• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standar proses menurut Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses

pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester (Depdiknas, 2007: 5).

Gambar 3. Hasil belajar melahirkan siswa yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan dan pengetahuan

26

Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses

pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

1. Perencanaan proses pembelajaran

Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

2. Pelaksanaan proses pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.

a. Kegiatan pendahuluan

Dalam kegiatan pendahuluan seharusnya guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari serta menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; b. Kegiatan inti

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif,

27

menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan

perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan

karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

c. Kegiatan penutup

Dalam kegiatan penutup, seharusnya guru bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan

pelajaran, melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram,

memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, serta menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan

berikutnya. G.Karakteristik Siswa SD

Dalam kaitannya dengan pendidikan usia SD, guru perlu mengetahui benar sifat-sifat serta karakteristik siswa agar dapat memberikan pembinaan dengan baik dan tepat sehingga dapat meningkatkan potensi kecerdasan dan

kemampuan siswanya sesuai dengan kebutuhan anak. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, guru harus mengenal betul perkembangan fisik dan mental serta intelektual siswanya. Perkembangan fisik dan intelektual anak usia 6-12 tahun nampaknya cenderung lamban. Pertumbuhan fisik anak menurun terus

28

kecuali pada ahir periode tersebut, sedangkan kecakapan motorik terus membaik. Perubahan terlihat kurang menonjol jika dibandingkan dengan usia permulaan. Akan tetapi perkembangan pada usia ini masih sangat signifikan. Perkembangan intelektual sangat substansial, kerena sifat egosentrik, anak menjadi lebih bersifat logis (Sumantri dan Syaodih, 2001: 38).

Menurut Piaget, pemahaman terhadap aspek kuatitatif materi, pemahaman terhadap penambahan golongan benda, dan pemahaman terhadap

pelipatgandaan golongan benda merupakan ciri khas perkembangan kognitif anak berusia 7-11 tahun. Perolehan pemahaman tersebut diiringi dengan banyak berkurangnya egosentris anak. Artinya, anak sudah mulai memiliki kemampuan mengkoordinasikan pandangan-pandangan orang lain dengan pandangannya sendiri, dan memiliki persepsi persepsi positif bahwa

pandanganya hanyalah salah satu dari sekian banyak pandangan orang. Jadi pada dasarnya perkembangan kognitif anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun demikian, masih ada ketebatasan-keterbatasan kapasitas anak dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Anak-anak dalam rentang usia 7-11 tahun baru mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa konkret. Inilah yang menjadi alasan mengapa perkembangan kognitif anak yang berusia 7-11 tahun terrsebut dinamakan tahap konkret operasional (Syah, 2007: 32). Sedangkan menurut Kohlberg, anak usia 4-10 tahun merrupakan anak yang masih dibawah pengawasan orang tua dan lain-lain, tunduk pada peraturan

29

untuk mendapatkana hadiah atau menghindari hukuman, yang disebut dengan masa Pra-conventional morality (Sumantri dan Syaodih, 2001: 38).

Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Jiwa Anak dan Masa Muda, Sis Heyster (dalam Soejanto, 2005: 55) membagi 9 tahun masa kanak-kanak menjadi stadium sebagai berikut:

1. Stadium I (realism fantastic) usia 4-8 tahun

Pada masa ini anak-anak memenuhi kebutuhan jiwanya dengan mempergunakan permainan dan fantasinya. Pada masa ini anak sering menceritakan sesuatu hasil fantasinya sebagai suatu kenyataan, sekalipun sebenarnya ia tidak bermaksud membohongi, melainkan karena ia belum teliti membedakan antara kenyataan dan hasil fantasinya. Sekalipun belum sepenuhnya anak berada dalam dunia realisme, namun mereka

berkecenderungan untuk masuh ke arah itu dan ini memungkinkan ia untuk dibentuk, dengan pengajaran yang masih menyerupai pengajaran di Taman Kanak-Kanak, dengan memperluas ragam dan isinya.

2. Stadium II (realism naïf) usia 8-10 tahun

Pada masa stadium realism naïf fantasi anak mensintesis. Artinya fantasi yang selama ini mengacaukan dan menyatupadukan hasil-hasil khayal dan kenyataan kini berganti dengan analisis obyektif. Dunia kenyataannya mulai meluas dan fantasinya mulai menyempit baik mengenai ruang maupun waktu. Benda-benda di sekitar dengan sangkut pautnya makin lama makin menarik perhatiannya. Pada masa ini mereka berada dalam keadaan serba ingin tahu, mereka selalu aktif. Anak pada masa ini adalah anak yang teliti,

30

senang menyelidiki dan memproduksi tanggapannya dengan baik terhadap sesuatu yang telah diamati.

3. Stadium III (realism refleksif) usia 10-12 tahun

Sikap anak terhadap dunia kenyataan bertambah intelektualis artinya ia mulai berpikir terhadap realita. Ia mulai mereaksi secara kritis terhadap realita. Pada saat ini anak-anak lebih senang berada di alam bebas daripada di sebuah gedung yang dibatasi pagar-pagar.

Pada siswa kelas III SD tergolong dalam stadium II yaitu, pada usia 8-10 tahun. Ciri stadium ini adalah keserasian bersekolah yang lebih besar. Ia lebih mudah dan lebih giat mengikuti pelajaran. Anak pada usia ini sangat

bersemangat. Dengan sendirinya ia mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang membutuhkan akalnya. Pengetahuannya tentang bermacam hal bertambah pesat, tetapi pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu pada sekitar umur 8-10 tahun masih sempit, dangkal dan bersifat naif, karena pada masa ini, mereka berada dalam keadaan serba ingin tahu, maka mereka selalu aktif dan mereka ini adalah murid-murid yang menyenangkan. Ia adalah anak yang teliti, senang menyelidiki dan memproduksi tanggapannya dengan baik terhadap sesuatu yang telah diamati karena rasa ingin tahu anak pada usia ini sangat besar. Inilah sebabnya mengapa pada peristiwa peristiwa yang penting (tubrukan, pembangunan/perombakan rumah, kecelakaan dan sebagainya), banyak sekali anak-anak sekitar usia 8-10 tahun tersebut mengerumuninya. Juga inilah sebabnya mengapa anak sekitar usia itu sering terlambat sampai disekolah ataupun rumah (Saputra, 2010: 25)

31

Menurut Havighurst (dalam Soemanto, 1998: 25), karakteristik yang dimiliki anak usia SD meliputi:

1. Senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru SD untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih-lebih bagi siswa kelas rendah.

2. Senang bergerak. Orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak.

3. Dengan bekerja dalam kelompok. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok.

4. Senang merasakan atau melakukan/meragakan secara langsung. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang

20

III. METODE PENELITIAN

Dokumen terkait