BAB III HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT KUH-PERDATA
B. Status Hukum Anak
Menurut hukum ada, apabila seorang istri melahirkan anak sebab akibat hubungan gelap dengan seorang laki-laki bukan suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang dilahirkan tadi, kecuali apabila suami berdasar alasan-alasan yang dapat diterima oleh masyarakat hukum adat, menolaknya.
60Dr.Rosnidar Sembiring “Hukum Keluarga” hlm136
Di dalam hukum adat, tidak ada aturan sebagai mana dikenal dalam hukum islam yang menetapkan waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah menikah, sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah. Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat, mempunyai ayah bekas suami wanita yang melahirkan tadi, apabila kelahiran nya terjadi dalam batas waktu-waktu mengandung.
Terhadap anak-anak di luar perkawinan, hukum adat di berbagai daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Akan tetapi pada dasarnya hal itu tercela, dan hukum adat mempunyai berbagai cara untuk mengatasi hal itu. Pertama tama ada lembaga kawin paksa (seperti di sumatera dan bali) di mana laki-laki yang menyebabkan kehamilan si wanita, dipaksa untuk mengawininnya dan terhadapnya dapat dijatuhi hukum adat, apabila hal itu tidak dapat dipatuhinya.
Kemudian ada cara lain, yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang hamil tadi dengan laki-laki lain agar si anak lahir sebagai anak yang sah (di jawa nikah tambalan). Namun dapat dikatakan, bahwa pada umunya anak luar kawin tidak mempunyai ayah (kecuali di minahasa dikenal lembaga lilian yang bermaksud untuk menghilangkan keraguan bahwa ayah biologis adalah juga ayah si anak secara yuridis).
Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan kekeluargaan menurut hukum dengan yang menikahinya. Oleh karena itu, anak hanya mewarisi dari ibunya dan keluarga dari ibu seperti yang dikatakan oleh S.A.Hakim,S.H, di dalam hukum adat perorangan,perkawinan,dan pewarisan61.
Menurut hukum perdata anak di luar perkawinan dikenal dengan istilah natuurlijke kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya.
Menurut system yang dianut di dalam BW, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang
61Dr.Rosnidar Sembiring “Hukum Keluarga” hlm 133
tuanya. Baru setelah adanya pengakuan, terbitlah suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (hak mewaris) antara anak dengan orangtua yang mengakuinya, demikian menurut subekti. Jadi anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuulijke kind.
Pasal 272 BW yang berbunyi sebagai berikut: kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuatkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orangtua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.
Jikalau kedua orangtua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan cara pengesahan dari kepala Negara, yaitu presiden harus meminta pertimbangan dari mahkamah agung.
Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di muka pencacatan sipil dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orangtua, atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai pecacatan sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris.62
Jadi,jika ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam burgerlijk wetboek, kita akan melihat adanya tiga tingkatan status hukum dari pada anak di luar perkawinan, yakni:
a. Anak di luar perkawinan yang belum diakui oleh kedua orangtuanya;
b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orangtuannya;
c. Anak di luar perkawinan yang menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orangtuannya melakukan perkawinan yang sah.
62Dr.Rosnidar Sembiring “Hukum Keluarga” hlm 134-135
Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi dalam bidang hukum perkawinan nasional yang tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa berdasarkan pasal 43 ayat (1) UU tersebut, dinyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.
Ketentuan pasal tersebut menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak mewaris hanya dengan ibunya. Sebaiknya, anak yang sah mempunyai hubungan perdata di samping dengan ibunya dan keluarga ibunya, hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.63
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah”
tidak ada masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah”ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan laki laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang sah. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir
63Dr.Rosnidar Sembiring “Hukum Keluarga” hlm 135
anak sah dari suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan.
Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain:
1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya”.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Apabila disimak dari pengertian status anak diluar nikah yang telah di judicial review oleh Mahkamah Konstitusi maka gugatan dari Machica, hanya satu yang dikabulkan MK, yaitu mengubah pasal 43 ayat 1 UU perkawinan. Putusan ini mengakibatkan adanya hubungan perdata antara anak yang dihasilkan di luar pernikahan dengan ayahnya yang bisa dibuktikan dengan teknologi–seperti test DNA.
Jelas putusan ini mengundang kontra, karena dalam putusan yang dibacakan ini tidak dinyatakan bahwa anak hasil di luar pernikahan jika anak hasil nikah siri. Apalagi penjelasan dari pihak yang mengeluarkan putusan pun mengatakan bahwa yang dimaksud dengan di luar pernikahan adalah nikah siri atau anak hasil perzinaan, kumpul kebo, selingkuh dan lain sebagainya yang penting anak tersebut bisa dibuktikan hubungan darahnya melalui teknologi yang canggih.
Jelas putusan ini menabrak nilai-nilai suci yang diajarkan agama manapun.
Mengapa demikian? Karena putusan ini akan membuka kran bagi perzinaan, perselingkuhan, dan jenis seks bebas lainnya. Khususnya bagi perempuan, mereka akan mudah melakukan seks bebas karena tidak takut lagi jika perbuatannya menghasilkan anak.
Adapun bagi laki-laki menurut Mahfud MD akan menutup seks bebas karena khawatir perbuatannya akan menghasilkan anak. Ini merupakan argumen konyol, karena zaman sekarang banyak terjadi seks bebas yang tidak menghasilkan anak disebabkan pemerintah memprogramkan bagi-bagi kondom. Jika memang putusan ini dimaksudkan Mahfud MD untuk mengurangi perzinaan, seharusnya yang dikabulkan adalah gugatan Machica yang pertama yaitu pengakuan nikah siri dan tidak perlunya pemaksaan pencatatan pernikahan negara, atau negara mempermudah proses pencatatan pernikahan bagi pasangan yang mau menikah dan mempermudah urusan akte kelahiran.
Cara yang lebih jitu lagi untuk mengurangi–bahkan menutup peluang seks bebas adalah dengan menerapkan kaidah-kaidah agama khususnya hukum Islam–tentang keluarga, tentang kewajiban menutup aurat, termasuk juga tentang minuman keras dan Narkoba. Selain banyak yang kontra, ada juga yang pro dengan putusan tersebut, mereka itu tidak lain adalah para pemuja dan pengusung kebebasan. Hebatnya, mereka mengajukan argumen yang bisa menghipnotis rakyat karena argumennya seolah sangat manusiawi.
Padahal jika dikaji lebih dalam argumen tersebut menjerumuskan manusia ke jurang kehancuran. Misalnya argumen bahwa putusan ini memberikan perlindungan kepada anak, dan menghilangkan diskriminasi terhadap anak hasil di luar nikah.
Mari berpikir logis dan religis; Machica, Moerdiono, anaknya, dan pihak yang terlibat dalam pernikahan siri tersebut tidaklah salah. Karena pernikahan itu sesuai ajaran agama Islam. Saat itu ada pasangan yang akan menikah, ada wali nikah yakni ayah
kandung Machica, ada penghulu, dan ada saksi. Artinya rukun nikah secara Islam telah terpenuhi.
Adapun tidak diakuinya hak-hak yang dihasilkan dari nikah siri tersebut itu disebabkan UU negara yang tidak mengadopsi ajaran/ hukum Islam. Padahal secara Islam, walaupun pernikahannya siri tapi anak hasil pernikahan tersebut tetap memiliki hak yang sama dengan anak hasil pernikahan yang resmi oleh negara, memiliki hak waris dan hak perwalian karena anak tersebut tetap dinasabkan kepada ayahnya.
Berbeda halnya jika anak yang dihasilkan merupakan anak hasil seks bebas, tidak ada pernikahan/nikah siri, maka anak hasil seks bebas inilah yang tidak memiliki hak waris dan hak perwalian. Orang-orang pengusung kebebasan tentu akan berargumen lagi bahwa telah terjadi diskriminasi dan penelantaran terhadap anak hasil seks bebas. Padahal yang bersalahkan orang yang telah berzina tersebut.64
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dalam Pasal 43 mengatur tentang anak luar kawin (ALK), yaitu anak yg dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Permasalahan tentang ALK yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ini telah membawa situasi yang tidak adil bagi si anak. Anak menjadi terputus hubungan hukumnya dengan ayah kandungnya, sedangkan diketahui bahwa lahirnya seorang anak, merupakan hasil hubungan yang terjadi antara dua orang yaitu laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menjadikan seolah-olah secara hukum si ayah terlindungi secara hukum ketika tidak melaksanakan tanggung jawabnya terhadap anak.
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
64 http://www.negarahukum.com/hukum/status-anak-di-luar-nikah-menurut-hukum-perkawinan-nasional-dan-hukum-islam.html
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Dalam pertimbangannya dijelaskan bahwa:
“…tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.”
“Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.”65
C. Hak Waris Anak Luar Kawin
Berdasarkan ketentuan pasal 280 KUH Perdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah.
65https://business-law.binus.ac.id/2018/05/31/status-anak-luar-kawin/
Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orangtuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Berbeda hal nya dengan UU No.1 tahun 1974, dalam KUH Perdata dinyatakan secara tegas bahwa anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan setelah 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan dibubarkan.66
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak mengenal istilah anak luar kawin. Istilah anak luar kawin (erkent natuuljike) di jumpai dalam KUH Perdata Bab XII bagian kedua.
Sebutan lain untuk anak luar kawin adalah anak wajar. Selain itu, dikenal pula istilah anak zina dan anak sumbang.
Anak luar kawin dapat diartikan dalam 3 (tiga) golongan yaitu:
A. Anak zina, yaitu anak yang di lahirkan di luar perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain;
B. Anak sumbang, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita yang menurut undang-undang tidak diperkenalkan melakukan perkawinan satu sama lain;
C. Anak alami, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tetapi kedua orangtuanya tidak terikat dengan perkawinan lain.
Dari ketiga jenis anak luar kawin tersebut, tidak semuanya dapat memperoleh harta warisan dari orantuannya. Hanya anak alami saja yang dapat memperoleh harta warisan., itu pun dengan persyaratan khusus melalui lembaga pengakuan. Dalam kitab undang-undang hukum perdata, mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau anak luar kawin, mengenal lembaga pengakuan dan pengesahan anak. Lembaga pengaturan anak
66Dr.Rosnidar Sembiring “Hukum Keluarga” hlm 128
diatur dalam pasal 280 KUH Perdata yang mengatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbulah hubungan hukum perdata antara si anak dengan ayah atau ibunya. Dalam UU perkawinan dijelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.67
Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengakui anak tersebut?. Jika dicermati pasal 41 UU perkawinan, maka tidak akan terjadi pengakuan itu dilakukan oleh seorang ibu, melainkan harus dilakukan oleh seorang ayah karena hubungan perdata antara anak dengan ibunya sudah berlangsung secara otomatis tepat sejak anak itu dilahirkan.
Pada prinspnya, anak yang di lahirkan karena perzinaan (overspel) atau dikenal dengan anak sumbang tidak mungkin untuk diakui. Dalam hal tertentu, pengecualian atas pengakuan ini hanya dimungkinkan dengan adanya dispensasi dari presiden. Lembaga pengesahan anak di atur dalam 2 (dua) cara yaitu melalui pasal 272 KUH Perdata. Dalam pasal 272 KUH Perdata, pengesahan dilakukan dengan perkawinan orangtua, sedangkan dalam pasal 274 KUH Perdata, pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan presiden setelah mendengar nasihat mahkamah agung.
Akan tetapi, menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebut bahwa kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah. Dengan demikian, berdasarkan pasal 66 undang-undang nomor 1 tahun 1947 tentang perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUH Perdata. Sehingga anak luar kawin memiliki kedudukan secara
67 Dr.Rosnidar Sembiring “Hukum Keluarga” hlm 129
hukum telah berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1947 tentang perkawinan, tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orangtuannya.68
diatur pada pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana anak luar kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah antara lain jika adanya Golongan I, II, III, dan IV.
Pewaris meninggalkan ahli waris Golongan I (istri atau suami hidup terlama & anak sah):
“Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”.
Pewaris meninggalkan ahli waris Golongan II & III (orang tua, saudara, keturunan saudara, nenek, kakek):
“Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan.”
Pewaris meninggalkan ahli waris Golongan IV (saudara jauh):
“Anak luar kawin yang mewaris dengan ahli waris golongan keempat meliputi sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh,maka besarnya hak bagian anak luar kawin adalah ¾ dari warisan.”
68Dr.Rosnidar Sembiring “Hukum Keluarga” hlm 130
Kesimpulannya, pembagian waris anak luar kawin menurut KUHPerdata adalah sebagai berikut.
1. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris Golongan I, bagiannya: 1/3 dari bagiannya seandainya ia anak sah.
2. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III, bagiannya: 1/2 dari warisan.
3. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya: 3/4 dari warisan.
Apabila Pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah menurut Undang-Undang, anak luar kawin mewaris seluruh harta milik Pewaris (865 KUHPerdata).69
Anak luar nikah yang diakui menurut KUH-Perdata dan bagaimana hak dan kedudukan anak di luar nikah yang diakui dalam pewarisan menurut KUH-Perdata. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan:
1. Setiap anak yang dilahirkan di luar suatu ikatan perkawinan yang sah adalah merupakan anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata Anak luar kawin dianggap tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan orang tuanya apabila tidak ada pengakuan dari ayah maupun ibunya, dengan demikianbila anak luar kawin tersebut diakuimaka ia dapat mewaris harta peninggalan dari orang tua yang mengakuinya, dan tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-undang. Akan tetapi, disatu sisi juga dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu UU No.1 tahun 1974 (Pasal 43 ayat 1), maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian, maka keharusan seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti yang disebutkan dalam Burgerlijk Wetboek
69http://misaelandpartners.com/hak-waris-anak-luar-kawin/
adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga telah ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut yang juga merupakan bahagian dari reformasi hukum, sehingga si anak juga mempunyai hubungan yuridis dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.
2. Anak luar kawin yang dapat diakui adalah berdasarkan Pasal 272 B.W, yakni :
“Anak luar nikah yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu tetapi yang tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan ibu si anak tersebut”, dan tidak termasuk kelompok anak zinah dan anak sumbang.70
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Apabila terdapat wanita yang melahirkan anak luar kawin dalam hukum adat maka akan dilakukan kawin paksa.Kedudukan anak luar kawin terhadap harta warisan ayah biologisnya dalam sistem keturunan patrilinealdan matrilineal pada dasarnya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja sedangkan dalamsistem parental keududukan anak luar kawin sama dengan anak sah dan berhak atas harta warisan dari ayahbiologisnya namun pembagian harta warisan tersebut berdasarkan pada asas parimirma dengan dasar welasasih dan kerelaan.
Terdapat pula beberapa Yurispudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa anakluar kawin kedudukannya dipersamakan dengan anak sah dan berhak atas harta warisan dari orang tuanyadengan jumlah pembagian yang sama, apabila anak luar kawin tidak bersama dengan anak sah maka anakluar kawin tersebut mendapatkan hak atas seluruh harta warisan orang tuanya dan adapula keputusan yang mengatakan bahwa anak luar kawin berhak atas harta warisan dari ayah biologisnya namun hanya sebatasharta gono-gini saja.71
70 h ttps://www.neliti.com/id/publications/146191/hak-dan-kedudukan-anak-luar-nikah-dalam-pewarisan-menurut-kuh-perdata
71
71