• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

4.2.2 Stabilisasi Membran Sel Darah Merah

Pada penelitian ini sel darah merah yang digunakan adalah sel darah merah yang diisolasi dari darah yang diperoleh dari PMI (Palang Merah Indonesia). Darah yang digunakan juga bisa diambil secara langsung dari volunter, tetapi dalam hal ini metode tersebut kurang efektif, misalnya jika diambil langsung dari volunter darah harus segera ditambahkan anti koagulan agar darah tidak menggumpal pada saat penyimpanan. Apabila anti koagulan yang digunakan tidak sebanding dengan darahnya, misal anti koagulan (Na2EDTA) yang digunakan berlebih maka akan menyebabkan

terjadinya kerusakan pada sel darah merah. Sel darah merah akan mengalami krenasi atau pengkerutan akibat anti koagulan yang bersifat hiperosmolar (Wirawan, 2004). Cara ini juga tidak efisien artinya pada setiap akan dilakukan uji darah harus diambil terlebih dahulu dari volunter, sedangkan uji yang dilakukan lebih dari satu kali, oleh karena itu pada penelitian ini darah yang digunakan adalah darah yang berasal dari PMI yang sudah mengandung anti koagulan. Pada penelitian ini anti koagulan secara spesifik tidak mepengaruhi uji karena cara kerja anti koagulan adalah dengan cara mengikat kalsium dan menghambat agregasi trombosit dengan cara menghambat pembentukan trombin yang diperlukan untuk mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin dalam proses pembekuan (Riswanto, 2010), sehingga tidak mempengaruhi sel darah merah.

Metode stabilisasi membran sel darah merah adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas anti inflamasi secara in vitro. Metode ini dapat digunakan karena membran sel darah merah tersebut analog dengan membran lisosom dan stabilisasi membran sel darah merah tersebut dapat menyiratkan bahwa terjadi juga stabilisasi pada membran lisosom. Stabilisasi membran lisosom penting dalam membatasi respon inflamasi dengan mencegah pelepasan kandungan lisosom dari aktivasi neutrofil seperti enzim protease yang menyebabkan peradangan pada jaringan dan cairan ekstraseluler. Beberapa NSAID diketahui memiliki sifat stabilisasi membran yang dapat berkontribusi pada potensi efek anti inflamasi (Kumar et al., 2012). Persentase stabilisasi atau

bisa juga disebut stabilitas adalah ukuran untuk melihat kemampuan suatu sampel untuk menstabilkan membran sel darah merah yang didapatkan dari perbandingan serapan antara absorbansi larutan uji dengan absorbansi kontrol negatif (Oyedapo et al., 2010).

Mekanisme stabilisasi membran sel darah merah dapat dilihat ketika diberikan stres hipotonik dan stres oksidatif, salah satu penyebab stres oksidatif adalah induksi panas (Hillman et al.,2011). Suhu yang digunakan untuk inkubasi atau induksi panas pada penelitian ini adalah 560C, karena pada suhu tersebut diharapkan dapat terjadi lisis yang optimal. Optimasi yang telah dilakukan sebelumnya yaitu menggunakan suhu 370C untuk inkubasinya menghasilkan data absorbansi pada spektrofotometer UV-Vis yang kurang baik, dalam hal ini data absorbansi yang didapat pada larutan uji rata-rata mirip dengan larutan kontrol larutan uji serta data tidak terdistribusi secara homogen (lampiran 6). Diasumsikan bahwa dengan didapatkannya data absorbansi tersebut maka induksi dengan menggunakan larutan hipotonik dan suhu inkubasi pada 370C masih belum optimal, oleh karena itu dioptimasi dengan menggunakan suhu inkubasi yaitu 560C sebagai induksi panas.

Stres oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas atau senyawa pengoksidasi di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya (Kumar, 2011). ROS (reactive oxygen species) adalah senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan kelompok nonradikal. Kelompok radikal bebas antara lain superoxide anion, hydroxyl radicals, dan peroxyl radicals sedangkan nonradikal misalnya hydrogen peroxide (H2O2), dan

organic peroxides (ROOH) (Halliwell and Whiteman, 2004). ROS menyebabkan terganggunya keseimbangan antara aktivitas oksidasi dan anti oksidan yang menyebabkan peroksidasi lemak, kerusakan oksidatif dari protein dan DNA dan molekul biologis (Mujahid et al., 2006). Selama induksi panas glutathione peroksidase (anti oksidan enzimatik) meningkat secara signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa induksi panas menyebabkan stres oksidatif (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal

bebas dan senyawa oksigen reaktif yang diproduksi dalam jumlah yang normal, penting untuk fungsi biologis, seperti sel darah putih yang menghasilkan H2O2 untuk membunuh beberapa jenis bakteri dan jamur serta pengaturan pertumbuhan sel, namun ia tidak menyerang sasaran spesifik, sehingga ia juga akan menyerang asam lemak tidak jenuh ganda dari membran sel, organel sel, atau DNA, sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi sel (Winarsi, 2007). Berdasarkan penelitian ini lisis dari sel darah merah dapat dijadikan ukuran untuk melihat aktivitas anti inflamasi dilihat dari besar atau kecilnya lisis yang terjadi akibat induksi panas dan larutan hipotonik.

Kestabilan membran sel darah merah dapat dilihat dari besar kecilnya nilai absorbansi pada larutan uji, karena pada larutan uji terdapat hemoglobin akibat dari lisisnya sel darah merah. Nilai absorbansi yang kecil menandakan lisis yang terjadi juga sedikit, sebaliknya jika nilai absorbansinya besar maka lisis yang terjadi juga banyak. Absorbansi dari larutan uji dapat dilihat menggunakan alat spektrofotometer Uv-Vis dengan panjang gelombang 560 nm, karena pada panjang gelombang tersebut dapat terukur nilai absorbansi hemoglobin yang terdapat pada larutan uji. Berdasarkan prinsip tersebut aktivitas anti inflamasi dari ekstrak buah parijoto dapat dilihat dari penurunan nilai absorbansi pada campuran larutan uji dan dibandingkan dengan nilai absorbansi kontrol positif. Aktivitas anti inflamasi ekstrak dapat dikatakan bagus apabila nilai absorbansinya mendekati atau sama dengan kontrol positif, dan akan lebih baik jika nilai absorbansi ekstrak lebih kecil daripada kontrol positif. Aktivitas anti inflamasi ekstrak tidak dilihat dari nilai absorbansinya saja, perlu dilakukan perhitungan persentase penghambatan lisis sel darah merah dengan menggunakan rumus persentase stabilitas. Nilai persentase stabilitas ekstrak yang mendekati atau melebihi kontrol positif dapat dikatakan bagus karena memiliki aktivitas anti inflamasi yang sama atau lebih daripada kontrol positif.

Natrium diklofenak digunakan sebagai kontrol positif karena merupakan obat antiinflamasi non steroid yang memiliki aktivitas anti

inflamasi yang besar karena dapat mencegah pelepasan (bukan sintesis) mediator anti inflamasi (Gilman et al., 1985 dalam Lutfiana, 2013). Natrium dikofenak juga dipilih kerena merupakan obat anti inflamasi non steroid yang banyak digunakan dan mudah didapatkan. Konsentrasi natrium diklofenak yang digunakan adalah 100 ppm, karena berdasarkan penelitian Mittal et al., 2013 pada konsentrasi tersebut natrium diklofenak dapat menghambat lisis sel darah merah sebesar 57%. Penelitian lain juga dilakukan oleh Leelaprakash dan Mohan 2010 serta Prakatindih 2014, pada konsentrasi 100 ppm natrium diklofenak juga menghambat lisis sel darah merah berturut-turut sebesar 51% dan 55,58%.

Hasil pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan persentase stabilitas ekstrak pada konsentrasi 50 ppm sebesar 10,63%, konsentrasi 100 ppm sebesar 18,32%, konsentrasi 500 ppm sebesar 33,08%, dan konsentrasi 1000 ppm sebesar 60,78%. Dilihat dari hasil persentase stabilitasnya dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak meningkat pula potensi ekstrak dalam menstabilkan membran sel darah merah, artinya potensi anti inflamasinya juga semakin meningkat. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya kadar atau konsentrasi suatu ekstrak maka meningkat pula aktivitasnya sebagai obat. Ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm memiliki persentase stabilitas yang tinggi, hal ini sebanding dengan persentase stabilitas dari natrium diklofenak yaitu sebesar 59,87%. Ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm memiliki potensi sebagai anti inflamasi karena nilai persentase stabilitasnya tidak berbeda secara bermakna atau identik dengan kontrol positif yaitu natrium diklofenak. Hal tersebut ditunjang dengan analisa statistik dimana ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm memiliki nilai signifikansi yang lebih dari 0,05 dibandingkan dengan ekstrak dengan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, dan 500 ppm tetapi sebanding dengan nilai signifikansi natrium diklofenak sebagai kontrol positif. Dilihat dari segi efisiensi, natrium diklofenak dengan konsentrasi 100 ppm mampu menghambat lisis sel darah merah sebesar 59,87%, sedangkan pada ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm

hanya mampu menghambat lisis sel darah merah sebesar 18,32%. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm belum mampu menghambat lisis sel darah merah dengan baik jika dibandingkan dengan natrium diklofenak, namun ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm dapat menghambat lisis sel darah merah sebanding dengan natrium diklofenak.

Kerusakan pada membran lisosomal biasanya memicu pelepasan fosfolipase A2 yang menyebabkan hidrolisis fosfolipid untuk memproduksi mediator inflamasi. Stabilisasi membran pada sel darah merah ini dapat menghambat lisis dan pelepasan isi dari sitoplasma yang dalam hal ini dianalogkan dengan lisosom yang dapat membatasi kerusakan jaringan dan eksaserbasi dari respon inflamasi. Oleh karena itu, diharapkan senyawa dengan aktivitas penstabil membran dapat memberikan perlindungan secara signifikan pada membran lisosom dalam membatasi pelepasan zat–zat penyebab luka (Karunanithi, 2012). Senyawa dengan sifat menstabilkan sel darah merah atau menstabilkan lisosom dikenal karena kemampuannya untuk mengganggu proses awal fase reaksi inflamasi, yaitu pelepasan enzim fosfolipase A2. Fosfolipase A2 berfungsi merubah fosfolipid dalam membran sel menjadi asam arakidonat, yang sangat reaktif dan cepat dimetabolisme oleh siklooksigenase (sintesis prostaglandin). Prostaglandin merupakan komponen utama yang menyebabkan nyeri dan peradangan (Kumar et al., 2012)

Diketahui bahwa buah parijoto mengandung metabolit sekunder berupa saponin, glikosida, flavonoid dan tanin serta memiliki aktivitas sebagai anti oksidan (Wachidah, 2013). Efek anti inflamasi telah diamati pada flavonoid serta tanin. Flavonoid seperti quersetin diketahui efektif dalam mengurangi peradangan akut. Flavonoid tertentu memiliki aktivitas penghambatan yang kuat terhadap berbagai enzim seperti protein kinase c, protein tirosin kinase, fosfolipase A2, fosfodiesterase dan lain-lain. Efek anti inflamasi dari ekstrak mungkin karena adanya kandungan metabolit sekunder seperti flavonoid, tanin, dan lain-lain baik secara tunggal ataupun dalam kombinasi (Kumar et al., 2012).

Aktivitas anti inflamasi erat hubungannya dengan aktivitas anti oksidan. Stres oksidatif dapat mempengaruhi kestabilan membran sel darah merah yang dianalogikan dengan membran lisosom dapat dicegah dengan adanya anti oksidan. Sel darah merah yang diberi induksi panas dan stres hipotonik akan menyebabkan stres oksidatif yang dapat mengganggu kestabilan biomembrannya dan dapat menyebabkan oksidasi lipid dan protein sehingga memicu kerusakan membran yang ditandai dengan hemolisis (Kumar, 2011 dalam Prakatindih, 2014). Diduga kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak tersebut dapat menstabilkan membran sel darah merah karena aktivitasnya sebagai anti oksidan (Awe et al., 2009).

Metabolit sekunder yang diduga memiliki peranan penting dalam menstabilkan sel darah merah adalah flavonoid, saponin dan tanin. Berdasarkan penelitian Oyedapo et al., 2012 dilaporkan bahwa saponin dan flavonoid dapat menstabilkan membran lisosom baik secara in vivo

maupun in vitro, sedangkan tanin dan saponin diketahui memiliki kemampuan untuk mengikat kation, sehingga menstabilkan membran eritrosit dan makromolekul biologi lainnya (Oyedapo et al., 2012).

Dokumen terkait