• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH (FSE) TAHUN 2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DESKRIPSI TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH (FSE) TAHUN 2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI

TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP

SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI FRANSISKANES

SANTA ELISABETH (FSE) TAHUN 2004 DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK

BIMBINGAN KELOMPOK

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh :

Lucia Situmorang

NIM : 001114009

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Batasan Istilah Penelitian... 6

BAB II: KAJIAN TEORI... 8

A. Kebermaknaan Hidup... 8

1. Pengertian... 8

(3)

3. Perwujudan Nilai-nilai Daya Cipta, Nilai-nilai Sikap, dan Nilai-nilai Pengalaman Sebagai Petunjuk Kebermaknaan

Hidup... 15

4. Sindrom Ketidakbermaknaan... 20

B. Bimbingan Kelompok... 23

1. Pengertian... 23

2. Hal-hal Penting yang dapat Dilihat dalam Bimbingan Kelompok... 24

3. Unsur-unsur Kehidupan Kelompok... 26

4. Fungsi Bimbingan Kelompok... 28

5. Tujuan Bimbingan Kelompok... 29

C. Suster- suster Yunior dalam Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth... 30

1. Pengertian... 30

2. Gambaran Ideal Suster-suster Yunior Kongregasi FSE... 31

D. Bimbingan Kelompok sebagai Sarana untuk Meningkatkan Kebermaknaan Hidup... 35

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN... 41

A. Jenis Penelitian... 41

B. Subyek Penelitian... 41

C. Instrumen Penelitian... 42

D. Prosedur Pengumpulan Data... 50

(4)

2. Tahap Pengumpulan Data... 52

E. Teknik Analisis Data... 54

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 56

A. Tingginya Kebermaknaan Hidup Suster-suster Yunior Kongregasi FSE Tahun 2004... 56

B. Pembahasan ... 57

1. Suster-suster Yunior Kongregasi FSE yang Tingkat Kebermaknaan Hidupnya Berkualifikasi Tinggi... 58

2. Suster-suster Yunior Kongregasi FSE yang Tingkat Kebermaknaan Hidupnya Berkualifikasi Rendah... 60

BAB V: Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Kebermaknaan Hidup Suster-suster Yunior FSE... 65

BAB VI: Ringkasan, Kesimpulan, dan Saran... 72

A. Ringkasan ... 72

B. Kesimpulan... 74

C. Saran- saran... 74

1. Untuk Kongregasi... 74

2. Untuk peneliti lain... 75

DAFTAR PUSTAKA... 76

(5)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Kisi-kisi kuesioner kebermaknaan hidup yang digunakan

dalam uji coba... 44 Tabel 2 : Rekapitulasi hasil uji validitas item... 47 Tabel 3 : Kisi-kisi kuesioner kebermaknaan hidup yang digunakan

dalam penelitian... 50 Tabel 4 : Penggolongan tingkat kebermaknaan hidup berdasarkan

PAP Tipe I... 55 Tabel 5 : Penggolongan tingkat kebermaknaan hidup suster-suster

yunior Kongregasi FSE Tahun 2004... 57 Tabel 6: Usulan topik-topik bimbingan kelompok untuk membantu

meningkatkan kebermaknaan hidup suster-suster yunior

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Kuesinoer Kebermaknaan Hidup Suster-suster

Yunior Kongregasi FSE Tahun 2004... 79 Lampiran 2 : Skor Uji Coba Kuesioner Kebermaknaan Hidup... 85 Lampiran 3 : Hasil Perhitungan Taraf Validitas... 91 Lampiran 4 : Skor-skor Kebermaknaan Hidup Suster-suster

Yunior Kongregasi FSE Tahun 2004... 103 Lampiran 5 : Perhitungan Skor Hasil Penelitian... 105 Lampiran 6 : Deskripsi Tingkat Kebermaknaan Hidup Suster-suster

(7)

ABSTRAK

DESKRIPSI TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP

SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI

FRANSISKANES SANTA ELISABETH (FSE) TAHUN 2004

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN

TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

Lucia Situmorang Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2005

Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) tahun 2004. Masalah pertama yang diteliti adalah “Seberapa tinggi tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE?” Masalah kedua adalah “Topik-topik bimbingan mana yang sesuai untuk meningkatkan kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE?”

Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri dengan mengambil inspirasi dari teori Victor Frankl. Kuesioner tersebut terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang memuat tingkat perwujudan nilai-nilai daya cipta (sikap kerja, cara kerja, dan hasil kerja), nilai-nilai pengalaman (menemukan kebenaran dalam hidup, menciptakan keindahan, memberikan cinta), nilai-nilai sikap (mengalami penderitaan dalam hidup, mengalami kebosanan). Jumlah seluruh item yang digunakan ada 92 butir.

Teknik analisis data yang digunakan adalah perhitungan frekuensi dengan pendistribusiannya berdasarkan rumus Penilaian Acuan Patokan tipe I. Tingginya kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE digolongkan menjadi 5 yaitu: sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE sebagai berikut: (1) 7 orang suster (18.92%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi tinggi. (2) 30 orang suster (81.08%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi cukup. (3) tidak ada suster yunior yang kebermaknaan hidupnya sangat tinggi, rendah, dan sangat rendah.

(8)

ABSTRACT

THE DESCRIPTION OF LIFE MEANING LEVEL OF JUNIOR SISTERS OF FRANSISKANES SAINT ELIZABETH

CONGREGATION (FSE) 2004 AND IMPLCATION TO THE GROUP GUIDANCE TOPICS

Lucia Situmorang Sanata Dharma University

Yogyakarta 2005

This research aims to obtain about the level meaning of life of Franciccanes Saint Elizabeth Congregation (FSE) Junior Sisters in 2004. The problem firstly investigated is” How high is the life meaning of Junior Sisters of Franciscanes Saint Elizabeth Congregation?” and the second one is “ What topics of counseling are needed to improve the meaning of life of Junior Sisters in FSE?”.

The writer counducted information by making questionnires inspired by the theories of Victor Frankl. The questionnaires consisted of series of questions deal with the degrees of capabilities to create and their realizitation (work attitude, work manner, and achievements), experiential values (finding truth of life, creating beaty, haring love), behavioral values (experiencing the misery in life, experiencing boredom). The total number of questions provided are 92 items.

A frequency calculation technique is done and adjusted its distribution based on the Standard Based Value Type I Formula. The scala of life meaning of Junior Sisters of FSE Congregation ranged from very low, low, medium, high and very high.

The result of the research showed the level of life meaning of Junior Sisters of FSE Congregation are as follows: (1) 7 sisters (18,92%) have high life meaning, (2) 30 sisters (81,08) have medium life meaning. (3) none of them have the high, low, and very low life meaning.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional dari istilah-istilah pokok yang digunakan dalam penelitian ini.

A. Latar Belakang Masalah

Hidup manusia mempunyai dasar yang hakiki, yaitu menuju kepada Allah. Kesadaran manusia akan hadirat Allah, merupakan nilai hidup religius yang perwujudannya akan mudah ditangkap dan mudah diungkapkan melalui suatu bentuk hidup membiara. Hidup membiara merupakan suatu panggilan dan bersifat bebas, sehingga tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Dengan demikian diharapkan orang yang masuk biara menemukan kebahagiaan dalam menjalani panggilan yang telah dipilih.

(10)

Seorang religius (Imam, Bruder, Suster) dalam gereja Katolik adalah orang yang merasa terpanggil untuk mengikuti Kristus, karena merasa terikat kepadaNya secara pribadi. Mereka mencari arti dan nilai hidup dalam kesatuan dengan Kristus (Yacobs, 1987: 16). Orang yang mau menjadi religius harus menjadi anggota suatu tarekat religius. Hal itu ditekankan oleh Konsili Vatikan II yang menyatakan bahwa “seorang religius mengikatkan diri pada suatu gaya hidup tarekat yang sudah disahkan oleh pimpinan gereja”. Tarekat religius adalah suatu persekutuan di mana para anggotanya menurut hukum masing-masing mengucapkan kaul publik sementara dan kaul kekal, tetapi pada waktunya harus diperbaharui; melaksanakan hidup persaudaraan dalam kebersamaan (KWI, 1995).

Kongregasi Suster Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) merupakan suatu lembaga hidup religius yang ada dalam gereja. Kongregasi ini memiliki spiritualitas yang menjadi pengarah hidup seluruh anggota. Spiritualitas FSE adalah “Mengikat diri seumur hidup pada cita-cita Injili dengan hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesatuan persaudaraan, dijiwai oleh semangat doa dan semadi, serta semangat pengabdian dan pengorbanan sebagai peniten rekolektin yang berarti melakukan pertobatan yang terus menerus”

(11)

Penghayatan spiritualitas pada masa yunior pertama-tama adalah oleh suster yunior itu sendiri. Untuk memahami dan menghidupi spiritualitas FSE, suster-suster yunior diharapkan mencintai kongregasi secara mendalam. Kecintaan dan rasa ikut memiliki, menimbulkan keterlibatan yang tinggi dari masing-masing anggota kongregasi. Tanggung jawab dalam menghidupi spiritualitas dan cara hidup kongregasi bukan hanya pada suster-suster yunior. Pihak kongregasi memiliki tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan tercapainya kematangan penghayatan spiritualitas oleh suster yunior. Karena itu, perlu ada sarana, kesempatan, program bimbingan yang memungkinkan para yunior untuk semakin menghidupi spiritualitas kongregasi dan semakin meningkatkan kebermaknaan hidup sebagai seorang yang terpanggil.

Dalam kenyataannya, harapan tersebut masih belum terpenuhi dengan baik, karena di antara suster ada yang cenderung untuk berusaha memberi arti dari setiap pergumulan hidupnya, dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai kaul. Misalnya, ada suster yang taat kepada pimpinan komunitas hanya karena ingin menonjolkan diri, atau hanya ingin menunjukkan kemampuannya melaksanakan kaul ketaatan.

(12)

kebahagiaan. Semakin berpusat pada kebahagiaan sebagai tujuan, semakin tidak melihat pertimbangan yang sehat untuk bahagia.

Pergulatan batin yang dialami kaum religius tidak boleh dipandang sebelah mata. Frankl (Koeswara, 1992: 41) mengatakan bahwa sesungguhnya, manusia bisa menemukan makna tidak melalui realisasi nilai-nilai keagamaan, tetapi juga bisa melalui realisasi nilai-nilai manusiawi yang mencakup nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap. Seiring dengan ungkapan Frankl di atas, panggilan hidup religius harus senantiasa dibina, agar dapat bertumbuh dan berkembang. Pembina sebagai formator harus senantiasa memikirkan dan mengembangkan program pembinaan yang sesuai.

Realisasi program pembinaan dapat dilakukan dengan bimbingan individual atau bimbingan kelompok. Program pembinaan yang tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan panggilan kaum religius tidak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga tidak tertutup kemungkinan panggilan seorang religius akan hilang, atau orangnya tetap dalam biara tetapi sekedar menjalani hidup panggilannya sebagai sesuatu yang rutin atau sekedar mengikuti rutinitas.

(13)

yang dewasa. Contohnya : pesimistik terhadap hidup, melihat masa depan sebagai kesia-siaan belaka, merasa tidak diperhatikan dan akhirnya meninggalkan kongregasi karena merasa tidak terpanggil lagi. Oleh karena itu penting kiranya diteliti dan dideskripsikan tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) sebagai langkah meningkatkan pembinaan lewat usulan topik-topik bimbingan kelompok yang akan diberikan.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, fokus permasalahan yang diteliti adalah sebagai berikut:

1. Seberapa tinggi tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE?

2. Topik-topik bimbingan mana yang sesuai untuk meningkatkan kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE?

C. Tujuan Penelitian

(14)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Para pemimpin komunitas dan Dewan Pembina Suster Yunior Kongregasi

FSE memperoleh gambaran umum tentang tingkat kebermaknaan hidup para suster-suster yunior FSE, sehingga dapat mengembangkan program pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan suster-suster Yunior.

2. Para pembimbing rohani yunior dan Kongregasi FSE mendapatkan gambaran tentang tingkat kebermaknaan hidup suster yunior, sehingga dapat menyusun topik bimbingan kelompok yang dapat meningkatkan kebermaknaan hidup suster-suster Yunior.

3. Suster-suster yunior FSE mendapatkan gambaran tentang tingkat kebermaknaan hidupnya.

4. Memberikan sumbangan bagi para pembina dalam proses pembinaan lewat topik-topik bimbingan kelompok yang diusulkan.

E. Batasan Istilah

(15)

2. Suster yunior adalah suster yang sudah mengucapkan profesi sementara yang mempunyai kewajiban untuk hidup menurut anggaran dasar ordo ketiga dan konstitusi suster-suster Fransiskanes Santa Elisabet, serta memperoleh segala hak yang telah ditetapkan dalam konstitusi suster Fransiskanes Santa Elisabet dan hukum gereja.

3. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) merupakan lembaga hidup bakti yang didirikan oleh seorang uskup diosesan yang mempunyai minat dan hati yang mau memahami dan mengerti orang-orang “sakit”, khususnya orang-orang sakit yang dilupakan dan ditelantarkan oleh lingkungan.

4. Bimbingan adalah suatu proses bantuan yang diberikan kepada individu atau kelompok, agar dapat memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya, serta mampu merencanakan masa depannya.

(16)

BAB II

KAJIAN TEORI

Pada bagian ini peneliti menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti guna memperjelas permasalahan yang diteliti, yaitu : kebermaknaan hidup, bimbingan kelompok, suster-suster yunior dalam kongregasi FSE, dan bimbingan kelompok sebagai sarana untuk meningkatkan makna hidup.

A. Kebermaknaan Hidup

1. Pengertian.

Manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya, karena ia sendirilah yang akan merasakan kehidupannya dan ia sendiri yang akan bertanggung jawab terhadap eksistensi atau keberadaan hidupnya. Berdasarkan keinginan pribadi dalam memilih dan mengambil sikap, perlu dikembangkan keberadaannya serta rasa tanggung jawab atas pilihannya. Mengembangkan keberadaan diri serta rasa tanggung jawab atas pilihan hidup merupakan realisasi nilai-nilai yang sesungguhnya untuk membentuk hidup menjadi bermakna.

(17)

nilai-nilai sikap (mengalami penderitaan dalam hidup, mengalami kebosanan) yang menimbulkan perasaan bahagia dalam kehidupan.

Teori yang digunakan peneliti dalam menjelaskan kebermaknaan hidup terinspirasi dari Victor E. Frankl. Frankl (1978: 41-42) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup merupakan tingkat perwujudan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai sikap, dan nilai-nilai pengalaman apabila diwujudkan dengan baik dalam hidup, maka akan dialami perasaan bahagia dan berarti dalam kehidupan. Frankl berpendapat bahwa kehidupan itu mempunyai makna dan kehidupan itu adalah tugas yang harus dijalani. Pencarian makna hidup menjadi motivasi utama kepribadian manusia. Frankl (Prasetya, 2000: 52) berpendapat bahwa tujuan hidup adalah menemukan makna untuk dijadikan tugas dan tanggung jawab setiap pribadi. Konsep pencarian makna hidup justru menawarkan ketegangan antara kenyataan diri sekarang dengan makna-makna yang harus dipenuhi (Koeswara, 1992).

(18)

untuk menemukan makna hidupnya. Frankl (Koeswara,1987: 60) menyatakan bahwa setiap individu adalah unik, demikian juga kehidupannya, sehingga kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan orang lain. Dengan demikian, makna hidup sangat bersifat khusus dan cenderung berganti dari waktu ke waktu.

Makna hidup bersifat spesifik dan konkret artinya, makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang. Keberadaan makna hidup merupakan hal yang menantang (challenging) dan mengundang (inviting) orang untuk menemukannya.

(19)

Dengan mengembangkan metode dan teknik-teknik yang berorientasi pada makna hidup, Frankl membangun psikoterapinya sendiri yang pada awalnya diberi nama existenzialist dan kemudian disebut logotherapi (Koeswara, 1992: 46)

2. Landasan Filosofis Logoterapi

Pencarian makna hidup ini yang menjadi prinsip dasar teori Frankl yang disebut logotherapy. Kata “logos” yang diambil dari bahasa Yunani diterjemahkan sebagai “makna” (meaning) (Schultz, 1991: 149). Logoterapi itu sendiri berbicara mengenai makna dari eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan makna, serta teknik-teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan penderitaan akibat kegagalan dalam menemukan makna hidupnya (Schultz, 1991: 149-150).

a. Kehendak bebas (freedom of will).

(20)

tertentu yang sifatnya mengekang dan membatasi kebebasan murni dari individu tersebut.

Konsep kebebasan merupakan suatu konsep praktis yang tidak mudah untuk dipahami dan dijalani, karena kebebasan manusia memiliki batas-batas tertentu (Koeswara, 1992). Frankl (Koeswara, 1989: 38) berpendapat, bahwa manusia tidaklah bebas dari kondisi biologis, psikologis, dan sosiologis, akan tetapi manusia bebas mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut. Lebih lanjut Frankl mengatakan bahwa manusia tidak hanya sanggup mengambil sikap terhadap dunia, tetapi juga sanggup dan bebas mengambil sikap terhadap dirinya sendiri, menerima atau menolak dirinya (Koeswara, 1987: 38).

(21)

b. Keinginan akan Makna (the will to meaning)

Keinginan akan makna merupakan keinginan yang utama yang tidak akan pernah padam pada diri manusia. Mencari makna hidup berarti memperkembangkan keberadaannya dan mematangkan serta membahagiakan dirinya sendiri (Koeswara, 1987: 39). Frankl memandang pencarian makna sebagai tanggung jawab yang harus dipikul oleh manusia secara individual.

Kesenangan dan kekuasaan bukanlah tujuan utama, melainkan efek yang dihasilkan oleh tingkah laku dalam rangka pemenuhan diri (self-fulfillment) yang bersumber pada atau diarahkan oleh keinginan kepada

makna (Koeswara, 1987: 38). Lebih lanjut Frankl mengatakan bahwa, keinginan akan kesenangan dan keinginan akan kekuasaan berasal dari keinginan akan makna (Koeswara, 1987: 39). Keinginan akan makna itulah yang menjadi penggerak utama kepribadian manusia.

Frankl menekankan bahwa makna merupakan sesuatu di luar atau di depan ada, dan bukan sesuatu yang semata-mata merupakan pengekspresian diri dari ada itu sendiri (“meaning must not coincide with being; meaning must be ahead of being”) (Koeswara, 1987: 39), yang

(22)

dan caranya sendiri dalam mencari makna dalam hidupnya, serta hidup bertanggung jawab atas sikap yang diambil dalam memaknai hidupnya. c. Kebermaknaan Hidup (the meaning of life).

Frankl (Koeswara, 1987: 41-42) menyatakan bahwa apabila nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai sikap, dan nilai-nilai pengalaman diwujudkan dengan baik dalam hidup, maka akan dialami perasaan bahagia dalam kehidupan. Oleh karena keunikan arti hidup adalah soal penemuan diri, maka makna hidup tersebut mesti digali dan ditemukan oleh tiap pribadi secara terus-menerus.

Kemauan akan makna hidup adalah kebutuhan untuk terus menerus memberi suatu makna bagi eksistensi diri (Schultz, 1991: 150). Orang yang mampu mengatasi diri, akan semakin mampu menjadi manusia sepenuhnya. Frankl (Schultz, 1991: 150) berpendapat, bahwa individu yang telah menjadi manusia sepenuhnya adalah manusia yang berkepribadian sehat. Frankl (Schultz, 1991: 159) menyebutkan beberapa sifat kepribadian yang sehat, sebagai berikut:

1) Mereka bebas memilih tindakan mereka sendiri

2) Mereka secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku merek dan sikap yang mereka anut terhadap nasib mereka.

3) Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka.

(23)

5) Mereka secara sadar mengontrol kehidupan mereka. 6) Mereka telah mengatasi perhatian terhadap diri. 7) Mereka berorientasi terhadap masa depan.

8) Hidupnya diarahkan pada tujuan-tujuan dan tugas-tugas yang akan datang.

3. Tingkat Perwujudan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai sikap, dan nilai-nilai

pengalaman sebagai petunjuk kebermaknaan hidup.

Frankl (Schultz, 1991:155-156) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup terungkap atau tampak dalam perwujudan nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman dan nilai-nilai-nilai-nilai sikap.

a. Nilai-Nilai Daya Cipta (creative values)

Nilai-nilai daya cipta adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk melakukan suatu perbuatan, yang diberikan pada kehidupannya (Frankl: 2003:126). Lebih lanjut Frankl mengungkapkan bahwa makna hidup terdapat pada sikap kerja, cara kerja, dan hasil kerja (Bastaman 1996). Biasanya aktivitas yang kreatif dan produktif berkenaan dengan suatu pekerjaan, meskipun nilai-nilai daya cipta juga terungkap dalam semua bidang kehidupan.

1) Sikap kerja.

(24)

manusia yang merupakan ekspresi kemampuan dan keberadaan dalam sebuah lembaga dan masyarakat.

Manusia menjadi semakin berarti apabila manusia mampu memaknai kerja sebagai sebuah panggilan hidup (Hardjana, 2002) Lebih lanjut Hardjana menjelaskan bahwa sikap kerja adalah tanggapan dan perilaku orang terhadap kerja yang merupakan ekspresi kemampuan dan keberadaan diri, sehingga membawa makna dalam kehidupannya.

Manusia yang memiliki sikap yang baik terhadap pekerjaannya, mampu memberi sumbangan yang besar dan bagus terhadap tempat ia bekerja, sekaligus juga memberi kebanggaan bagi dirinya sendiri dan orang lain (Hardjana, 2002: 18). Sikap kerja yang positif dan baik memampukan orang menjadi bahagia dalam melaksanakan pekerjaannya.

2) Cara kerja

(25)

teknis, semakin sulit dia mengerjakan sesuatu yang membutuhkan kecakapan, semakin besar resiko kegagalannya, sehingga pekerjaan yang dilakukan menjadi beban dalam hidupnya.

3) Hasil kerja

Hasil kerja adalah akibat dari usaha yang telah dilakukan dalam pekerjaannya (Hardjana, 2002: 22). Lebih lanjut Hardjana menguraikan, bahwa orang yang bertanggung jawab akan menyerahkan hasil kerja yang tidak asal jadi, tetapi yang sudah sempurna. Ia tidak hanya memperhatikan pekerjaannya sendiri, tetapi juga ikut memikirkan, menghargai pekerjaan rekan-rekan kerja yang lain, sehingga membawa kebahagiaan, perasaan nyaman dan senang.

Orang yang bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya, jika terjadi kekurangan dan kegagalan dalam kerja, tidak akan mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain, tetapi berusaha atau termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik dan tidak cepat merasa putus asa.

b. Nilai-nilai pengalaman (experiential values)

(26)

1) Menemukan kebenaran dalam hidup

Menemukan kebenaran dalam hidup adalah keberanian, usaha orang untuk mencari, menyatakan suatu keadaan yang sesungguhnya atau dengan kata lain sesuatu yang sungguh-sungguh benar, tidak mengada-ada tetapi berdasarkan kejujuran. 2) Menciptakan keindahan

Menciptakan keindahan adalah kemampuan orang untuk menciptakan suasana yang enak dipandang, cantik, sejuk, dan rasa nyaman, sehingga dapat menimbulkan rasa bahagia, nyaman bagi diri sendiri dan orang lain. Penciptaan keindahan berasal dari diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, perlu sikap saling menghargai terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh orang lain yang juga menciptakan keindahan.

3) Memberikan cinta.

(27)

tetapi membuat melek, menjadikan orang yang mengalami cinta mampu melihat nilai-nilai.

Tak seorang pun dapat menyadari adanya sesuatu yang sangat esensial dari keberadaan orang lain, jika dia tidak mencintainya (Frankl, 2003: 127). Orang yang bertindak berdasarkan cinta, akan dapat melihat, memahami, dan menerima keberadaan orang lain apa adanya. Oleh karena itu, sikap saling menerima dapat menjadikan setiap pribadi mengaktualisasikan potensi-petensinya (Frankl, 2003: 127).

c. Nilai-nilai sikap (attitudinal values).

Nilai-nilai sikap adalah cara yang tepat yang dilakukan orang dalam mencari makna hidupnya (Schultz, 1991: 157). Lebih lanjut Frankl mengatakan bahwa situasi-situasi yang sangat buruk, seperti mengalami penderitaan dalam hidup dan mengalami kebosanan yang dapat memberi peluang atau kesempatan yang sangat besar untuk mencari dan menemukan makna hidup.

1) Mengalami penderitaan dalam hidup

(28)

yang dialaminya (Frankl, 2003: 128). Ketika menderita tekanan akibat perlakuan teman-teman, orang tergerak untuk mencari penyelesaian, bukan lari dari kenyataan yang sedang dihadapi.

Penderitaan membuat orang menjadi kaya dan lebih kuat, dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Frankl mengatakan bahwa orang dapat lebih matang dalam penderitaan dan tumbuh karena penderitaan. Menurut Frankl (Koeswara 1987:41) pendertiaan bagi manusia memiliki makna yang cukup vital

Pada taraf biologis, kesakitan atau penderitaan memiliki makna sebagai pemelihara keterjagaan. Frankl (Koeswara, 1987: 41) menjelaskan bahwa manusia bertindak menjaga diri dari apati atau memelihara diri agar tidak terjerumus ke dalam kematian psikis (psychic rigor mortis).

2) Mengalami kebosanan

Kebosanan adalah perasaan tidak suka dan jemu dalam menjalani kehidupan. Perasaan tidak suka dan jemu dapat mengakibatkan orang tidak aktif. Akan tetapi, keaktifan dapat muncul karena ingin berusaha berbuat sesuatu untuk menemukan kembali makna hidup dalam kebosanan tersebut.

4. Sindrom Ketidakbermaknaan.

(29)

frustration) dan neurosis noogenik (noogenic neuroses). Frustrasi eksistensial

adalah fenomena umum yang berkaitan dengan keterhambatan dan kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna. Sedangkan neurosis noogenik adalah suatu manifestasi khusus dari frustrasi eksistensial yang ditandai oleh simptomologi neurotik klinis tertentu yang terbuka atau tampak. a. Frustrasi Eksistensial

Keinginan akan makna hidup dapat juga disebabkan oleh rasa frustrasi, yang di dalam kasus logoterapi disebut “frustrasi logoterapi”. Kata eksistensi digunakan untuk menunjukkan tiga hal (Frankl, 2003: 113-114) yaitu keberadaan itu sendiri, yakni spesifikasi keberadaan manusia, makna eksistensi, dan usaha untuk mendapatkan makna konkret dalam keberadaan diri, yang bisa sebagai keinginan akan makna hidup.

Kegagalan untuk menemukan makna hidup atau frustrasi eksistensial, sering mengarah kepada kompensasi-kompensasi (Koeswara, 1987: 43). Bentuk-bentuk kompensasi tersebut antara lain: alkohol, obat bius, seks, judi, dan kecenderungan untuk menutup diri.

b. Neurosis Noogenik

(30)

bersumber pada dimensi noogenik atau kondisi-kondisi spiritual, yakni kehampaan eksistensial.

Dalam masyarakat modern dewasa ini, banyak dijumpai fenomena yang mirip dengan kondisi neurosis, tetapi tidak dikategorikan sebagai suatu bentuk patologi. Fenomena yang dimaksud Frankl (Koeswara, 1987: 44-45) adalah sebagai berikut:

1) Sikap pesimistik terhadap hidup.

Sikap pesimistik itu dapat dilihat pada individu-individu yang pernah mengalami perang dunia atau perang yang berkepanjangan. Individu-individu yang pesimistik itu menjalani hidup seakan-akan tidak akan ada hari esok.

2) Sikap fatal terhadap hidup

(31)

3) Sikap konformis dan kolektivis.

Menurut Frankl sikap konformis dan kolektivis, terlihat pada individu-individu yang meleburkan dirinya ke dalam massa, sehingga kehilangan kepribadiannya, dan bertingkah laku seolah-olah hanya mengikuti arus kehidupan massa, dengan kata lain tidak memiliki prinsip hidup.

4) Fanatisme.

Jika para konformis dan kolektivis itu mengingkari kepribadiannya sendiri, maka individu-individu yang dilanda fanatisme mengingkari kepribadian orang lain. Mereka hanya mau mendengar opini-opini penguasa dan opini-opini publik.

B. Bimbingan Kelompok

1. Pengertian

(32)

obyektif lingkungan, baik lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya, dan menerima berbagai kondisi lingkungan secara positif dan dinamis juga.

Bimbingan kelompok adalah pelayanan bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu bersamaan dengan maksud untuk mendukung perkembangan anggota-anggotanya seoptimal mungkin (Winkel, 1997: 518). Maryana, dkk (1997: 24) mengartikan bimbingan kelompok sebagai layanan bimbingan yang diberikan kepada beberapa orang dalam kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok.

2. Hal-hal Penting yang Dapat Dilihat dalam Bimbingan Kelompok

Hal-hal penting yang dapat dilihat dalam penyelenggaraan bimbingan kelompok adalah: pembimbing, peserta, masalah atau topik yang dibahas, dan azas-azas (Maryana dkk, 1997: 25-26).

a. Pembimbing

Pembimbing dalam hal ini berperan sebagai fasilitator dan pemimpin kelompok. Oleh karena itu pembimbing dituntut menguasai beberapa teknik manajemen kelompok.

b. Peserta

(33)

merupakan kelompok yang keanggotaannya bersifat insidental; kelompok dibentuk saat diperlukan, misalnya untuk membahas topik-topik tertentu yang sedang “hangat”.

c. Topik

Topik adalah masalah yang dibahas dalam bimbingan kelompok dapat ditentukan oleh pembimbing atau dapat pula muncul dan dipilih sendiri oleh anggota kelompok.

d. Asas-asas

Asas-asas dalam bimbingan kelompok ada empat (Maryana dkk, 1995) yaitu:

1) Asas kesukarelaan, artinya keterlaksanaan bimbingan kelompok menghendaki adanya kesukarelaan anggota dalam mengikuti dan menjalani aktivitas pelayanan, bukan karena desakan atau paksaan. 2) Asas keterbukaan, artinya bahwa keterlaksanaan bimbingan

kelompok menghendaki setiap anggota kelompok bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri maupun dalam menerima informasi dan materi dari anggota lainnya.

(34)

4) Asas kerahasiaan, yaitu komitmen di antara sesama anggota untuk bersama menjaga kerahasiaan informasi atau hal-hal yang perlu dirahasiakan, misalnya: pengakuan atau ungkapan-ungkapan pribadi kawannya.

3. Unsur-Unsur Kehidupan Kelompok

Bimbingan kelompok diharapkan menyentuh seluruh aspek pribadi. Aspek pribadi yang dimaksudkan antara lain adalah kognitif, afeksi, sosial, rohani (Prasetyo, 1993: 252-253). Aspek-aspek kepribadian itu diharapkan dapat dikembangkan dalam kehidupan kelompok.

Unsur-unsur kehidupan kelompok dalam bimbingan kelompok ada lima yaitu, hubungan yang dinamis antar anggota, tujuan bersama, sifat kegiatan kelompok, itikad dan sikap terhadap orang lain, dan kemampuan mandiri (Prayitno, 1995: 27-30).

a. Hubungan antar anggota.

Hubungan antaranggota kelompok maksudnya ialah adanya sikap saling menerima, menghargai, sehingga tercipta suasana yang akrab. Dengan suasana yang akrab ini anggota kelompok dapat merasakan perasaan senang, perasaan diterima, dan rasa cinta.

(35)

b. Tujuan bersama

Tujuan bersama adalah pusat dari kegiatan/kehidupan kelompok. Tujuan bersama kelompok yaitu menjalankan tugas yang dibebankan kepada kelompok itu. Anggota kelompok memusatkan diri untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga aspek pribadi anggota kelompok dapat berkembang.

c. Sifat kegiatan kelompok.

Sifat dari kegiatan kelompok ialah menciptakan suasana akrab, bekerja secara efektif, saling terbuka, saling mendukung, menghilangkan rasa cemburu, saling mendengarkan, dan saling menghargai.

d. Itikad dan sikap para anggota kelompok.

Itikad dan sikap para anggota kelompok sangat menentukan kehidupan kelompok. Beritikad baik, artinya tidak mau menang sendiri, tidak sekedar menanggapi atau menyerang pendapat orang lain. Sikap menyerang pendapat orang lain dapat menimbulkan suasana “panas”, karena sikap menyerang tersebut cenderung mematahkan semangat orang lain, bahkan mengundang orang lain untuk menyerang balik.

(36)

Jika itikad dan sikap saling menghargai tidak berkembang dalam kelompok, maka kehidupan kelompok akan dapat terancam. Jika dalam kelompok para anggota merasa terkungkung, tidak bebas atau merasa terpaksa berada dalam kelompok, maka kehidupan kelompok akan macet. Peran pemimpin kelompok pada situasi tersebut, sangat diperlukan, karena pemimpin kelompoklah yang membawa mereka menjadi anggota yang benar-benar siap ikut serta dalam kegiatan kelompok dengan itikad dan sikap yang baik.

e. Kemandirian.

Kemandirian merupakan kemampuan untuk berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Setiap anggota bertanggung jawab untuk melaksanakan hasil bimbingan kelompok yang telah diterima.

4. Fungsi Bimbingan Kelompok

(37)

anggota kelompok. Fungsi pengembangan yaitu fungsi bimbingan dalam memperkembangkan potensi dan kondisi-kondisi positif peserta secara mantap dan berkelanjutan (Maryana dkk, 1997: 4).

5. Tujuan Bimbingan Kelompok

Tujuan bimbingan kelompok adalah supaya orang yang dilayani menjadi mampu mengatur kehidupan sendiri, memiliki pandangan sendiri, tidak sekedar “membebek” terhadap pandangan orang lain, mampu mengambil sikap sendiri, dan berani bertanggung jawab terhadap kehidupannya dan menanggung sendiri konsekwensi dari segala tindakannya (Winkel, 1997: 519). Bimbingan kelompok dapat diberikan dalam kelompok besar atau kelompok kecil. Pembimbing berhadapan dengan peserta, yang semuanya membutuhkan pelayanan bimbingan yang lebih kurang sama arahnya. Namun, yang terutama dituju bukanlah perkembangan kelompok sebagai kelompok, melainkan perkembangan optimal dari masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok (Winkel, 1997: 519).

(38)

meningkatkan hubungan antar anggota komunitas yang baik, kepemimpinan yang partisipatif dan transformatif dan lain sebagainya.

C. Suster-Suster Yunior dalam Kongregasi FSE

1. Pengertian

Suster-suster yunior merupakan suster-suster yang sudah mengucapkan profesi sementara, yang mempunyai kewajiban untuk hidup menurut anggaran dasar dan konstitusi serta memperoleh hak yang telah ditetapkan dalam konstitusi dan hukum gereja. Suster-suster yunior dalam kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth, memiliki usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun. Mereka wajib mengikuti pembinaan yang diprogramkan oleh kongregasi demi perkembangan kepribadiannya sebagai religius. Pada umumnya suster-suster dikatakan yunior bila berada dalam tahap yuniorat atau sering juga disebut suster yang berkaul sementara. Menurut ketentuan gereja, masa yunior harus sekurang-kurangnya tiga tahun dan sebanyak-banyaknya sembilan tahun (KHK, 655). Suster-suster yunior FSE pada tahap yuniorat, wajib mengikuti program pembinaan yang sudah ditetapkan oleh kongregasi.

(39)

ditetapkan oleh kongregasi, mengingat bahwa perkembangan pribadi dan situasi yang dihadapi oleh suster-suster yunior tidak sama. Dengan demikian, kesiapan masing-masing untuk bergabung dalam keanggotaan secara defenitif juga tidak sama.

Suster-suster yunior dalam hubungannya dengan hidup religius berada pada masa/tahap penyesuaian diri terhadap kongregasi yang telah dipilihnya. Suster-suster yunior dalam kehidupan sehari-hari, dihadapkan pada kenyataan hidup religius dan tuntutan-tuntutan kongregasi. Oleh karena itu, suster-suster yunior dituntut kreatif dan senantiasa membina diri agar semakin menjadi bagian dari kongregasi. Pada akhirnya, suster-suster yunior diharapkan semakin memiliki kematangan diri termasuk mampu menghayati hidup religius.

2. Gambaran Ideal Suster-Suster Yunior FSE

Seorang suster yunior FSE adalah religius sejati, yang mampu membaktikan diri secara total kepada Allah. Membaktikan diri secara total kepada Allah yang diwujudkan lewat tugas-tugas yang diberikan kepada setiap suster sehingga dengan tugas-tugas yang diberikan kepada setiap suster, para suster yunior semakin dapat mengalami, memahami, dan merasakan bahwa panggilan hidup yang telah dipilih adalah sungguh-sungguh bermakna.

(40)

suster-suster yunior FSE yang tinggi kebermaknaan hidupnya (Konstitusi FSE 2000).

a. Sikap kerja

1) Semangat dalam tugas yang dipercayakan.

2) Berusaha mencari ide-ide yang sesuai dengan tugas yang dilakukan 3) Memiliki prinsip kerja yang baik

4) Berpikir positif dalam melaksanakan tugas-tugasnya 5) Mencintai pekerjaan walaupun kurang dihargai

6) Menyadari bahwa pekerjaan/kegiatan dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya.

b. Cara kerja

1) Pekerjaan sehari-hari diyakini sebagai sumber kegembiraan hidup 2) Menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan dalam pekerjaan

3) Memberi perhatian yang serius pada pekerjaan yang dianggap sulit. 4) Memulai pekerjaan dengan berdoa.

5) Bekerja dengan hati yang gembira

6) Bersunguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan

7) Mempelajari terlebih dahulu pekerjaan yang akan dilaksanakan 8) Tidak mudah menyerah

(41)

c. Hasil kerja

1) Menghargai hasil karya orang lain

2) Memberi pujian dengan tulus hati terhadap orang lain 3) Tidak mudah menyerah apabila mengalami hambatan 4) Merawat dengan baik alat yang telah digunakan

5) Berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh hasil yang baik 6) Berani menghadapi tantangan

7) Mensyukuri segala hasil kerja yang telah diperoleh

8) Memberi dorongan terhadap orang lain untuk memperoleh hasil yang baik.

d. Menemukan kebenaran dalam hidup 1) Berani mengungkapkan kebenaran 2) Terbuka menerima pendapat orang lain 3) Berani meluruskan yang dianggap salah

4) Berani membela orang-orang yang mencari kebenaran 5) Menumbuhkan sikap saling percaya dengan orang lain 6) Berani mengungkapkan ketidak setujuan, apabila diganggu.

e. Menciptakan keindahan

1) Menyumbangkan bakat-bakat untuk menciptakan keindahan 2) Mampu menikmati lukisan-lukisan yang dipajang

(42)

f. Memberikan cinta

1) Berani memberikan milik pribadi saya demi orang lain apabila diperlukan.

2) Berkeyakinan bahwa lebih baik memahami daripada dipahami 3) Menciptakan kehangatan persaudaraan di komunitas

4) Mengunjungi saudara yang sedang sakit

5) Tidak memilih-milih orang lain untuk dijadikan teman

6) Merefleksikan dari belajar dari pengalaman-pengalaman hidup. g. Mengalami penderitaan dalam hidup

1) Bersyukur apabila mendapat kritik tajam dari teman atau pimpinan 2) Berkeyakinan bahwa hidup sangat berarti

3) Kedekatan dengan Tuhan menguatkan saya

4) Tetap berusaha bersemangat walaupun menderita sakit. 5) Mendekati teman yang sedang mengalami permasalahan 6) Merasa bahagia dengan kehidupan saat ini

7) Menerima orang lain apa adanya

8) Mampu belajar dari kegagalan yang dialami

9) Berkeyakinan bahwa kehidupan ini menggairahkan 10) Tidak takut mati

11) Merasa berguna bagi orang lain

(43)

h. Mengalami kebosanan

1) Mampu mencari penyebab kebosanan

2) Pada waktu luang mempelajari permainan yang mengembangkan keterampilan.

D. Bimbingan Kelompok sebagai Sarana untuk Meningkatkan Kebermaknaan

Hidup.

Bimbingan kelompok merupakan pelayanan bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan yang dapat menunjang perkembangan anggota-anggotanya seoptimal mungkin (Winkel, 1997: 503). Hal senada juga diungkapkan Depdikbud (1994: 1) dengan menyatakan bahwa, bimbingan kelompok merupakan suatu proses bantuan yang diberikan kepada kelompok, agar masing-masing peserta dapat memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya, serta mampu merencanakan masa depannya.

Bimbingan dalam rangka memahami diri dimaksudkan, agar seseorang mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta menerimanya secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut. Menerima secara positif dan dinamis, membantu individu untuk merefleksikan hidup yang telah dijalani, sehingga dengan demikian individu dapat melihat aspek diri yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki.

(44)

Lebih lanjut Frankl mengatakan bahwa, melalui pencarian makna hidup manusia dapat semakin mampu memperkembangkan keberadaanya, mematangkan kepribadiannya, dan akhirnya dapat membahagiakan diri sendiri dan orang lain.

Atas dasar pencarian makna hidup, orang dapat mempertahankan hidup yang berkualitas dengan membina diri secara terus menerus, tidak hanya menunggu dari atas, tetapi ada usaha dari diri sendiri sehingga dapat menemukan ritme bina dirinya yang sesuai (Prasetyo, 2000). Dengan bimbingan kelompok peserta diharapkan (Prasetyo, 2000: 143-148) :

1. Semakin mampu untuk menerima kenyataan

Orang termasuk dewasa apabila ia terbuka untuk mengetahui dan menerima dirinya dan orang lain, karena ia mempunyai keyakinan diri dan kepastian untuk berpijak pada kakinya sendiri tanpa terombang-ambing oleh macam-macam pengaruh yang melanda dirinya. Ia memiliki semacam integrasi pribadi, dan ini tampak antara lain: dalam kemampuannya untuk tidak menyangkal atau menyembunyikan kelemahannya sendiri, dan dapat memahami dan menerima kelemahan orang lain.

(45)

kambing hitam yang lain tetapi berani menghadapi dan mencari penyelesaiannya.

2. Semakin dapat menerima dan menghayati apa yang bernilai.

Sebagai religius, suster-suster Yunior FSE dibantu untuk benar-benar menerima dan menghayati nilai-nilai injili (nilai hidup rohani), dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan-kepentingan yang bersifat utilitaristis (menguntungkan diri), defensif (untuk membela diri), atau sekedar memamerkan kesalehan dan kesediaannya.

3. Semakin dapat mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup.

Bagi orang yang dapat mengarahkan daya–daya hidupnya, kata-katanya dalam hidup bukanlah kebohongan dan omong kosong tetapi didukung oleh penghayatan dan kesaksian hidupnya. Ada kesesuaian antara apa yang biasanya ia katakan dan ia hayati sendiri dalam hidup. Karena itu ia akan dapat mengendalikan ketegangan yang mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya, mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya, meskipun sekilas tampaknya terlalu jauh dan sulit untuk dijangkau. 4. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme.

(46)

“hamba Tuhan”. Religius yang menyadari diri sebagai “hamba Tuhan” mampu membela nilai-nilai Kristus. Maksudnya ialah religius tersebut tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab.

Apabila religius Yunior menyadari diri sebagai “hamba Tuhan”, maka mereka akan lebih peka terhadap perasaaan orang lain, dan lebih terbuka untuk mencari jalan keluar bersama sesama, mengingat keterbatasan diri dan keterbatasan sesama. Religius ini mengerti bahwa hukum Kerajaan Allah itu harus dilaksanakan, tetapi ia juga tahu, bahwa manusia juga dihinggapi kerapuhan dan kedosaan yang menghambat perwujudan Kerajaan Allah. Namun kesadaran ini tidak membuatnya putus asa, tetapi terus menerus maju mengandalkan rahmat Tuhan.

5. Semakin mampu memiliki cinta yang tidak egois

Cinta yang tidak egois adalah cinta yang melampaui “personalisme” dan tidak menuntut apa-apa buat diri sendiri (tanpa pamrih). Oleh karena itu, orang yang memiliki cinta tidak akan mudah frustrasi, walaupun cintanya tidak berbalas, tidak ditanggapi secara memuaskan atau tidak mendatangkan kepuasan hati. Suatu cinta tanpa pamrih adalah cinta yang menomor satukan nilai cinta kasih Kristus.

6. Bersikap realistis

(47)

akan tahu, bagaimana membedakan mana yang hakiki dan yang tidak, mana fakta dan prinsip. Ia pun tahu kapan akan berbicara dan kapan akan diam. 7. Mampu mempercayai orang lain

Mampu memercayai adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, orang yang demikian akan mampu hidup bersama tanpa kegelisahan dan tanpa kekerasan, atau kemarahan yang tidak perlu, apalagi kekecewaan. Dengan demikian ia pun akan merasa bebas untuk memberi dan menerima dari hidup bersama yang makin memperkaya keperibadiannya sendiri. Ia tidak mendominasi orang lain apalagi merendahkan orang lain.

8. Memiliki kepercayaan pada diri sendiri.

Kepercayaan kepada diri sendiri tidak hanya dalam hal-hal yang sudah dialami, tetapi juga menyangkut hal-hal yang sedang diusahakannya. Orang tidak akan takut untuk melakukan pertobatan dan pembaruan hidup. Ia selalu siap dengan pertobatan, manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membarui diri sejauh mungkin atas dasar rahmat Tuhan dan kemampuan diri.

9. Menciptakan relasi sosial yang berciri “dependability”

(48)

bukan orang yang tidak tergantung semata-mata. Sikap dependability ini terlihat misalnya dalam:

a. Kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab, meski tiada orang lain yang membantunya.

b. Mampu menyesuaikan diri dengan orang lain, tanpa merasa terancam atau merasa superior/lebih unggul

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini memuat penjelasan mengenai jenis penelitian, subyek penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan dan diarahkan untuk menetapkan sifat suatu situasi pada waktu penelitian dilakukan (Furchan, 1998: 415). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior FSE dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok.

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah semua suster Yunior kongregasi FSE. Mereka tinggal di dua wilayah yaitu Sumatera Utara dan Yogyakarta, yang berjumlah 37 orang. Pengambilan data dilaksanakan sewaktu mereka mengadakan weekend di masing-masing pulau yang diadakan setiap tiga bulan sekali.

(50)

kongregasi dengan peneliti, sehingga peneliti dapat mengumpulkan data yang sesuai dengan topik skripsi. 2) Peneliti akan lebih mudah menindak lanjuti hasil penelitian.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini berbentuk kuesioner yang mengungkapkan kebermaknaan hidup. Kuesioner ini disusun oleh penulis sendiri, yang berdasar pada teori Victor. E. Frankl. Frankl (Schultz, 1991: 155-156) menyebutkan bahwa kebermaknaan hidup tampak atau terwujud pada nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai sikap, dan nilai-nilai pengalaman yang menimbulkan perasaan bahagia dan berarti dalam kehidupan.

Kuesioner kebermaknaan hidup ini, bersifat tertutup dan anonim, dengan tujuan agar subyek dapat lebih terbuka dalam memberikan informasi. Yang dimaksud dengan kuesioner tertutup adalah kuesioner yang berisi pernyataan-pernyataan yang jawabannya sudah disediakan oleh peneliti (Furchan, 1982: 249). Berikut ini dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan kuesioner:

1. Skala pengukuran kebermaknaan hidup.

(51)

menentukan pilihannya secara tegas dan tidak ragu-ragu atas pilihannya; apabila tersedia jawaban di tengah dapat timbul kecenderungan untuk memilih jawaban yang netral, khususnya oleh mereka yang ragu-ragu atas jawabannya.

2. Indikator kebermaknaan hidup

Indikator yang digunakan untuk menyusun kebermaknaan hidup ini berdasarkan teori Victor. E. Frankl: yaitu tingkat perwujudan nilai-nilai daya cipta (sikap kerja, cara kerja, dan hasil kerja), nilai-nilai pengalaman (menemukan kebenaran dalam hidup, menciptakan keindahan, dan memberikan cinta), nilai-nilai sikap (mengalami penderitaan dalam hidup, mengalami kebosanan) yang menimbulkan perasaan bahagia dalam kehidupan.

3. Susunan kuesioner kebermaknaan hidup

Secara keseluruhan item kebermaknaan hidup terdiri dari 114 item yang terbagi menjadi item favorable dan item unfavorable. Item favorable adalah pernyataan yang bersifat positif, memihak atau menunjukkan adanya atribut yang diukur. Item unfavorable adalah pernyataan yang bersifat negatif, tidak mendukung/ menggambarkan atribut yang diukur. 4. Penskoran

(52)

pernyataan yang unfavorable skor untuk jawaban “Sangat Sering”:1, “Sering”: 2, “Jarang”: 3, “ Sangat Jarang” 4. Kisi-kisi kuesioner kebermaknaan hidup yang digunakan dalam uji coba disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1

(53)

5. Validitas dan reliabilitas kuesioner kebermaknaan hidup a. Validitas

Validitas alat ukur adalah “taraf sampai dimana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang seharusnya diukur” (Masidjo, 1995: 242). Instrumen penelitian ini diuji dengan menggunakan validitas konstruk, yakni suatu validitas yang menunjukkan sampai dimana suatu alat ukur sesuai dengan suatu konsep yang seharusnya menjadi isi alat ukur tersebut atau konstruk teoritis yang mendasari disusunnya alat ukur tersebut.

Metode yang digunakan dalam mencari dan menganalisis validitas, adalah teknik Product Moment dari Pearson (Masidjo, 1995: 246) dengan rumus sebagai berikut:

rxy : Koefisien Validitas

(54)

Penghitungan taraf validitas dilakukan dengan memberi skor pada setiap item dan mentabulasi data uji coba. Selanjutnya proses penghitungan dilakukan dengan komputer program SPSS for Windows versi 11,0 agar lebih efektif dan efisien.

(55)

Tabel 2

Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Item No Nilai-nilai

(56)

Koefisien Korelasi Kualifikasi 0,91-1,00

0,71-0,90 0,41-0,70 0,21-0,40 negatif-0,20

Sangat tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah

Langkah-langkah penghitungan taraf reliabilitas alat ukur yaitu membuat tabel analisis item-item, menjumlahkan skor-skor yang berasal dari item-item yang bernomor gasal atau item-item yang dimasukkan sebagai belahan pertama pada kolom belahan gasal atau pertama. Demikian pula skor-skor yang berasal dari item-item yang bernomor genap atau item-item yang dimasukkan sebagai belahan kedua pada kolom belahan genap atau kedua. Selanjutnya skor-skor pada kolom belahan gasal atau pertama dan belahan genap atau kedua, dihitung koefisien korelasinya. Proses penghitungan dengan menggunakan komputer program SPSS (Statistic Programme for Social Science) for windows. Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui koefisien korelasi yang diperoleh dari perhitungan skor item-item gasal genap sebesar 0,8575. selanjutnya hasil koefisien korelasi tersebut dikoreksi dengan formula koreksi dari Spearman- Brown dengan rumus:

(57)

rtt =

rtt : indeks reliabilitas instrumen yang dicari

rgg : koefisien kerelasi gasal-genap

Hasil perhitungan uji reliabilitas kuesioner adalah:

rtt=

Untuk mengetahui tingkat keterandalan instrumen Masidjo (1995) menegaskan bahwa koefisien reliabilitas dinyatakan dalam satu bilangan koefisien antara –1, 00 sampai dengan 1,00. Hasil pengujian reliabilitas diperoleh rtt 0,8675. Dengan demikian taraf reliabilitas kuesioner kebermaknaan hidup

suster-suster yunior FSE adalah signifikan pada taraf 1% (rtt = 0,8675> 0,42) dan

termasuk kualifikasi tinggi. Hasil perhitungan terdapat pada lampiran 2

(58)

mempunyai arti yang sama dan kalimat yang kurang dimengerti. Item-item tersebut adalah: nomor 32, 34, 36, 45, 46, 47, 53, 74, 82, 84, 86, 89, 95, 99, 109, 110, 6, 23, 25. Kisi-kisi kuesioner kebermaknaan hidup yang digunakan dalam penelitian disajikan pada tabel 3 berikut:

Tabel 3

Kisi-kisi Kuesinoer Kebermaknaan Hidup yang Digunakan dalam Penelitian Nilai-nilai

dalam kebermaknaan

hidup

Indikator Favorable no item

a. Menemukan kebenaran dalam hidup

D. Prosedur Pengumpulan Data

1. Tahap persiapan

(59)

a. Penyusunan kuesioner

Hal-hal yang dilakukan peneliti dalam menyusun instrumen adalah: 1) Menentukan variabel yaitu gejala yang akan diteliti dalam

kebermaknaan hidup

2) Merumuskan indikator-indikator dari kebermaknaan hidup 3) Mengkonsultasikan instrumen yang telah dibuat kepada

pembimbing

4) Melakukan uji coba. b. Pelaksanaan uji coba alat

Sebelum peneliti melaksanakan uji coba kuesioner, peneliti terlebih dahulu menghubungi pimpinan-pimpinan komunitas FSGM, SSPS, FCJM, KSFL, dan FCH. Peneliti mengungkapkan maksud dan tujuan, kemudian pimpinan–pimpinan komunitas tersebut menanggapi dengan senang hati. Komunitas yang dimaksudkan adalah komunitas suster-suster Yunior FSGM dengan peserta sebanyak sepuluh orang, suster Yunior SSPS dengan peserta sembilan orang, suster-suster Yunior FCJM dengan peserta enam orang, suster-suster-suster-suster Yunior KSFL dengan peserta sebanyak tiga orang, dan suster-suster Yunior FCH dengan peserta sebanyak sepuluh orang. Jumlah seluruh responden dalam uji coba kuesioner ini adalah 45 orang.

(60)

di komunitas suster FCH tanggal 3 Juni 2004 pukul 17.00-17.40, di komunitas suster FCJM tanggal 30 Mei 2004 pukul 10.05-10.43. Uji coba alat pada tiga kumunitas di atas didampingi langsung oleh peneliti. Komunitas suster KSFL, dan komunitas suster SSPS tidak dapat diawasi karena sulitnya mencari waktu untuk mendampingi pengisian kuesioner. Alasan penulis memilih kelima tarekat di atas adalah:

1) Terdiri dari suster-suster yunior yang sama-sama menjalani tahap pembinaan yang intensif. Subyek uji coba penelitian alat berjumlah 45 orang

2) Tempat kelima tarekat tersebut dapat dijangkau, sehingga dengan demikian penulis dapat melaksanakan uji coba alat dengan efektif dan efisien.

2. Tahap Pengumpulan Data

(61)

yaitu Sr. M. Sesilia FSE untuk mengkoordinir pengumpulan data melalui pembagian kuesioner yang telah dikirimkan.

Populasi dirumuskan sebagai semua anggota sekelompok orang, kejadian, atau objek yang telah dirumuskan secara jelas (Furchan, 1982: 189). Sesuai dengan rumusan ini, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua suster-suster yunior Kongregasi FSE yang berjumlah 37 orang; 30 orang di wilayah Sumatera Utara dan 7 orang di wilayah Yogyakarta. Mereka terdiri dari yunior tahun pertama berjumlah 8 orang, yunior tahun kedua berjumlah 6 orang, yunior tahun ketiga berjumlah 6 orang, yunior tahun keempat berjumlah 3 orang, yunior tahun kelima berjumlah 6 orang, yunior tahun keenam berjumlah 6 orang, dan yunior tahun kedelapan berjumlah 2 orang. 37 suster-suster tersebut

Menurut laporan yang diterima peneliti waktu pengisian kuesioner berkisar satu minggu dan berlangsung lancar dan tertib. Setelah kuesioner penelitian diisi subyek penelitian, maka kuesioner penelitian dikumpulkan per komunitas atau secara pribadi mengembalikan kepada peneliti sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Jumlah kuesioner yang dikembalikan ke peneliti ada 30 eksempelar sesuai dengan yang dikirim oleh peneliti. Selanjutnya peneliti mengolah data dengan menggunakan komputer Program SPSS versi 11.0. Skor-skor kebermaknaan hidup yang diperoleh suster-suster

(62)

E. Teknik Analisis Data.

Untuk penelitian deskriptif digunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP) tipe I sebagai acuan/dasar dalam menggolongkan kebermaknaan hidup (sangat rendah, rendah, cukup tinggi, tinggi, dan sangat tinggi. Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah suatu penilaian yang membandingkan perolehan skor individu yang seharusnya atau idealnya dicapai oleh individu.

Purwanto (Kristofora, 2004: 63) mengatakan bahwa penilaian acuan patokan disebut juga penilaian patokan mutlak atau penilaian patokan absolut. Penelitian ini diorentasikan pada satu standar absolut, tanpa menghubungkannya dengan kelompok tertentu. Penilaian Acuan Patokan menetapkan batas pencapaian minimum pada persentil 65%. PAP dipilih sebagai acuan dasar penggolongan tingkat kebermaknaan hidup dalam penelitian ini karena penelitian ini mengharapkan sesuatu yang ideal/ yang seharusnya.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengolah dan menganalisis data adalah sebagai berikut:

1. Menentukan skor-skor dari setiap alternatif jawaban. Alternatif jawaban Favorable yaitu: SS diberi skor 4, S diberi skor 3, J diberi skor 2, dan SJ

diberi skor 1. Sebaliknya, untuk alternatif jawaban unfavorable: SS diberi skor 1, S diberi skor 2, J diberi skor 3 dan SJ diberi skor 4.

2. Menghitung jumlah skor dari masing-masing item. 3. Membuat tabulasi data.

(63)

5. Menghitung persentase berdasarkan frekuensi yang telah diperoleh untuk setiap item.

6. Menggolongkan kebermaknaan hidup dari seluruh responden berdasarkan Penilaian Acuan Patokan (PAP) tipe I dengan rumus seperti tertera pada tabel 4 berikut:

Tabel 4

Penggolongan Kebermaknaan Hidup Berdasarkan PAP tipe I Tingkat kebermaknaan hidup Kualifikasi

90%-100% Sangat tinggi

80%-89% Tinggi 65%-79% Cukup 55%-64% Rendah

(64)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat jawaban atas masalah penelitian yang pertama yaitu “Seberapa tinggi tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth?” Jawaban terhadap masalah kedua “Topik-topik bimbingan mana yang sesuai untuk meningkatkan kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE?” disajikan dalam Bab V.

A. Tingginya Kebermaknaan Hidup Suster-suster Yunior Kongregasi

Fransiskanes Santa Elisabeth Tahun 2004.

(65)

Tabel 5

Penggolongan Tingkat Kebermaknaan Hidup Suster-suster Yunior FSE Tahun 2004 Rumus

PAP Tipe I

Rentang Skor Frekuensi Persentase (%)

Tabel 5 menunjukkan bahwa di antara para suster yunior Kongregasi FSE, tidak ada yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi “sangat tinggi”. 7 orang suster (18.92%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi “tinggi”, 30 orang suster (81.08%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi “cukup tinggi”, dan tidak ada suster yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi rendah dan sangat rendah. Hasil analisis deskripsi kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE tahun 2004 disajikan pada lampiran 6.

B. Pembahasan

(66)

untuk memelihara dan meningkatkan kebermaknaan hidup baik dari pihak kongregasi maupun suster yunior FSE sendiri.

Untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu, pembahasan kebermaknaan hidup suster-suster yunior FSE terfokus pada dua saja yaitu: pertama, suster yunior FSE yang tingkat kebermaknaan hidupnya berkualifikasi tinggi. Kedua, suster-suster yunior Kongregasi FSE yang tingkat kebermaknaan hidupnya berkualifikasi cukup, rendah, dan sangat rendah.

Tingkat kebermaknaan hidup yang tergolong cukup dipandang masih kurang, masih belum ideal, karena itu pembahasan mengenai suster yang kebermaknaan hidupnya tergolong cukup disatukan dengan pembahasan mengenai tidak adanya suster yang tingkat kebermaknaan hidupnya tergolong rendah dan sangat rendah. Jadi, dalam pembahasan ini kualifikasi cukup, rendah dan sangat rendah ditafsirkan sebagai kurang (tingkat kebermaknaan hidup kurang tinggi).

1. Suster-suster yunior Kongregasi FSE yang tingkat kebermaknaan

hidupnya berkualifikasi tinggi.

(67)

spiritualitas kongregasi dengan baik, mereka memperhatikan dan menghargai keunikan pribadi masing-masing, berusaha senantiasa untuk menyatukan diri dengan Tuhan, mau bersikap terbuka dalam komunitas dan memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang dialami, dirasakan, dan mau menghargai dan menerima perbedaan satu dengan yang lain, serta memiliki motivasi hidup membiara yang kuat dan murni.

(68)

Untuk memelihara dan meningkatkan kebermaknaan hidup para suster yunior perlu dilakukan berbagai upaya, baik oleh pihak Kongregasi maupun oleh pihak suster sendiri. Pihak Kongregasi antara lain: Pertama, dapat merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara terus menerus dengan tujuan antara lain agar suster yunior FSE memiliki aktivitas kerja yang baik, memiliki komitmen, dan sikap optimis. Kedua, menelusuri atau menggali kembali motivasi para suster yunior. Ketiga, memberikan dukungan (pujian, sapaan) lebih-lebih ketika para suster yunior mengalami kegagalan, kekecewaan dalam menjalani hidup panggilannya.

Untuk memelihara dan meningkatkan kebermaknaan hidupnya, para suster yunior sendiri perlu berupaya, antara lain: Pertama, bersikap terbuka terhadap pemimpin kongregasi dan sesama suster. Kedua, mengikuti dengan teliti dan sepenuh hati program yang telah ditetapkan oleh Kongregasi seperti bimbingan rohani, refleksi, dan retret.

2. Suster-suster yunior Kongregasi FSE yang tingkat kebermaknaan

hidupnya kurang.

(69)

belum mencapai yang ideal. Jadi, sebagian besar suster yunior masih kurang tinggi tingkat kebermaknaan hidupnya.

Kenyataan ini memprihatinkan, tetapi masuk akal. Kenyataan ini mendorong peneliti untuk dilakukan pengkajian tentang penyebab, akibat, dan usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kebermaknaan hidup para suster yunior.

Menurut peneliti, kurang tingginya kebermaknaan hidup suster yunior Kongregasi FSE dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab, antara lain:

a. Perencanaan dan pelaksanaan program bimbingan kurang diperhatikan.

Pada dasarnya program bimbingan sudah direncanakan dengan baik. Akan tetapi pelaksanaan program kurang optimal.

b. Kurangnya keterbukaan.

Sebagian besar suster yunior kurang bersikap terbuka untuk didampingi.

(70)

tugas menangani administrasi Rumah Sakit sambil kuliah. Di Rumah Sakit, suster tersebut dituntut untuk bekerja seoptimal mungkin dan di komunitas dituntut untuk mengikuti seluruh acara harian secara tepat waktu. Kalau suster tersebut terlambat mengikuti acara harian maka teman sekomunitas akan bersikap kurang mendukungnya. Apabila kejadian tersebut terjadi berulang-ulang maka suster tersebut akan mengalami perasaan tidak kerasan tinggal dalam komunitas.

d. Kematangan pribadi yang masih kurang

Kurangnya kematangan pribadi tampak antara lain: dalam sikap pesimistik terhadap hidup. Apabila mengalami kegagalan dalam panggilan, langsung ada yang menunjukkan sikap tak berpengharapan, menjalani hidupnya seakan-akan tidak ada lagi tujuan yang diperjuangkan.

(71)

untuk mengembangkan hidup panggilan religius dianggap sebagai penghambat dalam menjalani panggilan hidupnya. Ketiga, akibat lain yang dapat muncul apabila tingkat kebermaknaan hidup kurang adalah merasa putus asa dan merasa frustrasi dengan kenyataan hidup dalam biara, sehingga dia dapat mengambil sikap lebih baik mundur dan meninggalkan panggilannya. Keempat, menjalani panggilan sebagai suatu rutinitas. Peraturan yang ada dalam biara tujuannya adalah untuk membantu para suster-suster untuk hidup dalam persaudaraan dan kesatuan cinta kasih dan membantu para suster untuk menghayati panggilan hidupnya. Suster yang tingkat kebermaknaannya kurang akan menganggap peraturan tersebut sebagai penyebab rutinitas yang membosankan.

(72)
(73)

BAB V

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

UNTUK MENINGKATKAN KEBERMAKNAAN HIDUP

SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI

FRANSISKANES SANTA ELISABETH

Bab ini memuat implikasi hasil penelitian terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok suster-suster yunior Kongregasi FSE.

Tabel 5 (halaman 58) menunjukkan bahwa di antara para suster yunior Kongregasi FSE, tidak ada yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi “sangat tinggi”. 7 orang suster (18.92%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi “tinggi”, 30 orang suster (81,08%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi “cukup”, dan tidak ada suster yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi rendah dan sangat rendah.

(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)

BAB VI

RINGKASAN, KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

Bab ini berisi ringkasan, kesimpulan, dan saran-saran. Bagian ringkasan memuat latar belakang masalah, landasan teori, rumusan masalah, metodologi penelitian, dan hasil penelitian. Bagian kesimpulan memuat kesimpulan dari penelitian. Bagian saran-saran memuat saran-saran untuk Kongregasi Suster-suster Fransiskanes Santa Elisabeth dan bagi peneliti lain.

A. Ringkasan

Orang yang bergabung atau masuk dalam Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth, harus dapat bertumbuh dan semakin menjadi pribadi yang diharapkan Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth. Dalam proses bertumbuh dan semakin menjadi pribadi yang seperti diharapkan Kongregasi FSE (gambaran ideal suster yunior Kongregasi FSE hal 31-34) orang diharapkan merasa bahagia dalam menjalani panggilan hidup yang telah dipilih. Namun dalam kenyataan yang dihadapi saat ini, harapan tersebut masih belum terpenuhi dengan baik.

(81)

keindahan, dan memberikan cinta), nilai-nilai sikap (mengalami penderitaan dalam hidup, mengalami kebosanan).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) tahun 2004 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok. Pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Seberapa tinggi tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE? (2) Topik-topik bimbingan mana yang sesuai untuk meningkatkan kebermaknaan hidup suster-suster yunior FSE?

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei. Subjek penelitian adalah suster-suster yunior Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth Tahun 2004 yang berjumlah 37 orang. Jadi, populasi dalam penelitian ini berjumlah 37 orang. Pengumpulan data dilakukan 14 Juli 2004

Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti sendiri. Alat tersebut memuat tingkat perwujudan nilai-nilai daya cipta (sikap kerja, cara kerja, dan hasil kerja), nilai-nilai pengalaman (menemukan kebenaran dalam hidup, menciptakan keindahan, memberikan cinta), dan nilai-nilai sikap (mengalami penderitaan dalam hidup, merasakan kebosanan).

(82)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di antara suster-suster yunior Kongregasi FSE 2004: (1) 7 orang suster (18.92%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi tinggi. (2) 30 orang suster (81.08%) yang kebermaknaan hidupnya berkualifikasi cukup. (3) tidak ada yang kebermaknaan hidupnya sangat tinggi, rendah, dan sangat rendah.

Topik-topik bimbingan untuk meningkatkan kebermaknaan hidup suster yunior Kongregasi FSE antara lain: peranan kebermaknaan hidup; sikap kerja; cara kerja; berpikir kreatif; mengoptimalisasi hasil kerja; berani mengungkapkan kebenaran; pemahaman dan penerimaan diri; makna cinta; menjadi pribadi yang proaktif; mengisi waktu luang; pemahaman diri; bersyukur atas pengalaman hidup yang kurang menyenangkan, dan menciptakan keindahan.

B. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan adalah tingkat kebermaknaan hidup suster-suster yunior Kongregasi FSE 2004 belum setinggi yang diharapkan, sehingga masih perlu ditingkatkan.

C. Saran-saran

Gambar

Tabel 1  Kisi-kisi Kuesioner Kebermaknaan Hidup
Tabel 2
Tabel  3
Tabel 4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari Gambar 1 dapat dilihat untuk pembayaran BHP ISR Telkom Flexi dari tahun 2005 – 2009 terjadi peningkatan pembayaran sesuai pertambahan BTS tiap tahun sehingga pada saat

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa tingkat pengetahuan dan sikap serta dukungan keluarga memiliki hubungan yang secara statistik signifikan dengan partisipasi

sumur gali, saluran air, dan terowongan air untuk mendapatkan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian, dan

Menduplikat halaman ini dimaksudkan untuk membuat halaman yang sama dengan halaman sebelumnya yaitu halaman index, hanya saja isi informasinya yang berbeda.. Gambar

Desain halaman Materi utama pada pengembangan media interaktif dirancang berisikan logo, identitas pengembang, tombol navigasi Home, tombol navigasi Lanjut, tombol

Kapiler dapat dikelompokkan dalam 3 jenis menurut struktur dinding sel endotel: (1) Kapiler kontinu yang memiliki susunan sel endotel rapat; (2) Kapiler fenestrata atau

[r]

Dalam hal pembelian Unit Penyertaan PREMIER CAMPURAN FLEKSIBEL dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan secara berkala sesuai dengan ketentuan nomor 14.6 Prospektus