• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERDATA BW PASCA PUTUSAN MK NO.46/PUU-VIII/2010 SKRIPSI. Oleh: OK RAHMAT RAMADHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERDATA BW PASCA PUTUSAN MK NO.46/PUU-VIII/2010 SKRIPSI. Oleh: OK RAHMAT RAMADHAN"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

OK RAHMAT RAMADHAN 150200394

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

OK RAHMAT RAMADHAN NIM: 150200394

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW Disetujui Oleh:

A.n.Ketua Departemen Hukum Perdata BW

Dr. Rosnidar Sembiring,SH,M.Hum NIP. 196602021991032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan,SH.MA Dr. Rosnidar Sembiring,SH,M.Hum

NIP. 196302161988031002 NIP. 1966O2021991032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

Nama :Ok Rahmat Ramadhan

Nim :150200394

Departemen :Hukum Perdata BW

Judul Skripsi :Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam Dan Perdata BW Pasca Putusan MK No.46/PUU-VII/2010

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa ini Skripsi yang saya tulis tersebu t diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari Skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari Skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menja di tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 2019

Ok Rahmat Ramadhan NIM.150200394

(4)

DR.ROSNIDAR SEMBIRING,SH.M.Hum***1

Anak merupakan rahmat dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kedudukan anak terdiri dari anak sah dan anak Luar kawin. Anak luar kawin perlu diakui dan disahkan, sebab apabila tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum dengan ayah dan keluarga ayahnya, pengesahan membawa dampak luar kawin bestatus hukum sebagai anak sah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hubungan keperdataan berupa nasab bagi anak luar kawin yang orang tuanya tidak terikat perkawinan tidak dihubungkan dengan ayah biologisnya, tetapi anak luar kawin yang orang tuanya melaksanakan perkawinan sah menurut agama dan kepercayaannya tetapi tidak dicatatkan di PPN.

jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, Yaitu Penelitian yang mengkaji studi dokumen dengan menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian hukum normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.

Hasil penelitian Sebelum adanya putusan MK No.46/PUU-VII/2010, anak dari hasil nikah hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan setelah adanya putusan MK No.46/PUU-VII/2010, anak hasil luar nikah tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, akan tetapi dapat pula memiliki hubungan perdata dengan ayah nya jika dapat pengakuan dari ayah biologisnya atau dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Perdata BW

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, di mana masih ditemukan kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan dan penyajiannya sehubungan dengan kemampuan Penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak manapun.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimas kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang sangat berjasa dalam hidup penulis, Papa tercinta Ok Azhari.SE dan Mama tercinta Sri Suryawati, pada kesempatan yang sangat berharga ini terimalah rasa hormat, cinta, dan sayang penulis atas segala bimbingan, asuhan, doa yang selalu dipanjatkan serta bantuan moril dan materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang semuanya tidak akan mampu penulis balas, hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta‟ala penulis serahkan balasannya, adek-adek penulis Ok Muhammad Nauval dan Dita Nur Azhari atas segala kecintaan dan kasih sayang sehingga penulis tetap merasakan arti sebuah persaudaraan.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada:

(6)

Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan selaku Dosen Pembimbing di dalam penulisan skripsi ini yang telah memberikan pengarahan dan petunjuk hingga diselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing di dalam penulisan skripsi ini yang telah memberikan pengarahan dan petunjuk hingga diselesaikannya skripsi ini.

7 Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan kepada anak didiknya untuk menjadi mahasiswa yang disiplin.

8. Seluruh Dosen, Staf Administrasi, serta seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan yang telah diberikan.

9. Teman-teman seperjuangan penulis, Ading Fahrizal, Sutan Farhan Pratasa dan Muhammad Alrasyid yang telah menemani penulis sejak semester 1 (satu) hingga

(7)

masa-masa di kampus.

11. Terima kasih juga kepada para sahabat ku Bro dandi, Ogik, Saprel, Izal, Andi, Doyok yang telah memberikan semangat kepada penulis.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, semoga Allah Subhanahu Wa Ta‟ala tetap melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Aamiin

Medan, 2019

Ok Rahmat Ramadhan NIM.150200394

(8)

DAFTAR ISI………v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...1

B. Rumusan Masalah………...10

C. Tujuan Penulisan………11

D. Manfaat Penelitian………..11

E. Metode Penelitian………... ……12

F. Keaslian Penulisan………13

G. Sistematika Penulisan………14

BAB II HAK WARIS ANAK DI LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Anak Luar Kawin………16

B. Tata Cara Pembagian Harta Warisan………20

C. Hak Waris Anak Luar Kawin………29

D. Kedudukan Anak Luar Kawin………32

BAB III HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT KUH-PERDATA A. Pengertian Pewaris Dan Syarat Terjadinya Pewarisan………..…42

B. Status Hukum Anak………50

C. Hak Waris Anak Luar Kawin……….57

(9)

C. Pertimbangan Hukum dan Konklusi………89 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………. ……94 B. Saran………... ……95 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan rahmat dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kedudukan anak terdiri dari anak sah dan anak Luar kawin. Anak luar kawin perlu diakui dan disahkan, sebab apabila tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum dengan ayah dan keluarga ayahnya, pengesahan membawa dampak luar kawin bestatus hukum sebagai anak sah.2

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah dijelaskan, bahwa Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (pasal 42 No. 1 Tahun 1974). Sedangkan anak luar kawin diatur dalam pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 ayat (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Ayat (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah .

Kelahiran seorang anak luar kawin tidak hanya dilakukan oleh suatu hubungan di luar nikah, dalam keadaan tertentu juga dapat melahirkan seorang anak luar kawin, seperti pelaksanaan perkawinan yang dilakukan hanya secara adat dan tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut ketentuan pasal 80 KUH-Perdata, seebelum berlakunya Undang- Undang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan di hadapan pejabat kantor catatan sipil. Dalam pasal 81 KUH-Perdata disebutkan, bahwa perkawinan secara agama harus dilakukan setelah perkawinan di hadapan kantor catatan sipil.

2Undang Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, Pasal 43.

(11)

Dengan demikian, apabila perkawinan hanya dilakukan secara agama dan tidak dilakukan di hadapan pejabat kantor catatan sipil, maka konsekuensi hukumnya dari berlakunya Pasal 80 jo KUH-Perdata di atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau antara suami/ayah dengan anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut), tidak akan ada hubungan-hubungan perdata. Yang dimaksud adalah antara lain hubungan pewarisan antara suami dan istrinya dan/atau suami/ayah dengan anak-anaknya serta keluarganya, apabila di kemudian hari terdapat salah seorang yang meninggal dunia.3

Pada umumnya kedudukan hukum seseorang di mulai sejak ia dilahirkan dan akan berkahir pada saat ia meninggal dunia. Sedangkan peristiwa kelahiran sampai dengan kematian seseorang. Akan membawa akibat-akibat hukum yang sangat penting tidak saja untuk yang bersangkutan sendiri.

Berdasarkan itu, maka sangatlah perlu seseorang itu memiliki dan meperoleh pengakuan supaya mudah mendapatkan kepastian kejadian-kejadian tersebut.

Kelahiran merupakan peristiwa hukum yang memerlukan adanya suatu pengakuan dan pengesahan dan memerlukan adanya suatu peristiwa yang tegas sehingga tercipta kepastian hukum dalam masyarakat.

Oleh karena itu memerlukan pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan di antaranya peraturan mengenai kelahiran. Setiap kelahiran wajib dilaporkan penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran.

Jika dilihat dari problematika yang terjadinya mengenai adanya anak luar kawin di sini, maka nampak jelas bahwa antara anak di luar kawin tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, dengan demikian hal tersebut mengakibatkan status anak luar kawin tidak mendapatkan jaminan pembiayaan pendidikan, tidak

3UU RI No 23 thn 2006, Tentang Administrasi Kependudukan

(12)

mendapatkan harta warisan, di samping itu juga di pandang dimata masyarakat anak luar kawin tersebut tidak baik dan tidak seperti halnya dengan anak sah.

Supaya ada hubungan perdata antara ayah, ibu dengan anak luar kawin itu, maka seharusnya anak itu diakui sah menurut hukum oleh ayahnya. Dengan demikian hubungan perdata diperoleh anak luar kawin tidak timbul dengan sendirinya karena kelahirannya, akan tetapi karena adanya pengakuan dan pengesahan dari ayah dan ibunya atau biologisnya.

Pengakuan dan pengesahan sangatlah penting artinya karena dengan pengakuan dan pengesahan dapat menimbulkan status sebagai anak luar kawin yang diakui.

Begitu memperoleh status sebagai anak luar kawin yang diakui maka dapat menimbulkan akibat bagi orang yang diakui atau anak luar kawin yang diaku tersebut. Sebab akibat lengkap dari pengakuan dan pengesahan anak luar kawin adalah:

1. Anak luar kawin yang diakui dapat mengunakan nama keluarganya.

2. Anak tersebut berhak mewaris dari ayah atau ibu yang mengakuinya.

Dalam keadaan tertentu pengakuan itu tidak menimbulkan akibat yang lengkap.Hal ini tergantung pada saat kapan pengakuan dan pengesahan itu dilakukan jika pengakuan dan pengesahan dilakukan di luar perkawinan maka pengakuan dan pengesahan ini menimbulkan akibat yang lengkap. Akan tetapi jika pengakuan dan pengesahan dilakukan sepanjang perkawinan antara ayah dan ibu yang mengakui dengan orang lain, maka anak luar kawin yang diakui itu hanya berhak menggunakan nama ayahnya saja tanpa berhak mewaris dari orang tua yang mengakuinya itu.

Akibat adanya pengakuan dan pengesahan dapat menimbulkan hak dan kewajiban yang timbul bagi anak luar kawin yang diakui adalah sebagai berikut:4

4Prawiro, Hamidjojo dan Asis, safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga. Alumni, Bandung. Hal. 161

(13)

1. Hak mewaris dari orang tua yang mengakui, hak mewaris ini namanya hak mewaris aktif.

2. Hak untuk memperoleh nafkah hidup dari orang tua yang mengakui 3. Berhak menggunakan nama keluarganya

4. Jika anak luar kawin yang diakui telah dewasa, ia berkewajiban merawat orang tua yang mengaku menurut kemampuanya.

Sedangkan hak dan kewajiban orang tua yang mengakui adalah sebagai berikut:

1. Berhak menjadi wali dari anak luar kawin yang diakui.

2. Berhak meberi ijin kawin bagi anak luar kawin yang diakui

3. Berhak menjadi ahli waris dari anak yang diakui, adapun hak waris ini namanya hak waris pasif.

4. Berkewajiban memberikan nafkah hidup kepada anak luar kawin yang diakui.

Bila memperlihatkan akibat pengakuan dan pengesahan tersebut maka jelaslah bahwa pengakuan dan pengesahan itu sangatlah penting. Lebih-lebih dalam kaitanya dengan hak mewaris, karena peningnya pengakuan dan pengesahan dan pengesahan itu, maka pengakuan dan pengesahan itu harus di lakukan secara otentik, artinya adalah bahwa pengakuan dan pengesahan harus di lakukan dalam suatu akta yang dibuat oleh pejabat berwenang. Pejabat-pejabat yang dimaksud adalah pegawai catatan sipil dan notaris.

Selain itu pengakuan dan pengesahan dapat juga dilakukan dengan mencatumkan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan berlangsung apabila kedua orang tuanya menikah satu sama lain.5

Kedudukan anak diatur dalam Undang-Undang perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43 Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara

5Prawiro, Hamidjojo dan Asis, safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga. Alumni, Bandung.

(14)

umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seorang, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan pihak bapak, anak tidaklah demikian. Anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkanya.

Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan perkawinan suami istri memperoleh keturunan. Yang dimaksud dengan “keturunan” disini adalah hubungan darah antara bapak, ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis. Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis ini dan ditumbuhkan sepanjang perkawinan adalah anak anak sah (wettige of echte kinderen).”

Sedangkan anak-anak lain, yakni yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak terikat dengan perkawinan, dinamakan anak tidak sah, atau anak di luar nikah juga sering disebut anak anak alami atau onwettige onechte of natuurljke kinderen. Jadi terhadap anak yang lahir di luar nikah terhadap hubungan biologis hanya dengan ibunya tapi tidak ada hubungan biologis dengan ayahnya.

Berdasarkan pasal 272 K.U.H.Perdata pengertian anak di luar kawin dibagi menjadi dua yaitu dalam arti luas dan sempit. Anak luar kawin dalam arti luas meliputi anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin lainya. Sedangkan anak luar kawin dalam arti sempit, artinya tidak termasuk dalam arti anak zina dan anak sumbang. Anak luar kawin dalam arti sempit ini yang diakui. Sedangkan dalam islam anak luar kawin disebut sebagai anak zina.

Anak luar kawin tidak akan pernah dapat mewaris dari sanak keluarga orang tuanya, dan sebaliknya sanak keluarga orang tuanya, dan dapat bertinda dalam harta peninggalan anak luar kawin dari salah satu seorang anggota keluarganya. Akan tetap pasal 873 KUHPerdata memungkinkan terjadi pewarisan yang demikian. Jadi hanya

(15)

apabila sama sekali tidak ada orang lain, maka anak luar kawin dapat mewaris dari sanak keluarga orang tuanya dan sebaiknya dengan menyampingkan Negara6

Atas dasar hukum tersebut, maka terdapat beberapa sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia yaitu hukum waris barat, hukum waris islam, hukum waris adat dan hukum waris orang asing. Tetapi dalam hal ini, penulis hanya membahas hukum waris Islam dan hukum waris barat.

Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dari ahli warisnya.Hal ini berarti menentukan siapa siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal . Dalam hukum Islam, ilmu waris Islam disebut dengan ilmu Fara‟id.Oleh para ulama, kata fara‟id diartikan sebagai al-mafrudhah yang berarti almuqaddarah, bagian-bagian yang telah ditentukan.Dalam konteks warisan adalah bagian para ahli waris. Pokok bahasan atau landasan dasar fiqih waris adalah AlQur‟an, As-Sunnah dan Ijma‟.

Hukum waris barat (Eropa) yang dimuat dalam Burgerkijk Wetboek (selanjutnya disebutBW) adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Adapun hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut diatur dalam Pasal 131 IS ditetapkan dengan Staatsblaad 1919 No. 286 dan Staatsblaad Hindia Belanda Tahun 1919 No. 621. Hal ini menguraikan bahwa bagi Golongan Eropa, berlaku Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) berdasarkan asas konkordansi. Bagi Golongan Timur Asing, berlaku

6Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta TImur : Sinar Grafika, 2015),hlm 3

(16)

Hukum Adat mereka, berdasarkan Pasal 75 Regeering Reglement, Staatsblaad 1854 No. 129 di Negara Belanda jo. Staatsblaad Hindia Belanda Tahun 1855 No.2.7

Bagi Golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) berdasarkan Pasal 131 IS ayat (2) sub antara lain menyebutkan bahwa hukum yang berlaku bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) adalah perundang-undangan agama, lembagalembaga rakyat, dan kebiasaan penduduk atau Godsdietige Wetten, Volkinstelingen Grebruiken atau Hukum Adat. Berdasarkan ketentuan tersebut hukum yang berlaku bagi Golongan Bumi Putera (Indonesia asli) adalah hukum adat mereka yang tertulis atau penundukan diri secara sukarela kepada Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek) berdasarkan Staatsblaad 1917 No. 12 jo. Staatsblaad No. 300 1926.

Proses terjadinya anak luar kawin dapat dikategorikan sebagai berikut : 1) Anak dari hubungan ibu sebelum terjadinya penikahan.

Jika dua orang dari 2 jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain mengadakan hubungan badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil, kemudian melahirkan seorang anak dan ada sebagian darah dari seorang anak laki-laki dan seorang perempuan yang menghasilkan anak tersebut yang tercampur dalam diri anak yang bersangkutan. Padahal antara keduanya belum terikat tali perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak luar kawin. 8

2) Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya.

7Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),

hal. 33 , Tim El-Madani, Tata Cara Pembagian Waris dan Pengaturan Wakaf, (Yogyakarta : Pustaka yustisia, 2014), hal. 4 6Ibid, hal. 5

812https://media.neliti.com/media/publications/146674-ID-tinjauan-yuridis-tentangkedudukan-anak.pdf, (di download pada tanggal 19 September 2018)

(17)

Apabila seorang wanita mengadakan hubungan badan dengan bekas suaminya atau seorang laki-laki lain dan mengakibatkan wanita itu hamil kemudian melahirkan seorang anak, maka :

a. Kelahiran anak itu apabila terjadi belum lama dari masa perceraian dengan suaminya maka anak tersebut masih dianggap anak dari bekas suaminya itu;

dan

b. Apabila kelahiran anak tersebut lama setelah masa perceraian ibunya dengan ayahnya, maka anak tersebut dapat dinamakan anak luar kawin.

3) Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain.

Apabila seorang istri melahirkan seorang anak karena mengadakan hubungan badan dengan seorang laki-laki lain bukan suaminya, maka suaminya itu menjadi bapak dari anak yang dilahirkan tersebut. Kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak, anak yang dilahirkan oleh istrinya karena berbuat zina. Adapun alasannya ialah :

a. Suami tidak bisa menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan biologis istrinya, misalnya impotensi.

b. Dapat dibuktikan oleh suaminya baik karena pengakuan pria yang melakukan zina dengan istrinya ataupun oleh istrinya sendiri atau oleh masyarakat.

4) Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa ayahnya.

Apabila seorang perempuan mengadakan hubungan badan dengan lebih dari seorang laki-laki atau mengadakan hubungan badan dengan bergantiganti pasangan dan mengakibatkan seorang perempuan itu hamil, kemudian melahirkan seorang anak, dan jelaslah di sini bahwa anak tersebut tidak diketahui siapa ayahnya, karena ibunya telah mengadakan hubungan badan dengan berganti-ganti pasangan yang tidak terlibat tali perkawinan yang sah.

(18)

5) Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah

Jika dua orang dari 2 (dua) jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain mengadakan hubungan badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil kemudian melahirkan seorang anak dan ada sebagian darah dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hubungannya menghasilkan anak tersebut, yang tercampur dalam diri anak yang bersangkutan9. Padahal antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain dan kedua pasangan tersebut telah hidup didalam kehidupan rumah tangga. Padahal antara keduanya belum terikat tali perkawinan yang sah.

Akibat adanya hubungan di luar nikah menyebabkan beberapa permasalahan yang terjadi di masyarakat, yaitu :

a) Pada hubungan di luar nikah terutama atas dasar saling cinta, biasanya sering terjadi pada pasangan remaja (muda mudi) saat ini, pergaulan yang kurang sehat sering menimbulkan paksaan terhadap laki-laki yang telah menghamilinya untuk bertanggung jawab dan membuat perjanjian untuk mengawini perempuan tersebut. Karena kondisi tersebut sangat besar bagi si perempuan, yaitu menjadi hamil dan melahirkan anak tanpa pernah melakukan perkawinan, sebab akan memberi efek negatif bagi dirinya maupun keluarganya di hadapam masyarakat. Keadaan-keadaan seperti ini yang membuat adanya perjanjian diantaran keduanya, yaitu untuk menikahi si perempuan yang telah hamil di luar nikah, apabila janji tersebut dipenuhi maka tidak akan menjadi masalah, namun bagaimana halnya jika laki-laki tersebut di kemudian hari ternyata ingkar janji, dan apakah laki-laki tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum?

9Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2016), hal.

121-122

(19)

b) Dalam hukum pidana, hubungan di luar nikah tersebut hanya dilarang apabila salah satu pihak atau kedua-duanya telah menikah (terikat perkawinan) dengan orang lain. Lalu bagaimana dengan masalah jika pelakunya adalah orang yang belum menikah dan salah satu pihak merasa dirugikan?

c) Apabila dari hubungan luar nikah tersebut melahirkan seorang anak, yang menurut Undang-Undang Perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja, apakah laki-laki yang menghamili masih memiliki hubungan hukum dengan anak tersebut?

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan di atas tentunya dapat kita cermati bahwa kehidupan anak yang lahir di luar perkawinan dari laki-laki dan perempuan adalah serba sulit.Di satu sisi anak yang lahir di luar perkawinan dari kedua orang tua biologisnya sangatlah dipandang hina bahkan sering kali mendapatkan cemoohan, dikucilkan bahkan juga perklakuan buruk dari masyarakat setempat.Sejatinya anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut

tidaklah berdosa dan salah, yang salah adalah kedua orang tuanya.Tetapi anak luar kawinlah yang selalu jadi korban perpuabatan hina tersebut.

Selain dipandang hina dan rendah bahkan mendapat perlakuan buruk dari masyarakat, di sisi lain dalam hal kesejahteraan dan hak keperdataan anak luar kawin juga masih mendapatkan pembatasan-pembatasan. Salah satu pembatasan hak keperdataan terhadap anak luar kawin adalah mengenai pewarisan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka perlu disampaikan beberapa pokok masalah dalam skripsi ini :

1. Bagaiamanakah pengaturan pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata BW ?

(20)

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Perdata BW mengenai kedudukan dan bagian anak luar kawin dalam pembagian hata warisan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010 ?

3. Bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap anak luar kawin setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUUVIII/ 2010 ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini yaitu :

1. Untuk mengetahui aturan pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata BW.

2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Perdata BW mengenai kedudukan dan bagian anak luar kawin dalam pembagian harta warisan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul terhadap anak luar kawin setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010?1011

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini yaitu :

1. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang hak waris anak luar kawin setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUUVIII/ 2010.

2. Sebagai bahan referensi bagi siapa saja terutama bagi mahasiswa fakultas hukum yang ingin mempelajari lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan anak luar kawin terutama masalah pewarisan.

11Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUUVIII/ 2010

(21)

3. Sebagai bahan pertimbangan masyarakat terhadap akibat dari perkawinan yang tidak sah yang mengakibatkan lahirnya anak luar kawi

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai hak waris anak luar kawin setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/

PUU-VIII/ 2010. Untuk mendapatkan data atau informasi tentang hak waris anak luar kawin ini, maka dilakukan Library Research , sehingga penelitian ini dinamakan penelitian pustaka, yaitu penelitian dengan meneliti data yang ada di perpustakaan yang relevan dengan pembahasan ini.

2. Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa bahantertulis seperti buku, peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, dokumen yang dipergunakan meliputi : Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Kitab Suci Al-Qur‟an, Kompilasi Hukum Islam, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang diantaranya : Dasar Dasar Hukum Waris di Indonesia, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Perkembangan pemikiran Pembagian Warisan Dalam Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, dan lain sebagainya.

(22)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus (hukum12).

3. Analisis Data

a. Metode Analisis

Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.Penelitian skripsi ini, menggunakan metode deskriptif yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin manusia, keadaan ataupun gejala-gejalanya.Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.

Penelitian ini juga menggunakan data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.

b. PendekatanPendekatan yang ditempah dalam penulisan ini adalah pendekatan pendekatan perundang-undangan (statute aproach).Dalam metode perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki, asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.

F. Keaslian Penulisan

Hal ini juga dilkakukan penulis terhadap aturan-aturan yang berhubungan pembagian waris seperti halnya yang terdapat dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata BW yang nantinya di hubungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan penulusuran kepustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara “ Anak Luar Kawin Berdasarkan

12 Sutrisno Hadi, Metedologi Research, Jilid I, (Yogyakarta : Andi Offset, 2001), Cet. 32 hlm 9.

Rianto Adi, aspek Hukum Dalam Penelitian, Edisi Pertama, (Jakarta : Yayasan Pustaka Indonesia, 2015), hal. 31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.

31

(23)

Hukum Waris Islam dan Hukum Perdata BW Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ” belum pernah dilakukan pendekatan dan perumusan masalah yang sama sebelumnya. Walaupun ada topik yang sama tetapi tetap memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Oleh sebab itu keaslian penulisan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis berdasarkan nilai nilai objektivitas dan kejujuran.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menguraikan pembahasan masalah skripsi ini, maka untuk lebih memudahkan, penyususnannya dilakukan secara sistematis. Skripai ini terbagi dalam 5 (lima) BAB, yang gambarannya sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini secara umum digambarkan garis besar tentang latar belakang pemilihan judul yang dipilih oleh penulis serta hal-hal yang mendorong penulis untuk mengangkat judul ”Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam Dan Perdata BW Pasca Putusan MK Nomor 46/ PUU-VIII/

2010”, dan bab ini juga menyangkut permasalahan pokok skripsi ini, tujuan penulis melakukan penelitian, manfaat dari penelitian, metodologi penelitian dan sitematika penulisan

BAB II HAK WARIS ANAK DI LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ISLAM

Pada bab ini, penulis membahas tentang pengertian dari anak luar kawin menurut hukum islam dan hak-hak anak luar kawin dalam kewarisan, dan pembagian harta warisan anak luar kawin yang ditinjau secara spesifik dan terperinci dari sudut pandang hukum islam.

(24)

BAB III HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT KUH- PERDATA

Memiliki sitematika yang sama dengan Bab II, pada bab ini, penulis juga membahas tentang pengertian dari anak luar kawin, status hukum anak, hak- hak anak luar kawin dalam kewarisan, dan pembagian harta warisan anak luar kawin yang mana pada bab ini pembahasannya lebih ditinjau secara spesifik dan terperinci dari sudut pandang hukum perdata barat (Kitab Undang- Undang Hukum Perdata).

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.46/PUU-VII/2010

Bab ini merupakan pembahasan dari judul yang diambil oleh penulis sehingga dalam bab ini menjelaskan tentang bagaimana Analisis putusan MK Akibat hukum yang timbul setelah terhadap anak luar kawin Pandangan hukum islam dan hukum perdata BW terhadap kedudukan dan bagian anak luar kawin dan bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan terhadap anak luar kawin tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari skripsi ini yang mana

di dalamnya memuat kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

(25)

BAB II

HAK WARIS ANAK DI LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Anak Luar Kawin

Anak merupakan akibat yang timbul dari suatu perkawinan. Kelahiran seorang anak menjadi symbol keturunan bagi sebuah keluarga. Keturunan (afstamming) ada hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Undang-undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah (wettige en on wettige kinderen).

Yang teraKompilasi Hukum Islamr ini juga diberi nama anak luar kawin (natuurlijke kinderen) atau diterjemahkan “anak anak alam”.13

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.14

Anak luar kawin dalam Undang-undang sendiri tidak secara spesifik menyebutkan arti ataupun makna anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

13Kie, 2000 : 18

14 Abdul Manan, 2008:

80

(26)

Agama Islam sangat mencela dan melarang untuk melakukan hubungan diluar perkawinan atau pernikahan yang mana dapat kita sebut dengan zina. Sebagaimna hal ini ditegaskan dalam Surah Al Furqan ayat 68-70 yang artinya :

“Dan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sembahan yang lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikin itu, niscaya dia mendapat hukuman berat (68). (yakni) akn dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina (69). Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (70).”

Laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan badan di luar perkawinan atau pernikahan tersebut nantinya dapat melahirkan anak yang sering disebut dengan anak luar kawin. 15

Mengenai pengertian anak luar kawin dalam setiap perspektif hukum memberikan pengertiannya masing-masing meski maksud dan tujuan dari pengertian tersebut adalah sama.Hanya saja dalam hukum Islam anak zina cenderung lebih dipakai karena lebih merujuk kepada perbuatan yang dilakukan adalah berzina. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPerdata) istilah anak luar kawin ataupun nikah lebih

cenderung dipakai. Disini, penulis akan menggunakan semua istilah tersebut karena makna dari semua istilah tersebut adalah sama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pernyataan tentang anak zina yang mana bahwa :

“Anak hasil zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut hukum agama, dan merupaka jarimah (tindak pidana kejahatan)”.

15https://konsultasisyariah.com/10578-anak-di-luar-nikah.html

(27)

Anak zina menurut pandangan Islam, adalah suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditunjukkan kepada anak tersebut, tetapi kepada kedua 16orangtua biologisnya. Selain itu, anak zina adalah anak yang dikandung oleh ibunya dari seorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara‟.Dalam

„urf modern wa‟ad ghairuh syar‟i yaitu anak yang tidak diakui oleh agama.

Disamping itu, Imam Al Jurjani seorang ahli bahasa dan satra arab memberikan pengertian bahwa zina adalah perbuatan memasukkan penis ke dalam lubang vagina yang bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur Syubha (kesurupan atau kekeliruan), sebagian pendapat ada yang memberi tambahan yaitu memasukkan kemaluan laki-laki ke dubur wanita yang tidak halal baginya.Maka yang dinamakan dengan anak zina adalah anak yang lahir karena adanya perzinaan yang dilakukan oleh bapak biologisnya dan ibu nasabnya atau anak yang lahir di luar pernikahan atau perkawinan yang sah. Dan dapat pula memasukkan anak yang lahir dari rahim yang diperkosa , dengan asumsi hubungan itu terjadi ketika tidak ada hubungan sah diantara keduanya.34 Secara implisit, Al-Qur‟an menyatakan dalam surah Al- Mu‟minun ayat 56 yang artinya :dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya dalam hal ini mereka tidak tercela.

Fiqh Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah.Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadist, dapat diberikan batasan anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak terdapat secara jelas dan tegas mengenai pengertian anak luar kawin. Namun hanya saja di dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pengertian anak yang sah adalah :

16https://almanhaj.or.id/2099-hamil-di-luar-nikah-dan-masalah-nasab-anak-zina.html

(28)

a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b) Hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Meski demikian halnya Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan pengertian secara tegas dan jelas, tetapi KHI telah memberikan ketentuan secara tegas mengenai pernasaban dan hubungan tentang anak luar kawin sebagaimana yang tertera dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mana telah menegaskan bahwa :

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan Ibunya dan keluarga Ibunya”.

(Pasal 100 KHI) Dari pengertian di atas, penulis dapat memberikan pendapat sendiri mengenai pengertian anak luar kawin itu sendiri yang mana anak luar kawin atau anak luar nikah adalah anak yang di lahirkan di luar perkawinan atau pernikahan yang tidak sah antara seorang pria dan wanita yang melakukan hubungan badan baik secara sadar (mau sama mau) ataupun secara tidak sadar dan terpaksa/dipaksa (diperkosa) sehingga menyebabkan si wanita hamil dan melahirkan seorang anak yang tidak diakui sah oleh agam Islam.17

Sebelumnya perlu diketahui, payung hukum berlakunya Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah atas Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.Melalui intruksi ini telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalahmasalah di ketiga bidang hukum, yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

Selain itu juga, payung hukum pembentukan KHI adalah Surat Keputusan Meneteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut meminta kepada seluruh instansi Departemen Agama,

17https://almanhaj.or.id/2099-hamil-di-luar-nikah-dan-masalah-nasab-anak-zina.html

(29)

termasuk Peradilan Agama di dalamnya dan instansi pemerintahan lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud.

Disamping Kompilasi Hukum Islam (KHI) memiliki payung hukum dalam pembentukannya, KHI dalam pembentukannya juga memilki landasan hukum.

Landasan hukum pembentukan KHI tersebut adalah Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat”. sedangkan landasan fungsional KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memerhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Bukan mazhab baru, tetapi mengarah kepada penyatuan berbagai pendapat mazhab hukum Islam untuk menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam.Untuk menuju kepastian hukum umat Islam.

B.TATA CARA PEMBAGIAN HARTA WARISAN

Sebelum membahas bagaimana cara menghitung pembagian harta warisan sebelumnya mesti diketahui lebih dahulu beberapa istilah yang biasa dipakai dalam pembagian warisan. Beberapa istilah itu antara lain adalah:

1. Asal Masalah (لص أ ة لأس م لا)

Asal Masalah adalah: ل قأ ددع حص ي هن م اهض ر ف وأ اهض ور ف

Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian secara benar.”

(Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, halaman 339)18

18 http://www.nu.or.id/post/read/87201/tata-cara-pembagian-harta-warisan-dalam-islam

(30)

Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau dalam ilmu faraidl disebut Tashhîhul Masalah adalah:

ل قأ ددع ى تأت ي هن م بي ص ن ل ك دحاو نم ة ثرى لا احي حص نم ري غ رس ك

Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing ahli waris secara benar tanpa adanya pecahan.” (Musthafa Al-Khin, 2013:339)

Dalam ilmu aritmetika, Asal Masalah bisa disamakan dengan kelipatan persekutuan terkicil atau KPK yang dihasilkan dari semua bilangan penyebut dari masing-masing bagian pasti ahli waris yang ada. Asal Masalah atau KPK ini harus bisa dibagi habis oleh semua bilangan bulat penyebut yang membentuknya.

2. „Adadur Ru‟ûs (ددع سوؤر لا)

Secara bahasa „Adadur Ru‟ûs berarti bilangan kepala.

Asal Masalah sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan dan digunakan apabila ahli warisnya terdiri dari ahli waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl.

Sedangkan apabila para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya menjadi ashabah maka Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala/orang yang menerima warisan.

3. Siham (ماهس )

Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah dan bagian pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.

(31)

4. Majmu‟ Siham (عىمجم ماهس لا)19

Majmu‟ Siham adalah jumlah keseluruhan siham. Setelah mengenal istilah-istilah tersebut berikutnya kita pahami langkah-langkah dalam menghitung pembagian warisan:

1. Tentukan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan

2. Tentukan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak laki-laki sisa (ashabah) dan seterusnya.

3. Tentukan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24

4. Tentukan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan seterusnya Besarnya bagian warisan yang diperoleh anak luar kawin adalah tergantung dari dengan bersama-sama siapa anak luar kawin itu mewaris (atau dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu mewaris), yaitu:

Pasal 863:

“Jika yang meninggal keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang mereka terima, andaikan mereka anak-anak yang sah”

jika pewaris tidak meninggakan keturunan maupun suami atau istri, tapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis keatas ataupun saudara laki atau perempuan atau keturunan mereka, maka mereka mewaris setengah dari warisan. Jika hanya ada sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, anak luar kawin mewaris tiga perempat dari warisan.

19http://www.nu.or.id/post/read/87201/tata-cara-pembagian-harta-warisan-dalam-islam

(32)

Hukum Islam tidaklah membagi anak luar kawin itu dalam beberapa bagian sebagaimana halnya dalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).Hukum Islam hanya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.Hal ini dapat juga kita telaah dari hadist.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:41

“telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi‟ dan Abd bin Humaid, Ibnu Rafi‟

mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq telah mengabarkan kepada kami Ma‟mar dari az-Zuhri dan Ibnu Musayyab dan Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: seorang anak adalah untuk pemilik ranjang, sedangkan orang yang menzinai tidak mempunyai hak atasnya”.

Hadits di atas menunjukkan bahwa anak yang lahir dari pernikahan yang sah dihubungkan nasabnya kepada bapaknya. Implikasi dari hubungan nasab tersebut otomatis membuat anak tersebut memiliki hubungan keperdataan dengan bapak sehingga ia berhak mendapatkan waris, nafkah, perwalian serta hak keperdataan lainnya. Sebaliknya anak yang lahir di luar pernikahan yang sah tidak tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada bapaknya namun hanya kepada ibu dan keluarga ibunya.20

Oleh karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan nasab dengan bapak dan keluarga bapaknya sehingga anak tersebut tidak berhak atas waris, nafkah, perwalian serta hak keperdataan lainnya.Ibnu Hazm menegaskan bahwa anak yang lahir akibat perzinaan hanya ada hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya.Ia juga hanya mempunyai hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan kemahraman dan berbagai ketentuan hubungan hukum lain dengan ibu kandungnya saja. Para ulama sepakat bahwa anak yang lahirakibat perzinaan

20http://www.nu.or.id/post/read/87201/tata-cara-pembagian-harta-warisan-dalam-islam

(33)

berkedudukan sebagai orang lain dengan bapak biologisnya, sehingga ia tidak dapat saling mewarisi dan tidak dapat dihubungkan nasabnya dengan bapak biologisnya.

Selain itu, bapaknya juga tidak berkewajiban untuk memberi nafkah, tidak diperkenankan untuk duduk berduaan serta tidak bisa menjadi wali nikah bagi anak perempuan zinannya

Amanat yang tercantum dalam Pasal 284 KUH Perdata disebutkan, bahwa:

“Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak luar kawin, yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri atau suaminya, tak akan merugikan baik bagi istri atau suami maupun bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka”.

Jadi berdasarkan Pasal 284 tersebut kembali ditekankan bahwa seorang suami atau istri yang mengakui anak luar kawinnya tidak boleh merugikan istri dan anak-anak dari perkawinan pada waktu pengakuan dilakukan. Namun perlu juga diingat bahwa berdasarkan Pasal 285 KUH Perdata, walaupun anak luar kawin telah diakui dan berhak atas warisan dari orang tua yang mengakuinya, tetapi ayah atau ibu si anak luar kawin tidak mewarisi harta dari orang yang mengakui. 21

Dalam pembagian warisan, anak luar kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana anak luar kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah. Kedudukan dalam pewarisan berada pada golongan pertama, yaitu sebagai anak luar kawin diakui dari ayah sebagai pewaris

21Pasal 284 KUH

(34)

Menurut Pasal 863 KUH Perdata

“Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yangsah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”

Pembagian harta warisan dalam hukum Islam menurut ilmu fikih disebut dengan faraidh, wiratsah, atau al-tirkah. Fikih Kewarisan Islam adalah ketentuan hukum Islam yang mengatur tentang siapa saja ahli waris yang berhak mendapatkan warisan dan berapa besar bagian kewarisannya.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembagian warisan dalam hukum islam, bahwasanya tidak setiap keluarga mendapatkan warisan. Dan tidak setiap orang mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalam surat al-Nisa ayat 11, 12, 17, dan 176 dan beberapa hadis lainnya.22

Adapun ringkasannya dapat dilihat pada keterangan berikut ini:

1.Anak Perempuan

Anak perempuan mendapatkan 1/2. Apabila anak sendiri (QS. 4: 11). Kedua, mendapatkan 2/3 apabila terdapat dua atau lebih. Mereka berbagi rata dari 2/3 tersebut (4:11). Ketiga, mendapatkan sisa / ashabah spabila bersama dengan anak laki-laki (ashabah bil ghair).23

2. Anak laki-laki

Laki-laki mendapat sisa dengan sendirinya atau disebut ashabah bi al-Nafs

22Pasal 863 KUH Perdata

23http://www.nu.or.id/post/read/87201/tata-cara-pembagian-harta-warisan-dalam-islam

(35)

3. suami

Pertama, suami mendapat bagian 1/2 apabila ahli waris tidak meninggalkan anak (4:12). kedua, suami mendapatkan 1/4 apabila pewaris meninggalkan anak (4:12) 4. Istri

Pertama. Istri mendapatkan 1/4 apabila ahli waris tidak meninggalkan anak (4:12).

Kedua mendapatkan 1/8 apabila ahli waris meninggalkan anak (4:12) 5. Ibu

Pertama, ibu mendapatkan bagian 1/3 apabila pewaris tidak meninggalkan anak.

Kedua mendapatkan 1/6 apabila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih (4:11) Apabila tidak meninggalkan anak namun meninggalkan saudara (4:11).

Ketiga, mendapatkan 1/3 sisa (tsulutsul baqi) apabila ahli waris hanya terdiri dari ayah, ibu dan suami/istri. Pembagiannya adalah dibagi dulu bagian istri, kemudian sisanya dibagi 1/3, kemudian sisanya diberikan kepada ayah.

6. Bapak

Pertama. Bapak mendapatkan 1/3 apabila ahli waris tidak meninggalkan anak. (4:11).

Kedua, bapak mendapatkan 1/6 apabila ahli waris meningglkan anak. (4:11). Ketiga, bapak mendapatkan semua sisa apabila tidak ada ahli waris yang mendapatkan sisa, dan masih ada sisa warisan maka diberikan kepada bapak, namun sebelumnya bapak tetap mendapat bagian zawil furud (ahli waris yang telah mendapatkan bagian yang ditentukan).24

7. Saudari kandung

Pertama. Saudari kandung mendapatkan bagian waris 1/2 apabila kalalah dan sendiri.

Kedua, mendapatkan 2/3 apabila kalalah dan bersama dua orang atau lebih, maka

24http://www.nu.or.id/post/read/87201/tata-cara-pembagian-harta-warisan-dalam-islam

(36)

mereka berbagi rata dari 2/3 tersebut. Kedua, mendapatkan sisa warisan. Apabila kalalah dan bersama dengan seorang anak perempuan (ashabah maal ghair) atau dia bersama dengan saudara kandung (ashabah bil ghair).

8. Saudara kandung

Saudara kandung mendapatkan sisa warisan apabila kalalah 9. Saudari sebapak

Pertama. Saudara sebapak mendapatkan 1/2 warisan apabila kalalah dan tidak ada saudari kandung. Kedua mendapatkan 2/3 apabila kalalah, tidak ada saudari kandung dan saudari sebapak terdiri dari dua orang atau lebih. Mereka berbagi rata dari bagian tersebut. Ketiga, mendapatkan sisa warisan apabila kalalah, dia bersama saudara sebapak, dan tidak ada suadara kandung. Keempat. Tidak mendapatkan warisan apabila ada saudara kandung atau apabila ada dua saudari kandung

10. Saudara/i seibu

Pertama, Saudara/i seibu mendapatkan 1/6 warisan apabila kalalah dan mereka satu orang. Kedua mendapatkan 1/3 apabila kalalah dan mereka terdiri dari dua orang atau lebih25

Harta peninggalan sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan dan harta bersama.

Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris dapat memperoleh bagian sebagai hibah (ketika pewaris masih hidup) atau sebagai wasiat wajibah, atau diberi bagian

25http://www.nu.or.id/post/read/87201/tata-cara-pembagian-harta-warisan-dalam-islam

(37)

yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan sesuai ketentuan Pasal 194 s/d 214 Kompilasi Hukum Islam. Ketika adanya sengketa dalam pembagian waris dapat bersepakat melakukan perdamaian.

Hazairin menggolongkan ahli waris kepada dzawul faraid, dzawul qarabat, dan mawali (ahli waris pengganti), sedangkan para pengkritiknya menggolongkan ahli waris kepada dzawul faraid, „asabah, dan dzawul arham.

Ahli waris kelompok pertama yang disebut dzawul arham menurut Ahlus sunnah wal-Jama‟ah (selanjuntnya disebut Ahlus sunnah) dan Hazairin mempunyai persamaan sebagai subjek ahli waris, yaitu mereka yang disebut di dalam Al-Qur‟an Surah An-Nisa ayat 11, 12, 176 (ayat-ayat kewarisan) dan mempunyai perbedaan dalam penentuan ahli waris sepertalian darah vertical ke bawah: cucu, cicit, dan vertical ke atas: kakek, nenek, yang mereka itu tidak disebut dalam ayat-ayat kewarisan.26

Ahli waris yang masuk kelompok kedua yang disebut „asabah oleh Ahlus sunnah dan dzawul qarabat oleh Hazairin adalah mereka yang mendapat bagian harta warisan secara terbuka dan bagian mereka disebut secara tersirat dalam ayat-ayat kewarisan. Sebagai contoh, anak perempuan yang di dampingi oleh anak laki-laki, saudara perempuan yang di damping oleh saudara laki-laki, bagian harta warisan mereka sebagai ashabah atau dzawul qarabat adalah bagian seorang lakilaki sama dengan bagian dua orang perempuan.

Ahli waris kelompok ketiga disebut dzawul arham oleh Ahlus sunnah, disebut mawali atau ahli waris pengganti oleh Hazairin. Dzawul Arham menurut Ahlus sunnah laki- laki dan perempuan tidak berlaku ketentuan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan pada kasus tertentu.

26Salman, H.R. Otje dan Mustofa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika Aditama

(38)

cucu perempuan melalui anak perempuan yang orng tuanya meninggal lebih dahulu daripada kakeknya dimasukkan kelompok dzawul arham, sedangkan menurut Hazairin, dalam kasus yang demikian kakek dan nenek ke atas, para anggota garis sisi pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya beserta keturunan mereka, baik laki-laki maupun perempuan dimasukkan ke dalam kelompok mawali atau ahli waris pengganti dan berlaku ketentuan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Demikian juga dalam seleksi kelempok ahli waris. Hazairin menggunakan hukum keutamaan, sedangkan Ahlus sunnah pada hakikatnya menggunakan hukum selektif dalam pengelompokan ahli waris.

Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, yang disebabkan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa didahului oleh akad nikah yang sah. Termasuk juga di dalamnya, yaitu anak yang lahir sebelum sampai 6 bulan akad pernikahan ibu bapaknya.

Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam telah tegas menyatakan bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

C. HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN

Secara umum hak yang didapatkan seorang anak dari orang tuanya ada lima: Hak Nasab, Seluruh Madzhab fiqh baik sunni maupun shi‟ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan, sebab surat Al-Ahqaf ayat 15 menentukan bahwa masa kehamilan dan menyusui anak adalah tiga puluh bulan, yaitu lamanya mengandung sampai menyapihnya adalah selama tiga puluh bulan. Sedangkan surat Luqman ayat 14 menegaskan bahwa masa menyusui itu lamanya 2 tahun penuh.

Kalau kita lepaskan waktu 2 tahun itu dari waktu tiga puluh bulan maka yang tersisa adalah enam bulan dan itulah masa kehamila.

(39)

Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya untuk itu tanggung jawab mengenai segala keperluan anak itu, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya yang melahirkan dan keluarga ibunya saja.27

Hak Perwalian, Menurut hukum Islam anak luar kawin tetap dianggap sebagai anak yang tidak sah, sehingga seorang bapak tidak dapat menjadi wali nikah bagi anak diluar nikah dan hanya dapat dilangsungkan dengan wali hakim. Hal ini karena dia lahir akibat hubungan diluar nikah.28

Hak Nafkah, oang tua wajib memberi nafkah kepada anak-anak yang mereka lahirkan dalam masa perkawinan. Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang berhubungan dengan biaya kehidupan (nafkah) dan pendidikanya maupun warisan.29

Yang bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya materiil dan spiritual adalah terutama ibunya yang melahirkan dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.30

Tentang nafkah yang diberikan kepada anak-anak di luar kawin dan tidak diakui itu pasal 868 BW menentukan sebagai berikut: nafkah ditentukan menurut kekayaan si ayah atau si ibu, serta jumlah dan keadaan para pewaris yang sah. Adapun status dari anak-anak itu bukanlah pewaris tapi sebagai orang berpiutang (creditor). Pasal 869 BW: jika di dalam hidupnya si ayah atau si ibu telah diadakan jaminan maka anak itu sama sekali tidak mempunyai tuntutan lagi terhadap warisan si ayah atau si ibu.31

27 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab…, h. 385.

28 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah…, h. 83.

29Cahyo, Pengakuan Anak Luar Kawin, dalam: http:/indosigleparent.blogspot. com/2008/03/pengakuan-anak-luar-kawin-luar- nikah-html, diakses tanggal 12 Desember 2016

30 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah…, h. 83.

31Ali Afandi, Hukum waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 42-43.

(40)

Hak Pengasuhan (hadhanah), Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil, baik yang laki- laki atau perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.32

Yang wajib mengasuh anak diluar nikah adalah ibu yang telah melahirkanya dan keluarga ibunya, karena anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Hak Waris-Mewarisi, menurut para ahli hukum Islam anak zina hanya dapat mewaris dari pihak ibunya dan kerabat ibunya33.

Dilihat dari segi hubungan hukum dengan ibu, tidak ada perbedaan antara anak yang sah, dan anak yang tidak sah (anak yang lahir diluar perkawinan) mengenai soal warisan.34

Pada prinsipnya penyelenggaraan perlindungan anak harus mampu menjamin terwujudnya penyelenggaraan hak-hak anak terhadap: Agama (pasal 42); Kesehatan (pasal 44); Pendidikan (pasal 48); Sosial (pasal 55) dan Perlindungan khusus (pasal 59). Dalam undang-undang perlindungan anak ini berlaku umum, karena tidak ada teks atau bunyi pasal yang menfokuskan tentang status anak yang harus mendapatkan hak-hak tersebut. Jadi hak tersebut harus diberikan kepada semua anak, baik anak yang sah maupun anak yang lahir di luar kawin.

Dalam Hukum Islam, orang tua berkewajiban terhadap anaknya sesuai dengan kadar kemampuannya yaitu memelihara mengasuh, mendidik, menjaga dan melindunginya.

32Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 175-176.

33 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshori, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 116.

34 Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 69.

(41)

D. Kedudukan Anak Luar Kawin

Kedudukan anak luar kawin menurut hukum Islam, Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak) adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan, antara ibu si anak dan laki-laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan perkawinan yang sah.35

Dalam hukum Islam ada kemungkinan seorang yang lahir dikatakan anak ibu, yaitu apabila anak tadi dilahirkan sebelum masa enam bulan sejak akad nikah dilangsungkan, sedang si suami tersebut tidak mau mengakui bahwa anak yang lahir itu adalah hasil persetubuhannya terhadap istrinya yang dituduh itu sebelum menikah.36

Berkenaan dengan status anak luar kawin, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Begitu juga dengan hak waris-mewaris.37

Dalam hal anak diluar kawin ini dapat dibagi ke dalam dua kategori: Anak yang dibuahi tidak dalam perkawinan yang sah, namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Menurut Imam Malik dan imam Syafi‟i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak tersebut tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.38

35Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 2000), h. 106.

36Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, UU perkawinan dan Hukum Perdata / BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.t.), h. 21.

37Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V, (Beirut: Dar al- Fikr, t.t), h. 357.

38M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 81.

(42)

Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz firasy, dalam hadis Nabi: “Anak itu bagi pemilik firasy dan bagi pezina adalah hukum rajam”. Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasymenunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).39

Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah, Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li„an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya; Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya; Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan; Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.

Islam mengajarkan bahwa anak yang dilahirkan secara sah sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, mempunyai kedudukan yang baik dan terhormat. Anak itu mempunyai hubungan dengan ayah dan ibunya. Kesimpulannya bahwa anak bisa dihubungkan nasabnya kepada ayahnya apabila ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Sedangkan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau anak zina tidak dapat dihubungkan dengan ayahnya, melainkan hanya kepada ibunya saja.

Sedangkan anak yang dilahirkan akibat hubungan syubhat, baik syubhat dalam akad maupun syubhat dalam tindakan, menurut Abu Hanifah mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, tanpa ada perbedaan sedikitpun. Mazhab Imamiyah juga menetapkan nasab yang sah untuk anak tersebut berikut hak-hak yang dimilikinya melalui kesyubhatan tersebut. Kalau orang yang melakukan kesyubhatan itu tidak mengakui anak tersebut, maka

39Jalal al-Din al-Mahalli, al-Qulyubi wa Umarah, Juz III, (Semarang: Maktabah Putra Semarang, t.t.), h. 31.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengurangi tingkat kemiskinan, perlu diketahui sebenarnya faktor – faktor apa sajakah yang berhubungan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan (jumlah

Murid akan dapat melakukan kemahiran bola sepak dalam permainan kecil dan sebagai aktiviti riadah.. NILAI Semangat pasukan -Kerjasama ABM Bola sepak Bola jaring

Pemilik berani mengambil keputusan tersebut karena didasari oleh produk yang dibuatnya antara lain, barang yang diberikan kepada konsumen merupakan barang yang masih baru,

dan tambak yaitu 40% mangrove dan 60% tambak; (2) desain tambak silvofishery yang adaptif dan ramah lingkungan adalah model komplangan disempurnakan yang dilengkapi parit

Adanya overfishing di Selat Bali juga dikatakan oleh Djamali (2007) bahwa dari input yang digunakan yakni jumlah trip menunjukkan bahwa effort aktual jauh melampaui effort

Wisatawan akan memerlukan tempat tinggal untuk sementara waktu selama dalam perjalanan untuk dapat beristirahat. Dengan adanya sarana ini, maka akan mendorong

Fasilitas ini dinamakan Rumah Susun Mahasiswa Multiguna (RuSuMaMu) ini yang diramu menjadi sebuah modifikasi terhadap tipologi yang.. menggabungkan fungsi hunian mahasiswa

Daya tarik wisata pantai yang menempati prioritas utama dalam pengembangan adalah Pantai Marina didasarkan pada skor potensi gabungan tertinggi, disusul dengan