• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN

2 Staphylococcus aureus

Menurut Rosenbach (1884), Staphylococcus aureus (Gambar 2) diklasifikasikan kedalam : Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Cocci Ordo : Bacillales Famili : Staphylococcaceae Genus :Staphylococcus

Spesies: : Staphylococcus aureus

Gambar 2. Staphylococcus aureus. (Wikipedia 2007)

Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani staphyle yang berarti bergugus-gugus dan coccos berarti biji/butir halus. Staphylococcus merupakan bakteri gram positif, di bawah mikroskop mereka nampak seperti putaran ( cocci), dan terlihat seperti seikat buah anggur, Pada umumnya bakteri ini tidak berbahaya, dan merupakan mikroflora normal di selaput lendir dan kulit manusia dan organisme yang lain. Staphylococcus adalah suatu komponen yang kecil dari mikroflora tanah (Wikipedia 2007)

Patogenitas Staphylococcus aureus

Wibawan et al. 1993 menyatakan bahwa protein pemukaan bertanggung jawab atas sifat adhesif Staphylococcus. Antigen permukaan pada Staphylococcus aureus seperti polisakarida, dinding sel, produk seluler dan protein permukaan

merupakan faktor virulensi yang beperan dalam patogenesis infeksi kuman pada inang (Carlton dan Charles 1993, Thakker et al. 1998). Bakteri S. aureus memiliki sejumlah determinan virulensi yaitu dinding sel, kapsul polisakarida, protein permukaan, sejumlah enzim ekstraseluler, dan eksotoksin seperti toksin α, , δ, dan , leukosidin, enterotoksin serta enzim ekstraseluler seperti koagulase dan protease (Patel et al. 1987, Cifrian et al. 1996, Nilsson et al.1999). Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit yang beragam pada manusia dan hewan lain, melalui invasi atau produksi toksin. Toksin Staphylococcus biasanya menyebabkan keracunan pada makanan. Bakteri ini berkembang pada makanan yang disimpan. Walaupun proses memasak dapat membunuh bakteri ini, enterotoksin yang dihasilkan adalah senyawa yang tahan panas dan dapat bertahan pada air mendidih untuk beberapa menit (wikipedia 2007).

Staphylococcus dapat berkembang pada makanan dengan aktifitas air yang relatif rendah ( seperti sosis dan keju) (wikipedia 2007). Salah satu spesies Staphylococcus yang patogen adalah Staphylococcus aureus, bakteri ini dapat menginfeksi luka. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan lesi supuratif, mastitis, arthritis dan botriomikosis pada kambing. Pada kuda, bakteri ini menimbulkan pyoderma, infeksi traktus urinaria, dan diskospondilitis. Pada anjing bakteri ini menyebabkan bumblefoot, lesi kulit serta arthritis pada ayam (Carlton dan Charles, 1993). Bakteri ini dapat bertahan di permukaan yang kering, meningkatkan kesempatan untuk transmisi. Setiap infeksi S. aureus dapat menyebabkan sindrom kulit bersisik, reaksi kulit terhadap toksin diserap kedalam aliran darah. Ini juga dapat menyebabkan satu tipe dari septicemia yang disebut pyemia (wikipedia 2007). Menzies dan Kourteva (1998) menyatakan bakteri ini juga menyebabkan endokarditis akut yang ada hubungannya dengan perusakan valvular fulminant dan infeksi metastasis.

Pada manusia sehat bakteri ini secara normal terdapat dalam hidung dan kulit dengan proporsi yang berbeda. Staphylococcus aureus merupakan bakteri oportunistik patogen yang dapat menginfeksi jaringan bila terjadi kerusakan kulit atau membran mukosa dan penurunan daya tahan tubuh (Cruickshank et al., 1973). Selain itu bakteri ini dapat menyebabkan berbagai infeksi diantaranya

endokarditis, osteomielitis, wound sepsis, abses kulit, septikemia dan arthritis (Patel et al., 1987; Mohamed et al., 1999; Nilson et al., 1999).

Staphylococcus dapat menimbulkan berbagai bentuk penyakit pada ayam, yakni artritis dan tenosinovitis, dermatitis ganggrenosa, bumble foot, spondilitis dan osteomielitis, bursitis sternalis, blefaritis, dan garnuloma pada hati, limpa, dan paru (Tabbu 2000).

2.3 Antibodi

Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara limfosit B peka antigen dan antigen khusus (Tizard 1988). Imunitas dibedakan menjadi dua bentuk yaitu imunitas non spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas non spesifik yang disebut juga imunitas bawaan dimiliki oleh hewan sejak lahir atau sebelum terpapar oleh suatu penyakit. Sedangkan imunitas spesifik dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu imunitas aktif dan imunitas pasif. Pada imunitas pasif antibodi tersedia dengan cepat tetapi memiliki masa hidup yang singkat dalam melawan penyakit. Anak mendapatkan imunitas pasif dari induknya dalam bentuk kolostrum (IgA) pada hewan mamalia atau dari kuning telur (IgY) pada reptil dan unggas. Antibodi ini berasal dari paparan mikroorganisme melalui vaksinasi maupun paparan alami. Antibodi ini akan diturunkan melalui kuning telur dengan titer yang berbeda tergantung dari tingkat paparannya.

Imunitas aktif didapatkan melalui imunisasi, tubuh aktif membentuk kekebalan dan bertahan lama dalam tubuh. Vaksin mengandung organisme yang telah mati atau dilemahkan. Vaksin akan merangsang sistem imun untuk membuat antibodi terhadap mikroorganisme tersebut dan selama proses terjadi, sistem imun membentuk sel memori terhadap paparan dari mikroorganisme. Antibodi akan terbentuk lebih banyak apabila ada paparan ulangan (Coleman 1996).

2.4 Sistem Kekebalan Unggas

Sistem kekebalan pada ayam terdiri dari bursa fabrisius, sumsum tulang, limfa, timus, glandula Harderian, limfonodus, sirkulasi limfosit dan jaringan limfoid di traktus alimentarius. Sel pembentuk antibodi (sel B) diproduksi oleh bursa fabricius, sedangkan sumsum tulang adalah sumber dari bursa dan timus

dari sel tali pusat. Limfa merupakan pusat proliferasi plasma sel dan sel B memori. unggas tanpa limpa akan mengalami penurunan produksi antibodi. Timus adalah pusat maturasi sel tali pusat yang berdiferensiasi menjadi limfosit T. Aktivitas limfosit T pada unggas sama dengan aktivitas limfosit T pada mamalia (Larsson 1998).

Mekanisme pembentukan antibodi pada ayam berbeda dengan mamalia sejak masa embrional yang dipengaruhi terutama oleh hiperkonversi somatik. Penyusunan kembali akan mempengaruhi rantai berat maupun rantai ringan pada lokus yang mengandung satu fungsi dari gen variabel (V). Hiperkonversi gen dimulai sekitar hari ke 15 sampai 17 masa inkubasi setelah sel B imature berpindah ke bursa fabricius. Selama proses ini berlangsung balok DNA ditransfer dari pseudo-variabel gen ke region variabel rekombinan dari gen imunoglobulin, untuk memproduksi sel B mature yang memiliki kemampuan membentuk sistem imun humoral (Larsson 1998).

2.5 Kandungan Zat pada Kuning Telur

Komponen utama kuning telur adalah protein dan lipid yang mempengaruhi sifat biokimia dan fungsi kuning telur. Kuning telur adalah sumber lemak yang mudah terdispersi dalam air, yang akan mengemulsi substansi lain. Sifat ini karena kandungan fosfolipid yang tinggi dan semua lemak (termasuk trigliserida) kuning telur selalu berdampingan dengan dua protein yaitu vitellin dan vitelenin.

Kuning telur terdiri dari campuran lipid, lipoprotein, dan protein yang terlarut dalam air diantaranya α, β dan γ livetin (Ig Y). Komponen kuning telur terdiri dari tiga fraksi yang dipisahkan melalui sentrifugasi yaitu : Fraksi Pertama adalah LDL (Low Density Lipoprotein) atau (lipovitellenin) mengandung 90% lemak yang sebagian besar adalah trigliserida. Fraksi ini merupakan penyusun 2 sampai 3 bagian berat kering dari kuning telur. Kedua Fraksi HDL (High Density Lipoprotein). Merupakan penyusun 23% total berat kering kuning telur. Kandungan phosvitin sama dengan lipovitellin (lipoprotein). HDL terdiri atas 18% lemak yaitu trigliserida dan fosfolipid dengan jumlah yang hampir sama. Ketiga fraksi protein terlarut, mengandung livetin dan beberapa protein lainnya.

2.6 Imunoglobulin Y (IgY)

Imunoglobulin Y (Gambar 3) merupakan salah satu kelas imunoglobulin yang khas pada kelompok vertebrata tingkat rendah seperti reptil, amfibi dan aves. Pada awalnya diduga Ig unggas menyerupai IgG mamalia, tetapi ternyata Ig unggas sangat berbeda dengan imunoglobulin G mamalia (Szabo et al. 1998). Imunoglobulin Y dipindahkan dari serum darah ke kuning telur agar keturunannya mendapatkan kekebalan (Sunwoo et al. 2002, Hatta et al. 1993). Imunoglobulin Y memiliki kemiripan dengan imunoglobulin G mamalia dalam hal mekanisme pembentukan dan fungsinya tetapi berbeda pada regio konstannya sehingga menyebabkan imunoglobulin Y dibedakan dari imunoglobulin G (Carlander 2002).

Imunoglobulin Y dapat digunakan dalam bidang pengobatan, pencegahan penyakit (imunoterapi) dan imunodiagnostik. Penggunaan IgY juga memperhatikan aspek animal welfare sehingga tidak menyebabkan masalah stres pada hewan dibandingkan perlakuan pengambilan darah pada produksi antibodi dari serum mamalia (Carlander 2002). Penggunaan imunoglobulin Y memiliki keuntungan lain yaitu dari segi biokimia, kemudahan dalam melakukan ekstraksi dan purifikasi, konsentrasi Ig Y pada kuning telur lebih tinggi dibandingkan dengan serum, yaitu 15 sampai 25 mg/ml (Akita dan Nakai 1992).

Berat molekul IgY adalah 180 kDa yang terdiri atas dua rantai ringan dengan berat molekul 22 sampai 30 kDa dan dua rantai berat (H) dengan berat molekul 67 sampai 70 kDa. Rantai ringan terbagi atas satu daerah variabel (VL) dan satu daerah konstan (CL). Sedangkan rantai berat terdiri dari satu daerah variabel (VH) yang tidak memiliki lengan dan empat daerah konstan (Cү1, Cү2, Cү3

dan Cү4) dengan koefisien sedimentasi 7.8 S dan titik isoelektrik 5.7 sampai 7.6 (Chiou 2002, Patoja 2000).

Struktur secara keseluruhan dari Ig Y adalah sama dengan Ig G mamalia dimana terdapat dua rantai light (L) dan rantai heavy (H). Berat molekul (BM) dari Ig Y sebesar 167.250 Da yang sedikit lebih besar dengan Ig G (sekitar 160.000 Da). Hal yang paling menarik pada kajian struktur ini adalah rantai L lebih ringan berat molekulnya dibandingkan dengan yang dimiliki mamalia. Rantai H (BM 65.105 Da) disebut v memiliki satu region variabel (V) dan empat

region constan (C). Rantai L (BM 18.660 Da) tersusun atas satu domain variabel dan satu domain constan (konstan). Cv3 dan Cv4 dari Ig Y hampir mirip dengan Cγ2 dan Cγ3 Ig G dimana domain Cv2 tidak memiliki rantai γ. Region Fc (Fragmen crystallizable) dari Ig Y memediasi fungsi faktor pada unggas, misalnya fiksasi pada complement (komplemen) dan opsonisasi. Imunoglobulin Y merupakan antibodi yang sensitif untuk memediasi reaksi anafilaktik, yaitu sebuah fungsi yang dimiliki oleh Ig E pada mamalia. Pada beberapa hal, Ig Y memerankan fungsi kombinasi dari Ig G mamalia dan Ig E unggas (Carlander 2002).

Imunoglobulin Y memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan IgG, lebih resisten terhadap suhu dan pH dibandingkan IgG (Szabo et al. 1998). Imunglobulin Y dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik dibandingkan dengan antibodi yang diproduksi mamalia. IgY lebih bersifat asam dan memiliki kerapatan molekul yang lebih rendah (Higgins 1995) daripada IgG mamalia. IgY tidak berikatan dengan faktor komplemen, protein A, protein G dan reseptor FC bakteri (Jensenius et al. 1981).

Sebagai bahan tambahan makanan, IgY adalah molekul yang cocok untuk mengatasi alergi, untuk terapi dan diagnosa penyakit (Loesche et al. 1986). Pemurnian IgY dapat diaplikasikan untuk imunisasi pasif peroral untuk mencegah infeksi terhadap karies gigi (Otake et al. 1991), enteric collibacillosis (Yokoyama et al. 1992) dan salmonellosis (Sunwoo et al. 1996). IgY terdapat dalam serum dan kuning telur ayam dalam bentuk molekul imunoglobulin yang konsentrasinya sekitar 10-20 mg/ml.

Sebagian besar komponen penyusun IgY adalah molekul protein. Protein merupakan makromolekul protein amfoter yaitu tiap molekulnya memiliki muatan listrik positif dan negatif. Adanya perbedaan ukuran dan muatan listrik pada setiap kelompok protein memungkinkan setiap jenis protein dapat dipisahkan. Protein dapat berionisiasi pada perbedaan pH atau dalam larutan sebagai kation (muatan listrik positif) dan anion (muatan listrik negatif). Pada pengaruh medan listrik, partikel bermuatan ini akan bermigrasi balik ke katoda maupun anoda tergantung muatan total alaminya. Pemisahan partikel bermuatan medan listrik disebabkan karena adanya gradien potensial dan muatan totalnya, namun adanya gaya gesek akibat perbedaan ukuran molekul, bentuk molekul, ukuran pori medium dan viskositas buffer, maka dapat menghambat partikel tersebut. Semakin besar ukuran partikel semakin kecil mobilitasnya, sedangkan dua partikel dengan ukuran sama tetapi bentuknya berbeda akan berbeda pula mobilitasnya (Wilson dan Walker 2000).

2.7 Reaksi antigen – antibodi

Sel peka antigen akan menanggapi antigen dengan memproduksi antibodi atau sel efektor khusus hanya jika antigen itu disajikan kepada sel dengan dosis dan dengan cara yang tepat (Tizard 1988). Imunoglobulin bukanlah molekul yang sederhana berikatan bersama antigen dengan sistem kunci dan gembok (Bellanti 1978), Roit et al. (2007) menyatakan bahwa tempat berikatan dari suatu antibodi terletak pada bagian Fab dari molekul ini dan terdiri dari wilayah hipervariabel dari rantai berat dan ringan. Studi kristalografi sinar x dari interaksi antara antigen-antibodi menunjukan bahwa faktor determinan antigen berikatan dalam bentuk saling mengikat dengan tempat berikatan dari antibodi, yang satu berperan sebagai kunci (antigen) yang mana cocok dengan gemboknya (antibodi), selain itu reaksi antigen-antibodi secara alami dapat berikatan secara non-kovalen termasuk ikatan hidrogen, ikatan hidrostatik, gaya Van Der Walls, dan ikatan hidrofobik.

Menurut Tizard (1988), sifat antibodi yang mengadakan komplek dengan antigen akan sangat berbeda dengan antibodi bebas, antibodi terikat antigen memiliki kemampuan berikatan dengan sel fagositik sehingga berfungsi sebagai opsonin, munculnya determinan baru sebagai aktivitas dari bagian Fc yang

terbuka dianggap asing oleh sistem kebal sehingga merangsang pembentukan auto antibodi yang dikenal sebagai faktor rematoid.

2.8 Uji Agar Gel Presipitasi

Uji pengikatan sekunder adalah proses dua tahap. Tahap pertama adalah interaksi antara antigen dengan antibodi, tahap kedua ditentukan oleh keadaan fisik antigen tersebut. Jadi bila antibodi dirangkaikan dengan antigen yang terlarut (antigen soluble) dalam larutan yang tepat kondisinya, komplek itu mengadakan presipitasi (Tizard 1988), apabila jumlah yang cocok dari larutan yang jernih suatu antigen yang terlarut dicampur dengan antibodinya yang homolog dan diinkubasi pada 370C, campuran tersebut akan menjadi keruh dalam waktu kurang lebih satu jam dan akhirnya presipitat akan terbentuk.

Pada metode agar gel presipitasi digunakan agarose sebagai media, secara prinsip merupakan teknik imunodifusi, pada selapis agar diatas gelas objek yang diberi lubang, lubang yang satu ditempatkan antigen dan yang lainnya ditempatkan antibodi akan berdifusi radial sehingga terbentuk konsentrasi sirkuler dan saling bertemu (Tizard 1988), dan kisi-kisi akan terbentuk sebelum agregat terlihat berbentuk garis buram putih yang biasa disebut presipitat (Bellanti 1978).

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2006 sampai bulan April 2007 di Lab. Bakteriologi dan Unit Pelayanan Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik, Depertemen IPHK, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan

Isolat bakteri Streptococcus sp. dan S. aureus berasal dari Lab. Bakteriologi, media cair brain heart infusion (BHI), NaCl fisiologis, nutrient agar, 4 butir telur ayam dari masing-masing daerah Bogor Barat dan Bogor Tengah (3 butir telur ayam kampung dari masing-masing daerah tersebut untuk teknik purifikasi sederhana dan 1 butir telur ayam kampung dari masing-masing daerah tersebut untuk teknik WSF), 0,5 ml HCl 0,2 N, phenol red, aquadest, 0,4 gram agarose, 1,2 gram poly ethylene glycol (PEG) 6.000, PBS pH 7,4, 0,1 M NaOH, milli-Q, Na azide, amonium sulfat.

3.3 Alat

Sentrifus, vortex, tabung reaksi, gelas objek, ose, api bunsen, gelas ukur, water bath, spoit, pipet, kertas saring, microtube, puncher, inkubator, refrigerator, freezer, magnetic stirer, spektrofotometer UV (Hitachi).

3.4 Metode

3.4.1 Ekstraksi Imunoglobulin Y (Ig Y) dari Kuning Telur dengan Teknik Purifikasi Sederhana

Telur dipecahkan kerabangnya, kuning telur dipisahkan dari putih telur, kemudian kuning telur diletakkan di atas kertas saring. Sebanyak satu bagian kuning telur ditampung ke dalam tabung Eppendorf, kemudian ditambahkan 2 bagian PBS pH 7,5 sampai 7,6. campuran dalam microtube tersebut disentrifus dengan kecepatan 2.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan disimpan pada suhu -20 oC (Soejoedono et al. 2005).

3.4.2 Ekstraksi Imunoglobulin Y (Ig Y) dari Kuning Telur dengan Teknik Water Soluble Fraction (WSF)

Ekstraksi Ig Y dari kuning telur menggunakan teknik Water Soluble Fraction (WSF) yang dikembangkan oleh Akita dan Nakai (1993). Kuning telur dipisahkan dari putih telur, kemudian diletakkan diatas kertas saring untuk menghilangkan putih telur yang melekat. Membran kuning telur dilubangi dengan cara diangkat dengan pinset, cairan kuning telur ditampung pada gelas beker dan dilarutkan secara perlahan dalam milli-Q pH 4 dengan perbandingan 1 : 4. Setelah homogen ditambahkan lagi milli-Q hingga pH 2 suspensi 5.0 sampai 5.2 dan disimpun pada suhu 4 0C minimal 12 jam. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 3125 g pada 4 0C selama 20 menit dan supernatan diambil dan diperoleh water soluble fraction (WSF). Selanjutnya WSF dibuat hingga pH 7.5.

WSF dipekatkan dengan PEG 6.000 dan amonium sulfat. WSF ditambahkan PEG 6.000 sehingga konsentrasi akhir 12 % (w/v). Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit suhu 20 0C. Pelet ditambahkan dengan amonium sulfat 40 % sebanyak 5 ml dan disentrifugasi dengan kecepatan 11.700 g selama 15 menit, dilakukan 3 kali. Pelet disuspensikan dengan PBS sebanyak 1 ml, dan ditambahkan dua tetes 0.1% Na Azide. Suspensi didialisis selama 24 jam dengan PBS pH 8.0 (Polson et al. 1980). Setelah di ekstraksi Ig dihitung konsentrasinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm.

3.4.3 Preparasi Antigen Streptococcus sp.dan Staphylococcus aureus

Isolat bakteri Streptococcus sp. dan S. aureus ditumbuhkan dalam 50 ml media BHI, kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC. Setelah diinkubasi 18 sampai 24 jam masing-masing isolat disentrifus dengan kecepatan 1.0000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 5 ml NaCl fisiologis, kemudian disentrifus dengan kecepatan 1.0000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang lagi (pencucian dilakukan dua kali). Pelet ditambah dengan 0,5 ml HCL 0,2 N, kemudian ditangas pada suhu 52 oC selama 1 jam. Satu tetes phenol red ditambahkan sebagai indikator. Suspensi disentrifus dengan kecepatan 1.0000 rpm

selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan digunakan sebagai antigen terlarut dan disimpan pada suhu 4 oC (Wibawan et al. 2004).

3.4.4 Penentuan Konsentrasi Ig Y dengan Spektrofotometer

Konsentrasi Ig Y ditentukan dengan menggunakan metode Bradford (1976). Konsentrasi Ig Y dihitung dengan spektrofotometer UV. Absorbansi sampel ditentukan dengan pembacaan pada UV spektrofotometer pada 280 nm. Konsentrasi sampel dihitung berdasarkan kurva larutan standar dengan Bovine Serum Albumin yang telah dibuat.

3.4.5 Uji Agar Gel Presipitasi

Agar gel dibuat dengan melarutkan 0,4 gram agarose dan 1,2 gram PEG 6.000, 0,1% Na azide dalam 25 ml PBS pH 7,4 dan 25 ml aquadest pH 7,4. Larutan ini dipanaskan dalam penangas air sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Kemudian larutan dipipet sebanyak 3,75 ml, dicetak pada gelas objek dan ditunggu sampai mengeras. Kemudian dibuat sumur-sumur dengan puncher. Pada sumur tengah dimasukkan 25 l antigen dan 25 l Ig Y purifikasi pada sekelilingnya. Gelas objek diletakkan di atas kertas saring basah agar terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 sampai 48 jam, reaksi positif ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi diantara sumur antigen dan antibodi.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Telur ayam kampung yang diujikan merupakan telur yang di koleksi dari ayam kampung yang dipelihara secara ekstensif. Telur-telur tersebut berasal dari lima daerah yaitu Cibanteng, Ciampea (wilayah Bogor Barat), Cijahe, Gang Menteng, dan Pabuaran (wilayah Bogor Tengah) (Tabel 1)

Tabel 1. Asal telur

No Daerah Kode telur ∑ Telur

1 Cibanteng A 4

2 Ciampea B 4

3 Cijahe C 4

4 Gang Menteng D 4

5 Pabuaran E 4

Seluruh kuning telur akan dipurifikasi secara sederhana dan dipurifikasi menggunakan metode Water Soluble Fraction (WSF) untuk dideteksi keberadaan antibodi terhadap bakteri Streptococcus sp dan S. aureus dan selanjutnya akan dihitung konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer.

4.1 Deteksi Ig Y Spesifik Streptococcus sp pada Kuning Telur Ayam

Kampung

Pendeteksian dilakukan pada telur ayam kampung yang berasal dari 5 wilayah berbeda, semua telur yang diujikan menunjukkan hasil negatif pada uji Agar Gel Presipitatation Test (AGPT). Hasil AGPT dapat dilihat pada Tabel 2 :

Tabel 2. Hasil AGPT terhadap Streptococcus sp No Daerah Kode telur Hasil uji AGP

kuning telur di ekstraksi sederhana

Hasil uji AGP WSF 1 Cibanteng A - - 2 Ciampea B - - 3 Cijahe C - - 4 Gang Menteng D - - 5 Pabuaran E - -

Pada uji AGPT dengan ekstraksi sederhana dan WSF seluruhnya memperlihatkan reaksi negatif. Reaksi negatif ini menunjukkan bahwa tidak ada antibodi spesifik atau homolog terhadap Streptococcus sp. pada semua telur ayam kampung dari setiap wilayah. Reaksi positif yang di tandai dengan terbentuknya

garis presipitasi akan terjadi apabila di dalam kuning telur terdapat antibodi yang homolog dengan antigen pemicunya. Tizard (1988) menyatakan antibodi biasanya hanya akan berikatan khusus dengan antigen yang merangsang pembentukannya.

Tidak adanya antibodi terhadap Streptococcus sp. pada telur ayam kampung bukan berarti ayam kampung dari kelima wilayah tidak pernah terpapar oleh bakteri tersebut mengingat keberadaan bakteri ini di alam sangat mudah ditemukan, intensitas paparan yang sangat rendah bisa menjadi faktor penyebab konsentrasi Ig Y spesifik terhadap bakteri ini menjadi rendah. Keberadaan antibodi spesifik pada serum induk sangat dipengaruhi oleh waktu karena semakin lama konsentrasi antibodi spesifik akan semakin menurun dalam serum selama belum ada paparan baru dari jenis bakteri yang sama, apabila terjadi paparan kedua oleh jenis bakteri yang sama akan menggertak kembali pembentukan antibodi lebih cepat (Tizard 1988).

Uji agar gel presipitasi merupakan uji yang kurang sensitif sehingga membutuhkan perbandingan konsentrasi antigen antibodi yang besar, hasil negatif bisa terjadi akibat konsentrasi Ig Y purifikasi yang didapatkan sangat sedikit sehingga proporsi antara antigen dan Ig Y spesifik tidak mencapai proporsi yang optimal. Tizzard (1996) menyatakan bahwa pada AGPT, apabila konsentrasi antibodi lebih sedikit dibandingkan antigen, menyebabkan setiap antibodi diikat sepasang molekul antigen menyebabkan ikatan silang tidak terjadi, kompleks antigen dengan antibodi kecil dan larut, sehingga tidak terbentuk presipitasi. Menurut Kresno (1996) pembentukan presipitasi terjadi apabila konsentrasi antigen dan antibodi seimbang.

ab E ab ag ab D A ab B ab C

Gambar 1. Hasil AGPT negatif, tidak terlihat garis presipitasi diantara sumur antigen dengan sumur antibodi. Antigen Streptococcus sp. (ag). Ig Y purifikasi (ab).

4.2 Deteksi Ig Y Spesifik Staphylococcus aureus pada Kuning Telur Ayam Kampung

Pendeteksian dilakukan pada telur dari setiap daerah, semua telur yang diuji terhadap S. aureus menunjukkan hasil yang negatif pada AGPT. Hasil dari AGPT kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3 :

Tabel 3. Hasil AGPT terhadap Staphylococcus aureus No Daerah Kode telur Hasil uji AGP

kuning telur di ekstraksi sederhana

Hasil uji AGP WSF 1 Cibanteng A - - 2 Ciampea B - - 3 Cijahe C - - 4 Gang Menteng D - - 5 Pabuaran E - -

Pada uji agar gel presipitasi dengan ekstraksi sederhana dan WSF seluruhnya juga memperlihatkan reaksi negatif. Reaksi negatif ini menunjukkan bahwa tidak ada antibodi spesifik terhadap S. aureus pada semua telur ayam kampung dari setiap wilayah. Reaksi positif akan terjadi apabila di dalam kuning telur terdapat antibodi yang homolog dengan antigen pemicunya, Tizard (1988) menyatakan antibodi biasanya hanya akan berikatan khusus dengan antigen yang merangsang pembentukannya.

Sama halnya dengan uji yang dilakukan sebelumnya tidak adanya Ig Y spesifik terhadap S. aureus pada telur ayam kampung bukan berarti ayam kampung dari kelima wilayah tidak pernah terpapar oleh bakteri tersebut. Namun intensitas paparan yang sangat rendah menyebabkan konsentrasi Ig Y spesifik terhadap bakteri ini menjadi rendah. Perlu diperhatikan bahwa keberadaan antibodi spesifik pada serum induk sangat dipengaruhi oleh waktu karena semakin lama konsentrasi antibodi spesifik akan semakin menurun dalam serum selama belum ada paparan baru dari jenis bakteri yang sama. Apabila terjadi paparan

Dokumen terkait