving and Supporting each other.

The results of this research are: (1)There are 31 junior sisters of FSE Congregation (94%) have perception that the inter-personal communication between them and the community leader in the personal counseling is “good qualification”. (2) There are 2 junior sisters of FSE (6%) have perception that the inter- personal communication between them and the community leader in the personal counseling is “good enough”.

(9)

ix

KATAPENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas bimbingan berkat, rahmat dan karunia-Nya yang telah penulis terima selama proses penulisan skripsi ini sampai selesai. Penulis sungguh-sungguh sadar bahwa ada banyak pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam membantu proses perkuliahan sampai penulis dapat menyusun skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si, sebagai Ketua Prodi Bimbingan dan Konseling, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dra. Ignatia Esti Sumarah, M. Hum sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dengan penuh kesetiaan, kesabaran dan ketekunan dalam membimbing penulis menyusun skripsi ini sampai selesai.

3. Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A sebagai dosen penguji satu yang dengan dan sabar dan setia memeriksa, mengkritisi, memberikan masukan dan saran selama proses penulisan skripsi.

4. A. Setyandari, S. Pd, Psi, M.A, sebagai Dosen penguji kedua dan sekaligus Sekretaris Prodi Bimbingan Konseling yang sudah membantu penulis untuk mencarikan dosen penguji.

(10)

x

sebagai bekal hidup yang berharga.

7. Pegawai Sekretariat Program Studi Bimbingan dan Konseling yang selalu setia memberikan pelayanan dalam hal administrasi.

8. Pihak Perpustakaan yang memberikan pelayanan yang baik dengan meminjamkan buku-buku pendukung selama perkuliahan sampai penulisan skripsi.

9. Sr.M.Wilfrida Simblon FSE. Sebagai Pemimpin Umum Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth yang telah mengijinkan peneliti untuk mengadakan penelitian kepada suster-suster yunior kongregasi FSE.

10.Para Pemimpin Komunitas yang telah mendukung dan memperlancar proses jalannya penelitian.

11.Para Suster FSE Komunitas Santo Yohanes Don Bosco Yogyakarta yang dengan setia mendukung dan mendoakan peneliti selama proses perkuliahan sampai selesai.

12.Para suster yunior FSE yang bersedia mengisi kuesioner yang digunakan untuk penulisan skripsi.

13.Fr. Paulus Paji Keban CMM, Rm Agustinus Pr, Br Cypri OFM yang selalu setia mendukung dan mendoakan peneliti dan siap sedia membaca serta mengkritisi skripsi.

(11)

xi

15.Saudara Asep, mbak Ola, Ina, Sari, Arya dan teman-teman Prodi BK angkatan 2002 dan 2003 yang selalu memberikan semangat baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal penulisan skripsi sampai selesai.

16.Sahabat-sahabat dan teman-teman yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang mendukung penulis selama menjalani tugas belajar di Universitas Sanata Dharma.

Penulis sadar bahwa dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan karena keterbatasan kemampuan peneliti. Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi semua pihak terlibat dalam pembinaan suster-suster yunior.

Yogyakarta, 30 September 2009 Penulis

(12)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………. .. vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GRAFIK……… . xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Defenisi Operasional ... 8

BAB II: KAJIAN TEORITIS ... 10

A. Hakekat Persepsi ... 10

1. Pengertian persepsi ... 11

2. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi persepsi suster yunior……….. 11

a. Perhatian (Attention)... .. 11

b. Fungsional……… 11

(13)

xiii

3. Syarat terjadinya persepsi……… 12

a. Adanya Obyek yang dipersepsikan……… 13

b. Adanya indera atau reseptor……….. 13

c. Menyadari atau mengadakan………. 13

B. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth ... 14

1. Gambaran Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth .. 14

a.Kongregasi FSE di Belanda ... 14

b.Kongregasi FSE di Indonesia ... 17

2. Pembinaan Para Suster Yunior di Indonesia ... 21

a. Aspek Kepribadian……… 22

b. Aspek Kharisma……… 22

c. Aspek Fransiskan……….. 23

c. Aspek Hidup Religius……….. . 24

d. Aspek Apostolat (Kerasulan)………. 26

3. Pemimpin Komunitas di Kongregasi FSE………….. ... 27

a. Pengertian Pemimpin Komunitas ………. 27

b. Peran Pemimpin Komunitas dalam Bimbingan pribadi 27 4. Bimbingan pribadi di Kongregasi FSE……… 29

a. Pengertian Bimbingan Pribadi……… 29

b. Tujuan Bimbingan Pribadi di Kongregasi FSE……. 29

C. Komunikasi Antarpribadi Pemimpin Komunitas dengan Suster Yunior ………. . 32

1.Pengertian Komunikasi Antarpribadi……….. . 32

2.Unsur-unsur Komunikasi Antarpribadi………. ... 32

a. Unsur Pembukaan Diri……….. 33

b. Unsur Saling Membangun Kepercayaan………….. . 34

c. Unsur Saling Mendengarkan Sambil Memahami….. 36

d. Unsur Saling Mengungkapkan perasaan secara verbal dan secara non verbal. ... 36

(14)

xiv

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 41

A. Jenis Penelitian ... 41

B. Subyek Penelitian. ... 41

C. Instrumen Penelitian ... 42

1. Alat Pengumpul Data ... 42

2. Kisi-kisi Penelitian ... 44

3. Validitas ……… 46

4. Reliabilitas Kuesioner ... 47

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 48

E. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Hasil Penelitian ... 53

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(15)

xv

DAFTAR TABEL

H alaman

Tabel 1: Penyebaran Kuesioner ………. 42

Tabel 2: Kisi-kisi Kuesioner Penelitian ……… 44

Tabel 3: Kriteria Acuan Kategorisasi Komunikasi Antarpribadi Tabel 4: Kategori Unsur Pembukaan Diri dalam Komunikasi

Antar pribadi... 54 Tabel 5: Kategori Unsur Saling Membangun Kepercayaan… …… … 54 Tabel 6: Kategori Unsur Saling Mendengarkan Sambil Memahami…. 54 Tabel 7: Kategori Unsur Saling Mengungkapkan Perasaan secara Tabel 8: Kategori Unsur saling menerima dan mendukung… ……. .. 55 Tabel 9: Kategori (Gabungan Semua Unsur/ Komposit) dalam

(16)

xvi

Halaman

Grafik : Skor Rata-rata Persepsi Suster Yunior FSE Angkatan

tentang Komunikasi Antarpribadi Antara Mereka

(17)

xvii

LAMPIRAN

Lampiran 1: Pengantar Kuesioner ... 63

Lampiran 2: Kuesioner Penelitian ... 63

Lampiran 3:Tabulasi Data Hasil Penelitian ………. 67 Lampiran 4: Kualifikasi Perolehan Skor setiap Unsur Komunikasi

Antarpribadi Para suster Yunior dengan Pemimpin

Komunitas dalam Bimbingan Pribadi………. 72 Lampiran5: Kategorisasi Skor Gabungan persepsi suster Yunior FSE 74 Lampiran 6: Hasil analisis klasifikasi Komunikasi Antarpribadi

Para suster yunior FSE dengan pemimpin komunitas

(18)

PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) adalah serikat para suster yang didirikan oleh Sr. M. Mathilda Leenders dan disahkan oleh Mgr. Hendrikus Van Beek, Pr. pada tanggal 1 Agustus 1880 di Breda (Belanda). Kemudian Para Suster FSE dari Belanda mengembangkan karya FSE ke Negara Indonesia tanggal 29 September 1929. Pada awalnya, Kongregasi ini bernama Penitenten Recolectinen Van De Heilige FransiscusVan Asissi yang sekarang dikenal dengan nama Kongregasi FSE dengan ciri khas hidup dalam semangat pertobatan secara terus-menerus/peniten recolectin (Konstitusi, 2000: A).

(19)

2

mencintai Kongregasi FSE lewat hidup persaudaraan dan karya perutusan.

(20)

melaksanakan perutusan secara lebih baik, sambil mempersiapkan dirinya untuk kaul kekal.

Kegiatan bimbingan pada masa yuniorat di Kongregasi FSE dilaksanakan oleh Tim Pembina. Tim pembina terdiri dari pemimpin komunitas, pemimpin karya, dan pembimbing rohani. Penelitian ini difokuskan pada komunikasi antarpribadi yang terjadi antara pemimpin komunitas dengan suster yunior yang dibina. Pandangan atau persepsi suster yunior tentang komunikasi antarpribadi dari pihak pemimpin komunitas disoroti juga dalam penelitian ini dengan alasan: pertama, pemimpin komunitas mempunyai peluang yang lebih banyak untuk mengikuti perkembangan suster yunior secara langsung dalam hidup berkomunitas. Kedua, pemimpin komunitas mempunyai tanggung jawab utama sebagai fasilitator untuk membantu perkembangan hidup panggilan para suster

yunior di komunitas.

Pemimpin komunitas membina para suster yunior dengan dua cara: Pertama, pemimpin komunitas memberikan teladan hidup (perilaku) dengan menghidupi nilai-nilai hidup dan kekhasan di Kongregasi FSE. Kedua, pemimpin komunitas membina suster yunior melalui pertemuan secara pribadi yang disebut bimbingan pribadi. Untuk itu, para suster yunior minimal sekali dalam tiga bulan diwajibkan mengikuti bimbingan pribadi dengan pemimpin komunitas (Statuta, 2000 pasal 4: 64.3).

(21)

4

mengungkapkan kepada pemimpin komunitas pengalaman dan pergulatan dalam menjalani panggilan sebagai religius dalam hidup sehari-hari. Pertemuan pemimpin komunitas dengan susteryunior dalam bimbingan pribadi akan menjadi efektif apabila dalam pertemuan itu terjadi komunikasi antarpribadi yang baik dan tepat. Menurut Supratiknya (1995:14–73), ada lima unsur komunikasi antarpribadi, yaitu pembukaan diri/self-disclosure, membangun kepercayaan, mendengarkan sambil memahami, mengungkapkan perasaan, dan menerima dan mendukung. Kelima unsur tersebut dalam kaitannya dengan komunikasi antara pemimpin komunitas dengan suster yunior akan diuraikan di bawah ini:

Unsur pembukaan diri/self-diclousure dalam konteks bimbingan pribadi nampak dalam hal suster yunior mengungkapkan kepada pemimpin secara jujur dan terbuka pengalaman suka dan duka dalam menghayati kharisma, hidup persaudaraan, tugas studi, hidup doa, ketiga kaul, dan kerasulan. Dengan demikian, suster yunior menampilkan jati dirinya secara utuh dan tidak menyembunyikan hal-hal yang dapat menghambat panggilanya (“daerah terbukanya” semakin luas sedangkan “daerah buta” dan daerah tersembunyi” semakin kecil). Sebaliknya, pemimpin komunitas menunjukkan sikap jujur dan terbuka menerima pembukaan diri suster yunior.

(22)

menunjukkan penerimaan, dukungan, dan kerjasama maupun merespons secara positif pembukaan diri para suster yunior tersebut.

Unsur saling mendengarkan sambil memahami dalam proses bimbingan pribadi nampak dalam hal pemimpin komunitas mendengarkan dengan sungguh-sungguh semua pengalaman dan pergulatan suster yunior, baik dalam suka maupun duka dalam menghayati kharisma, hidup persaudaraan, tugas studi, hidup doa, ketiga kaul, dan kerasulan. Dengan demikian, pemimpin komunitas memahami, menaruh empati dan menangkap pesan secara tepat dari para suster yunior, baik melalui bahasa verbal maupun nonverbal. Sebaliknya suster yunior mendengarkan pesan ataupun nasehat dengan sungguh-sungguh respon dari pemimpin komunitas dan menanggapi secara tepat.

(23)

6

kepada pemimpin bahwa ia sangat sedih karena penderitaan fisiknya, dan pemimpin komunitas memberikan umpan balik yang menunjukkan bahwa pemimpin komunitas juga berbelarasa pada penderitaan yang dialami oleh suster yunior.

Unsur menerima dan mendukung dalam komunikasi antarpribadi ditunjukkan pihak pemimpin komunitas yang telah dipercayai dengan berperan sebagai “penolong” untuk membantu suster yunior yang telah mengutarakan masalah pribadinya yaitu pergulatannya dalam menghayati panggilannya.

Dengan mengoptimalkan kelima unsur komunikasi antarpribadi tersebut dalam proses bimbingan pribadi, pemimpin komunitas dan suster yunior dapat menjalin komunikasi yang baik. Dengan berlangsungnya komunikasi anatrpibadi yang baik dan lancar diharapkan tujuan pembinaan tercapai.

Menurut pendapat peneliti bahwa tujuan pembinaan dapat tercapai apabila pemimpin komunitas dengan suster yunior mampu menjalin komunikasi yang baik dalam bimbingan pribadi. Mengingat pentingnya komunikasi yang baik demi barhasilnya bimbingan pribadi bergunalah diungkapkan bagaimana sebenarnya pandangan atau persepsi suster yunior tentang kemampuan mereka sendiri dan kemampuan pemimpin komunitas dalam melakukan komunikasi antarpribadi. Untuk inilah perlu diadakan penelitian.

B. Rumusan Masalah

(24)

1. Bagaimanakah persepsi para suster yunior kongregasi FSE angkatan 2002– 2008 tentang komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi?

2. Bagaimanakah persepsi para suster yunior kongregasi FSE angkatan 2002– 2008 tentang setiap unsur komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang persepsi suster yunior kongregasi FSE angkatan 2002–2008 tentang komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi sebagai bahan masukan untuk perbaikan atau peningkatan efektivitas pembinaan hidup membiara.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi suster yunior FSE, pemimpin komunitas FSE, peneliti, dan peneliti lain.

1. Bagi Suster Yunior FSE

(25)

8

2. Bagi Pemimpin Komunitas FSE

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan kepada pemimpin komunitas dalam rangka meningkatkan efektivitas komunikasi antarpribadi dalam bimbingan pribadi.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini menyadarkan peneliti bahwa peneliti sebagai seorang konselor perlu meningkatkan kemampuan dalam komunikasi antarpribadi agar mampu menjalin relasi yang akrab sehingga proses pembinaan dapat lancar.

4. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi peneliti lain yang ingin mendalami komunikasi antarpribadi dalam rangka pembinaan seperti pembinaan para suster yunior di kongregasi FSE.

E. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman tentang penelitian ini, berikut dijelaskan defenisi operasional dari beberapa istilah:

1. Deskripsi dalam penelitian ini menunjuk pada upaya menggambarkan persepsi para suster yunior kongregasi FSE tentang komunikasi antarpribadi antara pemimpin komunitas dengan mereka.

(26)

pemimpin komunitas dan para suster yunior kongregasi FSE angkatan 2002−2008 dalam bimbingan pribadi.

3. Komunikasi antarpribadi dalam penelitian ini diartikan sebagai interaksi yang terjadi antara suster yunior dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi dengan mengusahakan terjadi pembukaan diri, saling membangun kepercayaan, saling mendengarkan sambil memahami, saling mengungkapkan perasaan secara verbal dan non verbal, dan saling menerima dan mendukung, seperti yang dimaksudkan dalam kuesioner.

4. Bimbingan pribadi adalah pendampingan secara individual yang dilaksanakan oleh pemimpin komunitas dengan suster yunior yang dibinanya minimal satu kali dalam tiga bulan. Dalam pertemuan ini dibicarakan secara terbuka aspek-aspek atau isi pembinaan yaitu kepribadian, kharisma, fransiskan, hidup religius dan kerasulan.

(27)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

Pada bab ini diuraikan enam hal, yaitu hakekat persepsi, Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth, pembinaan para suster yunior, pemimpin komunitas, bimbingan pribadi, dan komunikasi antarpribadi.

A . Hakekat Persepsi

1. Pengertian Persepsi

Proses didahului oleh penginderaan, yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya (Walgito, 1993: 53). Menurut Harjana (2003: 42) persepsi adalah pandangan orang tentang kenyataan. Persepsi merupakan proses yang kompleks dilakukan orang untuk memilih, mengatur, dan memberi makna pada kenyataan yang dijumpai disekelilingnya. Menurut Rakhmat (2005: 51) persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Persepsi merupakan suatu tanggapan terhadap suatu obyek, peristiwa atau pengalaman tertentu yang dapat diterima dan dimengerti oleh penerima rangsangan atau stimulus sehingga diperoleh pengetahuan tentang lingkungan sekitar. Stimulus adalah segala sesuatu yang mengenai reseptor sehingga organisme menjadi aktif (Walgito, 2004: 87).

(28)

bimbingan pribadi dalam rangka proses memperkembangkan diri dalam lima aspek pembinaan.

2. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi persepsi suster yunior

Persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu: (a) faktor perhatian (Attention) (b) faktor fungsional, (c) faktor Struktural (Rakhamat, 2005: 52-59). Beberapa faktor di atas akan dijelaskan berikuti ini:

a.Faktor perhatian (Attention)

Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian mempengaruhi persepsi manusia dan stimuli itu diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol antara lain: gerak, intensitas stimuli, kebaruan dan perulangan. Dalam konteks bimbingan pribadi, suster yunior dengan pemimpin komunitas dibutuhkan perhatian (indera/mata) agar pesan verbal dan non verbal yang diterima menimbulkan persepsi tertentu.

b. Faktor fungsional

(29)

12

membantu suster yunior agar berkembang dalam panggilan. Persepsi bersifat selektif artinya pesan yang diterima berdasarkan fungsional.

c. Faktor sturktural

Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada system syaraf individu. Maksudnya kita mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsikan secara keseluruhan dengan kata lain jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Untuk memahami seseorang, kita harus melihatnya dalam konteksnya, lingkungannya dan dalam masalah yang dihadapinya. Dalam konteks bimbingan pribadi, suster yunior dengan pemimpin komunitas tentu mempersepsikan secara keseluruhan proses berlangsungnya bimbingan pribadi.

3. Syarat terjadinya persepsi

Beberapa syarat agar individu dapat menyadari dapat mengadakan persepsi (Walgito, 1993: 54):

(30)

Dalam konteks bimbingan pribadi, pertemuan antar suster yunior dengan pemimpin komunitas adanya obyek pembicaraan. Dalam pertemuan bimbingan pribadi suster yunior dengan pemimpin komunitas mempunyai tujuan untuk itu obyek pembicaraan sangat berdampak pada suster yunior dan pemimpin komunitas dalam rangka pembinaan.

b. Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimuli, di samping itu harus ada pula syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimuli yang di terima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dalam konteks bimbingan pribadi, suster yunior dan pemimpin komunitas perlu memfungsikan alat indera (mata) dengan baik agar pesan yang secara tepat dalam rangka membantu suster yunior berkembang dalam panggilan.

(31)

14

B. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth

1. Gambaran Singkat tentang Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth

(FSE)

a. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Belanda

Kongregasi FSE lahir di Belanda (Breda) pada tanggai 1 Agustus 1880. Pendiri Kongregasi FSE yaitu Sr. M. Matilda Leenders. Ia lahir tahun1825 dengan nama Wilhelmina Leenders. Ayahnya bernama Adrianus Leenders dan Ibunya Gertrude Saes. Wilhelmina Leenders dibesarkan dalam keluarga yang baik dan beriman. Sejak kecil, orangtuanya memperkenalkan hidup menggereja sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang beriman, pribadi yang berwatak kuat, bijaksana, penuh kehati-hatian dan ramah, serta peka pada situasi lingkungan. Suster M. Mathilda sebelumnya berasal dari Kongregasi Fransiskanes Alles Voor Alen (Konstitusi, 2000:A).

(32)

tidak mengenal lelah mengetuk pintu biara-biara yang berkarya di bidang kesehatan, antara lain Biara di Antwerpen dan menawarkan rencananya kepada mereka tetapi gagal. Kemudian, Mgr. Henricus van Beek, Pr mengetuk Biara Fransiskanes Alles Voor Allen (Mater Dei) dari Haagdijk.

Pada awalnya, Pemimpin Biara Mater Dei merasa berat menerima tawaran dari Mgr. Henricus van Beek, Pr karena ada ketakutan, apakah cara hidup sebagai peniten recolectin (pertobatan secara terus-menerus) dapat dipertahankan, apabila para susternya hidup di luar Biara Mater Dei dengan situasi pelayanan yang ditawarkan? Oleh karena itu Mgr.Henricus van Beek, Pr yang sudah mengenal Sr.Mathilda sebagai seseorang yang memiliki pribadi yang kuat dan beriman teguh mengatakan kepada Pimpinan Biara Mater Dei, bahwa Sr.Mathilda Leenders memiliki kemampuan untuk melayani orang sakit dan terlantar karena korban perang

(33)

16

sangat menarik perhatian gadis-gadis. Oleh karena itu dalam waktu yang singkat, dua gadis yang sudah pernah bekerja di Rumah Sakit Harlem tertarik dan bergabung dengan mereka, yakni Bertha dan Maria Berlage. Kedua calon ini dititipkansementara untuk dididik di Biara Mater Dei, kemudian mereka kembali mengikuti Sr.Mathilda. Demikianlah dari hari ke hari semakin banyak gadis-gadis bergabung dalam kelompok ini. Sr.Mathilda Leenders melihat perkembangan ini, ia akhirnya meminta kepada Mgr.Henricus van Beek Pr supaya kelompoknya dijadikan sebagai sebuah Kongregasi.

(34)

anggota pertama dari Ordo ke III Regular di Jerman. Dan sekarang, Kongregasi baru ini disebut“KongregasiFransiskanes Santa Elisabeth (FSE) .

b. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Indonesia

Pada tahun 1922, Mgr Mathias Brans OFMCap menjabat sebagai pemimpin misi di Sumatera Utara ingin mengembangkan pelayanan pastoral sosial karitatif (kesehatan) di daerah misinya. Melalui Mgr. Petrus Hopmans, OFMCap mengajukan permintaan kepada Pemimpin Umum Kongregasi FSE agar membuka komunitas dan karya baru di Indonensia. Pada tahun 1924, Moedeer Asisia sebagai Pemimpin Umum Kongregasi FSE di Belanda mengumumkan bahwa sudah diputuskan akan dibuka misi baru FSE di negara Indonesia.

Pada tanggal 16 juli 1924, empat suster (Sr.Pia, Sr.Philothea, Sr.Gonzaga, dan Sr. Antoninette) diutus ke Indonesia. Pada tanggal 29 September 1925, FSE hadir di Indonesia, tepatnya di Medan (Sumatera utara). Setibanya di Medan, mereka menempati sebuah rumah yang beralamat di 1de Wolf. Di rumah tersebut selama empat bulan, mereka kemudian pindah ke Jl. Padang Bulan, yang sekarang dikenal dengan Jl. S. Parman Kompleks SMA St. Thomas. Di rumah inilah, mereka merawat orang-orang sakit, sekaligus menjadi Biara sementara.

(35)

18

1 Februari 1934 dibangun sebuah rumah untuk menampung para penderita TBC, sekaligus tempat mengasuh anak-anak (Santa Lidwina) di Berastagi.

Awalnya, karya kesehatan berjalan dengan baik, akan tetapi situasi politik di Indonesia yang kurang menguntungkan pada saat itu (perang antarJepang dengan Indonesia). Keadaan tersebut memaksa para suster menyerahkan rumah sakit ke tangan tentara Jepang untuk menjadi markas tentara. Suster-suster ditawan dan dimasukkan ke Kamp penjara. Akibat dari siksaan, tekanan, dan kekejaman banyak suster yang meninggal dunia, di antaranya Sr- Philotea. Pada tahun 1945 perang berakhir dan suster-suster dibebaskan. Mereka menyangka bahwa setelah dibebaskan akan segera berkarya di rumah sakit, tetapi kenyataannya lain. Suster-suster ditampung di suatu tempat bersama tawanan lain untuk berlindung terhadap bahaya revolusi.

Kemudian, pada akhir tahun 1947, rumah suster dikembalikan kepada para suster dan mereka mulai tinggal di sana. Rumah sakit mulai berjalan lebih lancar dan tenaga-tenaga muda mulai berdatangan dari Belanda, walaupun mereka masih bekerja di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1950 atas kesepakatan Dr. T. Mansyur dengan Dinas Volksgezondheid secara resmi rumah sakit Santa Elisabeth diserahkan kembali kepada Kongregasi FSE.

(36)

Medan pada 19 November 1955. Kongregasi FSE, baik di Indonesia maupun di Belanda mewarisi semangat dan motto dari Mgr. Henricus van Beek, Pr dan Sr.M. Mathilda Leenders: “Ketika Aku Sakit Kamu Melawat Aku.”(Mt. 25:36). Jauh di balik motto ini, tertuang suatu kekayaan karunia Allah. Karunia inilah yang menjiwai dan menyemangati seluruh gerak hidup anggota Kongregasi FSE. Semangat ini tersimpul dalam rumusan Kharisma Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth: “Daya Kasih Kristus yang menyembuhkan orang-orang Kecil dan menderita sampai rela mati di kayu salib. Nilai-nilai hidup yaitu kasih,

Penyembuhan, pengampunan.

Nilai-nilai hidup tersebut yang menjiwai para suster FSE dalam pengabdian kepada Tuhan dalam karya-karya Kongregasi FSE baik di Indonesia maupun di Belanda. Karya-karya Kongregasi FSE di Indonesia bergerak di beberapa bidang pelayanan. Karya-karya Kongregasi tersebut misalnya: Rumah Sakit, Asrama, Panti Asuhan, Panti kusta. Pendidikan formal (Play Group, TK,

SD, SMP, SMA, dan PT). Kongregasi FSE ada di lima Keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Medan, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Pangkal Pinang, Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Atambua, dan Keuskupan

Agung Semarang.

(37)

20

sebagai generasi penerus Kongregasi mereka mempunyai cita-cita yang luhur ingin menjadi FSE yang baik belumlah mantap maka perlu mendapatkan pembinaan secara progresif agar semakin dewasa dan akhirnya menggabungkan diri secara penuh dalam kongregasi FSE. Oleh karena itu demi kelangsungan keanggotaan Kongregasi FSE dan karyanya, pihak Kongregasi menyediakan sarana dan program untuk membina para suster yunior karena mereka inilah yang kelak akan melanjutkan karya kongregasi.

(38)

2. Pembinaan Para Suster Yunior Kongregasi FSE di Indonesia

Kongregasi FSE sungguh-sungguh menyadari bahwa setiap tarekat melakukan pembinaan untuk semua anggota secara intensif dan kontinyu. Pembinaan tersebut disempurnakan sesudah profesi pertama. Tujuan pembinaan agar dapat anggota mampu menghayati khas tarekat secara lebih penuh dan mampu melaksanakan perutusan mereka secara lebih tepat (Kan, 659).

Untuk itu para suster yunior dikenal dengan istilah masa profesi sementara. Pada masa ini, suster yunior wajib menjalani masa pembinaan sebagai lanjutan dari masa novisiat dan mereka tinggal di komunitas-komunitas. Pendidikan dasar dalam Kongregasi FSE melalui tiga tahap, yaitu postulat, novisiat, dan masa profesi sementara. Pada tahap-tahap ini diharapkan calon semakin berkembang dan menjadi matang dalam kelima aspek pembinaan sehingga akhirnya ia mampu hidup seturut Konstitusi, Statuta, dan Anggaran Dasar Ordo ketiga Regular.

(39)

22

baik. Untuk itu suster yunior diwajibkan menerima bimbingan dari tim pembina

secara intensif.

Tujuan bimbingan pribadi adalah membantu suster yunior agar yunior mampu mengenal dirinya secara lebih baik dalam prosesnya mencapai cita-cita menjadi suster FSE yang baik. Adapun Tim Pembina yang dimaksud: Pemimpin komunitas, pemimpin karya dan pembimbing rohani. Di bawah ini akan diuraikan aspek pembinaan yang ingin dikembangkan melalui proses bimbingan pribadi suster yunior dengan pemimpin komunitas adalah sebagai berikut:

a. Aspek Kepribadian

Kepribadian yaitu semua yang melekat pada diri suster yunior (sifat, sikap, watak,temparamen,perilaku,bakat) yang dapat mempengaruhi perkembangan panggilan suster yunior sebagai suster FSE. Dalam konteks pembinaan aspek kepribadian: pengenalan dirinya dengan segala kekuatan dan kelebihan, bakat-bakat, sifat, watak, sikap, pengalaman hidup. Pembinaan pada aspek ini meliputi: pengenalan diri, penerimaan diri, pemahaman diri, kepercayaan diri (Tim Pembina, 2006: 13).

b. Aspek Kharisma

(40)

pendiri dan menggerakkan mereka untuk mendirikan kongregasi FSE kemudian diwariskan kepada anggotanya. Adapun Kharisma Kongregasi FSE yaitu “Daya Kasih Kristus yang menyembuhkan orang sakit dan menderita sampai rela wafat

disalib” Nilai-nilai yang ingin dibatinkan dalam Kharisma yaitu memiliki sikap kerelaan berkorban dan menderita, memiliki semangat kasih yang menyembuhkan, memiliki sikap rendah hati (Tim Pembina, 2000). Oleh karena itu, penting suster yunior dibantu agar mampu mewujudkan Kharisma dalam hidup sebagai FSE.

c. Aspek Fransiskan

(41)

24

d. Aspek Hidup Religius

Hidup religius merupakan suatu pola hidup yang disucikan, atau dibaktikan kepada Allah. Allah memanggil dan manusia menjawabnya, dengan cara yang khusus yaitu memasuki salah satu cara hidup bakti. Hidup bakti dibedakan dari status hidup yang lain dalam gereja karena adanya kaul kebiaraan yang mewajibkan seorang religius untuk mentaati nasihat-nasihat Injili. Nasihat injili yang dikenal dengan istilah Kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan

(Martino, 2003: 3).

Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injili adalah bentuk kehidupan orang beriman dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagiNya dan demi pembangunan gereja serta keselamatan bagi dunia, mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus, mengejar kesempurnaan cinta kasih dalam pelayanan kerajaan Allah dan sebagai tanda unggul Gereja mewartakan kemuliaan surgawi”(Kanon, 573.1).

Selain itu, dalam Perectae Caritatis, konsili Vatikan II dengan jelas memberikan petunjuk mengenai profesi religius, yang berupa kemurnian, kemisikinan dan ketaatan semuanya diarahkan demi kerajaan surga. Dalam perfectae Caritatis no. 12 tentang kemurnian dikatakan sebagai berikut:

(42)

kebahagiaan hidup yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati tak terbagi dalam (Kanon, 599).

Kaul kemiskinan dengan mengikuti jejak Kristus yang miskin meskipun kaya menjadi miskin demi kita, hidup dalam kenyataan dan dalam semangat hidup kerja dalam kesederhanaan dan jauh dari kekayaan duniawi disamping itu membawa serta ketergantungan dan pembatasan dalam hal penggunaan serta penentuan harta-benda menurut peraturan hukum masing-masing tarekat (Kan.

600).

Dalam konteks hidup sebagai Fransiskan, hidup dalam kemiskinan berarti semuanya hendaklah berusaha hidup mengikuti kerendahan hati dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus: Dia sekali pun kaya melampaui segalanya, mau sendiri memilih sendiri kemiskinan di dunia ini bersama Bunda-Nya, Perawan yang amat terberkati Dia telah telah menghampakan diri-Nya sendiri. Hendaklah mereka ingat bahwa dari segala barang dunia ini, tidak ada perlu kita miliki selain di katakan Rasul: Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah itu untuk kita waspadalah terhadap uang. Mereka juga harus bergembira, apabila mereka hidup di tengah orang-orang kecil dan dipandang hina, miskin dan lemah, orang sakit dan orang berkusta yang serta para pengemis di pinggir jalan (AD Reg III,1997 pasal 6: 21).

(43)

26

hidup doa, Ekaristi, ibadat harian, meditasi, devosi, bacaan rohani, dan latihan-latihan rohani,).Jadi nilai-nilai kaul yaitu semangat menghayati kaul kemurnian dengan hidup wadat tak menikah, kaul kemiskinan dengan semangat tidak terikat hidup lepas bebas, kesederhanaan, dan kaul ketaatan dengan siap sedia melakukan kehendak Bapa.

e. AspekApostolat (kerasulan)

Saudara–saudari hendaknya mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi dan segenap kekuatan, serta mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Hendaklah mereka meluhurkan Tuhan dalam segala pekerjaan mereka, sebab itulah ia mengutus mereka keseluruh dunia, yakni untuk menjadi saksi suara-Nya dengan perkataan dan perbuatan dan untuk memberitahukan kepada semua orang, bahwa tak ada yang Mahakuasa selain Dia (AD Reg III, 1997 pasal 9: 29−31).

(44)

untuk membina para suster yunior melalui kegiatan bimbingan pribadi dengan pemimpin komunitas. Berikut ini akan diuraikan tentang pemimpin komunitas.

3. Pemimpin Komunitas di Kongregasi FSE

a. Pengertian Pemimpin Komunitas

Pemimpin Komunitas adalah seseorang yang dipilih secara sah dan mendapat kepercayaan oleh anggota persaudaraan FSE untuk melayani persaudaraan dalam suatu komunitas (Konstitusi, 2000 Pasal 156). Ada lima tugas pemimpin komunitas. Kelima tugas pemimpin komunitas itu adalah bertanggung jawab membina kesatuan hati serta sikap saling percaya antar-anggota komunitas,

bertanggung jawab membimbing saudara yang dipercayakan kepadanya di komunitas, bertanggung jawab menentukan waktu untuk bimbingan anggota secara perorangan ataupun kelompok, bertanggung jawab melaksanakan bimbingan pribadi dengan kaul sementara sekali 3 (tiga) bulan, bertanggung jawab mendorong dan mengingatkan suster berkaul sementara dalam pelaksanaan bimbingan pribadi, maupun pembinaan-pembinaan yang diprogramkan oleh Kongregasi FSE (Statuta 2000, psl 64:1).

b. Peran Pemimpin Komunitas dalam Bimbingan Pribadi

(45)

28

mendalam artinya relasi timbal balik antarpemimpin komunitas dengan suster yunior dalam rangka membantu suster yunior agar berkembangan dalam panggilan melalui kelima aspek pembinaan. Agar tujuan bimbingan pribadi tercapai, pemimpin komunitas harus menjalin komunikasi yang baik dengan orang yang dibimbingnya.

Kegiatan bimbingan pribadi bagi suster yunior bertujuan untuk membantu para suster yunior agar berkembang dalam panggilannya sebagai religius melalui kelima aspek pembinaan tersebut. Kedewasaan para suster yunior dalam kelima aspek pembinaan tersebut memampukan mereka mengenal diri secara lebih baik. Sehingga suster yunior dapat menentukan pilihan dan mengambil keputusan yang tepat secara bertanggungjawab untuk bergabung secara penuh atau tidak dalam

Kongregasi.

(46)

bulan. Adapun pengertian dan tujuan bimbingan pribadi akan diuraikan lebih lanjut dibagian berikut ini.

4. Bimbingan Pribadi di Kongregasi FSE

Di Kongregasi FSE Indonesia suster yunior menerima bimbingan pribadi dari pemimpin komunitas dalam rangka pembinaan. Pemimpin komunitas memberikan bimbingan pribadi kepada suster yunior sebanyak sekali dalam tiga bulan. Tujuan bimbingan pribadi yaitu membantu suster yunior agar semakin berkembang dalam kelima aspek kehidupan sebagai FSE, yaitu: Kepribadian, Kharisma, Fransiskan, Hidup religius, dan Kerasulan. Untuk itu, berikut ini akan dipaparkan tentang bimbingan pribadi

a. Pengertian Bimbingan Pribadi

Bimbingan pribadi adalah pendampingan secara individual yang dilakasanakan oleh pemimpin komunitas dengan suster yunior yang dibimbinganya minimal satu kali dalam tiga bulan dalam rangka pembinaan dalam aspek-aspek pembinaan (Statuta pasal 4:64.1).

(47)

30

dirinya dengan lingkungan dan sesamanya (Winkel, 1997: 142).

Bertolak dari gagasan tersebut, peneliti menyimpulkan bimbingan pribadi adalah bantuan yang diberikan kepada individu agar ia semakin mengenal dirinya baik itu kelemahan maupun kekuatan dirinya, memahami dirinya dan lingkungannya, dengan demikian ia mampu mempergunakan sebaik mungkin potensi diri untuk memperkembangkan dirinya dan mengatasi berbagai pergumulan dalam batinnya dengan demikian ia mmpu mengatur dirinya dan memperkembangkan diri secara efektif dan optimal.

Menurut Kongregasi FSE (Konstitusi, 2000: pasal 64.4) bimbingan pribadi adalah dialog/wawancara suster yunior dengan pemimpin komunitas yang dilakukan tiga bulan satu kali. Isi dari pembicaraan, yaitu suster yunior mengungkapkan kepada pemimpin komunitas proses perkembangan ataupun hambatan dalam panggilan yang dialaminya dalam bentuk refleksi (Statuta, 2000; pasal 4: 64.3).

b. Tujuan Bimbingan Pribadi di Kongregasi FSE

(48)

Bimbingan pribadi bagi suster yunior menjadi sarana yang efektif untuk berkomunikasi dengan pemimpin komunitas dan pengungkapan diri mengenai pengalaman suka duka dalam menghayati kharisma, hidup persaudaraan/ fransiskan, ketiga Kaul, hidup doa, dan kerasulan. Dengan kata lain, dalam bimbingan pribadi suster yunior mengungkapkan secara jujur dan terbuka pengalaman suka dan dukanya dalam menghayati panggilan sebagai religius sesuai dengan kekhasan Kongregasi.

(49)

32

C. Komunikasi Antarpribadi Pemimpin Komunitas dengan Suster Yunior di

Kongregasi FSE dalam Konteks Bimbingan Pribadi.

Komunikasi antarpribadi merupakan sarana yang efektif bagi para suster FSE khususnya antara suster yunior FSE dengan pemimpin komunitas untuk membangun relasi yang saling mendukung dalam panggilan. Berikut ini akan dijelaskan yang dimaksud pengertian dan unsur-unsur komunikasi antarpribadi dalam konteks pembinaan di- kongregasi FSE.

1. Pengertian Komunikasi Antarpribadi

Menurut Supratiknya, (1995) komunikasi antarpribadi adalah dialog antar dua pribadi yang memiliki relasi dekat. Dalam konteks bimbingan pribadi, komunikasi antarpribadi adalah dialog antar suster yunior dengan pemimpin komunitas yang dilakukan secara intensif sekali tiga bulan.

2. Unsur-unsur Komunikasi Antapribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan sarana yang efektif untuk menjalin relasi yang akrab dan saling memperkembangkan diri. Untuk mencapai komunikasi yang efektif dalam pembinaan para suster yunior FSE, suster yunior dan pemimpin komunitas perlu mengoptimalkan lima unsur komunikasi antarpribadi. Menurut Supratiknya (1995) unsur-unsur komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut:

(50)

verbal dan non verbal (5) saling menerima dan mendukung. Berikut ini peneliti akan menguraikan kelima unsur tersebut dan sekaligus mengkaitkannya dengan komunikasi antar suster dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi.

a. Unsur Pembukaan Diri (self-disclosure)

Pembukaan diri (self-disclosure) artinya pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau memahami tanggapan kita di masa kini. Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadian-kejadian yang baru saja disaksikan bersama (Supratiknya, 1995:14).

(51)

34

lebih baik dan juga membuat kita semakin sehat secara psikologis. Membuka diri juga berarti terbuka terhadap aneka umpan balik dari orang lain yang dapat membantu meningkatkan pemahaman diri kita, yakni membuat kita sadar akan aspek-aspek diri serta konsekuensi perilaku kita yang tidak pernah kita sadari sebelumnya (Supratiknya, 1995: 20).

Dalam pembinaan melalui bimbingan pribadi diharapkan pemimpin komunitas dan suster yunior memiliki sikap terbuka, jujur dan realistis. Sikap-sikap ini memberi peluang bagi pemimpin komunitas dan suster yunior untuk saling memperkembangkan panggilan dalam kelima aspek pembinaan. Misalnya: suster yunior secara jujur dan tulus mengungkapkan kepada pemimpin komunitas tentang kesulitannya untuk bangun pagi sehingga ia kerap kali terlambat untuk doa bersama.

b. Unsur Saling Membangun Kepercayaan

(52)

(Supratiknya, 1995: 27). Jadi, mempercayai artinya: Pribadi A rela menghadapi resiko, menerima akibat menguntungkan atau merugikan dengan menjadikan diri rentan di hadapan orang lain. Tepatnya mempercayai meliputi: membuka diri dan rela menunjukkan penerimaan dan dukungan kepada orang lain. Sedangkan dipercaya berarti pribadi B rela menanggapi orang lain yang ambil resiko dengan cara menunjukkan jaminan bahwa orang lain tersebut akan menerima akibat-akibat yang menguntungkan (Supratiknya, 1995: 28).

(53)

36

c. Unsur Saling Mendengarkan Sambil Memahami

Unsur saling mendengarkan sambil memahami artinya pihak pengirim pesan dan penerima pesan mengembangkan pemahaman empatik yaitu mendengarkan dengan penuh perhatian pada yang diungkapkan orang lain serta memahaminya dari sudut pandang pengirim pesan. Artinya sebelum mengutarakan sesuatu seseorang harus memperhatikan sudut pandang lawan komunikasi, apa yang diketahui oleh lawan komunikasinya tentang hal yang akan kita ungkapkan, informasi lebih lanjut mana yang dibutuhkan dan diinginkan oleh lawan komunikasi kita tentang hal yang ia utarakan serta menerima pesan secara tepat (Supratiknya, 1995: 43, 46-47).

Dalam konteks bimbingan pribadi diharapkan pemimpin komunitas memiliki sikap empati (mendengarkan dengan penuh perhatian). Dengan sikap tersebut menjadi peluang yang besar bagi pemimpin komunitas dapat membantu suster yunior berkembang dalam panggilannya melalui kelima aspek pembinaan (Kepribadian, Kharisma, Fransiskan, Hidup religius dan Kerasulan). Misalnya: pemimpin komunitas mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika suster yunior menceritakan pergulatannya dalam hidup studinya.

d. Unsur Saling mengungkapkan Perasaan secara Verbal dan non Verbal.

(54)

alami maupun tidak. Sedangkan secara non verbal adalah mengungkapkan perasaan dengan menggunakan bahasa isyarat selain kata-kata, misalnya: sorot mata, raut muka, nada suara, senyuman, kepalan tangan, menunduk, menggeleng

kepala, mengangguk, menepuk bahu (Supratiknya1995: 63)

Dalam konteks bimbingan pribadi, pemimpin komunitas dan suster yunior diharapkan memiliki sikap saling mampu mengungkapkan perasaan secara verbal dan non verbal. Kemampuan saling mengungkapkan perasaan ini menjadi peluang bagi pemimpin komunitas untuk membantu suster yunior agar semakin berkembang dalam panggilan melalui kelima aspek pembinaan (Kepribadian, Kharisma, Fransiskan, Hidup religius dan Kerasulan). Misalnya: suster yunior mengeluh kepada pemimpin komunitas tentang kesulitannya dalam bekerja sama dengan susternya di tempat kerja. Sebaliknya pemimpin komunitas memandang suster yunior dengan penuh iba sambil menepuk bahunya sehingga suster yunior merasa dimengerti oleh pemimpin komunitasnya dan merasa diteguhkan.

e. Unsur Saling Menerima dan Mendukung

Unsur saling menerima dan mendukung menjadi hal yang penting dalam berkomunikasi agar menjadi efektif. Sikap menerima dan mendukung mendapat peluang untuk menolong orang sebagai lawan berbicara sehingga ia mampu melihat kesempatan yang baik untuk berkembang dan menyusun strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya. Sikap menerima dan mendukung menjadi ciri khas seorang konselor yang berperan sebagai penolong (Supratiknya, 1995:

(55)

38

Dalam konteks bimbingan pribadi diharapkan pemimpin komunitas memiliki sikap mau menerima dan mendukung suster yunior. Sikap menerima dan mendukung menjadi peluang bagi pemimpin komunitas membantu suster yunior agar semakin berkembang dalam panggilannya melalui kelima aspek pembinaan (Kepribadian, Kharisma, Fransiskan, Hidup religius dan Kerasulan). Misalnya: ketika suster yunior menceritakan kepada pemimpin komunitas bahwa ia sangat senang melayani orang-orang kecil dan menderita (misalnya: panti asuhan, orang kusta, orang sakit) akan tetapi ia merasa cita-citanya belum terkabul karena justru ia mendapat tugas di tempat yang lain, maka pemimpin komunitas menerima dan mendukung yang menjadi dambaannya akan tetapi, pemimpin komunitas juga memberikan bantuan kepada suster yunior agar mampu melihat bahwa dimana saja dan tugas apa saja yang dikerjakan merupakan semata pengabdian kepada Allah.

D. Integrasi Kelima Unsur Komunikasi Antarpribadi dalam Bimbingan

Pribadi dalam konteks hidup berkomunitas

Dalam membangun hidup berkomunitas, komunikasi merupakan sarana utama yang membuat segenap anggota dapat saling mengenal, menghargai, mendukung dan menerima antara satu dengan yang lainnya dalam panggilan. Maka sangat penting anggota mampu berkomunikasi secara baik sehingga terciptalah relasi yang saling memperkembangkan dalam panggilan.

(56)

perasaan, saling menerima dan mendukung) merupakan satu kesatuan atau harus integral dalam membangun relasi melalui komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi menjadi lancar dan efektif, apabila antar suster yunior dengan pemimpin komunitas mengoptimalkan kelima unsur komunikasi antarpribadi dalam bimbingan pribadi. Dari kelima unsur komunikasi antapribadi tersebut sama pentingnya. Akan tetapi, unsur komunikasi antarpribadi yang menjadi sangat penting dan menjadi penghubung unsur komunikasi yang satu dengan unsur komunikasi lainnya yaitu unsur saling membangun kepercayaan (sikap mempercayai dan dipercayai).

(57)

40

(58)

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisi mengenai metodologi penelitian, yaitu: (1) Jenis Penelitian, (2) Subyek Penelitian, (3) Instrumen Pengumpulan Data, (4) Pengumpulan Data dan (5) Teknis Analisis Data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif yang dirancang dan dikategorikan sebagai penelitian survei. Penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan (Furhan, 1982: 415). Menurut Surakhmad (1994: 139), penelitian deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Menurut Faisal (1982: 121) penelitian deskriptif berusaha mendeskripsi dan menginterpretasi apa yang ada, yaitu tentang kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang. Tujuan penelitian ini adalah melukiskan persepsi Para Suster Yunior Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth Angkatan 2002–2008 tentang komunikasi antarpribadi antara pemimpin komunitas dengan mereka dalam Bimbingan Pribadi.

B. Subjek Penelitian

(59)

42

yunior sebagai subjek penelitian adalah: (1) peneliti ingin mengadakan penelitian dalam bidang yang berkaitan dengan kehidupan langsung di Kongregasi. (2) hasil penelitian dapat ditindak lanjuti karena peneliti adalah anggota kongregasi tersebut. Karena diharapkan dengan mengikuti program bimbingan pribadi, suster yunior semakin berkembang dalam lima aspek pembinaan di Kongregasi FSE. Secara keseluruhan, mereka berjumlah 33. Subjek penelitian ini adalah para suster yunior FSE yang tersebar pada berbagai wilayah/kota-kota di Indonesia seperti disajikan dalam Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Sebaran Subjek Penelitian Suster Yunior Angkatan 2002-2008 Kongregasi FSE

No Wilayah/Kota Komunitas Jumlah Subjek

1 Medan St. Elisabeth 6

2 Medan St. Yosef 6

3 Medan St. Ana 6

4 Medan St. Agustinus 5

5 Medan Bethania 1

6 Jakarta St. Paskalis 2

7 Yogyakarta St.Y.Don Bosco 7

(60)

C. Instrumen Pengumpulan Data

1. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner Persepsi Para Suster Yunior Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth Angkatan 2002– 2008 tentang komuikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi. Kuesioner ini disusun berdasarkan masalah penelitian, variabel penelitian, dan isi kajian teoritis. Kuesioner ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian yang pertama berisi identitas, bagian yang kedua berisi petunjuk dan bagian yang ketiga berisi 50 pernyataan tentang Persepsi Para Suster Yunior Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth Angkatan 2002–2008 tentang Komunikasi Antarpribadi Antara mereka dengan Pemimpin Komunitas dalam Bimbingan Pribadi.

(61)

44

Kuesioner dikonstruk dalam bentuk skala penilaian dengan empat opsi/ alternatif jawaban, yaitu sangat sering (SS), sering (S), jarang (J), dan sangat jarang (SJ). Responden diminta memilih salah satu dari alternatif jawaban skala responsi tersebut sesuai dengan pengalamannya sendiri. Terdapat 50 butir pernyataan dalam kuesioner ini. Kuesioner yang final dapat diperiksa pada lampiran. 1. Kisi-kisi kuesioner disajikan dalam table 2.

Tabel 2. Kisi-kisi Kuesioner Persepsi Para Suster Yunior Kongregasi FSE Angkatan 2002-2008 tentang Komunikasi Antarpribadi Antara Mereka dengan

Pemimpin Komunitas dalam Bimbingan Pribadi.

Unsur Komunikasi Antarpribadi

Indikator Favorable(+) Unfavor able(–)

Jumlah

1. Pembukaan diri a) Terbuka 1,2,5,7 8

10

b) Jujur 3,6 4

c) Realistis 9 10

2. Membangun

Kepercayaan a) Mempercayai

11,12,13,14,15, 16,17

18

10

b)Dipercayai 19,20 3. Mendengarkan

Sambil memahami

a) Empati 21,23,24,25,26, 27,28,29

22 10

b)Memahami 30

4. Mengungkapkan perasaan secara verbal dan non verbal

a)Kata-kata 31,33,36,37,38 40 10 b)Bahasa isyarat 34,35,39 32

5. Menerima dan Saling mendukung

a) Menerima 41,43 42,48 10

c)Mendukung 46,47,49,50 44,45

(62)

2. Skoring

Pernyataan berisi hal-hal yang terjadi komunikasi antarpribadi para suster yunior angkatan 2002–2008 dengan pemimpin komunitas Kongregasi FSE dalam bimbingan pribadi. Ada empat pilihan jawaban yaitu sangat sering, sering, jarang dan sangat jarang. Untuk pernyataan favorable diberi skor sebagai berikut: sangat sering = 4, sering = 3, jarang = 2, dan sangat jarang = 1. Sedangkan untuk pernyataan unfavorable diberi skor sebagai berikut: sangat sering = 1, sering = 2, jarang = 3, dan sangat jarang = 4.

3. Kategori Komunikasi Antarpribadi Para Suster Yunior dengan Pemimpin

Komunitas dalam Bimbingan Pribadi

Ada tiga kategori komunikasi antarpribadi para suster yunior Kongregasi FSE angkatan 2002–2008 dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi, yaitu rendah (kurang baik), sedang (cukup baik), dan tinggi (baik). Penentuan kategori ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam komunikasi antarpribadi antara suster yunior dengan pemimpin komunitas diharapkan terjadi komunikasi yang baik (sering), tetapi dapat terjadi sebaliknya komunikasi antarpribadi keduanya yang kurang baik dan kurang mendukung (jarang). Hal ini dapat menyebabkan komunikasi menjadi kurang baik sehingga tujuan dalam bimbingan pribadi menjadi tidak tercapai. Dengan kata lain semakin besar skor semakin baik komunikasi antarpribadinya.

(63)

46

gangguan/hambatan dalam komunikasi tersebut yang menyebabkan tidak dapat berlangsung secara optimal (puncak). Di samping itu, secara teknis subjek penelitian ini tergolong kecil jumlahnya, sehingga jika kategorisasi lebih dari tiga golongan dipandang tidak efektif.

4. Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

a. Validitas kuesioner

Validitas menunjuk pada “sejauh mana suatu alat mampu mengukur apa yang sebenarnya diukur oleh alat tersebut” (Furchan, 1982: 281). Validitas suatu alat selalu bergantung kepada situasi dan tujuan khusus penggunaan alat yang bersangkutan (Furchan, 1982: 282). Validitas kuesioner ini merupakan validitas internal yang meliputi validitas isi dan konstruk (Burhan Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki, 2000; Sugiyono 2008) yang mencerminkan telaah rasional mengenai kesesuaian muatan/isi instrumen dengan materi yang seharusnya akan diukur (terjabarkan dalam blue print/kisi-kisi) dan logical construct (Djemari Mardapi, 2008). Dalam pelaksanaannya peneliti meminta pendapat dan mengkonsultasikan kuesioner ini kepada dosen pembimbing untuk memeriksa setiap butir item pernyataan kuesioner supaya setiap item pernyataan yang dibuat tepat dengan rumusan masalah, definisi istilah variabel, dan validitas isi.

(64)

Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki (2000: 299) menegaskan bahwa analisis rasional dalam uji validitas jauh lebih penting daripada analisis empirik. Setiap instrumen penelitian haruslah memenuhi persyaratan validitas isi dan konstruk (internal-rational validity), tetapi tidak ada tuntutan keharusan untuk memenuhi validitas empirik, namun jika kita bermaksud melengkapinya dengan salah satu jenis validitas empirik, tentu hal itu baik-baik saja.

b. Reliabilitas Kuesioner

Masidjo (1995: 209) mengatakan bahwa reliabilitas suatu alat ukur adalah taraf sampai di mana suatu alat mampu menunjukkan konsistensi hasil pengugkuran. Reliabilitas suatu alat ukur menunjuk pada “derajat keajekan alat tersebut dalam mengukur apa saja yang diukurnya”(Furchan, 1982). Derajat keajegan ditunjuk oleh koefisien realibilitas. Reliabilitas ditentukan oleh keadaan sampel dan jumlah item. Semakin banyak item, semakin luas wilayah pengukuran dan diharapkan memberikan hasil yang dipercaya. Reliabilitas (konsistensi internal) instrumen penelitian ini diuji dengan teknik Alpha Cronbach. Teknik ini dipilih karena cocok dipergunakan untuk menguji reliabilitas instrumen yang memuat pertanyaan/pernyataan yang jawabannya berskala (Burhan Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki, 2000:309). Hasil komputasi indeks reliabilitas Alpha instrumen penelitian ini dengan aplikasi program SPSS 12.0 ditunjukkan oleh rekam hasil hitung sebagai berikut:

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

(65)

48

Indeks reliabilitas sebesar itu, jika dikonsultasikan pada kriteria Guilford (Masidjo, 1995: 209) berikut ini:

Koefisien Korelasi Kualifikasi ± 0,91 - ±1,00

±0,71 - ±0,90 ±0,41 - ±0,70 ±0,20 - ±0,40 0,00 - ±0,20 Negatif - ±0,20

Sangat Tinggi Tinggi

Cukup Rendah Tidak ada Sangat Rendah

maka dapat disimpulkan bahwa derajat reliabilitas kuesioner ini tergolong tinggi.

D. Prosedur Pengumpulan Data

Kuesioner yang telah disusun dipergunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Penelitian dilaksanakan 3 kali yaitu: Di Medan, pada tanggal 10-11 Januari 2009 bagi sr yunior: di Komunitas St Elisabeth (6 orang suster), komunitas St. Yosef (6 orang suster), komunitas Bethania (1 orang suster), komunitas St Agustinus (5 orang suster), dan komunitas St Ana (6 orang suster). Di Yogyakarta, tgl 15 Januari 2009 di komunitas St Y.Don Bosco berjumlah 7 orang suster. Di Jakarta, tgl 26-27 di komunitas St. Paskalis berjumlah 2 orang suster yunior.

1. Langkah persiapan pengumpulan data:

a. Meminta ijin kepada Ketua Tim Pembina suster yunior FSE

(66)

c. Menyerahkan surat pengantar penelitian dari Program Studi Bimbingan dan Konseling kepada Ketua Tim Pembina suster yunior.

d. Melakukan koordinasi dengan Ketua Tim Pembina suster yunior dan pemimpin komunitas.

2. Tahap Pelaksanaan:

a. Datang ke komunitas sesuai jadwal yang telah ditentukan.

b. Membagikan kuesioner dan menjelaskan tujuan pengisian Kuesioner

”Deskripsi Persepsi Para Suster Yunior FSE Angkatan 2002-2008 tentang Komunikasi Antarpribadi antara Mereka dengan Pemimpin Komunitas dalam Bimbingan Pribadi.”

c. Mempersilahkan suster yunior mengisi kuesioner secara pribadi, bebas dan tertutup.

d. Mengumpulkan kembali kuesioner yang telah diisi oleh suster yunior

E. TeknikAnalisis Data

(67)

50

mean dan perhitungan persentase berdasarkan data teoritis (pendekatan analisis data berdasarkan acuan kriteria) (Sudijono, 1996:35; Sugiyono, 2008:137; Djemari Mardapi, 2008: 140-143; Azwar, 2006:105−119).

Analisis data dimulai dari prosedur penyekoran (scoring) terhadap hasil pengisian kuesioner dari setiap subjek (responden) , kemudian data dientri ke dalam tabulasi (data-sheet) pada program Microsoft Office Excel, dengan ketentuan baris untuk responden dan kolom untuk nomor butir. Skor dijumlah ke kanan untuk skor subjek, dan dijumlah ke bawah untuk skor butir. Analisis skor-skor subjek dalam pengolahan data penelitian ini diperlukan yaitu sebagai bahan interpretasi untuk menentukan banyaknya subjek (suster yunior FSE) yang berada pada komposisi tingkat komunikasi antarpribadi tertentu dan mengidentifikasi unsur komunikasi antarpribadi yang perlu mendapatkan peningkatan komunikasi antarpribadi dari pemimpin komunitas.

Langkah selanjutnya adalah menghitung skor rata-rata (mean) setiap subjek maupun butir. Mean merupakan nilai kelompok yang dipandang konstan dan karena itu digunakan untuk menetapkan batas tinggi atau rendah suatu skor. Skor yang < Mean dikategorikan rendah. Skor yang ≥ Mean dikategorikan tinggi.

Perhitungan mean skor total menggunakan rumus sebagai berikut:

N X

M =

Mean subjek diperoleh dengan cara membagi jumlah skor setiap subjek (Xsubjek) dengan banyaknya butir (Nbutir), sedangkan mean butir dihitung dengan

cara membagi jumlah skor setiap butir (Xbutir) dengan banyaknya subjek (Nsubjek).

(68)

butir dibagi dengan hasil kali banyaknya subjek dengan banyaknya butir. Hasil perhitungan skor rata-rata (subjek, butir, maupun total) dikonversikan ke kriteria penilaian kualitatif berskala 3 (Azwar, 2006:109) sebagai berikut:

Tabel 3. Kriteria Acuan Kategorisasi Persepsi Komunikasi Antarpribadi

Antara Pemimpin Komunitas dengan Suster Yunior FSE

dalam bimbingan pribadi

Formula Kriteria Rerata Skor Kategori Tingkat

Komunikasi

X < (Xi-1,0 sbi) < 2,0 kurang baik

(Xi-1,0 sbi ) ≤ X < (Xi + 1,0 sbi) 2,0 – 3,0 cukup baik

(Xi + 1,0 sbi ) < X > 3,0 baik

Keterangan :

i

X (Rerata ideal/teoritis) = ½ (skor maksimum teoritis + skor minimum teoritis)

sbi (Simpangan baku teoritis) = 1/6 (skor maksimum teoritis – skor minimum

teorits)

X = Skor empiris

Dalam perhitungan untuk tabel di atas, diketahui skor rerata maksimum teoritis = 4; skor rerata minimum teoritis = 1; sehingga:

i

X (Rerata ideal/teoritis) = ½ (4 + 1) = 2,5; dan

(69)

52

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini dikemukakan hasil penelitian yang mendeskripsikan persepsi para suster yunior FSE angkatan 2002–2008 tentang komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi, berdasarkan perolehan skor komposit maupun gambaran dalam masing-masing unsur komunikasi. Paparan hasil penelitian dilanjutkan dengan pembahasan hasil penelitian.

A. Hasil Penelitian

(70)

komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi pada tabel 4:

Gambaran profil skor rata-rata persepsi para suster yunior FSE tentang komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas tergambar pada grafik 1 berikut ini:

Grafik 1. Profil Skor Rata-rata Persepsi Para Suster Yunior FSE angkatan

2002-2008 tentang Komunikasi Antarpribadi Antara Mereka dengan

pemimpin komunitas dalam Bimbingan Pribadi

Profil pada grafik menunjukkan bahwa hampir semua suster yunior FSE memberi skor di atas skor rata-rata teoritis (2,5). Hanya dua orang suster, yaitu nomor subjek 10 dan 13 yang berada pada kawasan di bawah garis rata-rata. Dengan kata lain 2 suster yunior (6%) yang mempersepsikan komunikasi antapribadi dengan pemimpin komunitas secara kurang baik. Itu berarti, jika pengelompokan subjek didasarkan atas nilai rata-rata teoritis, maka 31 suster yunior ( =94%) dari 33 subjek mempersepsikan bahwa komunikasi antarpribadi antara pemimpin komunitas dengan para suster yunior FSE berlangsung baik. Untuk gambaran profil skor rata-rata persepsi para suster yunior FSE tentang

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

(71)

54

komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas untuk masing-masing unsur komunikasi tergambar pada table-tabel berikut ini.

Mengacu pada kategorisasi yang telah direncanakan semula (tiga kategori), berdasarkan hasil analisis data dan klasifikasi data sesuai dengan pedoman pada tabel 3. Kriteria Acuan Kategorisasi Persepsi Suster Yunior FSE angkatan 2002-2008 tentang Komunikasi Antarpribadi Antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi diperoleh untuk masing-masing unsur komunikasi pada tabel-tabel berikut ini:

Tabel 4. Kategori Unsur Pembukaan Diri dalam Komunikasi Antarpribadi

Person Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Kategorisa si

19 57,6 57,6 57,6 Cukup

baik

14 42,4 42,4 100,0 baik

33 100,0 100,0 total

Tabel 5. Kategori Unsur Membangun Kepercayaan dalam

Komunikasi Antarpribadi

Person Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent Kategorisasi 17 51,5 51,5 51,5 Cukup baik

16 48,5 48,5 100,0 baik

33 100,0 100,0 Total

Tabel 6. Kategori Unsur Mendengarkan sambil Memahami dalam

Komunikasi Antarpribadi

Person Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent Kategorisasi

1 3,0 3,0 3,0 Kurang baik

13 39,4 39,4 42,4 Cukup baik

19 57,6 57,6 100,0 baik

(72)

Tabel 7. Kategori Unsur Mengungkapkan Perasaan dalam

Komunikasi Antarpribadi

Person Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent Kategorisasi

1 3,0 3,0 3,0 Kurang baik

24 72,7 72,7 75,8 Cukup baik

8 24,2 24,2 100,0 baik

33 100,0 100,0 Total

Tabel 8. Kategori Persepsi Unsur Menerima dan Mendukung dalam

Komunikasi Antarpribadi

Person Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent Kategorisasi

1 3,0 3,0 3,0 Kurang baik

14 42,4 42,4 45,5 Cukup baik 18 54,5 54,5 100,0 baik

33 100,0 100,0 Total

Tabel 9. Kategori (Gabungan Semua Unsur/ Komposit) dalam

Komunikasi Antarpribadi

Person Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent Kategorisasi

21 63,6 63,6 63,6 Cukup baik

12 36,4 36,4 100,0 baik

33 100,0 100,0 Total

(73)

56

dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi. Komposisi skor pada analisis unsur untuk kelima unsur komunikasi menunjukkan gambaran yang hampir sama dengan hasil analisis skor gabungan semua unsur. Teridentifikasi hanya satu kasus yang mengaku kurang baik pada unsur ke-3, 4, dan 5 dalam komunikasi antarpribadi. Dari data-data tersebut tergambar bahwa para suster yunior FSE angkatan 2002−2008 memiliki persepsi yang positif tentang

berlangsungnya komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi.

Data pada tabel 9 menggambarkan bahwa komposisis skor persepsi individu tentang komunikasi antarpribadi dengan pemimpin komunitas menampakkan variabilitas pada dua kategori, yaitu cukup baik dan baik pada semua unsur komunikasi maupun secara komposit (skor gabungan). Terlihat hanya tiga kasus yang berada pada kategori kurang baik yang terjadi pada dua orang suster yunior. Telaah analisis unsur menunjukkan bahwa pada unsur komunikasi “mengungkapkan perasaan secara verbal dan non verbal” tampak terdapat lebih banyak kategori cukup baik daripada baik; ini menunjukkan bahwa ketika pemimpin komunitas berkomunikasi antarpribadi dengan para suster yunior, ia perlu lebih banyak menyentuh unsur mengungkapkan perasaan secara verbal dan non verbal.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

(74)

a. Persepsi suster yunior Kongregasi FSE angkatan 2002−2008 tentang komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi berada pada kategori baik. Dari 33 suster yunior ada 31 suster yunior (94%) dengan skor di atas rata-rata berkategori baik dan ada dua suster yunior (6%) yang menunjukkan skor di bawah rata-rata berkategori kurang baik. Diharapkan dengan hasil sebagian besar suster yunior mempersepsikan secara positif komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas memberikan pengaruh yang positif bagi suster yunior dalam proses perkembangan panggilan melalui lima aspek pembinaan. Akan tetapi, masih ada dua suster yunior yang mempersepsikan komunikasi antarpribadi antara mereka dengan pemimpin komunitas dalam bimbingan pribadi pada kategori rendah (kurang baik) dengan skor di bawah rata-rata, maka dua suster ini pelru mendapat perhatian secara khusus dari pemimpin komunitas.

Menurut Supratiknya, 1995: 34, komunikasi antarpribadi yang efektif menjadi sarana utama bagi manusia menjalin relasi yang dekat dan saling memperkembangkan diri. Salah satu upaya kongregasi membantu suster yunior FSE agar bertumbuh dan berkembang dalam panggilan sebagai FSE dengan mewajibkan mereka bimbingan pribadi dengan pemimpin komunitas minimal sekali tiga bulan. Diharapkan melalui pertemuan secara intensif tersebut kedua belah pihak menjalin komunikasi yang baik agar tujuan bimbingan pribadi tercapai.

Gambar

Tabel 1. Sebaran Subjek Penelitian Suster Yunior Angkatan 2002-2008
Tabel 2. Kisi-kisi Kuesioner Persepsi Para Suster Yunior Kongregasi FSE
Tabel 3. Kriteria Acuan Kategorisasi Persepsi Komunikasi Antarpribadi
Grafik 1.  Profil Skor Rata-rata Persepsi Para Suster Yunior FSE angkatan
+3

Referensi

Dokumen terkait