• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Gizi (BB/PB) Berdasarkan Pola Makan dan Usia Bayi

HASIL PENELITIAN

4.7. Status Gizi (BB/PB) Berdasarkan Pola Makan dan Usia Bayi

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar status gizi bayi (BB/PB) kategori kurus berada pada pola makan yang tidak baik. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.18. Distribusi Status Gizi (BB/PB) Berdasarkan Pola Makan dan Usia Bayi

Status Gizi (BB/PB)

Normal Kurus Jumlah

No. Usia

n % n % n %

1. 0-6 bulan Pola Makan

Baik Tidak Baik 13 15 100,0 68,2 0 7 0,0 31,8 13 22 100,0 100,0

2. 6-9 bulan Pola Makan

Baik Tidak Baik 4 5 100,0 55,6 0 4 0,0 44,4 4 9 100,0 100,0

3. 9-11 bulan Pola Makan

Baik Tidak Baik 10 3 100,0 25,0 0 9 0,0 75,0 10 12 100,0 100,0 Berdasarkan aturan makan bayi pada usia 0-6 bulan, 6-9 bulan dan 9-11 bulan hanya ditemukan gizi kurus pada pola makan bayi kategori tidak baik, yaitu masing-masing 31,8% dari 35 bayi, 44,4% dari 13 bayi dan 75,0% dari 22 bayi.

BAB V PEMBAHASAN 5.3. Pola Makan Bayi

Penanaman pola makan yang beraneka ragam makanan harus dilakukan sejak bayi, saat bayi masih mengonsumsi bubur susu, yaitu usia baru enam bulan ke atas, sehingga bayi yang berusia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan/makanan. Namun, susu formula dapat diberikan sebagai pengganti ASI apabila dalam keadaan ibu meninggal sewaktu melahirkan, ASI tidak keluar atau ASI keluar tetapi jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi (Moehyi, 2008). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada bayi yang hanya diberi ASI atau susu formula saja sampai usia 6 bulan, sementara pada waktu penelitian masih ada ditemukan bayi yang berusia 1-4 bulan yang masih ASI eksklusif sebanyak 7 bayi dan ASI ditambah dengan susu formula saja sebanyak 6 bayi. Frekuensi yang dianjurkan untuk mengonsumsi ASI atau susu formula saja sebelum usia 6 bulan adalah 6x /hari. Dari hasil penelitian diperoleh frekuensi menyusui dalam kategori baik sebanyak 22 bayi, tetapi 9 bayi diantaranya sudah mendapatkan MP-ASI.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu bayi diperoleh susunan makanan yang diberi selain ASI atau susu formula, yaitu “pisang wak” yang diberikan kepada bayi setelah pisang tersebut dilumatkan, biskuit dan bubur susu. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Widodo (2003), mengungkapkan bahwa di Indonesia jenis MP-ASI yang umum diberikan kepada bayi sebelum usia 4 bulan adalah pisang 57,3 %. Hal yang sama juga diperoleh dari penelitian Irawati (2003) dalam Silalahi (2007) yang dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah,

dimana praktek-praktek pemberian makan pada bayi sebelum usia 1 bulan mencapai 32,4% dan 66,7% jenis makanan yang diberikan adalah pisang. Ditambah lagi dari Maas (2004) pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, bahwa pada usia 1 bulan bayi sudah diberi bubur tepung dan bubur nasi. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah dilumatkan, madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar.

Pemberian MP-ASI yang terlalu dini ini biasanya karena anjuran orang tua terutama nenek. Alasan umumnya karena bayi menangis terus meskipun telah disusui dan diberi susu formula. Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan modern ataupun medis dianjurkan selama 2 tahun dan pemberian makanan tambahan sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 6 bulan.

Di daerah penelitian masih memiliki adat yang dapat menyebabkan pemberian MP-ASI kepada bayi yang terlalu dini. Bayi berumur 3 hari, 4 hari atau 7 hari dirayakan dengan adat “peucicap” yaitu bayi diperkenalkan makanan dengan mencampur berbagai macam rasa makanan seperti buah yang digiling halus kemudian diberikan pada bayi. Setelah adat peucicap selesai berarti bayi sudah boleh diberikan makanan. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi ataupun kebiasaan, namun yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu; dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate keeper dari keluarga.

Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya. Kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, salah satunya adalah pemberian makanan yang terlalu dini. Pemberian makanan terlalu dini dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air besar yang dapat mempengaruhi status gizi bayi (Hayati, 2009).

MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi diberikan kepada bayi untuk memenuhi kebutuhan gizi yang diberikan mulai umur 6 bulan sampai 24 bulan (Depkes, 2005). MP-ASI yang diberikan kepada bayi setelah usia 6 bulan berupa makanan lumat dan makanan lembek yang disesuaikan dengan umur bayi.

Pemberian MP-ASI sesuai jadwal dapat menyebabkan asupan nutrisi bayi lebih baik karena pada umur lebih dari 6 bulan sistem pencernaan bayi sudah mulai sempurna fungsinya, penyerapan sari-sari makanan berjalan dengan baik, namun pemberian MP-ASI harus tetap diberikan secara bertahap sesuai dengan usia bayi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian bentuk makanan pada bayi usia 6-9 kategori baik sebanyak 4 bayi (30,8%), namun ada 9 bayi yang sudah diberikan nasi tim. Sementara bayi usia 9-11 dengan pemberian bentuk makanan kategori baik sebanyak 10 bayi (45,5%), bahkan ada bayi yang sudah diberi makanan keluarga sebanyak 12 bayi.

5.2. Status Gizi Bayi

Menurut Soekirman (2000), Status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu. Sedangkan Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa status gizi adalah konsumsi gizi makanan pada seseorang yang dapat menentukan tercapainya tingkat kesehatan. Menurut Supariasa (2002), status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu.

Status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U dengan kategori normal sebanyak 67,1%, dan tidak ada bayi yang memiliki status gizi sangat kurang. Status gizi normal diperoleh sebesar 95,7%, sementara 4,3% memiliki status gizi pendek berdasarkan indeks PB/U, sedangkan bayi yang memiliki status gizi normal sebanyak 71,4%, dan kurus sebanyak 28,6% berdasarkan BB/PB.

Sebagian besar pola makan bayi usia 0-6 bulan berada pada kategori tidak baik yaitu sebanyak 22 bayi, dengan status gizi (BB/PB) kategori normal sebanyak 68,2%, dan kategori kurus sebanyak 31,8%. Banyaknya bayi usia 0-6 bulan dengan status gizi normal pada pola makan kategori tidak baik disebabkan bayi masih mendapatkan ASI atau susu formula. Hal ini sesuai dengan Studi-studi di banyak negara berkembang mengungkap bahwa penyebab utama terjadinya gizi kurang dan hambatan pertumbuhan pada anak-anak usia 3-15 bulan berkaitan dengan rendahnya pemberian ASI dan buruknya praktek pemberian makanan pendamping ASI (Shrimpton, 2001).

ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi dan anak di bawah umur 2 tahun. ASI mengandung zat gizi yang lengkap dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi sampai dengan umur 6 bulan, sehingga ASI adalah makanan tunggal yang seharusnya diberikan kepada bayi umur 0-6 bulan. Selain itu ASI mengandung zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. ASI juga merupakan makanan yang bersih, praktis dengan suhu yang sesuai dengan bayi serta dapat meningkatkan hubungan psikologis serta kasih sayang antara ibu dan bayi. Dengan demikian jelas bahwa ASI mempunyai hubungan terhadap status gizi, semakin baik praktek pemberian ASI maka semakin baik pula status gizi bayi (Depkes RI, 2005).

Menurut Hayati, (2009) pemberian ASI eksklusif berpengaruh pada kualitas kesehatan bayi. Semakin sedikit jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif, maka kualitas kesehatan bayi akan semakin buruk, karena pemberian makanan pendamping ASI yang tidak benar menyebabkan gangguan pencernaan yang selanjutnya menyebabkan gangguan pertumbuhan. Berdasarkan data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002 bahwa cakupan ASI ekslusif di Indonesia baru mencapai 55%, sedangkan di Jawa Barat pemberian ASI ekslusif pada bayi dibawah umur 4 bulan mencapai 49% (Muchtar, 2005).

BAB VI

Dokumen terkait