DESKRIPSI TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL PARA SUSTER YUNIOR ORDO SANTA URSULA
TAHUN 2007/2008 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Oleh : Sri Supadmi NIM : 021114042
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN SANATA DHARMA YOGYAKARTA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
< “Janganlah berkecil hati, apabila anda merasa tak mampu memahami dan menjalankan semua tugas yang khusus ini. Yakinlah dan percayalah sebulat-bulatnya, bahwa Allah akan membantu anda dalam segala hal. Berdoalah kepada-Nya dengan rendah hati percayakan pada kekuasaankepada-Nya yang besar, jangan ragu-ragu Dia yang telah memilih anda untuk tugas yang penting ini, Dialah juga yang memberi kekuatan untuk menyelesaikannya, asal dari pihak anda tidak mengecewakan Dia.” (Santa Angela Merici )
< “Berharap berarti tetap hidup di tengah-tengah keputusasaan dan terus bersenandung dalam kegelapan. Berharap berarti tahu bahwa ada cinta, berarti percaya akan adanya masa depan. Selama masih ada harapan, doa akan terus diucapkan, dan Tuhan akan terus menatang engkau dengan tangan-Nya” (Henry Nouwen).
<
Walau segala sesuatu kelihatan berjalan buruk, aku akan percaya penuh, bahwa penyelenggaraan illahi yang baik memelihara aku melebihi siapapun di dunia ini (Penulis).PERSEMBAHAN
ABSTRAK
DESKRIPSI TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL PARA SUSTER YUNIOR ORDO SANTA URSULA INDONESIA TAHUN 2007/2008 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN
TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK Sri Supadmi
Universitas Sanata Dharma 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat kecerdasan spiritual para suster yunior Ordo Santa Ursula tahun 2007/2008, dan (2) menyusun suatu usulan topik-topik bimbingan yang sesuai untuk meningkatkan kecerdasan spiritual para suster yunior Ordo Santa Ursula tahun 2007/2008.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Subyek penelitian ini adalah para suster yunior Ordo Santa Ursula tahun 2007/2008 yang berada di Pulau Jawa dan Flores. Para suster yunior yang ada di pulau Jawa 26 orang, sedangkan para suster di Flores ada 4 orang.
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang dibuat oleh peneliti berdasarkan uraian dari masing-masing aspek kecerdasan spiritual menurut Zohar-Marshall.
ABSTRACT
THE DESCRIPTION OF SPIRITUAL INTELLIGENCE LEVEL ON JUNIOR’S AT ORDO SANTA URSULA IN 2007/ 2008 AND ITS IMPLICATIONS TO
PROPOSAL GROUP GUIDANCE TOPICS
Sri Supadmi Universitas Sanata Dharma
2008
This research aimed at understanding of two points; firstly, to understand the spiritual intelligence level of Junior Sisters of Santa Ursula in 2007 / 2008 and secondly, the developing a proposal of guidance topics for spiritual intelligence improvement of Junior Sister of Santa Ursula in 2007 / 2008.
The method of this research was descriptive study, and the subjects of this research were 30 junior’s sister of Santa Ursula in 2007 / 2008 which 26 sisters in Java and 4 sisters in Flores.
The result of this research was described below:There were 6, 67 % ( 2 sisters) reached quite “high level” of spiritual intelligence;There were 53, 33 % (16 sisters) reached “high” level of spiritual intelligence;There were 40 % (12 sisters) reached “average” level of spiritual intelligence;There were not sisters who reached “low” and “very low” level of spiritual intelligence.
KATA PENGANTAR
Syukur dan terimakasih peneliti haturkan kepada Bapa, Putera, dan Roh Kudus dan Bunda Maria serta Bunda Angela Merici yang telah melimpahkan berkat berlimpah dalam proses penulisan skripsi dan penelitian ini. Peneliti juga bersyukur atas cinta dan perhatian dari berbagai pihak dalam bentuk dukungan, masukan, kritikan dan doa sehingga membantu peneliti dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Peneliti menyadari tanpa itu semua skripsi dan penelitian ini tidak dapat berjalan dengan baik.
Penulis mengakui dengan penuh kerendahan hati bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna namun karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak maka peneliti memiliki kepercayaan untuk memberikan yang terbaik. Oleh karena itu peneliti ini mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling, FKIP USD, yang telah memberikan ijin untuk penelitian skripsi ini. 2. Fajar Santoadi, S.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Bimbingan dan Konseling,
FKIP USD.
3. Dra. C.L Milburga, CB M. Ed. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran, pengertian dan penerimaan selama bimbingan skripsi, memberi masukan-masukan bermanfaat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.
4. Para Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling, FKIP, USD yang telah banyak memberikan bekal ilmu kepada penulis selama menjalani studi.
5. Propinsial dan para suster dewan Ordo Santa Ursula yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar mengembangkan pengetahuan, ketrampilan kepribadian di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
6. Para suster Komunitas suster OSU di Jl. Kaliurang KM 6 Yogyakarta yang telah memberi dukungan doa, semangat, cinta dan perhatian dalam berbagai bentuk selama penulis studi dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Para suster yunior Ordo Santa Ursula yang telah membantu dalam mengisi kuesioner sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Thomas Buntoro “Bebe” yang telah memberikan masukan berharga dalam penyusunan skripsi ini
10.Teman-teman Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2002 yang banyak memberikan bantuan dan dukungannya.
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selama ini dengan tulus hati telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN ……… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v
ABSTRAK …………..……… vi
ABSTRACT ……… vii
KATA PENGANTAR ……… viii
DAFTAR ISI ……… x
DAFTAR TABEL ……… xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Rumusan Masalah ……… 8
C. Tujuan Penelitian……… 9
D. Manfaat Penelitian……… 9
E. Batasan Istilah……… 10
BAB II KAJIAN TEORI ……….. 12
A. Hakikat Kecerdasan Spiritual ……… 12
1. Pengertian Kecerdasan Spiritual……… 12
2. Pentingnya Kecerdasan Spiritual……… 15
3. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual……… 17
4. Karakteristik Individu yang memiliki Kecerdasan Spiritual tinggi ……… 31
5. Faktor-Faktor Kecerdasan Spiritual ……… 32
B. Gambaran Umum Suster Ordo Santa Ursula………. 37
2. Spiritualitas Ordo Santa Angela……… 39
3. Program Pembinaan Yunior………. 42
C. Pentingnya Pelayanan Bimbingan Yunior……… 47
D. Bimbingan Kelompok ……… 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 49
A. Jenis Penelitian……… 49
B. Subyek Penelitian……… 49
C. Instrumen Penelitian……… 50
1. Alat Pengumpul Data. ……… 50
2. Uji Coba Alat……… 55
3. Validitas dan Reliabilitas……… 56
a. Validitas Instrumen……… 56
b. Reliabilitas Instrumen ……… 61
D. Prosedur Pengumpulan Data……… 62
1. Tahap Persiapan……… 62
2. Tahap Pelaksanaan……… 63
E. Teknik Analisis Data……… 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 64
1. Hasil Penelitian……… 64
2. Pembahasan……… 65
BAB V USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN………….. 72
BAB VI PENUTUP……….………… 77
A. Ringkasan ……….. 77
B. Kesimpulan……….. 79
C. Saran……. ……….. 80
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kisi-Kisi Kuesioner Kecerdasan Spiritual ……… 51 Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Analisis Validitas Kuesioner
Uji Coba……… 58
Tabel 3 Penggolongan Tingkat Kecerdasan Spiritual
Suster Yunior Ordo Santa Ursula ……… 64 Tabel 4 Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok bagi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Hasil Uji Analisis Validitas
dan Reliabelitas SPSS
(Statistical Programe for Social Science)
Versi 12 for Windows ……… 84 Lampiran 2 Hasil Analisis Uji Validitas Item ……… 88 Lampiran 3 Kuesioner Penelitian ……… 91 Lampiran 4 Perolehan Skor Kecerdasan
Spiritual suster Yunior Ordo Santa Ursula
tahun 2007/2008 ………. 97 Lampiran 5 Perhitungan untuk melihat
Tingkat Kecerdasan Spiritual ……… 101 Lampiran 6 Kualifikasi Tingkat Kecerdasan Spiritual
Suster Yunior Ordo Santa Ursula
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada jaman ini menjalani hidup sebagai seorang religius tidak mudah. Hidup
religius adalah hidup yang dibaktikan untuk mengabdikan diri demi kerajaan Tuhan
dengan mengikrarkan nasihat-nasihat Injil. Seorang religius tergabung dalam salah
satu tarekat (kelompok biara) tertentu. Cara hidupnya tertuju pada Tuhan dengan
mengikrarkan nasihat-nasihat Injili dan disemangati oleh nilai-nilai pendiri
tarekatnya. Para religius dipanggil memberi kesaksian hidup dalam menghayati
kemiskinan, kemurnian dan ketaatan dalam hidup sehari-hari. Nilai kemiskinan
adalah semangat Injil yang mengajak para religius untuk hidup dalam kesederhanaan.
Kemurnian dihayati sebagai persembahan hati tak terbagi dan persembahan diri
seutuhnya kepada Tuhan dengan mengikatkan diri seumur hidup kepada-Nya,
sedangkan nilai ketaatan merupakan semangat untuk tidak mengikuti kehendak
sendiri, melainkan percaya dan menyerahkan seluruh hidup kepada kehendak Tuhan.
Kesaksian hidup di atas harus disadari oleh para religius secara terus menerus,
terlebih menghadapi jaman ini yang sangat mengedepankan pandangan bahwa
kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup (hedonisme). Selain itu
pandangan masyarakat modern yang menganggap barang-barang sebagai ukuran
kebahagiaan dan kesenangan (konsumerisme) yang disertai gaya hidup sekular
merupakan tawaran yang menarik. Gaya hidup dan pandangan-pandangan ini
2
perilaku masyarakat. Ada kecenderungan manusia untuk lebih mementingkan hal-hal
yang duniawi sehingga mereka memberikan seluruh energi diri mereka untuk
mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ukuran keberhasilan seseorang diukur dari
tingginya posisi jabatan dan banyaknya materi yang diperoleh. Jika para religius tidak
mampu mengatasi dan terhanyut dalam arus jaman seperti yang telah digambarkan di
atas, maka mereka akan kehilangan identitas sebagai orang yang terpanggil untuk
memiliki Tuhan seutuhnya. Mereka akan terjerumus dalam hidup duniawi dan
kehilangan orientasi hidup yang menuntunnya ke dalam panggilan hidup sebagai
religius yang lebih bermakna.
Di dalam mengatasi hambatan dalam mewujudkan cita-cita hidup religius
tersebut para religius membutuhkan sikap yang matang, bijaksana, dan arif. Sikap
yang matang, bijaksana, dan arif diperlukan untuk melihat mana yang sesuai atau
tidak dengan hakikat hidup religius, sehingga tidak bertentangan dengan penghayatan
nilai-nilai Injili dan spiritualitas ordo. Sikap yang matang, bijaksana, dan arif
memerlukan proses terus-menerus. Proses ini dipengaruhi oleh kesadaran diri
seseorang dalam menjalani hidupnya, juga oleh penghayatan hidupnya dengan Tuhan
sebagai sumber kebijaksanaan dan kearifan tertinggi. Para religius harus
terus-menerus berlatih menjaga kesadaran diri dan menjalin keakraban dengan Tuhan
untuk memperoleh rahmat kebijaksanaan dan kearifan. Usaha itu tidak cukup hanya
pada kesadaran diri dan relasi yang akrab dengan Tuhan saja tanpa diimbangi rasa
bertanggung jawab menghidupi dan mewujudkan nilai-nilai yang terkandung
3
mencapai kepenuhan hidup (wholeness) sehingga hidupnya akan lebih bermakna
(meaningful).
Tantangan yang dihadapi dan harapan yang ingin diwujudkan dalam mencapai
kepenuhan hidup jelas membutuhkan rahmat Tuhan namun tidak cukup jika manusia
tidak mengambangkan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki oleh
masing-masing pribadi. Sebagai manusia yang utuh, manusia memiliki dimensi akal budi,
tubuh, dan jiwa. Dari masing-masing dimensi ini, memiliki kecerdasan yang bisa
membantu manusia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam
hidupnya. Akal budi merupakan wilayah kecerdasan yang disebut kecerdasan
intelektual atau Intelligence Quotient (IQ), yang membantu manusia untuk berpikir
secara rasional dan logis. IQ menjadi fakultas rasional dari manusia. Sedangkan tubuh
atau fisik menjadi basis kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (EQ), yang
membantu manusia untuk lebih menyadari, mengenali, mengelola emosinya sehingga
mampu mengolah emosinya secara lebih cerdas. Sedangkan dimensi jiwa memiliki
wilayah kecerdasan yang disebut kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ),
kecerdasan yang membantu manusia untuk menjadi lebih bijak, arif dan bahagia,
sehingga mampu mencapai kepenuhan hidup.
Jika melihat bentuk tantangan yang dihadapi, cita-cita yang ingin diwujudkan,
dan potensi yang dimiliki manusia, maka dalam konteks hidup religius kecerdasan
spiritual sangat dibutuhkan untuk membantu dan mengatasi masalah tersebut.
Kecerdasan spiritual dianggap kecerdasan yang tertinggi (ultimate intellgence) yang
4
pertumbuhan pribadi. SQ membantu manusia untuk mencapai spiritual yang sehat
dan kebahagiaan spiritual.
Di dalam kehidupan religius, kecerdasan spiritual membantu untuk menilai
apakah jalan hidup yang saat ini dijalaninya lebih bermakna atau tidak jika
dibandingkan dengan jalan hidup yang lain, sehingga ia dapat menjalani pilihan
hidupnya dengan penuh kesetiaan dan dedikasi. Kecerdasan spiritual membantu para
religius untuk mampu bersikap independen terhadap lingkungan, sehingga tidak
mudah hanyut dan terpengaruh dengan arus jaman yang menggerus nilai-nilai yang
tengah diperjuangkan. Akar dari SQ adalah Tuhan maka yang diperjuangkan adalah
nilai-nilai yang selaras dengan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan sebagai
wujud dari kehadiran Tuhan. Untuk menghidupkan SQ, manusia harus lebih peka
dengan hati nurani dan penghayatan akan Tuhan sebagai sumber inspirasi dalam
menemukan nilai-nilai. Hubungan manusia dengan Tuhan akan berdampak pada
makna hidupnya serta nilai-nilai yang dijalani dalam relasinya dengan orang lain.
Ciri-ciri orang yang cerdas secara spiritual atau tingkat spiritualnya tinggi
antara lain memiliki kesadaran yang tinggi, artinya ia mampu mengenali diri dengan
baik karena memiliki pengertian yang mendalam mengenai dirinya dan orang lain. Ia
berpikir secara holistik atau menyeluruh, mampu melihat satu persoalan dalam
berbagai sudut pandang. Ia dituntun oleh visi dan nilai dalam menjalani hidup
sehingga mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan visi dan nilai yang tengah
diperjuangkan. Ia lebih peka secara spiritual akan realitas di sekitarnya yang pada
akhirnya melahirkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, kedamaian, dan
5
Mengaktifkan SQ berarti mengaktifkan dimensi spiritual manusia, yang
menyadarkan manusia untuk tidak hanya mengejar dan mengukur keberhasilan hidup
dari segi keuangan, kesuksesan, kepuasan kerja dan kenikmatan sesaat, tetapi berani
membuka perspektif lebih luas dengan tidak mementingkan diri sendiri, lebih peduli
kepada orang lain yang membutuhkan, menghargai, menghormati orang lain dan
berbelas kasih.
Ordo Santa Ursula (selanjutnya disebut OSU) merupakan salah satu bentuk
atau kelompok dari hidup religius yang didirikan oleh Santa Angela Merici yang
menghidupi spiritualitas Santa Angela, yaitu menampakkan kasih Tuhan dan kuasa
Roh Kudus bagi dunia, mau menjadi utusan-Nya bagi sesama, dan mau hidup di
dunia (Kons.OSU, 1984:Art. 1-19). Para suster OSU digerakkan oleh semangat
spiritualitas cinta kasih ganda dan tunggal. Mereka harus selalu berusaha untuk
bertindak demi cinta kasih ganda (cinta sesama) dan tunggal (cinta Tuhan) yang
saling menjiwai. Rela memberikan diri secara utuh untuk mengabdi Tuhan dan
kebahagiaan jiwa-jiwa. Spiritualitas ini mendorong mereka untuk menampakkan
kasih Tuhan dan kuasa roh bagi dunia. Hal ini bisa dilakukan jika para suster sendiri
penuh kasih dan penuh roh, mampu menghidupkan cinta Tuhan dalam dirinya dan
membagi kepada sesama. Tanggung jawab untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut
mengandaikan para suster OSU telah sungguh-sungguh meresapi spiritualitas
tersebut. Motivasi dalam meneruskan cita-cita pendiri akan menumbuhkan hidup
panggilan para suster OSU menjadi semakin bermakna. Tanggung jawab dan
6
menjalani masa pembinaan selama kurang lebih 8 tahun dan dilanjutkan dalam
pembinaan diri seumur hidup sebagai suster OSU (on going formation).
Masa pembinaan para suster OSU meliputi tahap-tahap, yaitu Postulan (1
tahun), Novis (2 tahun) dan Yunior (5 tahun). Untuk keperluan penelitian ini peneliti
lebih memfokuskan pada masa pembinaan yunior. Pada tahap ini pembinaan yunior,
diharapkan suster mampu mengembangkan keutuhan pribadinya yaitu aspek kognitif
atau intelektual (IQ), aspek emosional atau afektif (EQ), aspek fisik dan aspek
spiritual (SQ). Jika dilihat program-program pada tahap yunior tampak jelas bahwa
isi dari program yunior tidak hanya mengembangkan intelektual saja tetapi juga
mengembangkan kemampuan emosional dan spiritual. Berdasarkan pengalaman
sebagai suster OSU, peneliti berpendapat bahwa meskipun ketiga kecerdasan
tersebut diberi tempat untuk berkembang, namun aspek spiritual diberi porsi yang
lebih besar dalam program pembinaan. Di dalam pembinaan suster yunior OSU,
pengembangan dimensi spiritual (rohani) mendapat perhatian serius karena hal itu
menjadi dasar profesionalitas sebagai seorang religius (Konst. OSU, 1984:Art. 127).
Kehidupan spiritual yang baik akan membawa dampak dalam diri suster yunior, yaitu
semakin mencintai ordo, bersikap dewasa, bijaksana, penuh cinta, merasa aman dan
bahagia. Mereka mampu menghayati kaul-kaul mereka dengan penuh bakti dan cinta
pada Tuhan ditengah-tengah dunia yang dikuasai semangat hedonisme,
konsumerisme, materialime dan sekularisme. Mereka bisa memandang bahwa apa
yang tengah dihidupinya sekarang ini lebih bermakna daripada cara hidup yang lain.
7
spiritualitas Santa Angela Merici. Kiranya itulah harapan yang ingin dicapai dari visi
pembinaan para suster yunior.
Namun dalam kenyataannya, mencapai hidup bahagia dalam panggilan
sebagai suster OSU tidak mudah diwujudkan dalam hidup sehari-hari. Ada berbagai
hambatan misalnya, masih ada beberapa suster yunior yang merasa tidak bahagia dan
ragu-ragu dalam hidup panggilan meskipun ia sangat mencintai panggilannya sebagai
suster OSU. Ia tidak bisa menampilkan diri apa adanya dalam komunitas, merasa
cemas dan khawatir dalam hidup bersama karena takut penilaian orang lain atau
sesama suster yang sudah senior. Suster yunior seringkali mengalami kesulitan
dalam menyelaraskan antara kehendak sendiri dan keinginan Ordo. Dalam kaitan
hidup berkomunitas ada beberapa suster yunior yang kesulitan dalam menyikapi
perbedaan yang muncul dalam hidup bersama, dalam hidup pribadi mereka kurang
memberi prioritas waktu untuk berdoa, berefleksi, merenung dan berkomunikasi
dengan diri sendiri dan Tuhan.
Melihat kesenjangan antara harapan dan impian, maka peneliti berpendapat
bahwa program pembinaan para suster yunior perlu dilihat lagi terutama dalam
mengembangkan aspek-aspek kecerdasan spiritual dalam aspek kesadaran diri,
hubungan antar pribadi (kepedulian), kemampuan merayakan perbedaan dan
keberanian untuk bersikap spontan (tampil secara otentik). Berdasarkan kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang dialami para suster yunior dalam kehidupan
panggilannya, maka peneliti berpandangan bahwa pengembangan kecerdasan
8
pembimbing yunior perlu memberikan bimbingan yang dimaksudkan untuk
mengembangkan kecerdasan spiritual para suster yunior.
Menurut peneliti bahwa di dalam program pembinaan yunior, pengembangan
spiritual bukan yang hal baru, tetapi mengenai teori kecerdasan spiritual belum
dipahami dan diketahui secara mendalam baik oleh pembimbing yunior maupun oleh
suster yunior, karena teori tentang SQ sendiri masih baru. Bisa jadi para suster yunior
sebenarnya telah menghidupi kecerdasan spiritual, namun belum sadar bahwa mereka
telah menghidupinya sehingga setelah mengetahuinya mereka lebih menyadari dan
mempraktekannya demi perkembangan seluruh aspek diri mereka. Oleh karena itu
layanan bimbingan yang berkaitan dengan SQ perlu dilakukan secara
sungguh-sungguh dan optimal agar dapat memberikan sumbangan besar bagi kelangsungan
hidup para suster yunior sebagai anggota OSU.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti terdorong untuk melakukan
penelitian mengenai deskripsi tingkat kecerdasan spiritual para suster yunior Ordo
Santa Ursula tahun 2007/2008 dan hasil dari penelitian ini akan dipakai untuk
menjadi acuan dalam menyusun topik-topik bimbingan yang diperlukan dalam
pembinaan suster yunior.
B. Rumusan Masalah
Di dalam penelitian ini pertanyaan yang akan dijawab adalah :
1. Bagaimana tingkat kecerdasan spiritual (SQ) para suster yunior Ordo Santa
9
2. Topik-topik bimbingan manakah yang sesuai bagi pembinaan dalam rangka
meningkatkan kecerdasan spiritual para suster yunior Ordo Santa Ursula tahun
2007/2008?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah
a. Mendeskripsikan tingkat kecerdasan spiritual para suster yunior Ordo Santa
Ursula tahun 2007/2008.
b. Menyusun suatu usulan topik-topik bimbingan yang sesuai untuk
meningkatkan kecerdasan spiritual para suster yunior Ordo Santa Ursula tahun
2007/2008.
D. Manfaat Penelitian
a. Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang
tingkat kecerdasan spiritual para suster yunior Ordo Santa Ursula tahun
2007/2008 sehingga bisa dipakai sebagai dasar penyusunan usulan topik-topik
bimbingan kelompok.
b. Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak
1. Bagi Ordo Santa Ursula
Memberikan gambaran kecerdasan spiritual (SQ) dalam diri para yunior
OSU tahun 2007/2008 dan hal ini merupakan informasi untuk
10
2. Bagi Para Suster Yunior Ordo Santa Ursula
Memberikan informasi mengenai tingkat kecerdasan spiritual yang mereka
miliki dan sebagai bahan instropeksi diri dan mendorong mereka untuk
lebih merefleksikan hidup panggilannya.
3. Bagi Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK)
Di dalam mengembangkan pribadi yang utuh, mahasiswa program studi
bimbingan dan konseling perlu mengetahui dan memahami mengenai
kecerdasan spiritual, sehingga sebagai konselor atau guru BK kelak
mereka dapat membantu para siswa atau klien untuk mencapai pribadi
yang utuh.
4. Bagi peneliti sendiri
Mendapat wawasan baru khususnya tentang kecerdasan spiritual. Selama
mempelajari topik kecerdasan spiritual ini peneliti diperkaya dan
mendapat banyak masukan sebagai seorang religius yang terus menerus
mengembangkan hidup rohani.
E. Batasan Istilah
a. Deskripsi
Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran sesuatu dengan kata-kata
secara jelas dan terinci (Poerwodarminta, 2003:288)
b. Tingkat
Tingkat dalam pengertian ini menunjuk pada susunan berlapis-lapis dari
11
(dalam penelitian ini tingkat dikategorikan atas 5 tingkatan, yaitu Sangat
Tinggi, Tinggi, Cukup, Rendah, Sangat Rendah)
c. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kemampuan manusia dalam
mengembangkan hal-hal rohani, yaitu memiliki kesadaran diri yang tinggi,
bertindak spontan (cepat tanggap dan cekatan), berpandangan holistik, hidup
terbimbing visi dan nilai, membingkai ulang pengalaman, berefleksi
(kecenderungan untuk bertanya “mengapa”), mengambil manfaat dari
kemalangan atau penderitaan, memiliki rasa keterpanggilan, kepedulian,
merayakan keragaman, independensi terhadap lingkungan, dan rendah hati.
Allah menjadi akar dan pusat dari kecerdasan spiritual.
d. Ordo Santa Ursula Indonesia
Persekutuan hidup religius wanita yang menghidupi spiritualitas Santa Angela
Merici
e. Suster Yunior
Para suster OSU yang belum berkaul kekal (berkaul sementara).
f. Usulan Topik-Topik Bimbingan
Topik-topik bimbingan kelompok yang diusulkan bagi pembinaan suster
yunior OSU yang disusun oleh peneliti berdasarkan item-item hasil penelitian
yang menunjukkan skor rendah.
g. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu
12
BAB II
KAJIAN TEORI
Dalam bab ini memuat hakikat kecerdasan spiritual, suster Ordo Santa Ursula,
pentingnya pelayanan bimbingan dalam pembinaan suster yunior dan bimbingan
kelompok.
A. Hakikat Kecerdasan Spiritual
1. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Zohar-Marshal (2000:4) mendefinisikan bahwa kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yang
memungkinkan individu untuk menempatkan perilaku dan hidupnya dalam konteks
makna yang lebih luas dan kaya. Ia berpendapat bahwa kerangka tertinggi serta
pemberi konteks tertinggi dari makna dan nilai adalah Tuhan sebagai pusat (centre)
dari diri manusia (Zohar-Marshal, 2000:171).
Menurut Lewin (2005:29-30) kecerdasan spiritual merupakan sebuah
pendekatan yang bisa dilakukan seseorang ketika ia harus mengalami perubahan
kesadaran menuju sebuah kesadaran baru. Perubahan keadaran yang bukan
semata-mata cara baru untuk menata berbagai pengalaman lama atau suatu panggilan untuk
menjalani serangkaian pengalaman baru, namun terlebih pada perubahan persepsi
yang diperlukan untuk mengenali dan memahami getaran baru dalam kesadaran.
Kesadaran baru ini memungkinkan seseorang dapat melihat dan mengetahui makna
13
suatu peristiwa seringkali pada saat pengalaman itu terjadi ia belum mampu melihat
atau mengetahui apa arti di balik peristiwa yang ia alami. Ketika ia mau meluangkan
waktu untuk berdiam diri dan menyadari keberadaannya dalam kejadian itu maka ia
akan menemukan makna dalam peristiwa yang ia alami.
Menurut Sinetar (2001:xv) kecerdasan spiritual merupakan kemampuan
seseorang untuk menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu berarti seseorang
dapat mewujudkan hal yang terbaik, utuh dan paling manusiawi dari dalam batinnya.
Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan arah panggilan hidup mengalir dari dalam
batinnya yang terolah dalam ketenangan dan keheningan. Sinetar (2001:12)
menambahkan bahwa gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan arah panggilan hidup
yang mengalir dari dalam batinnya adalah pemikiran yang terilhami. Kecerdasan
spiritual diilhami oleh dorongan, efektivitas dan keberadaan hidup keilahian yang
mempersatukan manusia sebagai bagian-bagiannya. Sinetar mengemukakan
kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang mendapat inspirasi, dorongan, dan
efektifitas dari penghayatan manusia akan Tuhan atau theiss-ness
(Nggermanto,2005:117).
Kravitz (www.Spiritualintelligence.com, 2 Maret 2002) berpendapat bahwa
kecerdasan spiritual mengacu pada ketrampilan-ketrampilan,
kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku yang diperlukan untuk membangun dan
memelihara hubungan dengan Allah sebagai pencipta. Hubungan antara manusia
dengan Allah akan berdampak pada makna serta nilai-nilai kehidupan pribadinya
14
Buzan (2003:80) mengemukakan pendapatnya bahwa kecerdasan spiritual
berkaitan dengan segala sesuatu yang lebih besar dan menyeluruh. Seseorang tidak
lagi memikirkan kepentingan diri sendiri namun ia mau memikirkan kepentingan diri
dalam kerangka kepentingan umum. Seseorang yang memiliki gambaran menyeluruh
akan memiliki pengertian yang mendalam mengenai diri sendiri dan orang lain,
penghargaan serta penghormatan kepada kemanusiaan dan berbelas kasih.
Khavari (Sukidi, 2004:53) berpendapat kecerdasan spiritual adalah fakultas
dari dimensi non material manusia (roh manusia). Ia menyoroti tentang kemungkinan
manusia untuk menjadi lebih spiritual, artinya manusia tidak hanya mengejar dan
mengukur keberhasilan hidupnya dengan uang, kesuksesan, kepuasan kerja,
kenikmatan seks, dan seterusnya. Hal-hal yang material ini tidak sepenuhnya
menjamin kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan essensial dalam diri manusia terletak
pada kehidupan spiritualnya bukan terletak pada sisi luar yang bersifat jasmani atau
fisik.
Dari pengertian-pengertian diatas peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan
spiritual mengacu pada ketrampilan serta kemampuan individu dalam hal
membangun perilaku-perilaku yang diperlukan untuk menumbuhkan,
mengembangkan dan memelihara hubungannya dengan Allah serta menjadikan Allah
sebagai kerangka dan konteks tertinggi dari makna juga nilai hidupnya. Makna dan
nilai tertinggi bisa diraih oleh individu dalam kehidupannya jika ia telah
merealisasikan nilai dan makna yang telah ia peroleh dari hubungannya dengan Allah
15
2. Pentingnya Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual (SQ) sangat relevan bagi hidup para religius yang
senantiasa menjalin hubungan dengan Tuhan secara intensif. Keheningan (silentium),
doa (retret, rekoleksi dan tridium), membaca bacaan rohani, mendalami kitab suci,
menghayati spiritualitas pendiri dan menjalankan konstitusi tarekat menjadi sarana
untuk mengaktifkan SQ. Pemeriksaan batin yang dilakukan oleh mereka setiap hari
menjadi kesempatan mengasah kepekaan akan realitas spiritual dalam lingkungannya
dalam merasakan kehadiran Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupannya.
Sukidi (2004:68-76) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual menjadi penting
dan relevan bagi pengembangan dimensi rohani individu sebagai berikut :
a. Ada segi-segi kehidupan manusia yang tidak bisa diungkapkan atau dijelaskan
dengan sudut pandang ilmu pengetahuan, tidak bisa diatasi dengan
menggunakan akal pikiran atau Intelligence Quotient (IQ) atau diterima
dengan rasa perasaan atau Emotional Quotient (EQ) yang dimiliki manusia.
Segi-segi ini berkaitan dengan hakikat sejati manusia, makna hidup manusia,
arti kehidupan manusia di dunia ini, bagaimana ia menjalani hidup secara
benar dan seterusnya. Untuk menjelaskan segi-segi tersebut manusia
membutuhkan Spiritual Quotient (SQ).
b. Struktur Manusia Utuh adalah Pikiran (Mind), Tubuh (Body) dan Jiwa (Soul).
Pikiran merupakan basis IQ, sedangkan tubuh menjadi dasar EQ. IQ mewakili
dimensi akal budi atau pikiran sedangkan EQ mewakili dimensi emosi atau
rasa perasaan manusia. IQ dan EQ tidak mencukupi untuk mencapai
16
menjadi basis dasar SQ. Tubuh dan pikiran menjadi hidup karena ada roh.
Roh menjadi faktor kunci untuk mencapai keutuhan manusia. Manusia tanpa
SQ tidak akan bertumbuh dan berkembang secara utuh.
c. SQ menjadikan manusia sehat secara spiritual. Seperti halnya IQ yang
menjadikan manusia sehat secara pikiran-intelektual dan EQ yang menjadikan
manusia sehat secara emosional, maka SQ menjadikan manusia sehat secara
spiritual. Seseorang yang sehat secara spiritual adalah seseorang yang mampu
memahami nilai-nilai mendasar yang dihayatinya misalnya kebaikan,
keindahan, cinta dan kebenaran. Pemahaman seseorang mengenai nilai-nilai
akan mendorongnya untuk merealisasikan nilai-nilai itu dalam hidup
sehari-hari, dengan demikian ia dapat memaknai berbagai pengalaman secara
spiritual. Ia memiliki pandangan yang lebih mendalam atas pengalamannya,
dapat memberikan makna serta nilai tambah pada kondisinya sekarang. Ia
dapat menggunakan SQ untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari
penderitaan, kemarahan dan kekecewaannya yang mendalam. Kesehatan
spiritual tidak bisa diperoleh hanya dengan IQ dan EQ.
d. SQ membimbing manusia memperoleh kedamaian spiritual. Kedamaian
spiritual adalah kedamaian hakiki dalam hidup manusia. Ciri-ciri kedamaian
spiritual adalah adanya perasaan aman (secure), damai (peace), penuh cinta
(loved), dan bahagia (happy). Sedangkan ciri-ciri tidak damai secara spiritual
adalah kebalikannya yaitu merasa tidak aman (insecure), tidak bahagia
17
e. SQ membantu manusia meraih kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual
adalah situasi dimana seseorang bisa membebaskan diri dari kecenderungan
materialime dan hawa nafsu (bersikap lepas bebas). Materialisme tidak bisa
menjadi pemenuhan makna yang sesungguhnya, karena semua itu tidak kekal
dan abadi. Misalnya saja, ketika seseorang kehilangan harta benda atau
kekuasaan ia merasa kehilangan seluruh kehidupannya sehingga bunuh diri
atau melarikan diri ke hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran.
f. SQ mengajarkan kearifan spiritual. Menjalani hidup secara arif, bijak dan
spritual adalah bersikap jujur, adil, toleran, terbuka, penuh cinta dan kasih
sayang terhadap sesama. Kearifan spiritual menghindarkan diri manusia dari
sikap arogan, otoriter dan tamak, serta sikap yang tidak mau mendengar suara
lain disekitarnya karena hanya mengandalkan pikirannya sendiri saja. Hanya
dengan kearifan secara spiritual manusia dapat hidup lebih bermakna dan
bijak, mampu menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai
hati nurani.
3. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual (SQ) dalam diri manusia dapat berkembang, jika
manusia mengisi ruang spiritualnya dengan hal-hal baik. Jika ruang spiritual itu
dibiarkan kosong, maka hal-hal yang buruk akan mudah masuk dalam ruang tersebut
dan membuat manusia menjadi bodoh secara spiritual.
Keadaan individu yang bodoh secara spiritual antara lain ditandai dengan
18
dianggapnya penting, ambisius (dia harus mencapai sesuatu demi pencapaian itu
sendiri), menganggap keinginannya adalah kebutuhannya dan memaksakan memiliki
lebih banyak lagi dan sebagainya (Zohar-Marshal, 2000:250-258).
Agar seseorang bisa cerdas secara spiritual maka di dalam SQ ada beberapa
aspek yang bisa dikembangkan oleh seorang individu. Aspek-aspek kecerdasan
spiritual adalah sebagai berikut (Zohar-Marshall, 2005:138-176):
a. Kesadaran Diri Tinggi
Kesadaran diri adalah salah satu kriteria tertinggi dari kecerdasan
spiritual yang tinggi. Mengembangkan kesadaran diri yang lebih besar
merupakan prioritas utama untuk meningkatkan SQ. Langkah pertama untuk
memiliki kesadaran adalah menyadari, mengenal dan mengetahui tentang
keberadaan diri sendiri dengan meningkatkan komunikasi dengan diri sendiri.
Meditasi dan refleksi membantu seseorang untuk membangun kesadaran diri,
sehingga ia mengetahui, menyadari dan meyakini nilai atau motivasi apa
yang menggerakkan dia dalam bertindak atau berbuat sesuatu.
Rogacion (Safaria, 2005:46) mengartikan kesadaran diri sebagai
kemampuan orang dalam menginsafi totalitas keberadaannya sejauh mungkin,
seperti menyadari keinginan, cita-cita, harapan, dan tujuan hidupnya. Orang
memiliki kesadaran diri berarti orang yang bersangkutan mengetahui apa yang
diyakini, apa yang dihargai, dan apa yang memotivasinya secara mendalam
atas tindakan dan keputusan-keputusan yang ia buat.
Seseorang yang tekun dalam menyelami diri sendiri akan semakin
bakat-19
bakatnya, pengalamannya yang akan memunculkan kesadaran baru terhadap
realita hidup yang telah dan hendak dijalaninya. Kesadaran diri seperti ini
akan membawa orang bersentuhan dengan pusat terdalam diri batinnya,
memungkinkannya untuk membaharui diri terus-menerus dan mendengarkan
panggilan nuraninya.
Kesadaran diri yang tinggi dapat dimiliki oleh seseorang jika ia
sungguh-sungguh mengenali jati dirinya sendiri. Ketika ia bisa menerima
dirinya dengan baik maka ia terbebas dari rasa iri hati kepada orang lain yang
melebihi dirinya. Ia bisa menerima kekurangan dirinya baik dalam hal fisik,
bakat dan potensinya itu sehingga ia mampu mencintai dirinya dan terpacu
mengembangkan diri. Penerimaan dan pengakuan keberadaan diri
berpengaruh terhadap penerimaan dan pengakuannya terhadap sesamanya.
Hal ini sangat penting dan diperlukan dalam membangun relasi dengan
sesama secara lebih baik.
b. Bertindak Spontan
Spontanitas adalah “ketanggapan” seseorang terhadap sesuatu yang
untuknya seseorang terdorong untuk mengambil tanggung jawab atas sesuatu
itu. Bertindak spontan artinya seseorang cepat tanggap dan secara cekatan
memberikan tanggapan yang konstruktif dalam situasi tertentu yang tidak
diharapkan. Spontan di sini bukan berarti tingkah laku atau sikap yang
impulsif semata-mata tetapi sebuah tanggapan atau improvisasi terhadap
sesuatu yang diketahui dari dalam melalui kepekaan batin terhadap situasi
20
Tindakan spontan mengandung keberanian, kemauan dan kerelaan
menerima tanggung jawab serta sanggup menjalankan tanggung jawab dalam
mengatasi atau menerima situasi yang tidak menyenangkan. Sikap berani
berarti sadar dan mau menanggung resiko untuk merasa tidak nyaman atas
setiap tanggung jawab yang diterima dan dijalani. Ketika seseorang bersikap
spontan ia menemukan dan lebih mengenal dirinya serta mengetahui bahwa ia
adalah bagian dari dunia.
c. Mengambil Jarak dan Mengambil Manfaat dari Kemalangan
Mengambil manfaat dari kemalangan berarti mampu belajar dari
pengalaman penderitaan atau kegagalan yang dialami. Penderitaan yang
dialami oleh seseorang mengajar orang tersebut mengetahui batas-batas
kemampuannya dan melampaui keterbatasan itu. Orang bisa bertumbuh ketika
ia mau belajar dari penderitaan atau kesalahan yang ia alami sehingga ia dapat
meraih keberhasilan atas kegagalan yang dialami sebelumnya.
Kemampuan memanfaatkan penderitaan ini meliputi sikap jujur atas
penderitaan yang dialami, kelemahan, kekeliruan yang telah dilakukan, berani
menanggung kepedihan serta rasa malu yang timbul dari kesalahan atau
penderitaan yang di alami. Memanfaatkan penderitaan menuntut pengakuan
atas realita bahwa ada persoalan atau masalah tertentu yang tidak dapat
dipecahkan, bahkan ketika suatu persoalan tertentu tidak dapat dipecahkan
meskipun telah mengunakan kemampuan yang dimilikinya untuk
21
Pengaruh penderitaan dan kesulitan yang dihayati sebagai kesempatan
untuk membangun diri, akan mengubah sesuatu yang lemah akibat
penderitaan itu menjadi kuat dan matang. Pengakuan seperti ini memberikan
kearifan dan kematangan dalam diri orang tersebut sehingga ia menjadi lebih
dewasa dari keadaan sebelumnya.
Seseorang dapat mengambil manfaat dari kesulitan atau penderitaan
yang ia hadapi jika ia dapat berdamai dengan kehidupannya yang diwarnai
dengan penderitaan, kelemahan dan kesalahan. Ia akan menjadi orang yang
mampu menghadapi penderitaan dalam hidupnya dengan ringan sehingga
orang dapat melampaui penderitaannya tanpa terbebani oleh persoalan dan
penderitaan yang ia hadapi.
Kemampuan mengambil manfaat dari penderitaan bisa juga berarti
kemampuan untuk mengubah kutuk menjadi berkat. Artinya, mampu melihat
suatu penderitaan ini menjadi titik tolak perkembangan dirinya menjadi lebih
matang, lebih dewasa dan lebih mantap dalam menjalani kehidupannya.
Kemampuan mengambil manfaat dari penderitaan berarti ketrampilan
seseorang untuk mengolah setiap situasi atau peristiwa tertentu yang
membuat mereka lemah tidak berdaya dan mengubahnya menjadi satu
kekuatan untuk melangkah maju.
d. Terbimbing oleh Visi dan Nilai
Visioner didefinisikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk berpikir atau merencanakan masa depan secara bijak dan
22
dan mungkin terjadi di masa mendatang (Buzan, 2003:33), sedangkan visi
adalah suatu tujuan yang ingin dicapai dari apa yang ia gambarkan dan
rencanakan untuk masa yang mendatang. Visi pasti mengandung nilai-nilai
yang sangat berarti untuk diwujudkan.
Visi menjadi “cahaya pembimbing” dalam hidup seseorang. Tujuan
hidup bukan sekedar suatu gagasan yang baik namun sebagai sesuatu yang
bermuatan perasaan dalam kerja dan hidup yang menyediakan orientasi serta
arah hidup. Tujuan hidup membuat seseorang tergerak untuk mencurahkan
segala perhatian dan tenaganya dengan sepenuh hati dalam usaha
mencapainya.
Junaidi (2006:182-183) mengatakan bahwa keselarasan antara
angan-angan atau cita-cita yang ingin dicapai sebagai tujuan hidup dengan kegiatan
atau kerja sehari-hari, membuahkan pertumbuhan pribadi, keberhasilan dan
kepuasan dalam hidup. Buechner berpendapat bahwa tujuan hidup atau tempat
tujuan yang ditentukan oleh Tuhan adalah tempat di mana seseorang
menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya (Junaidi, 2006:183).
Jadi orang yang terbimbing visi dan nilai dalam menjalani hidup
berarti ia tahu persis visi dan nilai apa yang saat ini ia hidupi dan ia
perjuangkan. Visi dan nilai yang ia perjuangkan menjadi “cahaya
pembimbing” dalam menjalani dan mengisi hidupnya sehingga menjadi lebih
23
e. Berpandangan Holistik
Holisme adalah sebuah pandangan pada sebuah realitas bersama yang
lebih mendalam yang mendasari kebanyakan perbedaan dan mampu melihat
suatu masalah dan membuka masalah tersebut menuju potensialitas yang lebih
dalam, sehingga orang menemukan hal baru yang mengembangkan dirinya.
Berpikir holistik merupakan suatu kemampuan dalam melihat
pola-pola dan hubungan-hubungan yang lebih luas, melihat hubungan-hubungan
antar hal yang bekerja secara internal, hubungan yang tumpang tindih, dan
pengaruh-pengaruh secara utuh. Orang yang berpandangan holistik berarti
seorang yang mampu melihat suatu permasalahan dari setiap sisi dan melihat
bahwa setiap persoalan memiliki setidaknya dua sisi atau lebih.
Cirri orang yang berpikir holistik adalah orang yang reflektif dan
berpikiran luas, sangat peka terhadap gerak batin dalam situasi tertentu.
Mereka selalu sadar bahwa mereka ikut bertanggung jawab dalam
keseluruhan dan selalu sadar bahwa keseluruhan itu mempengaruhi dirinya
sendiri dan orang lain.
f. Kepedulian
Kepedulian adalah satu rasa kebersamaan yang aktif dan kemauan
untuk terlibat. Kepedulian menuntut orang merasakan kesetaraan sebagai
sesama manusia dengan orang di sekitarnya, bahkan jika ada
pandangan-pandangan yang berbeda di antara mereka. Seseorang tidak lagi terkurung
24
juga dan bisa merasakan apa yang menjadi latar belakang dari pandangan
orang lain tersebut.
Buzan (2006:43) mengungkapkan bahwa salah satu ungkapan
kepedulian terhadap orang lain adalah belas kasih (compassion). Belas kasih
menjangkau orang lain melalui rasa sayang dan hormat, memiliki komitmen
kepada orang lain dan ikut bertanggung jawab dalam menolong mereka.
Orang yang memiliki kepedulian adalah orang yang mampu berempati
karena merasa bahwa ia menjadi bagian dari yang lain dan menjadi pelindung
bagi yang lain tanpa pamrih. Ia hanya digerakkan oleh motivasi yang tertinggi
yaitu kebaikan dirinya dan kebaikan orang lain.
Safaria (2005:106) mengartikan empati sebagai pemahaman seseorang
tentang orang lain berdasar sudut pandang, perspektif, kebutuhan-kebutuhan,
pengalaman-pengalaman orang yang bersangkutan. Untuk itulah sikap empati
sangat dibutuhkan di dalam proses bersosialisasi agar tercipta hubungan yang
bermakna dan saling menguntungkan.
g. Merayakan Keragaman
Ada pandangan bahwa tiap orang adalah sebuah mujizat dan
masing-masing memiliki kisah hidup yang unik. Pandangan ini mengajak setiap orang
untuk berpikir positif tentang seseorang. Situasi apapun yang dihadapi oleh
seseorang, itu merupakan kekayaan dari pengalamannya. Mengagumi dan
menghormati orang lain merupakan satu cara untuk mengakui bahwa
25
Merayakan keragaman bisa berarti mempercayai orang lain, mencintai
atau setidak-tidaknya menghargai orang lain yang berbeda dengan diri sendiri.
Menghargai pandangan-pandangan orang lain yang berbeda dan bahkan yang
bertentangan dengan pandangannya, merupakan ciri khas bagi orang yang
bisa merayakan keragaman. Orang yang demikian berarti mampu melihat
bahwa dengan adanya perbedaan menjadi sebuah peluang. Hal ini
mensyaratkan orang memiliki sikap yang bisa selalu bersyukur kepada Tuhan
atas perbedaan yang ada pada orang lain. Ia mampu melihat bahwa adanya
perbedaan akan memperkaya realitas dan peluang-peluang dirinya. Hal ini
mengandung sikap rendah hati terhadap pandangannya sendiri dan mengakui
kebaikan atau kebenaran juga ada dalam pandangan orang lain.
h. Independensi terhadap Lingkungan
Orang yang memiliki independensi terhadap lingkungan adalah orang
yang memiliki keyakinan teguh dalam diri dan sanggup menentang arus
dalam lingkungannya ketika nilai yang tengah diperjuangkannya demi
kepentingan umum dan kebaikan bersama mendapat pertentangan. Ia sanggup
mengambil jarak dari keadaan lingkungannya yang mempengaruhi
independensinya, meskipun ia akan menemui dirinya terisolasi dan tidak
popular dalam lingkungannya. Ia memiliki keteguhan dan ketabahan hati
untuk tetap melangkah di jalan yang dipilihnya.
Independensi terhadap lingkungan mensyaratkan satu kesanggupan
mengambil jarak dari paradigma pribadi, kesanggupan untuk mengetahui
26
bahkan meruntuhkannya. Independensi lingkungan berarti independen dari
keterbatasan-keterbatasan, bebas dari kecenderungan-kecenderungan negatif
yang memenjarakan diri.
Pada tingkat spiritual independensi terhadap lingkungan berarti
memiliki perspektif yang lebih luas dan independen. Ia teguh, terfokus, tabah,
berpikiran independen, kritis terhadap diri sendiri, berdedikasi dan
berkomitmen.
i. Kecenderungan Bertanya “Mengapa?”
Seseorang yang cerdas secara spiritual selalu mencari arti atau makna
dibalik setiap kejadian atau peristiwa dari pengalaman, baik yang dialami
sendiri ataupun yang dialami orang lain. Dalam proses menemukan makna,
seseorang terdorong untuk mempertanyakan kejadian atau peristiwa tertentu
yang dialaminya tersebut kepada dirinya sendiri. Jika ia belum juga
memahami, ia berusaha untuk mengerti dengan merenung, berbicara pada diri
sendiri dalam relung-relung hati terdalam.
Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah “Mengapa?”.
Pertanyaan “Mengapa” ini memotivasi seseorang secara mendalam untuk
memahami segala sesuatu sampai ke akar-akarnya atau intinya. Artinya ia
tidak menerima begitu saja suatu keadaan, pendapat, keputusan, dan aturan
yang ada. Ia akan menanyakan alasan-alasan, cara kerja dan dasar dari
keadaan, pendapat, keputusan atau aturan yang ada. Melalui permenungan
27
dalam situasi saat ini dan mendorong orang mengeksplorasi masa depan.
Dengan demikian ia dapat menjalankan berbagai aturan, keputusan, dan
pendapat yang ada dengan penuh kesadaran dan kerelaan dalam
menjalankannya.
Jika pertanyaan “Mengapa” selalu bergema dalam diri seseorang, ia
akan selalu waspada dalam menjalani hidup dan menjadi lebih peka dan awas
terhadap gerakan batin yang akan menuntunnya untuk melihat nilai dan
makna baru yang belum dilihatnya ketika ia mengalami suatu peristiwa dalam
hidupnya.
Saat orang merenungkan dan merefleksikan mengenai diri sendiri,
situasi atau peristiwa tertentu serta jujur mengakui jawabannya ia akan
melihat dan menyadari pontensialitas-potensialitas yang dimilikinya. Oleh
karena ia dapat memahami potensialitas-potensialitas itu, maka akhirnya ia
mampu mengubah potensialitas-potensialitas itu menjadi aktualitas.
j. Membingkai Ulang Pengalaman (Merekonstruksi atau Mengolah Hidup)
Membingkai ulang merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang
dalam proses pengolahan hidup yang ia jalani. Pengolahan hidup ini diawali
dengan melihat masa lalu dan menghadirkan masa sekarang sehingga dari
aktivitas itu ia mendapatkan bahan pembelajaran diri. Pertama-tama yang
harus dilakukan oleh seseorang yang ingin membingkai ulang adalah
menyadari asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan diri sendiri terhadap
28
Pada level spiritual, membingkai ulang akan membawa sesuatu yang
baru dalam cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak. Hal baru itu akan
muncul jika orang berusaha dan berani meruntuhkan batas-batas,
asumsi-asumsi dan pandangan-pandangan yang keliru atau sempit. Perlu disadari hal
tersebut akan membawanya pada zona ketidaknyamanan. Orang yang bisa
membingkai ulang akan lebih visioner, sanggup membayangkan atau bahkan
merealisasikan masa depan yang belum ada. Keterbukaan terhadap segala
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi merupakan salah satu ciri orang yang
mampu membingkai ulang seluruh pengalaman hidupnya. Ia dapat melihat
bagaimana kemungkinan itu relevan dengan pengambilan keputusan di masa
kini. Ini berarti orang bisa menempatkan satu satu masalah atau situasi ke
dalam bingkai berbeda sehingga melihatnya dengan perspektif yang baru dan
lebih luas.
Halangan paling besar dalam membingkai ulang atau merekonstruksi
suatu pengalaman, masalah atau kejadian yang dialami adalah pikiran orang
itu sendiri. Manusia sering berpikir dan terpaku pada batas-batas asumsi
sendiri tanpa melihat kebenaran yang lain atau perspektif yang berbeda
dengan perspekstif yang selama ini diyakini kebenarannya.
Kemampuan ini mensyaratkan bahwa orang mampu mengambil jarak
dari satu situasi atau masalah untuk mencari gambaran yang lebih lengkap dan
konteks yang lebih luas, misalnya dengan cara bermeditasi dan berefleksi.
Kemampuan mengambil jarak dari suatu situasi atau masalah yang dialami
29
sehingga memiliki perspektif yang baru. Ia bisa melihat posisi dirinya dalam
situasi atau masalah tersebut dan akhirnya tahu ia harus dan bisa berbuat apa
untuk keluar dari masalahnya, atau ia siap sedia menerima situasi tersebut jika
ternyata ia tak mampu mengubahnya.
k. Kerendahan Hati
Sikap rendah hati melampaui batas-batas yang dibuat oleh ego dan
perasaan seseorang. Sikap rendah hati membuat orang tidak terlalu disibukkan
dengan hal-hal yang harus dilakukan hanya sekedar untuk memperoleh
pengakuan bahwa dirinya orang penting, serba bisa dan paling hebat.
Kesombongan muncul saat orang berpikir bahwa mereka merasa tahu lebih
banyak daripada siapapun. Orang seperti ini memiliki sedikit motif untuk
mendengarkan atau belajar dari orang lain
Sikap rendah hati membuat orang sadar bahwa keberhasilan dan
kesuksesan hidupnya hanya karena anugerah Tuhan lewat peran orang lain.
Kerendahan hati mendorong orang lebih peka terhadap kebutuhan sesama dan
rela memberi ruang bagi mereka untuk menyadari bakat-bakat terbaiknya.
Sikap rendah hati juga tampak pada sifat orang yang mau bertanya untuk
memperoleh pemahaman mengenai sesuatu hal. Ia mencari saran dari orang
lain yang ia anggap lebih bijaksana dan lebih mengetahui seluk beluk tentang
hal itu. Ia mau mengakui bahwa dirinya memiliki keterbatasan yang bisa
30
benar dari dirinya. Kerendahan hati memunculkan sikap kritis terhadap diri
sendiri dan siap mengakui keterbatasan diri.
l. Rasa Keterpanggilan
Rasa keterpanggilan sangat berkaitan dengan sikap rendah hati yang
dimiliki oleh seseorang, karena orang yang rendah hati mampu bersentuhan
dengan kesadaran bahwa nilai sejati dirinya muncul dari sesuatu yang lebih
dalam daripada egonya. Ia menyadari bahwa dirinya bagian dari alam
semesta, umat manusia dan hamba Tuhan. Ketika orang mampu melampaui
egonya dan bisa melihat dirinya menjadi bagian dari orang lain, maka ia
terdorong untuk melayani sesama sebagai ungkapan syukur atas segala
kebaikan yang telah diterimanya.
Seseorang yang terpanggil digerakkan oleh kesadaran akan visi dan
tujuan hidup untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Ia merasa terpanggil untuk mengabdi kepada sesuatu
yang lebih tinggi serta mewujudkan kebaikan dan keindahan di dunia ini. Hal
ini merupakan panggilan untuk mengikuti suatu perasaan akan tujuan personal
yang dalam, sebuah kebutuhan untuk berbuat berdasarkan cita-cita dan
nilai-nilai terdalam.
Perasaan terpanggil lebih mendalam daripada semata-mata memiliki
ambisi atau tujuan. Memiliki rasa keterpanggilan berarti dikendalikan oleh
satu keinginan untuk membuat hidup berguna dan kebutuhan kuat untuk
melakukan perubahan yang lebih baik. Perasaan terpanggil ini biasanya
31
sudah menerima sangat banyak dan kini ia ingin memberi. Tindakan memberi
ini tidak dimaksudkan untuk memanipulasi orang yang menerima pemberian,
melainkan sebuah hadiah, ungkapan terima kasih yang timbul dari rasa hormat
atas anugerah hidup.
Orang yang memiliki rasa keterpanggilan biasanya penuh perhatian
dan realistis. Ia memiliki rasa damai dengan kehidupan dan memiliki rasa
yang mendalam atas seluruh aspek kehidupannya. Ia memiliki vitalitas atau
kemampuan yang dapat menginspirasi orang lain. Ia murah hati, tidak
hitung-hitung dalam berbelas kasih pada sesama, ia mempergunakan bakat-bakatnya,
karyanya, waktu dan memberi semua itu dengan penuh kerelaan. Ia memiliki
sikap keterlibatan yang mendalam sesamanya.
4. Karakteristik Individu yang memiliki Kecerdasan Spiritual yang tinggi
Menurut Zohar-Marshal (2005:135-136), seorang individu yang memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi adalah sebagai berikut :
a. Kesadaran diri yang tinggi
b. Memiliki sikap mudah dan cepat tanggap terhadap situasi atau peristiwa
tertentu dan cekatan dalam bertindak untuk mengambil tanggung jawab atas
situasi/peristiwa tersebut (spontanitas)
c. Tindakan atau perbuatannya terbimbing oleh visi dan nilai
d. Kesanggupan untuk melihat pola-pola, hubungan-hubungan, dan
keterkaitan-keterkaitan yang lebih luas (holistic)
32
f. Memiliki sikap yang mampu menghargai perbedaan (merayakan keragaman)
g. Memiliki keberanian melawan arus (independensi lingkungan)
h. Memiliki sikap batin yang reflektif (bertanya “mengapa”)
i. Mampu menghadapi realita yang terjadi sesuai dengan konteks persoalan dan
situasi yang terjadi
j. Mau belajar dari kesalahan, mampu melihat kesalahan atau kegagalan sebagai
suatu kesempatan, lentur tidak mudah patah
k. Memiliki sikap kerendahan hati
l. Mampu bersyukur dan berterimakasih atas segala situasi yang diterima dan
terdorong atau terpanggil untuk berbuat baik bagi sesama
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Spiritual.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan spiritual
yang dimiliki oleh seseorang (Zohar-Marshal, 2000:65-95). Faktor-faktor itu antara
lain:
a. Pikiran Sadar Manusia yang Dipengaruhi oleh Aktivitas getaran saraf
otak yang disebut Osilasi Saraf 40 hz (Zohar-Marshal, 2000: 68)
Otak menghasilkan dan menstrukturkan pemikiran manusia, yang
memungkinkannya memiliki perasaan, serta menjembatani kehidupan spiritual.
Kehidupan spiritual adalah kesadaran akan makna, nilai, dan konteks yang sesuai
untuk memahami pengalaman. Kesadaran manusia dipengaruhi oleh aktivitas
osilasi saraf 40 Hz. Pikiran sadar memampukan manusia menyadari keadaan diri
33
dunia. Otak menjadi jembatan antara kehidupan batin dan dunia lahiriah
(Zohar-Marshall, 2000: 35-36). Aktivitas osilasi saraf 40 Hz ini bekerja menyatukan
semua hal yang diperlukan agar otak dapat bekerja sebagai sebuah unit yang utuh,
menyatukan sistem-sistem kecakapan otak dan memadukan IQ dan EQ dengan
aktivitas SQ.
Aktivitas osilasi saraf 40 Hz. di seluruh otak memungkinkan terjadinya
pengenalan waktu dan pemahaman “isi” dalam pengalaman koginitif manusia
(Zohar-Marshall, 2000:67). Hal inilah yang memungkinkan berfungsinya pikiran
sadar dan menempatkan pengalaman dalam kerangka makna yang lebih luas.
Zohar-Marshal (2000:76) menyimpulkan bahwa osilasi saraf 40 Hz
merupakan argumen ilmu saraf tentang keberadaan SQ dengan data-data sebagai
berikut bahwa osilasi saraf 40 Hz ada di seluruh bagian otak dan sangat berkaitan
dengan keberadaan kesadaran di dalam otak. Osilasi saraf 40 Hz. ini “mengikat”
peristiwa inderawi dan kognitif individual di dalam otak dalam kerangka yang
lebih luas dan bermakna.
b. Kepekaan Manusia akan Realitas Spiritual yang dipengaruhi oleh God
Spot (Titik Tuhan)
“Titik Tuhan” (God Spot) ditemukan di dalam otak. Yang dimaksud
dengan “Titik Tuhan” adalah sekumpulan jaringan saraf yang terletak di daerah
lobus temporal. Lobus temporal merupakan bagian otak yang terdapat di balik
pelipis. Jaringan saraf ini berfungsi untuk membuat seseorang mengajukan
34
jawaban-jawaban yang fundamental atas pertanyaan tersebut (Zohar-Marshal,
2005:120-121).
“Titik Tuhan” menyebabkan seseorang bersikap idealistis dan mencari
solusi-solusi ideal atas masalah-masalah yang dihadapi. “Titik Tuhan” membuat
seseorang berhasrat pada sesuatu yang lebih tinggi, memimpikan masa depan
yang lebih baik. Bagian ini sangat aktif ketika seseorang mendapatkan
pengalaman spiritual, misalnya saat melihat keindahan alam, ia merasa bersyukur
atas anugerah keindahan itu yang kesemuanya itu menimbulkan gairah yang
berkobar dan motivasi yang tinggi dalam menjalani hidup.
Pada diri orang-orang religius, “Titik Tuhan” aktif ketika mereka merasa
sedang berhubungan dengan kebenaran-kebenaran agama mereka dan
bersentuhan dengan kehadiran Tuhan yang ada dalam jiwa manusia. “Titik
Tuhan” relatif sesuai untuk meningkatkan kualitas hidup, artinya jika aktivitas
“Titik Tuhan” terintegrasi dengan usaha-usaha manusia untuk mengaktifkannya
dan memaksimalkan potensinya maka ia akan menemukan makna hidup yang
sejati.
Untuk menghasilkan pengalaman spiritual, aktifitas “Titik Tuhan” harus
sepenuhnya diintegrasikan dengan aktifitas yang lebih luas dari otak, yaitu dengan
IQ dan EQ (Zohar-Marshal, 2005:120-121). Orang yang memiliki SQ tinggi
kemungkinan besar mempunyai aktivitas tinggi pada “Titik Tuhan”. Akan tetapi
tingginya aktivitas “Titik Tuhan”, tidak dengan sendirinya menjamin SQ tinggi,
35
motivasi dan potensi manusia, serta membawanya ke dalam dialog dengan pusat
diri (Zohar-Marshall, 200:96).
Apabila terjadi kerusakan pada otak secara serius karena proses kelahiran
maka juga akan terjadi kerusakan pada syaraf-syaraf otak. Kerusakan pada
syaraf-syaraf otak akan berpengaruh pada kerusakan hubungan-hubungan antar
syaraf dan “Titik Tuhan”. Dengan demikian kerusakan pada “Titik Tuhan” akan
menyebabkan perkembangan SQ orang terganggu. Proses kelahiran yang tidak
menyebabkan kerusakan pada otak bayi akan mempunyai pengaruh positif
terhadap SQ dan perkembangannya.
c. Keseimbangan pikiran, perasaan dan perilaku dalam hidup sehari-hari.
Menurut Zohar-Marshall (2000:148-149) kecerdasan spiritual terhambat
jika ada beberapa bentuk keterasingan dari pusat diri yang menyatukan.
Seringkali dalam kehidupan seseorang terlalu rasional, terlalu sadar diri,
cenderung pada permainan (topeng), dan sikap luar. Hal ini mengakibatkan tubuh
dan energi seseorang terpisah, tidak mengenal impian dan tujuan hidup diri
sendiri.
Sering terjadi seseorang terhanyut oleh perasaan negatif yang
mencengkeram hidupnya, misalnya rasa marah, takut, tamak dan iri. Kehidupan
menjadi tidak seimbang sehingga tidak bisa mengatasi ketidakseimbangan dalam
diri orang lain.
d. Penghayatan Ke-Tuhanan dalam Keheningan (Theis-ness)
Walsch (Zohar-Marshall, 2000:171) mengatakan bahwa Tuhan mewakili
36
melakukan kontak dengan Tuhan melalui doa ia mampu melakukan
rekontekstalisasi dan menempatkan segala hal dalam kerangka makna yang lebih
luas, pada saat itulah SQ dalam diri seseorang berfungsi.
Ketika seseorang berdoa dan “berbicara” pada Tuhan, pada saat itulah ia
sedang melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan untuk mencapai kearifan
bawaan dan mampu berhubungan dengan seluruh realitas. Kondisi semacam ini
akan menumbuhkan kesadaran dalam diri, menggali nilai-nilai dan menyadari
tujuan hidup. Saat itulah SQ orang tersebut mulai bersinar.
e. Keheningan Batin
Ketika kehidupan seseorang disibukkan oleh kegiatan-kegiatan di luar diri,
ia harus mencari waktu untuk berjumpa dengan eksistensi diri melalui keheningan
batin. Jika tidak demikian ia akan semakin jauh terbawa arus kesibukan dan
hingar bingar dunia. Situasi seperti ini akan membawa seseorang jauh dengan
dirinya dan merasa terasing dengan dirinya.
Melalui keheningan batin, ia mampu menyadari keadaan dirinya,
mempertegas nilai-nilai yang diperjuangkannya, dan menjadi lebih siap
menghadapi hambatan-hambatan dalam mencapai kepenuhan hidup yang lebih
bermakna. Melalui keheningan batin seseorang mampu bersatu dengan diri dan
penciptanya.
Keheningan batin bisa diusahakan jika seseorang mau meluangkan waktu
untuk menarik diri dari kesibukan dan berdiam diri. Dalam situasi kesendirian
dalam keheningan seseorang akan memiliki waktu untuk berbicara serta
37
kesadaran yang tinggi atas dirinya sendiri. Menurut Zohar-Marshal (2005:140)
meditasi dan rekoleksi merupakan beberapa cara untuk membangun kesadaran
diri yang tinggi. Meditasi dan rekoleksi adalah bentuk-bentuk kegiatan dalam
menjaga keheningan batin.
B. Pandangan Umum tentang Ordo Santa Ursula
1. Ordo Santa Ursula
Ordo Santa Ursula (selanjutnya disebut OSU) merupakan suatu persekutuan
wanita religius awam yang tidak menikah. OSU merupakan salah satu cabang
keluarga rohani yang didirikan oleh Santa Angela Merici pada tanggal 25 November
1435 (Kons. OSU Art. 1) di Brescia, Italia Utara.
Angela Merici mendirikan OSU dengan tujuan menolong gadis-gadis remaja
yang ingin mengabdi kepada Allah, sebagai orang yang dibaktikan tanpa terikat pada
kaul, ditengah dunia yang telah menjauh dari Allah (Kons. OSU hal. 8). Latar
belakang dari tujuan yang ingin dicapai ini adalah keadaan masyarakat Brescia yang
waktu itu dalam situasi yang memprihatinkan. Terjadinya perang antara Italia dan
Perancis menyebabkan kota Brescia yang menjadi ajang pertempuran kedua negara
ini menjadi kacau balau, banyak anak-anak dan perempuan terlantar karena
kehilangan ayah atau suami. Kemerosotan moral dan ekonomi tak bisa dihindari,
akibatnya banyak orang hidup mencari kesenangan sesaat yang bisa meringankan
beban hidup mereka saat itu. Banyak perempuan yang hidup menjadi pelacur dan
menjadi perempuan simpanan untuk bisa memenuhi dan mencukupi kebutuhan
38
Kepekaan Angela Merici terusik dengan situasi ini, ia tergerak membantu orang
yang menderita akibat perang terutama anak-anak dan para gadis. Angela mengajari
mereka berdoa dan memberi ketrampilan berbagai kerajinan tangan seperti apa yang
telah ia peroleh dari ibunya waktu ia remaja. Angela Merici menaruh perhatian besar
kepada orang lain karena cinta, penghargaannya terhadap setiap pribadi dan
keyakinannya yang kuat akan bimbingan dan kasih Allah (Mariani - Rio,
2004:19-21). Melalui tindakannya itu Angela ingin menampakkan kasih Allah dan kuasa Roh
bagi dunia. Ia mau menjadi utusan bagi sesama dan mau hidup di dunia ini (Konst.
OSU Art. 12). Banyak gadis yang tertarik untuk hidup seperti Angela dan Angela
mau menerima mereka untuk berkumpul dan berdoa menimba kekuatan untuk
membantu sesama yang menderita.
Perkumpulan Angela Merici dan para gadis yang tertarik terhadap kehidupannya
berkembang menjadi sebuah persekutuan yang besar dengan nama Persekutuan Santa
Ursula dan yang kini di kenal dengan nama Ordo Santa Ursula (OSU). Persekutuan
ini tersebar di seluruh benua dunia yaitu Amerika, Australia, Afrika, Asia, dan Eropa.
Pada tanggal 7 Februari 1856 OSU datang di Indonesia dan bergerak pada bidang
pendidikan sampai sekarang.
Angela Merici memberi teladan bagi para pengikutnya untuk berusaha memiliki
cinta kasih ganda dan tunggal yang saling menjiwai dalam pemberian diri yang utuh
untuk mengabdi kepada Allah serta bagi keselamatan seluruh dunia dengan
mengarahkan segalanya demi kemuliaan Allah dan kebahagiaan jiwa-jiwa (Prakata
39
2. Spiritualitas Ordo Santa Ursula
Kekhasan spiritualitas OSU didasari oleh sifat-sifat Angela Merici yaitu
cintanya kepada Kristus dan kepekaannya terhadap Roh Kudus. Pengertiannya yang
mendalam tentang Alkitab dan doa menumbuhkan sikap rela berkorban, mau
mengabdi, dan memberi perhatian kepada martabat manusia. Kerendahan hati,
kebijaksanaan dan imannya yang teguh membuahkan kepribadian yang kuat.
Pandangannya yang tajam, realistis, kreatif, dinamis dan optimisme yang
berkobar-kobar terlihat dalam keberaniannya mengambil resiko dan kemampuannya untuk
memimpin persekutuan OSU ( Sasmita, 1976: 13-32).
Spiritualitas Angela Merici memiliki dua unsur pokok yaitu kontemplasi dan
aksi (Konst. OSU. Art. 1-8)
a. Kontemplasi.
Kontemplasi adalah salah satu metode untuk menjalin relasi yang intim
dengan Tuhan. Melalui kontemplasi para suster OSU berusaha untuk semakin
mengenal, mencintai dan mengikuti Yesus dalam salib dan kebangkitannya.
Mengenai relasi intim dengan Tuhan ini Santa Angela berbicara tentang Yesus
sebagai kekasih (Nasihat terakhir St. Angela Art. 23). Pengikut Angela hendaknya
selalu menyadari bahwa satu-satunya perlindungan mereka adalah di kaki Yesus,
Yesus adalah satu-satunya harta (Nasihat ke V St. Angela Art. 43). Relasi
istimewa antara para suster dan Yesus akan membuahkan doa yang hidup dan
mantap. Santa Angela (Regula St. Angela Merici bab V Art. 5) berbicara