2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh Theresia Saulina NIM : 041114006
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh Theresia Saulina NIM : 041114006
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."
Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku,
supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.
Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan,
di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan
oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat”.
(II Korintus: 12 : 9-10)
Abbiamo grandi motive per ringraziare il Signore che,
nella sua bonta’ benedice le nostre piccolo fatiche.
Sta. Magdalene of Canossa
Dengan sepenuh hati kupersembahkan skripsiku ini dalam rasa syukur yang terdalam kepada Allahku yang mencintaiku tanpa batas melalui :
Institutku yang tercinta,
Para susterku yang terkasih di dalam Provinsi Divine Mercy,
Keluargaku yang memberi perhatian dan mencintaiku,
serta
v
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 27 Januari 2010
Penulis
vi
Yogyakarta :
Nama : Theresia Saulina
NIM : 041114006
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : TINGKAT AKTUALISASI DIRI PARA SUSTER JUNIOR DAN APLIKASINYA TERHADAP PROGRAM FORMASI JUNIORES KONGREGASI FIGLIE DELLA CARITA’ CANOSSIANA (FDCC) DI KOMUNITAS JAKARTA, JOGJAKARTA, DAN KUPANG PROVINSI DIVINE MERCY, INDONESIA 2010.
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikanntya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Jogjakarta
Pada tanggal 22 Februari 2010 Yang menyatakan
vii
PROVINSI DIVINE MERCY, INDONESIA 2010
Theresia Saulina
Universitas Sanata Dharma, 2010
Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran tentang seberapa tinggi aktualisasi diri para Suster Junior Canossian Provinsi Indonesia tahun 2008-2009 secara khusus di komunitas Jakarta, Jogjakarta dan Kupang serta usulan program-program pembinaan atau formasi yang dapat diberikan untuk meningkatkan aktualisasi diri. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survai. Subjek penelitian adalah para Suster Junior Canossian Provinsi Indonesia tahun 2008-2009. Jumlah subjek penelitian adalah 30 orang.
Instrumen penelitian berbentuk kuesioner yang disusun sendiri oleh penulis dan dikonsultasikan dengan beberapa dosen (expert judgement). Dalam mendeskripsikan tingkat aktualisasi diri para Suster Junior digunakan kuesioner berjumlah 86 item sebagai penjabaran dari tujuh aspek yang terdapat dalam aktualisasi diri. Aspek‐aspek yang diteliti dari aktualisasi diri yaitu, (A) Otonom, (B) Kreatif, (C) Fleksibel, (D) Perluasan Diri, (E) Kematangan Berelasi, (F) Berpegang pada Nilai‐nilai Hidup, dan (G) Keseimbangan Diri Pibadi. Pengukuran validitas dan reliabilitas menggunakan program SPSS dan teknik analisis data yang digunakan adalah kategori aktualisasi diri berdasarkan Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe I.
viii
IN JAKARTA, JOGJAKARTA, AND KUPANG COMMUNITIES DIVINE MERCY PROVINCE, INDONESIA
2010
Theresia Saulina
Universitas Sanata Dharma, 2010
The objective of this research was to obtain the description of how high the self-actualization level of Canossian Junior Sisters of Indonesia Province year 2008-2009 especially in Jakarta, Yogyakarta, and Kupang Communities was and the programs suggested to improve it. This was a descriptive research with a survey method. The subjects of this research were the Canossian Junior Sisters of Indonesia Province year 2008-2009. The number of the research subject was 30 Sisters.
The research instrument was the writer’s self-made questionnaire and had been consulted with some expert judgments. In describing the self-actualization level of Canossian Junior Sisters, the writer applied a questionnaire of 86 items as the exposition of seven aspects in actualization.The aspects of self-actualization are (A) Autonomous, (B) Creative, (C) Flexible, (D) Self-Expansion, (E) Relationship Maturity, (F) Hold on to Life Values, and (G) Self Balance.The writer applied SPSS program as the validity and reliability measurement, and self-actualization categories based on Standardized Referential Grading “Penilaian Acuan Patokan” (PAP) Type 1 as the data analysis technique.
ix
yang telah melimpahkan rahmat selama penyusunan hingga terselesaikannya
skripsi ini oleh penulis.
Skripsi ini telah disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling. Skripsi ini
disusun berkat bantuan, dukungan dan perhatian dari berbagai pihak yang telah
memberi masukan-masukan yang berharga bagi penulis. Oleh karena itu, ucapan
terimakasih disampaikan kepada :
1. Dra. M. J. Retno Priyani, M.Si, dosen pembimbing yang telah mendukung,
memberi saran-saran dan masukan, dorongan dengan segala kesabaran
bagi penulis hingga tersusunnya skripsi ini.
2. Fajar Santoadi, S.Pd, dosen yang membantu untuk memberi masukan dan
dukungan bagi penulis dalam bentuk penilaian validitas isi (expert
judgement).
3. A. Setyandari, S.Pd. Psi., M.A, dosen yang membantu untuk memberi
masukan dan dukungan bagi penulis dalam bentuk penilaian validitas isi
(expert judgement).
4. Drs. Thomas Aq. Prapancha Hary, M.Si, dosen yang membantu untuk
memberi masukan dan dukungan bagi penulis dalam bentuk penilaian
validitas isi (expert judgement).
5. Para dosen penguji, Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. dan Dra. Ignatia Esti
Sumarah, M.Hum yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
mempertanggungjawabkan dan mempertahankan skripsi ini.
6. Madre Iolanda Vezzoli, Pemimpin Provinsial Divine Mercy, Indonesia,
x
Yogjakarta yang telah mendukung dengan sepenuh hati melalui cinta,
perhatian, pengorbanan, doa-doa, dan dengan masing-masing cara yang
membantu dan mendukung yang diberikan kepada penulis selama kuliah
hingga menyelesaikan skripsi ini, khususnya di saat-saat sulit yang dialami
penulis.
8. Para Suster Junior Canossian di komunitas Yogyakarta, Jakarta, dan
Kupang atas kesediaan dan kesempatan untuk diadakannya pengumpulan
data dengan menjawab kuesioner yang diberikan.
9. Sr. Maria Rosalia Navera, FdCC, susterku yang membantu dengan doa
dan kesabaran serta penuh dukungan memberi penilaian validitas isi
(expert judgement) dan teman diskusi selama penulis berproses dalam
pengerjaan skripsi.
10.Para suster Canossian di Provinsi Indonesia, Timor, dan Provinsi lain yang
mendukung dengan doa dan perhatian demi selesainya skripsi ini.
11.Mama dan Bapak tercinta, adik-adikku, Iin, Frans, Irin, dan Bolit Tari, atas
cinta, perhatian dan dukungan serta tawa canda dalam kehangatan
memberi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
12.Semua teman-teman Prodi BK angkatan 2004, Sr Brigitta, SCMM,
Sr.Hilaria, ADM, Ocha, Prisca, Phimpon, ‘Cimbah’ Sigit, Yashinta Fitri,
Yacinta Lopes, Elshinta, Tree-us, Tyo, Leni, Marcellus, Cepri, Chris, Tina,
Wusana Natalia, Erna, Ayu, Dwee, Pikal, Ria, Br.Yulius, CSA, Rm Agus,
Pr. Sr.Evarista, ADM, Sr Yustisia, CB, Irna, Lasibey, Anting, Ardi,
Yayuk, dan semua teman lain yang tak bisa disebutkan namanya satu
xi
mendukungku dari jauh dengan perhatian, cinta , dan doa-doa mereka.
Tulisan dalam karya ini disadari penulis masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik terhadap karya ini sangat disyukuri dan dihargai
demi membantu perkembangan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca.
xii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………….………ii
HALAMAN PENGESAHAN………..………..iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….………iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ……….…….………….………v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….vi
ABSTRAK……….vii
ABSTRACT……….……….…..viii
KATA PENGANTAR ……….…………..……...…..ix
DAFTAR ISI ………..………....……...xii
DAFTAR LAMPIRAN ……….…..….…xiv
DAFTAR TABEL ………..…………...…..…..xv
BAB I PENDAHULUAN ………..………..……..1
A. Latar Belakang Masalah ……….………...1
B. Rumusan Masalah ……….………..8
C. Tujuan Penelitian ………8
D. Manfaat Penelitian ……….……….8
E. Batasan Istilah ……….………9
BAB II KAJIAN TEORITIS ………..……….……...……..11
A. Aktualisasi Diri ……….….………...11
1. Pengertian Aktualisasi Diri ………...11
xiii
2. Tujuan Bimbingan ………42
3. Peran Bimbingan dalam Aktualisasi Diri ……….44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………..50
A. Jenis Penelitian ………....………..50
B. Populasi Penelitian ………50
C. Instrumen Pengumpul Data ………...……….………...51
D. Validitas dan Reliabilitas ……….………..……….…..54
E. Pengumpulan Data ………..……….…….56
F. Analisis Data ………..……….……..58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………..………60
A. Hasil Penelitian ………..…………...60
B. Pembahasan ………..…….………63
C. Aspek-aspek yang Perlu Mendapat Prioritas ……….………….…..69
BAB V USULAN PROGRAM………. ………..…….…..….70
A. Latar Belakang Program ………...70
B. Tujuan Pembuatan Program ………..……71
xiv
C. Saran …….……….………....80
DAFTAR PUSTAKA ………...83
xv
Lampiran 2 : Kuesioner Para Suster Junior Canossian……….93
Lampiran 3 : Hasil Pengolahan Data ………..100
xvi
Tabel 2 : Pemberian Skor pada Kuesioner ………..……..53
Tabel 3 : Tempat dan Waktu Pengumpulan Data ………....….…58
Tabel 4 : PAP Tipe I dan Kualifikasi Tingkat Aktualisasi Diri ……….………...61
Tabel 5 : Aspek-aspek dan Perolehan Skor Terendah ………..……62
Tabel 6 : Data Responden dan Skor Tingkat Aktualisasi Diri………...67
1
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hidup religius atau hidup membiara adalah suatu panggilan khusus di dalam
Gereja Katolik dan dunia yang dipilih oleh sekelompok umat baik laki-laki
maupun perempuan untuk mengamalkan nilai-nilai Injil dan bermaksud mengikuti
Kristus secara lebih bebas dan meneladani-Nya dengan lebih setia. Dengan
maksud mengikuti Kristus inilah mereka mendirikan keluarga-keluarga religius
dan dengan kewibawaannya Gereja dengan suka hati menyambut dan menyetujui
cara hidup mereka (PC art.1). Suatu bentuk hidup yang memiliki ciri khas sebagai
suatu jalan hidup untuk mengejar nilai sejati di masa kehidupan yang mendatang.
Panggilan hidup religius atau membiara ditandai secara khusus dan khas
oleh pengikraran ketiga kaul, yaitu kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Para
religius meninggalkan dunia dan menguduskan diri kepada Allah melalui
pengikraran nasehat-nasehat Injili menurut suatu karisma yang khas untuk
melaksanakan berbagai bentuk pelayanan kerasulan kepada umat Allah secara
total, radikal, dan konsekuen dengan hati yang tidak terbagi dan terpusat pada
Tuhan.
Panggilan menjadi seorang religius merupakan suatu tanggung jawab yang
diwujudkan dalam cara hidup yang dijiwai oleh iman. Iman mendapat
perwujudannya dalam usaha terus menerus mengarahkan diri pada Allah yang
dalam hidupnya segala nilai yang diterima dari Allah. Pengambilan keputusan
untuk memilih suatu corak hidup ini dipandang penting meski berbeda dari
kebanyakan orang. Konsekuensinya adalah nilai-nilai yang hadir dan selalu
mengiringi perjalanan hidup seorang religius diantaranya tanggung jawab,
kesetiaan, ketekunan, dan sebagainya sebagai perwujudan dalam penghayatan
ketiga kaul.
Para anggota religius yang diharapkan dapat menjadi manusia yang
memiliki pribadi yang sehat secara psikologis dan rohani dibina melalui
pembinaan dalam bidang religius maupun kerasulan, begitu pula pendidikan
pengetahuan maupun kejuruan dan juga penyesuaian dengan tuntutan jaman ini.
Melalui masa pembinaan inilah para anggota kongregasi atau tarekat melalui
perpaduan unsur-unsur yang serasi sedemikian rupa, sehingga diharapkan mampu
untuk membantu para anggota mencapai keutuhan hidup (Dokument Konsili
Vatikan II : 1993, PC art 18).
Keutuhan hidup seorang religius hendaknya mencakup aspek-aspek hidup
yang dipersiapkan selama masa formasi atau pembinaan yang mencakup segi
manusiawi, budaya, rohani, dan pastoral. Pembinaan para religius mengindahkan
dimensi manusiawi dan kristiani demi mencapai keseimbangan perkembangan
dan kematangan individu secara manusiawi dan juga secara rohani. Tujuan
pembinaan adalah merubah seluruh pribadi calon religius, maka jelaslah komitmen
terhadap pembinaan tidak pernah berakhir. Pembinaan para religius ini
merupakan proses yang terus menerus dan melibatkan keseluruhan pribadi yang
VC art 65). Dalam mencapai keutuhan hidup inilah, ditemukan
dorongan-dorongan atau kebutuhan untuk mengenali diri dengan lebih mendalam sehingga
mampu meningkatkan kemampuan atau potensi-potensi diri.
Peneliti mengadakan pengamatan atau observasi terhadap para suster Junior
Canossian. Hasil pengamatan menarik perhatian peneliti untuk mengungkap
seberapa tinggi proses aktualisasi diri para suster Junior Canossian.
Pengembangan diri dalam hal aktualisasi diri ini adalah suatu proses yang
tampaknya belum optimal dan dapat dilihat dari kemampuan para suster junior
yang beragam dan berbakat dalam beberapa bidang. Ketiga kaul yang diikrarkan
oleh para religius khususnya para suster junior tidaklah menjadi batasan dalam
mengembangkan diri, melainkan dapat dijadikan sarana pengembangan diri baik
sebagai seorang pribadi yang sehat secara psikologis dan juga secara rohani.
Berdasarkan pengamatan peneliti inilah tampaknya para suster junior belum
menunjukkan usaha-usaha yang optimal dalam mengembangkan diri dan semua
potensi yang dimilikinya.
Seorang religius, secara khusus para suster junior akan menghadapi arus
kehidupan di jaman ini. Pribadi para junior akan menghadapi aneka ragam
tantangan terutama dalam penghayatan ketiga kaul. Hedonisme dan kesenangan
diri sendiri menjadi tantangan bagi kaul kemurnian; dunia yang menarik orang
untuk menjadi konsumerisme, materialisme yang haus akan harta-milik, tanpa
mengindahkan keperluan-keperluan dan penderitaan-penderitaan rakyat kecil
menjadi tantangan bagi kaul kemiskinan; dan juga kebebasan individu dalam
tantangan dalam menaati kaul ketaatan. Oleh karena itu diperlukan suatu pribadi
yang berani untuk meluncurkan diri sendiri sepenuhnya ke dalamnya dan bukan
untuk tenggelam dan menjadi satu dengan arus tersebut, namun kepribadian yang
tangguh dan memiliki nilai-nilai Injili sebagai sumber kekuatan untuk menjadi
pribadi yang aktual bagi perkembangan diri sendiri dalam menghadapi dunia
kerasulan atau karya.
Suatu kepribadian yang sehat dan matang ditandai dengan adanya
keberanian dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal.
Aktualisasi diri ini sangat penting dalam perkembangan kepribadian setiap orang
untuk menjadi pribadi yang matang dan seimbang.
Bagi seorang religius, secara khusus Junior Canossian, aktualisasi diri
adalah pengenalan diri dan penggunaan semua potensi, bakat, dan semua
kemampuan diri yang terdapat di dalam dirinya sebagai bentuk syukur atas rahmat
Allah dalam rupa talenta-talenta, kemampuan, potensi diri, kepribadian dan
sebagainya. Aktualisasi diri ditandai dengan penerimaan diri, orang lain,
spontanitas, keterbukaan, hubungan dengan orang lain yang relatif dekat,
demokratis, kreativitas, humoris, dan mandiri pada dasarnya, memiliki kesehatan
mental yang bagus atau sehat secara psikologis.
Perjalanan proses pembinaan para suster junior menghadapi tantangan pula
dalam mewujudnyatakan bakat dan kemampuan yang terkandung di dalam diri.
Bila semua kemampuan diri dan semua rahmat yang diberikan Allah itu tidak
ketidakseimbangan dalam perkembangan diri dan rohani. Penghayatan ketiga kaul
hanya menjadi sebatas peraturan yang harus ditaati; dalam menyikapi
peristiwa-peristiwa baik dalam hidup berkomunitas atau karya hanya selintas tanpa
mengambil makna atau suatu pelajaran; dan juga pengolahan diri seperti afeksi,
pengambilan keputusan, kebebasan berelasi, dan lain sebagainya yang menuntut
kreativitas akan menjadi kesulitan karena tidak berani bertindak. Bila seorang
religius kurang mengenal diri dan kurang mengaktualisasikan diri, maka hidupnya
hanya akan terasa cepat membosankan, menjemukan, kering, takut dalam
mengambil keputusan, takut berdialog dengan pimpinan, tidak berani
menyumbangkan bakat-bakat yang dimilikinya, akibat lainnya, individu tersebut
akan mencari kompensasi di tempat lain sebagai penghibur diri sendiri, tidak lagi
menyatukan hati dengan suster-suster di dalam komunitas, minder, dan tidak lagi
mengingat motivasi awal panggilan hidup membiara.
Menurut Maslow, aktualisasi diri sendiri adalah kebutuhan paling tinggi
manusia setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan lain menjadi
landasan dasar dorongan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri. Oleh Maslow,
kebutuhan manusia dibagi dalam dua besar, Kebutuhan Dasar yaitu kebutuhan
akibat kekurangan, seperti kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman
atau perlindungan; dan juga Kebutuhan untuk Tumbuh (Being values); cinta, rasa
memiliki-dimiliki, harga diri, penghargaan dari orang lain, keadilan, ketertiban,
dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan fisiologis tidaklah menjadi suatu
kebutuhan yang tidak bisa ditunda untuk dipikirkan, melainkan membawa
kebutuhan dasar tersebut diharapkan membawa kecenderungan pribadi untuk
mengaktualisasikan kemampuan dan ideal diri (Prasetyo, 2000 : 135).
Maslow juga mengembangkan visi tentang kepribadian yang sehat melalui
pemenuhan diri. Pemenuhan diri ini didukung oleh dua kecenderungan untuk
survive yang dapat menurunkan ketegangan organisme dan kecenderungan untuk
aktualisasi diri yang memacu dan memperkaya pertumbuhan hidup.
Kecenderungan untuk survive berciri mempertahankan hidup, sedangkan
kecenderungan aktualisasi diri berciri meningkatkan mutu hidup. Kalau semua
potensi itu dapat berfungsi penuh, maka tercapailah pengalaman puncak (Prasetya,
2000 : 136). Pengalaman puncak adalah kesempatan-kesempatan di mana
orang-orang yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan
terpesona yang hebat dan meluap-luap, sama seperti pengalaman keagamaan yang
mendalam (Schultz, 1991 : 105). Setiap pengalaman tentang keunggulan sejati,
kesempurnaan sejati atau setiap gerak ke arah keadilan yang seadil-adilnya atau ke
arah nilai-nilai yang tertinggi cenderung melahirkan suatu pengalaman puncak
(Goble, 1987 : 98).
Momen-momen yang menandai pengalaman puncak dialami sebagai hasil
dari penyatuan kreativitas, penemuan, dan pemahaman terhadap alam dan juga
tidak perlu berupa pengalaman keagamaan atau pengalaman spiritual, melainkan
bisa dialami melalui buku, musik, kegiatan-kegiatan intelektual, dan dari kegiatan
berhubungan dengan sesama (Koeswara, 1989 : 234).
secara penuh. Selama masa yang ditandai oleh integrasi dan keterpaduan ini sang
pribadi akan lebih spontan, lebih ekspresif, dan diliputi perasaan bebas dari ikatan
masa lampau maupun masa mendatang (Goble, 1987 : 98).
Pengalaman puncak ini lebih sering terjadi dalam kehidupan orang yang
beraktualisasi diri. Seseorang yang memiliki aktualisasi diri akan mampu
mengalami realisasi dari potensi diri yang terbesar.
Salah satu ciri lain dan umum dari orang yang mengaktualisasikan diri
adalah kreativitas dalam menjalankan hidup. Maslow mengemukakan bahwa sifat
kreatif nyaris memiliki arti sama dengan kesehatan, aktualisasi diri dan sifat
manusiawi yang penuh. Sifat-sifat yang dikaitkan dengan kreativitas ini adalah
fleksibilitas, spontanitas, keberanian, berani membuat kesalahan, keterbukaan, dan
kerendahan hati (Goble, 1987 : 53). Kreativitas menuntut keberanian, kemampuan
untuk bertahan, mampu mengolah kritik atau cemoohan, mampu menolak
pengaruh dari luar diri, dan juga memiliki kemampuan totalitas dalam melakukan
sesuatu. Beberapa ciri orang yang teraktualisasi ini diharapkan dapat ditemukan di
dalam diri para Suster Junior Canossian.
Berdasarkan latar belakang inilah, melalui penelitian ini, ingin diketahui
sejauh mana para Suster Junior Canossian berproses mengaktualisasikan diri.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para formator junior
sebagai bahan refleksi mengenai program pembinaan yang selama ini telah
mereka jalankan dan juga sebagai masukan demi perkembangan diri para Suster
hidup panggilan sebagai seorang religius Canossian, baik dalam penghayatan
ketiga kaul, hidup rohani, hidup berkomunitas, maupun dalam karya kerasulan.
B. RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini bermaksud untuk menjawab : a) Seberapa tinggi tingkat
aktualisasi diri para Suster Junior Canossian dan; b) Usulan Program-program
pembinaan untuk peningkatan aktualisasi diri sebagai aplikasinya terhadap
program formasi junior.
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dibuat untuk melihat seberapa tinggi tingkat aktualisasi diri
yang dimiliki para Suster Junior Canossian dan usulan program-program
pembinaan untuk meningkatkan aktualisasi diri sebagai aplikasinya terhadap
program formasi junior.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Penelitian ini diharapkan dapat membantu para Junior agar berani
mengaktualisasikan diri mereka dalam internalisasi dengan
penghayatan nilai-nilai Injili yang telah mereka ikrarkan.
2. Penelitian ini membantu para formator untuk selalu mengolah dan
mengevaluasi program-program pembinaan religius yang mereka
tangani demi perkembangan para calon religius secara khusus dalam
mengembangkan proses aktualisasi diri mereka dalam mencari atau
3. Penelitian ini membantu peneliti sendiri untuk menyadari dan
meningkatkan aktualisasi diri dalam bentuk peningkatan kemampuan
diri dan segala potensi-potensi yang dimiliki dan dihayati dalam
nilai-nilai Kristiani secara khusus nilai-nilai-nilai-nilai Injili demi perkembangan diri
dan karya kerasulan yang dipercayakan kongregasi.
4. Penelitian ini diharapkan menarik minat dan memberi manfaat bagi
peneliti lain agar menggali lebih dalam mengenai aktualisasi diri dan
program-program yang berkaitan dengan aktualisasi diri untuk
membantu orang lain berkembang utuh baik terutama dalam hal
peningkatan kepribadian.
E. BATASAN ISTILAH
Istilah-istilah yang perlu mendapatkan batasan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan
mengembangkan sifat-sifat dan memanfaatkan secara penuh bakat,
kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya dari diri pribadi.
2. Formasi atau pembinaan awal religius adalah suatu masa atau waktu
yang ditetapkan sebagai persiapan bagi para calon religius dalam
memasuki hidup panggilan religius. Dalam masa formasi religius ini
menuju manusia dewasa kristiani yang memadai dan siap untuk
mengikrarkan kaul kekal. Formasi ini dimulai dari tahap postulant,
novis, dan juniores.
3. Junior adalah tahapan hidup membiara para suster setelah
mengikrarkan kaul sementara sampai sebelum mengikrarkan kaul
11
A. AKTUALISASI DIRI
1. Pengertian Aktualisasi Diri
Maslow menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan dasariah yang
terpenuhi akan mendorong adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan
diri. Dalam Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling, kebutuhan adalah
keadaan yang ditandai perasaan kekurangan atau keinginan untuk
memperoleh sesuatu atau keinginan untuk mewujudkan tindakan tertentu
(Thantawy, 2005 : 49). Menurut teori motivasi dari Maslow, aktualisasi diri
adalah kebutuhan psikologi yang paling tinggi tingkat hierarkinya dan
ditemрatkan paling atas pada piramida kebutuhan manusia. Kebutuhan
Psikologis adalah kecenderungan tindakan yang diakibatkan oleh
kekurangan dalam organisme fisik atau kemampuan alamiah dalam diri
manusia yang ingin dipenuhi atau diwujudkan (Prasetya, 1992 : l72).
Tidak hanya sebagai dorongan dari kebutuhan, dalam kehidupan
yang dialami aktualisasi diri juga diperlukan manusia untuk menghadapi
masalah, kebutuhan, ataupun tantangan. Manusia menghadapi tantangan,
yaitu halangan-halangan yang dihadapi dalam mencapai tujuan dalam
kehidupan. Tantangan-tantangan itu dapat berupa hal atau objek yang
menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah;
(Dept. Pendidikan dan Kebudayaan. 1996). Untuk menghadapi masalah,
kebutuhan, ataupun tantangan diperlukan kemampuan setiap pribadi untuk
bertumbuh dan berproses menghadapi situasi yang dihadapinya.
Aktualisasi diri adalah suatu bagian dari diri manusia dalam bentuk
proses yang dijalani oleh setiap manusia secara sadar ataupun tidak sadar.
Aktualisasi diri tampak dalam diri seseorang yang berani mengekspresikan
diri atau mengerahkan diri dan segala kemampuan baik inteligensi,
bakat-bakat, talenta, minat-minat dan semua potensi dirinya yang dimiliki sejak
lahir atau diperoleh dari hasil belajar. Secara bebas pula, Maslow
melukiskan bahwa pribadi yang teraktualisasi mengunakan dan
memanfaatkan bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya
dari diri pribadi tersebut secara penuh (Goble, 1987 : 48).
Aktualisasi diri (self-actualization) adalah kecenderungan untuk
mengembangkan bakat dan kapasitas sendiri. Definisi aktualisasi ini
bersinonim dengan self-realization, yaitu pemenuhan atau penyelesaian
potensialitas individu sendiri; aktualisasi dari bakat, kecerdasan,
ketangkasan sendiri, dan seterusnya (Chaplin, 2008 : 451). Menurut kamus
Pendidikan, aktualisasi diri juga merupakan upaya seseorang untuk
mewujudkan potensi yang dimilikinya, selain itu menjadi kebutuhan untuk
mewujudkan potensi tersebut (Vembriarto, 1994 : 2 ).
Menurut Rogers, aktualisasi diri adalah suatu kondisi yang berjalan
50). Meski ia tidak menyinggung-nyinggung hubungan Allah dengan
manusia, namun ia menggarap ide bahwa dalam proses hidupnya, manusia
memiliki ide dasariah yaitu aktualisasi diri, kepercayaan pada diri sendiri
(positif self-regard), dan kebebasan untuk melakukan apa yang “dirasa
benar”. Pribadi seharusnya berkembang untuk terus dalam proses, dan
kemampuannya terus-menerus berubah tanpa harus diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Proses terus-menerus seorang individu untuk
berusaha merealisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya sendiri
dalam setiap kesempatan yang terbuka baginya dinyatakan oleh Goldstein
sebagai dorongan utama yang disebut pula sebagai aktualisasi diri atau
realisasi diri (Hall dkk, 1993 : 75).
Bagi Rogers, orang yang teraktualisasi dan memiliki kepribadian
yang sehat adalah orang yang berproses terus menerus, meski tidak mudah
dan seringkali menyakitkan, namun orang yang teraktualisasi diri juga hidup
menjadi dirinya sendiri, tidak memakai atau bersembunyi di balik topeng
(Schultz, 1991 : 50) dan memiliki ciri-ciri tertentu, seperti keterbukaan
terhadap pengalaman, tidak adanya sikap defensif, kesadaran yang cermat,
penghargaan diri tanpa syarat, dan hubungan yang harmonis dengan
orang-orang lain (Hall dkk, 1993 : 128).
Maslow menyatakan bahwa proses aktualisasi diri adalah
perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau
yang terpendam (Goble, 1987 : 51). Pemenuhan semua kapasitas diri dan
orang yang memiliki kepribadian yang sehat (Schultz, 1991 : 12). Fromm
juga memaparkan, kepribadian sehat dan produktif benar-benar
menghasilkan sesuatu dan merupakan hasil yang sangat penting dari orang,
yakni diri. Orang-orang sehat menciptakan diri mereka dengan melahirkan
semua potensi mereka, dengan menjadi semua menurut kesanggupan
mereka, dengan memenuhi semua kapasitas mereka (Schultz, 1991 : 72).
Orang-orang yang sehat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang lebih
tinggi; memenuhi potensi-potensi mereka dan mengetahui serta memahami
dunia sekitar mereka. Penelitian menunjukkan bahwa orang sehat paling
menyatu saat menghadapi tantangan kreatif besar, menghadapi tujuan
tertentu yang bermakna, menghadapi ancaman serius ataupun keadaan
darurat (Goble, 1987 : 57). Aktualisasi diri adalah bagian yang menjadi
suatu kebutuhan penting dalam proses perkembangan manusia menjadi
dewasa dan juga memiliki kepribadian yang sehat.
Dilihat dari beberapa definisi mengenai aktualisasi diri seperti
aktualisasi diri sebagai suatu kebutuhan tertinggi setelah рemenuhan
kebutuhan dasariah yang lainnya, kemudian berproses menjadi
kecenderungan mengembangkan diri, aktualisasi diri sebagai upaya,
aktualisasi diri sebagai penggunaan dan pemanfaatan secara penuh potensi
diri, aktualisasi diri sebagai proses yang terus menerus dalam
merealisasikan diri, dan aktualisasi diri sebagai kondisi yang berjalan terus
secara sadar ataupun tidak sadar; maka melalui tulisan ini yang akan
yang mengembangkan atau memanfaatkan seluruh potensi diri yang dimiliki
individu tersebut. Proses ini akan diungkap melalui penelitian untuk melihat
seberapa tinggi proses aktualisasi diri dalam diri seseorang.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri adalah proses yang berdinamika dalam diri manusia
dan tidak berhenti, namun tidak berarti proses itu selalu berjalan mulus. Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tercapainya aktualisasi diri,
diantaranya :
a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar. Kebutuhan akan aktualisasi diri
adalah kebutuhan yang paling tinggi dalam teori kebutuhan
bertingkat dari Maslow. Teori hierarki kebutuhan Maslow
berkembang dari kebutuhan fisiologis dasar, melalui kebutuhan
psikologis yang lebih kompleks, memuncak pada kebutuhan
aktualisasi diri (Atkinson dkk, 1996 : 171). Maslow menyusun teori
kebutuhan yang di dalamnya mencakup lima kebutuhan universal ;
kebutuhan dasar fisiologis adalah kebutuhan biologis utama seperti
makanan, air, seks, dan tempat tinggal ; kebutuhan akan rasa aman
mencakup kebutuhan yang umumnya bisa diprediksi, yang
membuat dunia menjadi masuk akal ; kebutuhan akan cinta dan
rasa memiliki mencakup hubungan psikologis yang mendalam
dengan orang lain ; kebutuhan akan rasa harga diri atau
orang lain ; dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Menurut Maslow,
lima kebutuhan dasar universal tersusun dalam tingkatan, yaitu
kebutuhan yang ada di bawah pemuasannya lebih mendesak
daripada kebutuhan yang ada di atasnya (Koeswara, 1989 : 224).
Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi
sebagian sebelum kebutuhan ada peringkat berikutnya menjadi
penentu tindakan yang penting.
Menurut Rogers, keadaan lapar, haus, dan seks adalah
ekspresi-ekspresi yang tampil dan bersumber pada tendensi
pengaktualisasian yang berhubungan dengan pemeliharaan diri
(Koeswara, 1989 : 217).
b. Pengalaman Masa Kanak-kanak. Pengalaman masa kanak-kanak
yang malang dapat menghambat aktualisasi diri seseorang. Maslow
menjelaskan bahwa salah satu penyebab aktualisasi diri dapat
terhambat, kebanyakan disebabkan oleh pengalaman masa
kanak-kanak yang kurang baik. Maslow menekankan pentingnya dua
tahun pertama kehidupan seorang anak dalam mengalami cinta dari
orang-orang terdekatnya secara khusus ibu (Schultz, 1991 : 99).
Rogers juga menekankan pentingnya penghargaan positif
yang dialami mempengaruhi konsep diri seseorang. Seorang
individu dapat berkembang tergantung dari cinta yang diterima
pada masa kecil. Pada waktu diri itu mulai berkembang, anak itu
“penghargaan positif”(positif regard). Namun bila anak sering
mendapat celaan dan kurang mendapat cinta dan kasih sayang dari
orang-orang terdekatnya, ia akan kecewa dan akan melakukan apa
saja menurut reaksi yang diharapkan akan diberikan (Schult, 1991 :
47.) Aktualisasi diri sangat penting dalam perkembangan
kepribadian anak menjadi pribadi yang matang dan seimbang
(Thantawy, 2005 : 3). Jadi, aktualisasi diri akan dibantu atau
dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar, khususnya dalam
masa kanak-kanak (Schultz, 1991 : 46).
Namun, Maslow juga menekankan bahwa meskipun seorang
individu dipengaruhi oleh pengalaman masa kanak-kanak yang
malang, namun individu tersebut bukanlah korban tetap dari
pengalaman-pengalaman ini; individu tersebut dapat bertumbuh
dan mencapai tingkat-tingkat kesehatan psikologis yang tinggi
(Schultz, 1991 : 89).
c. Lingkungan. Hambatan lain aktualisasi diri datang dari
lingkungan tempat individu berada. Goldstein berpendapat setiap
pribadi harus "berjumpa" dengan lingkungan, karena lingkungan
membantu mencapai aktualisasi diri karena lingkungan berisikan
obstruksi-obstruksi dalam bentuk ancaman dan tekanan yang dapat
merintangi realisasi diri (Suryabrata, 2006 : 328). Setiap pribadi
mengalami interaksi dengan lingkungannya dan menghasilkan
pribadi sampai terbentuk pembawaan, perwatakan, perangai, sikap,
dan sifat entah positif maupun negatif (Prasetyo, 2000 : 129).
Kemampuan seseorang dalam mengaktualisasikan diri sangat
mudah dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya lingkungan sosial
(Hall, 1993 : 138).
Maslow menyatakan lingkungan cenderung
mendepersonalisasikan individu-individu. Lingkungan budaya
dapat dan sering menghambat perkembangan manusia ke arah
aktualisasi diri (Goble,1987 : 106). Masyarakat juga cenderung
merepres pengungkapan potensi-potensi warganya, dan menurut
Maslow pula tidak ada satu pun masyarakat yang sepenuhnya
menunjang atas upaya pengaktualisasian diri para warganya, meski
tentunya ada beberapa masyarakat yang lebih baik dibanding
masyarakat-masyarakat lainnya (Koeswara, 1989 : 230). Salah satu
contoh mengenai pengertian umum tentang sebutan jantan dan
yang tidak jantan. Sejumlah aspek manusiawi seperti simpati,
kebaikan hati, kehalusan dan kelembutan acapkali harus dimatikan
sebab masyarakat cenderung memandang sifat-sifat tersebut
sebagai yang tidak jantan (Goble, 1987 : 106).
Goldstein menyatakan, lingkungan luar mempunyai dua
fungsi, yaitu menyediakan konteks atau situasi kondisi dan ikut
terlalu besar, maka akan menumbuhkan kegelisahan yang fatal
yang dapat membelokkan aktualisasi diri (Prasetyo, 2000 : 135).
Jean Jacques Rousseau memiliki keyakinan yang sama
dengan teori organismik Goldstein, ia menyatakan bahwa manusia
pada hakikatnya adalah baik tetapi ia dapat dan seringkali dinodai
oleh lingkungan yang tidak memberinya kesempatan untuk berbuat
dan berkembang sesuai dengan kodratnya (Hall dkk, 1993 : 75).
Goldstein juga memaparkan bahwa lingkungan dapat
memberikan sarana-sarana yang diperlukan untuk dapat mencapai
aktualisasi diri namun juga mampu menghambat aktualisasi diri.
Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya
akan membantu untuk mengaktulisasikan diri, tetapi lingkungan
yang berisikan gangguan-gangguan berupa ancaman dan
tekanan-tekanan dapat menghalangi atau menghambat realisasi diri.
Perasaan tertekan karena ancaman-ancaman yang diberikan oleh
lingkungan menyebabkan adanya kecemasan yang membuat
individu tersebut tidak mampu membuat kemajuan dalam meraih
tujuan hidupnya. Penyesuaian diri dengan lingkungan diwujudkan
dengan menguasainya. Bila dapat dilakukan penyesuaian, maka
individu mengalah atau melepaskan beberapa cita-cita dan
berusaha mengaktualisasikan diri pada taraf yang lebih rendah
d. Orientasi Nilai. Nilai sebagai pedoman atau penuntun
mempengaruhi aktualisasi diri seseorang. Nilai adalah adalah
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,
diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan (Bagus,
1996 : 713). Sikap apapun dari seseorang, ideal manapun, maksud
apa pun atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai
mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan
(Bagus, 1996 : 714).
William Temple menyatakan bahwa Allah adalah nilai
tertinggi dan dengan begitu harus diakui oleh semua orang (Bagus,
1996 : 721). Pernyataan akan nilai ini diakui bahwa nilai-nilai
religius menduduki tempat tertinggi, karena nilai-nilai religius
langsung berkaitan dengan kebaikan tidak terbatas (Allah).
Maslow juga menyatakan bahwa pemeneuhan terhadap
kebutuhan pokok akan mendorong pribadi untuk bergerak menuju
nilai-nilai yang lebih tinggi; menuju “kehidupan spiritual” yang
lebih tinggi (Maslow, 1994 : 93)
Nilai inilah yang dapat menjadi salah satu dasar
pengembangan diri seorang pribadi manusia dalam kaitannya
dengan kehidupan sehari-hari. Nilai religius dan tatanan nilai yang
lain seperti nilai pribadi, nilai kegunaan, nilai ekonomi, nilai
kesenangan, dan sebagainya mendorong manusia untuk
pengenalan diri. Pengenalan diri bila hanya berada di permukaan
saja akan membuat individu tersebut ragu dengan dirinya sendiri
dan kurang menyadari bahwa ia memiliki potensi-potensi yang
indah di dalam dirinya dan merupakan pemberian Tuhan.
Tillman, dkk menyatakan bahwa nilai adalah sikat pemukul
yang memberi arti dalam hidup. Nilai mewarnai realitas manusia
dengan cara-cara pemahaman yang baru, menciptakan dalam diri
individu untuk melaksanakan rencana-rencananya (2004 : 64).
Internalisasi nilai akan memberi dampak pada tingkah laku
seseorang.
Nilai juga menjadi dasar motivasi seseorang dalam
mengambil keputusan, bertingkah laku, ataupun melakukan banyak
hal. Prasetyo mengemukakan bahwa nilai juga menjadi tujuan dari
seseorang yang digerakkan oleh motivasi dalam pemenuhan
kebutuhan psikologis (1993 : 108).
e. Pengenalan Diri. Menurut Maslow, penghambat yang utama dari
upaya pencapaian aktualisasi diri adalah hambatan yang datang
dari diri sendiri berupa ketidaktahuan dan keraguan individu akan
potensi-potensi yang dimilikinya (Koeswara, 1989 : 230). Maslow
juga meyakini, kebanyakan orang memiliki kebutuhan serta
kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Namun, kendati
memiliki kemampuan mengaktualisasi diri ini, hanya kecil sekali
orang buta akan kemampuan mereka sendiri (Goble, 1987 : 95).
Akibat dari ketidaktahuan dan keraguan akan potensi-potensinya
sendiri, individu tidak dapat mensyukuri anugrah tersebut dan juga
tidak akan mau mengembangkannya.
Pengenalan diri adalah upaya untuk mengetahui/mengenal
dirinya sendiri meliputi kelebihan dan kekurangan (dalam
akademik sosial, psikis dan fisik) sifat-sifat kepribadian, minat,
bakat, cita-cita, kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai yang penting
dalam hidupnya (Thantawy, 2005 : 86). Pengenalan diri serta
pemahaman diri, menurut pendapat Maslow merupakan jalan
terpenting menuju aktualisasi diri, suatu proses yang dapat dibantu
atau dapat pula dihambat oleh orang tua, guru, maupun lingkungan
budaya (Goble, 1987 ; 108).
Potensi diri yang tidak dikenali ini mempengaruhi
kepercayaan dirinya, citra diri, dan juga persepsinya terhadap
orang lain. Pemahaman diri juga akan memungkinkan seseorang
memahami dan menjalin relasi dengan orang lain secara efektif
(Goble, 1987 : 108). Orang yang kurang mengenal diri akan tinggal
dalam perasaan rendah diri atau minder. Adler berpendapat, rasa
rendah diri itu mencakup segala rasa kurang berharga yang timbul
karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa secara
(Suryabrata, 2006 : 187). Keadaan ini akan menghambat seseorang
untuk mengaktualisasikan dirinya.
3. Aspek-aspek dalam Aktualisasi diri seseorang
Ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan menjadi indikator
atau alat untuk mengungkap aktualisasi diri dalam pribadi yang
teraktualisasi. Aspek-aspek yang terdapat dalam aktualiasi diri seorang
individu, diantaranya ;
a. Otonom (autonomy). Kata ini berasal dari bahasa Yunani, autos
(diri) dan nomos (hukum). Dalam kamus Filsafat, ada beberapa
pengertian mengenai otonom, diantaranya : kemampuan mengatur
diri sendiri, tindakan memerintah diri sendiri, menentukan sendiri,
mengarahkan sendiri, bebas dari kehendak orang lain, dan juga
hak untuk mengikuti kemauan sendiri (Bagus, 1996 : 765).
Sikap otonom adalah sikap yang merupakan hasil dari suatu
kebebasan yang datang dari dalam diri individu (Maslow, 1994 :
162). Kebebasan ini merupakan perolehan dari kepuasan atas
kebutuhan sebelumnya akan keselamatan, cinta, rasa memiliki dan
harga diri. Kebebasan ini berarti segi-segi dalam diri seseorang
secara fungsional telah menjadi otonom, yaitu bebas dari kepuasan
yang menciptakan kebutuhan itu sendiri (Maslow, 1994 :72).
Arti lain dari otonom adalah pengambilan keputusan sendiri,
pengaturan sendiri, dan menjadi pihak yang mengambil keputusan
sikap otonom memiliki kemandirian yang relatif mantap terhadap
lingkungan lahir dan lingkungan sosialnya dan mampu
mempertahankan ketenangan jiwa (Maslow, 1994 : 17).
Menurut Maslow pula orang-orang yang sehat percaya akan
keputusan mereka, seperti mereka percaya akan diri mereka
sendiri. Tidak terpengaruh namun mampu berdiri sendiri, mampu
mengambil keputusannya sendiri, dan memiliki otonom diri yang
tinggi. Maslow menyebutkan orang yang mengaktualisasikan diri
memiliki “kemerdekaan psikologi”, yaitu kemampuan mengambil
keputusan-keputusan sendiri sekalipun melawan pendapat khalayak
ramai (Goble, 1987 : 59). Maslow menuliskan, orang yang
self-actualized tidak menggantungkan kepuasan-kepuasan utamanya
pada orang lain atau lingkungan, sebab mereka percaya kepada
potensi-potensi yang dimilikinya (Koeswara, 1989 : 233). Orang
yang mengaktualisasikan diri mampu melawan dengan baik
pengaruh-pengaruh sosial, untuk berpikir atau bertindak menurut
cara-cara tertentu.
Menjadi otonom sama artinya bertindak dengan kebebasan
yang menuntut individu untuk mengambil keputusan demi
perkembangan dirinya, tidak terikat dengan
keterbatasan-keterbatasan pribadi, pengaruh orang lain atau lingkungan, begitu
juga dengan masa lalu atau peristiwa-peristiwa yang bagi
mengaktualisasikan diri. Dengan kata lain, orang yang
teraktualisasi akan menunjukkan dirinya sebagai orang independen
dan tak terikat dalam hal-hal tertentu yang mendasar (Koeswara,
1989 : 236).
b. Kreatif. Dalam perjalanan hidup sehari-hari yang penuh dengan
kebutuhan, masalah dan juga tantangan, individu yang memiliki
kepribadian yang sehat akan meningkatkan kreativitasnya sebagai
sarana untuk menjalani hidupnya. Dalam buku Maturityin Religius
Life, Iragui (1972: 290) menuliskan, "Creativity means life,
development, growth, maturity, fruitfulness. It begins with self–
improvement and personality growth ; it leads to self–realization
and self–fulfillment."
Menurut arti katanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Department Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 : 530) kreatif
mempunyai arti, memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk
menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta. Kreativitas adalah
kemampuan untuk mencipta, perihal berkreasi.
Maslow menemukan kreativitas sebagai ciri universal pada
semua orang yang mengaktualisasikan diri yang diselidikinya
(Goble, 1987 : 52). Menurut Maslow, di dalam diri manusia
terdapat satu ciri umum, yakni potensi kreatif. Potensi kreatif ini
adalah ciri yang inheren dan mendorong manusia untuk tumbuh
oleh orang-orang yang mengaktualisasikan diri melalui ilmu
pengetahuan, seni, dan bidang-bidang kehidupan lainnya
(Koeswara, 1989 : 235). Namun, Reichert (1970 : 29) menyatakan,
“ It is important to realize that creativity is not limited to the arts. Creativity is a way of life, not a special talent in the fine arts. Creativity can embrace every aspect of life, from our interpersonal relationships to the way we dispose of our garbage.”
Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan ide atau
menciptakan bentuk-bentuk baru dalam seni atau mengatasi
problem dengan metode-metode baru (Thantawy, 2005 : 62).
Kreatif berkaitan dengan penggunaan informasi yang bukan berasal
dari pengalaman langsung atau belajar, tetapi dari perluasan konsep
beberapa sumber di dalam pemecahan masalah atau pengembangan
seni atau bentuk-bentuk mekanik. Suatu pekerjaan yang kreatif
menghendaki selain kecerdasan juga imajinasi (Thantawy, 2005 :
61). Drucker menyatakan berpikir kreatif adalah kemampuan
seseorang untuk menciptakan kombinasi baru atas
gagasan-gagasan yang telah ada (2008 : 86).
Kreativitas adalah cara mengapresiasikan diri kita terhadap
suatu masalah, dengan menggunakan berbagai cara yang datang
secara spontanitas yang merupakan hasil dari pemikiran kita.
Kreativitas bisa disalurkan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan membuat karya-karya seni yang mengandung nilai-nilai
dorongan di dalam diri kita untuk berkarya. Kreativitas
membantunya memecahkan masalah, mencari jalan keluar,
mengurangi masalah, atau juga mampu mencegah masalah.
Selain kemampuan berpikir dan membuat sesuatu yang baru,
kreativitas juga membantu orang untuk dapat beradaptasi dengan
keadaan atau situasi. Kreativitas juga diperlukan dalam proses
adaptasi dengan segala hal yang bersifat baru. Diri yang kreatif
adalah penggerak utama, pegangan filsafat, sebab pertama bagi
semua tingkah laku. Diri yang kreatif ini pulalah yang memberi arti
kepada hidup, yang menetapkan tujuan serta membuat alat untuk
mencapainya (Suryabrata, 2006 : 191).
Campbell menyatakan bahwa orang-orang kreatif
kebanyakan menampakkan dalam diri mereka sikap terlibat dalam
sesuatu, yakin atas tujuan dan arti hidup mereka, ada rasa diutus
secara khusus. Karya cipta mereka bukan sekedar merupakan
angan-angan saja, tetapi merupakan hasil jawaban atas tawaran
atau tantangan kehidupan (1986 : 43). Salah satu hal penting untuk
mendukung kreativitas adalah pemikiran yang berani keluar dari
‘prosedur’ yang biasanya, didasari motivasi yang membawa
kemajuan; ide baru, gagasan segar, pemecahan masalah,
penyelesaian, pemikiran besar, dan sebagainya.
Untuk menjadi pribadi yang ter-aktualisasi, pemikiran yang
meningkatkan kreativitas pribadi dalam menghadapi perjalanan
setiap kehidupan manusia. Campbell (1986 : 30) menguraikan
salah satu ciri pokok dari orang yang kreatif adalah orisinalitas
(originality) yaitu kemampuan untuk melahirkan ide, gagasan,
pemecahan, cara kerja yang tidak lazim, yang jarang, bahkan
“mengejutkan”. Campbell juga menyatakan motivasi batin ini lebih
kuat daripada diiming-imingi oleh hadiah (uang, nama,
kenikmatan, pangkat, kedudukan, dan sebagainya).
Menurut Rogers, orang yang memiliki kreativitas dan
spontanitas mampu menanggulangi perubahan-perubahan yang
drastis sekalipun, bebas atau tidak kaku terhadap pengalaman dan
hidup, dan mampu menyesuaikan diri dengan baik (Schultz, 1991 :
55). Rogers berpendapat bahwa kreativitas merupakan ciri yang
menonjol dari orang-orang yang berfungsi penuh dan menjadi
tanda dari kesanggupan mereka untuk melakukan penyesuaian dan
kemampuan bertahan bahkan dalam perubahan-perubahan yang
drastis sekalipun. Kreativitas orang-orang yang berfungsi penuh
sanggup menghasilkan gagasan-gagasan, proyek-proyek, dan
tindakan-tindakan yang berguna bagi dirinya maupun
lingkungannya (Koeswara, 1989 : 221).
Kreativitas bisa dirangsang dan ditingkatkan dengan
latihan, namun tidak berarti orang cerdas dan berkemampuan
ternyata tidak cukup berbekal skill dan kemampuan kreatif belaka.
Memiliki ketrampilan, bakat, dan kemampuan kreatif tidak
otomatis membuat seseorang melakukan aktivitas yang
menghasilkan output kreatif. Ia bisa memilih tidak melakukan
aktivitas kreatif. Jadi faktor dorongan atau motivasi sangat penting
dalam peningkatan aktifitas dan kreativitas.
c. Fleksibel. Individu yang fleksibel adalah individu yang memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan diri
dan lingkungannya, luwes, tidak canggung dan tidak kaku terhadap
situasi yang dihadapi ataupun pemikiran-pemikirannya sendiri
maupun orang lain. Seorang individu yang merasa diri berharga
dalam semua syarat akan terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru dan bersikap bebas tanpa ada pemikiran
terancam.
Menurut Maslow, orang yang kreatif bersifat fleksibel; mampu menyesuaikan diri jika situasinya berubah, mampu menghentikan kebiasaan-kebiasaan, mampu menghadapi kebimbangan serta perubahan-perubahan kondisi tanpa mengalami ketegangan yang tidak perlu. Ia tidak merasa terancam oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diduga-duga seperti dialami oleh orang-orang yang kaku, tidak fleksibel (Goble, 1987 : 55).
Rogers menyatakan bahwa diri yang terbuka kepada semua
pengalaman baru dan fleksibel akan membuatnya menjadi orang
potensinya (Schultz, 1991 : 50). Terbuka akan
perubahan-perubahan yang bertanggung jawab atau sesuai dengan
prinsip-prinsip yang dianutnya akan membawa individu tersebut ke dalam
proses aktualisasi diri yang mulai berlangsung. Allport
menyatakan, antara lingkungan fisik dan lingkungan psikis
individu diperlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri
(Suryabrata, 2006 : 207).
Maslow melakukan penelitian pada populasi mahasiswa yang
sesuai dengan definisinya tentang “self-actualizer”, beliau
menyimpulkan bahwa kelompok ini mampu memanfaatkan bakat
serta kemampuannya secara efektif dan tidak menunjukkan gejala
tidak dapat menyesuaikan diri. Tempat kerja yang kurang sesuai
dengan kemampuan diri seorang individu dapat dilihat atau
disadari dari caranya beradaptasi. Penyesuaian diri di tempat baru
dapat meningkatkan kreativitas kita. Fleksibilitas, kreativitas,
spontanitas, ekspresif, keberanian membuat kesalahan, dan
keterbukaan akan membantu juga orang tersebut untuk bersikap
rendah hati, mau belajar dari orang lain ataupun segala macam hal
lainnya dan mampu melihat segala perkara secara segar tanpa
prasangka (Goble, 1987 : 53).
Kemampuan untuk beradaptasi dari seseorang memerlukan
kematangan dalam berpikir dan juga berelasi. Bila seseorang
ada proses pengenalan, orientasi, adaptasi, pemikiran atau
kebijakan apa yang harus dibuat dan dilakukan, dan hal-hal
lainnya. Kepercayaan diri yang kurang, wawasan yang sempit,
pengalaman yang masih sedikit, serta kemampuan berelasi yang
masih sangat terbatas akan menjadikan individu bergumul dan
mengalami konflik, baik di dalam dirinya maupun dengan lain.
Rogers percaya bahwa orang-orang yang mampu beradaptasi
adalah orang-orang yang berfungsi sepenuhnya dan mampu
bertahan terhadap perubahan-perubahan yang drastis dalam
kondisi-kondisi lingkungan (Schultz, 1991 : 55).
d. Perluasan Diri (Self-Extention). Perluasan diri adalah
kemampuan hidup seseorang yang tidak terikat secara sempit
kepada kegiatan-kegiatan yang erat hubungannya dengan
kebutuhan-kebutuhan serta kewajiban-kewajiban yang langsung.
Individu tersebut mampu mengambil bagian dan menikmati
bermacam-macam kegiatan (Suryabrata, 2006 : 224). Kemampuan
berelasi dengan individu lain memberi ‘warna’ dalam hidup orang
yang mengaktualisasikan diri. Relasi dengan orang lain
menghasilkan kemampuan atau kapasitas berempati terhadap
kemanusiaan pada umumnya seperti kesakitan-kesakitan,
penderitaan-penderitaan, ketakutan-ketakuan, dan
kegagalan-kegagalan yang merupakan ciri kehidupan manusia, yang timbul
Individu yang memiliki relasi luas akan mengalami pula
pengalaman-pengalaman baru yang berkaitan dengan relasi-relasi
tersebut, juga peristiwa-peristiwa yang dialaminya bersama orang
lain. Individu ini mengalami perluasan diri dan pengalaman. Ia
mampu menimba banyak hal dalam pergaulannya dengan orang
lain. Ia terbuka dengan pengalaman baru yang menambah
pengetahuan dan kematangan pribadinya. Rogers menyatakan
bahwa orang-orang yang sehat secara psikologis terbuka
sepenuhnya kepada semua pengalaman (Schultz, 1991 : 31).
Allport juga berpendapat, ketika orang menjadi matang, dia
mengembangkan perhatian-perhatian di luar diri. Semakin
seseorang terlibat sepenuhnya dalam berbagai aktivitas atau orang,
atau ide, maka semakin ia akan sehat secara psikologis. Frankl juga
mengemukakan bahwa terlalu berpusat pada diri akhirnya
menghambat kesehatan psikologis (Schultz, 1991 : 31).
Allport menyatakan juga satu hal penting daripada
self-extension of the self itu ialah proyeksi ke masa depan:
merencanakan, mengharapkan (Suryabrata, 2006 : 224). Di antara
beberapa sifat orang yang berfungsi sepenuhnya, Rogers
mengemukakan salah satunya bahwa orang yang memiliki
kepribadian yang sehat, tidak hanya mau menerima
menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan
persepsi dan ungkapan baru (Schultz, 1991 : 51).
e. Kematangan Berelasi. Pada dasarnya manusia adalah makhluk
sosial yang memerlukan relasi dengan orang lain. Aktualisasi diri
adalah pengutaraan diri untuk kebutuhan individu yang paling
utama untuk memperoleh pengakuan akan dirinya dari lingkungan
sosialnya (Thantawy, 2005 : 3). Pergaulan sosial dan pengalaman
mempengaruhi konsep diri dan kepercayaan diri seseorang.
Kepercayaan diri yang baik juga akan menjadi kekuatan untuk
berelasi dengan individu lainnya.
Maslow menyatakan, orang yang teraktualisasi mampu
mengadakan hubungan yang kuat dengan orang lain, mampu
memiliki cinta yang lebih besar, persahabatan yang lebih dalam,
dan identifikasi yang lebih sempurna dengan individu-individu lain
(Schultz, 1991 : 107). Allport memandang kepribadian yang
terarah kepada orang lain, matang, terlibat secara aktif dan terikat
ada sesuatu atau seseorang di luar diri, tidak pasif, terisolasi dan
menarik diri dari orang lain adalah kepribadian yang sehat
(Schultz, 1991 : 37). Orang seperti ini mampu mencintai dan
memperluas dirinya ke dalam hubungan yang penuh perhatian
dengan orang-orang lain.
Maslow menemukan pula bahwa orang yang sehat
sehat bersikap mementingkan diri sendiri dengan cara yang sehat,
cara yang bermanfaat baginya dan bagi masyarakat juga (Goble,
1987 : 57).
Individu tersebut akan mampu menjalin kerja sama dan
mampu menghadapi pula konflik atau masalah yang berkaitan
dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang teraktualisasi tidak
mengalami kesulitan besar dalam proses adaptasi dengan
kepribadian orang lain. Ia akan menghargai perbedaan yang
dimiliki oleh orang lain karena menyadari bahwa setiap manusia
termasuk dirinya adalah unik, memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Allport membedakan dua macam kehangatan dalam
hubungan individu yang sehat secara psikologis dengan
orang-orang lain ; kapasitas untuk keintiman dan kapasitas untuk
perasaan terharu. Orang yang sehat secara psikologis mampu
memperlihatkan keintiman (cinta) terhadap orang tua, anak,
partner, teman akrab. Hal yang dihasilkan oleh kapasitas untuk
keintiman ini adalah suatu perasaan perluasan diri yang
berkembang baik. Ungkapan partisipasi otentik dengan orang yang
dicintai dan memperhatikan kesejahteraannya sama dengan
kesejahteraan individu sendiri.
Menurut Rogers pula, setiap pribadi membutuhkan
mencinta. Cinta, sebagai unsur penting, memberikan suasana untuk
dapat mengaktualisasikan diri secara penuh potensi-potensi unik
yang dimiliki seseorang. Selain mencintai dan dicintai, aktualisasi
diri juga akan terwujud kalau seseorang dimengerti dan diterima.
Fromm mengemukakan bahwa cara sehat untuk berhubungan
dengan dunia ialah melalui cinta (Schultz, 1991 : 67).
Syarat lain bagi kapasitas keintiman ialah suatu perasaan
identitas-diri yg berkembang baik. Perasaan terharu, adalah suatu
pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan
kekeluargaan dengan semua bangsa. Hasil dari kapasitas terharu
adalah kepribadian yang matang, sabar terhadap tingkah laku orang
lain dan tidak mengadili atau menghukum. Orang yang sehat
menerima kelemahan-kelemahan manusia dan mengetahui bahwa
dia memiliki kelemahan-kelemahan yang sama. Menurut Fromm,
pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu hidup dalam
masyarakat sosial yang ditandai dengan hubungan-hubungan yang
manusiawi, diwarnai oleh solidaritas penuh cinta dan tidak saling
merusak atau menyingkirkan satu dengan lainnya (Riyanto, 2006 :
104). Relasi mendalam antar manusia menghasilkan hasrat yang
tulus hati untuk membantu dan selalu menunjukkan sikap welas
asih dan simpati terhadap siapapun (Koeswara, 1989 : 234).
Sullivan juga mengemukakan bahwa setiap pribadi
merupakan sumber perkembangan pribadi (Riyanto, 2006 : 105).
Individu yang teraktualisasi mau dan mampu membangun sinergi
dengan orang lain.
f. Berpegang pada Nilai-nilai Hidup. Orang yang
mengaktualisasikan diri memegang teguh nilai-nilai yang dianut
secara pribadi dan diyakini kebenarannya. Nilai-nilai hidup
dijadikan pijakan dalam berpikir dan bertingkah laku, misalnya
nilai-nilai moral, agama, kemanusiaan, estetika, dan sebagainya.
Nilai-nilai ini tidak hanya berlaku untuk dirinya sendiri tetapi juga
menjadi dasar untuk keluar dari dirinya dan memfokuskan diri
pada masalah-masalah di luar diri mereka. Menurut Allport
seorang pribadi yang telah dewasa salah satu pokoknya adalah
memiliki filsafat hidup (Weltanschauung, philosophy of life)
(Suryabrata, 2006 : 225).
Walaupun individu itu harus dapat objektif dan bahkan menikmati kejadian-kejadian dalam hidupnya, namun mestilah ada latar belakang yang mendasari segala sesuatu yang dikerjakannya, yang memberinya arti dan tujuan. Religi merupakan salah satu hal yang penting dalam hal ini (Suryabrata, 2006 : 225).
Dalam Mazhab ketiga (Goble, 1987 : 155), dituliskan
pendapat Maslow,
skeptik. Dengan kata lain, hidupnya sama sekali tidak bermakna.
Goble menuliskan pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang
bertaraf rendah, (makanan, pakaian, dan tempat berlindung), tidak
dengan sendirinya menjamin pertumbuhan. Goble menambahkan
pada definisi tentang orang-orang yang mengaktualisasikan diri,
ialah ;
..bahwa ia tidak hanya, 1) bebas dari penyakit. 2) terpuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, dan 3) menggunakan kapasitas-kapasitasnya secara positif, melainkan juga 4) dimotivasikan oleh nilai-nilai tertentu yang diperjuangkan ataupun dirindukannya serta yang disetiainya (Goble, 1987 : 110).
Nilai juga menjadi dasar dari seorang religius untuk
mengaktualisasikan diri. Panggilan hidup yang dialami dan
dihayati adalah bagian dari bentuk penghayatan nilai-nilai secara
khusus nilai spiritual. Transendensi-diri menjadi usaha yang
diwujudkan dalam penghayatan segala nilai yang diterima dari
Allah (Prasetya, 1993 : 75). Transendensi inilah yang juga yang
membawa pribadi kepada pengalaman puncak atau pengalaman
mistik (peak experience).
Pemikiran pengalaman mistik berakar dari teori William
James, psikolog-filsuf abad ke-19, yang menulis tentang
“pengalaman mistis” – fenomena spiritual yang tidak bisa
dijelaskan, singkat, dan menyinarkan kebenaran (Friedman &
Pemahaman yang didapatkan melalui pengalaman puncak ini
membantu orang untuk mempertahankan kepribadian yang dewasa.
Orang seperti ini terpenuhi secara spiritual – nyaman dengan
dirinya sendiri dan dengan orang lain, mencintai dan kreatif,
realistis dan produktif (Friedman & Miriam, 2008 : 351).
Frankl mengemukakan bahwa satu momen puncak dari nilai
pengalaman dapat mengisi seluruh kehidupan seseorang dengan
arti (Schultz, 1991 : 156). Beliau memaparkan ada tiga system nilai
yang berhubungan dengan tiga cara member arti kepada kehidupan
: nilai-nilai daya cipta (kreatif), nilai-nilai pengalaman, dan
nilai-nilai sikap. Nilai-nilai daya cipta dan nilai-nilai pengalaman
berbicara tentang pengalaman-pengalaman manusia yang kaya,
penuh, positif, suatu kepenuhan hidup dengan menciptakan atau
mengalami. Sedangkan nilai sikap berperan ketika individu
menghadapi situasi-situasi yang tak mampu diubah atau dihindari
(sakit, kematian, bencana, dan sebagainya). Pemberian arti
terhadap kehidupan mendorong individu mencapai keadaan
transendensi-diri, keadaan yang terakhir utnuk kepribadian yang
sehat (Schultz, 1991 : 157).
g. Keseimbangan Diri Pribadi. Pada intinya, individu yang
mengaktualisasikan diri adalah pribadi yang selalu mengusahakan
keseimbangan di dalam dirinya, baik secara fisik, psikis,
sosial. Seorang pribadi yang mempunyai keseimbangan mampu
menjaga keselarasan hubungan antara diri pribadi dan sesama atau
pun dengan lingkungan. Keseimbangan ini sangat penting dalam
hidup manusia, karena melalui sesama dan lingkungan, seorang
pribadi dapat mencurahkan rasa cinta dan bakti kepada Tuhan
(Prasetya, 2000 : 141). Individu tersebut mampu mengintegrasikan
keadaan dirinya dengan situasi di luar dirinya.
Maslow menyatakan pula bahwa orang yang teraktualisasi
memiliki kadar konflik yang rendah di dalam dirinya. Ia tidak
berperang melawan dirinya sendiri; pribadinya menyatu (Goble,
1987 : 55).
Riyanto menyatakan (2006 : 64), yang dimaksudkan
integritas atau kesatuan pribadi adalah pribadi sebagai suatu
keseluruhan yang utuh tidak terbagi atau juga bukan pribadi yang
sebagian saja. Pribadi yang senyatanya dan seutuhnya merupakan
kesatuan dari keseluruhan unsur-unsur diri kita (perasaan, pikiran,
kehendak, sejarah masa lampau, pengalaman, keadaan fisik, latar
belakang keluarga, cita-cita, watak dan sifat, kekuatan dan
kelemahan). Diri yang seutuhnya adalah diri yang terintegrasi,
meliputi daya pemikiran kita, perasaan kita, pengalaman kita,
keadaan fisik kita, sifat dan watak kita. Nilai-nilai dan
pengalaman-pengalaman yang bersatu secara harmonis menjadi
1972 : 30). Prasetyo menyatakan bahwa keberhasilan dalam
integrasi ini akan memperteguh kemampuan pribadi untuk
membatinkan nilai dalam hidup rohaninya (1992 : 98).
Ridick (1987 : 187) menyatakan keseimbangan antara
dorongan-dorongan naluri dan kebutuhan sosial yang
kadang-kadang muncul dalam perasaan-perasaan spontan (entah secara
sadar atau bawah sadar), sikap-sikap konkret dalam hidup
seseorang dan nilai-nilai hidup yang dipeluknya dan yang
diwartakannya menghasilkan kedewasaan pribadi secara
psikologis.
Menurut Riyanto, orang yang memiliki kepribadian yang
dewasa mampu menyeimbangkan atau mengintegrasikan
pemikiran (rasio)nya, perasaan (emosi)nya, dan kehendak (hati)nya
(2006 : 47) .
Perls mempercayai bahwa manusia sebagai organisme mempunyai
satu tujuan yang dibawa sejak lahir : mengaktualisasikan diri sebagaimana
adanya sesuai dengan kodratnya sendiri (Schultz, 1991 : 183). Sebagai
manusia yang mengaktualisasikan diri, hendaknya individu tersebut
menghidupkan semua potensinya yang unik, menjadi diri sendiri dan bukan
menjadi orang lain.
Aktualisasi diri merupakan kemampuan dari seseorang untuk
facto/nyata dengan keadaan atau di mana ada dorongan atau keinginan.
Peningkatan kualitas diri seseorang untuk menjadi semakin
teraktualisasi diri adalah ketika individu tersebut melakukan
penanggulangan masalah-masalah sehari-hari sesuai dengan kemampuan
dan keadaan yang dimilikinya. Dengan kata lain, aktualisasi diri dibutuhkan
oleh semua orang di dalam kehidupannya sehari-hari.
B. BIMBINGAN
1. Pengertian Bimbingan
Ada banyak definisi bimbingan (guidance) yang dikembangkan oleh
para ahli, namun dapat dirangkum seperti yang dituliskan Prayitno dan
Erman Amti dalam buku Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling (2004 : 99)
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa: agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Namun, ada pula inti dari berbagai definisi mengenai bimbingan
yang dijabarkan oleh para ahli : bahwa bimbingan adalah proses bantuan
atau pertolongan yang ditujukan kepada individu dalam memahami diri
(bakat, minat, kemampuan) dan lingkungan, agar mampu membuat
keputusan yang tepat sehingga tercapai perkembangannya secara optimal