i
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Bimbingan dan Konseling
Oleh : Nida Ary Susanti
NIM : 011114040
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Hadiah terbaik untuk sahabat adalah kesetiaan Hadiah terbaik untuk musuh adalah pemaafan Hadiah terbaik untuk pimpinan adalah pelayanan
Hadiah terbaik untuk anak adalah teladan
Hadiah terbaik untuk orang tua adalah ucapan terima kasih dan pengabdian Hadiah terbaik untuk pasangan adalah cinta dan kesetiaan
Hadiah terbaik untuk semua orang adalah kasih sayang Hadiah terbaik untuk Tuhan adalah hidup kita
Maka lakukanlah apa yang bisa Anda lakukan, dengan apa yang Anda miliki, di mana Anda berada, sesuai kekuatan Anda.
(Penulis)
PERSEMBAHAN :
Skripsi ini kupersembahkan kepada
Kedua orang tuaku Ibu Suharni dan Bapak Sumijo
Adikku tercinta Wida Arysta Yudanti dan Risa Amalia Dhyanti Yang selalu di hatiku Shopie Purwandono
vii
KULON PROGO TAHUN PELAJARAN 2008/2009 DAN PENYUSUNAN MODUL BIMBINGAN YANG SESUAI
Nida Ary Susanti Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2009
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survey. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Tahun Pelajaran 2008/2009 dan Implikasinya Pada Pembuatan Modul Bimbingan Yang Sesuai. Sampel penelitian ini adalah siswa laki-laki dan perempuan kelas X.2, X.3 dan X.4 SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Tahun Pelajran 2008/2009 yang berjumlah 102 siswa.
Masalah penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Tahun Pelajaran 2008/2009? (2) Topik-topik modul bimbingan apakah yang sesuai untuk siswa kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Tahun Pelajran 2008/2009? Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal. Dengan jumlah pernyataan 45 item yang disusun oleh penulis. Instrumen penelitian ini disusun berdasarkan masalah penelitian, variabel penelitian, kajian teoritis dan mengenai semua unsur-unsur kemampuan siswa di dalam mengelola konflik interpersonal.
viii
PANJATAN KULON PROGO IN ACADEMIC YEAR 2008/2009 AND APPROPIATE PROPOSAL DESIGN
Nida Ary Susanti Sanata Dharma University
Yogyakarta 2009
This research was describe the descriptive research using survey method. The aim of this research was to interpersonal conflict management competence of 10th grade student of SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo in academic year 2008/2009 and appropriate proposal design. The sample of this research was all of the students both boy and girls in grade X.2, X.3, and X.4 of SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo in academic year 2008/2009, that consisted of 102 students. The problems of this research were : (1) What is the description of interpersonal conflict management competence 10th grade student of SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo in academic year 2008/2009? (2) What is the appropriate topics for proposal design for 10th grade students of SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo in academic year 2008/2009?. The instrument of this research was questionnare about the describe of interpersonal conflict management competence of 10th grade students which consisted 45 statements. The instrument in this research was based on the problems of research, the variable of research, theoretical review, and all about element of the interpersonal conflict management competence.
ix
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di bidang Bimbingan dan Konseling. Penulis menyadari bahwa penyusunan danr penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. M.M Sri Hastuti, M. Si., Ketua program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarya yang telah menyetujui dan memberikan ijin melakukan penelitian ini.
2. Ibu A. Setyandari, S.Pd, Psi, M.A., Dosen Pembimbing yang dengan tulus memberikan tuntunan, petunjuk, bimbingan dan perhatian hingga penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Drs. Puji Purnomo, M.Si., Bapak Drs. Wens Tanlain, M.Pd., Drs. R.H. Dj. Sinurat, M.A., Dra. M.J.Retno Priyani,M.Si, dan segenap dosen, baik dari Program Bimbingan dan Konseling, maupun dosen Universitas Sanata Dharma pada umumnya yang telah membimbing dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama kuliah.
4. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membuat wawasan saya menjadi semakin luas. Terima kasih atas buku-bukunya.
x
7. Shopie Purwandono atas doa, cinta, dukungan, perhatian, saran dan kritiknya. Terima kasih atas hari-hari indahnya, semua menjadi semangat dalam hidupku.
8. Bapak Ibu Sagimin terima kasih atas doa dan dukungannya.
9. Bapak Drs. Subari terima kasih atas dukungan, kerja sama dan kepercayaanya. Bapak Ibu Guru dan karyawan di SD Negeri 3 Pengasih terimakasih atas doa dan dukungannya.
10.Sahabatku Menik atas suka dan dukanya dalam persahabatan yang indah. Semoga kita bisa bertemu lagi meskipun dengan keadaan yang sudah berbeda. Teman-teman Bimbingan dan Konseling yang telah bersedia memberikan saran dan kritik (Kiki, Betti, Uning, Ketty, Okta, Sr. Eva, Yunan, Alel, Bismo, Bayu, Andang, dan Wahyu). Terima kasih atas doa dan dukungannya.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Terima kasih.
Yogyakarta, 03 Juni 2009
xi
HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN BIMBINGAN ………....
i ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ………... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLLIKASI ……… vi
ABSTRAK ……….. vii
ABSTRACT ……… viii
KATA PENGANTAR ………. ix
DAFTAR ISI ………... xii
DAFTAR TABEL ………... xv
DAFTAR GRAFIK ………. xvii
DAFTAR GAMBAR ……….. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ………... xix
BAB I. PENDAHULUAN ………..
A. Latar Belakang Masalah ……….. B. Rumusan Masalah ………... C. Tujuan Penelitian ………... D. Manfaat Penelitian ………...
xii
1. Pengertian Konflik Interpersonal ……….. 2. Sumber Konflik Interpersonal ………... B. Mengelola Konflik Interpersonal ……….... 1. Pengertian Kemampuan Menngelola Konflik ………... 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Remaja di dalam
Mengelola Konflik ……… 3. Jenis Gaya Mengelola Konflik ……….. 4. Paradikma Hasil Pengelolaan Konflik ……….. 5. Ciri Pengelolaan Konflik secara Konstruktif ………... 6. Manfaat Mengelola Konflik secara Konstruktif ……… C. Siswa SMK sebagai Remaja ……… 1. Pengertian Remaja ………. 2. Tugas Perkembangan Remaja ………... D. Modul Bimbingan ………...
1. Pengertian Modul Bimbingan ………... 2. Ciri-ciri Modul ………..
7 10 15 15 20 24 27 28 31 33 33 35 36 36 38 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………...
A. Jenis Penelitian ……… B. Populasi Penelitian ……… C. Instrument Penelitian ………...
xiii
D. Prosedur Pengumpulan Data ………... 1. Tahap persiapan Uji Coba ………. 2. Tahap Pelaksanaan Penenlitia ………... E. Teknik Analisis Data ………...
48 48 48 49 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...
A. Hasil Penelitian ……… B. Pembahasan Hasil Penenllitian ………... C. Hasil Penelitian bagi Penyusunan Modul Bimbingan
...
53 53 56
64 BAB V. USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN DAN MODUL
BIMBINGAN ... 67 BAB VI. RINGKASAN, KESIMPULAN DAN SARAN ………..
A. Ringkasan ………
B. Kesimpulan ………..
C. Saran ………...
106 106 108 108
DAFTAR PUSTAKA ……….. 110
xiv
Halaman
Tabel 1 Daftar Komponen Kuesioner Kemampuan Mengelola
Konflik Interpersonal Siswa ………... 41 Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Uji Coba Kuesioner ... 43 Tabel 3 Kualifikasi Koefisien Korelasi Reabilitas ………... 48 Tabel 4
Tabel 5
Jadwal Pengumpulan Data Penelitian ……….. Norma Pengelompokan Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Tahun Pelajaran 2008/2009 ...
49
50 Tabel 6 Kategori Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik
Interpersonal Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Tahun Pelajaran 2008/2009
………... 51 Tabel 7 Norma Kategori Skor Item Tingkat Kemampuan
Mengelola Konflik Interpersonal Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan IKulon Progo Tahun Pelajara
2008/2009………... 52 Tabel 8 Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal
xv
Negeri 1 Panjatan Kulon progo Tahun Pelajaran
2008/2009 ………... 54 Tabel 10 Item-item Pernyataan Yang tergolong Sedang ... 66 Tabel 11 Topik-topik Bimbingan Untuk Siswa Kelas X SMK Negeri
1 Panjatan Kulon Progo Tahun Pelajaran 2008/2009
xvi
Halaman Grafik 1 Tingkat Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal
xvii
Halaman Gambar 1 Skema Pengelolaan Konflik ... 19 Gambar 2 Persentase Gambaran Tingkat Kemampuan Mengelola
xviii
Halaman Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Tingkat kemampuan Mengelola Konflik
Interpersonal ………. 113
Lampiran 2 Professional Judgment Dalam Pelaksanaan Validitas
Kuesioner ……… 116
Lampiran 3 Data Tabulasi Uji Coba dan Data Tabulasi Penelitian ………. 117 Lampiran 4 Hasil Penghitungan Reliabilitas dan validitas ……… 121 Lampiran 5 Penghitungan Persentase Gambaran Kemampuan Mengelola
Konflik Interpersonal ………... 128
Lampiran 6 Skor Item Kemampuan Mengelola Konflik
Interpersonal ……… 129
Lampiran 7 Surat Keterangan Penelitian ………. 132
1
A. Latar Belakang Masalah.
Masa remaja adalah salah satu bagian dalam rentang kehidupan
manusia, dimana remaja mempunyai tugas-tugas tertentu di dalam setiap
perkembangannya. Memasuki dunia belajar di sekolah, merupakan sebuah
perjalanan yang harus dihadapi oleh seorang remaja sebagai siswa. Walgito
(1991:65) mengatakan bahwa remaja sebagai makhluk sosial di sekolah
mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.
Dengan demikian maka akan terjadi interaksi manusia.
Di dalam melakukan interaksi sosial, remaja akan mempunyai
berbagai tantangan dan perubahan perilaku dalam kepribadiannya. Remaja
hidup bersama dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda dan
kebiasaan yang berbeda. Maka tidak mengherankan akan sering terjadi
konflik. Sejalan dengan perkembangan remaja kearah kedewasaan, berbagai
macam masalah yang menimbulkan konflik, juga akan sering muncul.
Apalagi kalau remaja kurang memiliki keterampilan untuk mengelola
konflik. Perlu diingat bahwa remaja seringkali kurang memiliki persiapan
jiwa yang cukup untuk menghadapi segala macam konflik yang timbul.
Sehingga untuk mengembangkan kepribadiannya remaja menghadapi
konflik. Hal inilah yang dikawatirkan akan mempengaruhi kehidupan di
masa depan.
Menurut Hurlock (1996:78), tugas perkembangan remaja yang
paling sulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Dalam
mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial baik dengan teman-teman
maupun dengan guru, remaja banyak mengalami permasalahan, misalnya :
perasaan rendah diri, ketergantungan pada kawan, iri hati, cemburu,
persaingan, perkelahian bahkan sampai pada permusuhan yang akan
membawa kedalam konflik. Keadaan tidak menentu tersebut menurut
Santrock (1995:42) dipicu karena pada masa remaja sejumlah faktor seperti
perubahan biologis, pubertas, perubahan kognitif yang meliputi idealisme
dan penalaran logis, perubahan sosial, yang berfokus pada kemandirian dan
identitas semakin meningkat.
Program pembelajaran di SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo
sebagian dilakukan dengan memberikan tugas kelompok, Praktik Kerja
Industri (PKL) dan magang (praktik kerja), sebagai salah satu bekal
memberikan siswa keterampilan agar dapat produktif di tengah masyarakat
melalui dunia kerja. Kegiatan pembelajaran tersebut menuntut siswa untuk
bisa menyesuaikan diri dan mampu bekerja sama dengan orang-orang yang
mempunyai karakter berbeda-beda. Para siswa SMK yang masih tergolong
remaja tentunya akan mengalami masalah-masalah sosial di dalam mencapai
masalah-masalah sosial tersebut maka kemungkinan konflik interpersonal
akan terjadi.
Maka dari itu, pemahaman mengenai cara mengelola konflik sangat
penting bagi seorang remaja, karena pola penyelesaian konflik merupakan
faktor penting untuk membantu remaja melakukan penyesuaian pribadi
sosial, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan mereka akan
bekerja. Remaja yang memiliki kemampuan mengelola konflik interpersonal
yang baik akan memberi efek yang baik pada hubungan sosialnya. Apabila
remaja gagal di dalam memecahkan konflik interpersonal, maka akan
membuat hubungan dengan orang lain renggang dan timbul penolakan
sosial. Penolakan sosial akan membuat remaja merasa tidak diakui dan
dihargai, selanjutnya akan menimbulkan rasa rendah diri. Remaja yang
mendapatkan penolakan sosial akan cenderung menarik diri dan membatasi
untuk melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan yang lebih luas.
Peneliti beranggapan bahwa topik ini perlu untuk didalami karena
banyak permasalahan pada remaja yang muncul sebagai akibat adanya suatu
konflik yang tidak terselesaikan. Maka dari itu penelitian ini dilakukan
supaya remaja di dalam menghadapi suatu konflik dapat mengendalikan dan
menggunakan konflik sebagai sesuatu yang berguna untuk memperkaya
hubungan yang ada. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan akan
mempengaruhi pribadi dan menjadikan tekanan dalam hidupnya sehingga
bisa mengganggu perkembangan kompetensi dan kesehatan psiko sosial
Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui kemampuan
mengelola konflik interpersonal para siswa kelas X SMK Negeri 1 Panjatan
Kulon Progo. Alasan peneliti memilih siswa kelas X SMK sebagai subjek
penelitian karena siswa kelas X SMK adalah sebagai remaja awal yang
berusia antara 13 sampai 16 tahun dimana salah satu tugas
perkembangannya adalah melakukan penyesuaian sosial.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah tingkat kemampuan mengelola konflik interpersonal para
siswa kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Yogyakarta Tahun
Pelajaran 2008/2009?
2. Topik-topik modul bimbingan apakah yang sesuai untuk para siswa
kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan
mengelola konflik interpersonal para siswa kelas X SMK Negeri 1 Panjatan
D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Bagi siswa
Siswa mendapatkan informasi tentang kemampuannya di dalam
mengelola konflik, sehingga setelah mengetahui diharapkan dapat
meningkatkannya.
2. Bagi Guru Pembimbing
Memperoleh informasi tentang kemampuan mengelola konflik
interpersonal siswa kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo
Tahun pelajaran 2008/2009. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh
guru pembimbing untuk menyusun rencana pelayanan bimbingan
yang tepat sesuai dengan permasalahan siswa.
3. Bagi Sekolah
Memberikan informasi mengenai kemampuan mengelola konflik para
E. Definisi Operasional
1. Tingkat kemampuan siswa mengelola konflik interpersonal
adalah tinggi rendahnya kemampuan seseorang ketika menghadapi
situasi dalam relasinya dengan orang lain, sebagaimana diukur dalam
kuesioner kemampuan mengelola konflik interpersonal yang disusun
oleh peneliti.
2. Siswa kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Yogyakarta
adalah siswa yang terdaftar secara resmi di kelas X SMK Negeri 1
Panjatan Kulon Progo Yogyakarta Tahun Pelajaran 2008/2009.
3. Modul bimbingan
adalah materi bimbingan yang disusun secara sistematis dan terarah
dan digunakan untuk kegiatan bimbingan klasikal di kelas berdasarkan
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Konflik Interpersonal
1. Pengertian Konflik Interpersonal
Berdasarkan arti katanya, konflik berasal dari kata con-fligere,
conflictum yang berarti semua bentuk benturan, ketidaksesuaian,
pertentangan, interaksi-interaksi yang bertentangan (Kartini Kartono,
1985:340). Konflik merupakan proses di mana terjadi bila terdapat
sekurang-kurangnya dua pihak yang saling menghambat, dapat pula terjadi
bila ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar kedua pihak yang saling
menghambat, dapat pula terjadi bila ada suatu sasaran yang sama-sama
dikejar kedua belah pihak namun hanya salah satu yang mungkin
mencapainya (Kreitner R dan Kinicki A, 2005:266). Johnson (dalam
Supratiknya, 1995:94) kemudian mendefinisikan bahwa konflik adalah
situasi di mana salah satu pihak menghalangi, menghambat, atau
mengganggu pihak lain.
Konflik dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002:392) yang
berarti percekcokan, pertentangan atau perselisihan merupakan faktor yang
membuat tidak harmonisnya hubungan antar manusia. Konflik tidak dapat
dihindari, kita pasti akan mengalami konflik dan konflik akan terus selalu
ada selama kehidupan manusia.
Dari pendapat-pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
konflik adalah pertentangan atau perselisihan antara seseorang, kelompok
atau seseorang dengan kelompok dan terjadi antara pihak yang mempunyai
tujuan sama, di mana salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa
dirugikan.
Konflik merupakan salah satu permasalahan sosial dan terdapat pada
interaksi-interaksi individu, interpersonal dan antar kelompok, sampai antar
bangsa dan konflik internal individu (Kartini Kartono, 1985:312). Sejalan
dengan permasalahan sosial dalam konflik tersebut, Purnama (2000:68)
membedakan konflik menjadi dua tingkatan atau tipe dasar, yaitu :
a. Konflik Pribadi atau Intrapersonal.
Konflik Intrapersonal timbul akibat ketidaksesuaian antara apa yang
diinginkan dengan yang diharapkan.
b. Konflik Antarpribadi atau Interpersonal
Konflik antarpribadi atau interpersonal merupakan konflik yang
terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain (Purnama,
2000:68). Konflik ini merupakan kompetisi antara dua orang atau
lebih dalam mencapi tujuan.
Konflik interpersonal berarti suatu ketidaksetujuan antara
individu-individu yang saling berhubungan, sebagai contoh : teman dekat, pasangan
Masa remaja adalah masa transisi dari anak ke masa dewasa. Masa
transisi ini menurut Furhman (Gusrini, 2005:4) ditandai dengan adanya
perubahan individu baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial.
Perubahan sosial tampak dari kedekatan remaja dengan teman sebayanya
dalam suatu kelompok. Kondisi tersebut sesuai dengan tugas-tugas
perkembangan dalam masa remaja, di antaranya yaitu: menjalin hubungan
baru dengan teman-teman sebaya baik sesama jenis maupun lain jenis
kelamin, menginginkan dan dapat berperilaku yang diperbolehkan
masyarakat. Semakin meluas hubungan sosial yang dilakukan remaja,
semakin banyak pula remaja berhadapan dengan pola-pola hubungan
interpersonal. Adanya perbedaan individu, baik dari perbedaan cara
pandang, cara berperilaku, perbedaan kepentingan dan lain sebagainya
mengakibatkan munculnya konflik interpersonal.
Dalam penelitian ini pengkajian konflik dibatasi pada konflik
interpersonal pada remaja. Artinya permasalahan konflik yang akan
dideskripsikan dan dieksplorasi adalah konflik yang terjadi antara individu
satu dengan yang lain atau antara dua orang lain atau lebih pada remaja.
Pengertian konflik dalam suatu hubungan pada masa remaja yaitu
pertentangan dalam interaksi, sebagai akibat dari harapan-harapan peran
yang terkait dengan transisi tingkat usia dan perubahan kemasakan yang
2. Sumber Konflik Interpersonal
Konflik antar pribadi seringkali disebabkan oleh beberapa hal yaitu
adanya perbedaan individu, dan kondisi atau situasional yang berkembang.
Konflik yang berdasarkan perbedaan individu sering dikaitkan dengan
karakter seseorang, ciri kepribadian, nilai-nilai serta persepsi dan pendapat
yang berbeda antar individu. Sedangkan konflik karena situasi dan kondisi
yang berkembang disebabkan karena adanya keadaan yang serba
tergantung, kebutuhan untuk berinteraksi, adanya perbedaan status,
komunikasi, tanggung jawab, dan adanya peraturan yang ambigu. Apabila
individu terlibat dalam suatu konflik dengan pihak lain, akan ada dua hal
yang dipertimbangkan oleh individu untuk menyelesaikan suatu konflik,
yaitu tujuan dan hubungan baik.
Di mana pun terjadi, semua konflik memiliki kesamaan. Baik di
lingkungan keluarga, kerja maupun di lingkungan sekolah. Begitu juga
halnya dengan manusia dewasa maupun remaja, kehadiran konflik adalah
terdapatnya sumber-sumber tertentu. Pada remaja, suatu konflik seperti
konflik antar teman sebaya dapat terjadi dalam bentuk perilaku nyata
ataupun yang tidak dapat diketahui secara langsung. Setiap hubungan antar
pribadi mengandung unsur-unsur konflik yang disebabkan oleh
pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan. Oleh karena itu wajar
Kartini Kartono (1985:335) mengemukakan beberapa hal yang
sering menjadi sumber konflik, yaitu:
a. Kebutuhan yang berbeda-beda dan hambatan-hambatan yang terjadi
Kebutuhan menurut Henry Murray (Chandra, 1992:21) adalah
daya pendorong atau motivasi dari manusia. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut tidak terlepas satu sama lain, bahkan sering kali beberapa
diantaranya tumpang tindih, terbaur, dan menimbulkan perilaku
tertentu. Mengingat kebutuhan senantiasa berubah dan dapat berpadu
dengan kebutuhan lainnya, kemungkinan konflik antar manusia akan
terjadi.
Bila setiap lingkungan mempunyai sumber pemenuhan
kebutuhan yang terbatas, masalah bagaimana membaginya merupakan
konflik potensial. Konflik dapat timbul karena individu-individu
dalam lingkungan tersebut bersaing untuk memperebutkan bagian
sumber pemenuhan yang terbatas (Anoraga, 1990:42).
Sumber pemenuhan kebutuhan sendiri dapat dilihat berbeda.
Bila menurut persepsi kedua pihak sumber pemenuhan kebutuhan
tersebut terbatas, maka konflik bisa terjadi. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa persepsi pemenuhan itu tidak bisa dilihat sebagai
d. Adanya kemungkinan bahwa masing-masing pihak dapat menghalangi
pihak lain dalam mencapai tujuannya.
Setiap pribadi atau kelompok yang bekerja sama, meskipun
memiliki kebutuhan yang berbeda dan kemungkinan pemenuhan yang
terbatas, belum tentu akan terlibat konflik. Namun, konflik akan
muncul bila salah satu pihak menghambat pihak lain dalam mencapai
tujuannya atau bila dua individu yang memiliki kebutuhan berbeda
tersebut menghasilkan tindakan yang saling mengganggu (Chandra,
1992:20).
Kebutuhan yang berbeda-beda dan yang bersamaan diantara dua
pihak (atau lebih) secara potensial dapat menyebabkan konflik
walaupun hal itu tidak akan selalu terjadi. Kaitan langsung antara
konflik dan kebutuhan sangat tergantung pada bagaimana kebutuhan
tersebut diterjemahkan kedalam keinginan-keinginan dan tindakan
pemenuhannya. Di dalam arti inilah kebutuhan memang sangat
berperan sebagai penyebab konflik, karena kebutuhan akan
menentukan tindakan dan perilaku yang akan dilahirkan seseorang.
Selama kebutuhan-kebutuhan yang terdapat itu bisa dicarikan
pemenuhan yang tidak saling menghambat, maka konflik dapat
b. Perbedaan dalam berbagai tujuan.
Konflik dapat bersumber dari perbedaan pendapat individu
dalam menginterprestasikan suatu data atau informasi. Suatu konflik
dapat terjadi karena perbedaan pendapat dimana masing-masing pihak
merasa dirinya benar dan apabila perbedaan pendapat tersebut sangat
tajam maka akan menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan
sebagainya. Kebutuhan serta ketertarikan individu merupakan sumber
utama dari ketidaksepakatan pendapat diantara masing-masing pribadi
yang akan mengakibatkan timbulnya konflik (Anoraga, 1990:39).
Antara individu satu dengan yang lain terkadang tidak sepakat
dalam prosedur atau cara-cara untuk membuat keputusan. Tindakan
salah satu mungkin dianggap merugikan yang lain, atau
masing-masing pihak merasa dirugikan oleh pihak lain sehingga seseorang
yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang, atau bahkan
membenci. Ketidaksepaktan inilah yang seringkali menimbulkan
konflik (Suwartono, 1999 : 212).
c. Perbedaan nilai dan persepsi
Adanya perbedaan nilai yang dianut masing-masing individu
seringkali menimbulkan konflik. Setiap individu mempunyai
pandangan tentang nilai-nilai hidup yang berbeda-beda. Bagi
seseorang suatu tindakan itu dianggapnya benar, belum tentu hal itu
berlaku benar bagi orang lain (Anoraga, 1990:43). Beda sistem nilai
Akan tetapi, bila setiap individu dapat menyatukan persepsi dan
melihat permasalahan dengan sudut pandang yang sama, dapat
dipastikan kesalahpahaman yang akan menimbulkan konflik tidak
akan terjadi (Chandra, 1992:39).
d. Relasi dan tingkah laku pribadi
Tingkah laku pribadi yang menimbulkan konflik terutama
tampak dari kurangnya kerjasama, karena kurangnya kerjasama
tersebut lahirlah saling kecewa dan rasa saling dirugikan. Hubungan
antar individu dapat menurun kualitasnya jika tidak ada kepercayaan,
tidak ada rasa hormat antara satu dengan yang lain, dan tidak dilandasi
oleh kejujuran. Oleh karena itu, kenyamanan hubungan antar individu
dapat ditentukan oleh adanya konflik (Hardjana, 1994:26).
e. Komunikasi
Konflik sering kali timbul dari apa yang dikatakan dan apa yang
didengar oleh antar individu. Jika komunikasi tidak terjalin dengan
baik, akan dimungkinkan terjadi kesalah pahaman dan inilah yang
menyebabkan terjadinya konflik.
Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda satu sama
lain. Salah paham dalam komunikasi mudah dan sering terjadi
disebabkan seseorang beranggapan bahwa semua orang melihat obyek
atau kejadian dari sudut pandang yang sama. Hambatan lain untuk
membangun komunikasi yang intim dan personal adalah
sebaliknya menyalahkan pernyataan-pernyatan yang disampaikan oleh
pengirim. Kecenderungan ini akan semakin meningkat dalam
situasi-situasi dimana seseorang saling mengungkapkan emosi dan
perasaannya (Sinurat, 1999:99).
Menurut Johnson (dalam Sinurat, 1999:100) salah satu cara
untuk menghindari kecenderungan di atas adalah belajar membiasakan
diri, memberikan tanggapan penuh pemahaman dalam mendengarkan.
Cara ini tidak hanya bermanfaat mengkomunikasikan kesediaan
penerima untuk memahami pengirim, tetapi juga akan sangat
menolong menangkap gagasan dan perasaan yang diungkapkan dari
sudut pandang pengirim. Sehingga salah paham atau salah pengertian
dalam komunikasi bisa terhindari. Konflik yang disebab kan adanya
struktur organisasi karena menonjolkan kepentingan diri sendiri dan
mengutamakan bagian kerjanya sendiri (Kartini Kartono, 1985:333).
Hal ini timbul karena persaingan antar siswa, dalam hubungan
semacam ini pejuangan kekuasaan menang atau kalah tampaknya
penting dan tidak dapat dielakkan (Sinurat, 1999:76).
B. Mengelola Konflik Interpersonal
1. Pengertian Kemampuan Mengelola Konflik.
Kemampuan mengelola konflik adalah cara seseorang menghadapi
suatu situasi konflik (Winardi, 1994:17). Tujuan pengelolaan konflik ada
pengelolaan konflik secara positif ditunjukan untuk memanfaatkan konflik
demi perbaikan orang-orang yang terlibat, tidak menganggu orang-orang
yang terlibat dan merusak hubungan antar mereka. Pengelolaan konflik
secara negatif memungkinkan timbulnya konflik yang merugikan bagi
orang-orang yang terlibat.
Aisah (1996) mejelaskan bahwa perubahan fisik, sosio-psikologis,
usia, intelektual dan latar belakang keluarga, mempengarui pola
penyelesaian konflik pada remaja. Bertambahnya usia serta diikutinya
perubahan fisik, sosio-psikologis berpotensi mempengaruhi pola
penyelesaian konflik pada remaja. Pematangan fisik ini biasanya dimulai
dengan perubahan jasmani yang menyangkut segi-segi seksuil, sedangkan
perubahan psikologis membawa remaja beralih dari hidup yang penuh
ketergantungan pada orang lain menuju kepada kehidupan yang lebih
mandiri. Perubahan-perubahan tersebut membuat masalah tekanan perasaan
dan kegoncangan jiwa, sehingga remaja seringkali kurang memiliki
persiapan jiwa yang cukup untuk menghadapi segala macam konflik yang
timbul (Daradjat, 1974:36).
Apabila seorang remaja hidup dalam lingkungan keluarga yang
mengerti persoalan yang dilaluinya, memperlakukannya berdasarkan
pengertiannya dan penghargaan, serta memberi kesempatan yang cukup
baginya untuk menyatakan diri, maka akan berkuranglah problema kejiwaan
yang dialaminya. Dengan mendapatkan lingkungan keluarga yang mengerti,
mengelola konflik yang baik sehingga dapat memikul tanggung jawab
sesuai dengan tugas perkembangannya. Akan tetapi apabila remaja hidup
dalam lingkungan keluarga yang tidak mengerti, maka problema remaja
akan berkembang dan bertumpuk sehingga sulit terpecahkan (Daradjat,
1974:36).
Pola penyelesaian konflik merupakan faktor yang sangat penting
untuk membantu remaja melakukan penyesuain pribadi dan sosial. Brendt
dan Land (1989:30) menjelaskan bahwa dalam menghadapi konflik, remaja
menggunakan cara yang berbeda-beda untuk menyelesaikan konflik. Ada
pola yang digunakan remaja untuk menyelesaikan konflik, yaitu pola
penyelesaian konflik yang bersifat destruktif dan pola penyelesaian yang
bersifat konstruktif.
Pola penyelesaian yang bersifat destruktif adalah apabila di dalam
menghadapi situasi konflik cenderung menyalahkan orang lain dan
lingkungan sekitarnya sebagai penyebab terjadinya situasi konflik. Tindakan
yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik cenderung bersifat agresif atau
sebaliknya di dalam mengadapi konflik sangat tidak agresif dan cenderung
menghindar (Chandra, 1992:53).
Di dalam pola penyelesaian konflik secara destruktif pihak-pihak
yang terlibat akan merasa dirugikan. Hal itu bisa terjadi karena pihak luar
melihat pihak yang merasa kalah itu sudah unggul. Jadi faktor persepsi dan
perasaan memegang peranan penting. Pola penyelesaian yang bersifat
membatasi pilihan pihak lain, untuk mencari keuntungan sepihak
(Chandra,1992:54). Salah satu bentuk pola penyelesaian destruktif ialah
suatu konflik yang tidak terselesaikan. Hal ini bisa terjadi karena salah satu
pihak menarik diri. Ini dilakukan dengan pengetahuan bahwa akan dirugikan
dengan keputusan itu.
Pola penyelesaian yang bersifat konstruktif adalah apabila ketika
menyelesaikan konflik dilakukan negosiasi dengan pihak yang menurutnya
menjadi penghambat atau penyebab konflik. Menurut Chandra, (1992:23)
negosiasi dilakukan agar tercapainya tujuan-tujuan pribadi namun tidak
mengganggu hubungan dengan pihak lain. Brendt dan land, (1989:48)
menjelaskan bahwa pada pola penyelesian konflik yang bersifat konstruktif
remaja menggunakan logika untuk menyelesaikan konflik. Cara berfikir
seperti ini mengindikasikan remaja berada pada taraf operasional formal.
Apabila remaja berada pada suatu masalah, tindakan kongkrit yang diambil
untuk menghadapi dan menyelesaikan adalah dengan masuk langsung
kepada pokok permasalahan. Remaja memikirkan dan menganalisa masalah
yang sedang dihadapi dengan penyelesaian-penyelesaian yang ia ambil, atas
dasar analisa inilah, remaja mengambil suatu penyelesaian terhadap
masalah.
Pola penyelesaian yang bersifat konstruktif memungkinkan remaja
untuk mengekspresikan konfik yang terbuka dan memungkinkan pergeseran
keseimbangan kekuasaan. Konflik akan memberi transisi untuk suatu
merasa diperkaya di dalam hubungan interaksi sosial. Remaja akan lebih
bersedia bekerja sama dan bersedia untuk mengatasi konflik dengan lebih
terbuka di masa depan.
Banyak orang memandang konflik sebagai faktor yang merusak
hubungan. Namun kini tidak sedikit orang mulai sadar bahwa rusaknya
hubungan sesungguhnya lebih disebabkan oleh kegagalan mengelola konflik
secara konstruktif (Supratiknya, 1997:94). Suatu konflik dikelola secara
konstruktif bila sesudah mengalami hubungan orang-orang yang terlibat
konflik menjadi lebih erat, dalam arti lebih mudah berinteraksi dan bekerja
sama, lebih saling menyukai dan saling mempercayai, kedua belah pihak
sama-sama merasa puas dengan akibat yang timbul setelah berlangsungnya
konflik dan makin terampil mengatasi secara konstruktif konflik-konflik
baru (Sinurat, 1999:162).
SKEMA
PENGELOLAAN KONFLIK
Tindakan menghindar Destruktif
Kompetisi Pengelolaan
Konflik
Akomodasi Konstruktif Kompromis
Kolaborasi atau Kerjasama
Hasil Konflik “win-win”
Gambar 1 skema pengelolaan konflik di atas menjelaskan bahwa
pola penyelesaian konflik menurut Johnson (Sinurat, 1999:113) dapat
dibedakan menjadi pola penyelesaian yang bersifat destruktif dan pola
penyelesaian yang bersifat konstruktif. Dua macam gaya mengelola
konflik yang termasuk secara destruktif adalah tindakan menghindar dan
kompetisi. Tiga macam gaya mengelola konflik yang konstruktif yaitu
akomodasi, kompromis, dan kolaborasi dan kerjasama. Gaya kolaborasi
atau kerjasama dipandang sebagai strategi yang paling efektif di dalam
mengelola konflik karena bisa mencapai kepuasan maksimal dari setiap
pihak yang berkepentingan sehingga menghasilkan kondisi
menang-menang.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Remaja di
dalam Mengelola Konflik
Dinamika perkembangan pada remaja seringkali dihadapkan pada
suatu konflik. Strategi penyesuaian diri terhadap konflik biasanya melalui
suatu mekanisme pertahanan diri seperti kompensasi, rasionalisasi,
proyeksi, sublimasi, identifikasi, regresi dan fiksasi. Sesuai dengan
kekhasan perkembangan fase remaja maka penyesuaian diri dikalangan
remaja pun memiliki karakteristik yang khas pula. Karakteristik
penyesuaian diri remaja menurut Ali Mohammad (2005:177) salah satunya
adalah mampu mengelola konflik secara wajar, sehat dan professional,
dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh
Cara-cara yang ditempuh ada yang cenderung negatif atau kurang
sehat. Menurut Ali Mohammad (2005:181) kemampuan mengelola konflik
pada remaja dipengaruhi :
1. Kondisi fisik
Seringkali kondisi fisik berpengaruh kuat terhadap kemampuan
megelola konflik. Menurut Rahmat (1980;67) ada kondisi yang
mempengaruhi faktor personal untuk menyelesaikan konflik, yaitu kondisi
biologis dan sosiopsikologis. Kondisi biologis merupakan kondisi
fisiologis yang mempengaruhi individu untuk menyelesaikan konflik.
Kondisi fisiologis tersebut dapat berupa kondisi fisik yang terlalu lelah,
terlalu lapar, dan kurang tidur. Dengan kondisi fisik yang seperti ini
individu akan mengalami penurunan kemampuan berfikir, sehingga
mempengaruhi individu untuk menyelesaikan konfliknya. Sedangkan
kondisi fisik yang sehat akan sangat mempengaruhi serta mendukung
individu dalam menyelesaikan konflik dengan baik.
2. Latar belakang remaja
Kemampuan untuk mengelola suatu konflik merupakan suatu hasil
dari proses belajar, dimana proses belajar remaja dimulai dari keluarga,
sebab keluarga adalah lingkungan sosial pertama yang dilihat oleh remaja.
Menurut Sillivan (Athur dan Jersild, 1954:99) bahwa pengalaman awal
remaja dengan orang-orang disekitarnya, berpengaruh terhadap
perkembangan diri remaja. Jika seorang remaja diterima, dihargai, diakui
dirinya sendiri dan merangsang remaja untuk menerima diri sendiri, serta
menerima dan menghargai orang lain di sekitarnya. Suatu tanda bahwa
remaja menerima diri sendiri adalah kebebasan remaja untuk mencoba
segala sesuatu.
Apabila bentuk penghargaan terhadap remaja tersebut merupakan
respon yang merendahkan diri remaja, menyalahkan perbuatan remaja dan
menganggap segala sesuatu yang dilakukan oleh remaja tidak benar
(seperti halnya remaja yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya tidak
mempunyai perhatian sebagai seorang yang memiliki hak). Sikap orang
tua yang seperti ini akan berdampak negatif pada perkembangan sosial
remaja. Remaja akan cenderung ingin menang sendiri dalam
menyelesaikan masalah-masalah sosialnya salah satunya seperti konflik.
3. Kondisi lingkungan
Menurut hasil observasi Haditomo (Monks, 1989:78) masalah
fasilitas belajar dalam arti luas di sekolah-sekolah, terutama di
pelosok-pelosok mempengaruhi kemampuan remaja di dalam mengelola konflik.
Faktor kedua adalah kurangnya stimulasi mental oleh orang tua di rumah.
Hal ini terutama berlaku untuk orang tua yang tidak berpendidikan,
sehingga orang tua tidak mengerti sendiri bagaimana membentuk
anak-anak mereka supaya lebih berhasil. Faktor ketiga adalah keadaan gizi yang
kurang baik, sehingga secara fisik remaja kurang mampu untuk
4. Situasi konflik yang dihadapi
Menurut Rahmat (1986:89) yang mempengaruhi remaja
menyelesaikan suatu konflik yaitu faktor situasional. Faktor situasional
merupakan keadaan konflik yang dihadapi oleh individu, misalnya
kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadi konflik, sejauh mana tingkat
kesulitan terhadap konflik yang dihadapi dan yang seberapa penting tujuan
yang harus dipertahankan dan dicapai oleh individu terhadap konflik yang
sedang terjadi.
5. Agama serta budaya
Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan
sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberi makna
sangat mendalam pada tujuan, serta kestabilan dan keseimbangan hidup
remaja. Agama secara konsisten dan terus-menerus mengingatkan manusia
tentang nilai-nilai intrinsik dan kemuliaan manusia yang diciptakan oleh
Tuhan, bukan sekedar nilai-nilai instrumental yang dihasilkan oleh
manusia. Dengan demikian faktor agama memiliki sumbangan yang
berarti terhadap perkembangan remaja di dalam mengelola konflik. Agama
bisa menjadi petunjuk hidup dan untuk mengendalikan emosi apabila
terlibat suatu masalah. Remaja yang benar-benar mendalami ajaran
3. Jenis Gaya Mengelola Konflik
Cara seseorang bertingkah laku dalam suatu konflik, akan ditentukan
berdasarkan dua pertimbangan,yaitu oleh seberapa penting tujuan-tujuan
pribadi dan hubungan baik dengan pihak lain (Supratiknya, 1995:99).
Berdasarkan dua pertimbangan di atas, Johnson (Sinurat, 1999:165)
mengemukakan lima gaya dalam mengelola konflik interpersonal, yaitu:
a. Tindakan menghindar, yaitu perilaku tidak koopertif dan tidak asertif.
Seseorang yang memilih perilaku ini cenderung menghindar dari
pokok-pokok soal maupun orang-orang yang dapat menimbulkan
konflik. Mereka percaya bahwa setiap usaha memecahkan konflik
hanya akan sia-sia. Lebih mudah menarik diri secara fisik maupun
psikologis dari konflik daripada menghadapinya. Situasi yang cocok:
bila seseorang tidak memperoleh kesempatan untuk memuaskan
keinginanya, untuk membiarkan orang-orang menjadi tenang terlebih
dahulu dan memperoleh kembali perspektif, dan apabila orang lain
dapat menyelesaikan konflik dengan lebih efektif.
b. Akomodasi, yaitu perilaku yang kooperatif, tetapi tidak asertif. Dalam
gaya ini, hubungan sangat diutamakan sehingga kurang
mementingkan tujuan-tujuan pribadi. Bagi yang memilih gaya ini
konflik harus dipecahkan dengan cara satu pihak menang dan pihak
lainnya kalah. Situasi yang cocok: bila masalah penting bagi orang
lain daripada untuk kita, memuaskan orang lain dan memelihara kerja
c. Kompetisi, yaitu perilaku yang tidak kooperatif, tetapi asertif.
Seseorang yang memilih perilaku ini berkeyakinan bahwa konflik
harus dihindari, demi kerukunan. Setiap konflik tidak mungkin
dipecahkan tanpa merusak hubungan. Konflik harus didamaikan,
bukan dipecahkan agar hubungan tidak menjadi rusak. Gaya ini
menghasilkan kondisi kalah menang, dimana memaksa segala sesuatu
agar sesuai dengan kesimpulan tertentu. Situasi yang cocok: bila
kecepatan dan tindakan pengambilan keputusan adalah vital, misalnya
keadaan darurat, melawan orang-orang yang mengambil keuntungan
dari orang yang mengalah.
d. Kompromis, yaitu berperilaku kooperatif dan asertif karena seseorang
yang memilih gaya ini beranggapan bahwa tercapainya tujuan-tujuan
pribadi maupun hubungan baik dengan pihak lain sama-sama cukup
penting. Sehingga mau mengorbankan sedikit tujuan-tujuan dan
hubunganya dengan pihak lain demi tercapainya kepentingan dan
kebaikan bersama. Situasi yang cocok: bila sasaran itu penting tetapi
tidak perlu usaha yang besar atau ada potensi gangguan untuk menang
sendiri yang lebih besar, untuk dapat mencapai suatu keputusan yang
berguna dalam waktu yang terbatas.
e. Kolaborasi atau kerjasama, yaitu berperilaku koopertif dan asertif
karena berupaya untuk mencapai kepuasan maksimal dari setiap pihak
yang berkepentingan dengan melalui perbedaan-perbadaan yang ada,
memilih gaya ini, baginya konflik merupakan masalah yang harus
dicari pemecahanya dan pemecahan itu harus sejalan dengan
tujuan-tujuan pribadinya maupun tujuan-tujuan-tujuan-tujuan lawannya. Baginya konflik
bermanfaat meningkatkan hubungan dengan cara mengurangi
ketegangan yang terjadi diantara dua pihak yang berhubungan. Situasi
yang cocok: mencari keputusan yang terintergrasi bila kedua belah
pihak yang terlibat sangat penting untuk dikompromikan dan jika
sasaranya adalah belajar.
Dari kelima macam gaya mengelola konflik di atas, menurut
Johnson (Sinurat, 1999:165) dibedakan lagi menjadi destruktif dan
konstruktif. Yang termasuk gaya mengelola konflik secara destruktif adalah
tindakan menghindar, kompetisi, sedangkan yang termasuk gaya mengelola
konflik secara konstruktif adalah akomodasi, kompromis, dan
kolaborasi/kerjasama.
Sejalan dengan pendapat di atas, Johnson (Sinurat, 1999:113)
mengatakan bahwa pendekatan yang dipandang paling berhasil untuk
mengelola konflik secara konstruktif adalah pendekatan dengan gaya
kerjasama/kolaborasi. Gaya kerjasama ini dipandang sebagai strategi yang
paling efektif di dalam mengelola konflik karena tujuan-tujuan pribadi
orang yang terlibat konflik tercapai dan hubungan baik dengan orang lain
4. Paradikma Hasil Pengelolan Konflik
Gaya-gaya pengelolaan konflik akan menimbulkan paradikma yang
berbeda-beda. Paradikma pengelolaan konflik menurut Covey (2005: 40)
antara lain :
a. Konflik “lose-lose” (kalah-kalah)
Konflik “kalah-kalah” terjadi apabila tidak seorang pun
diantara pihak yang terlibat konflik mencapai keinginan yang
sebenarnya, dan alasan-alasan mengapa terjadi konflik tidak
mengalami perubahan. Sekalipun sebuah konflik kalah-menang
seakan-akan terselesaikan atau memberi kesan lenyap untuk sementara
waktu, konflik itu mempunyai tendensi untuk muncul kembali pada
masa mendatang. Hasil kalah-kalah biasanya terjadi, apabila konflik
dikelola dengan sikap menghindari, akomodasi, dan kompromi.
b. Konflik “win-lose” (menang-kalah)
Pada konflik “menang-kalah”, salah satu pihak mencapai apa
yang diinginkan dengan mengorbankan keinginan pihak lain. Hal
tersebut mungkin disebabkan adannya persaingan, dimana orang
mencapai kemenangan melalui kekuatan, keterampilan yang superior
atau karena unsur dominasi. Mengingat bahwa strategi-strategi
“menang-kalah” juga tidak memecahkan penyebab pokok terjadinya
konflik, maka kiranya pada masa mendatang konflik-konflik muncul
c. Konflik “win-win” (menang-menang)
Cara berfikir seperti ini atau berfikir menang-menang adalah
kerangka pikiran dan hati yang berusaha mencari manfaat bersama
dan saling menghormati di dalam segala jenis interaksi. Berfikir
menang-menang adalah berfikir dengan dasar-dasar Mentalitas
Berkelimpahan yang melihat banyak peluang dan bukan berfikir
dengan Mentalitas Berkekurangan dan persaingan yang saling
mematikan. Kebiasaan ini adalah berfikir secara egois (menang-kalah)
atau seperti martir (kalah-menang). Kebiasaan ini adalah berfikir
dengan mengacu pada kepentingan “kita” bukan “aku” (Covey,
2005:224).
5. Ciri Pengelolaan Konflik Secara Konstruktif
Gaya kolaborasi dipandang sebagai pendekatan yang paling berhasil
untuk mengatasi konflik karena bersifat konstruktif, yaitu mengoptimalkan
hasil bersama dari kedua belah pihak yang sedang berkonflik (Winardi,
1994:22). Filley (Winardi, 1992:166) mengidentifikasikan ciri-ciri orang
yang mengelola konflik secara kolaborasi, yaitu :
a. Memandang konflik sebagai sesuatu yang wajar.
Seseorang yang memandang konflik sebagai sesuatu yang wajar
adalah tidak takut menghadapi konflik dimanapun berada dan
memandang konflik sebagai sesuatu kenyataan yang tidak dapat
dihindari karena adanya perbedaan antar manusia. Konflik menjadi
b. Memandang konflik dapat menghasilkan suatu pemecahan yang lebih
kreatif apabila ditangani secara tepat. Seseorang yang mempunyai
pandangan seperti di atas selalu menghargai setiap perbedaan yang
ada, karena dengan perbedan pendapat akan memunculkan ide kreatif
untuk menyelesaikan suatu masalah. Konflik dapat menjadikan
seseorang sadar bahwa ada persolalan yang perlu dipecahkan dalam
hubungan dengan orang lain. Konflik yang dikelola secara efektif
akan menghasilkan pemecahan yang kreatif.
c. Memberikan kepercayaan kepada pihak lain (rekan konflik).
Memandang bahwa orang lain mempunyai hak yang sama dalam
menyelesaikan konflik. Seseorang yang memberikan kepercayaan
terhadap oranng lain akan mendengarkan permasalahan yang muncul
secara langsung dari rekan yang berkonflik daripada mendengarkan
pihak lain. Jadi keputusan atas pemecahan konflik bukan hanya di
tangan salah satu pihak, tetapi juga di tangan rekan yang berkonflik.
d. Mengakui adanya persoalan perasaan dalam hal mencapai
keputusan-keputusan. Dalam menghadapi konflik dan mengambil keputusan
mengikutsertakan suatu perasaan dan mengakui adanya perasaan
tetentu. Dengan mengakui perasaan masing-masing dalam mengambil
keputusan, masalah yang kecil tidak akan menjadi besar. Sehingga di
e. Memperhatikan sikap dan posisi pihak lain (lawan konflik).
Untuk dapat menciptakan suasana saling pengertian maka kedua belah
pihak perlu sikap dan posisi masing-masing. Memahami sikap dan
posisi rekan yang berkonflik akan menghindarkan dari tindakan
menyalahkan.
f. Menyadari jika konflik diselesaikan hingga memuaskan ke dua pihak
yang berkonflik, maka komitmen terhadap pemecahan akan
dibangkitkan. Dengan berdiam diri tidak akan menyelesaikan suatu
konflik, karena untuk mencapai saling pengertian yang baik perlu
pernyataan dan persetujuan dari kedua belah pihak. Pemecahan
konflik oleh dua pihak justru dapat memperkuat ikatan dari kedua
belah pihak yang berkonflik setelah konflik selesai, sebab menghadapi
konflik secara langsung dan terbuka akan menemukan pemecahan
yang terbaik.
g. Beranggapan bahwa setiap orang yang terlibat konflik memiliki
peranan sama dalam hal memecahkan konflik. Dalam menghadapi
konflik, kedua belah pihak yang berkonflik masing-masing
mempunyai peranan yang sama. Pemecahan terhadap konflik adalah
urusan dua pihak yang berkonflik, bukan hanya salah satu pihak saja.
Kesepakatan dari kedua belah pihak yang berkonflik atas suatu
h. Tidak mengorbankan seseorang demi kebaikan suatu kelompok.
Suatu lingkungan bisa dikatakan baik jika tidak mengorbankan
seseorang demi kebaikan kelompok. Suasana saling merugikan dan
menjatuhkan antar individu perlu dicegah dan diatasi demi kemajuan
bersama, karena mengorbakan seseorang dalam rangka menyelesaikan
konflik demi kebaikan bersama bukanlah pemecahan yang terbaik.
6. Manfaat Mengelola Konflik Secara Konstruktif
Manfaat dari pengelolaan konflik secara konstruktif menurut
Johnson (Sinurat, 1999:160-162) adalah :
a. Konflik dapat menjadikan seseorang sadar bahwa ada persoalan yang
perlu dipecahkan dalam hubungan kita dengan orang lain.
b. Konflik dapat menyadarkan dan mendorong seseorang untuk
melakukan perubahan-perubahan dalam dirinya.
c. Konflik dapat menumbuhkan dorongan dalam diri seseorang untuk
memecahkan persoalan yang tidak disadari atau dibiarkan tidak
muncul di permukaan.
d. Konflik dapat menjadikan kehidupan lebih menarik. Pebedaan dengan
pihak lain tentang suatu pokok persoalan dapat menimbulkan
perdebatan yang memaksa seseorang lebih mendalami dan memahami
pokok persoalan dan menjadikan hubungan itu tidak membosankan.
e. Perbedaan pendapat dapat membimbing kearah tercapainya
f. Konflik dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan kecil yang
sering terjadi dalam hubungan seseorang.
g. Konflik juga dapat menjadikan seseorang sadar tentang siapa atau
macam apa dirinya. Lewat pertengkaran dengan orang lain seseorang
bisa menjadi lebih sadar tentang apa yang dirinya tidak sukai, apa
yang membuat dirinya tersinggung, apa yang sangat dihargai, dan
sebagainya.
h. Konflik juga dapat menjadi sumber hiburan. Seseorang sengaja
mencari sejenis konflik dalam berbagai bentuk permainan dan
perlombaan.
i. Konflik dapat mempererat dan memperkaya hubungan. Hubungan
yang tetap bertahan kendati diwarnai dengan banyak konflik, justru
dapat membuat kedua belah pihak sadar bahwa hubungan mereka itu
kiranya sangat berharga.
Dari uraian pengelolaan konflik di atas dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan konflik adalah cara penanganan seseorang terhadap konflik.
Konflik yang menghasilkan situasi puas di antara kedua belah pihak adalah
pengelolaan konflik secara konstruktif. Dari kelima gaya pengelolaan
konflik gaya mengoptimalkan kepuasan kedua bela pihak yang mengalami
konflik atau yang disebut pengelola konflik secara konstruktif adalah
C. Siswa SMK sebagai remaja.
1. Pengertian Remaja.
Menurut Hurlock (1997:207) masa remaja dibagi menjadi dua
bagian yaitu masa remaja yang dimulai pada usia 13-16 tahun dan masa
remaja akhir dimulai pada usia 17-18 tahun. Sejalan dengan pembagian
tahap-tahap tersebut masa SMK tingkat awal termasuk remaja awal yang
berumur 13-16 tahun.
Masa remaja adalah masa dimana individu berinteraksi dengan
masyarakat dewasa dan mau menyamakan dirinya dengan orang yang sudah
dewasa. Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan orang tua
dengan maksud untuk menemukan dirinya (Hurlock,1997:206).
Masa remaja merupakan masa yang sangat penting karena individu
harus mempersiapkan dirinya menjadi individu yang dewasa, yang tidak
lagi sepenuhnya tergantung dengan orang tua dan bertanggung jawab
sebagai anggota keluarga (Gunarso, 1990:43). Gunarso (1986:204)
mengatakan bila remaja dalam masa peraliahan dan diamati secara seksama,
maka akan diperoleh ciri khas pada perkembangan moral, perkembangan
sosial, perkembangan emosi, perkembangan kepribadian dan perkembangan
intelektualnya.
Pada perkembangan moral, remaja diharapkan dapat mengganti
konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan
prinsip moral yang berlaku umum. Remaja dituntut bisa merumuskan
remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi
tanggung jawab orang tua dan guru (Hurlock, 1996:213). Bila moral yang
menjadi prinsip remaja lebih baik daripada moral keluarga, maka hal ini
tidak memberikan masalah apapun, asalkan remaja betul-betul meyakini
moral yang dianutnya. Plato berpandangan bahwa pengaruh lingkungan
sangat diperlukan untuk membentuk kepribadian seseorang (Sarwono,
1994:83).
Usaha remaja untuk menemukan dirinya salah satunya dipengaruhi
oleh lingkungan. Pada perkembangan sosial, remaja mulai menyesuaikan
diri dengan lawan jenis dan mulai menyesuaikan diri dengan orang dewasa
di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Remaja lebih banyak bergaul
dengan teman sebaya, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman
sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih
besar daripada keluarga (Hurlock, 1996:123).
Pengalaman menunjukan bahwa remaja yang telah mendapatkan
status sosial yang jelas dalam usia dini, tidak menampakan gejolak emosi
yang terlalu menonjol seperti remaja yang harus menjalani masa transisi
yang cukup panjang. Masalahnya adalah jika seorang remaja tidak berhasil
mengatasi situasi-situasi kritis dalam rangka konflik peran itu karena remaja
terlalu mengikuti gejolak emosinya, maka besar kemungkinan remaja akan
terperangkap masuk ke jalan yang salah (Sarwono, 1994:84).
Setiap manusia memiliki emosi atau perasaan dalam hidupnya,
perkembangan emosi pada masa remaja dianggap sebagai periode “tekanan
dan badai” yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan kelenjar hormon, dengan bekal kebebasan
emosional yang berlandaskan kemampuan membedakan antara yang baik
dan yang tidak baik, maka remaja dapat bergaul dan menjalankan tugas
perkembangan selanjutnya.
Remaja mulai menyadari sifat-sifat yang baik dan buruk dalam
dirinya dan remaja menilai sifat-sifat itu sesuai dengan sifat-sifat teman
mereka. Para remaja akan berusaha memperbaiki sifat-sifat mereka dengan
harapan untuk meningkatkan dukungan sosial. Banyak remaja menggunakan
standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian yang
ideal untuk menilai kepribadian mereka sendiri. Hal ini mengandung arti
bahwa remaja telah dapat menilai benar salahnya pendapat orang tua atau
orang dewasa lainnya. Remaja mulai berani membantah dan mengkritik
pendapat oranng tua, guru dan orang dewasa lainnya. Remaja juga selalu
ingin tahu terhadap segala sesuatu, rasa ingin tahu inilah yang mendorong
remaja pada timbulnya persoalan dan cara pemecahannya.
2. Tugas Perkembangan Remaja.
Setiap rentang kehidupan manusia mempunyai tugas-tugas
perkembangan sendiri. Begitu juga dengan remaja yang memiliki tugas
perkembangan mereka sendiri yang harus dijalankan untuk melanjutkan
Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1997:10)
adalah sebagai berikut :
a. Mencapai hubungan baru dengan hal yang lebih matang dengan teman
sebaya, baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial sebagai pria maupun wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya.
f. Mempersiapkan karier.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku dalam hidupnya.
Dari berbagai tugas perkembangan pada masa remaja yang
dijabarkan oleh Hurlock, tugas yang berkaitan dengan topik ini adalah
mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik
pria maupun wanita demi mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
D. Modul Bimbingan
1. Pengertian Modul Bimbingan
Pengertian modul menurut Mulyasa (2002:8) adalah paket belajar
dan dirancang secara sistematis untuk membantu peserta didik mencapai
tujuan belajar dan disertai dengan pedoman penggunaanya untuk para guru.
Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003:5) modul merupakan program
belajar mengajar terkecil yang secara terperinci menggariskan antara tujuan
intruksional yang akan dicapai, topik yang akan dijadikan pangkal proses
belajar mengajar, pokok-pokok materi yang ingin dipelajari, peranan guru,
alat-alat dan sumber yang akan dipergunakan, kegiatan-kegiatan belajar
yang harus dilakukan dan dihayati siswa secara berurutan, lembaran kerja
yang harus diisi oleh siswa dan program evaluasi yang yang akan
dilaksanakan.
Jadi modul adalah paket belajar mandiri yang disusun secara
sistematis, operasional, dan terarah yangn mencakup tujuan instruktusional
yang akan dicapai, topik yang akan dijadikan pangkal proses belajar
mengajar, pokok-pokok materi yang ingin dipelajari, peranan guru, alat-alat
dan sumber yang dipergunakan, kegiatan-kegiatan belajar yang akan
dipergunakan, kegiatan-kegiatan belajar yang harus dilakukan dan dihayati
siswa secara berurutan, lembaran kerja yang harus diisi oleh anak dan
program evaluasi. Pembahasan pada penelitian ini, modul untuk bimbingan.
Modul bimbingan adalah materi bimbingan yang disusun secara sistematis,
2. Ciri-Ciri Modul
Vembriarto (1981:14), mengungkapkan ciri-ciri modul secara
lengkap adalah sebagai berikut :
a. Modul merupakan paket pengajaran yang bersifat self-intructional,
yaitu pengajaran yang menggunakan paket pelajaran yang memuat
satu konsep atau unit dari pada bahan pelajaran. Pendekatan
pengalaman belajar siswa yang terlibat secara aktif dalam proses
belajar itu.
b. Pengakuan-pengakuan atas perbedaan individu, yaitu
perbedaan-perbedaan perorangan yang mempunyai pengaruh penting terhadap
proses belajar yaitu perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, latar
belakang akademik, dan perbedaan dalam gaya belajar.
c. Memuat rumusan tujuan pengajaran secara eksplisit, yaitu dengan
adanya modul diharapkan dapat memberikan arah kepada siswa
tentang tujuan belajar apa yang harus dikuasainya.
d. Adanya asosiasi, struktur, dan urutan pengetahuan, yaitu proses
asosiasi terjadi karena dengan modul siswa dapat mellihat bendanya
(tiruannya), mendengar suara guru dan membaca teks dan melihat
diagram-diagram dari buku modulnya. Materi pelajaran pada modul
dapat disusun mengikuti struktur pengetahuan secara teratur. Apabila
urutan itu kurang sesuai bagi siswa tertentu, mereka dapat
merubahnya sesuai kebutuhan, karena pengajaran dengan modul
e. Penggunaan berbagai macam media (multimedia), yaitu penggunaan
media yang dapat diklasifikasikan : bahan cetak berupa buku
pegangan siswa dan buku pegangan yang disediakan oleh pihak
sekolah, bahan visual, benda tiruan atau yang sebenarnya dan interaksi
langsung antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa.
f. Partisipasi aktif dari para siswa, yaitu penyelidikan membuktikan,
bahwa teknik ceramah hanya mampu mengikat perhatian sekitar 10%
dari pada jumlah siswa dalam kelas. Sebaliknya dalam pengajaran
modul, siswa secara aktif berpartisipasi dalam proses belajar.
g. Adanya reinforcement langsung terhadap respon siswa, yaitu siswa
secara langsung mendapatkan konfirmasi atas jawaban-jawaban atau
kegiatan-kegiatan yang benar, dan mendapatkan koreksi langsung atas
kesalahan jawaban atau kegiatan yang dilakukan.
h. Adanya evaluasi terhadap penguasaan siswa atas hasil belajarnya,
yaitu modul yang digunakan untuk mengevaluasi penguasan hasil
belajar siswa sebelum siswa melanjutkan modul berikutnya dalam
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian.
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survey.
Penelitian dekriptif merupakan penelitian yang dirancang untuk
memperoleh informasi tentang gejala pada watu penelitian dilakukan
(Furchan, 1982:415). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang kemampuan mengelola konflik interpersonal pada siswa kelas X
SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Yogyakarta.
B. Populasi Penelitian.
Populasi penelitian ini adalah populasi dari siswa kelas X SMK
Negeri 1 Panjatan Kulon Progo Yogyakarta Tahun Pelajaran 2008/2009.
Populasi adalah semua anggota kelompok orang, kejadian atau objek yang
telah dirumuskan secara jelas (Furchan, 1982:189). Jumlah anggota populasi
penelitian yaitu sebanyak 102 siswa.
C. Instrumen Penelitian.
1. Alat Ukur
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data siswa berupa
kuesioner kemampuan mengelola konflik interpersonal yang disusun
oleh penelitian. Dalam penelitian ini digunakan kuesioner bentuk
tertutup. Menurut Furchan (1982:260) kuesioner bentuk tertutup berisi
pernyataan-pernyataan yang disertai dengan pilihan jawab untuk
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban responden terikat pada
sejumlah kemungkinan jawab yang sudah disediakan. Kuesioner yang
digunakan untuk uji coba berjumlah 51 item dengan jumlah responden
35 siswa, sedangkan kuesioner yang digunakan untuk penelitian
berjumlah 45 item dengan jumlah responden 102 siswa. Kuesioner
penelitian ada padalampiran 1.
Sebaran kuesioner yang digunakan dalam penelitian merupakan
penjabaran dari komponen kemampuan mengelola konflik
interpersonal yang digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Daftar Komponen Kuesioner Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan Kulon Progo
Tahun Pelajaran 2008/2009
No Komponen Jml
item
Nomor item Favorable
Nomor item Unfavorable 1 Memandang konflik sebagai sesuatu yang
wajar. 2 27 11
2 Memandang konflik dapat menghasilkan
pemecahan yang lebih kreatif. 6 4, 23 12, 17, 28, 34
3 Memberikan kepercayaan pada pihak lain
(lawan konflik). 6 24, 29, 35, 40 5, 13
4 Mengakui adanya persoalan perasaan dalam
mencapai keputusan. 6 6, 18, 25 1, 30, 36
5 Memperhatikan sikap dan posisi pihak lain
(lawan konflik). 7 7, 14, 31 19, 26, 37, 41
6 Menyadari jika konflik diselesaikan hingga memuaskan kedua pihak, maka komitmen terhadap pemecahan akan dibangkitkan.
6 8, 16, 38 2, 20, 47
7 Beranggapan bahwa setiap orang yang terlibat konflik punya peranan yang sama dalam hal memecahkan konflik.
7 9, 32, 39, 43 3, 21, 45
8 Tidak mengorbankan seseorang demi kebaikan
suatu kelompok. 5 22, 33, 44 10, 16
Jumlah
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
empat alternatif jawaban yaitu; “sangat setuju”, “setuju”, “tidak
setuju” dan “sangat tidak setuju. Alasan menggunakan empat
alternatif jawaban adalah untuk menghindari kemungkinan responden
cenderung memilih alternatif jawaban yang tengah-tengah. Menurut
Azwar (2007:34) bila pilihan tengan disediakan maka responden akan
cenderung memilihnya sehingga data mengenai perbedaan diantara
responden menjadi kurang inovatif. Jadi, penggunaan empat alternatif
jawaban dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan yang
dikandung oleh skala lima tingkat, dimana alternatif jawaban yang
netral (di tengah) mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat
memutuskan atau ragu-ragu.
Item-item tersebut dibagi menjadi dua, yaitu item positif
(favorable) dan item negatif (unfavorable). Pernyataan positif artinya
pernyataan yang diharapkan pada objek ukur atau yang
mengindikasikan tingginya atribut yang diukur. Sedangkan pernyataan
negatif artinya pernyataan yang tidak diharapkan pada objek ukur atau
yang mengindikasikan rendahnya atribut yang diukur (Azwar,
2007:47).
Penentuan skor untuk setiap jawaban dari item-item
pernyataan adalah sebagai berikut:
a. Pernyataan yang bersifat positif (favorable) terhadap komponen
Setuju” (SS) diberi skor 4, “Setuju” (S) diberi skor 3, “Tidak
Setuju” (TS) diberi skor 2, Sangat Tidak Setuju” (STS) diberi
skor 1.
b. Pernyataan yang bersifat negatif (unfavorable), terhadap
komponen kemampuan mengelola konflik interpersonal, jawaban
“Sangat Setuju” (SS) diberi skor 1, “Setuju” (S) diberi skor 2,
“Tidak Setuju” (TS) diberi skor 3, Sangat Tidak Setuju” (STS)
diberi skor 4.
Uji coba kuesioner dilaksanakan di kelas X SMK Negeri 1
Panjatan Kulon Progo. Jadwal pelaksanaan uji coba kuesioner adalah
sebagai berikut :
Tabel 2
Jadwal Pelaksanaan Uji Coba Kuesioner Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal Para Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Panjatan
Kulon Progo
Kelas Tanggal Pelaksanaan Uji Coba
Jml Siswa yang Hadir
Jml Siswa Yang tdk Hadir
X 5 November 2008 35 1
Jumlah Total 35 1
Kuesioner diuji cobakan pada siswa kelas X.1 SMK Negeri 1
Panjatan Kulon Progo dengan jumlah responden 35. Waktu yang
diperlukan untuk menjawab kuesioner sekaligus memberikan
2. Validitas Kuesioner
Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu
tes atau instrument pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas
yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, yang
sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar,
2007:5).
Validitas terbagi atas tiga macam, yaitu: validitas isi, validitas
konstruksi atau konsep dan validitas kriteria. Dalam penelitian ini,
validitas yang digunakan adalah validitas isi. Yang dimaksud validitas
isi adalah validitas yang mencerminkan seluruh isi yang akan diukur
(Furchan, 1982:183). Validitas isi merupakan validitas yang
diestimasi atau dinilai lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis
rasional atau lewat professional judgment (penilaian professional),
(Azwar, 2007:45).Professional judgment dalam pelaksanaan validitas
kuesioner ini ada padalampiran 2.
Seleksi item kuesioner dalam penelitian ini menggunakan daya
beda item. Daya beda item adalah sejauh mana item tersebut mampu
membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki
dan tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2007:59)
Kriteria penilaianrkan korelasi skor setiap item dan skor total
skala digunakan batasan
r
xy ≥ 0,30. Item yang mencapai koefisiensedangkan item yang koefisien korelasinya kurang dari 0,30 daya
pembedanya dianggap rendah (Azwar, 2007:65).
Proses penghitungan koefisien korelasi skor item dilakukan
dengan cara memberi skor pada masing-masing item dan membuat
tabulasi data uji coba. Data tabulasi uji coba dan penelitian ada pada
lampiran 3. Selanjutnya proses penghitungan dilakukan dengan
komputer program SPSS (Statistical Programe For Social Sciences).
Berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan terhadap 51
item pernyataan yang diuji coba, diperoleh 43 item dengan daya
beda ≥ 0,30 dan 8 item dengan daya beda ≤ 0,30. Dengan
pertimbangan agar semua komponen bisa terwakili dan untuk
mempertahankan proposional jumlah item, 2 item yang korelasi item
mendekati 0,30 direvisi dan digunakan untuk kuesioner. Jadi
keseluruhan item yang digunakan sebagai alat penelitian berjumlah
45 item.
3. Reliabilitas.
Menurut Furchan (1982:295) reliabilitas suatu alat ukur adalah
derajat keajegan alat tersebut dapat mengukur apa yang dapat diukur.
Metode yang digunakan untuk mengukur