• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT AKTUALISASI DIRI PARA SUSTER JUNIOR DAN APLIKASINYA TERHADAP PROGRAM FORMASI JUNIORES KONGREGASI FIGLIE DELLA CARITA CANOSSIANA (FdCC) DI KOMUNITAS JAKARTA, JOGJAKARTA, DAN KUPANG PROVINSI DIVINE MERCY, INDONESIA 2010 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINGKAT AKTUALISASI DIRI PARA SUSTER JUNIOR DAN APLIKASINYA TERHADAP PROGRAM FORMASI JUNIORES KONGREGASI FIGLIE DELLA CARITA CANOSSIANA (FdCC) DI KOMUNITAS JAKARTA, JOGJAKARTA, DAN KUPANG PROVINSI DIVINE MERCY, INDONESIA 2010 SKRIPSI"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

 

2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh Theresia Saulina NIM : 041114006

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i  

2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh Theresia Saulina NIM : 041114006

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv  

sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."

Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku,

supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan,

di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan

oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat”.

(II Korintus: 12 : 9-10)

Abbiamo grandi motive per ringraziare il Signore che,

nella sua bonta’ benedice le nostre piccolo fatiche.

Sta. Magdalene of Canossa

Dengan sepenuh hati kupersembahkan skripsiku ini dalam rasa syukur yang terdalam kepada Allahku yang mencintaiku tanpa batas melalui :

Institutku yang tercinta,

Para susterku yang terkasih di dalam Provinsi Divine Mercy,

Keluargaku yang memberi perhatian dan mencintaiku,

serta

(6)

v  

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 27 Januari 2010

Penulis

(7)

vi  

Yogyakarta :

Nama : Theresia Saulina

NIM : 041114006

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : TINGKAT AKTUALISASI DIRI PARA SUSTER JUNIOR DAN APLIKASINYA TERHADAP PROGRAM FORMASI JUNIORES KONGREGASI FIGLIE DELLA CARITA’ CANOSSIANA (FDCC) DI KOMUNITAS JAKARTA, JOGJAKARTA, DAN KUPANG PROVINSI DIVINE MERCY, INDONESIA 2010.

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikanntya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Jogjakarta

Pada tanggal 22 Februari 2010 Yang menyatakan

(8)

vii  

PROVINSI DIVINE MERCY, INDONESIA 2010

Theresia Saulina

Universitas Sanata Dharma, 2010

Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran tentang seberapa tinggi aktualisasi diri para Suster Junior Canossian Provinsi Indonesia tahun 2008-2009 secara khusus di komunitas Jakarta, Jogjakarta dan Kupang serta usulan program-program pembinaan atau formasi yang dapat diberikan untuk meningkatkan aktualisasi diri. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survai. Subjek penelitian adalah para Suster Junior Canossian Provinsi Indonesia tahun 2008-2009. Jumlah subjek penelitian adalah 30 orang.

Instrumen  penelitian berbentuk  kuesioner  yang disusun  sendiri  oleh  penulis dan dikonsultasikan dengan beberapa dosen (expert judgement). Dalam  mendeskripsikan tingkat aktualisasi diri para Suster Junior digunakan kuesioner  berjumlah 86 item sebagai penjabaran dari tujuh aspek yang terdapat dalam  aktualisasi diri. Aspek‐aspek yang diteliti dari aktualisasi diri yaitu, (A) Otonom,  (B)  Kreatif,  (C)  Fleksibel,  (D)  Perluasan  Diri,  (E)  Kematangan  Berelasi,  (F)  Berpegang pada Nilai‐nilai Hidup, dan (G) Keseimbangan Diri Pibadi. Pengukuran  validitas dan reliabilitas menggunakan program SPSS dan teknik analisis data  yang digunakan adalah kategori aktualisasi diri berdasarkan Penilaian Acuan  Patokan (PAP) Tipe I. 

(9)

viii  

IN JAKARTA, JOGJAKARTA, AND KUPANG COMMUNITIES DIVINE MERCY PROVINCE, INDONESIA

2010

Theresia Saulina

Universitas Sanata Dharma, 2010

The objective of this research was to obtain the description of how high the self-actualization level of Canossian Junior Sisters of Indonesia Province year 2008-2009 especially in Jakarta, Yogyakarta, and Kupang Communities was and the programs suggested to improve it. This was a descriptive research with a survey method. The subjects of this research were the Canossian Junior Sisters of Indonesia Province year 2008-2009. The number of the research subject was 30 Sisters.

The research instrument was the writer’s self-made questionnaire and had been consulted with some expert judgments. In describing the self-actualization level of Canossian Junior Sisters, the writer applied a questionnaire of 86 items as the exposition of seven aspects in actualization.The aspects of self-actualization are (A) Autonomous, (B) Creative, (C) Flexible, (D) Self-Expansion, (E) Relationship Maturity, (F) Hold on to Life Values, and (G) Self Balance.The writer applied SPSS program as the validity and reliability measurement, and self-actualization categories based on Standardized Referential Grading “Penilaian Acuan Patokan” (PAP) Type 1 as the data analysis technique.

(10)

ix  

yang telah melimpahkan rahmat selama penyusunan hingga terselesaikannya

skripsi ini oleh penulis.

Skripsi ini telah disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling. Skripsi ini

disusun berkat bantuan, dukungan dan perhatian dari berbagai pihak yang telah

memberi masukan-masukan yang berharga bagi penulis. Oleh karena itu, ucapan

terimakasih disampaikan kepada :

1. Dra. M. J. Retno Priyani, M.Si, dosen pembimbing yang telah mendukung,

memberi saran-saran dan masukan, dorongan dengan segala kesabaran

bagi penulis hingga tersusunnya skripsi ini.

2. Fajar Santoadi, S.Pd, dosen yang membantu untuk memberi masukan dan

dukungan bagi penulis dalam bentuk penilaian validitas isi (expert

judgement).

3. A. Setyandari, S.Pd. Psi., M.A, dosen yang membantu untuk memberi

masukan dan dukungan bagi penulis dalam bentuk penilaian validitas isi

(expert judgement).

4. Drs. Thomas Aq. Prapancha Hary, M.Si, dosen yang membantu untuk

memberi masukan dan dukungan bagi penulis dalam bentuk penilaian

validitas isi (expert judgement).

5. Para dosen penguji, Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. dan Dra. Ignatia Esti

Sumarah, M.Hum yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk

mempertanggungjawabkan dan mempertahankan skripsi ini.

6. Madre Iolanda Vezzoli, Pemimpin Provinsial Divine Mercy, Indonesia,

(11)

x  

Yogjakarta yang telah mendukung dengan sepenuh hati melalui cinta,

perhatian, pengorbanan, doa-doa, dan dengan masing-masing cara yang

membantu dan mendukung yang diberikan kepada penulis selama kuliah

hingga menyelesaikan skripsi ini, khususnya di saat-saat sulit yang dialami

penulis.

8. Para Suster Junior Canossian di komunitas Yogyakarta, Jakarta, dan

Kupang atas kesediaan dan kesempatan untuk diadakannya pengumpulan

data dengan menjawab kuesioner yang diberikan.

9. Sr. Maria Rosalia Navera, FdCC, susterku yang membantu dengan doa

dan kesabaran serta penuh dukungan memberi penilaian validitas isi

(expert judgement) dan teman diskusi selama penulis berproses dalam

pengerjaan skripsi.

10.Para suster Canossian di Provinsi Indonesia, Timor, dan Provinsi lain yang

mendukung dengan doa dan perhatian demi selesainya skripsi ini.

11.Mama dan Bapak tercinta, adik-adikku, Iin, Frans, Irin, dan Bolit Tari, atas

cinta, perhatian dan dukungan serta tawa canda dalam kehangatan

memberi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12.Semua teman-teman Prodi BK angkatan 2004, Sr Brigitta, SCMM,

Sr.Hilaria, ADM, Ocha, Prisca, Phimpon, ‘Cimbah’ Sigit, Yashinta Fitri,

Yacinta Lopes, Elshinta, Tree-us, Tyo, Leni, Marcellus, Cepri, Chris, Tina,

Wusana Natalia, Erna, Ayu, Dwee, Pikal, Ria, Br.Yulius, CSA, Rm Agus,

Pr. Sr.Evarista, ADM, Sr Yustisia, CB, Irna, Lasibey, Anting, Ardi,

Yayuk, dan semua teman lain yang tak bisa disebutkan namanya satu

(12)

xi  

mendukungku dari jauh dengan perhatian, cinta , dan doa-doa mereka.

Tulisan dalam karya ini disadari penulis masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu saran dan kritik terhadap karya ini sangat disyukuri dan dihargai

demi membantu perkembangan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pembaca.

(13)

xii  

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………….………ii

HALAMAN PENGESAHAN………..………..iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….………iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ……….…….………….………v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….vi

ABSTRAK……….vii

ABSTRACT……….……….…..viii

KATA PENGANTAR ……….…………..……...…..ix

DAFTAR ISI ………..………....……...xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….…..….…xiv

DAFTAR TABEL ………..…………...…..…..xv

BAB I PENDAHULUAN ………..………..……..1

A. Latar Belakang Masalah ……….………...1

B. Rumusan Masalah ……….………..8

C. Tujuan Penelitian ………8

D. Manfaat Penelitian ……….……….8

E. Batasan Istilah ……….………9

BAB II KAJIAN TEORITIS ………..……….……...……..11

A. Aktualisasi Diri ……….….………...11

1. Pengertian Aktualisasi Diri ………...11

(14)

xiii  

2. Tujuan Bimbingan ………42

3. Peran Bimbingan dalam Aktualisasi Diri ……….44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………..50

A. Jenis Penelitian ………....………..50

B. Populasi Penelitian ………50

C. Instrumen Pengumpul Data ………...……….………...51

D. Validitas dan Reliabilitas ……….………..……….…..54

E. Pengumpulan Data ………..……….…….56

F. Analisis Data ………..……….……..58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………..………60

A. Hasil Penelitian ………..…………...60

B. Pembahasan ………..…….………63

C. Aspek-aspek yang Perlu Mendapat Prioritas ……….………….…..69

BAB V USULAN PROGRAM………. ………..…….…..….70

A. Latar Belakang Program ………...70

B. Tujuan Pembuatan Program ………..……71

(15)

xiv  

C. Saran …….……….………....80

DAFTAR PUSTAKA ………...83

(16)

xv  

Lampiran 2 : Kuesioner Para Suster Junior Canossian……….93

Lampiran 3 : Hasil Pengolahan Data ………..100

(17)

xvi  

Tabel 2 : Pemberian Skor pada Kuesioner ………..……..53

Tabel 3 : Tempat dan Waktu Pengumpulan Data ………....….…58

Tabel 4 : PAP Tipe I dan Kualifikasi Tingkat Aktualisasi Diri ……….………...61

Tabel 5 : Aspek-aspek dan Perolehan Skor Terendah ………..……62

Tabel 6 : Data Responden dan Skor Tingkat Aktualisasi Diri………...67

(18)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hidup religius atau hidup membiara adalah suatu panggilan khusus di dalam

Gereja Katolik dan dunia yang dipilih oleh sekelompok umat baik laki-laki

maupun perempuan untuk mengamalkan nilai-nilai Injil dan bermaksud mengikuti

Kristus secara lebih bebas dan meneladani-Nya dengan lebih setia. Dengan

maksud mengikuti Kristus inilah mereka mendirikan keluarga-keluarga religius

dan dengan kewibawaannya Gereja dengan suka hati menyambut dan menyetujui

cara hidup mereka (PC art.1). Suatu bentuk hidup yang memiliki ciri khas sebagai

suatu jalan hidup untuk mengejar nilai sejati di masa kehidupan yang mendatang.

Panggilan hidup religius atau membiara ditandai secara khusus dan khas

oleh pengikraran ketiga kaul, yaitu kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Para

religius meninggalkan dunia dan menguduskan diri kepada Allah melalui

pengikraran nasehat-nasehat Injili menurut suatu karisma yang khas untuk

melaksanakan berbagai bentuk pelayanan kerasulan kepada umat Allah secara

total, radikal, dan konsekuen dengan hati yang tidak terbagi dan terpusat pada

Tuhan.

Panggilan menjadi seorang religius merupakan suatu tanggung jawab yang

diwujudkan dalam cara hidup yang dijiwai oleh iman. Iman mendapat

perwujudannya dalam usaha terus menerus mengarahkan diri pada Allah yang

(19)

dalam hidupnya segala nilai yang diterima dari Allah. Pengambilan keputusan

untuk memilih suatu corak hidup ini dipandang penting meski berbeda dari

kebanyakan orang. Konsekuensinya adalah nilai-nilai yang hadir dan selalu

mengiringi perjalanan hidup seorang religius diantaranya tanggung jawab,

kesetiaan, ketekunan, dan sebagainya sebagai perwujudan dalam penghayatan

ketiga kaul.

Para anggota religius yang diharapkan dapat menjadi manusia yang

memiliki pribadi yang sehat secara psikologis dan rohani dibina melalui

pembinaan dalam bidang religius maupun kerasulan, begitu pula pendidikan

pengetahuan maupun kejuruan dan juga penyesuaian dengan tuntutan jaman ini.

Melalui masa pembinaan inilah para anggota kongregasi atau tarekat melalui

perpaduan unsur-unsur yang serasi sedemikian rupa, sehingga diharapkan mampu

untuk membantu para anggota mencapai keutuhan hidup (Dokument Konsili

Vatikan II : 1993, PC art 18).

Keutuhan hidup seorang religius hendaknya mencakup aspek-aspek hidup

yang dipersiapkan selama masa formasi atau pembinaan yang mencakup segi

manusiawi, budaya, rohani, dan pastoral. Pembinaan para religius mengindahkan

dimensi manusiawi dan kristiani demi mencapai keseimbangan perkembangan

dan kematangan individu secara manusiawi dan juga secara rohani. Tujuan

pembinaan adalah merubah seluruh pribadi calon religius, maka jelaslah komitmen

terhadap pembinaan tidak pernah berakhir. Pembinaan para religius ini

merupakan proses yang terus menerus dan melibatkan keseluruhan pribadi yang

(20)

VC art 65). Dalam mencapai keutuhan hidup inilah, ditemukan

dorongan-dorongan atau kebutuhan untuk mengenali diri dengan lebih mendalam sehingga

mampu meningkatkan kemampuan atau potensi-potensi diri.

Peneliti mengadakan pengamatan atau observasi terhadap para suster Junior

Canossian. Hasil pengamatan menarik perhatian peneliti untuk mengungkap

seberapa tinggi proses aktualisasi diri para suster Junior Canossian.

Pengembangan diri dalam hal aktualisasi diri ini adalah suatu proses yang

tampaknya belum optimal dan dapat dilihat dari kemampuan para suster junior

yang beragam dan berbakat dalam beberapa bidang. Ketiga kaul yang diikrarkan

oleh para religius khususnya para suster junior tidaklah menjadi batasan dalam

mengembangkan diri, melainkan dapat dijadikan sarana pengembangan diri baik

sebagai seorang pribadi yang sehat secara psikologis dan juga secara rohani.

Berdasarkan pengamatan peneliti inilah tampaknya para suster junior belum

menunjukkan usaha-usaha yang optimal dalam mengembangkan diri dan semua

potensi yang dimilikinya.

Seorang religius, secara khusus para suster junior akan menghadapi arus

kehidupan di jaman ini. Pribadi para junior akan menghadapi aneka ragam

tantangan terutama dalam penghayatan ketiga kaul. Hedonisme dan kesenangan

diri sendiri menjadi tantangan bagi kaul kemurnian; dunia yang menarik orang

untuk menjadi konsumerisme, materialisme yang haus akan harta-milik, tanpa

mengindahkan keperluan-keperluan dan penderitaan-penderitaan rakyat kecil

menjadi tantangan bagi kaul kemiskinan; dan juga kebebasan individu dalam

(21)

tantangan dalam menaati kaul ketaatan. Oleh karena itu diperlukan suatu pribadi

yang berani untuk meluncurkan diri sendiri sepenuhnya ke dalamnya dan bukan

untuk tenggelam dan menjadi satu dengan arus tersebut, namun kepribadian yang

tangguh dan memiliki nilai-nilai Injili sebagai sumber kekuatan untuk menjadi

pribadi yang aktual bagi perkembangan diri sendiri dalam menghadapi dunia

kerasulan atau karya.

Suatu kepribadian yang sehat dan matang ditandai dengan adanya

keberanian dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal.

Aktualisasi diri ini sangat penting dalam perkembangan kepribadian setiap orang

untuk menjadi pribadi yang matang dan seimbang.

Bagi seorang religius, secara khusus Junior Canossian, aktualisasi diri

adalah pengenalan diri dan penggunaan semua potensi, bakat, dan semua

kemampuan diri yang terdapat di dalam dirinya sebagai bentuk syukur atas rahmat

Allah dalam rupa talenta-talenta, kemampuan, potensi diri, kepribadian dan

sebagainya. Aktualisasi diri ditandai dengan penerimaan diri, orang lain,

spontanitas, keterbukaan, hubungan dengan orang lain yang relatif dekat,

demokratis, kreativitas, humoris, dan mandiri pada dasarnya, memiliki kesehatan

mental yang bagus atau sehat secara psikologis.

Perjalanan proses pembinaan para suster junior menghadapi tantangan pula

dalam mewujudnyatakan bakat dan kemampuan yang terkandung di dalam diri.

Bila semua kemampuan diri dan semua rahmat yang diberikan Allah itu tidak

(22)

ketidakseimbangan dalam perkembangan diri dan rohani. Penghayatan ketiga kaul

hanya menjadi sebatas peraturan yang harus ditaati; dalam menyikapi

peristiwa-peristiwa baik dalam hidup berkomunitas atau karya hanya selintas tanpa

mengambil makna atau suatu pelajaran; dan juga pengolahan diri seperti afeksi,

pengambilan keputusan, kebebasan berelasi, dan lain sebagainya yang menuntut

kreativitas akan menjadi kesulitan karena tidak berani bertindak. Bila seorang

religius kurang mengenal diri dan kurang mengaktualisasikan diri, maka hidupnya

hanya akan terasa cepat membosankan, menjemukan, kering, takut dalam

mengambil keputusan, takut berdialog dengan pimpinan, tidak berani

menyumbangkan bakat-bakat yang dimilikinya, akibat lainnya, individu tersebut

akan mencari kompensasi di tempat lain sebagai penghibur diri sendiri, tidak lagi

menyatukan hati dengan suster-suster di dalam komunitas, minder, dan tidak lagi

mengingat motivasi awal panggilan hidup membiara.

Menurut Maslow, aktualisasi diri sendiri adalah kebutuhan paling tinggi

manusia setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan lain menjadi

landasan dasar dorongan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri. Oleh Maslow,

kebutuhan manusia dibagi dalam dua besar, Kebutuhan Dasar yaitu kebutuhan

akibat kekurangan, seperti kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman

atau perlindungan; dan juga Kebutuhan untuk Tumbuh (Being values); cinta, rasa

memiliki-dimiliki, harga diri, penghargaan dari orang lain, keadilan, ketertiban,

dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan fisiologis tidaklah menjadi suatu

kebutuhan yang tidak bisa ditunda untuk dipikirkan, melainkan membawa

(23)

kebutuhan dasar tersebut diharapkan membawa kecenderungan pribadi untuk

mengaktualisasikan kemampuan dan ideal diri (Prasetyo, 2000 : 135).

Maslow juga mengembangkan visi tentang kepribadian yang sehat melalui

pemenuhan diri. Pemenuhan diri ini didukung oleh dua kecenderungan untuk

survive yang dapat menurunkan ketegangan organisme dan kecenderungan untuk

aktualisasi diri yang memacu dan memperkaya pertumbuhan hidup.

Kecenderungan untuk survive berciri mempertahankan hidup, sedangkan

kecenderungan aktualisasi diri berciri meningkatkan mutu hidup. Kalau semua

potensi itu dapat berfungsi penuh, maka tercapailah pengalaman puncak (Prasetya,

2000 : 136). Pengalaman puncak adalah kesempatan-kesempatan di mana

orang-orang yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan

terpesona yang hebat dan meluap-luap, sama seperti pengalaman keagamaan yang

mendalam (Schultz, 1991 : 105). Setiap pengalaman tentang keunggulan sejati,

kesempurnaan sejati atau setiap gerak ke arah keadilan yang seadil-adilnya atau ke

arah nilai-nilai yang tertinggi cenderung melahirkan suatu pengalaman puncak

(Goble, 1987 : 98).

Momen-momen yang menandai pengalaman puncak dialami sebagai hasil

dari penyatuan kreativitas, penemuan, dan pemahaman terhadap alam dan juga

tidak perlu berupa pengalaman keagamaan atau pengalaman spiritual, melainkan

bisa dialami melalui buku, musik, kegiatan-kegiatan intelektual, dan dari kegiatan

berhubungan dengan sesama (Koeswara, 1989 : 234).

(24)

secara penuh. Selama masa yang ditandai oleh integrasi dan keterpaduan ini sang

pribadi akan lebih spontan, lebih ekspresif, dan diliputi perasaan bebas dari ikatan

masa lampau maupun masa mendatang (Goble, 1987 : 98).

Pengalaman puncak ini lebih sering terjadi dalam kehidupan orang yang

beraktualisasi diri. Seseorang yang memiliki aktualisasi diri akan mampu

mengalami realisasi dari potensi diri yang terbesar.

Salah satu ciri lain dan umum dari orang yang mengaktualisasikan diri

adalah kreativitas dalam menjalankan hidup. Maslow mengemukakan bahwa sifat

kreatif nyaris memiliki arti sama dengan kesehatan, aktualisasi diri dan sifat

manusiawi yang penuh. Sifat-sifat yang dikaitkan dengan kreativitas ini adalah

fleksibilitas, spontanitas, keberanian, berani membuat kesalahan, keterbukaan, dan

kerendahan hati (Goble, 1987 : 53). Kreativitas menuntut keberanian, kemampuan

untuk bertahan, mampu mengolah kritik atau cemoohan, mampu menolak

pengaruh dari luar diri, dan juga memiliki kemampuan totalitas dalam melakukan

sesuatu. Beberapa ciri orang yang teraktualisasi ini diharapkan dapat ditemukan di

dalam diri para Suster Junior Canossian.

Berdasarkan latar belakang inilah, melalui penelitian ini, ingin diketahui

sejauh mana para Suster Junior Canossian berproses mengaktualisasikan diri.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para formator junior

sebagai bahan refleksi mengenai program pembinaan yang selama ini telah

mereka jalankan dan juga sebagai masukan demi perkembangan diri para Suster

(25)

hidup panggilan sebagai seorang religius Canossian, baik dalam penghayatan

ketiga kaul, hidup rohani, hidup berkomunitas, maupun dalam karya kerasulan.

B. RUMUSAN MASALAH

Penelitian ini bermaksud untuk menjawab : a) Seberapa tinggi tingkat

aktualisasi diri para Suster Junior Canossian dan; b) Usulan Program-program

pembinaan untuk peningkatan aktualisasi diri sebagai aplikasinya terhadap

program formasi junior.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dibuat untuk melihat seberapa tinggi tingkat aktualisasi diri

yang dimiliki para Suster Junior Canossian dan usulan program-program

pembinaan untuk meningkatkan aktualisasi diri sebagai aplikasinya terhadap

program formasi junior.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Penelitian ini diharapkan dapat membantu para Junior agar berani

mengaktualisasikan diri mereka dalam internalisasi dengan

penghayatan nilai-nilai Injili yang telah mereka ikrarkan.

2. Penelitian ini membantu para formator untuk selalu mengolah dan

mengevaluasi program-program pembinaan religius yang mereka

tangani demi perkembangan para calon religius secara khusus dalam

mengembangkan proses aktualisasi diri mereka dalam mencari atau

(26)

3. Penelitian ini membantu peneliti sendiri untuk menyadari dan

meningkatkan aktualisasi diri dalam bentuk peningkatan kemampuan

diri dan segala potensi-potensi yang dimiliki dan dihayati dalam

nilai-nilai Kristiani secara khusus nilai-nilai-nilai-nilai Injili demi perkembangan diri

dan karya kerasulan yang dipercayakan kongregasi.

4. Penelitian ini diharapkan menarik minat dan memberi manfaat bagi

peneliti lain agar menggali lebih dalam mengenai aktualisasi diri dan

program-program yang berkaitan dengan aktualisasi diri untuk

membantu orang lain berkembang utuh baik terutama dalam hal

peningkatan kepribadian.

E. BATASAN ISTILAH

Istilah-istilah yang perlu mendapatkan batasan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan

mengembangkan sifat-sifat dan memanfaatkan secara penuh bakat,

kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya dari diri pribadi.

2. Formasi atau pembinaan awal religius adalah suatu masa atau waktu

yang ditetapkan sebagai persiapan bagi para calon religius dalam

memasuki hidup panggilan religius. Dalam masa formasi religius ini

(27)

menuju manusia dewasa kristiani yang memadai dan siap untuk

mengikrarkan kaul kekal. Formasi ini dimulai dari tahap postulant,

novis, dan juniores.

3. Junior adalah tahapan hidup membiara para suster setelah

mengikrarkan kaul sementara sampai sebelum mengikrarkan kaul

(28)

11 

A. AKTUALISASI DIRI

1. Pengertian Aktualisasi Diri

Maslow menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan dasariah yang

terpenuhi akan mendorong adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan

diri. Dalam Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling, kebutuhan adalah

keadaan yang ditandai perasaan kekurangan atau keinginan untuk

memperoleh sesuatu atau keinginan untuk mewujudkan tindakan tertentu

(Thantawy, 2005 : 49). Menurut teori motivasi dari Maslow, aktualisasi diri

adalah kebutuhan psikologi yang paling tinggi tingkat hierarkinya dan

ditemрatkan paling atas pada piramida kebutuhan manusia. Kebutuhan

Psikologis adalah kecenderungan tindakan yang diakibatkan oleh

kekurangan dalam organisme fisik atau kemampuan alamiah dalam diri

manusia yang ingin dipenuhi atau diwujudkan (Prasetya, 1992 : l72).

Tidak hanya sebagai dorongan dari kebutuhan, dalam kehidupan

yang dialami aktualisasi diri juga diperlukan manusia untuk menghadapi

masalah, kebutuhan, ataupun tantangan. Manusia menghadapi tantangan,

yaitu halangan-halangan yang dihadapi dalam mencapai tujuan dalam

kehidupan. Tantangan-tantangan itu dapat berupa hal atau objek yang

menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah;

(29)

(Dept. Pendidikan dan Kebudayaan. 1996). Untuk menghadapi masalah,

kebutuhan, ataupun tantangan diperlukan kemampuan setiap pribadi untuk

bertumbuh dan berproses menghadapi situasi yang dihadapinya.

Aktualisasi diri adalah suatu bagian dari diri manusia dalam bentuk

proses yang dijalani oleh setiap manusia secara sadar ataupun tidak sadar.

Aktualisasi diri tampak dalam diri seseorang yang berani mengekspresikan

diri atau mengerahkan diri dan segala kemampuan baik inteligensi,

bakat-bakat, talenta, minat-minat dan semua potensi dirinya yang dimiliki sejak

lahir atau diperoleh dari hasil belajar. Secara bebas pula, Maslow

melukiskan bahwa pribadi yang teraktualisasi mengunakan dan

memanfaatkan bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya

dari diri pribadi tersebut secara penuh (Goble, 1987 : 48).

Aktualisasi diri (self-actualization) adalah kecenderungan untuk

mengembangkan bakat dan kapasitas sendiri. Definisi aktualisasi ini

bersinonim dengan self-realization, yaitu pemenuhan atau penyelesaian

potensialitas individu sendiri; aktualisasi dari bakat, kecerdasan,

ketangkasan sendiri, dan seterusnya (Chaplin, 2008 : 451). Menurut kamus

Pendidikan, aktualisasi diri juga merupakan upaya seseorang untuk

mewujudkan potensi yang dimilikinya, selain itu menjadi kebutuhan untuk

mewujudkan potensi tersebut (Vembriarto, 1994 : 2 ).

Menurut Rogers, aktualisasi diri adalah suatu kondisi yang berjalan

(30)

50). Meski ia tidak menyinggung-nyinggung hubungan Allah dengan

manusia, namun ia menggarap ide bahwa dalam proses hidupnya, manusia

memiliki ide dasariah yaitu aktualisasi diri, kepercayaan pada diri sendiri

(positif self-regard), dan kebebasan untuk melakukan apa yang “dirasa

benar”. Pribadi seharusnya berkembang untuk terus dalam proses, dan

kemampuannya terus-menerus berubah tanpa harus diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu. Proses terus-menerus seorang individu untuk

berusaha merealisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya sendiri

dalam setiap kesempatan yang terbuka baginya dinyatakan oleh Goldstein

sebagai dorongan utama yang disebut pula sebagai aktualisasi diri atau

realisasi diri (Hall dkk, 1993 : 75).

Bagi Rogers, orang yang teraktualisasi dan memiliki kepribadian

yang sehat adalah orang yang berproses terus menerus, meski tidak mudah

dan seringkali menyakitkan, namun orang yang teraktualisasi diri juga hidup

menjadi dirinya sendiri, tidak memakai atau bersembunyi di balik topeng

(Schultz, 1991 : 50) dan memiliki ciri-ciri tertentu, seperti keterbukaan

terhadap pengalaman, tidak adanya sikap defensif, kesadaran yang cermat,

penghargaan diri tanpa syarat, dan hubungan yang harmonis dengan

orang-orang lain (Hall dkk, 1993 : 128).

Maslow menyatakan bahwa proses aktualisasi diri adalah

perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau

yang terpendam (Goble, 1987 : 51). Pemenuhan semua kapasitas diri dan

(31)

orang yang memiliki kepribadian yang sehat (Schultz, 1991 : 12). Fromm

juga memaparkan, kepribadian sehat dan produktif benar-benar

menghasilkan sesuatu dan merupakan hasil yang sangat penting dari orang,

yakni diri. Orang-orang sehat menciptakan diri mereka dengan melahirkan

semua potensi mereka, dengan menjadi semua menurut kesanggupan

mereka, dengan memenuhi semua kapasitas mereka (Schultz, 1991 : 72).

Orang-orang yang sehat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang lebih

tinggi; memenuhi potensi-potensi mereka dan mengetahui serta memahami

dunia sekitar mereka. Penelitian menunjukkan bahwa orang sehat paling

menyatu saat menghadapi tantangan kreatif besar, menghadapi tujuan

tertentu yang bermakna, menghadapi ancaman serius ataupun keadaan

darurat (Goble, 1987 : 57). Aktualisasi diri adalah bagian yang menjadi

suatu kebutuhan penting dalam proses perkembangan manusia menjadi

dewasa dan juga memiliki kepribadian yang sehat.

Dilihat dari beberapa definisi mengenai aktualisasi diri seperti

aktualisasi diri sebagai suatu kebutuhan tertinggi setelah рemenuhan

kebutuhan dasariah yang lainnya, kemudian berproses menjadi

kecenderungan mengembangkan diri, aktualisasi diri sebagai upaya,

aktualisasi diri sebagai penggunaan dan pemanfaatan secara penuh potensi

diri, aktualisasi diri sebagai proses yang terus menerus dalam

merealisasikan diri, dan aktualisasi diri sebagai kondisi yang berjalan terus

secara sadar ataupun tidak sadar; maka melalui tulisan ini yang akan

(32)

yang mengembangkan atau memanfaatkan seluruh potensi diri yang dimiliki

individu tersebut. Proses ini akan diungkap melalui penelitian untuk melihat

seberapa tinggi proses aktualisasi diri dalam diri seseorang.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktualisasi Diri

Aktualisasi diri adalah proses yang berdinamika dalam diri manusia

dan tidak berhenti, namun tidak berarti proses itu selalu berjalan mulus. Ada

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tercapainya aktualisasi diri,

diantaranya :

a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar. Kebutuhan akan aktualisasi diri

adalah kebutuhan yang paling tinggi dalam teori kebutuhan

bertingkat dari Maslow. Teori hierarki kebutuhan Maslow

berkembang dari kebutuhan fisiologis dasar, melalui kebutuhan

psikologis yang lebih kompleks, memuncak pada kebutuhan

aktualisasi diri (Atkinson dkk, 1996 : 171). Maslow menyusun teori

kebutuhan yang di dalamnya mencakup lima kebutuhan universal ;

kebutuhan dasar fisiologis adalah kebutuhan biologis utama seperti

makanan, air, seks, dan tempat tinggal ; kebutuhan akan rasa aman

mencakup kebutuhan yang umumnya bisa diprediksi, yang

membuat dunia menjadi masuk akal ; kebutuhan akan cinta dan

rasa memiliki mencakup hubungan psikologis yang mendalam

dengan orang lain ; kebutuhan akan rasa harga diri atau

(33)

orang lain ; dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Menurut Maslow,

lima kebutuhan dasar universal tersusun dalam tingkatan, yaitu

kebutuhan yang ada di bawah pemuasannya lebih mendesak

daripada kebutuhan yang ada di atasnya (Koeswara, 1989 : 224).

Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi

sebagian sebelum kebutuhan ada peringkat berikutnya menjadi

penentu tindakan yang penting.

Menurut Rogers, keadaan lapar, haus, dan seks adalah

ekspresi-ekspresi yang tampil dan bersumber pada tendensi

pengaktualisasian yang berhubungan dengan pemeliharaan diri

(Koeswara, 1989 : 217).

b. Pengalaman Masa Kanak-kanak. Pengalaman masa kanak-kanak

yang malang dapat menghambat aktualisasi diri seseorang. Maslow

menjelaskan bahwa salah satu penyebab aktualisasi diri dapat

terhambat, kebanyakan disebabkan oleh pengalaman masa

kanak-kanak yang kurang baik. Maslow menekankan pentingnya dua

tahun pertama kehidupan seorang anak dalam mengalami cinta dari

orang-orang terdekatnya secara khusus ibu (Schultz, 1991 : 99).

Rogers juga menekankan pentingnya penghargaan positif

yang dialami mempengaruhi konsep diri seseorang. Seorang

individu dapat berkembang tergantung dari cinta yang diterima

pada masa kecil. Pada waktu diri itu mulai berkembang, anak itu

(34)

“penghargaan positif”(positif regard). Namun bila anak sering

mendapat celaan dan kurang mendapat cinta dan kasih sayang dari

orang-orang terdekatnya, ia akan kecewa dan akan melakukan apa

saja menurut reaksi yang diharapkan akan diberikan (Schult, 1991 :

47.) Aktualisasi diri sangat penting dalam perkembangan

kepribadian anak menjadi pribadi yang matang dan seimbang

(Thantawy, 2005 : 3). Jadi, aktualisasi diri akan dibantu atau

dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar, khususnya dalam

masa kanak-kanak (Schultz, 1991 : 46).

Namun, Maslow juga menekankan bahwa meskipun seorang

individu dipengaruhi oleh pengalaman masa kanak-kanak yang

malang, namun individu tersebut bukanlah korban tetap dari

pengalaman-pengalaman ini; individu tersebut dapat bertumbuh

dan mencapai tingkat-tingkat kesehatan psikologis yang tinggi

(Schultz, 1991 : 89).

c. Lingkungan. Hambatan lain aktualisasi diri datang dari

lingkungan tempat individu berada. Goldstein berpendapat setiap

pribadi harus "berjumpa" dengan lingkungan, karena lingkungan

membantu mencapai aktualisasi diri karena lingkungan berisikan

obstruksi-obstruksi dalam bentuk ancaman dan tekanan yang dapat

merintangi realisasi diri (Suryabrata, 2006 : 328). Setiap pribadi

mengalami interaksi dengan lingkungannya dan menghasilkan

(35)

pribadi sampai terbentuk pembawaan, perwatakan, perangai, sikap,

dan sifat entah positif maupun negatif (Prasetyo, 2000 : 129).

Kemampuan seseorang dalam mengaktualisasikan diri sangat

mudah dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya lingkungan sosial

(Hall, 1993 : 138).

Maslow menyatakan lingkungan cenderung

mendepersonalisasikan individu-individu. Lingkungan budaya

dapat dan sering menghambat perkembangan manusia ke arah

aktualisasi diri (Goble,1987 : 106). Masyarakat juga cenderung

merepres pengungkapan potensi-potensi warganya, dan menurut

Maslow pula tidak ada satu pun masyarakat yang sepenuhnya

menunjang atas upaya pengaktualisasian diri para warganya, meski

tentunya ada beberapa masyarakat yang lebih baik dibanding

masyarakat-masyarakat lainnya (Koeswara, 1989 : 230). Salah satu

contoh mengenai pengertian umum tentang sebutan jantan dan

yang tidak jantan. Sejumlah aspek manusiawi seperti simpati,

kebaikan hati, kehalusan dan kelembutan acapkali harus dimatikan

sebab masyarakat cenderung memandang sifat-sifat tersebut

sebagai yang tidak jantan (Goble, 1987 : 106).

Goldstein menyatakan, lingkungan luar mempunyai dua

fungsi, yaitu menyediakan konteks atau situasi kondisi dan ikut

(36)

terlalu besar, maka akan menumbuhkan kegelisahan yang fatal

yang dapat membelokkan aktualisasi diri (Prasetyo, 2000 : 135).

Jean Jacques Rousseau memiliki keyakinan yang sama

dengan teori organismik Goldstein, ia menyatakan bahwa manusia

pada hakikatnya adalah baik tetapi ia dapat dan seringkali dinodai

oleh lingkungan yang tidak memberinya kesempatan untuk berbuat

dan berkembang sesuai dengan kodratnya (Hall dkk, 1993 : 75).

Goldstein juga memaparkan bahwa lingkungan dapat

memberikan sarana-sarana yang diperlukan untuk dapat mencapai

aktualisasi diri namun juga mampu menghambat aktualisasi diri.

Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya

akan membantu untuk mengaktulisasikan diri, tetapi lingkungan

yang berisikan gangguan-gangguan berupa ancaman dan

tekanan-tekanan dapat menghalangi atau menghambat realisasi diri.

Perasaan tertekan karena ancaman-ancaman yang diberikan oleh

lingkungan menyebabkan adanya kecemasan yang membuat

individu tersebut tidak mampu membuat kemajuan dalam meraih

tujuan hidupnya. Penyesuaian diri dengan lingkungan diwujudkan

dengan menguasainya. Bila dapat dilakukan penyesuaian, maka

individu mengalah atau melepaskan beberapa cita-cita dan

berusaha mengaktualisasikan diri pada taraf yang lebih rendah

(37)

d. Orientasi Nilai. Nilai sebagai pedoman atau penuntun

mempengaruhi aktualisasi diri seseorang. Nilai adalah adalah

kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,

diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan (Bagus,

1996 : 713). Sikap apapun dari seseorang, ideal manapun, maksud

apa pun atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai

mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan

(Bagus, 1996 : 714).

William Temple menyatakan bahwa Allah adalah nilai

tertinggi dan dengan begitu harus diakui oleh semua orang (Bagus,

1996 : 721). Pernyataan akan nilai ini diakui bahwa nilai-nilai

religius menduduki tempat tertinggi, karena nilai-nilai religius

langsung berkaitan dengan kebaikan tidak terbatas (Allah).

Maslow juga menyatakan bahwa pemeneuhan terhadap

kebutuhan pokok akan mendorong pribadi untuk bergerak menuju

nilai-nilai yang lebih tinggi; menuju “kehidupan spiritual” yang

lebih tinggi (Maslow, 1994 : 93)

Nilai inilah yang dapat menjadi salah satu dasar

pengembangan diri seorang pribadi manusia dalam kaitannya

dengan kehidupan sehari-hari. Nilai religius dan tatanan nilai yang

lain seperti nilai pribadi, nilai kegunaan, nilai ekonomi, nilai

kesenangan, dan sebagainya mendorong manusia untuk

(38)

pengenalan diri. Pengenalan diri bila hanya berada di permukaan

saja akan membuat individu tersebut ragu dengan dirinya sendiri

dan kurang menyadari bahwa ia memiliki potensi-potensi yang

indah di dalam dirinya dan merupakan pemberian Tuhan.

Tillman, dkk menyatakan bahwa nilai adalah sikat pemukul

yang memberi arti dalam hidup. Nilai mewarnai realitas manusia

dengan cara-cara pemahaman yang baru, menciptakan dalam diri

individu untuk melaksanakan rencana-rencananya (2004 : 64).

Internalisasi nilai akan memberi dampak pada tingkah laku

seseorang.

Nilai juga menjadi dasar motivasi seseorang dalam

mengambil keputusan, bertingkah laku, ataupun melakukan banyak

hal. Prasetyo mengemukakan bahwa nilai juga menjadi tujuan dari

seseorang yang digerakkan oleh motivasi dalam pemenuhan

kebutuhan psikologis (1993 : 108).

e. Pengenalan Diri. Menurut Maslow, penghambat yang utama dari

upaya pencapaian aktualisasi diri adalah hambatan yang datang

dari diri sendiri berupa ketidaktahuan dan keraguan individu akan

potensi-potensi yang dimilikinya (Koeswara, 1989 : 230). Maslow

juga meyakini, kebanyakan orang memiliki kebutuhan serta

kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Namun, kendati

memiliki kemampuan mengaktualisasi diri ini, hanya kecil sekali

(39)

orang buta akan kemampuan mereka sendiri (Goble, 1987 : 95).

Akibat dari ketidaktahuan dan keraguan akan potensi-potensinya

sendiri, individu tidak dapat mensyukuri anugrah tersebut dan juga

tidak akan mau mengembangkannya.

Pengenalan diri adalah upaya untuk mengetahui/mengenal

dirinya sendiri meliputi kelebihan dan kekurangan (dalam

akademik sosial, psikis dan fisik) sifat-sifat kepribadian, minat,

bakat, cita-cita, kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai yang penting

dalam hidupnya (Thantawy, 2005 : 86). Pengenalan diri serta

pemahaman diri, menurut pendapat Maslow merupakan jalan

terpenting menuju aktualisasi diri, suatu proses yang dapat dibantu

atau dapat pula dihambat oleh orang tua, guru, maupun lingkungan

budaya (Goble, 1987 ; 108).

Potensi diri yang tidak dikenali ini mempengaruhi

kepercayaan dirinya, citra diri, dan juga persepsinya terhadap

orang lain. Pemahaman diri juga akan memungkinkan seseorang

memahami dan menjalin relasi dengan orang lain secara efektif

(Goble, 1987 : 108). Orang yang kurang mengenal diri akan tinggal

dalam perasaan rendah diri atau minder. Adler berpendapat, rasa

rendah diri itu mencakup segala rasa kurang berharga yang timbul

karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa secara

(40)

(Suryabrata, 2006 : 187). Keadaan ini akan menghambat seseorang

untuk mengaktualisasikan dirinya.

3. Aspek-aspek dalam Aktualisasi diri seseorang

Ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan menjadi indikator

atau alat untuk mengungkap aktualisasi diri dalam pribadi yang

teraktualisasi. Aspek-aspek yang terdapat dalam aktualiasi diri seorang

individu, diantaranya ;

a. Otonom (autonomy). Kata ini berasal dari bahasa Yunani, autos

(diri) dan nomos (hukum). Dalam kamus Filsafat, ada beberapa

pengertian mengenai otonom, diantaranya : kemampuan mengatur

diri sendiri, tindakan memerintah diri sendiri, menentukan sendiri,

mengarahkan sendiri, bebas dari kehendak orang lain, dan juga

hak untuk mengikuti kemauan sendiri (Bagus, 1996 : 765).

Sikap otonom adalah sikap yang merupakan hasil dari suatu

kebebasan yang datang dari dalam diri individu (Maslow, 1994 :

162). Kebebasan ini merupakan perolehan dari kepuasan atas

kebutuhan sebelumnya akan keselamatan, cinta, rasa memiliki dan

harga diri. Kebebasan ini berarti segi-segi dalam diri seseorang

secara fungsional telah menjadi otonom, yaitu bebas dari kepuasan

yang menciptakan kebutuhan itu sendiri (Maslow, 1994 :72).

Arti lain dari otonom adalah pengambilan keputusan sendiri,

pengaturan sendiri, dan menjadi pihak yang mengambil keputusan

(41)

sikap otonom memiliki kemandirian yang relatif mantap terhadap

lingkungan lahir dan lingkungan sosialnya dan mampu

mempertahankan ketenangan jiwa (Maslow, 1994 : 17).

Menurut Maslow pula orang-orang yang sehat percaya akan

keputusan mereka, seperti mereka percaya akan diri mereka

sendiri. Tidak terpengaruh namun mampu berdiri sendiri, mampu

mengambil keputusannya sendiri, dan memiliki otonom diri yang

tinggi. Maslow menyebutkan orang yang mengaktualisasikan diri

memiliki “kemerdekaan psikologi”, yaitu kemampuan mengambil

keputusan-keputusan sendiri sekalipun melawan pendapat khalayak

ramai (Goble, 1987 : 59). Maslow menuliskan, orang yang

self-actualized tidak menggantungkan kepuasan-kepuasan utamanya

pada orang lain atau lingkungan, sebab mereka percaya kepada

potensi-potensi yang dimilikinya (Koeswara, 1989 : 233). Orang

yang mengaktualisasikan diri mampu melawan dengan baik

pengaruh-pengaruh sosial, untuk berpikir atau bertindak menurut

cara-cara tertentu.

Menjadi otonom sama artinya bertindak dengan kebebasan

yang menuntut individu untuk mengambil keputusan demi

perkembangan dirinya, tidak terikat dengan

keterbatasan-keterbatasan pribadi, pengaruh orang lain atau lingkungan, begitu

juga dengan masa lalu atau peristiwa-peristiwa yang bagi

(42)

mengaktualisasikan diri. Dengan kata lain, orang yang

teraktualisasi akan menunjukkan dirinya sebagai orang independen

dan tak terikat dalam hal-hal tertentu yang mendasar (Koeswara,

1989 : 236).

b. Kreatif. Dalam perjalanan hidup sehari-hari yang penuh dengan

kebutuhan, masalah dan juga tantangan, individu yang memiliki

kepribadian yang sehat akan meningkatkan kreativitasnya sebagai

sarana untuk menjalani hidupnya. Dalam buku Maturityin Religius

Life, Iragui (1972: 290) menuliskan, "Creativity means life,

development, growth, maturity, fruitfulness. It begins with self–

improvement and personality growth ; it leads to self–realization

and self–fulfillment."

Menurut arti katanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Department Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 : 530) kreatif

mempunyai arti, memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk

menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta. Kreativitas adalah

kemampuan untuk mencipta, perihal berkreasi.

Maslow menemukan kreativitas sebagai ciri universal pada

semua orang yang mengaktualisasikan diri yang diselidikinya

(Goble, 1987 : 52). Menurut Maslow, di dalam diri manusia

terdapat satu ciri umum, yakni potensi kreatif. Potensi kreatif ini

adalah ciri yang inheren dan mendorong manusia untuk tumbuh

(43)

oleh orang-orang yang mengaktualisasikan diri melalui ilmu

pengetahuan, seni, dan bidang-bidang kehidupan lainnya

(Koeswara, 1989 : 235). Namun, Reichert (1970 : 29) menyatakan,

“ It is important to realize that creativity is not limited to the arts. Creativity is a way of life, not a special talent in the fine arts. Creativity can embrace every aspect of life, from our interpersonal relationships to the way we dispose of our garbage.”

Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan ide atau

menciptakan bentuk-bentuk baru dalam seni atau mengatasi

problem dengan metode-metode baru (Thantawy, 2005 : 62).

Kreatif berkaitan dengan penggunaan informasi yang bukan berasal

dari pengalaman langsung atau belajar, tetapi dari perluasan konsep

beberapa sumber di dalam pemecahan masalah atau pengembangan

seni atau bentuk-bentuk mekanik. Suatu pekerjaan yang kreatif

menghendaki selain kecerdasan juga imajinasi (Thantawy, 2005 :

61). Drucker menyatakan berpikir kreatif adalah kemampuan

seseorang untuk menciptakan kombinasi baru atas

gagasan-gagasan yang telah ada (2008 : 86).

Kreativitas adalah cara mengapresiasikan diri kita terhadap

suatu masalah, dengan menggunakan berbagai cara yang datang

secara spontanitas yang merupakan hasil dari pemikiran kita.

Kreativitas bisa disalurkan dengan berbagai cara, diantaranya

dengan membuat karya-karya seni yang mengandung nilai-nilai

(44)

dorongan di dalam diri kita untuk berkarya. Kreativitas

membantunya memecahkan masalah, mencari jalan keluar,

mengurangi masalah, atau juga mampu mencegah masalah.

Selain kemampuan berpikir dan membuat sesuatu yang baru,

kreativitas juga membantu orang untuk dapat beradaptasi dengan

keadaan atau situasi. Kreativitas juga diperlukan dalam proses

adaptasi dengan segala hal yang bersifat baru. Diri yang kreatif

adalah penggerak utama, pegangan filsafat, sebab pertama bagi

semua tingkah laku. Diri yang kreatif ini pulalah yang memberi arti

kepada hidup, yang menetapkan tujuan serta membuat alat untuk

mencapainya (Suryabrata, 2006 : 191).

Campbell menyatakan bahwa orang-orang kreatif

kebanyakan menampakkan dalam diri mereka sikap terlibat dalam

sesuatu, yakin atas tujuan dan arti hidup mereka, ada rasa diutus

secara khusus. Karya cipta mereka bukan sekedar merupakan

angan-angan saja, tetapi merupakan hasil jawaban atas tawaran

atau tantangan kehidupan (1986 : 43). Salah satu hal penting untuk

mendukung kreativitas adalah pemikiran yang berani keluar dari

‘prosedur’ yang biasanya, didasari motivasi yang membawa

kemajuan; ide baru, gagasan segar, pemecahan masalah,

penyelesaian, pemikiran besar, dan sebagainya.

Untuk menjadi pribadi yang ter-aktualisasi, pemikiran yang

(45)

meningkatkan kreativitas pribadi dalam menghadapi perjalanan

setiap kehidupan manusia. Campbell (1986 : 30) menguraikan

salah satu ciri pokok dari orang yang kreatif adalah orisinalitas

(originality) yaitu kemampuan untuk melahirkan ide, gagasan,

pemecahan, cara kerja yang tidak lazim, yang jarang, bahkan

“mengejutkan”. Campbell juga menyatakan motivasi batin ini lebih

kuat daripada diiming-imingi oleh hadiah (uang, nama,

kenikmatan, pangkat, kedudukan, dan sebagainya).

Menurut Rogers, orang yang memiliki kreativitas dan

spontanitas mampu menanggulangi perubahan-perubahan yang

drastis sekalipun, bebas atau tidak kaku terhadap pengalaman dan

hidup, dan mampu menyesuaikan diri dengan baik (Schultz, 1991 :

55). Rogers berpendapat bahwa kreativitas merupakan ciri yang

menonjol dari orang-orang yang berfungsi penuh dan menjadi

tanda dari kesanggupan mereka untuk melakukan penyesuaian dan

kemampuan bertahan bahkan dalam perubahan-perubahan yang

drastis sekalipun. Kreativitas orang-orang yang berfungsi penuh

sanggup menghasilkan gagasan-gagasan, proyek-proyek, dan

tindakan-tindakan yang berguna bagi dirinya maupun

lingkungannya (Koeswara, 1989 : 221).

Kreativitas bisa dirangsang dan ditingkatkan dengan

latihan, namun tidak berarti orang cerdas dan berkemampuan

(46)

ternyata tidak cukup berbekal skill dan kemampuan kreatif belaka.

Memiliki ketrampilan, bakat, dan kemampuan kreatif tidak

otomatis membuat seseorang melakukan aktivitas yang

menghasilkan output kreatif. Ia bisa memilih tidak melakukan

aktivitas kreatif. Jadi faktor dorongan atau motivasi sangat penting

dalam peningkatan aktifitas dan kreativitas.

c. Fleksibel. Individu yang fleksibel adalah individu yang memiliki

kemampuan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan diri

dan lingkungannya, luwes, tidak canggung dan tidak kaku terhadap

situasi yang dihadapi ataupun pemikiran-pemikirannya sendiri

maupun orang lain. Seorang individu yang merasa diri berharga

dalam semua syarat akan terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru dan bersikap bebas tanpa ada pemikiran

terancam.

Menurut Maslow, orang yang kreatif bersifat fleksibel; mampu menyesuaikan diri jika situasinya berubah, mampu menghentikan kebiasaan-kebiasaan, mampu menghadapi kebimbangan serta perubahan-perubahan kondisi tanpa mengalami ketegangan yang tidak perlu. Ia tidak merasa terancam oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diduga-duga seperti dialami oleh orang-orang yang kaku, tidak fleksibel (Goble, 1987 : 55).

Rogers menyatakan bahwa diri yang terbuka kepada semua

pengalaman baru dan fleksibel akan membuatnya menjadi orang

(47)

potensinya (Schultz, 1991 : 50). Terbuka akan

perubahan-perubahan yang bertanggung jawab atau sesuai dengan

prinsip-prinsip yang dianutnya akan membawa individu tersebut ke dalam

proses aktualisasi diri yang mulai berlangsung. Allport

menyatakan, antara lingkungan fisik dan lingkungan psikis

individu diperlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri

(Suryabrata, 2006 : 207).

Maslow melakukan penelitian pada populasi mahasiswa yang

sesuai dengan definisinya tentang “self-actualizer”, beliau

menyimpulkan bahwa kelompok ini mampu memanfaatkan bakat

serta kemampuannya secara efektif dan tidak menunjukkan gejala

tidak dapat menyesuaikan diri. Tempat kerja yang kurang sesuai

dengan kemampuan diri seorang individu dapat dilihat atau

disadari dari caranya beradaptasi. Penyesuaian diri di tempat baru

dapat meningkatkan kreativitas kita. Fleksibilitas, kreativitas,

spontanitas, ekspresif, keberanian membuat kesalahan, dan

keterbukaan akan membantu juga orang tersebut untuk bersikap

rendah hati, mau belajar dari orang lain ataupun segala macam hal

lainnya dan mampu melihat segala perkara secara segar tanpa

prasangka (Goble, 1987 : 53).

Kemampuan untuk beradaptasi dari seseorang memerlukan

kematangan dalam berpikir dan juga berelasi. Bila seseorang

(48)

ada proses pengenalan, orientasi, adaptasi, pemikiran atau

kebijakan apa yang harus dibuat dan dilakukan, dan hal-hal

lainnya. Kepercayaan diri yang kurang, wawasan yang sempit,

pengalaman yang masih sedikit, serta kemampuan berelasi yang

masih sangat terbatas akan menjadikan individu bergumul dan

mengalami konflik, baik di dalam dirinya maupun dengan lain.

Rogers percaya bahwa orang-orang yang mampu beradaptasi

adalah orang-orang yang berfungsi sepenuhnya dan mampu

bertahan terhadap perubahan-perubahan yang drastis dalam

kondisi-kondisi lingkungan (Schultz, 1991 : 55).

d. Perluasan Diri (Self-Extention). Perluasan diri adalah

kemampuan hidup seseorang yang tidak terikat secara sempit

kepada kegiatan-kegiatan yang erat hubungannya dengan

kebutuhan-kebutuhan serta kewajiban-kewajiban yang langsung.

Individu tersebut mampu mengambil bagian dan menikmati

bermacam-macam kegiatan (Suryabrata, 2006 : 224). Kemampuan

berelasi dengan individu lain memberi ‘warna’ dalam hidup orang

yang mengaktualisasikan diri. Relasi dengan orang lain

menghasilkan kemampuan atau kapasitas berempati terhadap

kemanusiaan pada umumnya seperti kesakitan-kesakitan,

penderitaan-penderitaan, ketakutan-ketakuan, dan

kegagalan-kegagalan yang merupakan ciri kehidupan manusia, yang timbul

(49)

Individu yang memiliki relasi luas akan mengalami pula

pengalaman-pengalaman baru yang berkaitan dengan relasi-relasi

tersebut, juga peristiwa-peristiwa yang dialaminya bersama orang

lain. Individu ini mengalami perluasan diri dan pengalaman. Ia

mampu menimba banyak hal dalam pergaulannya dengan orang

lain. Ia terbuka dengan pengalaman baru yang menambah

pengetahuan dan kematangan pribadinya. Rogers menyatakan

bahwa orang-orang yang sehat secara psikologis terbuka

sepenuhnya kepada semua pengalaman (Schultz, 1991 : 31).

Allport juga berpendapat, ketika orang menjadi matang, dia

mengembangkan perhatian-perhatian di luar diri. Semakin

seseorang terlibat sepenuhnya dalam berbagai aktivitas atau orang,

atau ide, maka semakin ia akan sehat secara psikologis. Frankl juga

mengemukakan bahwa terlalu berpusat pada diri akhirnya

menghambat kesehatan psikologis (Schultz, 1991 : 31).

Allport menyatakan juga satu hal penting daripada

self-extension of the self itu ialah proyeksi ke masa depan:

merencanakan, mengharapkan (Suryabrata, 2006 : 224). Di antara

beberapa sifat orang yang berfungsi sepenuhnya, Rogers

mengemukakan salah satunya bahwa orang yang memiliki

kepribadian yang sehat, tidak hanya mau menerima

(50)

menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan

persepsi dan ungkapan baru (Schultz, 1991 : 51).

e. Kematangan Berelasi. Pada dasarnya manusia adalah makhluk

sosial yang memerlukan relasi dengan orang lain. Aktualisasi diri

adalah pengutaraan diri untuk kebutuhan individu yang paling

utama untuk memperoleh pengakuan akan dirinya dari lingkungan

sosialnya (Thantawy, 2005 : 3). Pergaulan sosial dan pengalaman

mempengaruhi konsep diri dan kepercayaan diri seseorang.

Kepercayaan diri yang baik juga akan menjadi kekuatan untuk

berelasi dengan individu lainnya.

Maslow menyatakan, orang yang teraktualisasi mampu

mengadakan hubungan yang kuat dengan orang lain, mampu

memiliki cinta yang lebih besar, persahabatan yang lebih dalam,

dan identifikasi yang lebih sempurna dengan individu-individu lain

(Schultz, 1991 : 107). Allport memandang kepribadian yang

terarah kepada orang lain, matang, terlibat secara aktif dan terikat

ada sesuatu atau seseorang di luar diri, tidak pasif, terisolasi dan

menarik diri dari orang lain adalah kepribadian yang sehat

(Schultz, 1991 : 37). Orang seperti ini mampu mencintai dan

memperluas dirinya ke dalam hubungan yang penuh perhatian

dengan orang-orang lain.

Maslow menemukan pula bahwa orang yang sehat

(51)

sehat bersikap mementingkan diri sendiri dengan cara yang sehat,

cara yang bermanfaat baginya dan bagi masyarakat juga (Goble,

1987 : 57).

Individu tersebut akan mampu menjalin kerja sama dan

mampu menghadapi pula konflik atau masalah yang berkaitan

dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang teraktualisasi tidak

mengalami kesulitan besar dalam proses adaptasi dengan

kepribadian orang lain. Ia akan menghargai perbedaan yang

dimiliki oleh orang lain karena menyadari bahwa setiap manusia

termasuk dirinya adalah unik, memiliki kelebihan dan kekurangan

masing-masing.

Allport membedakan dua macam kehangatan dalam

hubungan individu yang sehat secara psikologis dengan

orang-orang lain ; kapasitas untuk keintiman dan kapasitas untuk

perasaan terharu. Orang yang sehat secara psikologis mampu

memperlihatkan keintiman (cinta) terhadap orang tua, anak,

partner, teman akrab. Hal yang dihasilkan oleh kapasitas untuk

keintiman ini adalah suatu perasaan perluasan diri yang

berkembang baik. Ungkapan partisipasi otentik dengan orang yang

dicintai dan memperhatikan kesejahteraannya sama dengan

kesejahteraan individu sendiri.

Menurut Rogers pula, setiap pribadi membutuhkan

(52)

mencinta. Cinta, sebagai unsur penting, memberikan suasana untuk

dapat mengaktualisasikan diri secara penuh potensi-potensi unik

yang dimiliki seseorang. Selain mencintai dan dicintai, aktualisasi

diri juga akan terwujud kalau seseorang dimengerti dan diterima.

Fromm mengemukakan bahwa cara sehat untuk berhubungan

dengan dunia ialah melalui cinta (Schultz, 1991 : 67).

Syarat lain bagi kapasitas keintiman ialah suatu perasaan

identitas-diri yg berkembang baik. Perasaan terharu, adalah suatu

pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan

kekeluargaan dengan semua bangsa. Hasil dari kapasitas terharu

adalah kepribadian yang matang, sabar terhadap tingkah laku orang

lain dan tidak mengadili atau menghukum. Orang yang sehat

menerima kelemahan-kelemahan manusia dan mengetahui bahwa

dia memiliki kelemahan-kelemahan yang sama. Menurut Fromm,

pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu hidup dalam

masyarakat sosial yang ditandai dengan hubungan-hubungan yang

manusiawi, diwarnai oleh solidaritas penuh cinta dan tidak saling

merusak atau menyingkirkan satu dengan lainnya (Riyanto, 2006 :

104). Relasi mendalam antar manusia menghasilkan hasrat yang

tulus hati untuk membantu dan selalu menunjukkan sikap welas

asih dan simpati terhadap siapapun (Koeswara, 1989 : 234).

Sullivan juga mengemukakan bahwa setiap pribadi

(53)

merupakan sumber perkembangan pribadi (Riyanto, 2006 : 105).

Individu yang teraktualisasi mau dan mampu membangun sinergi

dengan orang lain.

f. Berpegang pada Nilai-nilai Hidup. Orang yang

mengaktualisasikan diri memegang teguh nilai-nilai yang dianut

secara pribadi dan diyakini kebenarannya. Nilai-nilai hidup

dijadikan pijakan dalam berpikir dan bertingkah laku, misalnya

nilai-nilai moral, agama, kemanusiaan, estetika, dan sebagainya.

Nilai-nilai ini tidak hanya berlaku untuk dirinya sendiri tetapi juga

menjadi dasar untuk keluar dari dirinya dan memfokuskan diri

pada masalah-masalah di luar diri mereka. Menurut Allport

seorang pribadi yang telah dewasa salah satu pokoknya adalah

memiliki filsafat hidup (Weltanschauung, philosophy of life)

(Suryabrata, 2006 : 225).

Walaupun individu itu harus dapat objektif dan bahkan menikmati kejadian-kejadian dalam hidupnya, namun mestilah ada latar belakang yang mendasari segala sesuatu yang dikerjakannya, yang memberinya arti dan tujuan. Religi merupakan salah satu hal yang penting dalam hal ini (Suryabrata, 2006 : 225).

Dalam Mazhab ketiga (Goble, 1987 : 155), dituliskan

pendapat Maslow,

(54)

skeptik. Dengan kata lain, hidupnya sama sekali tidak bermakna.

Goble menuliskan pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang

bertaraf rendah, (makanan, pakaian, dan tempat berlindung), tidak

dengan sendirinya menjamin pertumbuhan. Goble menambahkan

pada definisi tentang orang-orang yang mengaktualisasikan diri,

ialah ;

..bahwa ia tidak hanya, 1) bebas dari penyakit. 2) terpuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, dan 3) menggunakan kapasitas-kapasitasnya secara positif, melainkan juga 4) dimotivasikan oleh nilai-nilai tertentu yang diperjuangkan ataupun dirindukannya serta yang disetiainya (Goble, 1987 : 110).

Nilai juga menjadi dasar dari seorang religius untuk

mengaktualisasikan diri. Panggilan hidup yang dialami dan

dihayati adalah bagian dari bentuk penghayatan nilai-nilai secara

khusus nilai spiritual. Transendensi-diri menjadi usaha yang

diwujudkan dalam penghayatan segala nilai yang diterima dari

Allah (Prasetya, 1993 : 75). Transendensi inilah yang juga yang

membawa pribadi kepada pengalaman puncak atau pengalaman

mistik (peak experience).

Pemikiran pengalaman mistik berakar dari teori William

James, psikolog-filsuf abad ke-19, yang menulis tentang

“pengalaman mistis” – fenomena spiritual yang tidak bisa

dijelaskan, singkat, dan menyinarkan kebenaran (Friedman &

(55)

Pemahaman yang didapatkan melalui pengalaman puncak ini

membantu orang untuk mempertahankan kepribadian yang dewasa.

Orang seperti ini terpenuhi secara spiritual – nyaman dengan

dirinya sendiri dan dengan orang lain, mencintai dan kreatif,

realistis dan produktif (Friedman & Miriam, 2008 : 351).

Frankl mengemukakan bahwa satu momen puncak dari nilai

pengalaman dapat mengisi seluruh kehidupan seseorang dengan

arti (Schultz, 1991 : 156). Beliau memaparkan ada tiga system nilai

yang berhubungan dengan tiga cara member arti kepada kehidupan

: nilai-nilai daya cipta (kreatif), nilai-nilai pengalaman, dan

nilai-nilai sikap. Nilai-nilai daya cipta dan nilai-nilai pengalaman

berbicara tentang pengalaman-pengalaman manusia yang kaya,

penuh, positif, suatu kepenuhan hidup dengan menciptakan atau

mengalami. Sedangkan nilai sikap berperan ketika individu

menghadapi situasi-situasi yang tak mampu diubah atau dihindari

(sakit, kematian, bencana, dan sebagainya). Pemberian arti

terhadap kehidupan mendorong individu mencapai keadaan

transendensi-diri, keadaan yang terakhir utnuk kepribadian yang

sehat (Schultz, 1991 : 157).

g. Keseimbangan Diri Pribadi. Pada intinya, individu yang

mengaktualisasikan diri adalah pribadi yang selalu mengusahakan

keseimbangan di dalam dirinya, baik secara fisik, psikis,

(56)

sosial. Seorang pribadi yang mempunyai keseimbangan mampu

menjaga keselarasan hubungan antara diri pribadi dan sesama atau

pun dengan lingkungan. Keseimbangan ini sangat penting dalam

hidup manusia, karena melalui sesama dan lingkungan, seorang

pribadi dapat mencurahkan rasa cinta dan bakti kepada Tuhan

(Prasetya, 2000 : 141). Individu tersebut mampu mengintegrasikan

keadaan dirinya dengan situasi di luar dirinya.

Maslow menyatakan pula bahwa orang yang teraktualisasi

memiliki kadar konflik yang rendah di dalam dirinya. Ia tidak

berperang melawan dirinya sendiri; pribadinya menyatu (Goble,

1987 : 55).

Riyanto menyatakan (2006 : 64), yang dimaksudkan

integritas atau kesatuan pribadi adalah pribadi sebagai suatu

keseluruhan yang utuh tidak terbagi atau juga bukan pribadi yang

sebagian saja. Pribadi yang senyatanya dan seutuhnya merupakan

kesatuan dari keseluruhan unsur-unsur diri kita (perasaan, pikiran,

kehendak, sejarah masa lampau, pengalaman, keadaan fisik, latar

belakang keluarga, cita-cita, watak dan sifat, kekuatan dan

kelemahan). Diri yang seutuhnya adalah diri yang terintegrasi,

meliputi daya pemikiran kita, perasaan kita, pengalaman kita,

keadaan fisik kita, sifat dan watak kita. Nilai-nilai dan

pengalaman-pengalaman yang bersatu secara harmonis menjadi

(57)

1972 : 30). Prasetyo menyatakan bahwa keberhasilan dalam

integrasi ini akan memperteguh kemampuan pribadi untuk

membatinkan nilai dalam hidup rohaninya (1992 : 98).

Ridick (1987 : 187) menyatakan keseimbangan antara

dorongan-dorongan naluri dan kebutuhan sosial yang

kadang-kadang muncul dalam perasaan-perasaan spontan (entah secara

sadar atau bawah sadar), sikap-sikap konkret dalam hidup

seseorang dan nilai-nilai hidup yang dipeluknya dan yang

diwartakannya menghasilkan kedewasaan pribadi secara

psikologis.

Menurut Riyanto, orang yang memiliki kepribadian yang

dewasa mampu menyeimbangkan atau mengintegrasikan

pemikiran (rasio)nya, perasaan (emosi)nya, dan kehendak (hati)nya

(2006 : 47) .

Perls mempercayai bahwa manusia sebagai organisme mempunyai

satu tujuan yang dibawa sejak lahir : mengaktualisasikan diri sebagaimana

adanya sesuai dengan kodratnya sendiri (Schultz, 1991 : 183). Sebagai

manusia yang mengaktualisasikan diri, hendaknya individu tersebut

menghidupkan semua potensinya yang unik, menjadi diri sendiri dan bukan

menjadi orang lain.

Aktualisasi diri merupakan kemampuan dari seseorang untuk

(58)

facto/nyata dengan keadaan atau di mana ada dorongan atau keinginan.

Peningkatan kualitas diri seseorang untuk menjadi semakin

teraktualisasi diri adalah ketika individu tersebut melakukan

penanggulangan masalah-masalah sehari-hari sesuai dengan kemampuan

dan keadaan yang dimilikinya. Dengan kata lain, aktualisasi diri dibutuhkan

oleh semua orang di dalam kehidupannya sehari-hari.

B. BIMBINGAN

1. Pengertian Bimbingan

Ada banyak definisi bimbingan (guidance) yang dikembangkan oleh

para ahli, namun dapat dirangkum seperti yang dituliskan Prayitno dan

Erman Amti dalam buku Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling (2004 : 99)

Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa: agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Namun, ada pula inti dari berbagai definisi mengenai bimbingan

yang dijabarkan oleh para ahli : bahwa bimbingan adalah proses bantuan

atau pertolongan yang ditujukan kepada individu dalam memahami diri

(bakat, minat, kemampuan) dan lingkungan, agar mampu membuat

keputusan yang tepat sehingga tercapai perkembangannya secara optimal

Gambar

Tabel 1 Rincian Aspek-aspek Aktualisasi Diri dan Item
Tabel 3 Tempat dan Waktu  Pengumpulan Data
Tabel 5 Aspek-aspek dan Perolehan Skor Terendah

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum alat dihubungkan langsung dengan komputer melalui port paralel, terlebih dahulu dilakukan pengujian pada port paralel dengan mengukur tegangan pada pin-pin yang akan

Dengan switching yang terpusat, pelanggan hanya memerlukan satu saluran untuk menghubungkannya dengan sistem penyambungan, sehingga total saluran yang diperlukan sama

Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata nilai gain yang dinormalisasi untuk kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan konseptual interaktif yang menggunakan

Penggunaan OAINS (Obat Anti-infl amasi Nonsteroid) sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan

Desain halaman Materi utama pada pengembangan media interaktif dirancang berisikan logo, identitas pengembang, tombol navigasi Home, tombol navigasi Lanjut, tombol

1915-ben Hágában 1200 küldött jelenlétével megalapítják a Nők Nemzetközi Béke és Szabadság Ligáját (Women’s International League for Peace and Freedom),

(5) RKA-SKPD yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihimpun oleh PPKD dan selanjutnya disampaikan oleh Bupati kepada DPRD untuk

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Blora Nomor 2 Tahun 1999 tentang