• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORITIS

B. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth

1. Gambaran Singkat tentang Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE)

a. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Belanda

Kongregasi FSE lahir di Belanda (Breda) pada tanggai 1 Agustus 1880. Pendiri Kongregasi FSE yaitu Sr. M. Matilda Leenders. Ia lahir tahun1825 dengan nama Wilhelmina Leenders. Ayahnya bernama Adrianus Leenders dan Ibunya Gertrude Saes. Wilhelmina Leenders dibesarkan dalam keluarga yang baik dan beriman. Sejak kecil, orangtuanya memperkenalkan hidup menggereja sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang beriman, pribadi yang berwatak kuat, bijaksana, penuh kehati-hatian dan ramah, serta peka pada situasi lingkungan. Suster M. Mathilda sebelumnya berasal dari Kongregasi Fransiskanes Alles Voor Alen (Konstitusi, 2000:A).

Tahun 1880 di Negeri Belanda terjadi perang oleh karena itu banyak orang mengalami kemiskinan dan penderitaan. Pada zaman itu, perhatian terhadap orang sakit dan jompo kurang, sehingga banyak orang sakit dan jompo meninggal tanpa mendapat pelayanan dan perawatan yang layak. Situasi ini menjadi keprihatinan bagi pihak Gereja, terutama dari Mgr.Henricus van Beek Pr sebagai Uskup Breda pada waktu itu, hatinya tergerak untuk ikut ambil bagian dalam meringankan penderitaan mereka. Didorong oleh keprihatinan ini, ia mencari tenaga yang bersedia untuk melayani orang sakit dari rumah ke rumah Biara. Ia

tidak mengenal lelah mengetuk pintu biara-biara yang berkarya di bidang kesehatan, antara lain Biara di Antwerpen dan menawarkan rencananya kepada mereka tetapi gagal. Kemudian, Mgr. Henricus van Beek, Pr mengetuk Biara Fransiskanes Alles Voor Allen (Mater Dei) dari Haagdijk.

Pada awalnya, Pemimpin Biara Mater Dei merasa berat menerima tawaran dari Mgr. Henricus van Beek, Pr karena ada ketakutan, apakah cara hidup sebagai peniten recolectin (pertobatan secara terus-menerus) dapat dipertahankan, apabila para susternya hidup di luar Biara Mater Dei dengan situasi pelayanan yang ditawarkan? Oleh karena itu Mgr.Henricus van Beek, Pr yang sudah mengenal Sr.Mathilda sebagai seseorang yang memiliki pribadi yang kuat dan beriman teguh mengatakan kepada Pimpinan Biara Mater Dei, bahwa Sr.Mathilda Leenders memiliki kemampuan untuk melayani orang sakit dan terlantar karena korban perang

Akhirnya tanggal 29 Juli 1880, Mgr Henricus van Beek Pr menerima Sr- Mathilda Lennders dan Sr.Anna van Dun, yang bersedia membantu dengan kerelaan sendiri seizin pemimpinnya. Dalam waktu singkat, Mgr Henricus van Beek Pr mencari tempat tinggal sementara, yaitu sebuah rumah yang memiliki beberapa kamar kecil dengan perabot yang sangat sederhana yang terletak di St. Yanstraat milik Bruder dari Huybergen di belakang Gereja St. Antonius. Beberapa lama kemudian, kedua suster ini dibantu oleh Sr. Bertha dan Sr.Juliana dari Biara Fransiskanes Alles Voor Allen (Mater Dei). Namun setelah 9 (sembilan) bulan mereka kembali lagi ke biara asal. Pelayanan dan cara hidup kedua suster ini

16

sangat menarik perhatian gadis-gadis. Oleh karena itu dalam waktu yang singkat, dua gadis yang sudah pernah bekerja di Rumah Sakit Harlem tertarik dan bergabung dengan mereka, yakni Bertha dan Maria Berlage. Kedua calon ini dititipkansementara untuk dididik di Biara Mater Dei, kemudian mereka kembali mengikuti Sr.Mathilda. Demikianlah dari hari ke hari semakin banyak gadis-gadis bergabung dalam kelompok ini. Sr.Mathilda Leenders melihat perkembangan ini, ia akhirnya meminta kepada Mgr.Henricus van Beek Pr supaya kelompoknya dijadikan sebagai sebuah Kongregasi.

Pada tanggal 1 Agustus 1880, kelompok ini resmi menjadi sebuah Kongregasi baru dengan nama: “Kongregasi Religieuze Penitenten Recolectinen van Deheilige Franciscus van Asissi” dan Sr.Mathilda diangkat sebagai Pemimpin Umum. Pedoman hidup Kongregasi baru ini memilih dan menghidupi cara hidup Ordo III Regular Santo Fransiskus dari Asissi, yang sudah dihidupi oleh Sr.Mathilda Leenders dan Sr.Anna van Dun dari Biara asal (Mater Dei). Sesuai dengan pelayanan yang diperjuangkan dan dilaksanakan Para Suster FSE selama ini, sejak awal, Kongregasi ini dipercayakan pada perlindungan “Santa Elisabeth dari Hongaria, karena Santa Elisabeth diteladani Gereja Katolik sebagai pencinta orang-orang ”miskin dan menderita, khususnya orang-orang sakit.”Semasa hidupnya, Santa Elisabeth sangat tertarik dengan kehidupan yang sederhana dan menjadi pelayan bagi orang-orang miskin dan menderita. Santa Elisabeth berpedoman pada Sabda Kristus yang mengatakan: ”Kamu hanya mempunyai satu guru, yakniKristus dan kalian semua bersaudara” (Mat 23: 8). Kehidupan Fransiskus Asissi menjadi perhatian besar bagi dirinya, ia menjadi

anggota pertama dari Ordo ke III Regular di Jerman. Dan sekarang, Kongregasi baru ini disebut“KongregasiFransiskanes Santa Elisabeth (FSE) .

b. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Indonesia

Pada tahun 1922, Mgr Mathias Brans OFMCap menjabat sebagai pemimpin misi di Sumatera Utara ingin mengembangkan pelayanan pastoral sosial karitatif (kesehatan) di daerah misinya. Melalui Mgr. Petrus Hopmans, OFMCap mengajukan permintaan kepada Pemimpin Umum Kongregasi FSE agar membuka komunitas dan karya baru di Indonensia. Pada tahun 1924, Moedeer Asisia sebagai Pemimpin Umum Kongregasi FSE di Belanda mengumumkan bahwa sudah diputuskan akan dibuka misi baru FSE di negara Indonesia.

Pada tanggal 16 juli 1924, empat suster (Sr.Pia, Sr.Philothea, Sr.Gonzaga, dan Sr. Antoninette) diutus ke Indonesia. Pada tanggal 29 September 1925, FSE hadir di Indonesia, tepatnya di Medan (Sumatera utara). Setibanya di Medan, mereka menempati sebuah rumah yang beralamat di 1de Wolf. Di rumah tersebut selama empat bulan, mereka kemudian pindah ke Jl. Padang Bulan, yang sekarang dikenal dengan Jl. S. Parman Kompleks SMA St. Thomas. Di rumah inilah, mereka merawat orang-orang sakit, sekaligus menjadi Biara sementara.

Beberapa bulan kemudian mereka mendirikan sebuah asrama yang bernama Internaat Assisia”. Asrama ini digunakan untuk menampung anak-anak miskin dan terlantar. Kemudian, tanggal 11 Februari 1929, mereka mendirikan rumah sakit di Jln. Imam bonjol No.38 Medan. Di tempat yang sama dibangun juga rumah biara yang diresmikan pada tanggal 19 November 1929. Pada tanggal

18

1 Februari 1934 dibangun sebuah rumah untuk menampung para penderita TBC, sekaligus tempat mengasuh anak-anak (Santa Lidwina) di Berastagi.

Awalnya, karya kesehatan berjalan dengan baik, akan tetapi situasi politik di Indonesia yang kurang menguntungkan pada saat itu (perang antarJepang dengan Indonesia). Keadaan tersebut memaksa para suster menyerahkan rumah sakit ke tangan tentara Jepang untuk menjadi markas tentara. Suster-suster ditawan dan dimasukkan ke Kamp penjara. Akibat dari siksaan, tekanan, dan kekejaman banyak suster yang meninggal dunia, di antaranya Sr- Philotea. Pada tahun 1945 perang berakhir dan suster-suster dibebaskan. Mereka menyangka bahwa setelah dibebaskan akan segera berkarya di rumah sakit, tetapi kenyataannya lain. Suster-suster ditampung di suatu tempat bersama tawanan lain untuk berlindung terhadap bahaya revolusi.

Kemudian, pada akhir tahun 1947, rumah suster dikembalikan kepada para suster dan mereka mulai tinggal di sana. Rumah sakit mulai berjalan lebih lancar dan tenaga-tenaga muda mulai berdatangan dari Belanda, walaupun mereka masih bekerja di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1950 atas kesepakatan Dr. T. Mansyur dengan Dinas Volksgezondheid secara resmi rumah sakit Santa Elisabeth diserahkan kembali kepada Kongregasi FSE.

Para suster FSE mulai berkarya kembali, pada tahun 1950 dan 1951, banyak gadis setempat mulai menggabungkan diri dalam Kongregasi FSE dan menjalani pendidikan di Belanda. Kemudian calon bertambah, akhirnya Kongregasi ini memutuskan untuk mendirikan Novisiat di Jl. Slamet Riyadi 10,

Medan pada 19 November 1955. Kongregasi FSE, baik di Indonesia maupun di Belanda mewarisi semangat dan motto dari Mgr. Henricus van Beek, Pr dan Sr.M. Mathilda Leenders: “Ketika Aku Sakit Kamu Melawat Aku.”(Mt. 25:36). Jauh di balik motto ini, tertuang suatu kekayaan karunia Allah. Karunia inilah yang menjiwai dan menyemangati seluruh gerak hidup anggota Kongregasi FSE. Semangat ini tersimpul dalam rumusan Kharisma Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth: “Daya Kasih Kristus yang menyembuhkan orang-orang Kecil dan menderita sampai rela mati di kayu salib. Nilai-nilai hidup yaitu kasih,

Penyembuhan, pengampunan.

Nilai-nilai hidup tersebut yang menjiwai para suster FSE dalam pengabdian kepada Tuhan dalam karya-karya Kongregasi FSE baik di Indonesia maupun di Belanda. Karya-karya Kongregasi FSE di Indonesia bergerak di beberapa bidang pelayanan. Karya-karya Kongregasi tersebut misalnya: Rumah Sakit, Asrama, Panti Asuhan, Panti kusta. Pendidikan formal (Play Group, TK, SD, SMP, SMA, dan PT). Kongregasi FSE ada di lima Keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Medan, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Pangkal Pinang, Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Atambua, dan Keuskupan

Agung Semarang.

Dilihat dari segi keanggotaan para suster FSE terdiri dari suster yunior, medior dan senior. Semua anggota berjuang untuk menghidupi nilai-nilai yang diwarisi oleh pendiri Kongregasi dan diwujudkan lewat hidup doa, persaudaraan dan karya. Sebagai suster yang sudah medior dan senior sudah mantap dan matang dalam menghayati hidup sebagai FSE. Akan tetapi, suster yunior dianggap

20

sebagai generasi penerus Kongregasi mereka mempunyai cita-cita yang luhur ingin menjadi FSE yang baik belumlah mantap maka perlu mendapatkan pembinaan secara progresif agar semakin dewasa dan akhirnya menggabungkan diri secara penuh dalam kongregasi FSE. Oleh karena itu demi kelangsungan keanggotaan Kongregasi FSE dan karyanya, pihak Kongregasi menyediakan sarana dan program untuk membina para suster yunior karena mereka inilah yang kelak akan melanjutkan karya kongregasi.

Tujuan program pembinaan untuk para suster yunior adalah agar mereka semakin dewasa dalam ke lima aspek pembinaan yaitu Kepribadian, Kharisma, Hidup religius/doa dan Kaul, Fransiskan, dan Apostolik. Pembinaan di kongregasi FSE ditempuh dengan berbagai bentuk Misalnya: melalui jenjang pendidikan formal dengan memberikan kesempatan kepada para suster yunior studi secara formal (kuliah, less) dan non formal (kursus, seminar, Ret-ret, weekend, refleksi, latihan rohani, bimbingan). Dalam proses perkembangan panggilan sebelumnya, suster yunior diwajibkan untuk mengikuti tahap-tahap pembinan dasar di Kongregasi FSE. Tahap-tahap itu meliputi: masa postulant, masa novisiat, dan masa yuniorat. Pembinaan masa postulant dan novisiat berlangsung di rumah pembinaan. Dari ketiga tahap pembinaan tersebut, peneliti hanya memfokuskan pada pembinaan masa yuniorat yang dilaksanakan melalui salah satu bentuk pembinaan yaitu bimbingan pribadi dan akan diuraikan sebagai berikut: