• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2. Hasil Penelitian Tahap Dua

4.3.2. Status Kesehatan Ikan pada Berbagai Perlakuan Suhu 1.Hematokrit

Hasil pengamatan pada penelitian tahap satu menunjukkan bahwa nilai prosentase hematokrit pada semua perlakuan mengalami penurunan setelah infeksi virus, penurunan yang paling rendah terjadi pada perlakuan Tii (suhu 25 ±2 o

C) diikuti oleh Ti (suhu 20±2 oC), sedangkan pada Tiii (suhu (30±2 oC) penurunannya relatif kecil. Penurunan nilai prosentase hematokrit pada perlakuan Tii dan Ti ini menggambarkan ikan berada pada kondisi anemia. Berkurangnya nilai hematokrit ini disebabkan oleh terjadinya pendarahan yang terjadi pada beberapa daerah lesio infeksi. Lesio disertai pendarahan yang parah pada perlakuan Tii dan Ti merefleksikan tingkat infeksi virus yang lebih kuat, dan ketidakmampuan sistem imun dalam mengatasi infeksi virus yang terjadi. Peningkatan nilai hematokrit yang terjadi pada hari ke-14, merupakan upaya homeostasis dari ikan dalam menghadapi serangan virus, namun nilai hematokrit ini menurun kembali pada hari ke 21. Pada perlakuan Tiii terjadi upaya

pemulihan nilai hematokrit yang lebih baik, setelah penurunan pada hari ke-7. Peningkatan nilai hematokrit pada perlakuan Tiii terus berlanjut hingga hari ke-21.

Berdasarkan nilai prosentase hematokrit pada penelitian tahap satu tergambar bahwa status kesehatan ikan pada perlakuan Ti dan Tii (suhu 20 dan 25±2oC) mengalami penurunan selama infeksi virus, dan ikan tidak mampu memulihkannya dalam waktu cepat, sehingga sebagian besar ikan akhirnya mengalami kematian. Nilai prosentase hematokrit pada Ti dan Tii selama kejadian infeksi, secara berurut berkisar 21.3 -23.43% dan 24.36-25.64%, nilai keduanya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan Tiii (28.26-38.56%). Nilai hematokrit pada ikan mas (Cyprinus carpio ) tercatat mencapai 27.1 % (Moyle & Cech 1988), sedangkan pada ikan raibow trout mencapai kisaran 24-43 % (Anderson dan Siwicki 1993).

Pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC), ikan lebih mampu untuk memulihkan nilai hematokrit yang menurun karena infeksi, dan mempertahankannya pada nilai yang memadai, selama kejadian infeksi. Fenomena ini menggambarkan bahwa virulensi virus pada perlakuan Tiii relatif lebih rendah; pada suhu ini kemampuan replikasi virus lebih rendah, sehingga jumlah virion yang dilepas relatif tidak memadai untuk memicu infeksi yang kuat dan mematikan (seperti pada perlakuan Ti dan Tii). Hal tersebut tergambar dari tingkat keparahan infeksi pada perlakuan Tiii (gambar 3). Lesio yang teramati pada perlakuan Tiii menunjukkan bahwa ikan secara umum tidak mengalami pendarahan yang berarti. Pada sisi lain, perlakuan Tiii mampu mendukung aktivasi sistem imunitas ikan secara lebih baik (Manning dan Nakanishi 1996; Bowden et al. 2006) sehingga produksi berbagai komponen respon imun (selular dan humoral) berjalan lebih cepat dan memadai dalam mengatasi infeksi virus, akibatnya infeksi yang lebih parah dapat dihindari.

4.3.2.2. Total Leukosit

Gambar 9 memperlihatkan bahwa semua perlakuan mengalami penurunan leukosit pada hari ke-7 setelah infeksi virus, dan pada hari ke-14 semua perlakuan mengalami peningkatan leukosit. Penurunan leukosit pada hari ke-7, yang dialami perlakuan Tii (suhu 25±2 oC) mencapai nilai yang paling rendah secara statistik dibandingkan dengan Ti maupun Tiii (suhu 20 dan 30±2 oC). Penurunan ini sebagai akibat dari kuatnya infeksi virus, leukosit yang ada pada pembuluh

darah sangat berkurang, karena sebagian besar leukosit bergerak menuju jaringan-jaringan yang terinfeksi.

Peningkatan leukosit pada hari ke-14, merupakan respon khas leukosit pada saat infeksi (leucocytosis) (Koolner dan Kotterba 2002), namun tercatat bahwa peningkatan leukosit tertinggi diperoleh perlakuan Tiii, diikuti oleh perlakuan Ti dan Tii. Hal ini mengindikasikan, bahwa suhu 25±2 oC lebih menguntungkan bagi virulensi virus; replikasi virus berjalan baik sehingga menghasilkan infeksi yang kuat, dan di lain pihak respon imun ikan, tidak mampu mengimbangi tingkat infeksi virus yang kuat. Fenomena ketidakmampuan sistem imunitas ikan dalam menghadapi infeksi virus, tercermin dari multiplikasi sel-sel leukosit ikan pada suhu 25±2 oC, tercatat bahwa leukosit ikan pada pembuluh darah merosot drastis disebabkan oleh infeksi virus yang kuat pada hampir seluruh tubuh (sistemik) (Pikarsky et al. 2004). Hasil ini mendukung pula pengamatan (Sitja-Bobadiilla et al. 2006) pada ikan turbot (Scopthalmus maximus), bahwa kondisi ketidakmampuan sistem imunitas ikan dalam menghadapi infeksi, akhirnya ditandai dengan semakin menurunnya komponen sel leukosit. Kondisi yang hampir sama dialami ikan pada suhu 20±2 oC, walaupun secara statistik peningkatan nilai leukositnya (pada hari ke-14) lebih tinggi dari suhu 25±2 o C, namun terlihat nilai leukositnya kembali menurun pada hari ke-21, sama halnya dengan suhu 25±2 oC. Sebaliknya perlakuan suhu 30±2 o

C kembali mengalami peningkatan total leukosit pada hari ke-21, hal ini menggambarkan bahwa perlakuan suhu 30±2 oC tidak optimum untuk replikasi virus sehingga infeksinya tidak sekuat pada suhu 25 dan suhu 20±2 oC, dan di lain pihak respon imunitas ikan pada suhu suhu 30±2 oC dapat berfungsi lebih baik dalam mengatasi infeksi virus, terbukti dari peningkatan total leukosit yang terus meningkat hingga hari ke-21.

Suhu merupakan faktor lingkungan utama yang menstimulasi perubahan respon imun pada beberapa spesies ikan, baik innate maupun acquired immune response (Bowden et al. 2006). Sebagian peneliti berpendapat bawa respon imun non spesifik (innate immunity) tidak dipengaruhi oleh suhu, dan sebaliknya acquired immunity dipengaruhi oleh suhu (Elllis 2001). Namun terbukti pada

ikan chanel catfish dan tench bahwa innate imunity juga dapat dipengaruhi suhu (Bowden et al. 2006).

Data perubahan total leukosit pada penelitian tahap satu menggambarkan bahwa pada kasus infeksi ini virulensi KHV sangat dominan dipengaruhi oleh suhu, dimana suhu akan berpengaruh langsung terhadap replikasi virus, dan di lain pihak replikasi virus dipengaruhi secara tidak langsung oleh perubahan (berkurang atau bertambahnya) keampuhan respon imun ikan (Alcorn et al. 2002). Pada perlakuan Ti dan Tii kondisi suhu dampaknya relatif menguntungkan/ lebih mendukung terhadap virulensi virus dibanding respon imunitas ikan (proliferasi leukosit). Hal yang berlawanan terjadi pada perlakuan Tiii, menggambarkan bahwa suhu 30±2 oC tidak optimum untuk replikasi virus sehingga infeksinya tidak sekuat pada suhu 25 dan 20±2 oC, dan di lain pihak respon imunitas ikan dapat berfungsi lebih baik dalam aktivasi peningkatan jumlah leukosit, sehingga dapat mengatasi infeksi virus. Fakta ini mendukung penelitian (Ahne et al. 2002) bahwa respon imunitas ikan mas dalam menghadapi infeksi virus sangat dipengaruhi suhu.

Kematian pada kasus infeksi KHV baik pada kondisi di alam (sistem budi daya) maupun pada uji penginfeksian secara laboratorium menggambarkan dengan jelas bahwa suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kerentanan (susceptibility) terhadap KHV. Fakta ini memperkuat pendapat (Bowden et al. 2006), bahwa beberapa faktor lingkungan sangat terkait dengan siklus musim, dalam hal ini terutama adalah suhu, dimana suhu akan berpengaruh kuat terhadap pengaktifan sistem imunitas ikan. Kerentanan ikan terhadap serangan penyakit meningkat, sejalan dengan perubahan suhu yang dipicu oleh pergantian musim. Beberapa contoh, seperti kasus wabah epizootic ulcerative syndrome (EUS) biasanya terjadi pada perubahan musim, yaitu saat suhu lebih rendah (dibawah 25 oC) (Miles et al. 2001); dan cold-water vibriosis yang terjadi pada berbagai kelompok ikan salmon, umumnya terobservasi pada musim winter (Eggset et al. 1997).

4.3.2.3. Penjenisan Leukosit

Limfosit

Pola perubahan rataan sel limfosit selama infeksi (Gambar 11), hampir menyerupai pola perubahan total leukosit. Penurunan nilai limfosit pada hari ke-7 menunjukkan bahwa virulensi virus pengaruhnya lebih dominan dibanding sistem pertahan ikan, pada semua perlakuan, namun infeksi lebih kuat terjadi pada suhu 25 dan 20±2o C dan berbeda dibandingkan dengan suhu 30±2 oC. Respon imunitas ikan pada suhu 30±2 oC terlihat lebih dominan pada hari ke-14 dan 21 setelah infeksi virus, terlihat dari peningkatan proliferasi limfosit yang cepat. Sedangkan perlakuan suhu 25±2 oC tercatat mengalami peningkatan nilai limfosit terendah pada hari ke-14 dan berbeda dibanding suhu 20 maupun 30±2 oC. Dengan demikian pada hari ke-14 respon imunitas pada perlakuan suhu 25±2 oC adalah terendah. Namun demikian pada hari ke-21, nilai limfosit pada perlakuan suhu 25 maupun 20±2 oC nilainya tidak berbeda dan keduanya lebih rendah dan berbeda nyata dibanding dengan perlakuan suhu 30±2 oC.

Berdasarkan nilai respon prosentase limfosit selama kejadian infeksi tercatat bahwa pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) dampaknya lebih menguntungkan sistem imunitas ikan, dimana terhambatnya virulensi virus pada suhu 30±2 oC, dapat memberi kesempatan peningkatan limfosit yang cepat, sehingga dapat mengatasi infeksi. Sebaliknya pada suhu 20 dan 25±2 oC kondisi suhu dampaknya relatif menguntungkan untuk virulensi virus dibanding respon imunitas ikan. Pada perlakuan Ti dan Tii aktivasi pembentukan komponen-komponen sistem imunitas (selular dan humoral) untuk menghadapi infeksi berjalan lebih lambat dibandingkan kecepatan replikasi virus untuk memicu infeksi yang mematikan. Ketidakmampuan sistem imunitas ikan dalam menghadapi infeksi virus sangat tergambar jelas dari penurunan nilai limfosit yang drastis pada hari ke-7 disertai oleh ketidakmampuan respon imun untuk meningkatkan nilai limfosit (pada tingkat yang memadai untuk menghadapi infeksi) pada hari ke-14 dan 21. Sejumlah sel limfosit yang memadai sangat diperlukan untuk menghentikan/membatasi penyebaran infeksi. Melalui serangkaian respon imunitas selular, limfosit sangat berperan untuk menghentikan infeksi virus yang bersifat intra selular.

Pada infeksi virus, makrofag mungkin berhasil membunuh virus seperti halnya ia membunuh bakteri (Kresno 2001), namun pada beberapa kasus infeksi virus tertentu makrofag tidak berhasil memusnahkan virus, bahkan virus memperoleh kesempatan untuk bereplikasi di dalamnya (Murphy et al. 1999). Akibatnya virus dapat tersebar ke berbagai organ dan menyebabkan sel-sel organ tubuh lain, terutama bila virus bersifat sitopatik. Karena itu untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah reinfeksi, sitem imun harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang terinfeksi (Kresno 2001; Nakanishi et al. 2002). Respon imun yang dikembangkan terhadap virion dapat bersifat humoral dengan cara neutralisasi (proliferasi limfosit B untuk pembentukan antibodi), dan respon imun selular yang merupakan respon paling penting untuk untuk melawan organisme intraselular (virus) (Kresno 2001). Dalam prosesnya respon imun selular ini melibatkan limfosit T-sitotoksik dan limfosit yang tergolong natural killer (sel NK), antibody dependendent cell mediated cytotoxicity (ADCC), dan MHC (major histocompatibility complex)

kelas I (Fenner et al. 1993; Kresno 2001; Almendras & Catap 2002; Nakanishi et al. 2002). Peningkatan sel limfosit pada suhu 30±2 oC menunjukkan bahwa sitem imunitas ikan berhasil mengembangkan perannya untuk melawan infeksi virus. Peningkatan sel limfosit merupakan refleksi keberhasilan sistem imunitas ikan dalam mengembangkan respon imunitas nonspesifik maupun spesifik.

Peningkatan limfosit T yang berupa sub populasi sel T yang disebut sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau peptide-antigen virus bersangkutan melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme tersebut. Disamping itu pengikatan MHC II dengan Limfosit (T-helper) akan memberi sinyal supaya limfosit B berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk antibodi. Antibodi akan mengikat antigen, membentuk komplek antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen (jalur klasik) dan mengakibatkan hancurnya antigen. Kemudian sub populasi limfosit T yang lain disebut T-sitotoksik, berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme intrasel yang yang disajikan melalui MHC kelas

I secara langsung (cel to cel). Selain itu, juga menghasilkan gamma-interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam sel lain (Kresno 2001).

Monosit

Gambar 12 memperlihatkan bahwa pada hari ke-7 setelah infeksi virus, semua perlakuan telah mengalami peningkatan prosentase monosit. Pada perlakuan Ti dan Tii, peningkatan prosentase sel monosit berlanjut pada hari ke-14, sedangkan pada perlakuan Tii mengalami penurunan. Pada hari ke-21 terjadi penurunan kembali prosentase monosit untuk perlakuan Ti dan Tii, dan hal yang sama terjadi pula pada perlakuan Tiii

Sel monosit merupakan sel efektor pertama yang teraktivasi oleh adanya mikroorganisme penyerang, dan kemudian akan diikuti oleh proliferasi limfosit (Kollner et al. 2002). Gambar 12, memperlihatkan bahwa pada hari ke-7 nilai monosit pada perlakuan Tiii mengalami peningkatan prosentase yang lebih cepat pada nilai prosentase yang tinggi (10.00 %), dibanding dengan Ti (4 %) dan Tii (5.67 %). Kondisi ini sesuai dengan pendapat (Bowden et al. 2006) bahwa , suhu yang lebih tinggi (pada kisaran fisiologi normal) dapat meningkatkan respon imun, sedangkan suhu yang lebih rendah akan menekan fungsi imunitas (non permissive temperatures ), dan terdapat pula kisaran suhu optimal untuk aktivitas respon imun terbaik (immunologycally permissive) (Manning dan Nakanishi 1996). Pada suhu Ti dan Tii, respon imun.berupa proliferasi sel monosit berjalan lebih lambat, dimana ikan mengalami hambatan dalam menghasilkan respon imun terbaiknya.

Pada Hari -14 terjadi penurunan prosentase monosit pada suhu Tiii, hal ini menunjukkan bahwa respon cepat monosit sebagai lapis pertama sistem pertahanan tubuh pertama, perannya digantikan oleh limfosit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada suhu Tiii merupakan suhu immunologycally permissive

sehingga ikan mampu membangkitkan sistem imunitas cukup efektif, dimana peran monosit sebagai fagositosis (fagositosis killing mechanism), fagositosis sebagai penyajian antigen (antigen presenting cells), keduanya berjalan baik sehingga memberikan efek proliferasi limfosit yang tinggi pada suhu Tiii, hal ini terbukti dengan adanya peningkatan sel limfosit yang tinggi pada hari ke-14 pada perlakuan Tiii

Pada perlakuan Ti dan Tii, pada hari ke-14 terjadi kembali peningkatan sel monosit pada tingkatan yang lebih tinggi hingga mencapai 10,33% (Ti) dan 8.66% (Tii). Hasil ini menunjukkan bahwa pada suhu Ti dan Tii respon puncak aktivasi monosit berlangsung lebih lambat dibanding Tiii. Terlihat sangat jelas bahwa pada suhu Ti dan Tii secara immunologi bersifat non permissive temperature. Bukti ini mendukung pendapat Bowden et al. (2006), bahwa faktor suhu merupakan faktor lingkungan utama yang menstimulasi perubahan respon imun pada beberapa spesies ikan, baik innate maupun acquired immune respon.

Netrofil

Berdasarkan fungsinya sel netrofil hampir sama dengan monosit, yaitu banyak berperan sebagai sel fagosit, sehingga berperan pula sebagai sel efektor, pada awal pembangkitan respon imun. Menurut Kollner et al. (2002) sirkulasi sel darah putih (monosit/makrofag, dan granulosit) membentuk suatu kesatuan jaringan pertahanan yang mampu mengeliminasi berbagai patogen penyerang dan sekresinya, melalui fagositosis tanpa suatu aktivasi awal.

Gambar 13, memperlihatkan bahwa pola rataan prosentase netrofil pada semua perlakuan telah mengalami peningkatan prosentase sel netrofil pada hari ke-7 setelah infeksi virus. Pada perlakuan Ti dan Tii, peningkatan prosentase sel netrofil berlanjut pada hari ke-14, sedangkan pada perlakuan Tiii mengalami penurunan. Pada hari ke-21 terjadi penurunan kembali prosentase netrofil untuk perlakuan Ti dan Tii, dan hal yang sama terjadi pula pada perlakuan Tiii.

Fenomena perubahan sel netrofil selama kejadian infeksi hampir serupa dengan pola perubahan monosit, bahwa pada hari ke-7, netrofil sebagai salah satu pertahanan lapis pertama telah mengalami peningkatan. Hal ini terkait dengan peran netrofil yang berperan pula dalam proses imflamasi pada fase awal infeksi (Almendras & Catap 2002). Peningkatan netrofil pada hari ke-7 pada perlakuan Tiii lebih cepat dan berbeda nyata dibandingkan dengan Ti maupun Tii, dimana pada Ti dan Tii puncak aktivasi monosit tercapai pada hari ke-14. Namun Gambar 13, memperlihatkan pula bahwa, pada hari ke-14, nilai puncak prosentase netrofil pada perlakuan Ti dan Tii mencapai nilai (secara berurut 24.0% dan 26.3%) jauh lebih tinggi dibanding dengan Tiii (6.0% pada hari ke-14); maupun puncak netrofil untuk Tiii (9.0% pada hari ke-7). Fenomena ini kelihatannya sangat terkait

dengan tingkat infeksi yang terjadi pada perlakuan Ti dan Tii, dimana tingkat infeksi yang tinggi pada Ti dan Tii lebih memacu respon dari netrofil.

Pada hari ke-14 ikan pada perlakuan Ti dan Tii mengalami tingkat infeksi virus yang kuat menyebabkan banyaknya terjadi situs-situs lesio karena infeksi yang memerlukan berbagai langkah imflamasi pada ikan. Bahkan pada stadium lanjut infeksi KHV yang parah terbukti, umumnya memicu infeksi sekunder dari bakteri (Hedrick et al. 2000; Perelberg et al. 2003; Pikarsky et al. 2004), sehingga mengaktivasi peningkatan netrofil yang lebih tinggi pada perlakuan Ti dan Tii. Prosentase netrofil yang tinggi sangat dibutuhkan untuk berbagai langkah imflamasi akut (Almendras & Catap 2002). Netrofil akan bergerak ke daerah imflamasi karena dirangsang oleh faktor kemotaktik yang antara lain dilepaskan oleh komplemen atau limfosit yang teraktivasi (Kresno 2001). Sepertihalnya monosit, netrofil akan memberikan respon non spesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan mikroorganisme penyerang, mupun memfagosit berbagai bahan bahan asing lain, yang timbul selama proses imflamasi.

Di sisi lain peningkatan netrofil pada hari ke-14 pada Ti dan Tii, dapat menjadi gambaran, bahwa peningkatan sel netrofil secara berlebih sesuai dengan pendapat (Moorvan et al. 1998) mungkin dapat dipertimbangkan sebagai suatu langkah homeostasis dari ikan untuk menutupi lemahnya respon pengaktifan dan proliferasi sel limfosit. Seperti telah dievaluasi sebelumnya (pada butir limfosit), bahwa sensitisasi atau pengaktifan sel limfosit pada suhu rendah dalam hal ini Ti dan Tii, mengalami hambatan.

Trombosit

Pola rataan prosentase trombosit yang ditampilkan pada Gambar 14, memperlihatkan bahwa pada perlakuan Tii dan Tiii telah mengalami penurunan prosentase trombosit pada hari ke-7 setelah infeksi virus. Pada hari ke-14, penurunan prosentase trombosit berlanjut, penurunan yang lebih rendah terjadi pada perlakuan Tii dan Ti dibanding dengan perlakuan Tiii. Pada hari ke-21 terjadi peningkatan kembali prosentase trombosit untuk semua perlakuan, dan peningkatan yang lebih besar terjadi pada perlakuan Ti dan Tii.

Berdasarkan nilai trombosit hari ke-7 tercatat bahwa perlakuan Tiii mengalami penurunan nilai trombosit, hal ini menggambarkan bahwa pada

perlakuan Tiii, upaya restorasi terhadap kejadian infeksi, terjadi lebih cepat, dibandingkan dengan Ti dan Tii. Dimana nilai prosentase trombosit pada pembuluh darah berkurang karena sebagian besar sel trombosit bergerak ke area infeksi untuk membantu penyembuhan selama proses imflamasi. Pada hari ke-14 (puncak infeksi virus), nilai trombosit pada Ti dan Tii merosot lebih rendah dibandingkan dengan Tiii (walupun tidak berbeda nyata), hal ini menggambarkan terdapatnya infeksi yang lebih parah pada Ti dan Tii, sel trombosit sangat diperlukan untuk penyembuhan luka/pendarahan karena infkesi, sehingga sejumlah besar sel trombosit akan bermigrasi ke jaringan yang terinfeksi, akibatnya prosentase trobosit dalam pembuluh darah akan sangat berkurang. 4.3.2.3. Indeks fagositosis

Gambar 15 memperlihatkan bahwa peningkatan respon indeks fagositosis pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) berjalan lebih cepat dibanding dengan perlakuan Ti dan Tii (20 dan 25±2 oC), fenomena ini sangat didukung oleh data sebelumnya (butir monosit, netrofil), dimana sebelumnya tecatat bahwa pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) juga mengalami peningkatan respon monosit dan netrofil yang lebih awal. Data ini kembali menggambarkan bahwa faktor suhu merupakan faktor lingkungan utama yang berpengaruh pula terhadap respon non spesifik (Moorvan et al. 1998; Bowden et al. 2006).

Aktivitas fagositik merupakan pertahanan pertama dari respon selular (Woo, 1995) dan dilakukan oleh monosit/makrofag dan granulosit (Kollner et al.

2002; Kollner dan Kotterba 2002). Dijelaskan pula oleh Kollner dan Kotterba (2002) bahwa, proses fagositosis meliputi pengenalan material yang akan dieliminir, tahap kemotaksis, tahap perlekatan, tahap penguraian sel dan melakukan digesti internal dengan beberapa mekanisme antimikrobial. Menurut Kollner et al. (2002) sirkulasi sel darah putih (monosit/makrofag, dan granulosit) membentuk suatu kesatuan jaringan pertahanan yang mampu mengeliminasi berbagai patogen penyerang dan sekresinya, melalui fagositosis tanpa suatu aktivasi awal.

Peningkatan nilai prosentase indeks fagositosis yang lebih cepat (dengan nilai yang memadai) pada perlakuan suhu 30±2 oC, telah mampu mengurangi tingkat infeksi yang terjadi. Hal ini dikuatkan oleh data infeksi dan kematian pada

suhu 30±2 oC, dimana infeksi dan kematian pada 30±2 oC tidak berlanjut. Fakta sebaliknya terjadi pada 20 dan 25±2 0C, dimana nilai prosentase indeks fagositosis, peningkatan jauh lebih rendah dibanding 30±2 oC (hari ke-7), dan menurun kembali pada hari ke-21, sehingga kejadian infeksi dan kematian pada 20 dan 25±2 0C terus berlanjut.

Nilai indeks fagositosis yang tinggi pada perlakuan Tiii, menggambarkan pula bahwa proses fagositosis yang terjadi dengan cepat berkontribusi dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells/ accessory funtion) untuk menstimulasi respon sel limfosit. Partikel antigen yang difagosit, diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit. Sub populasi sel limfosit T yang disebut sel T penolong (T-helper) akan mengenali peptida antigen (asal mikroorganisme bersangkutan) melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme tersebut. Disamping itu pengikatan MHC II dengan Limfosit (T-helper) akan memberi sinyal supaya limfosit B berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk antibodi. Antibodi akan mengikat antigen, membentuk komplek antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen (jalur klasik) dan mengakibatkan hancurnya antigen.

Sesuai dengan penjelasan tersebut, tercatat pada penelitian ini bahwa terdapat hubungan positif antara nilai indeks fagositosis yang tinggi pada perlakuan Tiii (30±2 oC) dengan nilai prosentase limfosit yang diperoleh pada perlakuan tersebut.

4.3.3. Kualitas Air pada Penelitian Tahap Satu

Kisaran kualitas air hasil pengukuran dan atau pengamatan selama penelitian tahap satu (tertera pada Tabel 11.), menunjukkan bahwa media pemeliharaan (kecuali suhu air) selama penelitian berada pada kisaran yang optimal dan mendukung bagi kehidupan ikan mas. Khusus untuk parameter suhu air kisaran suhu yang tercatat telah sesuai dengan perlakuan yang telah dirancang yaitu: Ti (suhu 20±2 oC); Tii (suhu 25 ±2 oC) dan Tiii (suhu (30±2 oC).

Menurut Wedemeyer (1996) perairan yang ideal bagi perikanan adalah perairan yang mempunyai nilai pH berkisar 6-9, sedangkan parameter amoniak untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tidak melebihi kisaran 1-2 mg/l masih Boyd (1982). Daya racun amoniak yang akut bagi ikan mas adalah 2.0 mg/l (Kawamoto 1961 dalam Wedemeyer 1996).

Faktor lingkungan lainnya yang mendukung kehidupan ikan adalah kandungan oksigen. Pada budidaya ikan mas kandungan oksigen tidak boleh kurang dari 3 mg/l (Huisman 1974 dalam Zonneveld et al. 1991).