BAB I PENDAHULUAN
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan refleksi dari apa yang kita makan sehari-hari. Status gizi dikatakan baik bila pola makan kita seimbang. Artinya, banyak dan jenis makanan yang kita asup harus sesuai dengan kebutuhan tubuh.15,37 Sunita Almatsier mendefenisikan status gizi sebagai keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.1 Menurut Depkes RI tahun 2003, Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan absorpsi yang diukur dari berat badan dan tinggi badan dengan perhitungan IMT.30
Secara umum masalah kelebihan dan kekurangan gizi pada orang dewasa khususnya lansia merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerjanya, oleh karena itu pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan oleh setiap orang secara berkesinambungan. Penilaian klinis status gizi yaitu penilaian yang mempelajari dan mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit kurang gizi. Adanya hambatan pertumbuhan dan perkembangan yang dapat
ditentukan dengan membandingkan individu dan kelompok dengan nilai-nilai normal.16
2.2.1 Penilaian Status Gizi
Status gizi dapat diukur secara tidak langsung dan secara langsung. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi manjadi empat penilaian yaitu klinis, biokimia, biofisik dan antropometri.16
Pengukuran antropometri digunakan secara luas dalam penilaian status gizi, terutama jika terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan energi dengan protein. Antropometri lebih banyak digunakan karena lebih praktis dan mudah untuk dilakukan. Pengukuran antropometri merupakan pengukuran dimensi fisis dan komposisi tubuh yang bertujuan untuk screening atau tapis gizi, survei gizi dan pemantauan status gizi. Dalam melakukan pengukuran antropometri, parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan IMT.16
Laporan WHO tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia BMI diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indikator status gizi untuk mengukur berat badan normal orang dewasa bukan untuk menentukan overweight dan obesitas pada anak dan remaja. Sebagai salah satu indeks
antropometri yang telah mendapat rekomendasi WHO dalam penentuan status gizi orang dewasa, IMT sangat sensitif untuk menentukan berat badan kurang, normal dan lebih pada laki-laki maupun pada wanita dewasa. Untuk memantau IMT orang dewasa digunakan timbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.16
Berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu, mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang untuk dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.16
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Cara menghitung IMT menggunakan rumus berikut ini : 16
IMT =
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m) Berat Badan (Kg)
Lansia dapat mengalami penurunan tinggi badan seiring dengan bertambahnya usia. Hertzog KP dkk (1969) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tinggi badan menurun dengan kecepatan 0,03 cm per tahun sampai usia 45 tahun, dan 0,28 cm per tahun pada umur diatas 45 tahun. Penurunan tinggi badan ini diduga akibat penipisan lempeng tulang belakang, disamping pengurangan massa tulang. Penyusutan ini ditaksir sebanyak 12% pada pria dan 25% pada wanita yang kemudian tampak sebagai osteoporosis dan kifosis. Keaktifan fisik dianggap sebagai faktor utama.4,32
Tinggi lutut tidak akan berkurang, kecuali jika terdapat fraktur tungkai bawah. Oleh sebab itu dianjurkan menggunakan ukuran tinggi lutut untuk menentukan secara pasti tinggi badan lansia. Dari lutut kita dapat menentukan tinggi badan sebenarnya. Untuk mendapatkan data tinggi badan dari berat badan dapat menggunakan formula atau nomogram bagi orang yang berusia lebih dari 59 tahun.4,33 Untuk mendapatkan data tinggi badan dari berat badan dapat menggunakan formula berikut ini :4,34
Pria = (2,02 x tinggi lutut(cm)) – (0,04 x umur (tahun)) + 64,19 Wanita = (1,83 x tinggi lutut (cm)) – (0,24 x umur (tahun)) + 84,88
Kategori indeks massa tubuh (IMT) diambil dari Depkes RI tahun 2003 dengan kategori sebagai berikut: 30
TABEL 1 KATEGORI AMBANG BATAS INDEKS MASSA TUBUH MENURUT DEPKES RI TAHUN 2003
Kategori Laki-laki Perempuan
Kurus < 17 kg/m2 < 18 kg/m2
Normal 17 – 23 kg/m2 18 - 25 kg/m2
Kegemukan 23 – 27 kg/m2 25 - 27 kg/m2 Obesitas > 27 kg/m2 > 27 kg/m2
Pada penelitian ini untuk mempermudah melakukan uji analisis, kategori ambang batas IMT dibagi menjadi dua kategori yaitu berdasarkan status gizi
underweight dan non underweight, dan setiap kategori berbeda untuk laki-laki dan
TABEL 2 KATEGORI AMBANG BATAS INDEKS MASSA TUBUH
Kategori Laki-laki Perempuan
Underweight < 17 kg/m2 < 18 kg/m2
Non underweight ≥ 17 kg/m2 ≥ 18 kg/m2
2.2.2 Hubungan Status Gizi dengan Kehilangan Gigi pada Lansia
Lansia adalah yang telah berusia 60 tahun ke atas. Menurut WHO, lansia terbagi atas empat tahap yaitu : usia pertengahan/middle age (45-59 tahun), lansia/elderly (60-74 tahun), lansia tua/old (75-90 tahun) dan usia sangat tua/very old (di atas 90 tahun). Sedangkan menurut Burnside (1979), ada empat tahap lansia yaitu
young old (60-69 tahun), middle age old (70-79 tahun), old-old (usia 80-89 tahun)
dan very old-old (di atas 90 tahun).32
Kehilangan gigi pada lansia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi lansia. Kehilangan gigi pada lansia disebabkan oleh adanya perubahan proses fisiologis pada proses penuaan jaringan yang mengakibatkan penyusutan jaringan tulang alveolar, buruknya kondisi kesehatan rongga mulut serta kondisi gigi yang mudah goyang akibat resorbsi tulang alveolar.19 Ritchie dkk (2000) melaporkan bahwa kehilangan gigi merupakan faktor risiko penting terhadap penurunan berat badan.31
Efisiensi pengunyahan sangat dipengaruhi oleh status fungsional gigi geligi di rongga mulut. Mojon dkk (1999) pada penelitiannya melaporkan bahwa masalah status fungsional gigi berhubungan dengan penurunan IMT atau status gizi.17 Begitu juga Hirano dkk (1993) pada penelitiannya melaporkan bahwa kemampuan
penurunan fungsi pengunyahan berhubungan dengan penurunan berat badan. Namun, Johansson dkk (1994) pada penelitian yang dilakukan pada lansia yang sehat melaporkan bahwa subjek edentulus justru memiliki nilai IMT lebih tinggi daripada subjek yang masih memiliki gigi geligi di rongga mulutnya. Sejalan hal tersebut Elwood dan Bates (1972) pada penelitiannya juga menunjukkan bahwa lansia yang tidak memiliki gigi atau gigitiruan ada kecenderungan memiliki nilai berat badan dan IMT yang lebih tinggi.12 Hal ini disebabkan oleh pola asupan makanan yang tidak baik karena berkurangnya kemampuan pengunyahan akibat kehilangan gigi.
Selain faktor berkurangnya kemampuan pengunyahan akibat kehilangan gigi, ada juga beberapa faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia yaitu akibat berkurangnya cita rasa, berkurangnya koordinasi otot, keadaan fisik yang kurang baik, faktor ekonomi dan sosial serta faktor penyerapan makanan (daya absorbsi).4,32
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN