• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standar Analisa Belanja (SAB)

Dalam dokumen PELUANG DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI ANGGA (Halaman 35-41)

Analisa standar belanja merupakan instrument yang harus ada untuk

penyusunan rencana kegiatan anggaran SKPD (RKA-SKPD) selain Standar Satuan Harga (SSH), SPM (standar pelayanan minimal). Standar Analisa Belanja atau SAB sebagai salah satu instrumen anggaran berbasis kinerja ini telah diamanatkan sejak tahun 2000 dalam Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan

dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Dalam PP tersebut istilah yang digunakan adalah Standar Analisis Belanja (SAB). SAB atau Standar Analisis Belanja adalah salah satu instrumen anggaran kinerja untuk menilai kewajaran besaran anggaran suatu kegiatan dengan beban kerjanya.

Penerapan SAB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara lain: (1) Dapat menentukan kewajaran belanja untuk melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan tupoksinya; (2) Meminimalisir terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inefisiensi anggaran; (3) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan Keuangan Daerah; (4) Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas; dan (5) Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri. Dasar hukum penyusunan SAB yaitu:

1. UU 32 Tahun 2004 Pasal 167 ayat 3 “Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempertimbangkan Standar Analisa Belanja, standar harga, tolok ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

2. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 39 ayat 2 “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indicator kinerja, Standar Analisa Belanja, standar satuan harga dan standar pelayanan minimal” Pada pasal 41 ayat (3) “Pembahasan oleh tim anggaran pemerintah daerah sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA, PPAS, perkiraan

maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indicator kinerja, Standar Analisa Belanja, standar satan harga dan standar pelayanan minimal”

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengeolaan Keuangan Daerah Pasal 89 ayat (2) dan Pasal 100 ayat (2)

Sampai dengan saat ini pedoman untuk penyusunan SAB dari pemerintah belum ada, sehingga Pemerintah Kabupaten mulai tahun 2008 mencoba untuk menyusun Rancangan SAB tersebut akan disampaikan ke Bupati selaku Pemegang

Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan TPAD untuk mendapat persetujuan, setelah itu baru disosialisasikan ke SKPD.

Dasar hukum telah mensyaratkan perlunya SAB oleh Pemerintah Daerah dalam menyusun APBD. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan bentuk perwujudan SABsecara riil yang diperkenalkan oleh peraturan-peraturan tersebut kepada

Pemerintah Daerah. Akibat dari tidak adanya wujud SAB secara riil tersebut maka timbullah berbagai macam masalah dalam penyusunan APBD. Berikut ini

akandisampaikan masalah-masalah klasik dalam penyusunan APBD:

a. Penentuan anggaran secara incremental

Anggaran bersifat incremental : yaitu anggaran yang hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang telah ada sebelumnya dengan menggunakan data dua tahun sebelumnya sebagai dasar dan tidak ada

kajian yang mendalam terhadap data tersebut. Contoh: Tahun 2006 Badan Kepegawaian Daerah melaksanakan Kegiatan Pengadaan CPNSD sebesar Rp. 150 juta rupiah dan di tahun 2007 melaksanakan Kegiatan Pengadaan CPNSD juga. Diperkirakan pada tahun 2007 diprediksikan terjadi kenaikan hanya sebesar 8 %, maka besarnya anggaran kegiatan tersebut pada tahun 2007 adalah sebesar 150 juta x 108% = 162 juta, sedangkan rincian belanjanya adalah sama seperti tahun lalu

b. Penentuan anggaran dipengaruhi oleh ‘NAMA’ Kegiatan. Seringkali besarnya anggaran dipengaruhi oleh nama. Ketika sebuah kegiatan menggunakan istilah ‘kebarat-baratan’ maka biasanya akan mendapatkan alokasi anggaran yang lebih besar dibandingkan kegiatan yang sejenis dengan menggunakan nama lokal.

Berdasarkan masalah klasik tersebut, maka masalah-masalah yang muncul ketika SAB tidak digunakan dalam penganggaran keuangan daerah adalah:

• Plafon anggaran kegiatan pada PPAS ditetapkan menggunakan “intuisi”.

• Sulit menilai kewajaran beban kerja dan biaya suatu kegiatan.

• Penyusunan dan penentuan anggaran menjadi subjektif.

• Dua atau lebih kegiatan yang sama mendapat alokasi yang berbeda.

• Tidak memiliki argumen yang kuat jika “dituduh” melakukan pemborosan.

Anggaran daerah dalam konteks otonomi dan desentralisasi menduduki posisiyang sangat penting. Namun, saat ini kualitas perencanaan Anggaran Daerah yang digunakan masih relatif lemah. Proses perencanaan nggaran daerah dengan paradigma lama cenderung lebih dominan. Lemahnya perencanaan anggaran juga diikuti dengan ketidakmampuan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan penerimaan Daerah secara berkesinambungan, sementara dipihak lain pengeluaran terus

meningkat secara dinamis, tetapi tidak disertai dengan penentuan skala prioritas dan besarnya plafon anggaran. Keadaan tersebut pada akhirnya memunculkan

kemungkinan underfinancing atau overfinancing, yang semuanya mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja Pemerintah Daerah.

Untuk menghindari permasalahan yang timbul di atas dan agar pengeluaran anggaran daerah berdasarkan pada kewajaran ekonomi, efisien, dan efektif, maka anggaran daerah harus disusun berdasarkan kinerja yang akan dicapai oleh daerah. Dengan menggunakan anggaran kinerja tersebut, maka anggaran daerah akan lebih transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu instrumen yang diperlukan untuk menyusun anggaran daerah dengan pendekatan kinerja adalah SAB. Tujuan penyusunan pedoman teknis penyusunan SAB adalah untuk menjembatani kesenjangan antara praktek yang berlangsung dengan kondisi ideal yang diamanatkan oleh regulasi. Diharapkan pedoman teknis ini dapat ‘membumikan’ SAB sehingga dapat diwujudkan dan dilaksanakan secara riil oleh Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.

Tujuan Standar Analisa Belanja antara lain:

 Meningkatkan kemampuan unit kerja dalam menyusun anggaran berdasarkan skala prioritas anggaran daerah, tugas pokok dan fungsi, tujuan, sasaran, serta indikator kerja pada setiap program dan kegiatan yang direncanakan.

 Mencegah terjadinya duplikasi atau tumpang tindih kegiatan dan anggaran belanjanya pada tiap-tiap unit dan antarunit kerja.

 Menjamin kesesuaian antara kegiatan dan anggaran dengan arah, kebijakan, strategi, dan prioritas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan public; mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi dan noninvestasi.  Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan keuangan daerah.

Manfaat yang dapat diperoleh dari Pemerintah Daerah ketika menggunakan Standar Analisa Belanja adalah sebagai berikut:

a. Penetapan plafon anggaran pada saat Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) menjadi obyektif tidak lagi berdasarkan “intuisi”.

b. Dapat menentukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan.

c. Meminimalisir terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inefisiensi anggaran.

d. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas.

f. Memiliki argumen yang kuat jika “dituduh” melakukan pemborosan.

g. Penyusunan anggaran menjadi lebih tepat waktu.

Dalam dokumen PELUANG DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI ANGGA (Halaman 35-41)

Dokumen terkait