• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

II.7. Status Anemia Gizi Anak

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang

dari normal yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Depkes RI, 2006). Sedangkan anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin

(Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan kerena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia defisiensi besi.

Salah satu faktor penyebab yang memperberat keadaan anemia pada anak usia sekolah dasar adalah infeksi kecacingan STH. Infeksi cacing yang banyak diderita anak-anak adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus).

Pada infeksi cacing gelang yang berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi, efek yang serius terjadi obstruksi usus (ileus, intussuspection). Cacing cambuk dan cacing tambang menghisap darah penderita sehingga dapat menimbulkan anemia (Onggowaluyo dkk, 1998).

II. 8. Status gizi berdasarkan hasil dan rekomendasi Semiloka Antropometri di Indonesia.

Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut :

a. Umur

Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya

kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun.

Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes, 2006).

b. Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun.

Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Depkes RI, 2006).

c. Tinggi Badan

Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2006).

Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi

untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Depkes RI, 2006).

Untuk menentukan klasifikasi gizi digunakan Z-score (Standar Deviasi = SD) sebagai batas ambang. Kategori sesuai dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) yang dibagi menjadi 4 klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut :

a. Batas bawah gizi buruk adalah mean − 3 Standar deviasi (SD).

b. Batas bawah gizi kurang adalah mean − 3 SD dan batas atas mean -2 SD.

c. Batas bawah gizi sedang adalah mean − 2 SD dan batas atas mean -1 SD.

d. Batas bawah gizi baik adalah mean − 1 SD.

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di SD Negeri di Medan yakni SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. Dari bulan Juli 2012 sampai dengan Agustus 2012.

III.2. Populasi dan Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dari populasi anak–anak SD Negeri 067775.

Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik penarikan sampel secara purposive. Populasi sasaran adalah semua anak–anak yang dalam pemeriksaan tinjanya ditemukan telur cacing usus, yang memenuhi kriteria diagnostik yang dilakukan dengan pemeriksaan tinja (EPG), status gizi, status antropometik dan pemeriksaan WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children).

Kriteria Inklusi

1. Murid sekolah dasar kelas IV sampai kelas VI (8-12 tahun).

2. Anak yang ditemukan telur cacing usus pada pemeriksaan tinjanya.

3. Mengikuti semua prosedur pemeriksaan dalam penelitian.

Kriteria Eksklusi

1. Dalam 1 bulan terakhir ada minum obat cacing.

2. Selama waktu observasi ada melakukan pengobatan (medis atau tradisional) untuk kasus kecacingan.

3. Menderita penyakit kronis.

4. Pindah ke sekolah di luar lokasi penelitian.

III.3. Rancangan Penelitian

Sampel diambil secara total random sampling, dengan pengolahan data yang digunakan adalah Statistika Deskriptif dan Uji Statistik Nonparametrik. Uji Statistik Nonparametrik digunakan untuk mengolah data dari dua variabel yang merupakan data ordinal yaitu derajat infeksi cacing kecacingan STH dan tingkat kecerdasan.

III.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilaksanakan dengan teknik sampling purposive, dengan cara memeriksa tinja anak dari populasi yang ada. Jumlah populasi sebanyak 150 orang dan anak yang dijumpai telur cacing pada pemeriksaan tinjanya akan menjadi sampel penelitian.

III.5. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Variabel Perantara Derajat Infeksi

Kecacingan STH

Tingkat Kecerdasan

Kejadian Anemia

Status Gizi

III.6 Kerangka Kerja Penelitian

Anak Kelas 4, 5, 6 (150 orang)

Pemeriksaan Tinja cara Kato-Katz

Kriteria inklusi, 62 orang

Negatif, 88 orang

Pemeriksaan Hb (cara cyan)

Pemeriksaan status gizi (Antropometri WHO)

Pemeriksaan tingkat kecerdasan (WISC) Positif, 62 orang

Kriteria eksklusi, 0 orang

III.7. Definisi Operasional

III.8. Metode Analisis Statistik

Metode analisis statistik yang digunakan adalah :

1. Untuk melihat distribusi penderita infeksi kecacingan STH menurut umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan, kejadian anemia dan status gizi anak digunakan analisis data dengan Statistika Deskriptif.

2. Untuk melihat hubungan antara derajat infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah dengan tingkat kecerdasan, digunakan analisis data dengan Uji Statistik Nonparametrik yaitu Uji Kolmogorov-Smirnov.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1 HASIL PENELITIAN IV.1.1 Karakteristik Penelitian

Jumlah siswa SD 067775 kelas IV, V dan VI ada sebanyak 150 orang, terdiri dari anak laki-laki sebanyak 83 orang (55%) dan anak perempuan sebanyak 67 orang ( 45%). Siswa kelas IV (dua kelas) sebanyak 81 orang (54%), sedangkan siswa kelas V (1 kelas) sebanyak 33 orang (22%) dan siswa kelas VI (1 kelas) sebanyak 36 orang (24%). Distribusi kelas diberikan pada Tabel 4. Semua anak (100%) bersedia memeriksakan tinjanya. Enam puluh dua anak (41%) dijumpai pemeriksaan tinja yang positif terinfeksi cacing, dengan 39 anak (63 %) derajat infeksi ringan dan 23 anak (37 %) derajat infeksi sedang, dan tidak ditemukan anak dengan derajat infeksi berat pada pemeriksaan ini.

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing pada Siswa SD 067775 Infeksi

n %

+ 62 41

− 88 59

Enam puluh dua anak ini memenuhi kriteria inklusi, dengan demikian subyek penelitian yang dianalisis berjumlah 62 orang. Analisis selanjutnya akan menggunakan 62 anak ini menjadi sampel yang diteliti.

IV.1.2 Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Suku dan Kelas

Dari 62 subjek penelitian yang dianalisa, umur termuda penderita adalah 8 tahun dan umur tertua 13 tahun, dengan rata-rata umur 9,68 ± 1,252. Distribusi umur siswa SD yang terinfeksi cacing dikelompokkan menjadi 2 yaitu rentang usia

8−10 tahun dan rentang umur 11−13 tahun. Distribusi umur berdasarkan kelompok rentang umur diberikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Distribusi umur siswa SD yang terinfeksi cacing Karakteristik Umur n

%

8−10 tahun 44 71

11−13 tahun 18 29

Berdasarkan jenis kelamin, ternyata sama banyaknya jumlah anak laki-laki dan perempuan yakni masing-masing sebanyak 31 orang (50 %). Distribusi jenis kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi jenis kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing Karakteristik Jenis Kelamin n

%

Laki-laki 31 50

Perempuan 31 50

Berdasarkan suku, distribusi suku yang terbanyak adalah Minangkabau sebanyak 26 orang (41,9%), diikuti suku Melayu sebanyak 24 orang (38,7 %), sedangkan suku Jawa sebanyak 8 orang (12,9 %), suku Batak sebanyak 3 orang (4,8

%) dan suku Nias sebanyak 1 orang (1,6 %). Distribusi suku siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi suku siswa SD yang terinfeksi cacing Karakteristik Suku

n %

Batak 3 4,8

Jawa 8 12,9

Melayu 24 38,7

Minangkabau 26 41,9

Nias 1 1,6

Berdasarkan kelas siswa, distribusi terbanyak pada siswa kelas IV sebanyak 30 orang (48,4%), siswa kelas V sebanyak 14 orang (22,6%) dan siswa kelas VI sebanyak 18 orang (29%). Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing Karakteristik Kelas

n %

Kelas IV 30 48,4

Kelas V 14 22,6

Kelas VI 18 29

IV.1.3 Distribusi Derajat Infeksi Siswa SD yang Terinfeksi Cacing

Berdasarkan derajat infeksi yang diderita siswa, distribusi terbanyak adalah derajat infeksi ringan sebanyak 39 orang (62,9%) , derajat infeksi sedang sebanyak 23 orang (37,1%) dan tidak ada derajat infeksi berat. Distribusi derajat infeksi siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Distribusi derajat infeksi siswa SD yang terinfeksi cacing Distribusi Derajat Infeksi

n %

Ringan 39 62,9

Sedang 23 37,1

Berat 0 0

IV.1.4 Distribusi Tingkat Kecerdasan Siswa SD yang Terinfeksi Cacing

Berdasarkan tingkat kecerdasan siswa, distribusi terbanyak adalah low average sebanyak 18 orang (29%), diikuti high average sebanyak 17 orang (27,4%), borderline sebanyak 16 orang (25,8%), mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%),

dan high average sebanyak 3 orang (4,8%). Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing

Tingkat Kecerdasan n %

Mental defective 8 12,9

Borderline 16 25,8

Low Average 18 29

Average 17 27,4

High Average 3 4,8

Superior 0 0

Very Superior 0 0

IV.1.5 Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing

Berdasarkan kejadian anemia siswa, distribusi terbanyak adalah tidak anemia sebanyak 32 orang (52%) dan anak yang anemia sebanyak 30 orang (48%) Distribusi kejadian anemia siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing

Kejadian Anemia n %

Anemia 30 48

Tidak Anemia 32 52

IV.1.6 Distribusi Status Gizi Siswa SD yang Terinfeksi Cacing

Berdasarkan semiloka antropometri di Indonesia ada beberapa cara untuk penentuan status gizi antara lain berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U), dan indeks massa tubuh (IMT).

Dalam penelitian ini penentuan status gizi dilakukan dengan menggunakan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Tidak dijumpai anak dengan status gizi buruk pada penelitian ini.

Berdasarkan status gizi siswa, distribusi terbanyak adalah status gizi baik sebanyak 48 orang (77,4%), diikuti status gizi sedang 12 orang (19,8 %) dan status gizi kurang sebanyak 2 orang (3,2%). Distribusi status gizi siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Distribusi Status Gizi Anak

Status Gizi n %

Buruk 0 0

Kurang 2 3,2

Sedang 12 19,8

Baik 48 77,4

IV. I. 7. Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing

Berdasarkan jenis infeksi cacing, distribusi terbanyak adalah infeksi cacing A lumbricoides sebanyak 46 orang (74,19%) dan T trichiura 16 orang (25,81 %).

Distribusi jenis infeksi cacing siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Jenis Infeksi Cacing

n %

A lumbricoides 46 74,19

T trichiura 16 25,81

Dalam penelitian ini tidak ditemukan siswa yang terinfeksi cacing tambang.

Mungkin karena letak geografis tempat penelitian ini di perkotaan. Sebab cacing ini banyak terdapat di tanah di perkebunan kopi, teh dan karet, serta daerah pertambangan. Disebut cacing tambang karena saat ditemukan pertama kali oleh

pekerja tambang yang menderita penyakit ini sehingga disebut dengan cacing tambang.

IV.1.8. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan

Hubungan antara status gizi kurang dengan tingkat kecerdasan sebagai berikut : distribusi status gizi kurang hanya pada mental deffective dan borderline masing-masing sebanyak 1 orang (1,6%). Status gizi sedang 2 orang (3,2%) mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective, 4 orang (6,5%) borderline , sebanyak 2 orang (3,2%) low average , 4 orang (6,5%) average dan tidak ada high average. Untuk status gizi baik sebanyak 5 orang (8,1%) mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective, 11 orang (17,7%) borderline, sebanyak 16 orang (25,8%) low average, 13 orang (21,0%) average dan 3 orang (4,8%) high average.

Dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001).

Hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan diberikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Hubungan status gizi dengan tingkat kecerdasan

Status Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov

IV.1.9 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Kejadian Anemia

Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia sebagai berikut : untuk anemia, anak yang menderita derajat infeksi ringan ada sebanyak 7 orang (11,3%), sedangkan derajat infeksi sedang ada sebanyak 23 orang

(37,1%). Untuk tidak anemia, anak yang menderita derajat infeksi ringan ada sebanyak 32 orang (51,6%) dan tidak ada anak yang menderita derajat infeksi sedang. Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk kejadian anemia dan kejadian tidak anemia.

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH yang diderita seorang anak dengan kejadian anemia (p = 0,531).

Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia diberikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia

IV. 1.10 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Status Gizi

Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi kurang sebagai berikut : untuk status gizi kurang, tidak ada anak yang menderita derajat infeksi ringan, sedangkan derajat infeksi sedang ada sebanyak 2 orang (3,2%). Untuk status gizi sedang sebanyak 7 orang (11,3%) yang menderita derajat infeksi ringan, dan derajat infeksi sedang ada sebanyak 5 orang (8,1%). Untuk status gizi baik ada sebanyak 32 orang (51,6%) yang menderita derajat infeksi ringan, dan derajat infeksi sedang ada sebanyak 16 orang (25,8%). Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk semua status gizi.

Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH yang diderita seorang anak dengan status gizi (p = 0,001).

Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi diberikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi

Derajat Infeksi Kecacingan STH

Status Gizi

p*

Baik Sedang Kurang

N % n % n %

Ringan 32 51,6 7 11,3 0 0 0,001

Sedang 16 25,8 5 8,1 2 3,2

Berat 0 0 0 0 0 0

Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov

IV.1.11 Hubungan Kejadian Anemia dengan Tingkat Kecerdasan

Hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan sebagai berikut : distribusi anemia terbanyak borderline, sebanyak 16 orang (25,8%), kemudian mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%), sedangkan pada low average dan average sama banyaknya, masing-masing sebanyak 3 orang (4,8%). Tidak ada anak yang mempunyai tingkat kecerdasan high average menderita anemia. Untuk kejadian tidak anemia average dan high average hampir sama banyaknya. Sebanyak 15 orang (24,2%) low average, 14 orang (22,6%) average dan 3 orang (4,8%) high average. Anak yang tidak anemia, tidak ada yang mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective dan borderline.

Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001).

Hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan diberikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Hubungan kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan

Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov

IV.1.12 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Tingkat Kecerdasan

Hubungan antara derajat infeksi ringan dengan tingkat kecerdasan sebagai berikut : distribusi derajat infeksi ringan tidak ada yang mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective, 1 orang (1,6%) borderline, 18 orang (29,0%) low average, 17 orang (27,4%) average, dan 3 orang (4,8%) high average. Untuk derajat infeksi sedang tingkat kecerdasan anak hanya mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%) dan borderline sebanyak 15 orang (24,2%). Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk semua tingkat kecerdasan.

Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001).

Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan diberikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat

Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov IV.1.13. Hasil Pemeriksaan WISC

Hasil pemeriksaan variabel WISC siswa SD yang terinfeksi cacing sebagai berikut : information derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,62 dan SD 3,258, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,09 dan SD 2,214. Comprehension derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,00 dan SD 2,695, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 4,78 dan SD 2,110. Digit span derajat infeksi ringan mempunyai rerata 8,72 dan SD 2,176, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,61 dan SD 2,148. Picture completion derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,10 dan SD 2,210, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,57 dan SD 2,233. Block design derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,21 dan SD 3,861, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,43 dan SD 1,973. Hasil pemeriksaan variabel WISC berdasarkan derajat infeksi diberikan pada Tabel 19.

Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara semua variabel WISC dengan derajat infeksi (p = 0,001).

Tabel 19. Variabel WISC berdasarkan derajat infeksi

Keterangan. Uji t independen

IV.2 PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat Cross Sectional dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi yang diderita seorang anak dengan tingkat kecerdasan. Untuk menganalisis hubungan ini digunakan variabel antara kejadian anemia dan status gizi, dan juga dianalisis hubungan antara jenis infeksi tunggal dan campuran dengan tingkat kecerdasan dan kejadian anemia.

Metode pengukuran derajat infeksi yang direkomendasikan adalah metode pemeriksaan sampel feses. Perhitungan egg per gram (EPG) dilakukan dengan mengalikan jumlah telur yang dihitung pada hapusan yang digunakan dengan faktor multiplikasi. Faktor ini bervariasi tergantung dari luasan hapusan yang digunakan.

Pengukuran tingkat kecerdasan dilakukan dengan menggunakan skala WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children), yang dibuat oleh David Wechsler (1974).

Skala Wechsler merupakan pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik karena dengan skala ini dapat diketahui tingkat kecerdasan berdasarkan kemampuan kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ). yang dibuat oleh David Wechsler (1974).

Pada penelitian ini setelah dilakukan pemeriksaan tinja pada 150 anak, dijumpai 62 anak (41 %) yang positif dijumpai telur cacing pada tinjanya, dengan perincian 39 anak (63 %) mengalami infeksi derajat ringan dan 23 anak (37 %) mengalami infeksi derajat sedang. Yang terbanyak kelompok umur 8−10 tahun sebanyak 44 orang (71%), sedangkan umur 11−13 tahun sebanyak 18 orang (29%).

Berdasarkan jenis kelamin, ternyata sama banyaknya jumlah anak laki-laki dan perempuan, masing-masing sebanyak 31 orang (50 %). Berdasarkan suku, yang terbanyak adalah Minangkabau sebanyak 26 orang (41,9%) dan suku Nias hanya 1 orang (1,6 %). Berdasarkan tingkat pendidikan siswa, yang terbanyak adalah siswa kelas IV sebanyak 30 orang (48,4%), siswa kelas V sebanyak 14 orang (22,6%) dan siswa kelas VI sebanyak 18 orang (29%). Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara kelompok umur, jenis kelamin, suku dan kelas dengan derajat infeksi. Setara dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ritarwan (2009). Hal ini mungkin disebabkan karena karakteristik subjek penelitian yang relatif sama.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001). Ini berarti ada hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan. Anak dengan derajat infeksi ringan terlihat mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih baik dibandingkan anak dengan derajat infeksi sedang. Dengan menggunakan tes WISC dijumpai perbedaan yang bermakna dari semua variabel WISC berdasarkan derajat infeksi ringan dan sedang (semua nilai p = 0,001). Nilai variabel tes WISC dari anak dengan infeksi ringan lebih tinggi dibanding nilai variabel tes WISC dari anak dengan infeksi sedang. Jadi dari penelitian ini diperoleh bahwa tingkat kecerdasan seorang anak dipengaruhi oleh derajat infeksi yang dideritanya. Anak dengan tingkat kecerdasan average dan high Average dapat diduga terinfeksi ringan, sedangkan anak dengan tingkat kecerdasan mental deffective dan borderline dapat diduga terinfeksi sedang.

IV. 2.1 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Tingkat Kecerdasan

Dari uji hipotesis terhadap hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan diperoleh hasil yang bermakna dengan nilai p = 0,001, seperti yang terlihat pada Tabel 18. Ini berarti ada perbedaan yang bermakna dari tingkat kecerdasan anak berdasarkan derajat infeksi yang dideritanya. Jadi dalam penelitian ini diperoleh bahwa ada hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan. Anak dengan derajat infeksi ringan mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih baik dibandingkan dengan anak dengan derajat infeksi sedang.

Ezeamama (2005) melakukan penelitian tentang infeksi cacing dan penurunan tingkat kecerdasan anak-anak di daerah pertanian Leyte Filipina, yang merupakan daerah endemik 4 infeksi cacing yaitu Schistosoma japonicum, Necator americanus, Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Bidang kecerdasan yang diteliti dalam penelitian ini dengan WISC adalah learning domain, memory domain, verbal influency, dan the Philippine Non-Verbal Intelligence Test. Dari hasil penelitian terhadap infeksi A lumbricoides diperoleh bahwa infeksi ini berhubungan dengan buruknya performan pada memory domain. Dan infeksi T trichiura berhubungan dengan buruknya performan pada tes verbal fluency.

Gardnier dkk (1996) melakukan penelitian secara randomized-contolled, double blind, treatment trial terhadap 97 orang anak sekolah di Jamaica yang terinfeksi cacing T trichiura dengan derajat infeksi ringan dan sedang. Setiap anak diberikan 7 tes neuropsikologis dari skala WISC berupa : french learning, digit spans (forwards and bacwards), corsi block spain, fluency, picture search dan silly sentences. Diperoleh bahwa skor yang buruk hanya pada tes silla sentences. Dari tes ini diperoleh kesimpulan bahwa kemungkinan hanya sedikit efek infeksi cacing T trichiura terhadap gangguan kecerdasan anak - anak yang infeksi

T trichiura dengan derajat rinfeksi ringan dan sedang.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001). Ini berarti ada hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan

STH dengan tingkat kecerdasan. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan. Anak dengan derajat infeksi ringan terlihat mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih baik dibandingkan anak dengan derajat infeksi sedang. Jadi dari penelitian ini diperoleh bahwa tingkat kecerdasan seorang anak dipengaruhi oleh derajat infeksi yang dideritanya. Anak dengan tingkat kecerdasan average dan high Average dapat diduga

STH dengan tingkat kecerdasan. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan. Anak dengan derajat infeksi ringan terlihat mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih baik dibandingkan anak dengan derajat infeksi sedang. Jadi dari penelitian ini diperoleh bahwa tingkat kecerdasan seorang anak dipengaruhi oleh derajat infeksi yang dideritanya. Anak dengan tingkat kecerdasan average dan high Average dapat diduga

Dokumen terkait