• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bimbingan kelompok merupakan pelayanan bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan yang dapat menunjang perkembangan anggota-anggotanya seoptimal mungkin (Winkel, 1997: 503). Hal senada juga diungkapkan Depdikbud (1994: 1) dengan menyatakan bahwa, bimbingan kelompok merupakan suatu proses bantuan yang diberikan kepada kelompok, agar masing-masing peserta dapat memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya, serta mampu merencanakan masa depannya.

Bimbingan dalam rangka memahami diri dimaksudkan, agar seseorang mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta menerimanya secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut. Menerima secara positif dan dinamis, membantu individu untuk merefleksikan hidup yang telah dijalani, sehingga dengan demikian individu dapat melihat aspek diri yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki.

Frankl (Koeswara, 1992: 39) berpendapat orientasi atau keinginan kepada makna merupakan keinginan utama yang tidak pernah padam pada diri manusia.

Lebih lanjut Frankl mengatakan bahwa, melalui pencarian makna hidup manusia dapat semakin mampu memperkembangkan keberadaanya, mematangkan kepribadiannya, dan akhirnya dapat membahagiakan diri sendiri dan orang lain.

Atas dasar pencarian makna hidup, orang dapat mempertahankan hidup yang berkualitas dengan membina diri secara terus menerus, tidak hanya menunggu dari atas, tetapi ada usaha dari diri sendiri sehingga dapat menemukan ritme bina dirinya yang sesuai (Prasetyo, 2000). Dengan bimbingan kelompok peserta diharapkan (Prasetyo, 2000: 143-148) :

1. Semakin mampu untuk menerima kenyataan

Orang termasuk dewasa apabila ia terbuka untuk mengetahui dan menerima dirinya dan orang lain, karena ia mempunyai keyakinan diri dan kepastian untuk berpijak pada kakinya sendiri tanpa terombang-ambing oleh macam-macam pengaruh yang melanda dirinya. Ia memiliki semacam integrasi pribadi, dan ini tampak antara lain: dalam kemampuannya untuk tidak menyangkal atau menyembunyikan kelemahannya sendiri, dan dapat memahami dan menerima kelemahan orang lain.

Atas dasar pengenalan ini, orang tidak meremehkan masalah atau melarikan diri dari persoalan, lalu mencari kompensasi dengan berpura-pura aktif atau malah sebaliknya, menjadi malas dan acuh- tak acuh. Orang yang mengalami suatu masalah tidak melemparkan masalah kepada orang lain, atau bahkan mempersalahkan pembesar, komunitas atau kongregasi, dan mencari

kambing hitam yang lain tetapi berani menghadapi dan mencari penyelesaiannya.

2. Semakin dapat menerima dan menghayati apa yang bernilai.

Sebagai religius, suster-suster Yunior FSE dibantu untuk benar-benar menerima dan menghayati nilai-nilai injili (nilai hidup rohani), dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan-kepentingan yang bersifat utilitaristis (menguntungkan diri), defensif (untuk membela diri), atau sekedar memamerkan kesalehan dan kesediaannya.

3. Semakin dapat mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup.

Bagi orang yang dapat mengarahkan daya–daya hidupnya, kata-katanya dalam hidup bukanlah kebohongan dan omong kosong tetapi didukung oleh penghayatan dan kesaksian hidupnya. Ada kesesuaian antara apa yang biasanya ia katakan dan ia hayati sendiri dalam hidup. Karena itu ia akan dapat mengendalikan ketegangan yang mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya, mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya, meskipun sekilas tampaknya terlalu jauh dan sulit untuk dijangkau. 4. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme.

Religius yang tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme dapat memiliki fleksibilitas dan menyadari diri sebagai

“hamba Tuhan”. Religius yang menyadari diri sebagai “hamba Tuhan” mampu membela nilai-nilai Kristus. Maksudnya ialah religius tersebut tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab.

Apabila religius Yunior menyadari diri sebagai “hamba Tuhan”, maka mereka akan lebih peka terhadap perasaaan orang lain, dan lebih terbuka untuk mencari jalan keluar bersama sesama, mengingat keterbatasan diri dan keterbatasan sesama. Religius ini mengerti bahwa hukum Kerajaan Allah itu harus dilaksanakan, tetapi ia juga tahu, bahwa manusia juga dihinggapi kerapuhan dan kedosaan yang menghambat perwujudan Kerajaan Allah. Namun kesadaran ini tidak membuatnya putus asa, tetapi terus menerus maju mengandalkan rahmat Tuhan.

5. Semakin mampu memiliki cinta yang tidak egois

Cinta yang tidak egois adalah cinta yang melampaui “personalisme” dan tidak menuntut apa-apa buat diri sendiri (tanpa pamrih). Oleh karena itu, orang yang memiliki cinta tidak akan mudah frustrasi, walaupun cintanya tidak berbalas, tidak ditanggapi secara memuaskan atau tidak mendatangkan kepuasan hati. Suatu cinta tanpa pamrih adalah cinta yang menomor satukan nilai cinta kasih Kristus.

6. Bersikap realistis

Sikap realistis yang dimaksudkan di sini khususnya berhubungan dengan pelaksanaan nilai dan sikap hidup panggilan. Orang yang memilikinya

akan tahu, bagaimana membedakan mana yang hakiki dan yang tidak, mana fakta dan prinsip. Ia pun tahu kapan akan berbicara dan kapan akan diam. 7. Mampu mempercayai orang lain

Mampu memercayai adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, orang yang demikian akan mampu hidup bersama tanpa kegelisahan dan tanpa kekerasan, atau kemarahan yang tidak perlu, apalagi kekecewaan. Dengan demikian ia pun akan merasa bebas untuk memberi dan menerima dari hidup bersama yang makin memperkaya keperibadiannya sendiri. Ia tidak mendominasi orang lain apalagi merendahkan orang lain.

8. Memiliki kepercayaan pada diri sendiri.

Kepercayaan kepada diri sendiri tidak hanya dalam hal-hal yang sudah dialami, tetapi juga menyangkut hal-hal yang sedang diusahakannya. Orang tidak akan takut untuk melakukan pertobatan dan pembaruan hidup. Ia selalu siap dengan pertobatan, manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membarui diri sejauh mungkin atas dasar rahmat Tuhan dan kemampuan diri.

9. Menciptakan relasi sosial yang berciri “dependability”

Dependability berarti dalam hubungan dengan pembesar, kawan-kawan sekomunitas atau orang lain dapat memiliki sikap yang tidak hanya “tergantung” (dependent) atau hanya “mandiri” (independent). Orang yang memiliki ciri ini bukan orang yang tergantung pada orang lain tetapi juga

bukan orang yang tidak tergantung semata-mata. Sikap dependability ini terlihat misalnya dalam:

a. Kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab, meski tiada orang lain yang membantunya.

b. Mampu menyesuaikan diri dengan orang lain, tanpa merasa terancam atau merasa superior/lebih unggul

c. Mampu mengambil keputusan-keputusan yang baik dan tepat yang berkaitan dengan kehidupannya.

BAB III

Dokumen terkait