• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI KOTAMADYA MEDAN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI KOTAMADYA MEDAN TESIS"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775 KOTAMADYA MEDAN. TESIS. OLEH AGUSTINA SAMOSIR 107027004/IKT. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013.

(2) HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775 KOTAMADYA MEDAN. TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. OLEH AGUSTINA SAMOSIR 107027004/IKT. PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013.

(3) PENGESAHAN TESIS. Judul Tesis. : HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775 KOTAMADYA MEDAN Nama Mahasiswa : AGUSTINA SAMOSIR Nomor Induk : 107027004 Mahasiswa Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Menyetujui Komisi Pembimbing. Prof.dr.Aman A.P.Depari, DTM&H, Sp.Park Ketua. Ketua Program Studi,. Prof.dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K). dr. HemmaYulfi, DAP&E, M.Med,Ed Anggota. D e k a n,. Prof.dr.Gontar A. Siregar SpPd- KGEH.

(4) PERNYATAAN ORISINALITAS. HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775 KOTAMADYA MEDAN. TESIS. Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.. Medan,. April 2013. Agustina Samosir NIM. 107027004.

(5) PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS. Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi Jenis Karya Ilmiah. : Agustina Samosir : 107027004 : Magister Kedokteran Tropis : Tesis. Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul: HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775 KOTAMADYA MEDAN. Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti NonEksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.. Medan,. April 2013. Agustina Samosir.

(6) Telah diuji pada Tanggal :27 April 2013. PANITIA PENGUJI TESIS Ketua. : Prof.dr.Aman A.P.Depari, DTM&H, Sp.Park. Anggota. :. 1. dr. HemmaYulfi, DAP&E, M.Med,Ed 2. Prof.dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) 3. dr. Lambok Siahaan, MKT.

(7) KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan selesainya penulisan tesis ini perkenankanlah saya untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada : Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, SpA (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kedokteran Tropis. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp PD – KGEH, atas kesempatan untuk mengikuti program Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA (K) beserta jajarannya atas kesempatan, bimbingan serta petunjuk selama saya menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Prof. dr. Aman A.P. Depari, DTM&H, Sp Park dan dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med.Ed sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan mengarahkan saya dalam menulis tesis ini. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis yang telah memberikan masukan dan dorongan kepada penulis. Kepada alm. ayah saya S. Samosir dan ibunda Shinta Sihite yang selalu mendoakan, melimpahiku dengan penuh kasih sayang saya sampaikan hormat yang setinggi-tingginya. Juga kepada kakanda Dra. Perak Samosir M.Si yang banyak membantu dalam buku referensi dan proses penyelesaian tesis ini saya ucapkan terimakasih. Kepada suamiku tercinta Ir. Patuan Pasaribu, MM dan ketiga putra-putriku tersayang Benhard, Venissha dan Johan, dari lubuk hati yang paling dalam saya sampaikan terima kasih atas dorongan, kesabaran dan pengertian yang diberikan selama saya mengikuti pendidikan, bagiku “My Family is My Sprit”. Semoga tesis ini dapat berguna bagi sesama manusia.. Medan,. April 2013. Penulis.

(8) RIWAYAT HIDUP. Nama lengkap Tempat/ tanggal lahir Agama NIP Pangkat/ Golongan Nama Ayah Nama Ibu Nama Suami Nama Anak. : Agustina Samosir : Medan, 22 Agustus 1966 : Kristen Protestan : 140351739 : Pembina / IV a : Sumihar Samosir (Alm) : Sinta Sihite : Ir. Patuan Pasaribu MM : 1. Benhard M. Pasaribu (18 tahun) 2. Venissha C. Pasaribu (15 tahun) 3. Johan N. Pasaribu (12 tahun) Riwayat Pendidikan : - Tamat SD Parulian Medan 1977 - Tamat SMP Negeri 3 Medan 1981 - Tamat SMA Negeri 5 Medan 1984 - Tamat Dokter Umum FK-USU 1993 Riwayat Pekerjaan : - Dokter PTT Puskesmas Berastagi - Dokter Puskesmas Prabumulih Barat - Kepala Puskesmas Pasar Prabumulih - Kepala Puskesmas Prabumulih Barat - Dokter Puskesmas Pangkalan Susu - Dokter Puskesmas Karang Rejo. 1996 - 1999 2000 - 2005 2005 - 2006 2006 - 2008 2008 - 2011 2011 – sekarang.

(9) ABSTRAK Latar Belakang : Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthiasis atau STH) masih merupakan masalah dunia terutama di daerah tropik dan sub tropik, termasuk di Indonesia. Penelitian Pasaribu pada tahun 2003 dan Ezeamama dkk pada tahun 2005 menunjukkan bahwa anak usia sekolah dasar (SD) merupakan kelompok umur yang paling sering terinfeksi oleh cacing usus yang ditularkan melalui tanah, hal ini disebabkan karena anak SD paling sering berkontak dengan tanah sebagai sumber infeksi. Infeksi cacing yang cukup tinggi prevalensinya di Indonesia adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Trichuris trichiura. Secara umum, infeksi cacing usus ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan. Tujuan Penelitian : Untuk melihat hubungan antara derajat infeksi cacing STH terhadap tingkat kecerdasan pada anak di SD 067775 Kotamadya Medan. Hasil : Pada SD Negeri 067775 dijumpai anak derajat infeksi ringan 63%, infeksi sedang 37% dan infeksi berat 0%. Tingkat kecerdasan mental defective 12,9 %, borderline 25,8 %, low average 29 %, average 27,4 %, high average 4,8 %. Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi cacing STH terhadap tingkat kecerdasan pada anak di SD 067775 Kotamadya Medan. Kata Kunci: infeksi cacing STH, derajat infeksi, tingkat kecerdasan, kejadian anemia, status gizi..

(10) ABSTRACT Background: Intestinal worm infection transmitted through soil (soil transmitted helminthiasis/STH) is still a world health problem particularly in tropical and subtropical regions including in Indonesia. Generally, STH can cause anemia, malnutrition and growth and intelligence faltering. Objective: To examine the relationship between the degree of STH worm infection suffered by primary school students and their intelligence level. Methods: A cross-sectional study was carried out among a purposive sample of 150 students of SDN 067775 in Medan City from July until August 2012. Feces examination was conducted using Kato-Katz method, while intelligence level was measured using Wechsler Intelligence Scale for Children. The statistical analysis was done employing cross tabulation and Kolmogorov-Smirnov test. Results: 62 students (41%) were positive for worm eggs in their feces. 63%, 37% and none of students experienced respectively light, moderate and serious infection. Most students (68%) had mental intelligence below the average. The Kolmogorov-Smirnov z test statistic of the relationship between the STH infection level and intelligence level is 3.413. Conclusion: The degree of STH worm infection suffered by the primary school students and their intelligence level associates significantly. Keywords: soil transmitted helminthiasis worm infection, degree of infection, intelligence level, anemia incidence, nutritional status, Medan, Indonesia..

(11) DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ................................................................................................. i-ii KATA PENGANTAR ............................................................................. iii - iv RIWAYAT HIDUP ................................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................. vi - vii DAFTAR TABEL .................................................................................... viii-ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................ x DAFAR LAMPIRAN ............................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1 I.1. Latar Belakang .................................................................... 2 I.2. Perumusan Masalah ............................................................. 3 I.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 4 I.4. Manfaat Penelitian ............................................................... 5 I.5. Hipotesis Penelitian ............................................................. 5 BABII TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 6 II.1. Definisi Kecerdasan ........................................................... 6 II.2. Epidemiologi ...................................................................... 9 II.3. Morfologi, Daur hidup, Patogenesa Ascaris lumbricoides . 10 II.4. Morfologi, Daur hidup, Patogenesa Trichuris trichiura .... 13 II.5. Morfologi, Daur hidup, Patogenesa Cacing Tambang ....... 16 II.6. Reaksi Imunologi pada infeksi cacing ............................... 20 II.7. Status Anemia Gizi Anak .................................................... 21 II. 8. Status Gizi Berdasarkan Hasil dan Rekomemendasi Semiloka Antropometri di Indonesia .................................. 21 BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 24 III.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 24 III.2. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................ 24 III.3 Rancangan Penelitian . ....................................................... 24 III.4. Metode Pengumpulan Data .............................................. 25 III.5. Kerangka Konsep Penelitian ............................................ 25 III.6. Kerangka Kerja Penelitian ............................................... 26 III.7. Defenisi Operasional ........................................................ 27 III.8. Metode Analisis Statistik .................................................. 28 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................... IV. 1. Hasil Penelitian ................................................................. IV.2. Pembahasan ……………………………………………...... 29 29 38. BAB V. 45 45 45. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………... V.1. Kesimpulan …………………………………………….... V.2. Saran ……..……………………………………………... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 46.

(12) DAFTAR TABEL. Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19. Halaman : Kategori Pengukuran Kecerdasan ............................................. 8 : Klasifikasi Intelegensia berdasarkan skala Weschler ............... 8 : Defenisi Operasional ................................................................ 27 : Hasil Pemeriksaan Telur Cacing pada Siswa SD 067775 ……. 29 : Distribusi umur siswa SD yang terinfeksi cacing ………….. 30 : Distribusi jenis kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing …… 30 : Distribusi suku siswa SD yang terinfeksi cacing ……………. 30 : Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing …………… 31 : Distribusi derajat infeksi siswa SD yang terinfeksi cacing …... 31 : Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing 32 : Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing 32 : Distribusi Status Gizi Anak .................................................... 33 : Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing 33 : Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan ………... 34 : Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Kejadian Anemia .................................................................................... 35 : Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Status Gizi 35 : Hubungan Kejadian Anemia dengan Tingkat Kecerdasan ….. 36 : Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Tingkat Kecerdasan ............................................................................. 37 : Variabel WISC Berdasarknan Derajat Infeksi ......................... 38.

(13) DAFTAR GAMBAR. Gambar 1 : Cacing dan Telur Ascaris lumbricoides ................................... Gambar 2 : Siklus Hidup Cacing Ascaris Lumbricoides ............................. Gambar 3 : Cacing dan Telur Trichiuris lrichiura ...................................... Gambar 4 : Siklus Hidup Cacing Trichiuris trichiura ................................ Gambar 5 : Bagian Mulut Cacing A duodenale dan N americanus ............ Gambar 6 : Siklus Hidup Cacing Tambang ................................................. Halaman 11 12 14 15 16 19.

(14) DAFTAR LAMPIRAN. Halaman Lampiran 1 : WISC Record Form ............................................................. Lampiran 2 : Surat Pernyataan Kesediaan ................................................ Lampiran 3 : Kuisioner Penelitian ............................................................ Lampiran 4 : Pemeriksaan Tinja Cara Kato-Katz ..................................... Lampiran 5 : Pemeriksaan Hb Cara Cyan ................................................. Lampiran 6 : Status Gizi ........................................................................... Lampiran 7 : Surat Komite Fakultas Kedokteran Sumatera Utara ....... Lampiran 8 : Daftar Pemeriksaan Telur Cacing ..................................... Lampiran 9 : Data Klinis Anak ............................................................... Lampiran 10 : Hasil Tes IQ ....................................................................... Lampiran 11 : Output SPSS Statistika Deskriptif ...................................... Lampiran 12 : Output SPSS Uji Statistika Nonparametrik (Uji Kolmogorov-Smirnov) ……………………………... 50 51 52 54 55 57 58 59 63 65 67 72.

(15) DAFTAR SINGKATAN ADCC dkk EPG Hb IGF 1 Ig IL IQ kg L LTD 4 mg NEPG PIQ ROI SD STH TNF um VIQ WHO WISC. : Antibody Defendenr Cell Cytotoxicity : dan kawan kawan : egg per gram : Hemoglobin : Insuline like growth factor 1 : Immunoglobulin : Interleukin : Intelligence Quotient : kilogram : liter : Leukotrin D 4 : milligram : number of egg per gram : performance intelligence quotient : reactive oxygen intermediate : standar deviasi : soil transmitted helminth : Tumor Necrosis Factor : mikrometer : verbal inteligence quetient : World Health Organization : Wechsler Intelligence Scale for Children.

(16) BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helmithiasis) disebut juga penyakit infeksi kecacingan STH, masih merupakan problema kesehatan masyarakat terutama di daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia. Penyakit yang termasuk dalam kelompok kurang mendapat perhatian (neglected disease) ini memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tibatiba namun menyebabkan banyak korban, dan merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan gangguan penyerapan gizi dan dapat menyakibatkan penurunan tingkat intelegensia anak (Sudomo M, 2008). Badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) memperkirakan lebih dari 1 milyar penduduk dunia terinfeksi dengan cacing usus, terutama yang penularannya melalui tanah, dan kira-kira 400 juta diantaranya menyerang anak-anak (WHO, 1996). Anak usia sekolah dasar (SD) merupakan kelompok umur yang paling sering terinfeksi oleh cacing usus yang ditularkan melalui tanah, hal ini disebabkan karena anak SD paling sering berkontak dengan tanah sebagai sumber infeksi (Pasaribu, 2003, Ezeamama dkk, 2005). Di Indonesia, angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%, masih relatif cukup tinggi. Program pemberantasan penyakit kecacingan pada anak yang dicanangkan pada tahun 1995 efektif menurunkan prevalensi kecacingan menjadi 33,3% pada tahun 2003. Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebagai berikut: 33,3%; 33,3%’ 46,8%; 28,4%; 32,6% (Depkes RI, 2008). Diperkirakan 60%-90% penduduk Indonesia menderita penyakit infeksi kecacingan STH, dimana prevalensi tertinggi terdapat pada anak SD (Hadidjaja, 1998). Penyebaran penyakit ini lebih sering pada daerah beriklim tropis dan sub.

(17) tropis, walaupun dijumpai juga pada daerah beriklim sedang dan dingin (Kazura, 2000). Di Indonesia, mematoda usus yang paling banyak dijumpai pada manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris trichiura, Enterobius vermicularis, sedangkan Strongyloides stercoralis jarang dilaporkan. Hasil survei Subdit Diare Depkes RI pada tahun 2002 dan 2003, ditemukan bahwa pada 40 SD di 10 propinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2%-90,3% (Depkes RI. 2006). Prevalensi Ascaris di Sumatera Utara diperkirakan 50%-79,9%, Trichuariasis 80%-100%, dan infeksi hookworms 50%-79,9% (de Silva dkk, 2003). Sri Alemina (2002). menemukan bahwa prevalensi. infeksi pada anak. SD di Desa Suka. Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo mencapai 70%. Menurut Ritarwan (2006) di kota Medan ditemukan prevalensi Ascariasis 29,2 %, Trichuriasis 6,3 % dan infeksi campuran Ascariasis + Trichuriasis sebesar 58,3 %. Pasaribu (2003) melaporkan dari lima SD di desa Suka Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo diperoleh 283 diantara 310 anak, (91,3%) positif mengandung telur cacing usus, 252 anak diantaranya (89%) mengandung telur Ascaris lumbricoides, diantara 252 anak ini, ternyata anak yang menderita infeksi campuran sebanyak 89,7% dan hanya 26 anak (10,3%) menderita infeksi tunggal Ascaris lumbricoides, 216 anak (95,6%) dengan infeksi campuran A lumbricoides dan T trichiura, 9 anak (9%) dengan infeksi campuran A lumbricoides, T trichiura dan cacing tambang serta seorang anak (0,4%) dengan infeksi campuran A lumbricoides dan cacing tambang (Firmansyah, 2003). Secara umum, infeksi cacing usus ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan. Dalam jangka panjang apabila terjadi infeksi terus menerus akan menurunkan kualitas sumber daya manusia (Montressor et al, 1998). Mengingat bahwa prevalensi tertinggi infeksi kecacingan STH terdapat pada anak usia sekolah dasar, dikuatirkan infeksi cacing dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan seorang anak. Belum diketahui secara pasti bagaimana proses ini terjadi,.

(18) namun diduga proses ini terjadi secara tidak langsung, mungkin melalui kejadian anemia dan malnutrisi yang diderita anak akibat terinfeksi kecacingan STH (Awasthi et al, 2003). Menurut Siregar (2006) respon tubuh terhadap infeksi cacing usus sangat bervariasi, sehingga menimbulkan berbagai jenis gejala klinis. Bila akibat infeksi yang terjadi berat, maka gangguan pertumbuhan akan terjadi sehingga dapat menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan. Namun bila akibat yang ditimbulkannya ringan, tidak terjadi gangguan pertumbuhan. Ritarwan (2006) telah melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecerdasan antara anak yang terinfeksi cacing dan anak yang tidak terinfeksi cacing. Dari penelitian ini diperoleh bahwa memang ada perbedaan tingkat kecerdasan antara anak yang terinfeksi cacing dengan anak yang tidak terinfeksi cacing. Dalam penelitian ini, penulis hendak melanjutkan penelitian tersebut untuk melihat apakah ada perbedaan tingkat kecerdasan pada anak SD penderita infeksi kecacingan STH di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan berdasarkan derajat infeksi cacing yang berbeda. Dalam penelitian ini akan dilihat juga distribusi penderita infeksi kecacingan STH menurut umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan, kejadian anemia dan status gizi anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. I.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 2. Bagaimana hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 3. Bagaimana hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 4. Bagaimana hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan..

(19) 5. Bagaimana hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. I.3.Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan pada anak sekolah dasar. I.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian adalah : 1.. Untuk. mengetahui. prevalensi. infeksi. kecacingan. STH (Ascaris. lumbricoides dan Tricuris trichiura) pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 2.. Untuk mengetahui distribusi penderita infeksi kecacingan STH menurut umur, jenis kelamin, suku, kelas, derajat infeksi kecacingan STH, tingkat kecerdasan, kejadian anemia, status gizi dan jenis infeksi cacing dari anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.. 3.. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.. 4.. Untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.. 5.. Untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.. 6.. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.. 7.. Untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan..

(20) I.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah : 1. Meningkatkan usaha pencegahan akibat penyakit infeksi kecacingan STH pada anak sekolah, seperti status gizi yang buruk, gangguan pertumbuhan, anemia dan tingkat kecerdasan yang berkurang. 2. Membantu Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dalam program pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat infeksi cacing usus sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. I.5. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian adalah : 1. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 2. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 3. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 4. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. 5. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan Medan.. pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya.

(21) BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1. Definisi Kecerdasan Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat fikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut dengan test IQ (Rositayanti, 2012). Claparde. menyatakan. bahwa. intelegensi. adalah. kemampuan. untuk. menyesuaikan secara mental terhadap situasi atau kondisi yang baru. Buhler menyatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Weschler (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk belajar (ability to learn), bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif. (Kolb, 1984 ). Stenberg & Slater (1982) mendefinisikan kecerdasan sebagai tindakan atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif. Menurut. Thurstone. (1924/1973). spesifikasi. kecerdasan. terdiri. dari. pemahaman dan kemampuan verbal, angka dan hitungan, kemampuan visual, daya ingat, penalaran, kecepatan perseptual. Makin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, makin memungkinkannya melakukan suatu tugas yang banyak menuntut rasio dan akal dan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya kompleks ( Kolb, 1984). Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi.

(22) Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern (1912), yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anakanak. Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf kecerdasan membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ). Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), karena ini pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik dibandingkan dengan pengukuran tingkat kecerdasan yang lain (skala Stanford-Binet). Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), yang terbagi atas 12 macam test dan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu: verbal dan performa sebagaimana tabel dibawah ini :.

(23) Tabel 1. Kategori Pengukuran Kecerdasan SKALA VERBAL SKALA PERFORMANCE 1. Informasi 1. Melengkapi gambar 2. Pemahaman 2. Menyusun gambar 3. Hitungan 3. Rancangan Balok 4. Persamaan 4. Perakitan objek 5.Perbendaharaan kata 5. Simbol 6.Rentangan angka 6. Mazes Dikutip dari David Wechsler,1974. Pemberian skor pada WISC didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut. Skor tesebut kemudian diterjemahkan dalam angka standard melalui norma sehingga akhirnya diperoleh angka IQ untuk skala verbal, dan satu angka IQ untuk skala performans dan satu angka IQ untuk keseluruhan, skala Test Intelligensi Wecshler adalah test individual, yang diberikan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Serta dasar pengukurannya adalah deviation IQ dengan nilai rata-rata 100 dan besar penyimpangan = 15 (Kolb, 1984). Berikut ini pada Tabel 2 diberikan klasifikasi intelegensia berdasarkan skala Wechsler. Tabel 2. Klasifikasi Intelegensia berdasarkan Skala Wechsler Skala Wechsler. ≥ 128. Klasifikasi. Skala Stanford Binet Diatas 170 Genius. Klasifikasi khusus. Very superior. 140 – 169. 120 – 127. Superior. 120 – 139. 111 – 119. Bright normal/ High average. 110 – 119. 60 – 83 Borderline. 91 – 110. Average. 90 – 109. 52 – 67 Mild Mental Retardation. 80 – 90. Dull Normall/Low average. 80 – 89. 36 – 51 Moderate mental retardation. 66 – 79 ≤ 65. Borderline Mentally defective. 70 – 79. 20 – 35 Sever mental retardation Dibawah 19 Profound Mental Retardation. Dikutip dari David Wechsler,1974.

(24) II.2. Epidemiologi Anak usia pra sekolah sangat mudah mengalami defisiensi besi akibat infeksi cacing, sementara mereka berada dalam masa perkembangan mental dan fisik yang maksimum dan cepat, terutama sekali sangat membutuhkan vitamin dan mikronutrient yang hilang akibat infeksi cacing (Pollit, 1997; Siregar, 2006). Diperkirakan 1,47 milyar penduduk dunia menderita Ascariasis dengan morbidity rate 23,7% dan mortality rate 0,02%, penderita Trichuariasis diperkirakan 1,3 milyar penduduk dunia dengan morbidity rate 20,9% dan mortality rate 0.005%, sementara 1.3 milyar penduduk dunia menderita infeksi hookworms dengan morbidity rate 12,3% dan mortality rate 0.04% (Oemijati, 1996). Prevalensi di Indonesia menurut beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang relatif tinggi, lebih dari 60%-90% dan prevalensi terbesar ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah dasar (Oemijati, 1996). Hasil survei cacing di sekolah dasar di beberapa propinsi pada tahun 19861991 menunjukkan prevalensi 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar 40%-60%. Hasil survei Subdit Diare Depkes RI pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 propinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%-96,3% (Depkes, 2006). Laporan Broker (2002) menyebutkan distribusi infeksi cacing di Indonesia secara geografis menunjukkan prevalensi yang berbeda. Prevalensi tertinggi di Irian dan Sumatera Utara, sementara prevalensi terendah ditemukan di Jawa Timur. Hasil penelitian di beberapa SD di Badung menunjukkan prevalensi infeksi 58,3%-96,8%. Penelitian Wachidanijah (2002) pada anak SD di Kebumen menunjukkan prevalensi 70,6% dan 58,4% diantaranya pada anak berusia 11-13 tahun. Beberapa penelitian di Kabupaten Deli Serdang menunjukkan prevalensi infeksi cacing sebesar 87% (Tiangsa, 1985), sementara prevalensi infeksi berdasarkan cacing yang menginfeksi yaitu prevalensi Ascariasis 76,2%, Trichuariasis 77,2% dan infeksi cacing tambang 10,9% (Alemina, 2002)..

(25) Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam tingginya prevalensi infeksi cacing STH, antara lain faktor sosio demografi dan faktor tindakan pengobatan yang dilakukan. Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat infeksi dan secara geografis, Sumatera Utara adalah salah satu wilayah dengan distribusi infeksi cacing tertinggi di Indonesia. Perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosial ekonomi juga erat kaitannya dengan prevalensi infeksi cacing. Pengetahuan dan perilaku seorang anak dan orang tua khususnya ibu, erat kaitannya dengan tingkat infeksi, berhubungan dengan epidemologi penyakit. Perilaku hidup bersih dan sehat seorang anak sangat berpotensi untuk mencegah terjadinya infeksi cacing. II.3. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides yang kita sebut juga cacing gelang termasuk family Ascarididae, Genus Ascaris. Hospesnya adalah manusia, cacing ini menyebabkan penyakit yang disebut Ascariasis. Penyebarannya diseluruh dunia (kosmopolit) dan lebih sering dijumpai pada anak usia diatas 5 tahun sampai 10 tahun. Di Indonesia frekwensinya tinggi yaitu 80%-90%. (Brown 1982: Beaver dkk, 1984) II.3.1. Morfologi Morfologi cacing terdiri dari: •. Cacing betina panjangnya 20cm-35cm, bentuk silindris (bulat panjang), warna putih kemerah-merahan. Ekor lurus/ Tidak melengkung.. •. Cacing jantan panjangnya 10cm-30cm bentuk silindris, warna putih kemerahmerahan. ekor melengkung.. Morfologi telur terdiri dari: •. Stadium tidak dibuahi: ukuran ± 90 x 40 mikron, dinding dalam: hialin tipis, dinding luar: albuminoid kasar berwarna kuning trengguli. Berisi granulagranula kasar.. •. Stadium dibuahi terdiri dari : corticated ukuran ± 60 x 45 mikron, dinding dalam: hialin tebal, dinding luar albuminoid kasar berwarna kuning trengguli dan decorticated tanpa lapisan albuminod (Pinardi, 1994)..

(26) Gambar 1. Cacing dan Telur Ascaris lumbricoides Dikutip dari: http://curezone.com/image_gallery/parasites/ http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3.8/008_02. II.3.2 Daur Hidup Daur hidup Ascaris lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina di usus halus kemudian dikeluarkan bersama tinja, dengan kondisi yang menguntungkan seperti udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung matahari, embrio akan berubah didalam telur menjadi larva yang infektif. Apabila manusia tertelan telur yang infektid, larva akan keluar di duodenum dan kemudian menembus dinding usus halus menuju ke venula mesenterika, masuk ke sirkulasi portal, kemudian ke jantung kanan melalui pembuluh darah kecil paru sampai di jaringan alveolar paru. Setelah itu larva berimigasi ke saluran nafas atas yakni daerah bronkiolus, menuju bronchus, trachea, epiglottis kemudian tertelan, turun ke esophagus, dan menjadi dewasa di usus halus.Dalam perjalanan siklus hidupnya larva A lumbricoides dapat menyebabkan trauma pada alveoli berupa pendarahan (petechial hemorrhage). Yang mengakibatkan darah mengumpul di alveoli dan bronkioli sehingga menyebabkan edema paru, keadaan ini disebut dengan Pneumonitis ascaris (Bundy dkk, 2000). A lumbricoides dapat hidup dalam tubuh penderita selama 12-18 bulan (Brown, 1982; Kazura, 2000; Haburchak, 2001). Untuk kelangsungan hidupnya, cacing gelang ini membutuhkan karbohidrat dan protein dalam jumlah yang relatif besar (karbohidrat 0,14 gram perekor per hari dan protein 0,035 gram perekor per hari) (Maharani, 2005)..

(27) Gambar 2. Siklus hidup cacing A lumbricoides Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov.. II.3.3. Patogenesis A lumbricoides menimbulkan gejala penyakit yang disebabkan oleh: a. Larva Larva bisa menimbulkan kerusakan paru – paru tetapi biasanya hanya kerusakan kecil dan larva ini dapat menyebabkan Loeffler syndrome dengan gejala sebagai berikut: - Demam, batuk, Infiltrasi paru – paru, Asthma, Leukosiotis, Eosinofilia, Foto Thorax menggambarkan seperti gambaran Pneumonia. Ini akibat migrasi larva di paru – paru. Gejala klinis ini biasanya hanya ringan saja kecuali bagi orang yang sensitive, bisa agak berat (Brown, 1982; Beaver dkk, 1984). b. Cacing Dewasa Adanya A lumbricoides dalam usus halus dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, berupa proses peradangan pada dinding usus, pelebaran dan memendeknya villi, bertambah panjangnya kripta, menurunnya ratio villus.

(28) kripta dan infiltrasi sel bulat ke lamina propria. Kondisi ini berakibat pada gangguan absorbs makanan. Sebagian kelainan ini dapat kembali normal bila cacing dikeluarkan (Onggowaluyo dkk, 1998). Efek langsung yang terukur akibat kelainan mukosa usus halus adalah meningkatnya nitrogen dalam tinja. Steatorhoe karena terjadi gangguan absorbsi lemak, gangguan absorbsi karbohidrat yang diukur dengan xylo test. Akibat lainnya cacing gelang ini menyebabkan hiperperistaltik sehingga menimbulkan diare. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak enak diperut, kolik akut pada daerah epigastrium dan gangguan selera makan (Brown, 1982; Beaver dkk, 1984). Cacing mungkin juga masuk ductus choledochus, appendix, menyumbat ampula vateri dan menyebabkan Pancreatitis haemoragik. Waktu muntah, cacing dewasa dapat juga keluar melalui mulut dan hidung. Dalam sehari setiap ekor cacing ini menghisap 0,14 gram karbohidrat dan protein 0,035 gram dalam usus halus penderita.(Gani; 2004). II.4. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Trichuris trichiura Trichuris trichiura (whip worm) atau cacing cambuk merupakan salah satu Nematoda usus yang penting pada manusia cacing Trichuris ini termasuk family Trichinellidae, genus Trichiuris. Hospes definitifnya adalah manusia dan habitat normalnya di sekun dan kolom ascendes (Beaver dkk, 1984; Kazura.2000) II.4.1 Morfologi Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spirulun..

(29) Gambar 3. Cacing dan Telur Trichuris trichiura Dikutip dari : http://www.dpd.cdc.gov.. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan, dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan – kuningan dan bagian dalamnya jernih. II.4.2 Daur Hidup Daur hidup cacing ini dimulai dengan tertelannya telur yang mengandung embrio matur (stadium infektif), kemudian larva menetas di usus halus, larva ini selanjutnya masuk kedalam villi usus halus dan menetap selama3 sampai 10 hari kemudian berimigrasi ke lumen sekum. Tiga per empat anterior bagian cacing masuk (embedded) di mukosa superfisialis dan bagian posterior yang pendek bebas di dalam lumen. Cacing berkembang menjadi dewasa dan mampu bertelur dalam waktu 1 sampai 3 bulan. Rata – rata usia cacing dewasa adalah 1 tahun (Beaver dkk,1984; Strickland, 2000)..

(30) Gambar 4. Siklus hidup Trichuris trichiura. Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov. II.4.3. Patogenesis Mekanisme pasti bagaimana T trichiura menimbulkan kelainan pada manusia tidak diketahui, akan tetapi diketahui ada dua proses yang berperan yakni trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding sekum dehingga menyebabkan reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh lg E, terlihat infiltrasi lokal eosinofil di submukosa usus dan dapat terjadi edema pada dinding usus. Pada keadaan ini mukosa mudah berdarah. Pada infeksi berat dapat dijumpai mencret yang mengandung darah dan lendir (sindroma disentri klasik/ Trichuris disentry syndrome, massive infantile Trichuriasis), menimbulkan intoksikasi sistemik dan diikuti anemia.. Ada juga. sindroma disentri yang lebih ringan berupa kolitis dengan gangguan kecerdasan. Anemia yang ditimbulkan cacing T trichiura, pernah dilaporkan kadar hemoglobin penderita mencapai 3gr/dl akibat infeksi cacing ini (Beaver dkk, 1984; Strickland, 2000; WHO, 1996; Onggowaluyo dkk, 1998)..

(31) Efek infeksi T trichiura dapat menyebabkan menurunnya insulin like growth factor (IGF-1), suatu hormon pertumbuhan bersifat anabiotik yang berfungsi pada pertumbuhan skeletal dan hematopoesis (Duff dkk,1999). Plasma IGF-1 meningkat pada masa anak dan mencapai puncaknya pada pubertas. Hormon ini merupakan marker biokimia yang baik untuk menilai gangguan pertumbuhan dan menilai gangguan nutrisi pada seorang anak (Clayton dkk, 2003). Dari suatu penelitian terhadap 14 anak sekolah usia dasar dengan sindroma disentri trikuris. Didapatkan kadar plasma IGF-1 rendah, kadar serum tumor necrosis factor (TNF) meningkat. Konsentrasi rerata hemoglobin rendah dan sintesis kolagen menurun. Keadaan tersebut bila berlangsung kronik ini akan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak (Duff dkk, 1999). Bila infeksinya ringan biasa asymptomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diare dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun. II.5. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Cacing Tambang II. 5. 1 Morfologi Ancylostoma cenderung lebih besar dan daripada Necator. Cacing dewasa jarang terlihat karena melekat erat pada mucosa usus dengan bagian mulutnya berkembang dengan baik (gigi pada Ancylostoma dan lempeng. pemotong pada. Necator) (Gambar 5).. Dikutip dari : http://www.dpd.cdc.gov. Gambar 5. Bagian mulut cacing A duodenale dan N americanus.

(32) Telur- telur yang keluar bersama feses biasanya pada stadium awal pembelahan, bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kira-kira panjang 60µm dan lebar 40µm. Ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih di antara embrio dengan kulit yang tipis (Kazura, 2000; Gilman, 2000). Cacing dewasa berbentuk silindrik. Ukuran cacing betina 9-13 mm dan cacing jantan 5-10 mm. Bentuk Necator americanus seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale seperti huruf C. Rongga mulut kedua species cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator americanus mulut dilengkapi gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip. Kedua cacing ini, yang jantan ujung ekornya mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung ekornya lurus dan lancip. Kedua spesies cacing dewasa ini secara morfologis mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh, rongga mulut, dan bursa kopulatriksnya). II.5.2 Daur Hidup Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh Necator americanus dan Anyclostoma duodenale. Manusia merupakan tuan rumah utama infeksi cacing ini. Di Indonesia lebih sering disebabkan oleh Necator americanus.. Dari suatu. penelitian diperoleh bahwa sepuluh anak-anak, telah terinfeksi sebelum usia 5 tahum dan 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi meningkat sampai usia 6-7 tahun (Kazura, 2000; Gilman, 2000). Cacing tambang dapat menghasilkan telur 10.000 - 20.000 setiap harinya. Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah, didalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal telur akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform, yang kemudian berkembang menjadi larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform berlangsung 5-10 hari. Larva ini masuk kedalam tubuh manusia dengan menembus kulit dan tertelan bersama makanan atau air yang terkontaminasi kemudian masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai alveoli kemudian bermigrasi ke saluran nafas setelah itu larva masuk ke esophagus tertelan dan menjadi dewasa di usus halus..

(33) Migrasi melalui darah dan paru – paru berlangsung selama 1 minggu, sedangkan siklus dari larva berlangsung selama 7-8 minggu (Kazura, 2000; Gilman, 2000). Cacing ini dapat bertahan selama 7 tahun atau lebih (Gilman, 2000). Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat pada lapisan mukosa dan submukosa usus halus dengan rongga mulutnya. Cacing ini menyebabkan laserasi pada kapiller villi usus halus dan menyebabkan pendarahan lokal pada usus. Sebagian dari darah akan ditelan oleh cacing dan sebagian keluar bersama dengan tinja. Tinja penderita dapat mengandung sejumlah darah. Pada infeksi sedang (angka telur pergram tinja > 5000) kehilangan darah dapat didektesi dalam tinja rata-rata 8 ml per hari. Sehingga gejala utama infeksi cacing ini adalah terjadinya. anemia. (Anemia. Hypochrom. Microcyter). dan. defisiensi. besi. (Onggowaluyo dkk, 1998). Gejala klinis yang terjadi tergantung pada derajat infeksi, makin berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok berupa anoreksia, mual, muntah, diare, kelelahan, sakit kepala, sesak napas, palpitasi, dispepsia, nyeri disekitar duodenum, yeyunum dan ileum,. juga bisa ditemukan. protein plasma yang rendah (hypoalbuminemia), kelainan absorbsi nitrogen dan vitamin B12, akan tetapi yang paling tetap menonjol adalah berkurangnya zat besi. Dapat juga dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik (Onggowaluyo dkk, 1998; WHO, 1996)..

(34) Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov. Gambar 6. Siklus hidup Cacing Tambang II.5.3. Patogenesis Telur kedua cacing ini keluar bersama-sama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia, dengan waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva Rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 25 μ, rongga mulut panjang dan sempit, esofagus memiliki dua bulbus yang terletak, panjang tubuh bagian anterior. Selanjutnya dalam waktu kira-kira 3 hari, larva rhabditiform berkembang menjadi larva filariform (bentuk infektif) yang panjangnya kira-kira 500 mikron, rongga mulut tertutup dan esofagus terletak >4 panjang tubuh bagian anterior. Larva filariform apat tahan di dalam tanah selama 7-8 minggu. Daur hidup kedua cacing tambang ini mulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring, dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa. Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomiasis di timbulkan oleh adanya larva maupun cacing dewasa. Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, rasa gatal-gatal semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder..

(35) Apabila lesi berubah menjadi vesikuler akan terbuka karena garukan. Gejala ruam papuloeritematosa yang berkembang akan menjadi vesikel. Ini diakibatkan oleh banyaknya larva filariform yang menembus kulit. Kejadian ini disebut ground itch. Apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut. Gejala klinik yang di sebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, ganguan gizi, dan kehilangan darah. II.6. Reaksi imunologi pada infeksi cacing Respon tubuh terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena cacing lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi Ig E dan IL5 merangsang perkembangan dan aktivasi eusinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eusinofil,selanjutnya eusinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit cacing. Eusinofil lebih efektif dibanding leukosit lain karena eusinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing yang masuk kedalam lumen saluran cerna.pertama dirusak oleh IgG, IgE dan dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eusinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik. MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing, Ig E cacing diduga merupakan bagian dari peningkatan masif IgE yang diinduksi IL-4.

(36) oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk memenuhi IgE pada permukaan sel mast untuk dijadikan refrakter terhadap rangsangan antigen cacing (Baratawijaya, 2004). II. 7. Status anemia gizi Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang dari normal yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Depkes RI, 2006). Sedangkan anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan kerena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia defisiensi besi. Salah satu faktor penyebab yang memperberat keadaan anemia pada anak usia sekolah dasar adalah infeksi kecacingan STH. Infeksi cacing yang banyak diderita anak-anak adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus). Pada infeksi cacing gelang yang berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi, efek yang serius terjadi obstruksi usus (ileus, intussuspection). Cacing cambuk dan cacing tambang menghisap darah penderita sehingga dapat menimbulkan anemia (Onggowaluyo dkk, 1998). II. 8. Status gizi berdasarkan hasil dan rekomendasi Semiloka Antropometri di Indonesia. Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut : a. Umur Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya.

(37) kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes, 2006). b. Berat Badan Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan. berat badan pada saat. pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Depkes RI, 2006). c. Tinggi Badan Tinggi badan memberikan gambaran. fungsi pertumbuhan yang dilihat dari. keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya. hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada. umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2006). Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi.

(38) untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Depkes RI, 2006). Untuk menentukan klasifikasi gizi digunakan Z-score (Standar Deviasi = SD) sebagai batas ambang. Kategori sesuai dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). yang dibagi menjadi 4. klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut : a. Batas bawah gizi buruk adalah mean − 3 Standar deviasi (SD). b. Batas bawah gizi kurang adalah mean − 3 SD dan batas atas mean -2 SD. c. Batas bawah gizi sedang adalah mean − 2 SD dan batas atas mean -1 SD. d. Batas bawah gizi baik adalah mean − 1 SD..

(39) BAB III METODE PENELITIAN. III.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di SD Negeri di Medan yakni SD Negeri 067775 Kotamadya Medan. Dari bulan Juli 2012 sampai dengan Agustus 2012. III.2. Populasi dan Sampel Penelitian Sampel penelitian diambil. dari populasi anak–anak SD Negeri 067775.. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik penarikan sampel secara purposive. Populasi sasaran adalah semua anak–anak yang dalam pemeriksaan tinjanya ditemukan telur cacing usus, yang memenuhi kriteria diagnostik yang dilakukan dengan pemeriksaan tinja (EPG), status gizi, status antropometik dan pemeriksaan WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children). Kriteria Inklusi 1. Murid sekolah dasar kelas IV sampai kelas VI (8-12 tahun). 2. Anak yang ditemukan telur cacing usus pada pemeriksaan tinjanya. 3. Mengikuti semua prosedur pemeriksaan dalam penelitian. Kriteria Eksklusi 1. Dalam 1 bulan terakhir ada minum obat cacing. 2. Selama waktu observasi ada melakukan pengobatan (medis atau tradisional) untuk kasus kecacingan. 3. Menderita penyakit kronis. 4. Pindah ke sekolah di luar lokasi penelitian. III.3. Rancangan Penelitian Sampel diambil secara total random sampling, dengan pengolahan data yang digunakan adalah Statistika Deskriptif dan Uji Statistik Nonparametrik. Uji Statistik Nonparametrik digunakan untuk mengolah data dari dua variabel yang merupakan data ordinal yaitu derajat infeksi cacing kecacingan STH dan tingkat kecerdasan..

(40) III.4. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan dengan teknik sampling purposive, dengan cara memeriksa tinja anak dari populasi yang ada. Jumlah populasi sebanyak 150 orang dan anak yang dijumpai telur cacing pada pemeriksaan tinjanya akan menjadi sampel penelitian. III.5. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel Independen. Variabel Dependen. Derajat Infeksi. Tingkat Kecerdasan. Kecacingan STH. Variabel Perantara. Kejadian Anemia. Status Gizi.

(41) III.6 Kerangka Kerja Penelitian. Anak Kelas 4, 5, 6 (150 orang). Pemeriksaan Tinja cara Kato-Katz. Positif, 62 orang. Kriteria inklusi, 62 orang. Negatif, 88 orang. Kriteria eksklusi, 0 orang. Pemeriksaan Hb. Pemeriksaan status gizi. Pemeriksaan tingkat. (cara cyan). (Antropometri WHO). kecerdasan (WISC).

(42) III.7. Definisi Operasional.

(43) III.8. Metode Analisis Statistik Metode analisis statistik yang digunakan adalah : 1. Untuk melihat distribusi. penderita infeksi kecacingan STH menurut. umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan, kejadian anemia dan status gizi anak digunakan analisis data dengan Statistika Deskriptif. 2. Untuk melihat hubungan antara derajat infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah dengan tingkat kecerdasan, digunakan analisis data dengan Uji Statistik Nonparametrik yaitu Uji Kolmogorov-Smirnov..

(44) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. IV.1. HASIL PENELITIAN. IV.1.1 Karakteristik Penelitian Jumlah siswa SD 067775 kelas IV, V dan VI ada sebanyak 150 orang, terdiri dari anak laki-laki sebanyak 83 orang (55%) dan anak perempuan sebanyak 67 orang ( 45%). Siswa kelas IV (dua kelas) sebanyak 81 orang (54%), sedangkan siswa kelas V (1 kelas) sebanyak 33 orang (22%) dan siswa kelas VI (1 kelas) sebanyak 36 orang (24%). Distribusi kelas diberikan pada Tabel 4. Semua anak (100%) bersedia memeriksakan tinjanya. Enam puluh dua anak (41%) dijumpai pemeriksaan tinja yang positif terinfeksi cacing, dengan 39 anak (63 %) derajat infeksi ringan dan 23 anak (37 %) derajat infeksi sedang, dan tidak ditemukan anak dengan derajat infeksi berat pada pemeriksaan ini. Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing pada Siswa SD 067775 Infeksi. n. %. +. 62. 41. −. 88. 59. Enam puluh dua anak ini memenuhi kriteria inklusi, dengan demikian subyek penelitian yang dianalisis berjumlah 62 orang. Analisis selanjutnya akan menggunakan 62 anak ini menjadi sampel yang diteliti. IV.1.2 Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Suku dan Kelas Dari 62 subjek penelitian yang dianalisa, umur termuda penderita adalah 8 tahun dan umur tertua 13 tahun, dengan rata-rata umur 9,68 ± 1,252. Distribusi umur siswa SD yang terinfeksi cacing dikelompokkan menjadi 2 yaitu rentang usia.

(45) 8−10 tahun dan rentang umur 11−13 tahun. Distribusi umur berdasarkan kelompok rentang umur diberikan pada Tabel 5. Tabel 5. Distribusi umur siswa SD yang terinfeksi cacing Karakteristik Umur. n. %. 8−10 tahun. 44. 71. 11−13 tahun. 18. 29. Berdasarkan jenis kelamin, ternyata sama banyaknya jumlah anak laki-laki dan perempuan yakni masing-masing sebanyak 31 orang (50 %). Distribusi jenis kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi jenis kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing n. Karakteristik Jenis Kelamin. %. Laki-laki. 31. 50. Perempuan. 31. 50. Berdasarkan suku, distribusi suku yang terbanyak adalah Minangkabau sebanyak 26 orang (41,9%), diikuti suku Melayu sebanyak 24 orang (38,7 %), sedangkan suku Jawa sebanyak 8 orang (12,9 %), suku Batak sebanyak 3 orang (4,8 %) dan suku Nias. sebanyak 1 orang (1,6 %). Distribusi suku siswa SD yang. terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi suku siswa SD yang terinfeksi cacing Karakteristik Suku. n. %. Batak. 3. 4,8. Jawa. 8. 12,9. Melayu. 24. 38,7. Minangkabau. 26. 41,9.

(46) Nias. 1. 1,6. Berdasarkan kelas siswa, distribusi terbanyak pada siswa kelas IV sebanyak 30 orang (48,4%), siswa kelas V sebanyak 14 orang (22,6%) dan siswa kelas VI sebanyak 18 orang (29%). Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 8. Tabel 8. Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing Karakteristik Kelas. n. %. Kelas IV. 30. 48,4. Kelas V. 14. 22,6. Kelas VI. 18. 29. IV.1.3 Distribusi Derajat Infeksi Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Berdasarkan derajat infeksi yang diderita siswa, distribusi terbanyak adalah derajat infeksi ringan sebanyak 39 orang (62,9%) , derajat infeksi sedang sebanyak 23 orang (37,1%) dan tidak ada derajat infeksi berat. Distribusi derajat infeksi siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi derajat infeksi siswa SD yang terinfeksi cacing Distribusi Derajat Infeksi. n. %. Ringan. 39. 62,9. Sedang. 23. 37,1. Berat. 0. 0. IV.1.4 Distribusi Tingkat Kecerdasan Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Berdasarkan tingkat kecerdasan siswa, distribusi terbanyak adalah low average sebanyak 18 orang (29%), diikuti high average sebanyak 17 orang (27,4%), borderline sebanyak 16 orang (25,8%), mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%),.

(47) dan high average sebanyak 3 orang (4,8%). Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 10. Tabel 10. Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing. Tingkat Kecerdasan. n. %. Mental defective. 8. 12,9. Borderline. 16. 25,8. Low Average. 18. 29. Average. 17. 27,4. High Average. 3. 4,8. Superior. 0. 0. Very Superior. 0. 0. IV.1.5 Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Berdasarkan kejadian anemia siswa, distribusi terbanyak adalah tidak anemia sebanyak 32 orang (52%) dan anak yang anemia sebanyak 30 orang (48%) Distribusi kejadian anemia siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada. Tabel 11.. Tabel 11. Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing %. Kejadian Anemia. n. Anemia. 30. 48. Tidak Anemia. 32. 52. IV.1.6 Distribusi Status Gizi Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Berdasarkan semiloka antropometri di Indonesia ada beberapa cara untuk penentuan status gizi antara lain berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U), dan indeks massa tubuh (IMT)..

(48) Dalam penelitian ini penentuan status gizi dilakukan dengan menggunakan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Tidak dijumpai anak dengan status gizi buruk pada penelitian ini. Berdasarkan status gizi siswa, distribusi terbanyak adalah status gizi baik sebanyak 48 orang (77,4%), diikuti status gizi sedang 12 orang (19,8 %) dan status gizi kurang sebanyak 2 orang (3,2%). Distribusi status gizi siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 12. Tabel 12. Distribusi Status Gizi Anak %. Status Gizi. n. Buruk. 0. 0. Kurang. 2. 3,2. Sedang. 12. 19,8. Baik. 48. 77,4. IV. I. 7. Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Berdasarkan jenis infeksi cacing, distribusi terbanyak adalah infeksi cacing A lumbricoides sebanyak 46 orang (74,19%) dan T trichiura 16 orang (25,81 %). Distribusi jenis infeksi cacing siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 13. Tabel 13. Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Jenis Infeksi Cacing n. %. A lumbricoides. 46. 74,19. T trichiura. 16. 25,81. Dalam penelitian ini tidak ditemukan siswa yang terinfeksi cacing tambang. Mungkin karena letak geografis tempat penelitian ini di perkotaan. Sebab cacing ini banyak terdapat di tanah di perkebunan kopi, teh dan karet, serta daerah pertambangan. Disebut cacing tambang karena saat ditemukan pertama kali oleh.

(49) pekerja tambang yang menderita penyakit ini sehingga disebut dengan cacing tambang. IV.1.8. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan Hubungan antara. status gizi kurang dengan tingkat kecerdasan sebagai. berikut : distribusi status gizi kurang hanya pada mental deffective dan borderline masing-masing sebanyak. 1 orang (1,6%). Status gizi sedang 2 orang (3,2%). mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective, 4 orang (6,5%) borderline , sebanyak 2 orang (3,2%) low average , 4 orang (6,5%) average dan tidak ada high average. Untuk status gizi baik sebanyak 5 orang (8,1%) mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective, 11 orang (17,7%) borderline, sebanyak. 16 orang. (25,8%) low average, 13 orang (21,0%) average dan 3 orang (4,8%) high average. Dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna untuk. hubungan antara. status gizi dengan tingkat. kecerdasan (p = 0,001). Hubungan antara. status gizi dengan tingkat kecerdasan diberikan pada. Tabel 14. Tabel 14. Hubungan status gizi dengan tingkat kecerdasan Tingkat Kecerdasan Status. Mental. Gizi. Deffective. Borderline. Low. Average. Average. High Average. n. %. n. %. n. %. n. %. n. %. Kurang. 1. 1,6. 1. 1,6. 0. 0. 0. 0. 0. 0. Sedang. 2. 3,2. 4. 6,5. 2. 3,2. 4. 6,5. 0. 0. Baik. 5. 8,1. 11. 17,7. 16. 25,8. 13. 21,0. 3. 4,8. Keterangan. *. p*. 0,001. Uji Kolmogorov-Smirnov. IV.1.9 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Kejadian Anemia Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia sebagai berikut : untuk anemia, anak yang menderita derajat infeksi ringan ada sebanyak 7 orang (11,3%), sedangkan derajat infeksi sedang ada sebanyak 23 orang.

(50) (37,1%). Untuk. tidak anemia, anak yang menderita derajat infeksi ringan ada. sebanyak 32 orang (51,6%). dan tidak ada anak yang menderita derajat infeksi. sedang. Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk kejadian anemia dan kejadian tidak anemia. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH yang diderita seorang anak dengan kejadian anemia. (p =. 0,531). Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia diberikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia Kejadian Anemia Derajat Infeksi. Anemia. Tidak Anemia. n. %. n. %. p*. Ringan. 7. 11,3. 32. 51,6. 0,531. Sedang. 23. 37,1. 0. 0. Berat. 0. 0. 0. 0. Kecacingan STH. Keterangan. *. Uji Kolmogorov-Smirnov. IV. 1.10 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Status Gizi Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi kurang sebagai berikut : untuk status gizi kurang, tidak ada anak yang menderita derajat infeksi ringan, sedangkan derajat infeksi sedang ada sebanyak 2 orang (3,2%). Untuk status gizi sedang sebanyak 7 orang (11,3%) yang menderita derajat infeksi ringan, dan derajat infeksi sedang ada sebanyak 5 orang (8,1%). Untuk status gizi baik ada sebanyak 32 orang (51,6%) yang menderita derajat infeksi ringan, dan derajat infeksi sedang ada sebanyak 16 orang (25,8%). Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk semua status gizi. Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH yang diderita seorang anak dengan status gizi (p = 0,001)..

(51) Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi diberikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi Status Gizi Derajat Infeksi Kecacingan STH. Sedang. Baik. Kurang. N. %. n. %. n. %. p*. Ringan. 32. 51,6. 7. 11,3. 0. 0. 0,001. Sedang. 16. 25,8. 5. 8,1. 2. 3,2. Berat. 0. 0. 0. 0. 0. 0. Keterangan. *. Uji Kolmogorov-Smirnov. IV.1.11 Hubungan Kejadian Anemia dengan Tingkat Kecerdasan Hubungan antara. kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan sebagai. berikut : distribusi anemia terbanyak borderline, sebanyak 16 orang (25,8%), kemudian mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%), sedangkan pada low average dan average sama banyaknya, masing-masing sebanyak 3 orang (4,8%). Tidak ada anak yang mempunyai tingkat kecerdasan high average menderita anemia. Untuk kejadian tidak anemia average dan high average hampir sama banyaknya. Sebanyak 15 orang (24,2%) low average, 14 orang (22,6%) average dan 3 orang (4,8%) high average. Anak yang tidak anemia, tidak ada yang mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective dan borderline. Terdapat perbedaan yang bermakna untuk. hubungan antara. kejadian. anemia dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001). Hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan diberikan pada Tabel 17..

(52) Tabel 17. Hubungan kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan Tingkat Kecerdasan Kejadian. Mental. Anemia. Deffective. Borderline. Low. Average. Average. High Average. n. %. n. %. n. %. n. %. n. %. Anemia. 8. 12,9. 16. 25,8. 3. 4,8. 3. 4,8. 0. 0. Tidak. 0. 0. 0. 0. 15. 24,2. 14. 22,6. 3. 4,8. p*. 0,001. Anemia Keterangan. *. Uji Kolmogorov-Smirnov. IV.1.12 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Tingkat Kecerdasan Hubungan antara derajat infeksi ringan dengan tingkat kecerdasan sebagai berikut : distribusi derajat infeksi ringan tidak ada yang mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective, 1 orang (1,6%) borderline, 18 orang (29,0%) low average, 17 orang (27,4%) average, dan 3 orang (4,8%) high average.. Untuk. derajat infeksi sedang tingkat kecerdasan anak hanya mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%) dan borderline sebanyak 15 orang (24,2%). Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk semua tingkat kecerdasan. Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001). Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan diberikan pada Tabel 18..

(53) Tabel 18. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan Tingkat Kecerdasan Derajat. Mental. Infeksi. Deffective. Borderline. Low. Average. Average. High Average. n. %. n. %. n. %. n. %. n. %. Ringan. 0. 0. 1. 1,6. 18. 29,0. 17. 27,4. 3. 4,8. Sedang. 8. 12,9. 15. 24,2. 0. 0. 0. 0. 0. 0. Berat. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. Keterangan. *. p*. 0,001. Uji Kolmogorov-Smirnov. IV.1.13. Hasil Pemeriksaan WISC Hasil pemeriksaan variabel WISC siswa SD yang terinfeksi cacing sebagai berikut : information derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,62 dan SD 3,258, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,09 dan SD 2,214. Comprehension derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,00 dan SD 2,695, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 4,78 dan SD 2,110. Digit span derajat infeksi ringan mempunyai rerata 8,72 dan SD 2,176, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,61 dan SD 2,148. Picture completion derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,10 dan SD 2,210, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,57 dan SD 2,233. Block design derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,21 dan SD 3,861, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,43 dan SD 1,973. Hasil pemeriksaan variabel WISC berdasarkan derajat infeksi diberikan pada Tabel 19. Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara semua variabel WISC dengan derajat infeksi (p = 0,001)..

(54) Tabel 19. Variabel WISC berdasarkan derajat infeksi Variabel WISC. Derajat Infeksi. n. Rerata. SD. p*. Ringan. 39. 9,62. 3,258. 0,001. Sedang. 23. 6,09. 2,214. Ringan. 39. 9,00. 2,695. Sedang. 23. 4,78. 2,110. Ringan. 39. 8,72. 2,176. Sedang. 23. 6,61. 2,148. Picture. Ringan. 39. 9,10. 2,210. Completion. Sedang. 23. 6,57. 2,233. Ringan. 39. 9,21. 3,861. Sedang. 23. 6,43. 1,973. Information. Comprehension. Digit Span. Block Design. 0,001. 0,001. 0,001. 0,001. Keterangan. Uji t independen. IV.2. PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat Cross Sectional. dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi yang diderita seorang anak dengan tingkat kecerdasan. Untuk menganalisis hubungan ini digunakan variabel antara kejadian anemia dan status gizi, dan juga dianalisis hubungan antara jenis infeksi tunggal dan campuran dengan tingkat kecerdasan dan kejadian anemia. Metode pengukuran derajat infeksi yang direkomendasikan adalah metode pemeriksaan sampel feses. Perhitungan egg per gram (EPG) dilakukan dengan mengalikan jumlah telur yang dihitung pada hapusan yang digunakan dengan faktor multiplikasi. Faktor ini bervariasi tergantung dari luasan hapusan yang digunakan. Pengukuran tingkat kecerdasan dilakukan dengan menggunakan skala WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children), yang dibuat oleh David Wechsler (1974). Skala Wechsler merupakan pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik karena dengan skala ini dapat diketahui tingkat kecerdasan berdasarkan kemampuan kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ). yang dibuat oleh David Wechsler (1974)..

(55) Pada. penelitian ini setelah dilakukan pemeriksaan tinja pada 150 anak,. dijumpai 62 anak (41 %) yang positif dijumpai telur cacing pada tinjanya, dengan perincian 39 anak (63 %) mengalami infeksi derajat ringan dan 23 anak (37 %) mengalami infeksi derajat sedang. Yang terbanyak kelompok umur 8−10 tahun sebanyak 44 orang (71%), sedangkan umur 11−13 tahun sebanyak 18 orang (29%). Berdasarkan jenis kelamin, ternyata sama banyaknya jumlah anak laki-laki dan perempuan, masing-masing sebanyak 31 orang (50 %). Berdasarkan suku, yang terbanyak adalah Minangkabau sebanyak 26 orang (41,9%) dan suku Nias hanya 1 orang (1,6 %). Berdasarkan tingkat pendidikan siswa, yang terbanyak adalah siswa kelas IV sebanyak 30 orang (48,4%), siswa kelas V sebanyak 14 orang (22,6%) dan siswa kelas VI sebanyak 18 orang (29%). Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara kelompok umur, jenis kelamin, suku dan kelas dengan derajat infeksi. Setara dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ritarwan (2009). Hal ini mungkin disebabkan karena karakteristik subjek penelitian yang relatif sama. Pada penelitian ini diperoleh bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001). Ini berarti ada hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan. Anak dengan derajat infeksi ringan terlihat mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih baik dibandingkan anak dengan derajat infeksi sedang. Dengan menggunakan tes WISC dijumpai perbedaan yang bermakna dari semua variabel WISC berdasarkan derajat infeksi ringan dan sedang (semua nilai. p = 0,001). Nilai variabel tes WISC dari. anak dengan infeksi ringan lebih tinggi dibanding nilai variabel tes WISC dari anak dengan infeksi sedang. Jadi dari penelitian ini diperoleh bahwa tingkat kecerdasan seorang anak dipengaruhi oleh derajat infeksi yang dideritanya. Anak dengan tingkat kecerdasan average dan high Average dapat diduga terinfeksi ringan, sedangkan anak dengan tingkat kecerdasan mental deffective dan borderline dapat diduga terinfeksi sedang..

(56) IV. 2.1 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Tingkat Kecerdasan Dari uji hipotesis terhadap hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan diperoleh hasil yang bermakna dengan nilai. p=. 0,001, seperti yang terlihat pada Tabel 18. Ini berarti ada perbedaan yang bermakna dari tingkat kecerdasan anak berdasarkan derajat infeksi yang dideritanya. Jadi dalam penelitian ini diperoleh bahwa ada hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan. Anak dengan derajat infeksi ringan mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih baik dibandingkan dengan anak dengan derajat infeksi sedang. Ezeamama (2005) melakukan penelitian tentang infeksi cacing dan penurunan tingkat kecerdasan anak-anak di daerah pertanian Leyte Filipina, yang merupakan daerah endemik 4 infeksi cacing yaitu Schistosoma japonicum, Necator americanus, Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Bidang kecerdasan yang diteliti dalam penelitian ini dengan WISC adalah learning domain, memory domain, verbal influency, dan the Philippine Non-Verbal Intelligence Test. Dari hasil penelitian terhadap infeksi A lumbricoides diperoleh bahwa infeksi ini berhubungan dengan buruknya performan. pada memory domain. Dan infeksi T trichiura. berhubungan dengan buruknya performan pada tes verbal fluency. Gardnier dkk (1996) melakukan penelitian secara randomized-contolled, double blind, treatment trial terhadap 97 orang anak sekolah di Jamaica yang terinfeksi cacing T trichiura dengan derajat infeksi ringan dan sedang. Setiap anak diberikan 7 tes neuropsikologis dari skala WISC berupa : french learning, digit spans (forwards and bacwards), corsi block spain, fluency, picture search dan silly sentences. Diperoleh bahwa skor yang buruk hanya pada tes silla sentences. Dari tes ini diperoleh kesimpulan bahwa kemungkinan hanya sedikit efek infeksi cacing trichiura terhadap. T. gangguan kecerdasan anak - anak yang infeksi. T trichiura dengan derajat rinfeksi ringan dan sedang. Pada penelitian ini diperoleh bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001). Ini berarti ada hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam mengembangkan motorik halus anak melalui pemanfaatan media Koran bekas di TK Kartika guru tidak mengajak anak

Lingkungan keluarga yang merupakan pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak juga memiliki peranan sangat penting dalam menumbuhkan nilai-nilai Pancasila pada anak..

Tidak hanya faktor relasi yang baik dengan pihak keluarga, akan tetapi status sosial yang dimiliki subjek memberikan pengaruh terhadap ketertarikan orang lain

Jenis yang kedua adalah living walls, merupakan jenis taman vertikal yang terdiri dari dinding yang diberikan media tanam untuk tempat tanaman dapat.. berdiri dan

Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini.. Jaipongan atau Tari Jaipong

3. Standar proses pengabdian kepada masyarakat , merupakan kriteria minimal tentang: a) kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang terdiri atas perencanaan,

ruang fumigasi yang sering digunakan adalah chamber fumigasi,.. STANDAR TEKNIS PERLAKUAN FUM IGASI FOSFIN FORM ULASI CAIR Halam an 19 shipping container , dan sungkup

Revolusi melalui pemberdayaan 9 unsur diatas diharapkan lebih mampu mengembangkan kewirausahaan tidak saja secara lokal dan nasional, tetapi juga secara internasional guna