2.1 Streptococcus sp
Menurut Rosenbach (1884), Streptococcus sp. (Gambar 1) diklasifikasikan kedalam : Kingdom : Eubacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus :Streptococcus Spesies: : Streptococcus sp.
Gambar 1 Streptococcus sp. (Wikipedia 2007)
Streptococccus merupakan satu genus bakteri yang berbentuk bola/bulat, dan merupakan bakteri gram positif dari filum firmicutes, bagian selularnya terdapat di sepanjang poros tunggal bakteri ini, dan dengan begitu mereka berkembang dalam pasangan atau rantai, nama tersebut berasal dari kata Yunani Streptos, yang berarti dengan mudah dibengkokkan atau terbelit, seperti suatu rantai. berbeda dengan Staphylococcus yang mana terbagi sepanjang porosnya yang banyak dan menghasilkan sekumpulan sel seperti buah anggur. Streptococcus merupakan bagian dari mikroflora normal dari mulut, kulit, usus dan saluran pernapasan bagian atas manusia. Jenis individu Streptococcus digolongkan terutama didasarkan pada kemampuan hemolisis mereka yaitu kemampuan menguraikan sel darah merah dalam suatu laboratorium (Patterson 1996; Ryan dan Ray 2004).
Streptococcus Beta-hemolisis dikarakterisasi lebih lanjut melalui Lancefield serotyping didasarkan pada karbohidrat spesifik pada dinding sel bakteri. Ini dinamakan lancefield grup A sampai T. Secara medis kelompok yang paling utama adalah Streptococcus alfa hemolisis seperti S. pneumoniae dan
kelompok Streptococcus Viridans, serta Streptococcus beta-hemolisis dari Lancefield grup A dan B (yang juga dikenal sebagai " golongan strep- A" dan " golongan strep-B "). Bakteri Streptococcus yang ada di dalam rongga mulut bertanggung jawab atas banyak kasus - kasus seperti meningitis, radang paru paru (bacterial pneumonia), endocarditis, erysipelas dan bahkan necrotizing fasciitis (yang disebut “makan-daging'' peradangan hasil bakteri).
Patogenitas Streptococcus sp.
Perlekatan bakteri pada sel inang merupakan langkah awal proses infeksi. Proses perlekatan bakteri pada permukaan sel inang dapat dibedakan menjadi perlekatan spesifik dan non spesifik. Perlekatan spesifik di perantarai oleh adanya faktor molekul adhesi pada mikroba dan reseptor pada inang. Faktor yang bertanggung jawab terhadap adhesi antara lain asam lipoteikoat, asam hialuronat, hemaglutinin, dan molekul adhesi lainnya (Wibawan et al. 1999). Proses kolonisasi bakteri di permukaan tubuh melibatkan tiga mekanisme yaitu asosiasi, adhesi, dan invasi (Roth 1988). Patogenitas dari Streptococcus dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan pada tipe hemolisis nya (Patterson 1996; Ryan dan Ray 2004), yaitu :
1. Streptococcusα-hemolisis
Seperti pada kelompok Pneumococcus : S. pneumoniae dapat menyebabkan bacterial pneumonia, otitis media, dan meningitis. Kelompok Viridans dan Streptococcus alfa hemilisis lainnya, seperti S. mutans merupakan faktor penyebab karies gigi dan S. viridans yang dapat menyebabkan endocarditis dan bisul gigi.
2. Streptococcus -hemolisis
Terbagi menjadi beberapa grup, yaitu : a). Streptococcus grup A
S. pyogenes ( yang juga dikenal sebagai GAS) adalah agen penyebab pada infeksi Streptococcus grup A, GAS termasuk infeksi Streptococcus pada kerongkongan, demam rematik akut, penyakit infeksi bintik merah, dan glomerulonefritis akut. Jika infeksi kerongkongan oleh bakteri
Streptococcus tidak di obati, dapat berkembang menjadi demam rematik, penyakit ini dapat mempengaruhi katup jantung.
b). Streptococcus grup B
S. agalactiae atau GBS, menyebabkan radang meningitis pada tahap neonatal dan juga pada usia yang lebih tua, dan kadang-kadang infeksinya bersifat sistemik mengikuti aliran darah. S. agalactiae dapat juga mengifeksi saluran reproduksi wanita, meningkatkan resiko untuk kerusakan yang prematur dari membran dan transmisi dari induk ke anak. CDC merekomendasikan wanita-wanita yang hamil harus diuji untuk keberadaan dari Streptococcus Group B dan diberi antibiotik selama bekerja yang bertujuan untuk mengurangi resiko transmisi ke bayi. Prevalensi infeksi bakteri ini pada saluran genital wanita di Inggris sekitar 15 % dimana pemberian antibiotik tidak direkomendasikan karena efek samping yang mungkin timbul.
c). Streptococcus grup C
Meliputi S. equi yang mana dapat menyebabkan suatu keadaan sesak pada kuda dan S. zooepidemicus yang menyebabkan infeksi/peradangan di beberapa jenis dari hewan menyusui yang mencakup kuda dan ternak.
D. Streptococcus grup D
Streptococcus Group D yang terdahulu digolongkan kembali dan ditempatkan pada jenis Enterococcus ( meliputi S. faecalis, S. faciem, S. durans, dan S. avium). Sebagai contoh, Streptococcus faecalis kini Enterococcus faecalis. Grup D yang tersisa dan tidak digolongkan dalam Enterococcus adalah S. bovis dan S. suis. Kelompok ini memiliki kemampuan hemolisis yang lemah (Ruoff, 1990).
3. Streptococcus Gamma-hemolisis
Golongan ini merupakan kelompok yang non-hemolisis dan sangat jarang menyebabkan penyakit (Wikipedia 2007).
Pada ayam infeksi Streptococcus faecalis dapat menimbulkan dua bentuk penyakit, yaitu bentuk akut dan sub akut/kronis. Bentuk akut ditandai oleh adanya depresi, demam, kelesuan, kepucatan pada pial dan balung, bulu gerdiri, diare, tremor (gemetaran) yang halus pada kepala, dan gangguan produksi telur
(menurun/terhenti). Kadang-kadang, ayam ditemukan mati tanpa didahuli oleh gejala klinik tertentu. Ayam yang menderita endokarditis terdengar suara detak yang keras pada jantung akibat kerusakan valvule (Tabbu 2000). Pada bentuk subakut/kronis dapat dijumpai adanya depresi, anoreksia, penurunan berat badan, kelumpuhan, dan tremor pada kepala. Infeksi Streptococcus zooepidemicus dapat menimbulkan gejala kelesuan feses berwarna kuning, kekurusan, dan kepucatan pada pial dan balung (Retno et al 1998; Jahja et al 2006).
2.2 Staphylococcus aureus.
Menurut Rosenbach (1884), Staphylococcus aureus (Gambar 2) diklasifikasikan kedalam : Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Cocci Ordo : Bacillales Famili : Staphylococcaceae Genus :Staphylococcus
Spesies: : Staphylococcus aureus
Gambar 2. Staphylococcus aureus. (Wikipedia 2007)
Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani staphyle yang berarti bergugus-gugus dan coccos berarti biji/butir halus. Staphylococcus merupakan bakteri gram positif, di bawah mikroskop mereka nampak seperti putaran ( cocci), dan terlihat seperti seikat buah anggur, Pada umumnya bakteri ini tidak berbahaya, dan merupakan mikroflora normal di selaput lendir dan kulit manusia dan organisme yang lain. Staphylococcus adalah suatu komponen yang kecil dari mikroflora tanah (Wikipedia 2007)
Patogenitas Staphylococcus aureus
Wibawan et al. 1993 menyatakan bahwa protein pemukaan bertanggung jawab atas sifat adhesif Staphylococcus. Antigen permukaan pada Staphylococcus aureus seperti polisakarida, dinding sel, produk seluler dan protein permukaan
merupakan faktor virulensi yang beperan dalam patogenesis infeksi kuman pada inang (Carlton dan Charles 1993, Thakker et al. 1998). Bakteri S. aureus memiliki sejumlah determinan virulensi yaitu dinding sel, kapsul polisakarida, protein permukaan, sejumlah enzim ekstraseluler, dan eksotoksin seperti toksin α, , δ, dan , leukosidin, enterotoksin serta enzim ekstraseluler seperti koagulase dan protease (Patel et al. 1987, Cifrian et al. 1996, Nilsson et al.1999). Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit yang beragam pada manusia dan hewan lain, melalui invasi atau produksi toksin. Toksin Staphylococcus biasanya menyebabkan keracunan pada makanan. Bakteri ini berkembang pada makanan yang disimpan. Walaupun proses memasak dapat membunuh bakteri ini, enterotoksin yang dihasilkan adalah senyawa yang tahan panas dan dapat bertahan pada air mendidih untuk beberapa menit (wikipedia 2007).
Staphylococcus dapat berkembang pada makanan dengan aktifitas air yang relatif rendah ( seperti sosis dan keju) (wikipedia 2007). Salah satu spesies Staphylococcus yang patogen adalah Staphylococcus aureus, bakteri ini dapat menginfeksi luka. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan lesi supuratif, mastitis, arthritis dan botriomikosis pada kambing. Pada kuda, bakteri ini menimbulkan pyoderma, infeksi traktus urinaria, dan diskospondilitis. Pada anjing bakteri ini menyebabkan bumblefoot, lesi kulit serta arthritis pada ayam (Carlton dan Charles, 1993). Bakteri ini dapat bertahan di permukaan yang kering, meningkatkan kesempatan untuk transmisi. Setiap infeksi S. aureus dapat menyebabkan sindrom kulit bersisik, reaksi kulit terhadap toksin diserap kedalam aliran darah. Ini juga dapat menyebabkan satu tipe dari septicemia yang disebut pyemia (wikipedia 2007). Menzies dan Kourteva (1998) menyatakan bakteri ini juga menyebabkan endokarditis akut yang ada hubungannya dengan perusakan valvular fulminant dan infeksi metastasis.
Pada manusia sehat bakteri ini secara normal terdapat dalam hidung dan kulit dengan proporsi yang berbeda. Staphylococcus aureus merupakan bakteri oportunistik patogen yang dapat menginfeksi jaringan bila terjadi kerusakan kulit atau membran mukosa dan penurunan daya tahan tubuh (Cruickshank et al., 1973). Selain itu bakteri ini dapat menyebabkan berbagai infeksi diantaranya
endokarditis, osteomielitis, wound sepsis, abses kulit, septikemia dan arthritis (Patel et al., 1987; Mohamed et al., 1999; Nilson et al., 1999).
Staphylococcus dapat menimbulkan berbagai bentuk penyakit pada ayam, yakni artritis dan tenosinovitis, dermatitis ganggrenosa, bumble foot, spondilitis dan osteomielitis, bursitis sternalis, blefaritis, dan garnuloma pada hati, limpa, dan paru (Tabbu 2000).
2.3 Antibodi
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara limfosit B peka antigen dan antigen khusus (Tizard 1988). Imunitas dibedakan menjadi dua bentuk yaitu imunitas non spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas non spesifik yang disebut juga imunitas bawaan dimiliki oleh hewan sejak lahir atau sebelum terpapar oleh suatu penyakit. Sedangkan imunitas spesifik dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu imunitas aktif dan imunitas pasif. Pada imunitas pasif antibodi tersedia dengan cepat tetapi memiliki masa hidup yang singkat dalam melawan penyakit. Anak mendapatkan imunitas pasif dari induknya dalam bentuk kolostrum (IgA) pada hewan mamalia atau dari kuning telur (IgY) pada reptil dan unggas. Antibodi ini berasal dari paparan mikroorganisme melalui vaksinasi maupun paparan alami. Antibodi ini akan diturunkan melalui kuning telur dengan titer yang berbeda tergantung dari tingkat paparannya.
Imunitas aktif didapatkan melalui imunisasi, tubuh aktif membentuk kekebalan dan bertahan lama dalam tubuh. Vaksin mengandung organisme yang telah mati atau dilemahkan. Vaksin akan merangsang sistem imun untuk membuat antibodi terhadap mikroorganisme tersebut dan selama proses terjadi, sistem imun membentuk sel memori terhadap paparan dari mikroorganisme. Antibodi akan terbentuk lebih banyak apabila ada paparan ulangan (Coleman 1996).
2.4 Sistem Kekebalan Unggas
Sistem kekebalan pada ayam terdiri dari bursa fabrisius, sumsum tulang, limfa, timus, glandula Harderian, limfonodus, sirkulasi limfosit dan jaringan limfoid di traktus alimentarius. Sel pembentuk antibodi (sel B) diproduksi oleh bursa fabricius, sedangkan sumsum tulang adalah sumber dari bursa dan timus
dari sel tali pusat. Limfa merupakan pusat proliferasi plasma sel dan sel B memori. unggas tanpa limpa akan mengalami penurunan produksi antibodi. Timus adalah pusat maturasi sel tali pusat yang berdiferensiasi menjadi limfosit T. Aktivitas limfosit T pada unggas sama dengan aktivitas limfosit T pada mamalia (Larsson 1998).
Mekanisme pembentukan antibodi pada ayam berbeda dengan mamalia sejak masa embrional yang dipengaruhi terutama oleh hiperkonversi somatik. Penyusunan kembali akan mempengaruhi rantai berat maupun rantai ringan pada lokus yang mengandung satu fungsi dari gen variabel (V). Hiperkonversi gen dimulai sekitar hari ke 15 sampai 17 masa inkubasi setelah sel B imature berpindah ke bursa fabricius. Selama proses ini berlangsung balok DNA ditransfer dari pseudo-variabel gen ke region variabel rekombinan dari gen imunoglobulin, untuk memproduksi sel B mature yang memiliki kemampuan membentuk sistem imun humoral (Larsson 1998).
2.5 Kandungan Zat pada Kuning Telur
Komponen utama kuning telur adalah protein dan lipid yang mempengaruhi sifat biokimia dan fungsi kuning telur. Kuning telur adalah sumber lemak yang mudah terdispersi dalam air, yang akan mengemulsi substansi lain. Sifat ini karena kandungan fosfolipid yang tinggi dan semua lemak (termasuk trigliserida) kuning telur selalu berdampingan dengan dua protein yaitu vitellin dan vitelenin.
Kuning telur terdiri dari campuran lipid, lipoprotein, dan protein yang terlarut dalam air diantaranya α, β dan γ livetin (Ig Y). Komponen kuning telur terdiri dari tiga fraksi yang dipisahkan melalui sentrifugasi yaitu : Fraksi Pertama adalah LDL (Low Density Lipoprotein) atau (lipovitellenin) mengandung 90% lemak yang sebagian besar adalah trigliserida. Fraksi ini merupakan penyusun 2 sampai 3 bagian berat kering dari kuning telur. Kedua Fraksi HDL (High Density Lipoprotein). Merupakan penyusun 23% total berat kering kuning telur. Kandungan phosvitin sama dengan lipovitellin (lipoprotein). HDL terdiri atas 18% lemak yaitu trigliserida dan fosfolipid dengan jumlah yang hampir sama. Ketiga fraksi protein terlarut, mengandung livetin dan beberapa protein lainnya.
2.6 Imunoglobulin Y (IgY)
Imunoglobulin Y (Gambar 3) merupakan salah satu kelas imunoglobulin yang khas pada kelompok vertebrata tingkat rendah seperti reptil, amfibi dan aves. Pada awalnya diduga Ig unggas menyerupai IgG mamalia, tetapi ternyata Ig unggas sangat berbeda dengan imunoglobulin G mamalia (Szabo et al. 1998). Imunoglobulin Y dipindahkan dari serum darah ke kuning telur agar keturunannya mendapatkan kekebalan (Sunwoo et al. 2002, Hatta et al. 1993). Imunoglobulin Y memiliki kemiripan dengan imunoglobulin G mamalia dalam hal mekanisme pembentukan dan fungsinya tetapi berbeda pada regio konstannya sehingga menyebabkan imunoglobulin Y dibedakan dari imunoglobulin G (Carlander 2002).
Imunoglobulin Y dapat digunakan dalam bidang pengobatan, pencegahan penyakit (imunoterapi) dan imunodiagnostik. Penggunaan IgY juga memperhatikan aspek animal welfare sehingga tidak menyebabkan masalah stres pada hewan dibandingkan perlakuan pengambilan darah pada produksi antibodi dari serum mamalia (Carlander 2002). Penggunaan imunoglobulin Y memiliki keuntungan lain yaitu dari segi biokimia, kemudahan dalam melakukan ekstraksi dan purifikasi, konsentrasi Ig Y pada kuning telur lebih tinggi dibandingkan dengan serum, yaitu 15 sampai 25 mg/ml (Akita dan Nakai 1992).
Berat molekul IgY adalah 180 kDa yang terdiri atas dua rantai ringan dengan berat molekul 22 sampai 30 kDa dan dua rantai berat (H) dengan berat molekul 67 sampai 70 kDa. Rantai ringan terbagi atas satu daerah variabel (VL) dan satu daerah konstan (CL). Sedangkan rantai berat terdiri dari satu daerah variabel (VH) yang tidak memiliki lengan dan empat daerah konstan (Cү1, Cү2, Cү3
dan Cү4) dengan koefisien sedimentasi 7.8 S dan titik isoelektrik 5.7 sampai 7.6 (Chiou 2002, Patoja 2000).
Struktur secara keseluruhan dari Ig Y adalah sama dengan Ig G mamalia dimana terdapat dua rantai light (L) dan rantai heavy (H). Berat molekul (BM) dari Ig Y sebesar 167.250 Da yang sedikit lebih besar dengan Ig G (sekitar 160.000 Da). Hal yang paling menarik pada kajian struktur ini adalah rantai L lebih ringan berat molekulnya dibandingkan dengan yang dimiliki mamalia. Rantai H (BM 65.105 Da) disebut v memiliki satu region variabel (V) dan empat
region constan (C). Rantai L (BM 18.660 Da) tersusun atas satu domain variabel dan satu domain constan (konstan). Cv3 dan Cv4 dari Ig Y hampir mirip dengan Cγ2 dan Cγ3 Ig G dimana domain Cv2 tidak memiliki rantai γ. Region Fc (Fragmen crystallizable) dari Ig Y memediasi fungsi faktor pada unggas, misalnya fiksasi pada complement (komplemen) dan opsonisasi. Imunoglobulin Y merupakan antibodi yang sensitif untuk memediasi reaksi anafilaktik, yaitu sebuah fungsi yang dimiliki oleh Ig E pada mamalia. Pada beberapa hal, Ig Y memerankan fungsi kombinasi dari Ig G mamalia dan Ig E unggas (Carlander 2002).
Imunoglobulin Y memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan IgG, lebih resisten terhadap suhu dan pH dibandingkan IgG (Szabo et al. 1998). Imunglobulin Y dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik dibandingkan dengan antibodi yang diproduksi mamalia. IgY lebih bersifat asam dan memiliki kerapatan molekul yang lebih rendah (Higgins 1995) daripada IgG mamalia. IgY tidak berikatan dengan faktor komplemen, protein A, protein G dan reseptor FC bakteri (Jensenius et al. 1981).
Sebagai bahan tambahan makanan, IgY adalah molekul yang cocok untuk mengatasi alergi, untuk terapi dan diagnosa penyakit (Loesche et al. 1986). Pemurnian IgY dapat diaplikasikan untuk imunisasi pasif peroral untuk mencegah infeksi terhadap karies gigi (Otake et al. 1991), enteric collibacillosis (Yokoyama et al. 1992) dan salmonellosis (Sunwoo et al. 1996). IgY terdapat dalam serum dan kuning telur ayam dalam bentuk molekul imunoglobulin yang konsentrasinya sekitar 10-20 mg/ml.
Sebagian besar komponen penyusun IgY adalah molekul protein. Protein merupakan makromolekul protein amfoter yaitu tiap molekulnya memiliki muatan listrik positif dan negatif. Adanya perbedaan ukuran dan muatan listrik pada setiap kelompok protein memungkinkan setiap jenis protein dapat dipisahkan. Protein dapat berionisiasi pada perbedaan pH atau dalam larutan sebagai kation (muatan listrik positif) dan anion (muatan listrik negatif). Pada pengaruh medan listrik, partikel bermuatan ini akan bermigrasi balik ke katoda maupun anoda tergantung muatan total alaminya. Pemisahan partikel bermuatan medan listrik disebabkan karena adanya gradien potensial dan muatan totalnya, namun adanya gaya gesek akibat perbedaan ukuran molekul, bentuk molekul, ukuran pori medium dan viskositas buffer, maka dapat menghambat partikel tersebut. Semakin besar ukuran partikel semakin kecil mobilitasnya, sedangkan dua partikel dengan ukuran sama tetapi bentuknya berbeda akan berbeda pula mobilitasnya (Wilson dan Walker 2000).
2.7 Reaksi antigen – antibodi
Sel peka antigen akan menanggapi antigen dengan memproduksi antibodi atau sel efektor khusus hanya jika antigen itu disajikan kepada sel dengan dosis dan dengan cara yang tepat (Tizard 1988). Imunoglobulin bukanlah molekul yang sederhana berikatan bersama antigen dengan sistem kunci dan gembok (Bellanti 1978), Roit et al. (2007) menyatakan bahwa tempat berikatan dari suatu antibodi terletak pada bagian Fab dari molekul ini dan terdiri dari wilayah hipervariabel dari rantai berat dan ringan. Studi kristalografi sinar x dari interaksi antara antigen-antibodi menunjukan bahwa faktor determinan antigen berikatan dalam bentuk saling mengikat dengan tempat berikatan dari antibodi, yang satu berperan sebagai kunci (antigen) yang mana cocok dengan gemboknya (antibodi), selain itu reaksi antigen-antibodi secara alami dapat berikatan secara non-kovalen termasuk ikatan hidrogen, ikatan hidrostatik, gaya Van Der Walls, dan ikatan hidrofobik.
Menurut Tizard (1988), sifat antibodi yang mengadakan komplek dengan antigen akan sangat berbeda dengan antibodi bebas, antibodi terikat antigen memiliki kemampuan berikatan dengan sel fagositik sehingga berfungsi sebagai opsonin, munculnya determinan baru sebagai aktivitas dari bagian Fc yang
terbuka dianggap asing oleh sistem kebal sehingga merangsang pembentukan auto antibodi yang dikenal sebagai faktor rematoid.
2.8 Uji Agar Gel Presipitasi
Uji pengikatan sekunder adalah proses dua tahap. Tahap pertama adalah interaksi antara antigen dengan antibodi, tahap kedua ditentukan oleh keadaan fisik antigen tersebut. Jadi bila antibodi dirangkaikan dengan antigen yang terlarut (antigen soluble) dalam larutan yang tepat kondisinya, komplek itu mengadakan presipitasi (Tizard 1988), apabila jumlah yang cocok dari larutan yang jernih suatu antigen yang terlarut dicampur dengan antibodinya yang homolog dan diinkubasi pada 370C, campuran tersebut akan menjadi keruh dalam waktu kurang lebih satu jam dan akhirnya presipitat akan terbentuk.
Pada metode agar gel presipitasi digunakan agarose sebagai media, secara prinsip merupakan teknik imunodifusi, pada selapis agar diatas gelas objek yang diberi lubang, lubang yang satu ditempatkan antigen dan yang lainnya ditempatkan antibodi akan berdifusi radial sehingga terbentuk konsentrasi sirkuler dan saling bertemu (Tizard 1988), dan kisi-kisi akan terbentuk sebelum agregat terlihat berbentuk garis buram putih yang biasa disebut presipitat (Bellanti 1978).